Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Diabetes Mellitus


2.1.1

Pengertian DM
Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan

antara kebutuhan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya hiperglikemia
dan berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
(Waspadji, 2007).
2.1.2

Jenis DM
Istilah diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4 kategori yaitu tipe I (insulin

dependent diabetes mellitus atau IDDM), tipe II (non insulin dependent diabetes
mellitus atau NIDDM), diabetes mellitus sekunder dan diabetes mellitus yang
berhubungan dengan nutrisi. Selain itu terdapat dua kategori lain tentang
abnormalitas metabolisme glukosa yaitu kerusakan toleransi glukosa (KTG) dan
diabetes mellitus gestasional (DMG) (Waspadji, 2007) .
2.1.3

Gejala DM
Penderita DM dengan diabetes mellitus tipe II mengalami penurunan

sensitivitas terhadap kadar glukosa, yang berakibat pada pembentukan kadar glukosa
yang tinggi. Keadaan ini disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak
untuk meningkatkan ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan
meningkatnya resistensi insulin perifer (Adnyana, dkk, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Gejala klasik diabetes adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering buang
air kecil terutama malam hari, dan berat badan turun cepat, kadang-kadang ada
keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal,
penglihatan kabur, gairah seks menurun dan luka sukar sembuh (Waspadji, 2007).

2.1.4

Penatalaksanaan DM
Tujuan penatalaksanaan diet secara umum pada penderita DM diabetes

mellitus adalah mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar
normal, mencapai dan mempertahankan lemak mendekati kadar yang optimal,
mencegah komplikasi akut/kronik dan meningkatkan kualitas hidup (Waspadji,
2007).
Menurut Waspadji (2007) mengutip pendapat Joslin (1952) dari Medical
Centre Institute, dalam penatalaksanaan diet diabetes mellitus ada 3 (tiga) J yang
harus diketahui dan dilaksanakan oleh penderita DM diabetes mellitus, yaitu jumlah
makanan, jenis makanan dan jadwal makanan. Berikut ini uraian mengenai ketiga hal
tersebut:
1) Jumlah makanan
Jumlah makanan yang diberikan disesuaikan dengan status gizi penderita DM,
bukan berdasarkan tinggi rendahnya gula darah. Jumlah kalori yang disarankan
berkisar antara 1100-2900 KKal.

Universitas Sumatera Utara

Sebelum menghitung berapa kalori yang dibutuhkan seorang pasien diabetes,


terlebih dahulu harus diketahui berapa berat badan ideal (idaman) seseorang. Yang
paling mudah adalah dengan rumus Brocca : Berat Badan Idaman : 90% X (tinggi
badan dalam cm = 100) X 1 kg.
Tabel 2.1. Tingkat Kegiatan Sehari-hari untuk Perhitungan Kalori
Ringan
Mengendarai mobil
Memancing
Kerja Lab
Kerja sekretaris
Mengajar

Sedang
Kerja rumah tangga
Bersepeda
Bowling
Jalan cepat
Berkebun

Berat
Aerobik
Bersepeda
Memanjat
Menari
Lari

Sumber : Waspadji, 2007


Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan seorang pasien
diabetes :
1. Menghitung kebutuhan basal dahulu dengan cara mengalikan berat badan idaman
dengan sejumlah kalori :
- Berat badan idaman dalam kg x 30 Kkal untuk laki-laki
- Berat badan idaman dalam kg x 25 Kkal ntuk perempuan
Kemudian ditambah dengan jumlah kalori yang diperlukan untuk kegiatan
sehari-hari (lihat tabel 1). Tampak pada tabel itu ada tiga jenis kegiatan, dari
yang ringan sampai yang berat.
- Kerja ringan : tambah 10 % dari kalori basal
- Kerja sedang : tambah 20 % dari kalori basal

Universitas Sumatera Utara

- Kerja berat

: tambah 40-100% dari kalori basal

- Tambahkan kalori sekitar 20-30% pada keadaan sbb:


a. Pasien kurus
b. Pasien masih tumbuh kembang
c. Ada stres misalnya infeksi, hamil atau menyusui
- Kurangi kalori bila gemuk sekitar 20-30% tergantung tingkat kegemukannya.

2. Cara lain tertera pada tabel 2.2 yang tampaknya lebih mudah. Tampak pada tabel
itu bahwa seseorang dengan dengan berat badan normal yang bekerja santai
memerlukan 30 Kkal/kg BB idaman. Bagi orang yang kurus dan bekerja berat
memerlukan 40-50 Kkal/kg BB idaman. Dengan cara ini tidak perlu ditambahtambahkan lagi.

3. Untuk gampangnya, secara kasar dapat dibuat suatu pegangan sbb :


- Pasien kurus

: 2300-2500 Kkal

- Pasien berat normal

: 1700-2100 Kkal

- Pasien gemuk

: 1300-1500 Kkal

Tabel 2.2. Kebutuhan Kalori pada Pasien Diabetes Mellitus

Universitas Sumatera Utara

Dewasa
Kkal/kg BB kerja satai
Gemuk
20-25
Normal
30
kurus
35
Sumber : Waspadji, 2007

Kerja sedang
30
35
40

Kerja berat
35
40
40-50

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PARKENI) telah menetapkan standar


jumlah gizi pada diet diabetes mellitus, dimana telah ditetapkan proporsi yang ideal
untuk zat makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, kolesterol, serat, garam dan
pemanis dalam satu porsi makanan utama. Menurut Moehyi (1996) ketentuan
mengenai pengaturan jumlah zat makanan yang harus dikonsumsi oleh penderita DM
diabetes mellitus adalah sebagai berikut:
a. Karbohidrat
Sampai saat ini sebagian orang berpendapat bahwa pasien diabetes mellitus
harus mengkonsumsi makanan rendah karbohidrat. Namun belakangan banyak
dilakukan penelitian dan ditemukan bahwa justru diet tinggi karbohidrat dan rendah
lemak lebih unggul daripada diet rendah karbohidrat. Didapatkan pula bahwa diet
tinggi karbohidrat menimbulkan perbaikan glukosa terutama pada pasien diabetes
mellitus yang tidak terlalu berat, apalagi pada pasien yang gemuk. Tetapi harus
diingat, walaupun pasien dianjurkan diet tinggi karbohidrat, pasien tersebut harus
menghindari karbohidrat yang mudah diserap tubuh seperti sirup, gula, sari buah dan
makanan lain yang manis atau mengandung gula. Selain itu penderita DM harus
mengetahui bahwa jumlah karbohidrat dalam makanan untuk setiap kali makan harus

Universitas Sumatera Utara

diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan hidrat arang
sepanjang hari.
b. Protein
Protein merupakan bahan dasar untuk zat pembangun, pertumbuhan, hormon
dan antibodi. Pada penderita diabetes mellitus, kebutuhan protein akan meningkat
akibat digunakannya protein sebagai energi. Sedangkan karbohidrat sendiri tidak
dapat diserap oleh tubuh sehingga penderita merasa lemas. Berdasarkan hal tersebut,
maka seorang penderita DM diabetes mellitus memerlukan protein sebanyak 10-15%
untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya.
c. Lemak
Pada penderita diabetes mellitus penggunaan lemak dibatasi, terutama lemak
jenuh yang secara tidak langsung dengan mekanisme tertentu dapat mempengaruhi
kenaikan kadar gula darah. Makanan yang mengandung lemak jenuh antara lain
minyak kelapa, margarin, santan, keju dan lemak hewan. Sedangkan lemak tidak
jenuh efeknya jauh lebih kecil terhadap kadar gula darah daripada lemak jenuh.
d. Kolesterol
Kadar

kolesterol

yang

tinggi

dalam

tubuh

dapat

menimbulkan

hiperkolesterolemia yang berkaitan dengan terjadinya aterosklerosis. Pada penderita


diabetes mellitus, kadar kolesterol yang tinggi dapat memperberat penyakitnya. Oleh
karena itu konsumsi makanan yang berkolesterol harus dibatasi, dengan perkiraan
jumlah yang dibutuhkan <300 mg per hari.
e. Serat

Universitas Sumatera Utara

Serat yang dikonsumsi sebanyak 25 gram per hari akan mempercepat


pergerakan makanan di saluran pencernaan dan pembentuk massa sehingga absorbsi
glukosa dan lemak di usus akan berkurang.
f. Garam
Penggunaan garam yang tinggi dalam makanan dapat meningkatkan kerja
jantung. Oleh karena itu pada penderita diabetes mellitus dengan hipertensi,
pemakaian garam dibatasi.
g. Pemanis
Selama ini pemanis yang ada di pasaran adalah sukrosa, fruktosa, sorbitol,
manitol, xylol, sakkarin, siklamat dan aspartam. Pemanis yang mengandung kalori
adalah sukrosa dan fruktosa. Berikut ini tabel perbandingan jumlah total zat makanan
yang terdapat dalam satu porsi makanan utama penderita DM
Tabel 2.3. Jumlah Total Zat Makanan yang Dikonsumsi
Jenis Zat makanan
Karbohidrat
Protein
Lemak
Kolesterol
Serat
Garam
Pemanis

Jumlah
60-70%
10-15%
20-25%
<300 mg/hari
25 g/hari
Dibatasi terutama bila ada hipertensi
Gunakan secukupnya

2) Jenis makanan
Penderita diabetes mellitus harus mengetahui dan memahami jenis makanan
apa yang boleh dimakan secara bebas, makanan yang mana harus dibatasi dan

Universitas Sumatera Utara

makanan apa yang harus dibatasi secara ketat. Makanan yang mengandung
karbohidrat mudah diserap seperti sirup, gula, sari buah harus dihindari. Sayuran
dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti buncis, kacang panjang, wortel, kacang
kapri, daun singkong, bit dan bayam harus dibatasi. Buah-buahan berkalori tinggi
seperti pisang, pepaya, mangga, sawo, rambutan, apel, duku, durian, jeruk dan nanas
juga dibatasi. Sayuran yang boleh dikonsumsi adalah sayuran dengan kandungan
kalori rendah seperti oyong, ketimun, kol, labu air, labu siam, lobak, sawi, rebung,
selada, toge, terong dan tomat (Waspadji, 2007).
Cukup banyak pasien DM mengeluh karena makanan yang tercantum dalam
daftar menu diet kurang bervariasi sehingga sering terasa membosankan. Untuk itu
agar ada variasi dan tidak menimbulkan kebosanan, dapat diganti dengan makanan
penukar lain. Perlu diingat dalam penggunaan makanan penukar, kandungan zat
gizinya harus sama dengan makanan yang digantikannya (Suyono, 1996). Contohcontoh bahan makanan penukar adalah sebagai berikut:
(1) Golongan I: Sumber Karbohidrat
Sumber bahan makanan penukar karbohidrat mempunyai takaran 1 satuan
penukar = 175 Kal, 4 gr protein, 40 gr karbohidrat. Adapun daftar bahan makanan
penukar tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.4. Bahan Makanan Penukar Karbohidrat

Universitas Sumatera Utara

Bahan makanan

URT

Berat (gr)

1. Bihun

gelas

50

6 sendok makan

50

3. Kentang

2 biji sedang

200

4. Krekers

5 buah besar

50

bungkus

50

gelas

100

2 potong sedang

80

2. Havermount

5. Mi kering
6. Nasi
7. Roti putih
Sumber : Suyono, 1996

(2) Gol. II: Sumber Protein Hewani


Sumber protein hewani ini dapat diperoleh dari bahan makanan yang lazim
dikonsumsi sehari-hari dengan takaran 1 satuan penukar = 95 Kal, 10 gr protein, 6 gr
lemak. Adapun jenis makanan penukar protein hewani dapat dilihat pada Tabel 2.5
Tabel 2.5. Bahan Makanan Penukar Protein Hewani
Bahan makanan
1. Ayam
2. Daging sapi
3. Hati sapi
4. Ikan segar
5. Ikan asin
6. Telur ayam
7. Telur bebek
8. Udang segar
9. Keju
Sumber : Suyono, 1996

URT
1 potong sedang
1 potong sedang
1 potong sedang
1 potong sedang/1 ekor
1 potong kecil
1 butir
1 butir
gelas
1 potong kecil

Berat (gr)
50
50
50
50
25
50
60
50
30

(3) Gol. III: Sumber Protein Nabati

Universitas Sumatera Utara

Sumber protein nabati mempunyai takaran 1 satuan penukar = 80 Kal, 6 gr


protein, 3 gr lemak, 8 gr karbohidrat. Adapun jenis bahan makanan penukar protein
hewani dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Bahan Makanan Penukar Protein Nabati
Bahan makanan

URT

1. Kacang hijau
2. Kacang merah segar
3. Kacang tanah
4. Keju kacang tanah
5. Tahu
6. Tempe
7. Susu kedelai
Sumber : Suyono, 1996

Berat (gr)

2 sendok makan
2 sendok makan
2 sendok makan
2 sendok makan
1 biji besar
2 potong sedang
1 gelas

20
25
20
20
100
50
100

(4) Gol. IV: Sayuran


Jenis sayuran yang dapat dijadikan sebagai bahan makanan penukar adalah
sayuran A dan sayuran B, bebas dimakan, seperti pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7. Bahan Makanan Penukar Sayuran A dan B
Bahan Makanan Penukar
Sayuran A
Kangkung
Tomat
Toge
Terong
Jamur segar
Sumber : Suyono, 1996

Ketimun
Kol
Rebung
Sawi
Oyong

Sayuran B
Bayam
Nangka muda
Buncis
Jagung putren
Daun singkong
Kacang panjang
Jagung muda
Labu siam

(5) Gol. V: Buah

Universitas Sumatera Utara

Sumber bahan makanan bersumber buah-buahan mempunyai takaran 1 satuan


penukar = 40 Kal, 40 g karbohidrat, seperti pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Bahan Makanan Penukar Buah


Bahan makanan

URT

Berat (gr)

Pisang
Pepaya
Apel
Jeruk
Duku

1 buah
1 potong
buah
2 buah
15 buah

50
100
75
100
75

Sumber : Suyono, 1996


(6) Bahan Makanan Golongan Susu
Sumber bahan makanan golongan susu mempunyai takaran 1 satuan penukar=
130 Kal, 7 gr protein, 7 g lemak, 9 gr karbohidrat, seperti pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9. Bahan Makanan Penukar Susu
Bahan makanan
Susu sapi
Tepung susu whole
Yogurt
Sumber : Suyono, 1996

URT
1 gelas
5 sendok makan
1 gelas

Berat (gr)
200
25
200

(7) Gol. VII: Minyak


Bahan makanan penukar minyak mempunyai takaran 1 satuan penukar = 45
Kal, 5gr lemak, seperti pada Tabel 2.10.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.10. Bahan Makanan Penukar Minyak


Bahan makanan
Minyak kelapa
Margarin
Minyak kacang / kedelai/ Jagung
Kelapa parut
Santan
Sumber : Suyono, 1996

URT
sendok makan
sendok makan
sendok makan
5 sendok makan
gelas

Berat (gr)
5
5
5
30
50

3) Jadwal makan
Penderita diabetes mellitus harus membiasakan diri untuk makan tepat pada
waktu yang telah ditentukan. Penderita diabetes mellitus makan sesuai jadwal, yaitu 3
kali makan utama, 3 kali makan selingan dengan interval waktu 3 jam. Ini
dimaksudkan agar terjadi perubahan pada kandungan glukosa darah penderita DM,
sehingga diharapkan dengan perbandingan jumlah makanan dan jadwal yang tepat
maka kadar glukosa darah akan tetap stabil dan penderita DM tidak merasa lemas
akibat kekurangan zat gizi. Jadwal makan standar yang digunakan oleh penderita DM
diabetes mellitus (Waspadji, 2007) disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 2.11. Jadwal Makan Penderita DM
Waktu
Pukul 7.00
Pukul 10.00
Pukul 13.00
Pukul 16.00
Pukul 19.00
Pukul 21.00
Sumber : Suyono, 1996

Jadwal
Makan pagi
Selingan
Makan siang
Selingan
Makan malam
Selingan

Total kalori
20%
10%
30%
10%
20%
10%

Universitas Sumatera Utara

2.2 Psikososial
Menurut Smet (1994) Psikososial didefinisikan sebagai hubungan yang
dinamis antara psikologis dan pengaruh sosial dan di antara keduanya saling
mempengaruhi. Kedua komponen tersebut merupakan hal yang penting untuk proses
perkembangan individu. Gangguan psikososial terjadi apabila terdapat ketidak
seimbangan antara kedua komponen di atas yang menyebabkan perubahan dalam
kehidupan, sehingga penderita DM harus beradaptasi untuk menghadapi perubahan
tersebut.
Menurut WHO (2002), Psikososial didefinisikan sebagai hubungan yang
dinamis antara psikologis dan pengaruh sosial dan di antara keduanya saling
mempengaruhi. Kedua komponen tersebut merupakan hal yang penting untuk proses
perkembangan, hal tersebut akan beriringan dengan proses pertumbuhan dan
maturasi, sehingga psikososial akan berubah sesuai dengan perubahan pertumbuhan
dan perkembangan individu.
Menurut Sarwono (2002) beberapa faktor yang termasuk dalam Psikososial
antara lain persepsi, motivasi (motif), kepercayaan dan adanya interaksi sosial. Ke
empat faktor tersebut merupakan unsur-unsur yang tidak terlepas dalam diri individu
selama proses perkembangan dan perilakunya, termasuk dalam perilaku kesehatan
yaitu dalam mengatur pola makan seimbang dan sehat.
Menurut Rachmat (2002), unsur-unsur yang termasuk dalam psikososial
(psikologi sosial) adalah unsur persepsi, motif atau motivasi diri, kepercayaan diri
dan dukungan keluarga dan dukungan sosial serta norma-norma yang berlaku dalam

Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Unsur-unsur psikososial secara umum dapat dimodifikasikan dari teori


Model Kepercayaan yang dikemukakan oleh Rosenstock (1982), maka unsur
psikososial merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku kesehatan dan
kepercayaan individu terhadap perilaku kesehatan dan salah satu bentuk perilaku
kesehatan tersebut adalah pola makan seimbang bagi penderita DM. Secara terperinci
dapat dijelaskan sebagai berikut:
2.2.1. Motivasi Diri
Menurut Sherif, dkk (1956) dalam Gerungan (2002) motif adalah bagian
integral dari motivasi diri adalah istilah generik yang meliputi semua faktor internal
yang mengarah ke berbagai jenis perilaku yang bertujuan, semua pengaruh internal
seperti kebutuhan (needs) yang berasal dari fungsi-fungsi organisme, dorongan dan
keinginan, aspirasi, dan selera sosial yang bersumber dari fungsi-fungsi tersebut.
Menurut Rachmat (2005), motivasi diri adalah dorongan, baik dari dalam
maupun dari luar diri manusia untuk menggerakkan dan mendorong sikap dan
perubahan perilakunya. Motivasi ini didasarkan dari faktor internal individu yang
bersifat psikologis dan sebagai akibat dari internalisasi dari informasi dan hasil
pengamatan suatu objek yang melahirkan persepsi sehingga individu dapat terdorong
untuk berbuat atau melakukan sesuatu.
Perilaku kesehatan individu juga dipengaruhi oleh motivasi diri individu
untuk berperilaku yang sehat dan menjaga kesehatannya. Menurut Wahjosumido
(1985) dalam Sarwono (2004) bahwa motivasi merupakan suatu proses psikologis
yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang

Universitas Sumatera Utara

terjadi pada diri seseorang, dan motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan
oleh faktor di dalam diri seseorang itu sendiri yang disebut dengan faktor intrinsik
atau faktor di luar dirinya disebut faktor ekstrinsik. Faktor di dalam diri seseorang
dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan atau bebagai harapan,
cita-cita yang menjangkau kemasa depan. Sedangkan faktor di luar diri, dapat
ditimbulkan oleh berbagai sumber dari lingkungannya atau faktor-faktor lain yang
sangat kompleks.
Menurut Hordget (2000) motivasi adalah psikologis yang mendorong
sekaligus mengendalikan seseorang secara langsung. Makna yang terkandung
didalamnya yaitu dorongan dan motif dimana motif ini yang memegang peranan
penting karena motif berisikan perilaku, artinya dalam konteks perubahan pola makan
bagi penderita DM didasarkan pada keinginan penderita untuk sembuh dan
mengurangi kecatatan akibat menderita DM sehingga mereka termotivasi untuk
mengikuti program diet yang dianjurkan oleh dokter.

2.3.1. Persepsi
Menurut Rachmat (1998), persepsi adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan. Menurut Ruch (1967) dalam Rachmat (1998) persepsi adalah
suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa
lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang
terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Senada dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991) dalam Sarwono
(2004)

bahwa

persepsi

adalah

proses

dimana

kita

menafsirkan

dan

mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Dikarenakan persepsi bertautan


dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu,
maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini
persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian
obyektif dengan bantuan indera.
Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap
stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke
dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang
rumit baru kemudian dihasilkan persepsi. Dalam hal ini, persepsi mencakup
penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau
penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi
perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku
orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986).
Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi dalam Gibson (1986)
sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah
mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan
"interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi
pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses
penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting.
Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan

Universitas Sumatera Utara

yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang


bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara
menyeluruh.
Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari
kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk yang kita sebut sebagai
faktor-faktor personal (Rachmat 1998). Selanjutnya Rakhmat menjelaskan yang
menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang
memberi respon terhadap stimuli. Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang
mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang
bersangkutan (Gibson, 1986).
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Menurut Rachmat (2005), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk
inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk
memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi
tertentu. Kaitannya dengan pola makan penderita DM, perbedaan penderita maka
perbedaan terhadap persepsi mereka terhadap pencegahan penyakit DM dalam
konteks konsumsi makanan. Menurut Ismael (2001), bahwa penderita DM
mempunyai perbedaan persepsi terhadap dirinya dan kehidupannya termasuk dalam
pola makan karena adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh, seperti sering
kencing, perubahan pola tidur, dan stres.

Universitas Sumatera Utara

2.3.2. Kepercayaan Diri


Kepercayaaan merupakan suatu keyakinan yang diyakini oleh individu
terhadap sesuatu fenomena. Kepercayaan tersebut didasarkan pada pengalaman
sebelumnya dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarakat. Kepercayaan tersebut
secara tidak langsung berimplikasi terhadap keseluruhan tata cara kehidupan
masyarakat, dan erat kaitannya dengan kebudayaan suatu kelompok masyarakat.
Menurut GM Foster (1973) aspek kepercayaan mempengaruhi status
kesehatan dan perilaku kesehatan seseorang. Kepercayaan tersebut secara psikologis
bersumber dari dalam diri individu terhadap suatu objek atau informasi yang
diyakininya bermanfaat dan dapat diadopsi.
Menurut G.M.Foster, (1973) untuk mempelajari dinamika dari proses proses
perubahan dari sudut individu, maka perlu sekali mengetahui kondisi dasar dari
individu agar mau mengubah tingkah lakunya, yaitu : (1) individu harus menyadari
adanya kebutuhan untuk berubah, (2) harus mendapat informasi bagaimana
kebutuhan ini dapat dipenuhi, (3) mengetahui bentuk pelayanan yang dapat
memenuhi kebutuhannya dan biayanya, (4) tidak mendapat sanksi yang negatif
terhadap individu yang akan menerima inovasi.
Selanjutnya Foster (19873) menyatakan bahwa untuk membantu individu mau
mengubah perilakunya, maka yang perlu diperhatiakan adalah : 1) mengidentifikasi
individu, masyarakat yang menajadi sasaran perubahan, 2) mengetahui motif yang
mendorong perubahan, antara lain adalah motif ekonomi, religi, persahabatan,
prestise, 3) mengetahui faktor-faktor lain misalnya : kekuatan sosial dan nilai-nilai

Universitas Sumatera Utara

yang ada dalam masyarakat, kebutuhan masyarakat, waktu yang tepat, golongan
dalam masyarakat yang mudah diterima ide baru, serta golongan yang berkuasa.
2.3.3. Dukungan Keluarga
Variabel psikososial yang erat kaitannya dengan perilaku kesehatan adalah
adanya interaksi sosial dalam bentuk dukungan baik dukungan kelompok maupun
dukungan secara sosial. Interaksi sosial adalah keterlibatan secara individu penderita
DM dalam suatu kelompok masyarakat dan keluarga, artinya adanya dukungan sosial
atau dukungan keluarga dalam memperhatikan pola makan penderita DM merupakan
suatu interaksi sosial.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri atas kepala Keluarga dan beberapa orang yang berkumpul
dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Secara prinsip keluarga adalah unit terkecil masyarakat,terdiri atas dua orang atau
lebih, adanya ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga,
di bawah asuhan seorang kepala rumah tangga, berinteraksi di antara sesama anggota
keluarga, setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing, menciptakan,
mempertahankan suatu kebudayaan.
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat,
kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu.
Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari
keluarga, kelompok dan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan pendapat Rusli (2007), dukungan keluarga terhadap pemberian


ASI Eksklusif pada ibu bekerja sangat diperlukan, menyusui merupakan aktifitas
keluarga. Setiap anggota keluarga mempunyai struktur peran formal dan informal.
Misalnya, ayah mempunyai peran formal sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah.
Peran informal ayah adalah sebagai panutan dan pelindung keluarga. Struktur
kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan keluarga untuk
saling berbagi, kemampuan sistem pendukung diantara anggota keluarga,
kemampuan perawatan diri, dan kemampuan menyelesaikan masalah (Sudiharto,
2007).
Friedman dalam Sudiharto (2007), menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga
antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan
kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling
menerima dan mendukung.

2.3. Pengaruh Psikososial terhadap Pola Makan Penderita DM


Secara epidemiologi faktor risiko terhadap terjadinya penyakit DM antara lain
karakteristik individu dan perilaku yang berkaitan dengan pola makan dan gaya hidup
karakteristik adalah segala sesuatu yang merupakan ciri-ciri biologis dan sosial yang
terdapat pada penderita DM. Perbedaan ciri-ciri dapat menyebabkan perbedaan
prevalensi DM dan perbedaan pola makan. Karakteristik tersebut seperti karakteristik
sosiodemografi misalnya tempat/daerah, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
sosial ekonomi, dan perilaku (pengetahuan dan sikap) serta sosial budaya dan pola

Universitas Sumatera Utara

makan. Penelitian Suryono (2004) prevalensi DM di Jakarta berkisar 2,8%, dan


umumnya terjadi pada penduduk dewasa.
Menurut Marimis (2006). Perubahan psikologis seseorang dalam dilakukan
dengan memperhatikan masalah emosional dengan maksud menghilangkan,
mengubah gejala yang ada dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian yang
positif. Kaitannya dengan kepatuhan perubahan pola makan, maka dapat dilakukan
dengan memberikan stimulan secara terpadu terhadap manfaat dari pola makan yang
dianjurkan yang berhubungan dengan penanganan penyakit DM.
Unsur psikososial adalah salah satu unsur yang terdapat dalam diri individu
yang berdampak terhadap perubahan metabolisme tubuh yang menyebabkan
terjadinya sakit. Mengutip teori determinan derajat kesehatan masyarakat yang
dikemukakan oleh H.L Blum (1974) bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh faktor
agent yaitu segala sesuatu penyebab terjadinya suatu penyakit, dalam hal ini
berhubungan dengan ketidak seimbangan asupan makanan penderita DM, faktor host,
yaitu faktor yang bersumber dari individu seperti karakteristik individu dan perilaku
individu serta faktor environment yaitu faktor yang bersumber dari lingkungan,
seperti lingkungan fisik dan sosial.
Berkaitan dengan konsep psikososial, dapat diketahui bahwa terdapat
pengaruh persepsi penderita DM terhadap pola makan seimbang seperti penelitian ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Heilbronn, dkk (2002) bahwa
pemberian diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat dengan indeks glikemik rendah

Universitas Sumatera Utara

dapat menurunkan kadar glukosa darah pada pengidap DM tipe 2 yang memiliki
kadar glukosa darah tidak terkendali.
Faktor penyebab utama terjadinya kegagalan pengobatan diabetes mellitus
adalah ketidak-disiplinan atau ketidak-tahuan klien diabetes mellitus tentang
penyakit, program pengobatan dan perawatan. Informasi mengenai program diet yang
diberikan pada klien diabetes mellitus adalah intervensi penting dalam meningkatkan
kepatuhan klien pada program diet (Travis, 1997).
Menurut model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model) yang
dikembangkan oleh Rosenstock (1982) dalam Sarwono (2004) bahwa perilaku
individu ditentukan oleh motif dan kepercayaannya. Tanpa mempedulikan apakah
motif dan kepercayaan tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan
pandangan orang lain tentang apa yang baik untuk individu tersebut. Model
kepercayaan kesehatan ini mencakup 5 unsur utama, sebagai berikut:
a. Persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit (perceived
susceptibility). Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih
cepat merasa terancam.
b. Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness),
yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari penyakit itu.
c. Makin berat risiko suatu penyakit dan makin besar kemungkinannya bahwa
individu tersebut terserang penyakit tersebut, makin dirasakan besar ancamannya
(perceived threats). Ancaman ini mendorong individu untuk melakukan tindakan
pencegahan atau penyembuhan penyakit. Namun ancaman yang terlalu besar

Universitas Sumatera Utara

malah menimbulkan rasa takut dalam diri individu yang justru malah
menghambatnya untuk melakukan tindakan karena individu tersebut merasa tidak
berdaya melawan ancaman tersebut. Guna mengurangi rasa terancam tersebut,
ditawarkanlah suatu alternatif tindakan oleh petugas kesehatan. Apakah individu
akan menyetujui alternatif yang diajukan petugas tergantung pada pandangannya
tentang manfaat dan hambatan dari pelaksanaan alternatif tersebut. Individu akan
mempertimbangkan apakah alternatif tersebut memang dapat mengurangi
ancaman penyakit dan akibatnya yang merugikan.
d. Namun sebaliknya, konsekuensi negatif dari tindakan yang dianjurkan tersebut
(biaya yang mahal, rasa malu, takut akan rasa sakit, dan sebagainya) seringkali
menimbulkan keinginan individu untuk justru menghindari alternatif yang
dianjurkan petugas kesehatan. Ini merupakan perceived benefits and barriers dari
tindakan yang dianjurkan. Untuk akhirnya memutuskan menerima atau menolak
alternatif tindakan tersebut.
e. Faktor pencetus (cues to action) bisa datang dari dalam diri individu (munculnya
gejala-gejala penyakit itu) ataupun dari luar (nasihat orang lain, kampanye
kesehatan, seorang teman atau anggota keluarga terserang oleh penyakit yang
sama, dan sebagainya). Bagi mereka yang memiliki motivasi yang rendah untuk
bertindak (misalnya yang tidak percaya bahwa dirinya akan terserang penyakit
tersebut, yang menganggap remeh akibat penyakit tersebut atau yang takut
menerima pengobatan) diperlukan rangsangan yang lebih intensif untuk
mencetuskan respon yang diinginkan, sebab bagi kelompok semacam ini

Universitas Sumatera Utara

penghayatan subjektif terhadap hambatan/risiko negatif dari pengobatan


penyakitnya jauh lebih kuat dari pada gejala objektif dari penyakit tersebut
ataupun pandangan/saran profesional petugas kesehatan. Tetapi bagi mereka yang
sudah termotivasi untuk bertindak, maka rangsangan sedikit saja sudah cukup
untuk menimbulkan respon tersebut (Sarwono, 2004).

2.4. Kepatuhan Penderita DM Mengikuti Anjuran Pogram Diet


Kepatuhan yaitu tingkat/derajat dimana penderita DM mampu melaksanakan
cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau tim kesehatan lainnya
(Smet, 1994). Kepatuhan merupakan tingkat dimana perilaku seseorang sesuai
dengan saran praktisi kesehatan. Shillinger (1983) yang dikutip Travis (1997) bahwa
kepatuhan mengacu pada proses dimana seorang penderita DM mampu
mengasumsikan dan melaksanakan beberapa tugas yang merupakan bagian dari
sebuah regimen terapeutik. Kepatuhan seseorang terhadap suatu regimen terapi
bergantung pada berbagai variabel seperti umur, pendidikan, tingkat ekonomi,
kompleksitas terapi dan kesesuaian penderita DM dengan program tersebut serta
nilai-nilai penderita DM mengenai kesehatan. Trekas (1984) dalam Ratanasuwan, dkk
(2005) bahwa kemampuan penderita DM untuk mengontrol kehidupannya dapat
mempengaruhi tingkat kepatuhan. Seseorang yang berorientasi pada kesehatan
cenderung mengadopsi semua kebiasaan yang dapat meningkatkan kesehatan dan
menerima regimen yang akan memulihkan kesehatannya. Orang yang melihat

Universitas Sumatera Utara

penyakit sebagai kelemahan akan menyangkal penyakit atau hadirnya penyakit itu.
Pengingkaran ini dapat mempengaruhi terjadinya ketidakpatuhan.
Taylor (1990) dalam Sarwono (2004), bahwa ketidakpatuhan merupakan salah
satu masalah yang berat dalam dunia medis, dan oleh karena itu sejak tahun 1960-an
sudah mulai diteliti di negara-negara industri. Secara umum, ketidakpatuhan
meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan dan dapat berakibat
memperpanjang atau memperburuk penyakit yang sedang diderita (Smet, 1994).
Mematuhi program diet/pola makan adalah hasil dari proses perubahan
perilaku. Perilaku yang menetap memerlukan motivasi dan keyakinan yang kuat
(Marimis, 2006). Penderita DM mungkin saja memiliki pengetahuan mengenai suatu
prosedur pengobatan, tetapi tidak berkemauan dan tidak mampu melaksanakannya
karena adanya reaksi negatif terhadap kondisi/cara perawatan penyakit (Rowley,
1999).
Upaya yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan dalam meningkatkan
kepatuhan penderita DM diabetes mellitus untuk melaksanakan program diet
diantaranya dengan membimbing penderita DM dalam menerapkan program diet
tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan cara mengidentifikasi pengetahuan dan
kepercayaan penderita DM terhadap program diet secara mendalam terlebih dahulu.
Ciptakan juga komunikasi yang terbuka dengan penderita DM dan berikan suatu
perhatian dalam komunikasi tersebut. Tenaga kesehatan mungkin akan membutuhkan
waktu yang lama ketika menghadapi penderita DM yang lanjut usia, penderita DM
dengan pengetahuan yang kurang atau penderita DM dengan latar belakang budaya

Universitas Sumatera Utara

yang berbeda, sehingga tercipta rasa percaya di dalam diri penderita DM untuk
melaksanakan program diet dan tetap melakukan kontrol. Tenaga kesehatan juga
perlu untuk memonitor perkembangan kepatuhan penderita DM misalnya melalui
pesawat telepon bila penderita DM sulit untuk mendatanginya. Tenaga kesehatan juga
harus lebih terfokus pada perkembangan motivasi penderita DM

dan berupaya

mengintegrasikan penyakit ke dalam konsep diri penderita DM untuk meningkatkan


kepatuhan secara jangka panjang, serta

membantu penderita DM melakukan

perubahan gaya hidup yang sesuai dengan anjuran kesehatan (Rowley, 1999).
Hasil penelitian Soebadri, dkk (2003), bahwa 75% penderita DM tidak
mentaati diet yang dianjurkannya dan 50% mempunyai control glukosa darah yang
buruk. Selain itu dilihat dari faktor individu, menurut PARKENI (1998), bahwa
kepatuhan penderita DM terhadap pengobatan terkait dengan pengetahuan dan
manfaat yang diperolehnya dari pengobatan.
Kepatuhan penderita DM tipe 2 pada terapi diet merupakan masalah yang sulit
dikendalikan. Beberapa penelitian menunjukkan 75% penderita tidak mentaati diet
yang dianjurkan (Basuki, 2000) dan 53% mempunyai kontrol glukosa darah yang
buruk. Ketidakpatuhan ini mengakibatkan penderita memperoleh pengobatan yang
sebenarnya tidak diperlukan, sehingga biaya perawatan menjadi semakin mahal.
Setiap peningkatan 1% HbA1c akan meningkatkan ongkos perawatan medik di atas
7%. Kepatuhan penderita terhadap pengobatan terkait dengan beberapa faktor, salah
satunya adalah pengetahuan terhadap penyakit dan manfaat yang diperoleh dari
pengobatan. Menurut PARKENI (1998) melaporkan bahwa lebih dari 50% penderita

Universitas Sumatera Utara

DM tipe 2 tidak mengetahui penyakit dan komplikasi lanjut, sehingga datang ke


rumah sakit dengan glukosa darah yang tinggi disertai berbagai komplikasi.
Telah diketahui bahwa konseling dapat mengatasi ketidakpatuhan penderita
DM. Edukasi yang baik dan tepat akan menggugah kesadaran penderita untuk mau
mengubah dan menjalankan diet yang dianjurkan, sehingga kadar glukosa darah
terkendali dengan baik dan mencegah timbulnya komplikasi. Nicolucci et al (1996)
melaporkan bahwa penderita DM yang tidak mendapatkan edukasi memiliki risiko 4
kali lebih tinggi terkena komplikasi dibandingkan yang mendapatkan edukasi. Untuk
upaya pencegahan primer, materi yang disampaikan saat konseling ditekankan pada
faktor penyebab timbulnya DM dan usaha mengurangi faktor risiko, tujuan utama
menjalankan diet, perencanaan makan, serta komplikasi DM (Waspadji, 2007).

2.5. Landasan Teori


DM

merupakan

salah

satu

penyakit

degeneratif

yang

disebabkan

ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai insulin. Beberapa faktor risiko


terjadinya penyakit DM adalah sosiodemografi meliputi umur, jenis kelamin,
pekerjaan, perilaku kesehatan serta sosio budaya masyarakat khususnya dalam
perubahan pola makan mereka (Waspadji, 2007).
Menurut Smet (1994), psikososial adalah hubungan yang dinamis antara
psikologis dan pengaruh sosial dan di antara keduanya saling mempengaruhi.
Gangguan psikososial terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan antara kedua
komponen di atas yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan, sehingga

Universitas Sumatera Utara

penderita DM harus beradaptasi untuk menghadapi perubahan tersebut. Menurut


Sarwono (2002) beberapa faktor yang termasuk dalam Psikososial antara lain
persepsi, motivasi (motif), kepercayaan dan adanya interaksi sosial. Ke empat faktor
tersebut merupakan unsur-unsur yang tidak terlepas dalam diri individu selama proses
perkembangan dan perilakunya, termasuk dalam perilaku kesehatan yaitu dalam
mengatur pola makan seimbang dan sehat.
H.L Blum (1974) bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh faktor agent yaitu
segala sesuatu penyebab terjadinya suatu penyakit, dalam hal ini berhubungan dengan
ketidakseimbang asupan makanan penderita DM, faktor host, yaitu faktor yang
bersumber dari individu seperti karakteristik individu dan perilaku individu serta
faktor environment yaitu faktor yang bersumber dari lingkungan, seperti lingkungan
fisik dan sosial.

2.6. Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan rumusan teori tersebut, maka peneliti dapat merumuskan
kerangka konsep penelitian serta variabel-variabel yang diteliti berikut ini:

Faktor Psikososial
1. Motivasi Diri
2. Persepsi
3. Kepercayaan Diri
4. Dukungan Keluarga

Pola Makan Penderita DM

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Gambar 2.1, diketahui bahwa variabel independen dalam


penelitian ini adalah variabel psikososial yang terdiri dari variabel motivasi diri,
persepsi, kepercayan diri dan dukungan keluarga. Sedangkan variabel dependen
dalam penelitian ini adalah variabel pola makan penderita DM yang dilihat dari
jumlah asupan energi,jadwal makan dan jenis makanan yang dikonsum

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai