Anda di halaman 1dari 26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
a. Karakteristik keluarga yang merawat lansia
Gambaran deskriptif karakteristik keluarga yang dimaksud
adalah keluarga yang merawat lansia meliputi jenis kelamin, umur,
pendidikan, pekerjaan, hubungan keluarga, dan status ekonomi terkait
peran keluarga pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif di Desa
Windunegara Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas dapat dilihat
pada tabel 4.1 dibawah ini.
Tabel 4.1 Karakteristik keluarga yang merawat lansia (N=39)
No. Karakteristik
Frekuensi
Persentase %
1.
Jenis kelamin
a. Laki-laki
28
72
b. Perempuan
11
28
2.
Umur
a. 18-40 tahun
38
97
b. >40 tahun
1
3
3.
Tingkat pendidikan
a. SLTA/Sederajat
9
23
b. SLTP/Sederajat
6
15
c. Tamat SD
23
59
d. Tidak Tamat SD
1
3
4.
Status Ekonomi Keluarga
a. Rendah (< Rp.795.000,00) 33
85
b. Tinggi (>Rp. 795.000,00) 6
15
Berdasarkan tabel 4.1 diatas terlihat bahwa karakteristik
keluarga responden yang tinggal dengan lansia di Desa Windunegara
Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas sebagian besar berjenis

43

44

kelamin laki-laki (72%), berumur 18-40 tahun (97%), pendidikan


terakhir tamat SD (59%), dan status ekonomi rendah (85%).
b. Karakteristik Lansia
Jumlah responden yang memenuhi kriteria inklusi pada
penelitian ini adalah 39 lansia yang tinggal dengan keluarga yang
terdistribusi pada 4 RW di Desa Windunegara Kecamatan Wangon
Kabupaten Banyumas. Berikut ini adalah gambaran karakteristik
lansia, yang meliputi jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan.
Table 4.2 Karakteristik lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(N=39)
No. Karakteristik
Frekuensi
Persentase %
1.
Jenis kelamin
a. Laki-laki
26
67
b. Perempuan
13
33
2.
Usia lansia
a. Lansia dini (60-74 tahun) 29
75
b. Lansia tua (75 tahun)
10
25
3.
Tingkat pendidikan
a. Tamat SD
1
3
b. Tidak Tamat SD
34
87
c. Tidak sekolah
4
10
Berdasarkan tabel 4.2, tergambar bahwa sebagian besar lansia berjenis
kelamin laki-laki (67%), berusia 60-74 tahun (75%), dan memiliki
tingkat pendidikan tidak tamat SD (87%).
2. Gambaran peran keluarga dalam merawat lansia dengan gangguan
fungsi kognitif.
Gambaran diskriptif variabel peran keluarga meliputi peran
motivator, edukator, dan fasilitator dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah
ini:

45

Tabel 4.3 Profil skor tiap domain peran keluarga (N=39)


Skor
Skor
Skor RataDomain
Minimum
Maksimum
rata
Motivator
20.83
75.00
49.36
Edukator
33.33
66.67
51.97
Fasilitator
33.33
51.97
56.63

Std.
Deviation
10.19
10.17
10.50

Melalui tabel 4.3 dapat terlihat bahwa skor rata-rata tertinggi


adalah domain peran fasilitator 56.62 kemudian dilanjutkan dengan
domain peran edukator 51.97 dan domain peran motivator 49.36. Selain
itu, dapat terlihat juga bahwa domain peran falisitator memiliki standar
deviasi sebesar 10.50.
3. Gambaran kualitas hidup pada lansia yang mengalami gangguan
fungsi kognitif.
Tabel 4.4 di bawah ini adalah tabel profil skor tiap domain
kualitas hidup yang memberikan gambaran statistik deskriptif dari tiap
dimensi kualitas hidup.
Tabel 4.4 Profil skor tiap domain kualitas hidup (N=39)
Skor
Skor
Skor
Domain
Minimum
Maksimum Rata-rata
Kesehatan Fisik
35.71
75.00
53.75
Kesejahteraan
45.83
87.50
62.61
Psikologis
Hubungan Sosial
50.00
100.00
70.08
Lingkungan
43.75
78.13
55.61

Std.
Deviation
8.27
9.24
13.61
7.89

Berdasarkan tabel 4.4 dapat terlihat dari skor rata-rata, dimensi


hubungan sosial memiliki nilai paling tinggi yaitu 70.08 dibandingkan
nilai domain lainnya. Domain selanjutnya yaitu domain kesejahteraan
psikologis (62.61), domain lingkungan (55.61), dan yang terakhir adalah
domain kesehatan fisik (53.75). Dari tabel 4.4 diatas didapat pula

46

hubungan sosial yang memiliki nilai standar deviasi paling besar


dibandingkan ketiga dimensi lainnya, yaitu 13.61.
WHOQOL-BREF juga mengukur kualitas hidup secara umum
yaitu kualitas hidup secara keseluruhan dan kesehatan secara umum. Nilai
skor kualitas hidup yang pertama adalah (QOL1) dari kuesioner WHOBREF. Pada bagian pertama alat ukur kualitas hidup, terdapat pertanyaan
yang berbunyi bagaimana menurut anda tentang kualitas hidup anda?.
Pertanyaan inilah yang dimaksud oleh peneliti sebagai kualitas hidup
yang dipersepsikan.
Tabel 4.5 Profil kualitas hidup secara umum (N=39).
Skor
Skor
Skor RataMinimum
Maksimum
rata
Kualitas
50
75
51.92
hidup

Std.
Deviation
6.74

Berdasarkan tabel 4.5 diatas didapatkan bahwa skor rata-rata


kualitas hidup yang dipersepsikan oleh lansia yang mengalami gangguan
fungsi kognitif ringan adalah 51.92, dengan standar deviasi 6.74.
Tabel 4.6 Profil kesehatan secara umum (N=39).
Skor
Skor
Minimum
Maksimum
Kepuasan
terhadap
25
100
Kesehatan

Skor
Rata-rata

Std.
Deviation

55.76

15.57

Berdasarkan tabel 4.6 diatas didapatkan rata-rata kesehatan secara


umum yang dipersepsikan oleh responden adalah 55.76 dengan standar
deviasi 15.57. Skor terendah 25 dan tertinggi 100.

47

4. Hubungan peran keluarga dan kualitas hidup


a.

Hubungan skor domain peran keluarga dengan skor domain


kualitas hidup.
Tabel 4.7 Hubungan antara domain peran keluarga dengan domain
kualtas hidup.
Peran
Peran
Peran
Domain
Motivator
Edukator Fasilitator
Kesehatan Fisik
Kesejahteraan Psikologis
Hubungan Sosial
Lingkungan
* Signifikan pada level 0.05
** Signifikan pada level 0.01

.304
.069
.029
.400*

-.198
-.115
.183
.225

.103
.138
.432**
.532**

Berdasarkan tabel 4.7 terlihat bahwa domain peran keluarga


sebagai motivator memiliki korelasi yang signifikan dengan dimensi
lingkungan sebesar 0.400 pada level 0.05. Hubungan ini bersifat
positif dengan kekuatan korelasi sedang. Domain peran keluarga
sebagai fasilitator memiliki korelasi yang signifikan dengan domain
hubungan sosial (0.432 pada level 0.01) dan domain lingkungan
(0.532 pada level 0.01). Hubungan ini bersifat positif dengan kekuatan
korelasi sedang.
b. Hubungan skor total peran keluarga dengan skor total kualitas
hidup.
Hasil pada tabel 4.8 menjawab dari tujuan penelitian yaitu
mencari ada tidaknya hubungan atara peran keluarga dengan kualitas
hidup lansia dengan gangguan fungsi kognitif di Desa Windunegara
Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas.

48

Tabel 4.8 Hubungan peran keluarga dengan kualitas hidup (N=39).


Skor total peran keluarga
Skor total kualitas hidup
r
.392*
p
.014
* Signifikan pada level 0.05
Berdasarkan tabel

4.8

diperoleh nilai

signifikan 0.014

menunjukkan bahwa ada korelasi antara peran keluarga dengan


kualitas hidup adalah bermakna. Nilai korelasi Pearson sebesar 0.392
menunjukkan kekuatan korelasi lemah. Korelasi menunjukkan nilai
positif, artinya semakin baik peran keluarga yang diberikan maka akan
meningkatkan kualitas hidup lansia yang mengalami gangguan fungsi
kognitif.
B. Pembahasan
1. Karakteristik responden
a. Karakteristik keluarga yang merawat lansia
a. Jenis kelamin
Keluarga yang tinggal dengan lansia mayoritas anak kandung dan
lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki. Orang yang merawat
lansia sebagian besar adalah pasangannya, karena kebanyakan
perempuan tidak bekerja mencari nafkah. Menurut Stuart &
Sundenn (dalam Patriyani, 2009) mengemukakan bahwa merawat
dan berperilaku caring tidak dapat diturunkan secara genetik, tetapi
ditentukan oleh aspek waktu, energi, keterampilan dan dapat
ditingkatkan melalui budaya, serta dengan mengembangkan
pengetahuan dan meningkatkan kualitas hubungan interpersonal
melalui peningkatan kemampuan dan keterbukaan. Dengan
demikian merawat lansia dengan gangguan fungsi kognitif dapat

49

dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, karena hal tersebut


dapat dipelajari.
b. Umur keluarga responden
Hasil penelitian ini keluarga yang merawat lansia lebih banyak
yang berumur 18-40 tahun dibandingkan umur lebih dari 40 tahun.
Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Narniani (2009)
yang menunjukkan bahwa rata-rata umur keluarga yang merawat
lansia adalah 21-30 tahun. Pada rentang umur tersebut reponden
mempunyai pengalaman dalam merawat usia lanjut. Menurut
Purwaningsih (dalam Patriyani, 2009) merawat lansia tidak ada
hubungannya dengan umur keluarga yang merawat, akan tetapi
berhubungan dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
keluarga yang merawat.
c. Tingkat pendidikan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga
yang merawat lansia hanya memiliki pendidikan terakhir adalah
tamat SD. Pendidikan keluarga merupakan salah satu input dalam
proses

terbentuknya

satuan

keluaran

perilaku

baru

yang

berpengaruh terhadap kemampuan keluarga dalam melakukan


tindakan sesuai yang diharapkan. Sejalan dengan hal tersebut
Green & Notoatmojo (dalam Patriyani, 2009) menyatakan bahwa
pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi pada
seseorang dalam pembentukan perilaku kesehatan untuk melakukan

50

tindakan terkait dengan kesehatan diri serta memberi dukungan


keluarga pada lansia yang mengalami demensia.
d. Status Ekonomi Keluarga
Hasil penelitian ini menunjukkan keluarga yang merawat lansia
sebagian besar status ekonomi rendah. Menurut Putra, Hidayat, dan
Aisyah (2010) menyatakan bahwa keluarga dengan keadaan
ekonomi yang baik akan menunjang status kesehatan lansia dengan
baik. Hal tersebut menggambarkan bahwa keadaan sosial ekonomi
keluarga mungkin akan mempengaruhi kemampuan keluarga dalam
merawat lansia. Menurut Boedhi, dkk (dalam Patriyani, 2009)
menyatakan bahwa sosial ekonomi keluarga yang memadai
diharapkan

dapat

meningkatkan

kesejahteraan

psikologis,

meningkatkan semangat, dan memotivasi lansia demensia untuk


selalu bersikap dan berprilaku sehat.
b. Karakteristik lansia
1) Jenis kelamin lansia
Berdasarkan hasil penelitian ini gangguan fungsi kognitif ringan
lebih banyak dialami oleh lansia berjenis kelamin laki-laki di
bandingkan perempuan. Hal ini berbeda dengan penelitian
Rekawati & Japardi (dalam Patriyani, 2009) yang menyatakan
bahwa perempuan mempunyai risiko terjadinya kepikunan sebesar
1.393 kali atau tiga kali lipat dibandingkan laki-laki. Hal ini
mungkin disebabkan karena usia harapan hidup perempuan lebih

51

lama dibandingkan dengan laki-laki. Semakin tinggi usia harapan


hidup perempuan maka semakin lama kesempatan lansia
perempuan untuk hidup, sehingga semakin besar kemungkinan
mengalami ganggua fungsi kognitif. Selain itu, menurut Yaffe,
dkk (dalam Myers, 2008) wanita berisiko mengalami penurunan
fungsi kognitif disebabkan karena adanya peranan hormon seks
endogen dalam perubahan fungsi kognitif. Meskipun demikian
berdasarkan penelitian Patriyani (2009) diketahui bahwa tidak ada
perbedaan signifikan rata-rata skor MMSE lansia yang berjenis
kelamin laki-laki dengan perempuan. Penurunan fungsi kognitif
dapat terjadi pada semua jenis kelamin.
2) Usia lansia
Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah lansia yang mengalami
gangguan fungsi kognitif lebih banyak pada umur 60-74 tahun di
bandingkan dengan umur 75 keatas. Hal tersebut dikarenankan
sampel yang tidak berimbang antara lansia yang berumur 60-74
tahun dengan berumur diatas 75 tahun. Menurut Sacanlan et al
(dalam Zulsita, 2010) menyatakan bahwa ada hubungan yang
positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif, artinya semakin
tua umur lansia semakin berisiko mengalami gangguan fungsi
kognitif. Lansia yang berumur 74-80 tahun mempunyai risiko
terjadinya gangguan fungsi kognitif sebesar 3.4 kali lebih berisiko
dibandingkan dengan lansia yang berumur 60-74 tahun dan usia

52

lebih dari 80 tahun mempunyai peluang 6.4 kali lebih besar untuk
mengalami gangguan fungsi kognitif dibandingkan umur 76-80
tahun (Rekawati dalam Patriyani, 2009). Semakin bertambah umur
maka semakin besar prevalensi dan semakin berat gangguan
fungsi kognitif yang dialami lansia. Hal ini disebabkan karena usia
merupakan faktor utama terjadinya gangguan fungsi kognitif
(Patriyani, 2009).
3) Tingkat pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian ini sebagian besar lansia mempunyai
tingkat pendidikan terakhir tidak tamat SD. Menurut Shadlen et al
(dalam Chen, Lin dan Chen, 2009) menyatakan bahwa seseorang
yang berpendidikan rendah mempunyai risiko terjadinya gangguan
fungsi kognitif/ demensia dua kali lebih besar dibandingkan
dengan seseorang yang memiliki pendidikan tinggi. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Coffey (dalam Patriyani, 2009)
menyatakan bahwa semakin banyak pendidikan yang dikenyam
seseorang, maka semakin kecil kemungkinan terjadinya demensia.
Setiap tahun jenjang pendidikan seseorang akan memperlambat
penurunan daya ingat hingga 2.5 bulan.
2. Gambaran peran keluarga dalam merawat lansia.
Hasil penelitian pada tabel 4.3 dapat terlihat bahwa skor rata-rata
tertinggi adalah domain peran fasilitator (56.62) kemudian dilanjutkan

53

dengan domain peran edukator (51.97) dan domain peran motivator


(49.36).
Penelitian ini menunjukkan bahwa peran keluarga sebagai
motivator memiliki skor rata-rata paling rendah dibandingkan ke dua
domain peran keluarga lainnya. Menurut Friedman (dalam Putra, Hidayat
dan Aisyah, 2010) peran motivator yang dimaksud adalah keluarga
memberikan motivasi kepada lansia untuk dapat menjalani sisa hidupnya
serta dapat menjaga kesehatannya dengan baik. Bentuk dari dukungan
keluarga yang dapat diberikan pada lansia demensia adalah dukungan
psikologis, dukungan penghargaan, dukungan istrumental, dan dukungan
informasi (Smet, Bomar, dan Miller dalam Patriyani, 2009).
Menurut Patriyani (2009) dukungan keluarga yang paling
berpengaruh terhadap baik buruknya gangguan fungsi kognitif adalah
dukungan psikologis karena dapat meningkatkan semangat dan motivasi
lansia untuk bersikap dan berperilaku hidup sehat. Menurut Sarafino
(dalam Patriyani, 2009) perilaku keluarga dalam memberikan dukungan
psikologis meliputi kasih sayang pada lansia, bersikap ramah, tidak
bersitegang atau konfrontasi dan menunjukkan penampilan yang selalu
siap untuk membantu lansia. Lansia yang mnedapatkan dukungan dari
keluarga

dapat

meningkatkan

semangat

hidup

dan

menambah

ketentraman dalam hidup lansia (Listiowati, 2006).


Hasil lainnya dari penelitian ini adalah peran keluarga sebagai
edukator memiliki skor rata-rata yang lebih rendah dari peran fasilitator

54

dan lebih tinggi dari motivator. Dalam menjalankan perannya sebagai


educator, keluarga diharapkan dapat memberikan informasi tentang
kesehatan pada lansia. Hal ini dapat berfungsi sebagai usaha promotif dari
keluarga, supaya tidak bertambah berat gangguan fungsi kognitif yang
dialami. Hal yang mungkin mempengaruhi rendahnya peran edukator
keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga menganggap keadaan lansia
yang pikun, mudah lupa, linglung adalah hal yang biasa terjadi pada
lansia. Selain itu latar belakang pendidikan keluarga yang rendah yaitu
hanya tamat SD mungkin mempengaruhi kemampuan keluarga untuk
memberikan informasi yang mencukupi.
Latar belakang pendidikan mempengaruhi sikap keluarga dalam
memberikan perawatan terhadap lansia (Lueckenotte, Purwanto dan
Erawati dalam Patriyani, 2009). Keluarga dengan latar belakang
pendidikan yang tinggi akan mengaplikasikan perannya sebagai edukator
dengan baik. Peran edukator yang dimaksud adalah memberikan
informasi atau pendidikan kesehatan kepada lansia sehingga lansia tahu
apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan untuk meningkatkan
kesehatannya (Putra, Hidayat dan Aisyah, 2010). Sejalan dengan hal
tersebut, Listiowati (dalam Patriyani, 2009) menyatakan bahwa keluarga
sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan serta membantu
penguasan emosi dan tempat memberikan informasi. Namun menurut
Patriyani (2009) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara dukungan informasi dengan tingkatan demensia yang dialami

55

lansia. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar keluarga berpendidikan


rendah, belum mendapat penyuluhan tentang perawatan lansia demensia
dan keterlibatan keluarga dalam pelayanan kesehatannya, serta keluarga
menganggap lansia demensia adalah hal yang biasa terjadi.
Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa peran
fasilitator memiliki skor rata-rata tertinggi dibandingkan peran keluarga
lainnya. Dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator, keluarga
diharapkan mampu membimbing membantu, dan mengalokasikan
sumber-sumber untuk memenuhi kebutuhan lansia dan upaya ini juga
dapat berfungsi sebagai rehabilitatif maupun kuratif (Friedman dalam
Putra, Hidayat, dan Aisyah, 2010). Peran fasilitator yang diberikan
keluarga adalah meluangkan waktu untuk berkumpul dengan lansia dan
anggota keluarga lainnya, memberikan waktu kepada lansia untuk
istirahat lebih kurang 1-2 jam dalam sehari, mendengarkan keluhankeluhan lansia, membantu menyiapkan makanan untuk meningkatkan
selera makan lansia, membawa lansia ke pelayanan kesehatan terdekat
ketika mengalami masalah dengan kesehatannya, serta membantu
memenuhi kebutuhan sehari-hari lansia. Hal tersebut sangat berhubungan
dengan keadaan sosial ekonomi keluarga. Keluarga dengan keadaan
ekonomi yang mapan maka cenderung memiliki sumber-sumber lebih
besar untuk dialokasikan menjamin keadaan kesehatan lansia, sebagai
contoh membawa lansia untuk mengontrolkan kesehatan secara teratur di
Puskesmas.

56

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga


memiliki pendapatan di bawah UMR (<Rp 795.00,00). Namun
demikian,peneliti mendapati bahwa keluarga tetap telaten, sabar, serta
melibatkan keluarga lain jika mengalami kesulitan berkaitan dengan
perawatan anggota keluarga yang berusia lanjut. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian Patriyani (2009) yang mendapati bahwa keluarga baik
yang mempunyai status ekonomi rendah maupun tinggi tetap merawat
lansia dengan sepenuh hati, sabar, telaten, melibatkan lansia dalam
kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
3. Gambaran kualitas hidup pada lansia yang mengalami gangguan
fungsi kognitif.
Berkaitan dengan kualitas hidup, penelitian ini menunjukkan
bahwa skor tertinggi kualitas hidup terdapat pada domain hubungan sosial.
Lansia yang tinggal di pedesaan atau rural cenderung memiliki hubungan
sosial yang kuat, baik dengan keluarga maupun tetangga sekitar rumah.
Hubungan sosial yang kuat dapat ditunjukkan oleh berbagai jenis kegiatan
yang ada di masyarakat pedesaan, seperti kumpulan RT, tahlilan bagi
lansia laki-laki, arisan dan yasinan. Interaksi sosial dapat dipertahankan
melalui sebuah perkumpulan, memelihara keharmonisan dalam keluarga,
melakukan interaksi dengan orang lain, serta mencegah isolasi
(Rantepadang, 2012). Sejalan dengan penelitian Rini (dalam Setyoadi,
Noerhamdani, dan Ernawati, 2011) menyatakan bahwa ada pengaruh peer
group support terhadap interaksi sosial lansia. Peer group support

57

membantu lansia mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan sesamanya


sehingga akan terbentuk hubungan yang positif dalam diri lansia dan
hubungan sosialnya akan meningkat.
Logsdon, et al; Ready, et al; Burgener, & Twigg (dalam Hoe et al,
2006) menyatakan bahwa lansia dengan gangguan fungsi kognitif akan
mengalami masalah dalam kehidupannya sosialnya. Hal tersebut
disebabkan oleh masalah kesehatan fisik dan depresi yang akan membatasi
untuk beraktivitas di kehidupan sosialnya.
Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
domain psikologis memiliki skor rata-rata lebih besar dari domain
lingkungan dan kesehatan fisik, namun rendah dari domain hubungan.
Domain ksehatan psikologis menurut World Health Organization Quality
of Life (WHOQOL) berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif
spiritual, pemikiran, konsentrasi dan daya ingat, gambaran diri, serta
penghargaan

terhadap

diri.

Menurut

Asosiasi

Psychogeriatric

Internasional (dalam Khairiah dan Margono, 2012) gangguan psikologis


yang dialami oleh orang dengan gangguan fungsi kognitif meliputi gejala
gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang mereka sebut
dengan istilah Behavioral and Psychological Symptoms of Dementia
(BPSD). Angka untuk BPSD sendiri meingkat sampai hampir 80% pada
pasien dengan demensia.
Berdasarkan hasil penelitian ini domain lingkungan pada lansia
yang mengalami gangguan fungsi kognitif di Desa Windunegara memiliki

58

skor rata-rata 55.61. Skor tersebut lebih tinggi dari domain kesehatan fisik
tetapi lebih rendah dari domain hubungan sosial dan psikologi. Hal ini
dapat dikaitkan dengan faktor sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang
rendah. Penelitian Setyoadi, Noerhamdani, dan Ernawati (2011)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan perekonomian memegang
peranan penting terhadap lingkungan, sebab berkaitan dengan kemampuan
pemenuhan akan lingkungan yang layak dan memadai, diantaranya tempat
tinggal yang bersih dan sehat, ketersediaan informasi, transportasi dan
keterjangkauan terhadap kesehatan.
Menurut Phair and Heath (2001) lansia dengan gangguan fungsi
kognitif/ demensia mengalami penurunan kemampuan dalam adaptasi
terhadap lingkungannya. Lansia dengan gangguan fungsi kognitif mulai
kebingungan/ tidak mampu mengenali tempat yang biasanya ditinggali.
Sejalan dengan Nightingale (dalam Phair and Heath, 2001) percaya bahwa
fokus utama untuk keperawatan adalah untuk mengubah lingkungan fisik
untuk menempatkan tubuh manusia dalam kondisi aman serta nyaman
menjalani kehidupan. Lingkungan yang dirubah sesuai dengan kondisi
lansia yang mengalami gangguan fungsi kognitif dari segi kenyamanan
dan keamanan, diharapakan dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Berdasarkan hasil penelitian ini domain kesehatan fisik pada lansia
yang mengalami gangguan fungsi kognitif memiliki skor rata-rata paling
rendah dari ketiga domain kualitas hidup lainnya yaitu sebesar 53.75.
Menurut Rohana (2011) menyatakan bahwa kemunduran fungsi kognitif

59

akibat penuaan dapat dihambat salah satu upayanya yaitu dengan menjaga
kesehatan fisik. Kesehatan dan kebugaran fisik dapat dijaga dengan
melakukan gerakan olahraga atau latihan fisik secara teratur. Pemberian
latihan olahraga pada usia lanjut dimulai dengan intensitas dan waktu yang
ringan kemudian meningkat secara pelahan-lahan serta tidak bersifat
kompetitif mempunyai manfaat besar. Hal tersebut dapat meningkatkan
kemampuan aerobik yaitu akan meningkatkan aliran dan volume pasokan
darah yang membawa oksigen ke organ-organ tubuh terutama ke organ
otak, sehingga lansia dapat memperoleh kesehatan jasmani yang baik serta
kualitas hidup lansia dapat meningkat.
Berdasarkan data hasil penelitian ini didapatkan skor rata-rata
kualitas hidup yang dipersepsikan oleh lansia dengan gangguan fungsi
kognitif sebesar 51.93. Menurut Cahill dan Diaz (2012) persepsi tentang
kualitas hidup bervariasi antara kelompok orang yang berbeda. Misalnya
pada professional kesehatan, pandangan tentang kualitas hidup sangat
terkait dengan rasa sakit yang dialami, kemampuan daya ingat, kesehatan
fisik dan kebebasan. Sedangakan pada kelompok lansia dengan gangguan
fungsi kognitif lebih cenderung mengartikan kualitas hidupnya dengan
frekuensi interaksi dengan keluarga, perasan tetap berguna dan tetap aktif
dalam kehidupan sehari-hari.
Lansia yang mengalami penurunan baik dari fisik, kesehatan dan
daya ingat, hal tersebut dianggap kejadian yang wajar ketika seseorang
sudah tua/ lanjut usia. Hal ini sesuai dengan teori tugas perkembangan

60

Havighurst, yang menyatakan bahwa lansia berada pada fase later


maturity yang berarti mampu menyesuaikan diri terhadap penurunan
kekuatan fisik, pensiun, penurunan income, kematian pasangan, berkumpul
dengan orang yang seumur dan mempertahankan kepuasan hidup.
Penyesuaian

diri

terhadap

berbagai

perubahan

aspek

kehidupan

menyebabkan lansia mampu menerima keadaanya. Penerimaan tersebut


akan memberikan pengaruh positif terhadap kualitas hidup lansia
(Setyoadi, Noerhamdani, dan Ernawati, 2011).
Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian ini dikethui bahwa
persepsi lansia tentang kepuasan kesehatan memiliki skor rata-rata 55.76.
Hal ini berkaitan dengan gangguan fungsi kognitif yang tidak secara
langsung berdampak pada kesehatan secara umum. Namun jika lansia
dengan gangguan fungsi kognitif tidak menjaga kondisi kesehatan dan
kebugaran fisiknya, maka akan memperburuk gangguan fungsi kognitif
yang dialami oleh lansia. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Markam
(dalam Rohana, 2011) salah satu upaya untuk menghambat kemunduran
kognitif akibat penuaan yaitu dengan melakukan gerakan olahraga atau
latihan fisik. Latihan fisik/ olahraga/senam bagi lanjut usia mempunyai
manfaat besar karena dapat meningkatkan kemampuan aerobik yaitu akan
meningkatkan aliran dan volume pasokan darah yang membawa oksigen
ke organ-organ tubuh terutama ke organ otak. Efek yang lain yang
diperoleh lansia adalah bisa tidur lebih nyenyak dan menjaga pikiran tetap
segar. Olahraga secara rutin selain melatih otak juga sangat bermanfaat

61

untuk

mempertahankan

kebugaran

jasmani,

memelihara

serta

mempertahankan kesehatan di hari tua (Tilarso dalam Rohana, 2011).


4. Hubungan peran keluarga dan kualitas hidup.
a. Hubungan skor domain peran keluarga dengan skor domain
kualitas hidup.
Berdasarkan tabel 4.4 terlihat bahwa skor domain peran keluarga
memiliki hubungan signifikan dengan skor domain kualitas hidup dengan
penjabaran sebagai berikut :
1) Peran keluarga sebagai motivator memiliki korelasi yang signifikan
dengan domain lingkungan sebesar 0.400 pada level 0.05.
Hubungan ini bersifat positif dengan kekuatan korelasi sedang.
Hubungan tersebut berarti semakin tinggi motivasi keluarga terhadap
lansia semakin baik juga pandangan lansia terhadap keadaan kualitas
lingkungannya. Keluarga dalam hal ini mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kesehatan setiap anggota keluarganya (Friedman
dalam Saragih, 2010). Hal tersebut berkaitan dengan peran keluarga
sebagai motivator, yaitu keluarga memberikan dukungan kepada
lansia untuk menjaga kesehatannya serta dapat menjalani sisa
hidupnya dengan baik (Putra, Hidayat, dan Aisyah, 2010).
Kualitas lingkungan dapat ditingkatkan dengan memenuhi
berbagai faktor dari segi informasi, transportasi, dan mewujudkan
lingkungan yang aman, nyaman, bersih, dan sehat (Setyoadi,
Noerhamdani, dan Ernawati, 2011). Keamanan dan kenyaman

62

terhadap tempat tinggal sebagian besar dirasakan lansia yang tinggal


bersama keluarganya (Watson dalam Patriyani, 2009). Ketenangan,
ketenteraman hidup, rasa bahagia yang ada pada lansia diperoleh
dengan adanya dukungan yang diberikan oleh keluarga lansia
(Listiowati dalam Patriyani, 2009). Lansia dengan demensia
mengalami kesusahan dalam hal beradaptasi terhadap lingkungannya.
Keadaan tersebut membuat lansia mengalami stress psikologis,
sehingga prioritas utama untuk lansia dengan gangguan fungsi
kognitif/ demensia adalah menjaga keamana serta nyamanan tempat
dimana lansia tinggal (Phair and Heath, 2001). Menurut Patriyani
(2009) dukungan keluarga yang paling berpengaruh terhadap tingkat
demensia yang dialami lansia adalah dukungan psikologis karena
dapat meningkatkan semangat dan motivasi lansia untuk bersikap
,berperilaku serta mempertahankan kesehatannya, sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup lansia dengan gangguan fungsi kognitif/
demensia supaya tidak bertambah berat gangguan fungsi kognitif/
demensia yang dialami.
2) Peran keluarga sebagai fasilitator memiliki korelasi yang signifikan
dengan domain hubungan sosial (0.432 pada level 0.01) dan domain
lingkungan (0.532 pada level 0.01). Hubungan keduanya bersifat
positif dengan kekuatan korelasi sedang. Hal tersebut berarti semakin
tinggi peran fasilitator keluarga maka semakin tinggi pula persepsi
responden tentang hubungan sosial dan lingkungannya.

63

a)

Peran keluarga sebagai fasilitator memiliki korelasi yang


signifikan dengan domain hubungan sosial (0.432 pada level
0.01), hubungan bersifat positif.
Hasil penelitian tersebut dapat diartikan bahwa semakin
tinggi peran keluarga sebagai fasilitator lansia maka semakin
baik lansia dalam hubungan sosialnya. Keluarga diharapkan
mampu membimbing membantu, dan mengalokasikan sumbersumber untuk memenuhi kebutuhan lansia (Friedman dalam
Putra, Hidayat, dan Aisyah, 2010). Keluarga hendaknya
membantu lansia mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan
sesamanya sehingga akan terbentuk hubungan yang positif
dalam diri lansia dan hubungan sosialnya akan meningkat.
Sejalan dengan (Kuntjoro dalam Fitria, 2011) yang menyatakan
bahwa hubungan sosial memungkinkan lansia memperoleh
perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya
untuk membagi minat, perhatian, serta melakukan kegiatan yang
sifatnya kreatif secara bersama-sama. Hal tersebut juga
didukung oleh penelitian Rini (dalam Setyoadi, Noerhamdani,
dan Ernawati, 2011) yang menyatakan ada pengaruh peer group
support terhadap interaksi sosial. Peer group support membantu
lansia mendapatkan kesempatan berinteraksi dengan sesamanya
sehingga akan terbentuk hubungan yang positif dalam diri lansia
dan hubungan sosialnya akan meningkat.

64

b)

Hasil dari penelitian didapatkan adanya korelasi yang


signifikan antara peran keluarga pada domain fasilitator dengan
domain lingkungan (0.532 pada level 0.01).
Menurut data hasil penelitian tersebut dapat diartikan
bahwa semakin tinggi peran keluarga sebagai fasilitator maka
semakin baik juga pandangan lansia terhadap keadaan kualitas
lingkungannya. Kualitas hidup ditinjau dari lingkungan pada
lansia di komunitas berkaitan dengan tingkat pendidikan dan
ekonomi lansia. Menurut Putra, Hidayat, dan Aisyah (2010)
masalah ekonomi berperan serta mempengaruhi baik buruknya
peran keluarga dalam hal fasilitator. Penghasilan keluarga yang
terbilang cukup, sangat memabantu keluarga dalam memenuhi
semua kebutuhan lansia. Selain itu untuk memenuhi rasa aman
serta nyaman lansia terhadap lingkungan tempat tinggalnya
dibutuhkan adanya dukungan emosional dari keluarga, terlebih
lansia dengan gangguan fungsi kognitif.
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam
perawatan lansia yang mengalami gangguan fungsi kognitif di
rumah. Perlu persiapan khusus untuk hidup bersama dengan
lansia dengan gangguan fungsi kognitif. Persiapan yang dapat
dilakukan berupa mental dan lingkungan. Secara mental
keluarga harus dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi
dan keluarga diharapkan dapat menyediakan lingkungan yang

65

mendukung bagi lansia, yaitu lingkungan yang membuat lansia


merasa nyaman. sehingga keluarga khususnya caregiver dapat
memberikan perawatan yang optimal bagi lansia. Merawat
lansia dengan gangguan fingsi kognitif sebaiknya lebih teliti
seperti merawat tubuh, menjaga keamanan dari bahaya,
memelihara kebersihan dan mengontrol tingkah laku lansia dan
juga merawat jiwa lansia untuk tetap hidup (Touhy dalam
Widyastuti, Sahar, dan Permatasari, 2011).
3) Hubungan antara domain peran edukator dengan masing-masing
domain kualitas hidup.
Peran keluarga sebagai edukator merupakan suatu peran yang
diharapkan dapat memberikan informasi tentang kesehatan pada
lansia. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan tingkat pengetahuan
yang dimiliki oleh keluarga, sebab pengetahuan merupakan salah satu
faktor predisposisi pada seseorang dalam pembentukan perilaku
kesehatan untuk melakukan tindakan terkait dengan kesehatan
(Notoatmojo dalam Patriyani, 2009). Peran edukator keluarga
diperlukan

karena

lansia

membutuhkan

informasi

tentang

kesehatannya khususnya untuk tetap menjalankan aktivitas seharihari, menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh sehingga gangguan
fungsi kognitif yang dialami tidak semakin berat.
Hasil dari uji person product moment menunjukkan bahwa
domain peran keluarga sebagai edukator tidak memiliki korelasi yang

66

signifikan dengan domain-domain dari kualitas hidup. Hal ini


berkaitan dengan sebagian besar keluarga yang merawat lansia
berpendidikan rendah sehingga berdampak pada kemampuan
keluarga dalam memberikan pendidikan kesehatan. Selain itu
keluarga belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang perawatan
lansia dengan gangguan fungsi kognitif, serta keluarga menganggap
keadaan lansia yang mudah lupa atau mengalami gangguan fungsi
kognitif adalah hal yang biasa terjadi.
b. Hubungan skor total peran keluarga dengan skor total kualitas
hidup.
Berdasarkan dari hasil uji korelasi pearson product moment
didapatkan nilai signifikan sebesar 0.014, menunjukkan bahwa korelasi
antara peran keluarga dengan kualitas hidup adalah bermakna. Nilai
korelasi Pearson sebesar 0.392 menunjukkan korelasi positif dengan
kekuatan korelasi lemah.
Sejalan dengan penelitian Putri dan Permana (2012) yang
menyatakan bahwa ada salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat kualitas hidup seseorang yaitu interaksi sosial. Interaksi sosial
adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain sebagai bagian dari
komunitas sosial. Interaksi sosial dimulai dari keluarga, teman dekat,
rekan kerja, hingga komunitas umum. Interaksi sosial dalam keluarga
dapat berjalan dengan baik apabila keluarga menjalankan fungsi serta
peran keluarga dengan baik. Hal ini didukung oleh penelitian Raharjo

67

(2008) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi perhatian keluarga


yang diperoleh lanjut usia, maka semakin tinggi kualitas hidupnya.
Penelitian ini menunjukkan adanya faktor keluarga yang dapat
mempengaruhi tingkat kualitas hidup dari lansia. Hal ini dikarenakan
lanjut usia yang tinggal bersama keluarga di rumah tidak hanya
mendapatkan perawatan fisik, namun juga mendapatkan kasih sayang,
kebersamaan, interaksi atau komunikasi yang baik.
C. Keterbatasan Penelitian
Instrumen MMSE yang digunakan dalam skrening gangguan fungsi
kognitif pada lansia, peneliti kurang memperhatikan adanya false positif dan
false negatif pada individu normal di instrumen MMSE. Menurut Carpenter, et
al (2011) false positif berkaitan dengan tingkat pendidikan rendah, dan status
ekonomi rendah serta false negatif ditemukan pada populasi dengan
pendidikan yang tinggi. Pada penelitian ini ada atau tidaknya false positif dan
false negatif tidak dicermati peneliti.
Instrumen pengukuran peran keluarga mungkin pertanyaannya sedikit,
hanya 21 pertanyaan yang valid. Masing-masing domain pertanyaanya tidak
berimbang, pada domain motivator ada 8 pertanyaan, domain edukator 5
pertanyaan, dan domain fasilitator ada 8 pertanyaan. Namun secara umum
sudah bisa menggambarkan peran keluarga.
Pengukuran peran keluarga dan kualitas hidup lansia bersifat rentang,
kemungkinan responden mengalami kesulitan untuk memilih jawaban yang
tersedia, apalagi rentang yang disediakan untuk peran keluarga ada empat

68

sedangkan kualitas hidup ada lima. Kebenaran pengisian kuesioner ini sangat
dipengaruhi oleh kejujuran dan pemahaman responden terhadap peran
keluarga yang sudah diberikan pada lansia serta kualitas hidup lansia
berdasarkan persespi masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai