PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering
terjadi pada anak, terdiri dari gejala klinis berupa proteinuria masif 40
mg/m2LPB/jam, hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan hiperkolesterolemia
>200 mg/dL. Penyebab pasti dari sindrom nefrotik sampai saat ini masih belum
diketahui secara pasti, namun akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun.
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris
adalah 2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik (penyebab SN tidak
jelas), dan sekunder mengikuti penyakit sistemik antara lain lupus eritematosus
sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein, dan lain lain.
Pasien yang menderita SN untuk pertama kalinya sebagian besar datang ke
rumah sakit dengan gejala edema. Gejala edema tersebut berupa pembengkakan
yang biasanya terdapat pada daerah dengan tekanan jaringan rendah seperti
kelopak mata, dada, perut, ekstremitas, skrotum, dan labia.
Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran
patologi anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya
adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif
difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan
nefropati membranosa (GNM) 1,5%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial
sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada
GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).
Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap
pengobatan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan prognosis
dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu pada saat ini
klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons klinik yaitu: Sindrom nefrotik
sensitif steroid (SNSS) dan Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM URINARIA
A. Anatomi
Ginjal adalah organ berbentuk seperti kacang berwarna merah tua,
panjangnya sekitar 12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm (kurang lebih sebesar kepalan
tangan). Setiap ginjal memiliki berat antara 125 sampai 175 g pada laki-laki dan
115 sampai 155 g pada perempuan.2
Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, di
depan dua iga terakhir, dan tiga otot besar; transversus abdominis, kuadratus
lumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh
bantalan lemak yang tebal. Tiap-tiap ginjal memiliki sebuah kelenjar adrenal di
atasnya.1
Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena tertekan
ke bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga kedua belas. Sedangkan
kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas.1
Setiap ginjal diselubungi tiga lapisan jaringan ikat, yaitu:
a) Fasia renal adalah pembungkus terluar. Pembungkus ini melabuhkan ginjal
pada struktur di sekitarnya dan mempertahankan posisi organ.
b) Lemak perirenal adalah jaringan adiposa yang terbungkus fasia ginjal. Jaringan
ini membantali ginjal dan membantu organ tetap pada posisinya.
c) Kapsul fibrosa adalah membran halus transparan yang langsung membungkus
ginjal dan dapat dengan mudah dilepas.2
Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10 sampai 12 inci
(25 hingga 30 cm), terbentang dari ginjal sampai vesika urinaria. Fungsinya
adalah menyalurkan urin ke vesika urinaria.1
Vesika urinaria adalah suatu kantong berotot yang dapat mengempis,
terletak di belakang simfisis pubis. Vesika urinaria mempunyai tiga muara; dua
dari ureter dan satu menuju uretra. Fungsi vesika urinaria adalah: (1) sebagai
tempat penyimpanan urin sebelum meninggalkan tubuh dan (2) berfungsi
mendorong urin keluar tubuh (dibantu uretra).1
Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika
urinaria sampai ke luar tubuh; panjang pada perempuan sekitar 1 inci (4 cm)
dan pada laki-laki sekitar 8 inci (20 cm). Muara uretra keluar tubuh disebut
meatus urinarius.1
penghasil urin pada ginjal. Dua sampai tiga kaliks mayor bersatu membentuk
pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal.
Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria.1
Tekanan dalam bantalan kapiler yang pertama (tempat terjadi filtrasi) adalah lebih
tinggi (40-50 mmHg), sedangkan tekanan dalam kapiler peritubular (tempat
reabsorbsi tubular kembali ke sirkulasi) adalah rendah (5-10 mmHg) dan
menyerupai kapiler di tempat lain dalam tubuh. Darah yang melewati jaringan
portal ini mengalir ke jaringan vena interlobular, arkuata, interlobar, dan vena
ginjal untuk mencapai vena kava inferior.1
(2) Pada kutub urinarius korpuskel ginjal, glomerulus memfiltrasi aliran yang
masuk ke tubulus kontortus proksimal.
Tubulus kontortus proksimal, panjangnya mencapai 15 mm dan sangat
berliku. Pada permukaan yang menghadap lumen tubulus ini terdapat sel-sel
epitel kuboid yang kaya akan mikrovilus (brush border) dan memperluas area
permukaan lumen.
Ansa Henle. Tubulus kontortus proksimal mengarah ke tungkai desenden ansa
henle yang masuk ke dalam medula, membentuk lengkungan jepit yang tajam
(lekukan), dan membalik ke atas membentuk tungkai asenden ansa henle.
a. Nefron korteks terletak di bagian terluar korteks. Nefron ini memiliki lekukan
pendek yang memanjang ke sepertiga bagian atas medula.
b. Nefron jukstamedular terletak di dekat medula. Nefron ini memiliki lekukan
panjang yang menjulur ke dalam piramida medula.
Tubulus kontortus distal juga sangat berliku, panjangnya sekitar 5 mm dan
membentuk segmen terakhir nefron.
a. Di sepanjang jalurnya, tubulus ini bersentuhan dengan dinding arteriol aferen.
Bagian tubulus yang bersentuhan dengan arteriol mengandung sel-sel
termodifikasi yang disebut macula densa. Macula densa berfungsi sebagai
suatu kemoreseptor dan distimulasi oleh penurunan ion natrium.
b. Dinding arteriol aferen yang bersebelahan dengan macula densa mengandung
sel-sel otot polos termodifikasi yang disebut sel jukstaglomerular. Sel ini
distimulasi melalui penurunan tekanan darah untuk memproduksi renin.
c. Macula densa, sel jukstaglomerular dan sel mesangium saling bekerja sama
untuk membentuk aparatus jukstaglomerular yang penting dalam pengaturan
tekanan darah.
Tubulus dan duktus pengumpul. Karena setiap tubulus pengumpul
berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan mengalir ke sejumlah
tubulus kontortus distal. Tubulus pengumpul membentuk duktus pengumpul
besar yang lurus. Duktus pengumpul membentuk tuba yang lebih besar yang
mengalirkan urine ke dalam kaliks minor. Kaliks minor bermuara ke dalam
pelvis ginjal melalui kaliks mayor. Dari pelvis ginjal, urine dialiran ke ureter
yang mengarah ke kandung kemih.2
2.2.
Remisi. : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
2.3.
10
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
Kadar albumin dan kolesterol plasma
Kadar ureum, kreatinin,serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
2.7.
11
Ekskresi protein melebihi 2 g/dL (20 g/L), dan kadar kalsium serum total
menurun, karena penurunan fraksi terikat-albumin. Kadar C3 normal.5
Anak dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1 8 tahun cenderung
menderita penyakit lesi-minimal yang respons terhadap steroid, dan terapi
kortikosteroid harus dimulai tanpa biopsi ginjal. Penyakit lesi-minimal tetap lazim
pada anak di atas usia 8 tahun yang datang dengan nefrosis, tetapi
glomerulonefritis membranosa dan membranoproliferatif menjadi semakin sering;
biopsi ginjal dianjurkan pada kelompok ini untuk menegakkan diagnosis pasti
sebelum mempertimbangkan terapi.5
2.8.
orangtua.
Pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan.
2. Pengukuran tekanan darah.
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis. INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah.4
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
12
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.4
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.4
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.4
13
14
inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.4
B. Pengobatan SN Relaps
Pengobatan SN relaps dapat diberikan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada
pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila
kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila
sejak awal ditemukan proteinuria ++ disertai edema, maka diagnosis relaps
dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.4
15
bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah
sampai 1 mg/kgbb secara alternating.4
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir.4
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan,
atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).4
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, dan
sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 812 minggu.4
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel.4
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam
dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan
dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%,
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1
16
bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah
mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia,
dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu
pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL,
hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali
setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.4
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.4
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg bb/hari selama 8
minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik
berupa kejang dan infeksi.4
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen
steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten
steroid.4
5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau
25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.
Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.4
17
18
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).4
E. Pengobatan SN Resisten Steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan
biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi
anatomi mempengaruhi prognosis.4
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena
SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada
pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.4
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial.
Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
2. Kadar kreatinin darah berkala.
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif.4
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau
klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000
mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.4
19
20
21
22
menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya
disertai penurunan fungsi ginjal. Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata
respons terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai suntuk menentukan
prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.4
23
BAB III
ILUSTRASI KASUS
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ade Riandi
Umur
: 6 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Nama ayah
: Nurhayadi
Nama ibu
: Paljal Sumarni
Alamat
: Sidodadi
Agama
: Islam
Pekerjaan ayah : PNS
Pekerjaan ibu
: Ibu Rumah Tangga
Agama
: Islam
Suku
: Aceh
Tanggal masuk RS : 09 Juni 2014
B. ANAMNESA
-
Keluhan utama
Telaah
skrotum sejak satu minggu yang lalu dan bengkaknya mengecil atau
berkurang 2-3 hari yang lalu. Os juga mengalami bengkak pada
kelopak mata dan badannya saat awal gejala dan perlahan-lahan
hilang. Sebelumnya 3 tahun yang lalu Os juga mengalami hal yang
-
sama. BAK (+) tidak nyeri, BAB (+), demam (-), batuk (-).
Riwayat penyakit dahulu
: Ibu os mengaku , os sudah sering
menghilangkan bengkak.
Riwayat kehamilan ibu : Selama hamil keadaan kesehatan ibu baik,
kunjungan antenatal dilakukan di Bidan dan ibu mendapatkan suntikan
Riwayat imunisasi
: Lengkap dengan imunisasi :
BCG
: 1 kali
Polio
: 4 kali
24
Hepatitis : 3 kali
DPT
: 3 kali
Campak : 1 kali
Riwayat tumbuh kembang : Menurut cerita Ibu pasien, riwayat tumbuh
C. STATUS PRESENT
Sensorium
: Composmentis (E4 M6 V5)
Tekanan darah : 100/70 mmHg
RR
: 28 x/i
HR
: 100 x/i
Temperatur
: 370 C
BB
: 19 kg
TB
: 110 cm
D. PEMERIKSAAN FISIK
: Bentuk simetris
Ptosis (-)
Logoftalmus (-)
Conjunctiva palpebra pucat (+)
Sklera ikterik (-)
Pupil isokor, refleks cahaya (+)
Mata cekung (-)
Hidung
: Bentuk normal
NCH (-)
Sekret (-)
Mulut
Telinga
: Bentuk normotia
Peradangan (-)
Sekret (-)
25
Leher
Thorak
Inspeksi : Bentuk dada normal dan simetris, pectus excavatum (-),
pectus
suprasternal (-).
: Nyeri tekan (+), pembesaran kelenjar (-)
Stem Fremitus ka=ki
Krepitasi subkutis (-)
Perkusi
: Sonor seluruh lapang paru (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+)
Rhokhi (-/-)
Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: ictus cordis tidak teraba (-)
Perkusi
: Tidak dilakukan
Auskultasi :
M1 > M2
A1 > A2
P1 > P2
Palpasi
Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris, sikatrik (-), vena colateral (-)
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (-), defence muscular (-)
Organomegali (- ), Masa intraabdominal (-)
Perkusi : Thympani (+), sonor memendek (+), asites (+)
Auskultasi : Peristaltik (+)
Genitalia : Laki-laki (DBN), anus (+)
Ekstremitas :
Superior : Bentuk kuku (DBN)
Ukuran jari-jari (DBN)
Jari-jari tremor (-)
Sianosis (-)
Clubbing finger (-)
Oedem (+)
Ikterik (-)
Inferior : Bentuk kuku (DBN)
Ukuran jari-jari (DBN)
Jari-jari tremor (-)
Sianosis (-)
Clubbing finger (-)
Oedem (+)
26
Ikterik (-)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
Pemeriksaan imunoserologi
HbsAg
igM anti HBc
Pemeriksaan Urin
Warna : Kuning keruh
Protein : (+3)
Bilirubin (-)
Reduksi : (-)
27
Urobilinogen : (+)
-
Sedimen
Leukosit : 0-1 /LPB
Eritrosit : (-)
Ephitel Cell : 2-4 /LPB
CA. Oxalat : 10-15 / LPB
Cylinder : (-)
Triple Phospat : 10-15 / LPB
F. DIAGNOSA BANDING
- Malnutrisi terutama protein
- Sirosis hepatis dengan assites berat (oedem)
- Congestive heart failure (CHF) oedema pada kaki
G. DIAGNOSA KERJA
- Sindroma Nefrotik
H. PENATALAKSANAAN
- Non medikamentosa : Istirahat sampai edema tinggal sedikit.
-
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005. hal. 867-874.
2. Slonane Ethel. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta:
EGC; 2008. hal. 318-321.
3. Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.
Jakarta: EGC; 2001. hal. 462-504.
4. Trihono Partini P, Alatas Husein, Tambunan Taralan, Pardede
Sudung O. Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak.
Edisi 2. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2012. hal. 1-20.
29
30