Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering
terjadi pada anak, terdiri dari gejala klinis berupa proteinuria masif 40
mg/m2LPB/jam, hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan hiperkolesterolemia
>200 mg/dL. Penyebab pasti dari sindrom nefrotik sampai saat ini masih belum
diketahui secara pasti, namun akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun.
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris
adalah 2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik (penyebab SN tidak
jelas), dan sekunder mengikuti penyakit sistemik antara lain lupus eritematosus
sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein, dan lain lain.
Pasien yang menderita SN untuk pertama kalinya sebagian besar datang ke
rumah sakit dengan gejala edema. Gejala edema tersebut berupa pembengkakan
yang biasanya terdapat pada daerah dengan tekanan jaringan rendah seperti
kelopak mata, dada, perut, ekstremitas, skrotum, dan labia.
Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran
patologi anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya
adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif
difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan
nefropati membranosa (GNM) 1,5%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial
sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada
GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).
Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap
pengobatan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan prognosis
dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu pada saat ini
klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons klinik yaitu: Sindrom nefrotik
sensitif steroid (SNSS) dan Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM URINARIA
A. Anatomi
Ginjal adalah organ berbentuk seperti kacang berwarna merah tua,
panjangnya sekitar 12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm (kurang lebih sebesar kepalan
tangan). Setiap ginjal memiliki berat antara 125 sampai 175 g pada laki-laki dan
115 sampai 155 g pada perempuan.2
Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, di
depan dua iga terakhir, dan tiga otot besar; transversus abdominis, kuadratus
lumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh
bantalan lemak yang tebal. Tiap-tiap ginjal memiliki sebuah kelenjar adrenal di
atasnya.1
Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena tertekan
ke bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga kedua belas. Sedangkan
kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas.1
Setiap ginjal diselubungi tiga lapisan jaringan ikat, yaitu:
a) Fasia renal adalah pembungkus terluar. Pembungkus ini melabuhkan ginjal
pada struktur di sekitarnya dan mempertahankan posisi organ.
b) Lemak perirenal adalah jaringan adiposa yang terbungkus fasia ginjal. Jaringan
ini membantali ginjal dan membantu organ tetap pada posisinya.
c) Kapsul fibrosa adalah membran halus transparan yang langsung membungkus
ginjal dan dapat dengan mudah dilepas.2
Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10 sampai 12 inci
(25 hingga 30 cm), terbentang dari ginjal sampai vesika urinaria. Fungsinya
adalah menyalurkan urin ke vesika urinaria.1
Vesika urinaria adalah suatu kantong berotot yang dapat mengempis,
terletak di belakang simfisis pubis. Vesika urinaria mempunyai tiga muara; dua
dari ureter dan satu menuju uretra. Fungsi vesika urinaria adalah: (1) sebagai
tempat penyimpanan urin sebelum meninggalkan tubuh dan (2) berfungsi
mendorong urin keluar tubuh (dibantu uretra).1
Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika
urinaria sampai ke luar tubuh; panjang pada perempuan sekitar 1 inci (4 cm)

dan pada laki-laki sekitar 8 inci (20 cm). Muara uretra keluar tubuh disebut
meatus urinarius.1

Struktur Makroskopik Ginjal


Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral
ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena
adanya hilus.1
Sinus ginjal adalah rongga berisi lemak yang membuka pada hilus. Sinus ini
membentuk perlekatan untuk jalan masuk dan keluar ureter, vena dan arteri
renalis, saraf dan limfatik.2
Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda;
korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam. Medula terbagi-bagi menjadi
baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh
bagian korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak
bercorak karena tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul
nefron. Papila (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang
terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap
duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk
seperti cawan yang disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor (8 sampai 18)
bersatu membentuk kaliks mayor, yaitu rongga yang mencapai glandular, bagian
3

penghasil urin pada ginjal. Dua sampai tiga kaliks mayor bersatu membentuk
pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal.
Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria.1

Suplai Pembuluh Darah Makroskopik Ginjal


Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra
lumbalis II. Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah sehingga arteria renalis
kanan lebih panjang dari arteria renalis kiri. Setiap arteria renalis bercabang
sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal.1
Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena
kava inferior yang terletak di sebelah kanan dari garis tengah. Akibatnya vena
renalis kira-kira dua kali lebih panjang dari vena renalis kanan.1
Saat arteria renalis masuk ke dalam hilus, arteria tersebut bercabang menjadi
arteria interlobaris yang berjalan di antara piramid, selanjutnya membentuk
percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut.
Arteri arkuata kemudian membentuk artriol-arteriol interlobularis yang tersusun
paralel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriola
aferen.1
Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai darah ke rumbai-rumbai
kapiler yang disebut glomerulus (jamak; glomeruli). Kapiler glomeruli bersatu
membentuk arteriol eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem
jaringan portal yang mengelilingi tubulus dan kadang-kadang disebut kapiler
peritubular. Sirkulasi ginjal tidak seperti biasa yang terbagi menjadi dua bantalan
kapiler yang terpisah, tapi bantalan glomerulus dan bantalan kapiler peritubular
terbentuk menjadi rangkaian sehingga semua darah ginjal melewati keduanya.
4

Tekanan dalam bantalan kapiler yang pertama (tempat terjadi filtrasi) adalah lebih
tinggi (40-50 mmHg), sedangkan tekanan dalam kapiler peritubular (tempat
reabsorbsi tubular kembali ke sirkulasi) adalah rendah (5-10 mmHg) dan
menyerupai kapiler di tempat lain dalam tubuh. Darah yang melewati jaringan
portal ini mengalir ke jaringan vena interlobular, arkuata, interlobar, dan vena
ginjal untuk mencapai vena kava inferior.1

Struktur Mikroskopik Ginjal


Nefron
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi
sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari
fungsi semua nefron tersebut. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman yang
mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung
henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus
pengumpul.1
Korpuskulus Ginjal
Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan rumbai kapiler
glomerulus. Istilah glomerulus seringkali digunakan juga untuk menyatakan
korpuskulus ginjal, walaupun glomerulus lebih sesuai untuk menyatakan rumbai
kapiler.1

Kapsula Bowman merupakan invaginasi dari tubulus proksimal. Terdapat


ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula Bowman disebut
ruang Bowman atau ruang kapsular.1
Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis berbentuk
gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel viseralis jauh lebih
besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar dari
rumbai kapiler. Sel viseralis membentuk tonjolan-tonjolan atau kaki-kaki yang
disebut podosit, yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak-jarak
tertentu.1
Setiap sel podosit melekat pada permukaan luar kapiler glomerulus melalui
beberapa prosesus primer panjang yang mengandung prosesus kaki atau pedikel
(kaki kecil). Pedikel berinterdigitasi (saling mengunci) dengan prosesus yang
sama dari podosit tetangga. Ruang sempit antar pedikel-pedikel yang
berinterdigitasi disebut filtration slits (pori-pori dari celah) yang lebarnya sekitar
25 nm atau 400 . Setiap pori dilapisi selapis membran tipis yang memungkinkan
aliran beberapa molekul dan menahan aliran molekul lainnya.2
Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit
diantara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi lain. Membrana
basalis kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari gel hidrasi yang
menjalin serat kolagen. Pada membrana basalis tidak tampak adanya pori-pori,
kendatipun bersifat seakan-akan memiliki pori berdiameter sekitar 70-100 .1
Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Tidak
seperti sel-sel epitel, sel endotel langsung berkontak dengan membrana basalis.
Namun terdapat beberapa pelebaran seperti jendela (fenestrasi) yang berdiameter
sekitar 600 . Sel-sel endotel berlanjut dengan endotel yang membatasi arteriola
aferen dan eferen.1
Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel viseralis merupakan
tiga lapisan yang membentuk membran filtrasi glomerulus. Membran filtrasi
glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah dan molekul-molekul protein besar
dari bagian plasma lainnya, dan mengalirkan bagian plasma tersebut sebagai urine
primer ke dalam ruang dari kapsula bowman.1
Lapisan parietal kapsul Bowman membentuk tepi terluar korpuskel ginjal.
(1) Pada kutub vaskular korpuskel ginjal, arteriola aferen masuk ke glomerulus
dan arteriol eferen keluar dari glomerulus.

(2) Pada kutub urinarius korpuskel ginjal, glomerulus memfiltrasi aliran yang
masuk ke tubulus kontortus proksimal.
Tubulus kontortus proksimal, panjangnya mencapai 15 mm dan sangat
berliku. Pada permukaan yang menghadap lumen tubulus ini terdapat sel-sel
epitel kuboid yang kaya akan mikrovilus (brush border) dan memperluas area
permukaan lumen.
Ansa Henle. Tubulus kontortus proksimal mengarah ke tungkai desenden ansa
henle yang masuk ke dalam medula, membentuk lengkungan jepit yang tajam
(lekukan), dan membalik ke atas membentuk tungkai asenden ansa henle.
a. Nefron korteks terletak di bagian terluar korteks. Nefron ini memiliki lekukan
pendek yang memanjang ke sepertiga bagian atas medula.
b. Nefron jukstamedular terletak di dekat medula. Nefron ini memiliki lekukan
panjang yang menjulur ke dalam piramida medula.
Tubulus kontortus distal juga sangat berliku, panjangnya sekitar 5 mm dan
membentuk segmen terakhir nefron.
a. Di sepanjang jalurnya, tubulus ini bersentuhan dengan dinding arteriol aferen.
Bagian tubulus yang bersentuhan dengan arteriol mengandung sel-sel
termodifikasi yang disebut macula densa. Macula densa berfungsi sebagai
suatu kemoreseptor dan distimulasi oleh penurunan ion natrium.
b. Dinding arteriol aferen yang bersebelahan dengan macula densa mengandung
sel-sel otot polos termodifikasi yang disebut sel jukstaglomerular. Sel ini
distimulasi melalui penurunan tekanan darah untuk memproduksi renin.
c. Macula densa, sel jukstaglomerular dan sel mesangium saling bekerja sama
untuk membentuk aparatus jukstaglomerular yang penting dalam pengaturan
tekanan darah.
Tubulus dan duktus pengumpul. Karena setiap tubulus pengumpul
berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan mengalir ke sejumlah
tubulus kontortus distal. Tubulus pengumpul membentuk duktus pengumpul
besar yang lurus. Duktus pengumpul membentuk tuba yang lebih besar yang
mengalirkan urine ke dalam kaliks minor. Kaliks minor bermuara ke dalam
pelvis ginjal melalui kaliks mayor. Dari pelvis ginjal, urine dialiran ke ureter
yang mengarah ke kandung kemih.2

2.2.

DEFINISI SINDROM NEFROTIK


Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala:
1. Proteinuria massif ( 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+)
2. Hipoalbuminemia 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia (> 250 mg/uL)4
Batasan

Remisi. : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari

berturut-turut dalam 1 minggu.


Relaps. : proteinuria 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-

turut dalam 1 minggu.


Relaps jarang. : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons

awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan.


Relaps sering. (frequent relaps): relaps 2 x dalam 6 bulan pertama setelah

respons awal atau 4 x dalam periode 1 tahun.


Dependen steroid. : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan

(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.


Resisten steroid. : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh

(full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.


Sensitif steroid. : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama
4 minggu.4
8

2.3.

ETIOLOGI SINDROM NEFROTIK


Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder.
a) Sindrom nefrotik kongenital, merupakan gangguan autosom resesif yang
terjadi pada usia 1 tahun pertama. Biasanya anak lahir premature (90%),
plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat badan). Gejala asfiksia
dijumpai pada 75% kasus. Gejala pertama berupa edema, asites, biasanya
tampak pada waktu lahir atau dalam minggu pertama. Pada pemeriksaan
laboratorium dijumpai hipoproteinemia, proteinuria massif dan
hipercolestrolemia. Gejala klinik yang lain berupa kelainan kongenital pada
muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata lebar, telinga letaknya lebih
rendah dari normal. Prognosis jelek dan dapat meninggal karena infeksi
sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara untuk menemukan
kemungkinan kelainan ini secara dini adalah pemeriksaan kadar fetoprotein

cairan amnion yang biasanya meninggi.


b) Sindrom nefrotik primer/idiopatik.
Penyebab sindrom ini belum diketahui. Keberhasilan mengandalikan nefrosis
dengan obat-obat imunosupresif memberi kesan bahwa penyakit ini diperantari
oleh mekanisme immunologis, tetapi bukti adanya mekanisme jejas
immunologis yang klasik belum ada.5
c) Sindrom nefrotik sekunder, memiliki beberapa penyakit yang mendasari,
yaitu:
Sistemik:
Penyakit kolagen seperti Systemic Lupus Erythematosus, scholein-Henoch
Syndrome
Penyakit Pendarahan: Hemolitik Uremik Syndrome
Penyakit Keganasan: Hodgkins disease, Leukemia
Infeksi: Malaria, Schistosomiasis mansoni, lues, subacute bacterial
endocarditis, cytomegalic inclusion disease.
Metabolik: Diabetes Mellitus, amyloidosis.
Obat-obatan/allergen: Trimethadion, paramethadion, probenecid, tepung
sari, gigitan ular/serangga, vaksin polio, obat pereda nyeri yang menyerupai
aspirin, senyawa emas, heroin intravena, penisilamin, racun pohon ivy,
racun pohon EK, dan cahaya matahari.
2.4.

PATOFISIOLOGI SINDROM NEFROTIK

Kelainan patogenetik yang mendasari nefrosis adalah proteinuria, akibat


dari kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme kenaikan
permeabilitas ini belum diketahui tetapi mungkin terkait, setidak-tidaknya
sebagian, dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler.
Pada status nefrosis, protein yang hilang biasanya > 2 g/ 24 jam dan terutama
terdiri dari albumin; hipoprotinemianya pada dasarnya adalah hipoalbuminemia.
Umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 g/dL.5
Mekanisme pembentukan edema pada nefrosis tidak dimengerti
sepenuhnya. Kemungkinan adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya
hipoalbuminemia, akibat kehilangan protein urin. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari
ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Penurunan volume intravaskuler
menurunkan tekanan perfusi ginjal; mengaktifkan sistem renin-angiotensinaldosteron, yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal. Penurunan
volume intravaskulerjuga merangsang pelepasan hormon antidiuretik, yang
mempertinggi reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik
plasma berkurang, natrium dan air yang telah direabsorbsi masuk ke ruang
intertisial, memperberat edema. Adanya faktor-faktor lain yang juga memainkan
peran pada pembentukan edema dapat ditunjukkan melalui observasi bahwa
beberapa penderita sindrom nefrotik mampu mempunyai volume intravaskuler
yang normal atau meningkat, dan kadar renin serta aldosteron plasma normal atau
menurun. Penjelasan secara hipotesis meliputi defek intrarenal dalam eksresi
natrium dan air atau adanya agen dalam sirkulasi yang menaikkan permeabilitas
dinding kapiler di seluruh tubuh, serta dalam ginjal.5
Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan
lipoprotein serum meningkat. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang
memberikan sebagian penjelasan: (1) hipoproteinemia merangsang sintesis
protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein; dan (2) katabolisme lemak
menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama
yang mengambil lemak dari plasma. Apakah lipoprotein lipase keluar melalui urin
belum jelas.5
2.5.

GAMBARAN KLINIK SINDROM NEFROTIK

10

Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Dimana


edemanya bersifat pitting. Edemanya berkumpul pada tempat-tempat tergantung
dan dari hari ke hari tampak berpindah dari muka dan punggung ke perut,
perineum, dan kaki. Semakin lama, edema menjadi menyeluruh dan mungkin
disertai kenaikan berat badan, asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadangkadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang (anoreksia),
nyeri perut dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan
terjadinya peritonitis.5
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi
badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International
study of kidney diseases in children), pada SNKM ditemukan 22% dengan
hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan
kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.
2.6.

PEMERIKSAAN PENUNJANG SINDROM NEFROTIK


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:

1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,

hematokrit, LED)
Kadar albumin dan kolesterol plasma
Kadar ureum, kreatinin,serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau

dengan rumus Schwarzt


Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA4

2.7.

DIAGNOSIS SINDROM NEFROTIK


Analisis urin menunjukkan proteinuria +3 atau +4; mungkin ada hematuria
mikroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau menurun. Klirens kreatinin
rendah karena terjadi penurunan perfusi ginjal akibat penyusutan volume
intravaskuler dan akan kembali ke normal bila volume intravaskuler membaik.

11

Ekskresi protein melebihi 2 g/dL (20 g/L), dan kadar kalsium serum total
menurun, karena penurunan fraksi terikat-albumin. Kadar C3 normal.5
Anak dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1 8 tahun cenderung
menderita penyakit lesi-minimal yang respons terhadap steroid, dan terapi
kortikosteroid harus dimulai tanpa biopsi ginjal. Penyakit lesi-minimal tetap lazim
pada anak di atas usia 8 tahun yang datang dengan nefrosis, tetapi
glomerulonefritis membranosa dan membranoproliferatif menjadi semakin sering;
biopsi ginjal dianjurkan pada kelompok ini untuk menegakkan diagnosis pasti
sebelum mempertimbangkan terapi.5
2.8.

PENATALAKSANAAN SINDROM NEFROTIK


Tata Laksana Umum
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi

orangtua.
Pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan.
2. Pengukuran tekanan darah.
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis. INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah.4
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah

12

protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.4
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.4
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.4

13

Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema4


Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/
hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah
obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated
polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan
vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi

pneumokokus dan varisela.4


Pengobatan Dengan Kortikosteroid
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila
ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon.
A. Terapi Insial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison
60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis
terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)

14

inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.4
B. Pengobatan SN Relaps
Pengobatan SN relaps dapat diberikan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada
pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila
kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila
sejak awal ditemukan proteinuria ++ disertai edema, maka diagnosis relaps
dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.4

C. Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan.4
1. Steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5
mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2
mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 612 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat

15

bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah
sampai 1 mg/kgbb secara alternating.4
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir.4
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan,
atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).4
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, dan
sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 812 minggu.4
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel.4
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam
dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan
dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%,
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1

16

bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah
mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia,
dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu
pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL,
hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali
setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.4
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.4
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg bb/hari selama 8
minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik
berupa kejang dan infeksi.4
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen
steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten
steroid.4
5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau
25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.
Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.4

17

D. Pengobatan SN Dengan Kontraindikasi Steroid


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,
maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat
diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara
intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL

18

0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).4
E. Pengobatan SN Resisten Steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan
biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi
anatomi mempengaruhi prognosis.4
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena
SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada
pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.4
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial.
Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
2. Kadar kreatinin darah berkala.
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif.4
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau
klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000
mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.4

19

4. Obat imunosupresif lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS
adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam
literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat
ini belum direkomendasi di Indonesia.4

20

21

Pemberian Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteinuria


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja
kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan
tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga
mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth
factor (TGF)-1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai
risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam
kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan
hasil penurunan proteinuria lebih banyak.4
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:
1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal4
2.9.

PROGNOSIS SINDROM NEFROTIK


Sebagian besar anak dengan nefrosis yang berespons terhadap steroid akan
mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri
secara spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Yang penting adalah
menunjukkan pada keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita sisa
disfungsi ginjal, bahwa penyakitnya biasanya tidak herediter, dan bahwa anak
akan tetap fertil (bila tidak ada terapi siklofosfamid atau klorambusi). Untuk
memperkecil efek psikologis nefrosis, perlu ditekankan bahwa selama masa
remisi anak tersebut normal serta tidak perlu pembatasan diet dan aktivitas. Pada
anak yang sedang berada dalam masa remisi pemeriksaan protein urin biasanya
tidak diperlukan.5
Prognosis jangka panjang SNKM (Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal)
selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal
terminal, sedangkan pada GSFS (Glomerulosklerosis Fokal Segmental) 25%

22

menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya
disertai penurunan fungsi ginjal. Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata
respons terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai suntuk menentukan
prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.4

23

BAB III
ILUSTRASI KASUS

STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ade Riandi
Umur
: 6 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Nama ayah
: Nurhayadi
Nama ibu
: Paljal Sumarni
Alamat
: Sidodadi
Agama
: Islam
Pekerjaan ayah : PNS
Pekerjaan ibu
: Ibu Rumah Tangga
Agama
: Islam
Suku
: Aceh
Tanggal masuk RS : 09 Juni 2014

B. ANAMNESA
-

Keluhan utama
Telaah

: Bengkak pada skrotum


: Os datang dengan keluhan bengkak pada bagian

skrotum sejak satu minggu yang lalu dan bengkaknya mengecil atau
berkurang 2-3 hari yang lalu. Os juga mengalami bengkak pada
kelopak mata dan badannya saat awal gejala dan perlahan-lahan
hilang. Sebelumnya 3 tahun yang lalu Os juga mengalami hal yang
-

sama. BAK (+) tidak nyeri, BAB (+), demam (-), batuk (-).
Riwayat penyakit dahulu
: Ibu os mengaku , os sudah sering

mengalami hal yang sama sejak 3 tahun yang lalu.


Riwayat penyakit keluarga : Ayah os pernah mengalami penyakit yang

sama seperti os ketika Ayah os berusia sama seperti os.


Riwayat penggunaan obat
: Mengkonsumsi obat untuk

menghilangkan bengkak.
Riwayat kehamilan ibu : Selama hamil keadaan kesehatan ibu baik,
kunjungan antenatal dilakukan di Bidan dan ibu mendapatkan suntikan

tetanus toksoid lengkap empat kali.


Riwayat kelahiran : Pasien lahir secara spontan dengan BBL = no 3400
gram , PB = 50 cm.

Riwayat imunisasi
: Lengkap dengan imunisasi :
BCG
: 1 kali
Polio
: 4 kali
24

Hepatitis : 3 kali
DPT
: 3 kali
Campak : 1 kali
Riwayat tumbuh kembang : Menurut cerita Ibu pasien, riwayat tumbuh

kembang pasien lambat.

C. STATUS PRESENT
Sensorium
: Composmentis (E4 M6 V5)
Tekanan darah : 100/70 mmHg
RR
: 28 x/i
HR
: 100 x/i
Temperatur
: 370 C
BB
: 19 kg
TB
: 110 cm

D. PEMERIKSAAN FISIK

Kepala : Lingkar Kepala = 49 cm dengan usia 6 tahun


Normocephali
Wajah : Bentuk simetris
Pembengkakan wajah (+)
Face mongoloid (-)
Pucat (+)
Mata

: Bentuk simetris
Ptosis (-)
Logoftalmus (-)
Conjunctiva palpebra pucat (+)
Sklera ikterik (-)
Pupil isokor, refleks cahaya (+)
Mata cekung (-)

Hidung

: Bentuk normal
NCH (-)
Sekret (-)

Mulut

: Bibir kering (-), sianosis (-), pucat (+)


Lidah kotor (-), lidah tremor (-), lidah beslag (-), mukosa
sublingual ikterik (-)
Tonsil ukuran T1-T1, hiperemis (-)
Faring hiperemis (-)

Telinga

: Bentuk normotia
Peradangan (-)
Sekret (-)

25

Leher

: Bentuk normal, deviasi trakea (-)


Nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-), pembesaran thyroid
(-)

Thorak
Inspeksi : Bentuk dada normal dan simetris, pectus excavatum (-),
pectus

carinatum (-), retraksi dinding dada (-), retraksi

suprasternal (-).
: Nyeri tekan (+), pembesaran kelenjar (-)
Stem Fremitus ka=ki
Krepitasi subkutis (-)
Perkusi
: Sonor seluruh lapang paru (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+)
Rhokhi (-/-)
Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: ictus cordis tidak teraba (-)
Perkusi
: Tidak dilakukan
Auskultasi :
M1 > M2
A1 > A2
P1 > P2
Palpasi

Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris, sikatrik (-), vena colateral (-)
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (-), defence muscular (-)
Organomegali (- ), Masa intraabdominal (-)
Perkusi : Thympani (+), sonor memendek (+), asites (+)
Auskultasi : Peristaltik (+)
Genitalia : Laki-laki (DBN), anus (+)
Ekstremitas :
Superior : Bentuk kuku (DBN)
Ukuran jari-jari (DBN)
Jari-jari tremor (-)
Sianosis (-)
Clubbing finger (-)
Oedem (+)
Ikterik (-)
Inferior : Bentuk kuku (DBN)
Ukuran jari-jari (DBN)
Jari-jari tremor (-)
Sianosis (-)
Clubbing finger (-)
Oedem (+)
26

Ikterik (-)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
-

Pemeriksaan darah rutin


Haemoglobin : 12,4 gr/dl
Haematocryt : 37,9 %
Leucocyte
: 15.400 Ui x 103
Thrombocyte : 547.000 Ui x 103

Pemeriksaan kimia klinik


Total Protein : 4,0 g/100 ml
Albumin : 2,4 g/ 100 ml
Globulin : 1,6
Total bilirubin : 0,3 mg/100 ml
Direct Bilirubin : 0,1 mg/100 ml
SGOT : 25 U/I
SGPT : 22 U/I
Ureum : 16 mg/100 ml
Creatinin : 0,2 mg/100 ml
Urid Acid : 4,9 mg/dl
Triglycerine : 204 U/I
Total kolesterol : 591 mg/100 ml
HDL : 94 U/L
LDL : 456 U/L

Pemeriksaan imunoserologi
HbsAg
igM anti HBc

: (-) non reaktif


: (-) non reaktif

Pemeriksaan Urin
Warna : Kuning keruh
Protein : (+3)
Bilirubin (-)
Reduksi : (-)

27

Urobilinogen : (+)
-

Sedimen
Leukosit : 0-1 /LPB
Eritrosit : (-)
Ephitel Cell : 2-4 /LPB
CA. Oxalat : 10-15 / LPB
Cylinder : (-)
Triple Phospat : 10-15 / LPB

F. DIAGNOSA BANDING
- Malnutrisi terutama protein
- Sirosis hepatis dengan assites berat (oedem)
- Congestive heart failure (CHF) oedema pada kaki
G. DIAGNOSA KERJA
- Sindroma Nefrotik

H. PENATALAKSANAAN
- Non medikamentosa : Istirahat sampai edema tinggal sedikit.
-

Batasi asupan natrium sampai 1 gram / hari


Diet protein 2-3 gram
Medikamentosa : Furosemid 1 mg/kgBB/kali
Prednison 2 mg/kgBB/hari
Antibiotik diberikan bila ada infeksi
BAB IV
KESIMPULAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala; 1)


Proteinuria massif ( 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+), 2) Hipoalbuminemia 2,5 g/dl, 3) Edema,
4) Dapat disertai hiperkolesterolemia (> 250 mg/uL).
Etiologi Sindrom Nefrotik dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan
sekunder.
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Dimana
edemanya bersifat pitting. Semakin lama, edema menjadi menyeluruh dan
mungkin disertai kenaikan berat badan, asites, efusi pleura, dan edema skrotum.

28

Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang


(anoreksia), nyeri perut dan diare.
Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap
pengobatan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan prognosis
dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu pada saat ini
klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons klinik yaitu:

Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)


Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

DAFTAR PUSTAKA
1. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005. hal. 867-874.
2. Slonane Ethel. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta:
EGC; 2008. hal. 318-321.
3. Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.
Jakarta: EGC; 2001. hal. 462-504.
4. Trihono Partini P, Alatas Husein, Tambunan Taralan, Pardede
Sudung O. Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak.
Edisi 2. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2012. hal. 1-20.

29

5. Behrman Richard E, Kliegman Robert M, Arvin Ann M. Ilmu


Kesehatan Anak Nelson Vol 3. Edisi 15. Jakarta: EGC; 2000. hal.
1828-1831.

30

Anda mungkin juga menyukai