Anda di halaman 1dari 37

SEORANG LAKI-LAKI 66 TAHUN DENGAN BEKAS TB, NEGLECTED

FROZEN SHOULDER DEXTRA, DAN DECONDITIONING SYNDROME

Oleh :
Rizky Saraswati Indraputri
G99141129

Pembimbing :
dr. Trilastiti Widowati, Sp KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

STATUS PENDERITA
I. ANAMNESA
A.

Identitas Pasien
Nama

: Tn. S

Umur

: 66 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Swasta

Alamat

: Tegalarum, Surakarta

Status

: Sudah Menikah

Masuk rumah Sakit : 21 Juni 2015

B.

Tanggal Periksa

: 23 Juni 2015

No CM

: 01-22-31-00

Keluhan Utama
Batuk sejak 6 hari yang lalu

C.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan batuk sekitar 6 hari SMRS. Batuk
dirasakan hilang timbul. Lebih sering kambuh ketika malam hari. Batuk
tidak berkurang dengan pemberian obat. Batuk disertai dengan dahak
warna putih kekuningan, batuk darah (-), sesak nafas (+) bersamaan
dengan batuknya. Sesak nafas dirasakan terus menerus, membaik jika
pasien posisi duduk. Tidak dipengaruhi suhu dan cuaca.
Pasien juga merasa nyeri pada bahu sebelah kanan. Nyari dirasakan
sejak 6 bulan SMRS. Nyeri tidak menjalar dan dirasakan terutama bila
bahu digerakkan. Nyeri berkurang bila bahu tidak digunakan untuk
beraktivitas. Nyeri dirasakan muncul mendadak dan tidak diketahui
penyebabnya. Nyeri pada bahu dirasakan pasien mengganggu aktivitas.

Pasien juga mengeluhkan nyeri di bagian perut bagian tengah


sejak 1 tahun yang lalu, namun nyeri berkurang dengan pemberian
makanan. Pasien rutin mengkonsumsi obat sakit lambung sejak 1 tahun
yang lalu.
Mual (-), muntah (-), demam (-), BAK pasien sebanyak -
gelas perhari, warna kuning jernih, nyeri saat pipis (-), kencing berdarah
(-). BAB pasien 1x/hari tidak terasa nyeri dan panas.
D.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Jatuh

: (+) + 20 tahun yang lalu, patah


tulang bahu.

Riwayat Hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: (+) sejak 1 tahun yang lalu tapi


tidak kontrol berobat

Riwayat Penyakit Jantung

: disangkal

Riwayat Alergi obat/makanan

: disangkal

Riwayat Asma

: disangkal

Riwayat TB

: Tahun 2008, pasien mengkonsumsi


OAT selama 6 bulan secara lengkap
dan sembuh.
Tahun 2013 pasien kembali masuk
rumah sakit terdiagnosa TB, namun
sudah mengkonsumsi OAT selama 6
bulan dan kembali sembuh. Hal ini
menyebabkan pasien tirah baring
lebih lama.

E.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat Penyakit Jantung

: disangkal

Riwayat Alergi

: disangkal

Riwayat Asma

: disangkal

Riwayat TB

: disangkal

F.

Riwayat Kebiasaan dan Gizi


Riwayat Merokok

: (+) sudah lebih dari 15 tahun

Riwayat minum alkohol

: ()

Riwayat Olahraga

: (+)

G.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang laki-laki sudah menikah, tinggal bersama istri dan
anaknya. Pasien merupakan petani. Makan 3 kali sehari dengan lauk
pauk. Pasien memeriksakan diri dengan BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Keadaan umum sakit sedang, compos mentis E4V5M6, gizi

kesan

kurang
B.

C.

Tanda Vital
Tekanan darah

: 140/80 mmHg

Nadi

: 104 x/ menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur

Respirasi

: 22 x/menit, irama teratur, tipe thoracoabdominal

Suhu

: 37,5 0C per aksiler

VAS

: 4 regio bahu

Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-),
spider naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).

D.

Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam
beruban, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).

E.

Mata

Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung


dan tak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra
(-/-), sekret (-/-)
F.

Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)

G.

Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)

H.

Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),lidah simetris, lidah tremor
(-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi
(-)

I.

Leher
Simetris, trakea di tengah, step off (-), JVP (R+2) ,limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-), kaku (+)

J.

Thoraks
a.

Retraksi (-)

b.

Jantung
Inspeksi

: Ictus Cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus Cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,


bising (-).
c.

Paru
Inspeksi

: pengembangan dada kanan = kiri, gerakan


paradoksal (-)

Palpasi

: fremitus raba kanan = kiri

Perkusi

: sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : suara dasar ( vesikuler / vesikuler ),


Wheezing (-/-), RBK +/+
K.

Trunk

Inspeksi

: deformitas (-), skoliosis (-), kifosis

(-),

lordosis(-)

L.

Palpasi

: massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)

Perkusi

: nyeri ketok kostovertebra (-)

Abdomen
Inspeksi

: dinding perut sejajar dinding dada

Auskultasi : peristaltik (+)


Perkusi

: tympani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar tidak teraba,


bruit (-) dan lien tidak teraba

M.

Ekstremitas
Oedem
-

Akral dingin
-

Disuse atropi (+/+) pada kedua tungkai atas dan bawah


N.

Status Neurologis
a. Kesadaran

: GCS E4V5M6

b. Fungsi luhur

: dalam batas normal

c. Fungsi otonom

: dalam batas normal

d. Fungsi sensorik

- Rasa Eksteroseptik

: suhu, nyeri, dan raba dalam batas


normal

- Rasa Propioseptik

: getar, posisi, dan tekan dalam batas


normal

e. Fungsi motorik

Kekuatan

Tonus

1/5/5 5/5/5

2/2/2 2/2/2

R. Fisiologis

N
N

+2
+2

R. Patologis

+2

+2

f. Nn. craniales
1)
2)
3)
4)

N.II, III
: pupil isokhor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
N.III, IV, VI : gerak bola mata normal
N.VII
: dalam batas normal
N.XII
: dalam batas normal

Range of Motion (ROM)


NECK
Flexi
Extensi
Lateral bend
Rotasi
EKSTREMITAS
SUPERIOR
Shoulder

Elbow

Wrist

Finger

Fleksi
Ekstensi
Abduksi
Adduksi
External Rotasi
Internal Rotasi
Fleksi
Ekstensi
Pronasi
Supinasi
Fleksi
Ekstensi
Ulnar deviasi
Radius deviasi
MCP I fleksi
MCP II-IV

ROM
Aktif
0 700
0 400
0 600
0 900
ROM AKTIF
Dextra Sinistra
sde
0-45
sde
0-45
sde
0-90
sde
0-30
sde
0-30
sde
0-30
0-135
0-135
135-180 135-180
0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-70
0-70
0-30
0-30
0-30
0-30
0-45
0-45
0-45
0-45

Pasif
0 700
0 400
0 600
0 900
ROM PASIF
Dextra
Sinistra
sde
0-45
sde
0-45
sde
0-40
sde
0-30
sde
0-30
sde
0-45
0-135
0-135
135-180
135-180
0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-70
0-70
0-30
0-30
0-30
0-30
0-90
0-90
0-90
0-90

fleksi
DIP II-V fleksi
PIP II-V fleksi
MCP I ekstensi

0-45
0-45
0-10

0-45
0-45
0-10

0-90
0-100
0-30

EKSTREMITAS
INFERIOR

ROM AKTIF
Dextra
Sinistra
Fleksi
Sde
sde
Ekstensi
Sde
sde
Abduksi
Sde
sde
Adduksi
Sde
sde
Eksorotasi
Sde
sde
Endorotasi
Sde
sde
Fleksi
0-120
0-120
Ekstensi
Sde
sde
Dorsofleksi
Sde
sde
Plantarfleks
Sde
sde
i

Hip

Knee
Ankle

0-90
0-100
0-30

ROM PASIF
Dextra
Sinistra
0-60
0-60
0-30
0-30
0-45
0-45
0-30
0-30
0-30
0-30
0-30
0-30
0-110
0-110
sde
Sde
0-30
0-30
0-30
0-30

Manual Muscle Testing (MMT)


NECK
Fleksor M. Strenocleidomastoideus

Ekstensor

Shoulder

Ekstremitas Superior
Fleksor
M Deltoideus
anterior
M Biseps
Ekstensor
M Deltoideus
anterior
M Teres mayor
Abduktor
M Deltoideus
M Biceps
Adduktor
M Lattissimus dorsi
M Pectoralis mayor
Internal
M Lattissimus dorsi
M Pectoralis mayor
Rotasi
Eksternal
M Teres mayor
M Infra supinatus
Rotasi

Dextra
1

Sinistra
5

1
1

5
5

1
1
1
1
1
1
1
1
1

5
5
5
5
5
5
5
5
5

Elbow

Fleksor

Wrist

Ekstensor
Supinator
Pronator
Fleksor

M Biceps
M Brachialis
M Triceps
M Supinator
M Pronator teres
M Fleksor carpi
radialis
M Ekstensor
digitorum
M Ekstensor carpi
radialis
M ekstensor carpi
ulnaris
M Fleksor digitorum
M Ekstensor
digitorum

Ekstensor
Abduktor
Adduktor
Finger

Hip

Knee
Ankl
e

Fleksor
Ekstensor

Ekstremitas inferior
Fleksor
M Psoas mayor
Ekstensor
M Gluteus maksimus
Abduktor
M Gluteus medius
Adduktor
M Adduktor longus
Fleksor
Harmstring muscle
Ekstensor
Quadriceps femoris
Fleksor
M Tibialis
Ekstensor

M Soleus

Status Ambulasi
Dependent

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Radiologi 21 juni 2015
Foto Rontgen Thoraks:

5
5
5
5
5
5

5
5
5
5
5
5

5
5

5
5

Dextra
2
2
2
2
2
2
2

Sinistra
2
2
2
2
2
2
2

Cor: besar dan bentuk normal, tampak kalsifikasi aortic knob


Pulmo:

tampak

fibroinfiltrat

di

supra-parahiler

kanan,

tampak

fibroinfiltrat di paracardial kiri


Sinus costophrenicus kanan tajam, kiri tertutup perselubungan
Hemidiaphragma kanan normal, kiri tenting
Trakhea di tengah
Skema tulang baik
Kesimpulan:
TB paru lama aktif
Aortosclerosis
Pemeriksaan Laboratorium 21 Juni 2015
Pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Eritrosit
Natrium darah
Kalium darah
Clorida darah
SGOT
SGPT
Albumin
Ureum
Kreatinin
GDS
HBsAg
PH
BE
PCO2
PO2
Hematokrit
HCO3
Total CO2
Saturasi

Hasil
Satuan
DARAH RUTIN
13,8
g/dl
12.1
ribu/ul
43
%
244.000
/ul
4.85
106/ul
ELEKTROLIT
133
Mmol/L
4.0
Mmol/L
96
Mmol/L
KIMIA
29
u/l
15
u/l
3,9
g/dl
28
mg/dl
0,4
mg/dl
167
Mg/dl
Nonreactive
Analisis Gas Darah
7.362
0.7
Mmol/L
47.9
mmHg
149.1
mmHg
41
%
24.7
Mmol/L
24.2
Mmol/L
99.2
%

Rujukan
13,5-17,5
4.500 11.800
33-45
150.000-450.000
4,5-5,9
136 145
3.7 5.4
98 106
<35
<45
3.2 4.6
10-50
0,9-1,3
60-140
7.310-7.420
-2 - +3
27.0 41.0
80.0-100.0
37-50
21.0 28.0
19.0-24.0
94.0-98.0

IV. ASSESMENT
1. Bekas TB dd TB relaps
2. Neglected Frozen Shoulder Dextra
3. Deconditioning syndrome
V. PENATALAKSANAAN
Terapi Medikamentosa :
O2, 2-3 L / menit
Infus RL 20 tpm
NAC 3x200 mg
Ceftriaxone 2gr/24 jam
Omeprazole 400 mg/12 jam
Meloxicam tab 3 x 1
Non medikamentosa :
Fisioterapi
Infra Red,
TENS
VI.

DAFTAR MASALAH

Problem Medis

: Batuk dan sesak


Frozen shoulder joint dextra
Deconditioning Syndrome

Problem Rehabilitasi Medik


1. Fisioterapi :

Retensi sputum, Gangguan

gerak (keterbatasan gerak pada ekastremitas atas)


2. Terapi wicara

: Tidak ada

3. Okupasi Terapi

Gangguan

dalam

melakukan aktivitas fisik sehari-hari (Activity


Daily Living (ADL))
4. Sosiomedik :

Memerlukan

melakukan aktivitas sehari-hari

bantuan

untuk

5. Ortesa-protesa

memerlukan

alat

fiksasi bahu
6. Psikologi

Beban pikiran pasien dan

keluarga dalam menghadapi penyakit penderita

Rehabilitasi Medik:
1.

Fisioterapi

Batuk dan sesak


chest physical therapy:

breathing control

deep breathing

latihan batuk

chest expansion exercise

postural drainage

Frozen Shoulder dextra


a.Alih baring tiap 2 jam
b.

Stretching exercise sendi yang kaku untuk mencegah


kontraktur

c.ROM exercise aktif dan pasif


2.

Terapi wicara: tidak ada

3.

Okupasi terapi
a.

Melatih keterampilan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari (ADL)


b.
Latihan meningkatkan lingkup gerak sendi
(LGS) bahu kanan
c.
2.

Latihan hemat energi


Sosiomedik

a.

Menilai situasi kehidupan pasien

b.

Mengembalikan
pasien dalam keluarga dan lingkungan

peran

social

c.

Motivasi dan edukasi keluarga


untuk membantu dan merawat penderita dengan selalu berusaha
menjalankan program di RS dan Home program

3.

Ortesa-Protesa : fixator bahu


4. Psikologi

: Psikoterapi suportif untuk mengurangi

kecemasan pasien dan keluargadalam menghadapi


penyakit pasien.
VII. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP
Impairment

: Bekas TB, Dislokasi shoulder joint dextra

Disability

: Batuk, Sesak nafas, Penurunan fungsi anggota gerak


atas

Handicap

: Keterbatasan

melakukan

aktivitas

sehari-hari,

menjalankan pekerjaan dan kegiatan sosial


VIII. PLANNING
Planning diagnostik

: Cek sputum BTA, Spirometri (bila stabil), foto


rontgen shoulder

Planning terapi

: kontrol rutin untuk fisioterapi 2 kali dalam


seminggu

hingga

total

kali

fisioterapi,

kemudian evaluasi.
Planning Edukasi

- Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadi


- Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan
- Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk melakukan terapi
Planning monitoring : evaluasi hasil medika mentosa dan rehabilitasi
medik

IX. TUJUAN
1.

Perbaikan keadaan umum seingga dapat kembali


melakukan ADL

2.

Mencegah terjadinya komplikasi yang dapat


memperburuk keadaan

3.

Meminimalkan

impairment,

disability

dan

handicap
4.

Membantu penderita sehingga mampu mandiri


dalam menjalankan aktivitas sehari-hari

5.

Edukasi perihal home exercise

X. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam

: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.

TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberkulosis. TB terutama menyerang paru-paru
sebagai tempat infeksi primer. Selain itu, TB dapat juga menyerang kulit,
kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TB menular melalui droplet infeksius
yang terinhalasi oleh orang sehat. Pada sedikit kasus, TB juga ditularkan
melalui susu. Pada keadaan yang terakhir ini, bakteri yang berperan adalah
Mycobacterium bovis.
Etiologi
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati
dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat
dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB
BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak
erat.
Manifestasi Klinis
Gejala Umum :
Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih
Gejala lain yang sering dijumpai :
Dahak bercampur darah
Batuk darah
Sesak nafas dan rasa nyeri dada

Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang
enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan,
demam meriang lebih dari satu bulan.
Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfibris), badan kurus atau berat badan menurun.
Tempat kelainan lesi TB yang perlu dicurigai adalah bagian apeks
paru. Bila dicurigai infiltrat yang agak luas, maka akan didapatkan perkusi
yang redup dan auskultasi nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas
tambahan berupa ronkhi basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini
diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikular melemah.
Pemeriksaan penunjang
- Tuberculin skin testing
Dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutaneous 0.1ml Tweenstabilized liquid PPD pada bagian punggung atau dorsal dari lengan bawah.
Dalam wkatu 48 72 jama, area yang menonjol (indurasi), bukan eritema,
diukur. Ukuran tes Mantoux ini sebesar 5mm diinterpretasikan positif pada
kasus-kasus :
1. Individu yang memiliki atau dicurigai terinfeksi HIV
2. Memiliki kontak yang erat dengan penderita TB yang infeksius
3. Individu dengan rontgen dada yang abnormal yang mengindikasikan
gambaran proses penyembuhan TB yang lama, yang sebelumnya tidak
mendpatkan terapo OAT yang adekuat
4. Individu yang menggunakan Narkoba dan status HIV-ny tidak diketahui
Sedangkan ukuran 10mm uji tuberculin, dianggap positif biasanya
pada kasus-kasus seperti :
1. Individu dengan kondisi kesehatan tertentu, kecuali penderita HIV
2. Individu yang menggunakan Narkoba (jika status HIV-ny negative)
3. Tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, populasi denganpendapatan yang
rendah, termasuk kelompok ras dan etnik yang beresiko tinggi

4. Penderita yang lama mondokdirumah sakit


5. Anak kecil yang berusi kurang dari 4 tahun
Uji ini sekarang sudah tidak dianjurkan dipakai,karena uji ini haya
menunjukkan ada tidaknya antibodi anti TB pada seseorang, sedangkan
menurut penelitian, 80% penduduk indosia sudah pernah terpapar intigen TB,
walaupun tidak bermanifestasi, sehingga akan banyak memberikan false
positif.
- Pemeriksaan radiologis
1. Adanya infeksi primer digambarkan dengan nodul terkalsifikasi pada bagian
perifer paru dengan kalsifikasi dari limfe nodus hilus
2. Sedangkan proses reaktifasi TB akan memberikan gambaran :
a) Nekrosis
b) Cavitasi (terutama tampak pada foto posisi apical lordotik)
c) Fibrosis dan retraksi region hilus
d) Bronchopneumonia
e) Infiltrate interstitial
f) Pola milier
g) Gambaran diatas juga merupakan gambaran dari TB primer lanjut
3. TB pleurisy, memberikan gambaran efusi pleura yang biasanya terjadi
secara massif
4. Aktivitas dari kuman TB tidak bisa hanya ditegakkan hanya dengan 1 kali
pemeriksaan rontgen dada, tapi harus dilakukan serial rontgen dada. Tidak
hanya melihat apakah penyakit tersebut dalam proses progesi atau regresi.
- Pemeriksaan darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadangkadang meragukan, tidak sensitif, tidak juga spesifik. Pada saat TB baru
mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan
hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju
endap darah mulai meningkat. Jika penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
kembali normal, dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai
turun ke arah normal lagi. Bisa juga didapatkan anemia ringan dengan

gambaran normokron dan normositer, gama globulin meningkat dan kadar


natrium darah menurun.
-

Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannnya
kuman BA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Kriteria BTA
positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA
pada satu sediaan.
TIPE PENDERITA
Tipe

penderita

ditentukan

berdasarkan

riwayat

pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita, yaitu :


1. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
2. Kambuh (relaps)
Adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapatkan terapi TB dan
etlah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
3. Pindahan (transfer in)
Adalah penderita TB yang sedang mendapatkan pengobatan disuatu
kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan (FORM TB 09)
4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out)
Adalah penderita TB yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif setelah putus berobat 2 bulan atau lebih.
5. Gagal
-

Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih.


Adalah penderita BTA negative, rontgen positif yang menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
6. Lain-lain

Semua penderita lain yang tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas.


Termasuk dalam kelompok ini adalah kasus kronik (adalah penderita yang
masih BTA positif setelah menyelesaikan pengobatan ulang dengan
kategori 2)
Pengobatan tuberkulosis
a) Isoniasid ( H )
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 %
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat
efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang
sedang berkembang,Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kk BB,sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10
mg/kg BB.
b) Rifampisin ( R )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi dormant
( persister ) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB
diberikan sama untuk mengobatan harian maupun intermiten 3 kali
seminggu.
c) Pirasinamid ( Z )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB
,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan
dosis 35 mg/kg BB.
d) Streptomisin ( S )
Bersifat bakterisid . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis
yang sama penderita berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari
sedangkan unuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
e) Etambulol ( E)

Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15


mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
digunakan dosis 30 mg/kg/BB.
Prinsip Pengobatan
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman
(termasuk kuman persister) dapat dibunuh.Dosis tahap intensif dan dosis tahap
lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong.
Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka
waktu pengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat
(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obot , pengobatan
perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=Direcly Observed
Treatment) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB
diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.
a. Tahap Intensif
Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
OATterutama rifampisin . Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalamkurun
waktu 2 minggu sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA
negatif ( konversi ) pada akhir pengobatan intensif.
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit ,
namum dalam jangka waktu yang lebih lama. Pengawasan ketat dalam tahap
intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Tahap
lanjutan penting untuk membunuh kuman persister ( dormant ) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan

2.

Frozen Shoulder
Definisi
Sindroma frozen shoulder adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh
adanya suatu reaksi peradangan kronik dan kekakuan bahu yang didahului
dengan

bursitis,

tendonitis

dan

kapsulitis

pada

daerah

persendian

glenohumeral sehingga pergerakkannya terganggu dan timbul nyeri (sakit).3


Anatomi
Bahu terdiri dari 7 sendi, yaitu glenohumeralis, suprahumeralis,
acromioclavicularis, scapulocostalis, sternoclavicularis, costosternalis dan
costovertebralis. Sendi glenohumeral mempunyai peranan yang penting dan
merupakan sendi yang paling mobile dari ketujuh sendi tersebut.3
Gerakan-gerakan pada sendi bahu terdiri dari fleksi-ekstensi, abduksiadduksi dan endorotasi-eksorotasi. Lingkup gerak sendi bahu dalam keadaan
normal yaitu fleksi 180, ekstensi 60, abduksi 180, adduksi 75, endorotasi
90 dan eksorotasi 90.3
Epidemiologi
Onset frozen shoulder terjadi sekitar usia 40-60 tahun. Dari 2-5 %
populasi sekitar 60 % dari kasus frozen shoulder lebih banyak mengenai
perempuan dibanding laki-laki. Frozen shoulder juga terjadi pada 10-20 %
dari penderita diabetes mellitus yang merupakan salah satu faktor resiko
frozen shoulder.2
Etiologi
Penyebab frozen shoulder tidak diketahui, diduga penyakit ini
merupakan respon auto immobilisasi terhadap hasil-hasil rusaknya jaringan
lokal. Meskipun penyebab utamanya idiopatik, banyak yang menjadi
predisposisi frozen shoulder, selain dugaan adanya respon auto immobilisasi
seperti yang dijelaskan di atas ada juga faktor predisposisi lainnya yaitu usia,

trauma berulang (repetitive injury), diabetes mellitus, kelumpuhan, pasca


operasi

payudara

sendi glenohumeral

atau

dada

(tendonitis

dan

infark

bicipitalis,

miokardia,
infalamasi

dari
rotator

dalam
cuff,

fraktur) atau kelainan ekstra articular (cervical spondylisis, angina pectoris).


De Palma (1973) melaporkan bahwa setiap hambatan yang menghalangi
gerak scapulohumeral/scapulothoraxic menyebabkan inaktifitas dari otot
sehingga merupakan predisposisi terjadinya frozen shoulder.4
Adapun beberapa teori yang dikemukakan AAOS (American Academy
of Orthopedic Surgeon) tahun 2007 mengenai frozen shoulder, teori tersebut
adalah:2,5
a.

Teori hormonal.
Pada umumnya frozen shoulder terjadi 60% pada wanita bersamaan
dengan datangnya menopause.

b.

Teori genetik.
Beberapa studi mempunyai komponen genetik dari frozen shoulder,
contohnya ada beberapa kasus dimana kembar identik pasti menderita
pada saat yang sama.

c.

Teori auto immuno.


Diduga penyakit ini merupakan respon auto immuno terhadap hasil-hasil
rusaknya jaringan lokal.

d.

Teori postur.
Banyak studi yang belum diyakini bahwa berdiri lama dan berpostur tegap
menyebabkan pemendekan pada salah satu ligamen bahu.
Patofisiologi
Patofisiologi frozen shoulder masih belum jelas, tetapi beberapa penulis
menyatakan bahwa dasar terjadinya kelainan adalah imobilisasi yang lama.
Setiap nyeri yang timbul pada bahu dapat merupakan awal kekakuan sendi
bahu. Hal ini sering timbul bila sendi tidak digunakan terutama pada pasien
yang apatis dan pasif atau dengan nilai ambang nyeri yang rendah, di mana
tidak tahan dengan nyeri yang ringan akan membidai lengannya pada posisi
tergantung. Lengan yang imobil akan menyebabkan stasis vena dan kongesti

sekunder dan bersama-sama dengan vasospastik, anoksia akan menimbulkan


reaksi timbunan protein, edema, eksudasi, dan akhirnya reaksi fibrosis.
Fibrosis akan menyebabkan adhesi antara lapisan bursa subdeltoid, adhesi
ekstraartikuler dan intraartikuler, kontraktur tendon subskapularis dan bisep,
perlekatan kapsul sendi.3
Pendapat lain mengatakan inflamasi pada sendi menyebabkan thrombine
dan fibrinogen membentuk protein yang disebut fibrin. Protein tersebut
menyebabkan penjedalan dalam darah dan membentuk suatu substansi yang
melekat pada sendi. Perlekatan pada sekitar sendi inilah yang menyebabkan
perlekatan satu sama lain sehingga menghambat LGS penuh. Kapsulitis
adhesiva pada bahu inilah yang disebut frozen shoulder.3
Gambaran Klini
Penderita datang dengan keluhan nyeri dan ngilu pada sendi serta
gerakan sendi bahu yang terbatas ke segala arah, terutama gerakan abduksi
dan elevasi, sehingga mengganggu lingkup gerak sendi bahu. Rasa nyeri akan
meningkat intensitasnya dari hari ke hari. Bersamaan dengan hal ini terjadi
gangguan lingkup gerak sendi bahu. Penyembuhan terjadi kurang lebih
selama 6-12 bulan, di mana lingkup gerak sendi akan meningkat dan akhir
bulan ke 18 hanya sedikit terjadi keterbatasan gerak sendi bahu.3
Menurut Kisner (1996) frozen shoulder dibagi dalam 3 tahapan, yaitu:2,4
a. Pain (Freezing) : ditandai dengan adanya nyeri hebat bahkan saat istirahat,
gerak sendi bahu menjadi terbatas selama 2-3 minggu dan masa akut ini
berakhir ampai 10-36 minggu.
b. Stiffness (Frozen) : ditandai dengan rasa nyeri saat bergerak, kekakuan
atau perlengketan yang nyata dan keterbatasan gerak dari glenohumeral
yang di ikuti oleh keterbatasan gerak scapula. Fase ini berakhir 4-12 bulan.
c. Recovery (Thawing) : pada fase ini tidak ditemukan adanya rasa nyeri dan
tidak ada synovitis tetapi terdapat keterbatasan gerak karena perlengketan
yang nyata. Fase ini berakhir 6-24 bulan atau lebih.
Diagnosis
a. Anamnesis

Hal-hal yang harus ditanyakan kepada pasien adalah sebagai berikut:3


-

Lokasi yang sebenarnya dari nyeri bahu yang dirasakan.


Sudah berapa lama nyeri tersebut dirasakan.
Faktor apa saja yang menjadi pencetus timbulnya nyeri bahu tersebut dan

yang dapat menguranginya.


Ada tidaknya aktivitas yang berlebihan, terkilir atau trauma pada bahu

sebelumnya.
Ada tidaknya masalah atau penyakit pada bahu yang pernah diderita

sebelumnya.
Jika mungkin ditanyakan juga diagnosis serta terapi yang pernah diberikan

saat itu.
Perlu juga ditanyakan mengenai pekerjaan, kegemaran atau kegiatan

b.

waktu senggang yang sering dilakukan pasien.


Pemeriksaan fisik
Pada frozen shoulder merupakan gangguan pada kapsul sendi, maka
gerakan aktif maupun pasif terbatas dan nyeri. Nyeri dapat menjalar ke
leher, lengan atas dan punggung, perlu dilihat faktor pencetus timbulnya
nyeri. Gerakan pasif dan aktif terbatas. Pertama-tama pada gerakan elevasi
dan rotasi interna lengan, tetapi kemudian untuk semua gerakan sendi bahu.3
Appley scratch test merupakan tes tercepat untuk mengeveluasi lingkup
gerak sendi aktif pasien diminta menggaruk daerah angulus medialis
skapula dengan tangan sisi kontra lateral melewati belakang kepala. Pada
frozen shoulder pasien tidak dapat melakukan gerakan ini. Bila sendi dapat
bergerak penuh pada bidang geraknya secara pasif, tetapi terbatas pada
gerak aktif, maka kemungkinan kelemahan otot bahu sebagai penyebab
keterbatasan.3

Gambar 1: Appley scratch test

Nyeri akan bertambah pada penekanan dari tendon yang


membentuk muskulotendineus rotator cuff. Bila gangguan berkelanjutan
akan terlihat bahu yang terkena reliefnya mendatar, bahkan kempis, karena
atrofi otot deltoid, supraspinatus dan otot rotator cuff lainnya.3
Selain appley scratch test, tes provokasi lain yang dapat dilakukan adalah:

Appley scarf test


Pasien diminta melakukan fleksi bahu sampai 90 dan meletakkan tangan
menyilang secara horizontal di depan dada kontralateral di depan bahu yang
lain. Pemeriksa melihat apakah ada nyeri atau perubahan pada sendi
acromioclavicular.6

Gambar 2: Appley scarf test

Lift off test


Pasien berdiri dengan posisi bahu di internal rotasi dan siku difleksikan
sementara dorsum tangan menyentuh tulang belakang. Kemudian pasien
diinstruksikan untuk mengangkat tangan. Positif bila pasien tidak mampu
mengangkat tangan dari belakan melawan gravitasi.6

Gambar 2: Lift off test

Empty can test


Pasien diminta untuk mengekstensi sendi siku dengan lengan yang abduksi
dan jari menunjuk ke bawah, kemudian penderita disuruh untuk melakukan
elevasi lengan sambil pemeriksa melakukan tahanan melawan gerakan
tersebut.6

Gambar 3: Empty can test

Yergasons test
Pasien diminta melakukan fleksi aktif sendi siku melawan tahanan sambil
pemeriksa melakukan eksorotasi humerus, akan terjadi subluaksi tendon
yang dirasakan sebagai lucutan dan kejutan. Positif bila terjadi nyeri di
sulcus bisipitalis sewaktu akan melakukan supinasi tangan melawan
tahanan.6

Gambar 4: Yergasons test


c. Pemeriksaan penunjang
Selain pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosa perlu dilakukan
pemeriksaan seperti :3,7

X-ray, yaitu pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti


fraktur dan osteoartritis.
Arthrografi, yaitu pemeriksan x-ray dengan menggunakan kontras yang di

suntikkan ke sendi bahu sebagai tanda pengerutan atau penyusutan kapsul


-

sendi bahu.
MRI, yaitu untuk mengevaluasi jaringan di sekitar sendi.

Penatalaksaan
a. Medikamentosa
Untuk mengurangi rasa nyeri diberikan analgesik dan obat anti inflamasi
nonsteroid. Pemakaian relaksan otot bertujuan untuk mengurangi kekakuan dan
nyeri dengan menghilangkan spasme otot. Beberapa penulis menganjurkan
pemberian suntikan menghilangkan nyeri secara cepat. Harus diperhatikan
kemungkinan ruptur dari tendon pada penyuntikan tersebut, maka penyuntikan
tidak boleh lebih dari 2 kali dalam 1 tahun.8
b. Program rehabilitasi medik

Ultrasound (US)
Pada frozen shoulder, modalitas yang sering digunakan adalah
Ultrasound. Ultrasound merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang
secara klinis sering diaplikasikan untuk tujuan terapeutik pada kasus-kasus
tertentu

termasuk

kasus

muskuloskeletal.

Terapi ultrasound

sendiri menggunakan energi gelombang suara dengan frekuensi lebih dari


20.000Hz yang tidak mampu ditangkap oleh telinga atau pendengaran.
Dengan pemberian modalitas ultrasound dapat terjadi iritan jaringan
yang

menyebabkan

reaksi

jaringan, hal ini disebabkan

oleh

fisiologis

seperti

kerusakan

efek mekanik dan thermal ultra

sonik. Pengaruh mekanik tersebut juga dengan terstimulasinya saraf


polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memicu
produksi P subtance untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder atau
dikenal neurogeic

inflammation. Namun

dengan

terangsangnya P

substance tersebut mengakibatkan proses induksi proliferasi akan lebih

terpacu sehingga mempercepat terjadinya penyembuhan jaringan yang


mengalami kerusakan.9

Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)


TENS merupakan suatu cara penggunaan energi listrik guna merangsang
sistem saraf melalui permukaan kulit dan terbukti efektif untuk merangsang
berbagai tipe nyeri. Pemberian TENS dapat menurunkan nyeri, baik dengan
cara peningkatan vaskularisasi pada jaringan yang rusak tersebut , maupun
melalui normalisasi saraf pada level spinal maupun supra spinal, sehingga
dengan berkurangnya nyeri pada bahu didapatkan gerakan yang lebih
ringan. Efek TENS terhadap pengurangan nyeri juga dapat mengurangi
spasme dan meningkatkan sirkulasi, sehingga memutuskan lingkaran
viscous circle of reflex yang pada akhirnya dapat meningkatkan LGS.9
TENS efektif mengurangi nyeri melalui aktivasi saraf berdiameter besar
dan kecil melalui kulit yang selanjutnya akan memberikan informasi
sensoris ke saraf pusat. TENS menghilangkan nyeri dikaitkan melalui
sistem reseptor nosiseptif dan mekanoreseptor. Sistem reseptor nosiseptif
bukan akhiran saraf bebas, melainkan fleksus saraf halus tak bermyelin yang
mengelilingi jaringan dan pembuluh darah.9
Pengurangan

nyeri

yang

ditimbulkan

oleh

TENS

dapat juga

meningkatkan kekuatan otot karena menormalkan aktivitas motor neuron


sehingga otot dapat berkontraksi secara maksimal, dan berkurangnya
refleks exitability dari beberapa otot antagonis gelang bahu sehingga otot
agonis dapat melakukan gerakan, dan karena stabilitas terbesar pada sendi
bahu oleh otot, maka hal tersebut meningkatkan mobilitas sendi bahu.9

Latihan
Latihan merupakan bagian yang terpenting dari terapi frozen shoulder.
Pada awalnya latihan gerak dilakukan secara pasif terutama bila rasa nyeri
begitu berat. Setelah nyeri berkurang latihan dapat dimulai dengan aktif
dibantu. Rasa nyeri yang timbul pada waktu sendi digerakkan baik secara
pasif maupun aktif menentukan saat dimulainya latihan gerak. Bila selama

latihan pasif timbul rasa nyeri sebelum akhir pergerakan sendi diduga masih
fase akut sehingga latihan gerak aktif tidak diperbolehkan. Bila rasa nyeri
terdapat pada akhir gerakan yang terbatas, berarti masa akut sudah
berkurang dan latihan secara aktif boleh dilakukan. Pada latihan gerak yang
menimbulkan/menambah rasa nyeri, maka latihan harus ditunda karena rasa
nyeri yang ditimbulkan akan menurunkan LGS. Tetapi bila gerakan pada
latihan tidak menambah rasa nyeri maka kemungkinan besar terapi latihan
gerak akan berhasil dengan baik. Latihan gerak dengan meggunakan alat
seperti shoulder wheel, over head pulleys, finger ladder dan tongkat
merupakan terapi standar untuk penderita frozen shoulder.6
Manajemen
-

Disesuaikan dengan stadiumnya

Managemen

komprehensif

untuk

meminimalkan ketidakmampuan dan meningkatkan kualitas hidup


pasien
a.

Fisioterapi
Tujuan: 1. Mengurangi Spasme otot
2. Pencegahan kontraktur
Cara : Positioning and Turning
Exercise Pasif dan Aktif

b.

Psikologi
Tujuan: Memelihara status mental pasien dan keluarga, berupa
emosi, fungsi intelektual, dan fungsi persepsi

c.

Okupasi Terapi
Tujuan: Melatih keterampilan pasien dalam melakukan aktivitas
sehari-hari

d.

Orthetik Prostetik
Tujuan: Memfasilitasi ambulasi

e.

Pekerja Sosial Medik


Tujuan:

1. Menilai situasi kehidupan pasien

2. Perantara dalam hubungan pasien/keluarga dan tim


dokter
1. Pencegahan

Monitor gerakan sendi bahu secara hati-hati agar dislokasi tidak


tambah parah

Latihan streaching secara rutin dan hat-hati

Monitoring keadaan kulit secara teratur

Monitoring status mobilitas

Minimalkan terjadinya tekanan (Friction, Shear)

3.

Deconditioning Syndrome
Sindrom deconditioning adalah sekumpulan gejala yang menimbulkan
kapasitas

fungsional

menurun

pada

beberapa

sistem

tubuh

akibat

imobilisasi/gerakan tubuh berkurang dalam jangka waktu yang lama.


Berkurangnya gerakan tubuh dapat sebagian atau seluruh tubuh, paling sering
disebabkan oleh gangguan neuromuskuloskeletal seperti stroke, tumor
medulla spinalis, myocardial infark, dan trauma. Adapun system yang
pertama kali terkena adalah system musculoskeletal. Gambaran dari sindrom
deconditoning berbeda-beda tergantung dari derajat dan lama imobilisasi.
Beberapa system yang mengalami deconditioning adalah musculoskeletal,
kardiovaskular, respirasi, kulit, gastrointestinal, genitourinaria, metabolism
dan nutrisi, endokrin, serta neurologi, emosi intelektual.
Sistem muskuloskletal
Pasien yang mengalami tirah baring lama beresiko mengalami kontraktur
karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul rasa nyeri yang
menyebabkan seseorang tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur
tersebut. Kontraktur terjadi karena perubahan patologis oada bagian tulang
sendi, otot atau pada jaringan penunjang disekitar sendi. Factor posisi dan
mekanik juga dapat menyebabkan kontraktur pada pasien usia lanjut dengan

imobilisasi. Imobilisasi lama akan mengakibatkan atrofi otot dengan


penurunan ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan
1-2 % perhari. Massa otot sebagian besar menurun dari kaki bawah dan otototot tubuh. Posisi imobilisasi juga berperan terhadap beratnya pengurangan
otot, imobilisasi dengan posisi meringkuk akan mengakibatkan pengurangan
otot yang lebih banyak dibandingkan posisi imobilisasi terlentang.
Osteoporosis dapat timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorpsi
tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi ternyata meningkatkan resorpsi
tulang, dan meningkatkan kadar kalsium serum akibatnya massa tulang
menurun.
Sistem kardiovaskular
Penurunan efisiensi jantung, perubahan tanggapan kardiovaskkular postural
dan penyakit tromboemboli dapat terjadi akibat imobilisasi yang lama.
Hipotensi postural merupakan penurunan tekanan darah sebanyak 10 mmHg
dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala yang sering timbul
adalah sinkop. Tirah baring lama akan mengakibatkan respons kardiovaskular
normal menjadi tidak normal yang akan menghasilkan penurunan volume
sekuncup jantung dan curah jantung.
Sistem respirasi
Imobilisasi dikaitkan dengan terjadinya pneumonia akibat dari retensi sputum
dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien geriatric. Pada posisi berbaring
otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan
dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar.
Selain itu proses penuaan mengakibatkan perubahan pada tekanan penutup
saluran kecil, kondisi tersebut akan mengurangi asupan O2 dan pernapasan
cepat dangkal sebagai kompensasinya.
Sistem gastrointestinal
Masalah utama pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi lama adalah
konstipasi, skibala dan obstruksi usus. Imobilisasi lama akan menyebabkan
penurunan sekresi lambung, penurunan absorbsi, atrofi mucosa intestinal
sehingga feces akan lebih lama tinggal di usus.

Kulit
Pasien imobilisasi umumnya tidak bergerak pada malam hari karena tidak
adanya gerakan pasif maupun aktif. Tidak adanya aktivitas ini mengakibatkan
peningkatan tekanan pada daerah kulit yang sama secara terus menerus.
Tekanan akan memberikan pengaruh pada daerah kulit sacral ketika dalam
posisi berbaring. Aliran darah akan terhambat pada daerah kulit yang tertekan
dan menghasilkan anoksia jaringan dan nekrosis. Tekanan tersebut juga dapat
menyebabkan kompresi pembuluh darah yang bisa timbul edema.
Sistem Genitourinaria
Aliran urin juga akan terganggu akibat tirah baring yang lama kemudian
menyebabkan infeksi saluran kemih mudah terjadi. Inkotinensia urin juga
sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi yang umumnya
disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna.
Retensi urin akan memudahkan terjadinya infeksisaluran kemih dan bila
dibarengi dengan hiperkalsiuria akan mengakibatkan terjadinya pembentukan
batu ginjal.
Sistem metabolisme dan nutrisi
Imobilisasi ternyata juga berperan pada terjadinya hipoalbuminemia,
mempengaruhi system metabolic yang akibatnya akan terjadi perubahan
terhadap metabolism zat gizi. Penurunan nafsu makan dapat mengakibatkan
penurunan berat badan. Keadaan tidak beraktivitas dan imobilisasi akan
meningkatkan ekskresi nitrogen urin, sehingga pasien akan mengalami
hipoprotenimia dan edema.
Sistem endokrin
Pasien lanjut usia yang mengalami imobilisasi akan mengalami intoleransi
glukosa karena sensor insulin menurun yang mengakibatkan penurunan
sensitivitas otot untuk sirkulasi insulin. Selain itu terjadi gangguan circardian
rhythm, gangguan temperatur dan respon keringat, gangguan regulasi
gangguan hormon paratiroid, gangguan tiroid, gangguan adrenal, gangguan
pituitary, growth, dan gangguan androgen.
Sistem neurologis, emosi dan intelektual

Kemampuan sensoris pada pasien lansia yang imobilisasi lama akan


mengalami penurunan seperti atensi menurun, bingung, disorientasi,
gangguan eye-hand coordination. Kapasitas intelektual pun ikut menurun.
Selain itu, terjadi gangguan emosi dan perilaku. Ambang pendengaran pun
menigkat sehingga pasien lansia hanya dapat mendengar suara yang keras dan
pasien ini biasanya berbicara dengan keras pula. Kemampuan visual pun ikut
menurun.

Penatalaksanaan
Non farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis memegang peranan penting dalam
mencegah terjadinya sekumpulan sindrom ini akibat imobilisasi. Berbagai
upaya yang dapat dilakukan `dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani
secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan
posisi secara teratur dan latihan ditempat tidue dapat dilakukan sebagai upaya
mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta sendi. Selain itu,
mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional
dapat dilakukan secara bertahap, untuk mencegah terjadinya kontraktur otot
dapat dilakukan gerakan pasif sebanyak satu-dua kali sehari selama 20 menit.
Untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus, hal yang harus dilakukan
adalah menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada
kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30 derajat,
penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga.
Program latihan jasmani yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi
pasien, berdasarkan ada tidaknya penyakit, status imobilisasi, tingkat
aktivitas, dan latihannya. Control tekanan darah secara teratur dan
penggunaan obat-obatan. Monitor asupan cairan dan makanan mengandung
serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga
perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar
pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi.
Farmakologis

Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya


pencegahan terhadap terjadinya thrombosis. Pemberian antikoagulan
merupakan terapi farmakologik yang dapat diberikan untuk mencegah
terjadinya thrombosis pada pasien geriatric dengan imobilisasi. Low dose
heparin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH) merupakan
profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatric dengan imobilisasi
dan resiko thrombosis non pembedahan terutama strok. Namun pemberian
antikoagulan ini perlu dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan.
Penurunan faal ginjal dan hepar serta adanya interaksi obat perlu diperhatikan
juga.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nurul S. Penatalaksanaan Fisioterapi padaKasus Capsulitis Adhesiva Dekstra
dengan Menggunakan Short Wave Diathermy (SWD) dan Terapi Manipulasi
di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta. 5 Desember 2012.
Available from: http://etd.eprints.ums.ac.id/2792/
2. Miharjanto K, Kuntono H, Setiawan D. Perbedaan Pengaruh Antara Latihan
Konvensional Ditambah Latihan Plyometrics dan Latihan Konvensional
Terhadap Pengurangan Nyeri dan Disabilitas Penderita Frozen Shoulder. 5
Desember 2012. Available from: http://penjaskesrek.fkip.uns.ac.id/wpcontent/uploads/2012/04/jurnal2011.pdf
3. Hanako S. Frozen Shoulder. 5 Desember 2012. Available from:
http://minepoemss.blogspot.com/2010/07/frozen-shoulder.html
4. Anonymous. Frozen Shoulder (Capsulitis Adhesiva). 5 Desember 2012.
Available from: http://poenya-moe.blogspot.com/2012/03/frozen-shouldercapsulitis-adhesiva.html

5. Hidayat S. Nyeri Bahu/ Frozen Shoulder. 5 Desember 2012. Available from:


http://id.shvoong.com/medicine-and-health/pathology/1991481-nyeri-bahufrozen-shoulder/
6. Anonymous. Frozen Shoulder (Kapsulitis Adhesiva/Adhesive Capsulitis). 5
Desember
2012.
Available
from:
http://fisioterapiyunitaprabandari.blogspot.com/2010/10/frozen-shoulder-capsulitis.html
7. Nasir Y. Kenali Gejala Frozen Shoulder. 5 Desember 2012. Avaible from :
http://yuninasir.blogspot.com/2011/02/kenali-gejala-frozen-shoulder.html
8. Braunwald E, Fauci AS, et al. Degenerative Joint Disease. In : Harrisons
Manual of Medicine 15th Ed. Boston: McGraw-Hill, 2003. P748-49.
9. Irfan. Frozen Shoulder (Kaku Bahu). 5 Desember 2012. Avaible from :
http://dhaenkpedro.wordpress.com/fisioterapi-pada-frozen-shoulder-kakubahu/
10. Thomson, Ann M., Tidys physiotherapy, 12th ed, Butterworth-Heinemann,
1991. hal: 71
11. Cassidy JD, Carroll LJ, Cote P. The Saskatchewan health and back pain
survey: the prevalence of low back pain and related disability in
Saskatchewan adults. Spine. 1998;23:1860-1866; discussion 1867.
12. Manchikanti L. Epidemiology of low back pain. Pain Physician. 2000;3:167192.
13. Krismer M, van Tulder M. Strategies for prevention and management of
musculoskeletal conditions: low back pain (nonspecific). Best Pract Res Clin
Rheumatol. 2007;21:77-91.
14. Walsh K, Cruddas M, Coggon D. Low back pain in eight areas of Britain. J
Epidem Comm Health. 1992;46:227-230.
15. Ekman M, Johnell O, Lidgren L. The economic cost of low back pain in
Sweden in 2001. Acta Orthop.2005;76:275-284.
16. Ekman M, Jonhagen S, Hunsche E, Jonsson L. Burden of illness of chronic
low back pain in Sweden: a cross-sectional, retrospective study in primary
care s
17. Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD). 2005. Pocket
guide to COPD diagnosis, management, and prevention.
dari http//www.goldcopd.org.

18. Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8,
Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai