Anda di halaman 1dari 8

Bab II

A. Proses Pembentukan UUD 1945


Bahwasannya konstitusi atau Undang-Undang Dasar dianggap memegang peranan yang
penting bagi kehidupan suatu negara, terbukti dari kenyataan sejarah ketika Pemerintah Militer
Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Rakyat Indonesia. Sesuai janji Perdana Menteri
Koiso yang diucapkan pada tanggal 7 September 1944, maka dibentuklah badan yang bernama
Dokuritsu Zyunbi Choosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia/BPUPKI) pada tanggal 29 Arpil 1945 yang diketuai oleh Dr. Radjiman
Wedyodiningrat dan Ketua Muda R.P. Soeroso, yang tugasnya menyusun Dasar Indonesia
Merdeka (Undang-Undang Dasar). Niat Pemerintah Militer Jepang tersebut dilatarbelakangi
kekalahan balatentara Jepang di berbagai front, sehingga akhir Perang Asia Timur Raya sudah
berada di ambang pintu.
Para anggota BPUPKI yang dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 bersidang dalam dua
tahap: pertama, dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 untuk menetapkan dasar negara
dan berhasil merumuskan Pancasila yang didasarkan pada pidato anggota Soekarno pada 1 Juni
1945, kedua, dari tanggal 10 sampai dengan 17 Juli 1945 yang berhasil membuat UndangUndang Dasar (Harun Al Rasid, 2002). Pada akhir sidang pertama, ketua sidang membentuk
sebuah panitia yang terdiri dari 8 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang disebut Panitia
Delapan. Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan pertemuan antara gabungan paham kebangsaan
dan golongan agama yang mempersoalkan hubungan antara agama dengan negara. Dalam rapat
tersebut dibentuk Panitia Sembilan, terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. A. Subardjo, Mr. A. A.
Maramis, Ir. Soekarno, KH. Abdul Kahar Moezakir, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosujoso, H.
Agus Salim, dan Mr. Muh. Yamin. Panitia Sembilan berhasil membuat rancangan Preambule
Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muh. Yamin disebut dengan istilah Piagam Jakarta.
B. Proses Pembentukan Konstitusi RIS
Terbentuknya Konstitusi RIS bersamaan dengan ditandatangani Kesepakatan Meja
Bundar Antara delegasi Indonesia dan Belanda di kota Den Hang. Kesepakatan Meja Bundar
tersebut menghasilkan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan terbentuk Konstitusi RIS
yang bersifat sementara.Kesepakatan tersebut sampai pada akhir konferensi tidak tercapai
kesepakatan, hal tersebut yaitu masalah New Guinea. Ketidak sepakatan tersebut mengancam

perundingan penyerahan kedaulatan dari Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat
(RIS), hal tersebut diungkapkan oleh salah seorang anggota delegasi Indonesia.
Konstitusi tersebut disusun dan dirancang bersama antara delegasi Belanda dan delegasi
Indonesia sejak 22 Agustus 1949 lalu, dan jika masalah New Guinea selesai dan memperoleh
kesepakatan, dokumen tersebut akan resmi menjadi Konstitusi baru bagi Indonesia dan bentuk
negara baru juga bagi Indonesia. Ketidak sepakatan atas New Guinea terletak pada perbedaan
keinginan di kedua belah pihak, delegasi Indonesia menginginkan New Guinea menjadi bagian
penuh dari RIS, sedangkan delegasi Belanda menginginkan New Guinea memiliki status khusus.
JN Maarsseveen menteri luar negeri Belanda menyatakan status khusus tersebut bukanlah suatu
kedaulatan yang luas.
C. Proses Pembentukan UUDS 1950
Pada tahun 1950 sampai dengan tahun 1959, Indonesia menggunakan Undang Undang
Dasar Sementara 1950 sebagai dasar negaranya. UUDS tersebut dumulai pada 17 Agustus 1950
sampai dengan lahirnya dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno.
Pemberlakuan Undang Undang Dasar Sementara 1950 tersebut dimulai pada saat
Republik Indonesia Serikat berakhir karena adanya demo besar-besaran dari rakyat yang
menuntut kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga
akhirnya pemerintah membubarkan Republik Indonesia Serikat dan kembali menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan Undang Undang Dasar Sementara sejak 17
Agustus 1950, dengan menganut sistem kabinet parlementer.
Pada tahun 1950 itu juga dibentuk sebuah badan konstituante yang bertugas membuat dan
menyusun Undang Undang Dasar baru seperti yang diamanatkan UUDS 1950, namun sampai
akhir tahun 1959, badan konstituante tersebut belum berhasil merumuskan Undang Undang
Dasar yang baru, hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang
isinya membubarkan badan konstituante tersebut, sekaligus menegaskan pada tahun itu juga
bahwa Indonesia kembali ke Undang Undang Dasar 1945, serta membentuk MPRS dan DPRS
. Hingga puncaknya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang
isinya seperti yang telah ditulis diatas, dan pada masa berakhirnya UUDS 1950 dan kembali ke
Undang Undang Dasar 45, sistem kabinet parlementer ikut juga berakhir menjadi sistem
Demokrasi Terpimpin dimana seluruh keputusan dan pemikiran hanya terpusat pada Presiden.

Namun demikian, ternyata sistem Demokrasi Terpimpin tersebut tidak membuat


Indonesia menjadi stabil dalam bidang politik apalagi ekonomi, karena Partai Komunis Indonesia
yang pada masa itu sebagai partai besar merasa berada diatas angin, mereka kemudian
mendorong Presiden Soekarno untuk membuat sebuah konsep yang dinamakan konsep
Nasionalisme, Agama dan Komunisme atau lebih dikenal sebagai NASAKOM.
D. Lembaga-lembaga Negara Yang Tercantum Dalam UUD 1945 Hasil Amandemen

Lembaga-Lembaga Negara sesuai dengan UUD 1945 Sebelum Amandemen

Lembaga-Lembaga Negara sesuai dengan UUD 1945 Setelah Amandemen


Lembaga negara yang memegang kekuasaan menurut UUD 1945 hasil amandemen adalah MPR,
DPR, presiden, MA, MK, dan BPK.
E. Lembaga-lembaga Negara Yang Tercantum Dalam Konstitusi RIS
Dalam UUD RIS pada BAB III mengenai Perlengkapan Republik Indonesia Serikat,
terdapat ketentuan umum yang menyatakan bahwa Alat Perlengkapan federal Republik Indonesia
Serikat ialah :
1. Presiden

2. Menteri-menteri
3. Senat
4. Dewan Perwakilan Rakyat
5. Mahkamah Agung
6. Dewan Pengawas Keuangan
1. Presiden
Presiden ialah kepala Negara yang tidak dapat diganggu gugat. Presiden dan menterimenteri bersama-sama merupakan pemerintah. Presiden berkedudukan di tempat kedudukan
pemerintah. Jika Presiden berhalangan, maka beliau memerintahkan perdana menteri
menjalankan pekerjan jabatan sehari-hari (pasal 27 (1) Konstitusi RIS).
Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya Konstitusi RIS adalah sistem
parlementer, sebagaimana diatur dlm pasal 118 ayat 1 & 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1)
ditegaskan bahwa 'Presiden tidak dapat diganggu gugat'. Artinya presiden tidak dapat dimintai
pertanggung jawaban atas tugas-tugas pemerintahan, karena presiden adalah kepala negara,
bukan kepala pemerintahan.
Di dalam sistem parlementer pada konstitusi RIS, Kepala Negara tidak merupakan
pimpinan yang nyata daripada pemerintahan Negara atau Kabinet. Jadi, yang memikul segala
pertanggungjawaban adalah kabinet, atau Pemerintah; termasuk Kepala Negara, artinya segala
akibat perbuatanya atau tindakannya itu dipikul oleh kabinet.
2. Menteri
Menurut pasal 73 Konstitusi RIS, yang dapat diangkat menjadi menteri ialah orang yang
telah berusia 25 tahun dan bukan orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan
hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih.
Kabinet atau dewan Menteri mempunyai tugas eksekutif, yaitu menjalankan
pemerintahan. Menteri ini bertanggung jawab atas kebijaksanaannya, terutama dalam lapangan
pemerintahan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam sistem parlementer RIS, Kabinet bertanggung jawab kepada Parlemen (DPR),
artinya kalau pertanggungan jawab Kabinet itu tidak dapat diterima baik oleh DPR
(pertanggungan jawab politis), maka DPR dapat menyatakan tidak percaya (mosi tidak percaya)
terhadap kebijaksanaan kabinet; dan sebagai akibat dari pertanggungan jawab politis tadi,

Kabinet harus mengundurkan diri Tetapi jika ada keragu-raguan dari pihak Kabinet yang
menganggap bahwa DPR tidak lagi bersifat representatif, maka Kabinet mempunyai kekuasaan
untuk membubarkan DPR yang tidak representatif itu.
3. Senat
Di dalam konstitusi RIS dikenal adanya Senat. Senat tersebut mewakili Negara-negara
bagian, setiap negara bagian mempunyai dua anggota dalam Senat. Setiap anggota Senat
mengeluarkan satu suara. Jadi dengan demikian, Senat adalah suatu badan perwakilan negara
bagian, yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh masing-masing pemerintah negara bagian
masing-masing.
Keanggotaan Senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing dua anggota dari tiap
negara/negara bagian. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata Tertib Senat
RIS. Senat RIS diketuai oleh M A Pellaupessy, sedangkan Wakil Ketua Senat RIS adalah Mr
Teuku Hasan.
4. Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan yang masing-masing
mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri dari 150 anggota (pasal 98 Konstitusi RIS) dan
yang mewakili daerah-daerah bagian (pasal 80 ayat (1) konstitusi RIS)
DPR-RIS berwenang mengontrol pemerintah, dengan catatan presiden tidak dapat
diganggu gugat, tetapi para menteri bertanggung jawab kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan
pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya
sendiri.
Di samping itu, DPR-RIS juga memiliki hak menanya dan menyelidik. Dalam masa
kerjanya selama enam bulan, DPR-RIS berhasil mengesahkan tujuh undang-undang.Ketua
Dewan Perwakilan rakyat saat itu adalah Mr Sartono, dengan Wakil Ketua I Mr M Tambunan
dan Wakil Ketua II Arudji Kartawinata.
5. Mahkamah Agung
Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden setelah
mendengarkan Senat. Pengangkatan itu adalah untuk seumur hidup. Mereka diberhentikan
apabila mencapai usia tertentu dan dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri.

6. Dewan Pengawas Keuangan


Organ dari Dewan Pengawas Keuangan dapat dipecat atau diberhentikan menurut cara
dan dalam hal ditentukan dengan undang-undang federal. Mereka dapat juga diberhentikan oleh
Presiden atas permintaannya.
F. Lembaga-lembaga Negara Yang Tercantum Dalam UUDS 1950
Lembaga-lembaga negara yang ada pada masa berlakunya UUDS yaitu pada periode 17
Agustus 1950- 5 Juli 1959 menurut UUDS pasal 44 lembaga negara yang ada yaitu:
a) Presiden dan Wakil Presiden
b) Menteri-menteri
c) Dewan Perwakilan Rakyat
d) Mahkamah Agung
e) Dewan Pengawas Keuangan.
Dari penjelasan diatas kita bisa mengetahui bahwa sudah ada pembagian kekuasaan yang
jelas antara eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Presiden yang berkedudukan sebagai kepala
negara dibantu oleh wakil presiden, sedangkan mentri sebagai eksekutif/ pelaksana
pemerintahan. Berdasarkan Pasal 51 UUDS 1950 Presiden menunjuk seorang atau beberapa
orang pembentuk kabinet setelah itu sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet presiden
mengangkat seorang menjadi perdana mentri dan mengangkat mentri-mentri yang lain.
Mentri-mentri beratanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersamasama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Sebagai kepala
negara berdasarkan pasal 84 presiden berhak untuk membubarkan DPR.
Kekuasaan legeslatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan
Rakyat mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan
berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk WNI mempunyai seorang wakil
(Pasal 56 UUDS 1950). Dewan Perwakilan Rakyat dipilih untuk masa 4 tahun. Dan keanggotan
DPR tidak dapat dirangkap oleh lembaga lainnya, hal ini agar tidak tumpang tindih dalam
pembagian kekuasaan. Seorang anggota DPR yang merangkap dalam lembaga lainnya tidak
boleh mempergunakan hak dan kewajiban sebagai anggota badan tersebut selama ia memangku
jabatan ganda. Dalam wewenangnya DPR berhak untuk mengajukan usul Undang-undang
kepada pemerintah dan berhak mengadakan perubahan-perubahan dalam usul Undang-undang

yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Apabila akan mengusulkan Undang-undang maka
mengirimkan usul itu untuk disahkan oleh pemerintah kepada presiden.
Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan.
Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi (Pasal 105 Ayat 1 UUDS 1950). Sebagai
lembaga yudikatif atau pengawas dari pelaksanaan UUDS, pengangkatan Mahkamah Agung
adalah untuk seumur hidup. Mahkamah Agung dapat dipecat atau diberhentikan menurut cara
dan ditentukan oleh undang-undang (Pasal 79 Ayat 3 UUDS 1950), selain itu diatur pada pasal
yang sama ayat berbeda yaitu ayat 4 disebutkan bahwa Mahkamah Agung dapat diberhentikan
oleh Presiden atas permintaan sendiri. Selain sebagai pengawas atas perbuatan pengadilanpengadilan yang lain, Mahkamah Agung juga memberi nasehat kepada Presiden dalam
pemutusan pemberian hak grasi oleh presiden.
Selain MA dalam lembaga yudikatif juga ada DPK (Dewan Pengawas Keuangan).
Pengangkatan anggota DPK seumur hidup, undang-undang menetapakan ketua, wakil ketua dan
anggotanya dapat diberhentikan apabila mencapai usia tertentu. DPK dapat diberhentikan oleh
presiden atas permintaan sendiri.

Bab III
Perubahan UUD 1945 (Amandemen)
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16
bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 37 pasal, 170 ayat, 3
pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan
Kompilasi Tanpa Ada Opini.
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen)
terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa
Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat),
kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga
dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat
penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti
tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan
negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan
bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan
UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta
mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan
dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
1. Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 Perubahan Pertama UUD
1945
2. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 Perubahan Kedua UUD 1945
3. Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 Perubahan Ketiga UUD
1945
4. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 Perubahan Keempat UUD
1945

Anda mungkin juga menyukai