Anda di halaman 1dari 8

Pengaruh Pemberian Infusa Biji Adas (Foeniculum vulgare Mill.

) terhadap Perkembangan Uterus Tikus


Putih (Rattus norvegicus) Produktif dan Premenopause
The Effect of Fennel (Foeniculum vulgare Mill.) Infusion Treatment to Depelovment of Uterine of Productive
and Premenopausal White Rats (Rattus Norvegicus)
Novrianto Albertino 1), Eva Harlina 2), Hera Mahsehwari 3)
Mahasiswa Program Sarjana, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
2)
Staf Pengajar, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
3)
Staf Pengajar Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor
1)

ABSTRACT
Fennel is one of plant that can be used as medicine. Fennel seeds (Foeniculum vulgare Mill.) is known
contain phytoestrogen that have effect like estrogen. This study aims to determine the effect of fennel seeds infusa at
various doses toward endometrial thickness and number of uterine glands of white rat (Rattus norvegicus) at
proestrus phase in histopatologically. 50 rat consists of 25 productive rat and 25 pre-menopause rat, each of them
were divided into 5 groups namely negative control group (KN) were given 1 ml aquades, positive control group
(KP) were given dose of 9x10-3 mg/200 g BW etinil estradiol, and three other groups were given a dose of graded
fennel infusion namely dose 1 (D1) 36.5 mg/100 g BW, dose 2 (D2) 73 mg/100 g BW, and dose 3 (D3) 146 mg/100
g BW. Administration of etinil estradiol and fennel seeds infusa was done with orally every day for 16 days. The
result of this study showed that treatment of fennel seeds infusa with a dose 36.5 mg/100 g BW and 146 mg/100 g
BW has no effect on endometrium thickness and number of uterine glands of productive group of rat or premenopause group of rat.
Keyword : fennel, phytoestrogen, uterine
PENDAHULAN
Menopause didefinisikan sebagai suatu keadaan terhentinya proses menstruasi secara permanen karena
ovarium tidak lagi memproduksi hormon estrogen dan progesteron. Seiring bertambahnya usia, kadar estrogen mulai
mengalami penurunan sejak periode klimakterium (usia 40 tahun). Masa ini dikenal sebagai masa premenopause
(Northrup 2006). Hal ini dikarenakan hilangnya folikel sejalan dengan bertambahnya usia karena atresia dan ovulasi
bulanan. Kehilangan folikel mengakibatkan berkurangnya sekresi estrogen dan progesteron. Untuk mengatasi
kekurangan hormon estrogen diperlukan hormon estrogen pengganti atau Hormon Replacement Therapy (HRT).
Menyadari efek samping yang ditimbulkan HRT, telah dikembangkan penggunaan bahan alami yang berasal dari
tumbuhan yang mengandung fitoestrogen. Fitoestrogen dapat menunda terjadinya menopause, membuat jantung
lebih sehat, dan menurunkan resiko kanker (Muaris 2004). Purwoko dan Suyanto (2001) juga menyatakan bahwa
fitoestrogen bermanfaat sebagai antiosteoporosis dan merupakan agen estrogenik.
Fitoestrogen diketahui banyak terdapat pada kacang kedelai, dan kini diketahui pula terdapat pada tanaman
adas (Rusmin dan Melati 2007). Adas (Foeniculum vulgare.Mill) mempunyai senyawa aktif trans-anethole dan
golongan terpenoid yang dapat mempengaruhi jaringan endometrium (Glover dan asinder 2006). Dilaporkan bahwa
trans-anethol mempunyai aktivitas estrogenik, tidak mempunyai efek anti-estrogenik dan progestasional (Silano dan
Marisa 2005). Untuk mengetahui pengaruh fitoestrogen adas terhadap perkembangan uterus maka dilakukan
penelitian lebih lanjut menggunakan hewan coba tikus (Rattus sp) yang diberi infusa adas secara peroral.

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Unit Pemeliharaan Hewan Laboratorium, FKH IPB, sedangkan pengamatan histologi
uterus dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, FKH IPB. Waktu pelaksanaan
penelitian dari bulan Juni 2012 hingga April 2013.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji adas manis (Foeniculum vulgare subspecies vulgare
varietas dulce MILL), etinil estradiol, bahan-bahan pembuat sediaan histologi yaitu aquades, BNF (Buffer Normal
Formalin) 10%, xylol, pewarna Mayers Hematoxylin-Eosin dan lithium karbonat. Hewan coba yang digunakan
adalah 50 ekor tikus putih (Rattus novergicus) betina galur Spraque-Dawley umur produktif (3-4 bulan) dan
premenopause (umur 18 bulan). Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, pengayak mesh 24 dan 30, gelas
ukur, erlenmeyer, sonde lambung, peralatan untuk nekropsi, tissue cassette, tissue processor, rotary microtome,
inkubator, mikroskop cahaya Olympus CH-1 dan digital eye piece camera microscope MD 130.
Metode Penelitian
Infusa Adas
Determinasi buah adas dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bogor. Simplisia buah adas yang telah kering
kemudian digiling dengan grinder dan disaring dengan pengayak 24 mesh. Pembuatan infusa adas dilakukan dengan
cara merebus sebanyak 10 g adas dalam 100 ml air dengan suhu 90 oC selama 15 menit. Kemudian larutan adas
disaring dengan pengayak 30 mesh, disimpan dalam botol dan siap digunakan.
Hewan Coba
Sebanyak 50 ekor tikus terdiri atas 25 ekor tikus produktif dan 25 ekor tikus premenopause, dibagi menjadi 5
kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor tikus. Pembagian kelompok tikus adalah sebagai
berikut: kelompok kontrol negatif (KN), kelompok kontrol positif (KP), dan kelompok perlakuan dosis 1 (D1), dosis
2 (D2), dan dosis 3 (D3). Sebelum perlakuan tikus diaklimatisasi selama dua minggu. Selama penelitian tikus diberi
pakan berbentuk pelet serta air minum ad libitum dan dicekok bahan-bahan perlakuan. Setelah perlakuan selesai,
tikus ditidurkan menggunakan eter dan dilakukan dislokasio cervikalis. Selanjutnya tikus dinekropsi untuk
pengambilan organ uterus, kemudian organ difikasasi dalam larutan BNF 10% untuk selanjutnya dibuat sediaan
histopatologi.
Rancangan Percobaan
Tikus dicekok etinil estradiol dan infusa adas manis setiap hari selama 16 hari, dengan dosis sebagai berikut:
kelompok kontrol positif (KP) diberi etinil estradiol dosis 9x10 -3 mg/200 g BB, kontrol negatif (KN) diberi aquades
1 ml, dan tiga kelompok lain diberi infusa adas dosis bertingkat, yaitu dosis 1 (D1) 36.5 mg/100 g BB, dosis 2 (D2)
73 mg/100 g BB, dan dosis 3 (D3) 146 mg/100 g BB).
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Jaringan uterus dipotong secara melintang kemudian direndam dalam larutan BNF 10% untuk fiksasi
lanjutan. Selanjutnya dilakukan dehidrasi dalam alkohol bertingkat 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I dan II, xylol I
dan II, parafin I dan parafin II, masing-masing selama 2 jam dalam tissue processor. Kemudian dilakukan
embedding. Setelah itu blok jaringan dipotong dengan mikrotom dengan ketebalan 4-5 m, hasil potongan
diletakkan di water bath yang bersuhu 45oC kemudian sediaan dimounting dan dikeringkan didalam incubator
dengan suhu 60oC selama satu malam.
Proses pewarnaan Hematoksillin-Eosin dengan metoda sebagai berikut: deparafinasi jaringan dalam xylol I,
II, III masing-masing selama 2 menit, rehidrasi dalam alokohol 95% dan 80% masing-masing 1 menit, dicuci
dengan air mengalir selama 1 menit dan diwarnai Mayers Hematoxylin selama 6 menit. Setelah itu dibilas dengan
air mengalir selama 30 detik, dicelupkan ke dalam lithium karbonat selama 15-30 detik, dan dibilas kembali dengan
air mengalir selama 2 menit. Sediaan diwarnai dengan pewarna Eosin selama 6 menit dan dicuci kembali dengan air
mengalir selama 30-60 detik. Tahap selanjutnya adalah dehidrasi dengan alkohol absolut I, II dan III masing-masing
selama 2 menit dan clearing dalam xylol I dan II masing-masing selama 2 menit. Tahap akhir, sediaan ditetesi
perekat Permount, kemudian ditutup dengan gelas penutup.
Pengamatan Histopatologi

Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya, dan dihitung jumlah kelenjar
uterus, tebal endometrium dan persentase kelenjar uterus aktif dan nekrosis. Hasil pengamatan diuraikan secara
deskriptif dan kuantitatif.

Analisis Data
Data dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat adanya
pengaruh pemberian infusa adas dan dosis yang efektif menggunakan dua variabel uji.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketebalan Endometrium
Uterus dipanen saat tikus berada pada fase proestrus. Proestrus adalah fase sebelum estrus, yaitu fase folikel
de Graaf yang tumbuh dibawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol (Ihsan 2010). Pada fase ini
terjadi inovulasi fungsional corpus luteum serta pembengkakan praovulasi folikel, kadar estrogen akan terus
mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan folikel. Gambaran histologi endometrium tikus produktif fase
proestrus dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Uterus tikus produktif. Garis merah menunjukkan tinggi endometrium: L: lumen; E: endometrium; M:
myometrium; P: Perimetrium. Pewarnaan HE, Bar : 100m.
Rata-rata ketebalan endometrium tikus produktif dan pre-menopause pasca pemberian infusa adas disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Rata-rata ketebalan endometrium uterus tikus produktif dan pre-menopause pasca pemberian infusa Adas
Perlakuan
Tikus Produktif
Tikus Premenopause
Kontrol N
701.8247.0a
761.8210.6a
a
Kontrol P
407.5100.4
539.7127.3a
a
Dosis 1
510.935.40
655.0144.6a
Dosis 2
577.2*
558.691.22a
a
Dosis 3
594.1142.3
511.0126.0a
a
Rataan
614.7140.2
556.2152.7a
Keterangan: Huruf supersripct yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05); *Tidak dapat
dibandingkan karena tidak memiliki ulangan

Rata-rata ketebalan endometrium kelompok tikus produktif tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan
dengan kelompok tikus pre-menopause. Pada tikus kelompok produktif, pemberian infusa adas dengan dosis
bertingat tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan kontrol positif maupun kontrol negatif. Demikian pula pada
tikus kelompok pre-menopause, pemberian infusa adas dosis bertingkat tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan
kelompok kontrol positif maupun kontrol negatif.
Pemberian infusa adas dan etinil estradiol pada tikus produktif dan tikus pre-menupause tidak menstimulasi
peningkatan aktivitas endometrium. Hal ini kemungkinan disebabkan reseptor endometrium tidak bisa menangkap
estrogen eksogen yang diberikan, sehingga proses fisiologi perkembangan endometrium tidak terjadi. Fitoestrogen
dapat berikatan dengan reseptor estrogen dan menghasilkan efek pro-estrogenik, atau anti-estrogenik pada jaringan

target (Sari 2009). Hillisch et al. (2004) menyatakan bahwa potensi fitoestrogen 10 -3-10-5 kali dibanding estrogen
alami, dan fitoestrogen dapat bergabung dengan reseptor namun tidak dapat memunculkan efek yang sama kuatnya
dengan efek estrogen alami. Kemungkinan diperlukan fitoestrogen dalam jumlah yang lebih besar lagi untuk
memperoleh efek yang memadai seperti estrogen (Achadiat 2007). Pemberian infusa adas yang mengandung transanethol dengan dosis yang diberikan belum mampu bekerja sebagai fitoestrogen yang mempengaruhi perkembangan
endometrium.
Menurut Persky et al. (2002), fitoestrogen adas bertindak sebagai estrogen antagonis ketika estrogen
endogen dalam konsentrasi tinggi, sedangkan bersifat sebagai estrogen agonis saat estrogen endogen dalam
konsentrasi rendah. Ketebalan endometrium baik pada tikus produktif maupun pre-menopause juga tidak berespon
terhadap pemberian etinil estradiol. Hal ini disebabkan kapasitas maksimum ikatan etinil estradiol dan reseptor
estrogen telah tercapai, serta kadar estrogen dalam tubuh telah mencapai kadar maksimum sehingga efek estrogenik
pada endometrium menurun.

Kelenjar Uterus
Kelenjar endometrium maupun pembuluh darah mengalami perubahan struktur sepanjang siklus estrus.
Peningkatan hormon estrogen yang terjadi pada siklus estrus menyebabkan pertumbuhan serta percabangan kelenjar.
Gambaran histologi kelenjar uterus disajikan pada Gambar 3 dan hasil perhitungan jumlah kelenjar uterus tikus
seluruh kelompok disajikan pada Tabel 2.

Gambar 3 Kelenjar uterus (KU) tikus pre-menopause. Pewarnaan HE, Bar:100m.


Tabel 2 Rata-rata jumlah kelenjar uterus tikus produktif dan pre-menopause
Perlakuan
Kontrol N
Kontrol P
Dosis 1
Dosis 2
Dosis 3
Rataan

Tikus Produktif
76.7580.25a
32.514.84a
39.7530.75a
93*
47.519.09a
5438.63a

Tikus Premenopause
55.251.10a
52.2520.85a
54.7518.03a
53.6228.47a
30.516.26a
53.918.86a

Keterangan: Huruf supersripct yang berbeda pada kolomyang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05); *Tidak dapat
dibandingkan karena tidak memiliki ulangan

Menurut Mills (2007), pada periode proestrus dengan mudah ditemukan mitosis sel epitel kelenjar uterus
disertai dengan penambahan jumlah kelenjar. Sel ini hadir pada fase ploriferasi hingga awal sekresi. Selama fase
proliferasi, kelenjar uterus menjadi lebih dominan sehingga mudah ditemukan.

Rata-rata jumlah kelenjar uterus pasca pemberian infusa adas pada kelompok tikus produktif tidak berbeda
nyata (p>0,05) dengan kelompok tikus pre-menopause. Pada kelompok tikus produktif, penambahan dosis infusa
adas tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan kontrol positif maupun kontrol negatif. Demikian pula pada

kelompok tikus pre-menopause, penambahan infusa adas dosis bertingkat tidak berbeda nyata (p>0,05)
dibandingkan kontrol positif maupun kontrol negatif. Hal ini diduga karena fitoestrogen yang diberikan belum
mampu berikatan dengan reseptor di kelenjar endometrium sehingga proses fisiologi perkembangan kelenjar uterus
tidak terjadi. Fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen dan menghasilkan efek pro-estrogenik atau antiestrogenik pada jaringan target. Perkembangan jumlah kelenjar uterus juga dipengaruhi oleh FSH (Follicel
Stimulating Hormon) dan LH (Luteneizing Hormon) pada tahap proliferasi.
Kelenjar uterus adalah kelenjar eksokrin, yang memiliki ujung kelenjar dengan kemampuan menghasilkan
sekreta yang mengandung enzim. Sekresi kelenjar uterus dan plasma darah merupakan campuran cairan yang
mengisi lumen uterus (Hafez et al. 2000). Endometrium memperlihatkan struktur epitel mukosa yang mengalami
hipertrofi dan ditemukan neutrofil pada fase proestrus. Pada salah satu uterus tikus kelompok pre-menopause
ditemukan peradangan hebat berupa endometritis purulenta. Secara histologi tampak sel radang netrofil memenuhi
lumen kelenjar uterus dan lamina propria uterus. Endometritis dapat disebabkan oleh berbagai agen, diantaranya
bakteri. Infeksi dapat timbul akibat bakteri yang sering kali ditemukan didalam vagina (endogenus) atau akibat
pemaparan pada agen pathogen dari luar vagina (eksogenus) (Bobak 2004). Endometritis purulenta pada tikus premenopause disajikan pada Gambar 4, dan rata-rata persentase kelenjar uterus yang berisi eksreta dan sel radang
netrofil dari seluruh kelompok tikus disajikan pada Tabel 3.

Gambar 4 Endometritis purulenta pada salah satu tikus pre-menopause. Sel radang netrofil tampak memenuhi
lumen kelenjar uterus (panah kuning) dan lamina propria uterus. Pewarnaan HE, Bar: 100 m
Tabel 3 Rata-rata persentase kelenjar uterus yang meradang pada tikus produktif dan pre-menopause
Perlakuan
Tikus Produktif
Tikus Premenopause
Kontrol N
11.592.25b
12.471.32a
a
Kontrol P
1.700.32
0.420.57a
a
Dosis 1
00
5.865.89a
Dosis 2
4.93*
9.4715.18a
Dosis 3
3.825.40ab
2.363.33a
a
Rataan
4.3584.90
7.5489.99a
Keterangan: Huruf supersripct yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05); *Tidak dapat
dibandingkan karena tidak memiliki ulangan

Rata-rata persentase kelenjar uterus yang meradang pada kelompok tikus produktif tidak berbeda nyata
(p>0,05) dibandingkan kelompok tikus pre-menopuse. Pada kelompok tikus produktif, rata-rata jumlah kelenjar
uterus yang meradang pada tikus kontrol positif lebih rendah dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan tikus kontrol
negatif. Penambahan dosis infusa adas cenderung merendahkan (p>0,05) jumlah kelenjar uterus yang meradang
dibandingkan dengan kontrol negatif.
Sebaliknya pada kelompok tikus pre-menopause, pemberian etinil estradiol maupun penambahan dosis
infusa adas hanya merendahkan jumlah kelenjar uterus yang meradang namun tidak berbeda nyata (p>0,05)
dibandingkan kontrol negatif. Pada periode pre-menopause, kadar estrogen dalam tubuh tinggi. Menurut Lestari
(2006), estrogen dapat meningkatkan migrasi sel-sel penyebab inflamasi saluran reproduksi. Selain itu adas diduga

mengandung senyawa yang bersifat sebagai antibakteri, sehingga pemberian adas dapat menurunkan persentase
kelenjar uterus yang meradang.
Kaur dan Aurora (2009) menyatakan bahwa tanaman adas memiliki beberapa kandungan senyawa aktif
seperti alkaloid 2,8-4,23%, flavonoid 8,58-15,06%, tannin 19,71-27,7%, saponin dan glikosida 0,55-0,70%.
Senyawa aktif adas yang diduga berfungsi sebagai antibakteri adalah alkaloid, flavonoid, dan tannin. Persentase
kelenjar yang meradang pada tikus kontrol positif berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol negatif pada kelompok
tikus produktif, diduga karena etinil estradiol dapat menurunkan konsentrasi hormon estrogen dalam tubuh sehingga
dapat mengurangi bakteri yang berada dalam uterus tikus. Menurut Washbun et.al (1982), betina yang diovariektomi
menyebabkan konsentrasi hormon steroidnya rendah dan dapat membersihkan bakteri yang secara eksperimental
diinfeksikan di uterus.
Sel radang yang dominan ditemukan di uterus adalah neutrofil. Neutrofil adalah salah satu komponen
sistem imun alami sebagai lini pertahanan pertama (Aryana dan Biran, 2006). Saluran reproduksi sebagaimana
sistem organ lain seperti saluran pernafasan dan saluran pencernaan, adalah saluran terbuka yang berhubungan
dengan dunia luar sehingga mempunyai resiko terinfeksi oleh mikroorganisme. Faktor lingkungan dan hormon dapat
membawa mikroorganisme ke dalam saluran reproduksi. Ketika antigen berada disaluran reproduksi, reaksi
penolakan atau pengeluaran pertama dilakukan oleh sel-sel fagosit dari sistem imun innate.
Infeksi mikroba menyebabkan dikeluarkannya molekul kemotaktik yang merangsang pergerakan neutrofil
keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam lumen uterus dan ditandai dengan terjadinya peradangan dibarengi
dengan terjadinya vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, pergerakan protein serum menuju lumen uterus
dan produksi cairan uterus. Efek ini disebabkan oleh aktivasi mast cell, basophil dan eosinophil yang melepaskan
molekul vasoactive (Lestari 2006).
Nekrosis pada Kelenjar Uterus
Kelenjar uterus berbentuk tubuler yang membuka pada permukaannya dan merupakan invaginasi dari
epitel. Kelenjar ini menghasilkan cairan alkalis encer yang berfungsi menjaga rongga uterus tetap lembab.
Perubahan kelenjar uterus berupa nekrosis kelenjar dapat dilihat pada Gambar 5, dan persentase kelenjar uterus yang
mengalami nekrosis dapat dilihat pada Tabel 4.

Gambar 5 .Kelenjar uterus yang mengalami nekrosis (panah kuning) pada tikus pre- manopause. Kelenjar nekrosis
dicirikan oleh hilangnya epitel dan inti epitel yang piknotik. Pewarnaan HE, Bar : 100 m
Tabel 4 Rata-rata persentase kelenjar uterus nekrotik pada tikus produktif dan pre-menopause
Perlakuan
Tikus Produktif
Tikus Premenopause
Kontrol N
18.980.46a
1000b
a
Kontrol P
16.727.17
33.2846.04ab
a
Dosis 1
55.4263.04
13.819.51a
Dosis 2
100*
8.1753.39a
Dosis 3
14.374.478a
7.7010.88a
a
Rataan
34.5537.30
36.4844.54a
Keterangan: Huruf supersripct yang berbeda pada kolom sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05); *Tidak dapat
dibandingkan karena tidak memiliki ulangan

Rata-rata persentase kelenjar uterus nekrotik pada kelompok tikus produktif tidak berbeda nyata (p>0,05)
dibandingkan dengan kelompok tikus pre-menopause. Pada kelompok tikus produktif, penambahan dosis infusa
adas tidak memberikan hasil yang berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan tikus kontrol positif maupun kontrol
negatif. Sebaliknya pada kelompok tikus pre-menopause, pemberian etinil estradiol cenderung menurunkan (p>0,05)
persentase kelenjar nekrotik, dan pada pemberian infusa adas dosis bertingkat menurunkan persentase kelenjar
nekrotik secara nyata (p<0,05).
Akhir siklus estrus ditandai dengan ovulasi, jika ovum tidak dibuahi maka akan terjadi fase iskemik.
Korpus luteum berdegenerasi, kadar progesteron dan estrogen menurun, arteri di endometrium mengalami
vasokonstriksi dan akhirnya dinding uterus menjadi menyusut dan mati karena iskemia. Selain itu terjadi
ketidakseimbangan hormonal antara prostaglandin-E2 (PGE2) dan F2(PGF2) dengan prostasiklin (PGI2) yang
disintesis oleh sel-sel endometrium uteri. Semua hal itu menjadikan lapisan endometrium uterus mengalami nekrosis
dan sangat memungkinkan untuk mengalami proses deskuamasi. Adanya penurunan jumlah kelenjar uterus yang
nekrotik pada pemberian etinil estradiol dan infusa adas pada kelompok pre-menopause mengindikasikan adanya
perbaikan pada sel epitel kelenjar uterus.
Simpulan
Pemberian infusa adas dengan dosis 36.5 mg/100 g BB,73 mg/100 g BB, dan 146 mg/100 gBB tidak
berpengaruh terhadap ketebalan endometrium dan jumlah kelenjar uterus pada tikus kelompok produktif maupun
kelompok pre-menopause. Pada kelompok tikus produktif, pemberian infusa adas dengan dosis 36.5 mg/100 g BB
secara nyata menurunkan persentase kelenjar uterus yang meradang, sedangkan dosis 73 mg/100 g BB, dan 146
mg/100 g BB cenderung menurunkan peresentase kelenjar uterus yang meradang. Pada kelompok tikus premenopause, pemberian infusa adas dengan dosis 36.5 mg/100 g BB,73 mg/100 g BB, dan 146 mg/100 gBB secara
nyata menurunkan persentase kelenjar uterus yang nekrosis.
Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis efektif infusa adas yang dapat mempengaruhi ketebalan
endometrium dan persentase kelenjar uterus serta dilakukan pada tikus fase menopause (tua).

DAFTAR PUSTAKA
Achadiat, Crisdioni M. 2007. Fitoestrogen untuk Wanita Menopause [Internet]. [diunduh 19 okt 2014].
Tersedia pada: http://www.mitrainti.org/?q=node/32.
Aryana IS dan Biran SI. 2006. Konsep Baru Kortikosteroid Pada Penanganan Sepsis. Dexa Media 19 (4):
177.
Bobak, Lowdermilk & Jensen, (2004), Buku Ajar Keperawatan Maternitas (Terjemahan Edisi 4),EGC,
Jakarta.
Ihsan MN. 2010. Ilmu Reproduksi Ternak Dasar. Malang (ID): Universitas Brawijaya Press.
Glover A. and Assinder S.J. 2006. Acute exposure of adult male rats to dietary phytoestrogen reduces
fecundity and alters epididymal steroid hormon receptor expression. Jour. Endoc. 189: 565-573
Hafez ESE, Jainuden MR, Rosnina Y. 200. Hormons, Growth Factors and Reproduction. Di dalam :
Reproduction in Farm Animals Ed ke-3. Lippinoct Williams & Wilkins. Philadhelpia.
Hillisch, A. O. Peter, D. Kosemund, G. Muller, A. Waller, B. Schneider, G. Reddersen, W. Eiger dan K.H.
Fritzemeier. 2004. Dissecting Physiological Roles on Estrogen and Potent

Selective Ligands from Structure-Based Design.[internet].[diunduh 14 Maret 2015]. Tersedia


pada:http://www.ehpoline.org/realfiles/ 2004/6848/6848.html.
Kaur, G. J. & Arora, D. S., 2009, Antibacterial and Phytochemichal Screening of Anethum graveolens,
Foeniculum vulgare and Trachyspermum amni, Research Article BMC Complementary and
Alternative
Medicine.
[internet].[diunduh
17
Mei
2015].
Tersedia
pada:http:www.biomedcentral.com.1472-6882/9/30.html..
Rusmin D, Melati. 2007. Adas Tanaman yang Berpotensi Dikembangkan sebagai Bahan Obat Alami.
Warta Puslitbangun Balai Penelitian Tanaman Obat Aromatik. 13(2).
Mills SE. 2007. Histology for Pathologist Ed ke-3. Philadelphia USA: Lippinoctt Williams & Wilkins.
Muaris H.200d. Makanan Sehat dan Lezat di Masa Menaopause, Minuman Segar. Jakarta (ID): EGC.
NorthrupC. 2006. Bijak di Saat Menopause.Bandung(ID): Penerbit Pustaka Hidayah.
Persky VW, Turyk ME, Lingt W, Freels S, Barnes S. 2002. Effect of soy protein on Endogenous in post
Menopauseal Women. Am J. Clin Nutr. 75:145-153.
Silano V, Delb M.2008.Assessment report on Foenicullum vulgare Miller.[Internet].[diunduh 17 Mei
2015].
Tersedia
pada:
http://www.ema.europa.eu/ema/index.jsp?
curl=pages/medicines/landing/herbal_search.js &mid=WC0b01ac058001fa1d
Washburn, S.M.; Klesius,P.H.; Ganjam, V.K. and Brown, B.G. 1982. Effect of estrogen and progesterone
on the phagocytic response of ovariectomized mares injected in utero with -hemolytic
streptococci. Am.J.Vet.Res 1982; 43 : 1367 1370.

Anda mungkin juga menyukai