Anda di halaman 1dari 6

PENGGOLONGAN OBAT DAN TERAPI RASIONAL

Cholis Abrori
A. PENGGOLONGAN OBAT
Obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam
menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan
penyakit atau gejalan penyakit, luka, atau kelainan badaniah dan rokhaniah pada
manusia atau hewan, memperelok badan atau bagian badan manusia.
Golongan obat adalah penggolongan yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan
dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri dari obat bebas,
obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropika dan narkotika.
Obat Bebas dan Bebas Terbatas dipasarkan tanpa resep dokter atau dikenal dengan
nama OTC (Over The Counter) dimaksudkan untuk menangani penyakit-penyakit
simptomatis ringan yang banyak diderita masyarakat luas yang penanganannya dapat
dilakukan sendiri oleh penderita. Praktik seperti ini dikenal dengan nama self
medication (penanganan sendiri).
1. Obat Bebas (Daftar W)
Definisi obat bebas adalah obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Isi dalam
kemasan obat disertakan brosur yang berisi nama obat, nama dan isi zat berkhasiat,
indikasi, dosis dan aturan pakai, nomor batch, nomor registrasi, nama dan alamat
pabrik, serta cara penyimpanannya. Yang termasuk golongan obat ini yaitu obat
analgetik/pain killer (parasetamol), vitamin dan mineral. Ada juga obat-obat herbal
tidak masuk dalam golongan ini, namun dikelompokkan sendiri dalam obat
tradisional (TR). Contoh obat bebas: Paracetamol, Mylanta, Oralit, Curcuma plus,
dllObat bebas masuk dalam obat daftar W (Warschuwing).
Di Indonesia, obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan
garis tepi berwarna hitam.

2. Obat Bebas Terbatas (Daftar W)


Definisi Obat bebas terbatas yaitu obat yang digunakan untuk mengobati penyakit
ringan yang dapat dikenali oleh penderita sendiri. Obat bebas terbatas ini sebenarnya
termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan
disertai dengan tanda peringatan. Obat bebas terbatas masuk dalam daftar obat daftar

W (Warschuwing). Contoh obat bebas terbatas antara lain Promag, Dulcolax,


Methicol dll. Penandaan terhadap obat bebas terbatas beserta etiketnya dapat dilihat
pada.
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 6355/Dirjen/SK/69 tanggal 5
November 1975 ada tanda peringatan P. No 1 sampai P. No 6 dan harus ditandai
dengan etiket atau brosur yang menyebutkan nama obat yang bersangkutan, daftar
bahan berkhasiat serta jumlah yang digunakan, nomor batch, tanggal kadaluarsa,
nomor registrasi, nama dan alamat produsen, petunjuk penggunaan, indikasi, cara
pemakaian, peringatan serta kontra indikasi.
Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru
dengan garis tepi berwarna hitam. Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan
obat bebas terbatas, berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang
5 (lima) sentimeter, lebar 2 (dua) sentimeter dan memuat pemberitahuan berwarna
putih sebagai berikut:

3. Obat Keras (Daftar G)


Obat keras adalah obat yang hanya boleh diserahkan dengan resep dokter. Obat keras
masuk dalam obat daftar G (Gevarlijk). Termasuk golongan ini adalah beberapa obat
generik dan Obat Wajib Apotek (OWA). Narkotika dan psikotropika tergolong obat
keras, namun narkotika digolongkan tersendiri
Obat yang masuk ke dalam golongan obat keras ini adalah obat yang digunakan
secara parenteral, baik dengan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian lain
dengan jalan merobek jaringan, obat baru yang belum tercantum dalam

kompendial/farmakope terbaru yang berlaku di Indonesia serta obat-obat yang


ditetapkan sebagai obat keras melalui keputusan Menkes RI. Contoh obat keras antara
lain amoksisilin, Captopril, Erithromycin dll.
Obat ini pada bungkus luarnya diberi tanda bulatan dengan lingkaran hitam dengan
dasar merah yang didalamnya terdapat huruf K yang menyentuh garis tepi.

4. Obat Narkotika
Definisi menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan. Contoh
obat narkotik yaitu Morphin, Codein, Etilmorfin. dsb.
Obat narkotika memiliki tanda berupa lambang medali berwarna merah.

OBAT WAJIB APOTEK (OWA)


Selain memproduksi obat generik, untuk memenuhi keterjangkauan pelayanan
kesehatan khususnya akses obat pemerintah mengeluarkan kebijakan OWA. OWA
merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA)
kepada pasien. Walaupun APA boleh memberikan obat keras, namun ada
persayaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA.
a. Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien
(nama, alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
b. Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh diberikan
kepada pasien. Contohnya hanya jenis oksitetrasiklin salep saja yang termasuk
OWA, dan hanya boleh diberikan 1 tube.
c. Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar mencakup: indikasi,
kontra- indikasi, cara pemakain, cara penyimpanan dan efek samping obat
yang mungkin timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak
dikehendaki tersebut timbul.

Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk masayrakat, maka obatobat yang digolongkan dalam OWA adalah obat ang diperlukan bagi kebanyakan
penyakit yang diderita pasien. Antara lain: obat antiinflamasi (asam mefenamat), obat
alergi kulit (salep hidrokotison), infeksi kulit dan mata (salep oksitetrasiklin),
antialergi sistemik (CTM), obat KB hormonal.
Sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat
diserahkan:
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di
bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit.
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
OBAT GENERIK VERSUS OBAT PATEN
Obat generik adalah obat yang mengandung zat aktif sesuai nama generiknya,
contoh parasetamol generik berarti obat yang dibuat dengan kandungan zat aktif
parasetamol, dipasarkan dengan nama parasetamol, bukan nama merek seperti
Panadol (Glaxo), Nizoral (Johnson and Johnson). Atau obat generik adalah obat
dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat
yang dikandungnya.
Obat paten adalah obat dengan nama dagang dan menggunakan nama yang
merupakan milik produsen obat yang bersangkutan. Misal: Lipitor (Pfizer), produk
innovator/originator yaitu merek dagang untuk Atorvastatin, Nizoral adalah produk
originator dari ketokonazol.
Produsen obat dalam negeri lebih banyak mengeluarkan obat me-too, alias versi
generik dari obat yang telah habis masa patennya yang lalu diberi merek dagang.
Kalangan perusahaan farmasi di Indonesia sekali lagi, yang lokal cenderung
memposisikan produk semacam ini sebagai obat paten (mungkin karena mereknya
didaftarkan di kantor paten), walau sebenarnya lebih tepat disebut sebagai branded
generic, alias obat generik bermerek itu tadi.
Obat generik ditargetkan sebagai program pemerintah untuk meningkatkan
keterjangkauan pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas khususnya dalam hal daya
beli obat. Oleh karena pemasaran obat generik tidak memerlukan biaya promosi
(iklan, seminar, perlombaan, dll) maka harga dapat ditekan sehingga produsen (pabrik
obat) tetap mendapat keuntungan, begitu pula konsumen mampu membeli dengan
harga terjangkau.
Obat paten lebih mahal karena biaya yang dikeluarkan produsen untuk menghasilkan
obat lebih dari 50% merupakan biaya non-produksi. Alokasi biaya yang paling besar
adalah biaya promosi baik berupa iklan, launching produk, seminar di kalangan
medis, dan brosur dan barang promosi lain seperti alat tulis, map, kaos, topi, dll.

OBAT ESENSIAL
Obat esensial adalah obat yang paling banyak dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan
mencakup upaya diagnosis, pfofilaksis, terapi, dan rehabilitasi yang harus diusahakan
selalu tersedia pada unit pelayanan sesuai dengan fungsi dan tingkatannya
Konsep Obat Esensial di Indonesia mulai diperkenalkan dengan dikeluarkannya
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang pertama pada tahun 1980, dan dengan
terbitnya Kebijakan Obat Nasional pada tahun 1983. Selanjutnya untuk mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran dan farmasi,
serta perubahan pola penyakit, DOEN direvisi secara berkala setiap 3-4 tahun. DOEN
yang terbit pada tahun 2011 ini merupakan revisi dari DOEN 2008. Namun dengan
adanya ketentuan baru dalam Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, maka untuk selanjutnya DOEN akan direvisi setiap 2 (dua) tahun sekali.
Komitmen pemerintah melakukan revisi berkala merupakan prestasi tersendiri.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar yang berisikan obat terpilih
yang paling dibutuhkan dan diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai
dengan fungsi dan tingkatnya. DOEN merupakan standar nasional minimal untuk
pelayanan kesehatan.
Penerapan DOEN dimaksudkan untuk meningkatkan ketepatan, keamanan,
kerasionalan penggunaan dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya
guna dan hasil guna biaya yang tersedia sebagai salah satu langkah untuk
memperluas, memeratakan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Penerapan DOEN harus dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus
di semua unit pelayanan kesehatan.
Jika dalam pelayanan kesehatan diperlukan obat di luar DOEN, dapat disusun dalam
Formularium (RS) atau Daftar obat terbatas lain (Daftar Obat PKD, DPHO Askes).
Penerapan Konsep Obat Esensial dilakukan melalui Daftar Obat Esensial Nasional,
Pedoman Pengobatan, Formularium Rumah Sakit, Daftar obat terbatas lain dan
Informatorium Obat Nasional Indonesia yang merupakan komponen saling terkait
untuk mencapai peningkatan ketersediaan dan suplai obat serta kerasionalan
penggunaan obat.
B. TERAPI RASIONAL
Menurut Badan Kesehatan Sedunia (WHO), kriteria pemakaian obat (pengobatan)
rasional, antara lain :
1. Tepat diagnosis, yaitu sesuai dengan indikasi penyakit. Pengobatan didasarkan
atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik yang akurat.
2. Tepat dosis, yaitu pemberian obat memperhitungkan umur, berat badan dan
kronologis penyakit.
3. Tepat cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat. Jarak
minum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan.
4. Tepat lama pemberian, pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam
jangka waktu tertentu
5. Obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu terjamin. Hindari pemberian
obat yang kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis keluhan penyakit.

6. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Jenis obat mudah
didapatkan dengan harganya relatif murah.
7. Meminimalkan efek samping dan alergi obat. Berikan informasi standar
tentang kemungkinan efek samping obat dan cara mengatasinya
Menurut Guide to Good Prescribing (WHO) proses dalam pengobatan rasional adalah
sebagai berikut
1.
2.
3.
4.
5.
6.

menetapkan masalah pasien (diagnosis)


menetapkan tujuan pengobatan
menyusun dan memilih daftar kelompok obat yang efektif (P-drug)
Memulai pengobatan
Memberikan penjelasan tentang obat, cara paka, dan peringatan
Memantau (menghentikan) pengobatan

Referensi:
1. WHO, 1994. Guide to Good Prescribing.
2. Daftar Obat Esensial Nasional tahun 2011, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
3. Permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993
4. Sarnianto, P., 2007, Strategi Sanbe menekuk pasar ethical, SWA MAJALAH,
28 Juni 2007
5. UU RI No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
6. UU RI No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
7. Depkes RI, 2006, Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas,
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai