Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah sejarah
pemikiran Islam tentang peringatan maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu. Tentu saja tulisan
ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup ulama dominan yang dapat dijadikan
rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran.
Ibnu Taymiyah dalam kitab Iqtidla'-us-Syirat al-Mustqim (2/83-85) mengatakan: "Rasululullah s.a.w.
telah melakukan kejadian-kejadian penting dalam sejarah beliau, seperti khutbah-khutbah dan
perjanjian-perjanjian beliau pada hari Badar, Hunain, Khandaq, pembukaan Makkah, Hijrah, Masuk
Madinah. Tidak seharusnya hari-hari itu dijadikan hari raya, karena yang melakukan seperti itu adalah
umat Nasrani atau Yahudi yang menjadikan semua kejadian Isa hari raya. Hari raya merupakan
bagian dari syariat, apa yang disyariatkan itulah yang diikuti, kalau tidak maka telah membuat sesuatu
yang baru dalam agama. Maka apa yang dilakukan orang memperingati maulid, antara mengikuti
tradisi Nasrani yang memperingati kelahiran Isa, atau karena cinta Rasulullah. Allah mungkin akan
memberi pahala atas kecintaan dan ijtihad itu, tapi tidak atas bid'ah dengan menjadikan maulid nabi
sebagai hari raya. Orang-orang salaf tidak melakukan itu padahal mereka lebih mencintai rasul".
Namun dalam bagian lain di kitab tersebut, Ibnu Taymiyah menambahkan:"Merayakan maulid dan
menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan
mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SA. Seperti
yang telah saya jelaskan, terkadang sesuatu itu baik bagi satu kalangan orang, padahal itu dianggap
kurang baik oleh kalangan mu'min yang ketat. Suatu hari pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad
tentang tindakan salah seorang pejabat yang menyedekahkan uang 100 dinar untuk membuat mushaf
Qur'an, beliau menjawab:"Biarkan saja, itu cara terbaik bagi dia untuk menyedekahkan emasnya".
Padahal madzhab Imam Ahmad mengatakan bahwa menghiasi Qur'an hukumnya makruh. Tujuan
Imam Ahmad adalah bahwa pekerjaan itu ada maslahah dan ada mafsadahnya pula, maka
dimakruhkan, akan tetapi apabila tidak diperbolehkan, mereka itu akan membelanjakan uanngnya
untuk kerusakan, seperti membeli buku porno dsb.
Pahamilah dengan cerdas hakekat agama, lihatlah kemaslahatan dalam setiap pekerjaan dan
kerusakannya, sehingga kamu mengetahui tingkat kebaikan dan keburukan, sehingga pada saat
terdesak kamu bisa memilih mana yang terpenting, inilah hakekat ilmu yang diajarkan Rasulullah.
Membedakan jenis kebaikan, jenis keburukan dan jenis dalil itu lebih mudah. Sedangkan mengetahui
tingkat kebaikan, tingkat keburukan dan tingkat dalil itu pekerjaan para ulama.
Selanjutnya Ibnu Taymiyah menjelaskan tingkat amal solih itu ada tiga.
Pertama Amal sholeh yang masyru' (diajarkan) dan didalamnya tidak ada kemaruhan sedikitpun.
Inilah sunnah murni dan hakiki yang wajib dipelajari dan diajarkan dan inilah amalan orang solih
terdahulu dari zaman muhajirin dan anshor dan pengikutnya.
Kedua: Amal solih dari satu sisi, atau sebagian besar sisinya berisi amal solih seperti tujuannya
misalnya, atau mungkin amal itu mengandung pekerjaan baik. Amalan-amalan ini banyak sekali
ditemukan pada orang-orang yang mengaku golongan agama dan ibadah dan dari orang-orang awam
juga. Mereka itu lebih baik dari orang yang sama sekali tidak melakukan amal solih, lebih baik juga
daripada orang yang tidak beramal sama sekali dan lebih baik dari orang yang amalannya dosa
seperti kafir, dusta, hianat, dan bodoh. Orang yang beribadah dengan ibadah yang mengandung
larangan seperti berpuasa lebih sehari tanpa buka (wisal), meninggalkan kenikmatan tertentu (mubah
yang tidak dilarang), atau menghidupkan malam tertentu yang tidak perlu dikhususkan seperti malam
pertama bulan Rajab, terkadang mereka itu lebih baik dari pada orang pengangguran yang malas
beribadah dan melakukan ketaatan agama. Bahkan banyak orang yang membenci amalan-amalan
seperti ini, ternyata mereka itu pelit dalam melakukan ibadah, dalam mengamalkan ilmu, beramal
solih, tidak menyukai amalan dan tidak simpatik kepadanya, tetapi tidak juga mengantarkannya
kepada kebaikan, misalnya menggunakan kemampuannya untuk kebaikan. Mereka ini tingkah
lakunya meninggalkan hal yang masyru' (dianjurkan agama) dan yang tidak masyru' (yang tidak
dianjurkan agama), akan tetapi perkatannya menentang yang tidak masyru' (yang tidak diajarkan
agama).
Ketiga: Amalan yang sama sekali tidak mengandung kebaikan, karena meninggalkan kebaikan atau
mengandung hal yang dilarang agama. (ini hukumnya jelas).
Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: "Bid'ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati
hari maulid Rasulullah".
Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi):"Termasuk yang hal baru yang baik dilakukan pada
zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah s.a.w.
dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya
itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah dan
penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya
Rasulullah s.a.w. kepada seluruh alam semesta".
Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Fatawa Kubro menjelaskan:"Asal melakukan maulid adalah
bid'ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya
terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di
dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan buid'ah yang baik (bid'ah
hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa
Rasulullah s.a.w. datang ke Madina, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada haru Asyura,
maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab:"Itu hari dimana Allah menenggelamkan
Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua. Dari situ dapat diambil
kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau
terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa
dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur'an dll.
Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah s.a.w. di muka bumi ini. Maka sebaiknya
merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur'an, memberi makan fakir miskin,
menceritakan keutamaan dan kebaikan Rauslullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik
dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik,
maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu, kalau itu mubah maka hukumnya mubah,
kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya".
Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab Syarh Mawahib Ladunniyah mengatakan:"Melakukan perayaan,
memberi makan orang disunnahkan tiap waktu, apalagi kalau itu disertai dengan rasa gembira dan
senang dengan kahadiran Rasulullah s.a.w. pada hari dan bulan itu. Tidaklah sesuatu yang bid'ah
selalu makruh dan dilarang, banyak sekali bid'ah yang disunnahkan dan bahkan diwajibkan".
Imam Suyuti berkata: "Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul,
membaca al-Qur'an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan
hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang.
Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid'ah hasanah. Orang yang melakukannya
diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan
atas kelahiran Nabi Muhamad SAW yang mulia".[2]
Syeh Azhar Husnain Muhammad Makhluf mengatakan:"Menghidupkan malam maulid nabi dan
malam-malam bulan Rabiul Awal ini adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah,
memperbanyak syukur dengan nikmat-nikmat yang diturunkan termasuk nikmat dilahirkannya
Rasulullah s.a.w. di alam dunia ini. Memperingatinya sebaiknya dengan cara yang santun dan khusu'
dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama seperti amalan-amalan bid'ah dan kemungkaran. Dan
termasuk cara bersyukur adalah menyantuni orang-orang susah, menjalin silaturrahmi. Cara itu
meskipun tidak dilakukan pada zaman Rasulullah s.a.w. dan tidak juga pada masa salaf terdahulu
namun baik untuk dilakukan termasuk sunnah hasanah".
Seorang ulama Turkmenistan Mubasshir al-Thirazi mengatakan:"Mengadakan perayaan maulid nabi
Muhammad s.a.w. saat ini bisa jadi merupakan kewajiban yang harus kita laksanakan, untuk
mengkonter perayaan-perayaan kotor yang sekarang ini sangat banyak kita temukan di masyarakat"
Dalil-dalil yang memperbolehkan melakukan perayaan Maulid Nabi s.a.w.
1. Anjuran bergembira atas rahmat dan karunia Allah kepada kita. Allah SWT berfirman:
Katakanlah:
2. Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah Hadits dinyatakan:
.
"Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari
senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku".
(H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu
Abi Syaibah dan Baghawi).
3. Diriwayatkan dari Imam Bukhori bahwa Abu Lahab setiap hari senin diringankan siksanya dengan
sebab memerdekakan budak Tsuwaybah sebagai ungkapan kegembiraannya atas kelahiran
Rasulullah SAW. Jika Abu Lahab yang non-muslim dan al-Qur'an jelas mencelanya, diringankan
siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan
orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW.
Jadi masalah maulid ini seperti beberapa masalah agama lainnya, merupakan masalah khilafiyah,
yang diperdebatkan hukumnya oleh para ulama sejak dulu. Sebaiknya umat Islam melihatnya dengan
sikap toleransi dan saling menghargi mengenai perbedaan pendapat ini. Tidak selayaknya mengklaim
paling benar dan tidak selayaknya menuduh salah lainnya.
Bahkan kalau dicermati, sebenarnya pendapat yang melarang dan yang memperbolehkan perayaan
maulid tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama membela kecintaan mereka kepada Rasulullah
s.a.w. Maka sangat disayangkan kalau umat Islam yang sama-sama dengan dalih mencintai
Rasulullah s.a.w. tetapi saling hujat dan bahkan saling menyakiti.
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". QS. AlAhzab:56.
Jika timbul pertanyaan, perayaan maulid yang datangnya pada bulan Robi'ul Awwal, juga bertepatan
dengan bulan wafat Rasulullah SAW, mengapa tidak ada luapan kesedihan atas wafatnya beliau?
Imam Suyuthi menjelaskan: "Kelahiran Nabi SAW adalah kenikmatan terbesar untuk kita, sementara
wafatnya beliau adalah musibah terbesar atas kita. Sedangkan syariat memerintahkan kita untuk
menampakkan rasa syukur atas nikmat dan bersabar serta diam dan merahasiakan atas cobaan yang
menimpa. Terbukti agama memerintahkan untuk menyembelih kambing sebagai 'aqiqoh pada saat
kelahiran anak, dan tidak memerintahkan menyembelih hewan pada saat kematian, maka kaidah
syariat menunjukkan bahwa yang baik pada bulan ini adalah menampakkan kegembiraan atas
kelahiran Rasulullah SAW bukan menampakkan kesusahan atas musibah yang menimpa". [4]
Oleh karena hakekat dari perayaan maulid adalah luapan rasa syukur serta penghormatan kepada
Rasulullah SAW, sudah semestinya tidak dinodai dengan kemunkaran-kemunkaran dalam
merayakannya. Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, tampilnya perempuan di atas pentas
dihadapan kaum laki-laki, alat-alat musik yang diharamkan dan lain-lain. Begitu juga peringatan maulid
tidak seharusnya digunakan untuk saling provokasi antar kelompok Islam yang berujung pada
kekerasan antar kelompok. Sebab jika demikian yang terjadi, maka bukanlah penghormatan yang
didapat akan tetapi justru penghinaan kepada Rasulullah SAW.
[1]Imam
Ghazali Said MA, Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya, meragukan
kebenaran data imam Suyuthi ini. Menurutnya, tradisi peringatan maulid sebenarnya telah
dilakukan oleh orang-orang Syi'ah sebelum raja Al-Mudhaffar. Menurut penulis, ada
kesalahan pemahaman dari penjelasaan imam Suyuthi ini. Imam Ghazali Said MA tidak
memahami kontek penjelasan imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi (kumpulan fatwanya).
Imam Suyuthi hanya memberi penjelasan bahwa raja-raja Islam yang pertama kali
mengadakan peringatan maulid secara besar-besaran adalah raja Al-Mudhaffar. Beliau tidak
menyinggung rakyat biasa yang bukan raja, tidak pula menyinggung raja yang memperingati
secara sederhana yang tidak sebesar perayaan peringatan maulid yang dilakukan raja AlMudhaffar. Bisa saja sebelumnya telah ada beberapa orang atau bahkan ulama yang
memperingatinya, namun tidak menjadi acara resmi Negara. Atau bahkan raja-raja
sebelumnya telah ada yang memperingatinya, namun tidak semeriah Al-mudhaffar, sehingga
tidak sampai menggugah para sejarawan untuk mencatatnya sebagai peristiwa yang luar
biasa.
[2] Al-Hawi li
[3]
[4]
http://www.pesantrenvirtual.com