Biaya kesehatan yang terkait dengan hemodialisis di Jepang menjadi
perhatian ekonomi. Nefropati diabetikum adalah indikasi primer hemodialisis di Jepang, jadi pencegahan progresivitas penyakit sangat penting untuk mengurangi jumlah pasien yang menjalani hemodialisis. Hipotiroid subklinis (SCH) terjadi ketika kadar TSH sudah meningkat sementara kadar fT4 masih dalam rentag normal. Walaupun ini biasanya masih asimptomatis, tapi ini terkait dengan hiperlipidemia, aterosklerosis, disfungsi jantung, dan hipotiroid yang nyata. Tingginya kadar TSH berhubungan dengan perkembangan albuimnuria pada pasien DM tipe2. Oleh karena itum SCH berkontribusi dalam perkembangan nefropati diabetikum pada pasien DM tipe 2. Padapenelitian ini diambil 513 pasien yang sebelumnya sudah didiagnosis DM tipe 2 umur rata-rata 62 tahun yang fungsi tidroidnya diperiksa antara bulan September 2009 dan Desember 2010. DM tipe 2 didiagnosis berdasarkan kriteria asosiasi diabetes. SCH didefinisikan sebagai peningkatan kadar TSH (>4 nIU/L) dan kadar fT4 normal (0,90-1,70 ng/dl). Kriteria eksklusi adalah riwayat penyakit tiroid dengan atau tanpa terapi, penyakit jantung, infeksi akut, CKD stadium 4 dan 5, dan penyakit hati. Setelah mengekklusikan 99 pasien, total dari 414 pasien diinklusikan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium. Semua pasien dberikan kuesioner mengenai lamanya mendderita diabetes, konsumsi alkohol harian, konsumsi rokok harian, penggunaan obat antihipertensi, dan pengobatan antihiperlipidemia. BMI dihitung. Pasien yang merokok 1 batang per hari disebut perokok aktif.hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik > 140 mmHg atai diastolik >90 mmHg, atau keduaya, atau pasien sudah mendapat terapi antihipertensi. Dislipidemia didefiniskan sebagai konsentrasi total kolesterol serum >220 mg/dl, trigliserida >140 mg/dl, atau HDL <40 mg/dl atau jika pasien sudah mengkonsumsi obat antihiperlipidemia sebelumnya.
Pemeriksaan laju filtrasi glomerulus dan definisi CKD. Pemeriksaan
LFG dihitung berdasarkan kreatinin serum yaitu dengan rumus 194x kadar kreatinin serumx umur x 0,739 (jika perempuan). CKD didefinisikan sebagai LFG yang kurang dari 60mL/menit/1,73m2. Pemeriksaan nefropati terkait dengan DM tipe 2 adalah dengan menggunakan albumin urin: normoalbuminuria dengan kadar 0- 29,9 mg/g kreatinin, mikroalbuminuria dengan kadar 30-299mg/g kreatinin dan nefropati bila kadar >300 mg/g kreatinin. Analisis statistik adalah ttest, Chi-square test dan one way analisis variant. Hasil penelitian. Prevalensi SCH adalah 8,7% diantara semua pasien DM tipe 2 (tabel 1). Kelompok SCH memiliki prevalensi lebih tinggi menderita hiperlipidemia, dan nefropati diabetikum dibanding kelompok dengan eutiroid. GFR pada SCH lebih rendah dibanding kelompok eutiroid. Bagaimanapun, jenis kelamin, umur, prevalensi antibodi antitiroid tidak berhubungan secara bermakan dengan SCH dan kelompok eutiroid. Prevalensi diabetik neforpati adalah 7,0% pada penelitian kohort. Nefropati diabetikum memiliki kadar HbA1c lebih tinggi dan kadar kreatinin lebih tinggi dari normal dan kadar mikroalbuminuria lebih tinggi dan lama menderita Dm lebih dlama dibanding kelompok yang normal. Pada nefropati diabetikum, rasio penggunaan ACEi dan ARB lebih tinggi dibanding kelompok normal atau kelompok dengan mikroalbuminuria. SCH memiliki hubungan yang positif dengan terjadinya nefropati diabetikum. Seelah menyesuaikan jenis kelamin, umur, dan hipertensi, SCH , semuanya memiliki hubungan yang positif terhadapa kejadian nefropati diabetikum. Pada model 1, umur secara independen berhubngan dengan CKD, sementara SCH tidak berhubungan dengan CKD. Pada model 2, kedua umur dan hipertensi berhubungan dengan CKD, sementara SCH tidak berhubungan dengan CKD. Pada model 3, hipertensi dan dislipidemia berhubngan dengan CKD sementara SCH tidak berhubungan dengan CKD. Hasil ini menunjukkan bahwa SCH berhubungan dengan adanya nefropati diabetikum pada 414 pasien dengan DM tipe 2. Prevalensinya adalah 8,7% pada