Anda di halaman 1dari 370

PENYAKIT MENULAR NEGLECTED:

Kajian program dan penelitian

Editor:
Emiliana Tjitra
Mohammad Sudomo
Muhammad Karyana

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,


Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia.
Tahun 2013

SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karuniaNya, Buku Seri Kajian Litbangkes mengenai Kajian Program dan Penelitian Penyakit
Menular Neglected dan Non-Neglected Tahun 2013 ini berhasil diterbitkan.
Kita ketahui bersama, penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia sampai saat ini. Kajian ini menjadi salah satu sumbangsih Badan Litbangkes
untuk mengatasi masalah kesehatan Indonesia. Kajian program merupakan suatu bentuk
kajian sistematik terhadap program kesehatan spesifik yang memerlukan penguasaan
dalam mengaitkan substansi dasar kelimuan penyakit tersebut dengan program
pengendaliannya. Kajian penelitian merupakan evaluasi hasil-hasil penelitian nasional
maupun internasional yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan yang ditemukan
dalam kajian program tersebut.
Sebanyak 13 penyakit menular neglected dan 8 penyakit menular non neglected
dibahas mendalam. Penyakit-penyakit tersebut adalah penyakit yang memiliki dampak
pada kesehatan masyarakat, sejalan dengan Renstra dan rekomendasi internasional.
Dikaji guna mendapat opsi kebijakan spesifik berbasis bukti sebagai masukan upaya
pengendalian penyakit tersebut.
Harapan saya agar seluruh pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan
memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan kajian ini, terutama dalam
merumuskan kebijakan dan mengembangkan program pengendalian penyakit, demi
terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Serta untuk para peneliti
khususnya, dapat terinspirasi melakukan penelitian yang lebih terarah untuk menjawab
permasalahan program.
Selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada tim peneliti Badan Litbang, para
narasumber dari program maupun universitas, serta semua pihak yang terlibat dalam
kajian ini. Kerja keras dan karya Anda selalu ditunggu demi Indonesia yang lebih baik.
Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta,

Desember 2013

Dr. dr. Trihono, MSc

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas bimbingan,
kekuatan dan ketekunan yang diberikan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan
buku Kajian Penyakit Menular Neglected.
Buku ini merupakan hasil kajian ilmiah program pengendalian dan hasil penelitian
beberapa penyakit menular neglected dari peneliti-peneliti Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Kajian
bertujuan untuk mendukung dan memberi masukan kepada pemerhati program dan
peneliti supaya upaya pengendalian penyakit neglected

lebih terarah dan cepat

tercapai.
Sebanyak 13 penyakit menular neglected yang tersebar di Indonesia (filariasis, soil
transmitted helmints/kecacingan, schistosomiasis, fasciolopsiasis, taeniasis cysticercosis,
skabies, kusta/lepra, frambusia, antraks, pes, leptospirosis, Japanese encephalitis dan
rabies) telah dikaji melalui proses atau tahapan yang cukup panjang untuk menyamakan
persepsi substansi kajian, termasuk masukan dari penanggung jawab program, pakar
dan akademisi.
Kami menyadari buku kajian ini masih belum sempurna dan memerlukan saran
konstruktif untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat untuk membebaskan Indonesia
dari penyakit menular neglected.
Kepada Bapak dan Ibu yang telah berpartisipasi, mendukung dan membantu
keberhasilan dicetaknya buku ini kami mengucapkan banyak terima kasih.

Tim kajian

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

ii

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Ringkasan
Penyakit menular belum maksimal dikendalikan di Indonesia karena beberapa
penyakit masih terabaikan (neglected). Keberadaan penyakit menular neglected (PMN)
merupakan indikator kemiskinan Negara. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan mempunyai fungsi dan peran untuk dapat merekomendasi kebijakan dan
mendukung upaya pengendalian berbasis bukti, serta mengagendakan penelitian
terobosan melalui kajian mendalam upaya program dan hasil penelitian PMN.
Kajian dilakukan sesuai kaidah ilmiah yang meliputi beberapa tahapan. Kajian
diawali dengan penguasaan substansi bahan kajian terkini yang menjadi masalah di
Indonesia

antara

lain

keragaman

penyebab

(mikroorganisme),

epidemiologi,

patogenesis, diagnosis, pengobatan, prognosis, pencegahan dan beban ekonomi PMN.


Penguasaan substansi disertai dengan pemahaman program pengendalian PMN sesuai
kecenderungan dan komitmen global yang didukung sumber data dari laporan kegiatan
program yang dipublikasi maupun tidak. Pencapaian upaya program pengendalian PMN
dilengkapi dan dibandingkan dari sumber data ilmiah lainnya yaitu hasil penelitian.
Seluruh bahan yang dikaji kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi kesenjangan
program dengan temuan kajian. Hasil analisis merupakan pilihan kebijakan dan
penelitian yang mendukung pengendalian, eliminasi eradikasi PMN yang rasional, fisibel
dan cost effective.
Dari 13 PMN yang menjadi masalah kesehatan dunia terutama di Indonesia, 5
penyebabnya

adalah

cacing

(filariasis,

soil

transmitted

helmints/kecacingan,

schistosomiasis, fasciolopsiasis, dan taeniasis cysticercosis), satu tungau (skabies), 5


bakteri (kusta/lepra, frambusia, antraks, pes, dan leptospirosis) dan 2 virus (Japanese
encephalitis dan rabies). Penyebab PMN yang spesifik ditemukan di Indonesia hanya
penyebab filariasis yaitu Brugia timori. Dari PMN tersebut hanya 3 PMN tidak sebagai
zoonosis yaitu skabies, kusta dan frambusia yang penularannya melalui kontak langsung.
Filariasis dan Japanese encephalitis ditularkan oleh nyamuk sedangkan lainnya melalui

iii

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

makanan atau minuman (kecacingan, fasciolopsiasis, taeniasis cysticercosis, leptospirosis


dan antraks), saluran nafas (kusta, antraks, pes dan leptospirosis), kulit atau selaput
lendir (kecacingan, schistosomiasis, skabies, antraks dan leptospirosis), dan gigitan atau
luka (kusta, frambusia, leptospirosis, rabies). Pesebaran PMN dilaporkan terbatas dan
endemis di fokus-fokus tertentu yang umumnya berhubungan kemiskinan, lingkungan
kumuh, perilaku dan budaya tidak sehat. Penyakit umumnya bersifat kronik kecuali
antraks, pes, leptospirosis, Japanese encephalitis dan rabies). Kepastian diagnosis
penyakit PMN belum bisa dilakukan dan tersedia di pelayanan kesehatan terdepan, dan
memerlukan laboratorium khusus dengan tingkat keamanan tertentu (biosafety >2)
untuk antraks, leptospirosis, pes, dan rabies). Sampai saat ini kepastian beberapa PMN
ditegakkan berdasarkan gejala klinis antara lain:

skabies, kusta, dan frambusia.

Walaupun tata laksana pengobatan PMN sudah diketahui jelas, bila tidak segera diobati
akan mengakibatkan kematian atau fatalitasnya tinggi pada beberapa penyakit antara
lain: rabies, antraks, pes, leptospirosis, dan Japanese encephalitis. Beberapa PMN juga
mengakibatkan kecacatan yaitu filariasis, cysticercosis, kusta, frambusia dan Japanese
encephalitis. Perjalanan penyakit yang kronik dapat menurunkan kualitas hidup dan
kecacatan yang mengakibatkan beban ekonomi kesehatan cukup besar. Sampai saat in
upaya pencegahan dengan vaksinasi belum tersedia kecuali untuk rabies. Upaya
pencegahan yang dapat dilakukan hanya diagnosis dini dan pengobatan cepat, serta
hidup sehat.
Sehubungan sebagian besar PMN merupakan zoonosis, tugas program
pengendalian zoonosis menjadi tumpang tindih dan rancu dengan program lain yaitu
program pengendalian kecacingan (schistosomiasis, soil transmitted helmints), tular
vektor (filariasis dan Japanese encephalitis), surveilens (Japanese encephalitis), menular
langsung (antraks, pes dan leptospirosis). Sampai saat ini belum ada kejelasan program
pengendalian fasciolopsiasis, taeniasis cysticercosis dan skabies. Sebanyak 5 PMN yang
telah mengarah ke program eliminasi yaitu kusta pada tahun 2000, pes pada tahun
2004, filariasis pada tahun 2020, dan rabies pada tahun 2020; dan program eradikasi
yaitu frambusia pada tahun 2009. Disamping itu SDM kompeten untuk program

iv

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

pengendalian PMN terbatas dan tumpang tindih tanggung jawabnya untuk program
pengendalian PMN lainnya. Disamping itu program pengendalian atau eliminasi tidak
optimal karena tidak ada kejelasan petunjuk teknis antara lain definisi kasus, fasilitas
untuk menegakkan diagnosi, obat yang ketersediannya terbatas atau tidak
berkesinambungan, data kesakitan dan kematian yang akurat dan sahih, kejelasan unit
jangkauan atau daerah atau fokus endemis yang perlu dikendalikan atau dieliminasi,
alokasi dana yang terbatas dan tergantung kemampuan dan komitmen daerah, serta
kerjasama lintas sektor terkait dan partisipasi masyarakat.
Laporan kegiatan pencapaian program masih terbatas dan belum ada sistem
pencatatan dan pelaporan baku yang terintegrasi dengan program penyakit lainnya.
Umumnya laporan yang tersedia adalah kejadian luar biasa (KLB). Demikian pula
penelitian yang dilakukan bersifat insidental dan belum sejalan dengan upaya
pengendalian, eliminasi atau eradikasi PMN.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

vi

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Daftar Isi
Hal
Kata pengantar ................................................................................................................ i
Ringkasan ....................................................................................................................... iii
Daftar Isi ........................................................................................................................ vii
Daftar Tabel .................................................................................................................... ix
Daftar Gambar................................................................................................................ xi
Daftar Singkatan ........................................................................................................... xiii
A. Sekilas Kajian Penyakit Menular Neglected ............................................................... 1
B. Kajian Penyakit Menular Neglected ........................................................................ 21
1.

Filariasis .......................................................................................................... 23

2. Kecacingan ..................................................................................................... 43
3. Schistosomiasis .............................................................................................. 67
4. Fasciolopsiasis ................................................................................................ 89
5. Taeniasis dan Cysticercosis .......................................................................... 111
6. Skabies .......................................................................................................... 133
7.

Kusta ............................................................................................................. 149

8.

Frambusia ..................................................................................................... 173

9.

Antraks ......................................................................................................... 191

10. P E S .............................................................................................................. 209


11. Leptospirosis ................................................................................................ 235
12. Japanese Encephalitis ................................................................................... 261
13. Rabies ........................................................................................................... 307
C. Kesimpulan dan Rekomendasi ............................................................................... 337
D. Ucapan Terimakasih .............................................................................................. 339
E. Tim Kajian .............................................................................................................. 341

vii

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

viii

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Daftar Tabel
Hal
Tabel 1.4.1.

Analisis Gap Filariasis ........................................................................ 39

Tabel 1.5.1.

Policy Option Filariasis ...................................................................... 41

Tabel 2.4.1.

Analisis Gap Kecacingan .................................................................... 57

Tabel 2.5.1.

Policy Option Kecacingan .................................................................. 62

Tabel 3.4.1.

Analisis Gap Schistosomiasis............................................................. 84

Tabel 3.5.1.

Policy Option Schistosomiasis ........................................................... 86

Tabel 4.4.1.1.

Trend Fasciolopsiasis di Kabupaten HSU .......................................... 99

Tabel 4.4.1.

Analisis Gap Fasciolopsiasis ........................................................... 104

Tabel 4.5.1.

Policy Option Fasciolopsiasis .......................................................... 106

Tabel 5.4.1.

Analisis Gap Taeniasis-Cysticercosis ............................................... 129

Tabel 5.5.1.

Policy Option Taeniasis-Cysticercosis ............................................. 130

Tabel 6.4.1.

Analisis Gap Skabies ........................................................................ 143

Tabel 6.5.1.

Policy Option Skabies ...................................................................... 146

Tabel 7.3.1.

Kegiatan Program Kusta-Tatalaksana Pasien .................................. 156

Tabel 7.3.2.

Kegiatan Program Kusta-Tatalaksana Program .............................. 157

Tabel 7.3.3.

Tanda untuk Klasifikasi Kusta.......................................................... 158

Tabel 7.3.4.

Regimen MDT Rekomendasi WHO ................................................. 158

Tabel 7.3.5.

Skema Pemberian Prednisone ........................................................ 160

Tabel 7.3.6.

Skema Pemberian lampren/Klofazimin .......................................... 160

Tabel 7.4.1.

Analisis Gap Kusta ........................................................................... 168

Tabel 7.5.1.

Policy Option Kusta ......................................................................... 169

Tabel 8.4.1.1.

Jumlah kasus seropositif terhadap frambusia tahun 2012 ............ 181

Tabel 8.4.1.

Analisis Gap Frambusia ................................................................... 186

Tabel 8.5.1.

Policy Option Frambusia ................................................................. 188

ix

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 9.2.5.1.

Pemberian Antibiotik Untuk Pengobatan Antraks Menurut


anjuran WHO .................................................................................. 196

Tabel 9.5.1.

Analisis Gap Antraks ....................................................................... 203

Tabel 9.6.1.

Policy Option Antraks ...................................................................... 206

Tabel 10.4.1.

Analisis Gap P E S ............................................................................ 226

Tabel 10.5.1.

Policy Option P E S .......................................................................... 233

Tabel 11.2.5.1.

Pengobatan leptospirosis an-ikterik dan ikterik ............................. 244

Tabel 11.4.1.

Analisis Gap Leptospirosis............................................................... 254

Tabel 11.5.1.

Policy Option Leptospirosis ............................................................ 258

Tabel 12.4.1.1.

Kasus Japanese Encephalitis di beberapa provinsi di Indonesia,


tahun 1993-2004............................................................................. 269

Tabel 12.4.1.2.

Spesimen positif Japanese Encephalitis pada hewan ..................... 270

Tabel 12.4.2.1.1. Hasil penelitian kasus Japanese Encephalitis di beberapa


provinsi di Indonesia ....................................................................... 274
Tabel 12.4.2.1.2. Hasil penelitian hewan-hewan yang positif Japanese Encephalitis
di Indonesia ..................................................................................... 278

Tabel 12.4.1.

Analisis Gap Japanese Encephalitis ................................................. 296

Tabel 12.5.1.

Policy Option Japanese Encephalitis .............................................. 299

Tabel 13.4.1.

Analisis Gap Rabies ......................................................................... 330

Tabel 13.5.1.

Policy Option Rabies ....................................................................... 332

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Daftar Gambar
Hal

Gambar 1.

Kerangka konsep kajian Penyakit Menular Neglected .......................... 6

Gambar 1.4.1.1.

Hasil Kegiatan program filariasis dalam rangka eliminasi,


tahun 2012 .......................................................................................... 31

Gambar 3.2.1.1.

Cacing dewasa Schistosoma japonicum .............................................. 68

Gambar 3.2.2.1.

Persebaran daerah endemis schistosomiasis di Indonesia ................. 69

Gambar 3.2.2.2.

Keong Oncomelania hupensis lindoensis, hospes perantara


schistosomiasis .................................................................................... 70

Gambar 3.2.2.3.

Daerah habitat alami keong ............................................................... 70

Gambar 3.2.2.4.

Daerah habitat yang terjamah manusia.............................................. 71

Gambar 3.2.6.1.

Penderita schistosomiasis yang sudah mengalami


pembengkakan hati ............................................................................. 75

Gambar 3.4.1.1.

Proporsi kasus schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu,


tahun 2007 - 2012 ............................................................................... 79

Gambar 3.4.1.2.

Proporsi kasus schistosomiasis di Dataran Tinggi Napu,


tahun 2007 - 2012 ............................................................................... 79

Gambar 4.2.1.1.

Cacing Dewasa Fasciolopsis buski ....................................................... 90

Gambar 4.2.2.1.

Persebaran Fasciolopsiasis di Dunia dan Indonesia ............................ 90

Gambar 4.2.2.2.

Persebaran Fasciolopsiasis di Kabupaten Hulu Sungai Utara ............. 91

Gambar 4.2.2.3.

Daerah Fokus Fasciolopsiasis di Kabupaten Hulu Sungai Utara ......... 92

Gambar 4.2.2.4.

Jamban di Daerah Endemik Fasciolopsiasis di Kabupaten


Hulu Sungai Utara................................................................................ 94

Gambar 5.1.1.

Daging babi yang mengandung kista Taenia solium ........................ 112

Gambar 5.2.1.1.

Siklus hidup Taenia solium ............................................................... 115

Gambar 5.2.1.2.

Morfologi Taenia solium .................................................................. 115

Gambar 5.2.1.3.

Scolex, rostelum, kait-kait ................................................................. 116

Gambar 5.2.1.4.

Proglotid Taenia solium .................................................................... 116

Gambar 5.2.1.5.

Proglotid berisi telur.......................................................................... 117

xi

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gambar 5.2.1.6.

Telur Taenia spp. ............................................................................... 118

Gambar 5.2.1.7.

Bentuk cacing dewasa ....................................................................... 118

Gambar 5.2.1.8.

Sumber air minum yang beresiko .................................................... 119

Gambar 5.2.1.9.

Jamban yang tidak memenuhi syarat .............................................. 120

Gambar 5.2.4.1.

Radiologis tampak multiple kalisifikasi di otak ................................ 122

Gambar 5.2.4.2.

Neurocysticersis ............................................................................... 123

Gambar 7.2.2.1.

CDR dan Prevalence rate kusta di Indonesia, tahun 2000-2012....... 150

Gambar 7.2.2.2.

Angka Cacat Tingkat 2 di Indonesia, tahun 2000-2012..................... 151

Gambar 7.2.4.1.

Lima bentuk kusta berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling. ............... 153

Gambar 8.4.1.1.

Distribusi kasus baru frambusia klinis di Indonesia tahun 2011 ....... 181

Gambar 10.2.1.1.

Bakteri pes dengan pengecetan gram (Wayson stain) ..................... 211

Gambar 10.2.2.1.

Persebaran daerah enzootik pes di Indonesia tahun 1913............... 212

Gambar 10.2.2.2.

Pinjal tikus rumah Xenopsylla cheopis infektif Y.pestis dan


tikus rumah (R.tanezumi) .................................................................. 212

Gambar 10.4.1.

Porporsi positif serologi pes dan darah manusia diperiksa,


tahun 2004-2013 ............................................................................... 221

Gambar 10.4.2.

Porporsi positif serologi pes dan darah tikus diperiksa,


tahun 2004-2013 ............................................................................... 222

xii

Gambar 11.2.2.1.

Persebaran daerah leptospirosis di Indonesia (tahun 2013) ............ 222

Gambar 11.4.1.

Dinamika kasus leptospirosis di Indonesia, tahun 2002-2012 .......... 250

Gambar 13.2.1.1.

Struktur virus rabies .......................................................................... 309

Gambar 13.2.2.1.

Anjing positif Rabies .......................................................................... 311

Gambar 13.2.6.1.

Penderita rabies dengan gejala ......................................................... 316

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Daftar Singkatan
Ab.

Antibodi

ADB

Asian Development Bank

Ag.

Antigen

AI

Acrupustulosis Infantil

APBD

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

APBN-P

Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Perubahan

BAB

Buang Air Besar

Balitvet

Balai Penelitian Veteriner

BBVet

Balai Besar Veteriner

BCG

Bacillus CalmetteGurin

BI

Bacterial Indeks

BLN

Bantuan Luar Negeri

BSL

Biosafety Levels

BTA

Basil tahan asam

cAMP

Cyclic Adenosine Monophosphate

cATP

Cyclic Adenosine Triphosphate

CDC

Centers for Disease Control and Prevention

CDR

Case Detection Rate

CFA

Circulating Filarial Antigen

CFR

Case Fatality Rate

CSF

Cerebrospinal Fluid

CSIADCP

Central Sulawesi Integrated Area Development and Corservation


Project

CSR

Corporate social responsibility

DAK

Dana Alokasi Khusus

DALY

Disability-Adjusted Life Years

DEC

Diethylcarbamazine citrate

Dekon

Dekonsentrasi

Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia

xiii

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

xiv

Dinkes

Dinas Kesehatan

Dirjen

Direktur Jenderal

Ditjen

Direktorat Jenderal

Ditnak

Direktorat Peternakan

DNA

Deoxyribonucleic acid

DPRD

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

EF

Edema Factor

EHF score

Eye, Hand, Foot score (skor cacat kusta)

EITP

Enzyme-linked Immunoelectrotransfer blot

ELISA

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay

ENL

Erythemanodosum Leprosum

ES

ExcretorySecretoryproducts

FDT

Fixed Duration Treatment

FL

Filariasis Limfatik

GLP

Good Laboratory Practice

HSU

Hulu Sungai Utara

ICF

International Classification of Function Disability and Health

ICT

Immunochromatographic Test

Ig.

Imunoglobulin

ILEP

The International Federation of Anti- Leprosy Associations

IM

Intramuscular

IR

Infection Rate

IV

Intravenous

JE

Japanese encephalitis

JMT

Juvenile Mass Treatment

Kab.

Kabupaten

kb

Kilo base (satuan pasangan basa)

kDa

Kilo Dalton (satuan massa)

Kemenkes

Kementerian Kesehatan

Kemkes

Kementerian Kesehatan

kg

Kilogram (satuan massa)

Kg BB

Kilogram Berat Badan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

KIA

Kesehatan Ibu dan Anak

KIE

Komunikasi, Informasi, dan Edukasi

KLB

Kejadian Luar Biasa

KSDAI

Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia

LEC

Leprosy Elimination Campaign

LF

Lethal Factor

Litbang

Penelitian dan Pengembangan

LL

Tipe lepromatosa (klasifikasi kusta)

LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat

MB

Multi-Bacilary (klasifikasi kusta)

MCK

Mandi Cuci Kakus

MDA

Mass Drug Administration

MDT

Multidrug Therapy

mg

Miligram (satuan massa)

MLCwA

Wall-Associated Proteins of M. leprae

MLSA LAM

M. leprae Soluble Antigens dan Lipoarabinomannan

mm

Millimeter (satuan panjang)

Monev

Monitoring dan evaluasi

mU

Mili Unit

NADPH

Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate

Nakes

Tenaga Kesehatan

NTD

Neglected Disease

NTT

Nusa Tenggara Timur

NZDs

Neglected Zoonotic Diseases

Derajat Celcius (satuan suhu)

OYPMK

Orang Yang Pernah Mengalami Kusta

P2B2

Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang

P2PL

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

PA

protective antigen

PAM

Perusahaan Air Minum

PB

Pauci-Bacillary (klasifikasi kusta)

PCR

Polymerase Chain Reaction

Perdoski

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia

xv

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

xvi

PGA

Poly-D-glutamyl Acid

PHBS

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

PKK

Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga

PM

Penyakit Menular

PMN

Penyakit Menular Neglected

PMT-AS

Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah

PNPM

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

PO

Peroral

POD

Prevention of Disability

POMP

Pemberian Obat Massal Pencegahan

PPM & PL

Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan

Promkes

Promosi Kesehatan

PSP

Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

PU

Pekerjaan Umum

Puskesmas

Pusat Kesehatan Masyarakat

QoL

Quality of Life

RDT

Rapid Diagnostic Test

RFT

Release From Treatment

RNA

Ribonucleic acid

ROM

Rifampisin-Ofloksasin-Minoksiklin

rPA

Rekombinan Protektif Antigen

RPJMN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

RPR

Rapid Plasma Reagin

RVS

Rapid Village Survey

SAPEL

Special Action Program for Elimination Leprosy

SDM

Sumber Daya Manusia

SDN

Sekolah Dasar Negeri

SEM

Scanning Electron Microscopy

SK

Surat Keputusan

SMT

Selective Mass Treatment

SOP

Standard Operational Procedure

STH

Soil Transmitted Helminths

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Subdit

Sub Direktorat

TCP

Treponema Control Programme

TCPS

Treponema Control Programme Simplified

TCT

Total community treatment

TEM

Transmission Electron Microscopy

TGD

Three George Dam

TPE

Tenaga Pelaksana Eliminasi

TPPA

Treponema pallidum Particle Agglutination Assay

TRUST

Toluidine Red Unheated Serum

TT

Tipe tuberculoid (klasifikasi kusta)

TTT

Total Mass Treatment

TTT

Total targetted treatment

UKS

Usaha Kesehatan Sekolah

UPF

Unit pelayanan fungsional

USD

United States Dollar

USG

Ultrasonografi

WB

Whole Blood

WHO

World Health Organization

Mikro Meter (satuan panjang)

xvii

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

xviii

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAGIAN

SEKILAS KAJIAN PENYAKIT MENULAR


NEGLECTED
Emiliana Tjitra

I.

PENDAHULUAN
Kajian kebijakan program merupakan proses sistimatik yang memerlukan
penguasaan substansi dan program,1 sedangkan kajian penelitian merupakan
evaluasi hasil penelitian yang dilakukan sesuai kebutuhan untuk menjawab
permasalahan. Kajian penelitian dapat digunakan untuk mengarahkan dan
mengidentifikasi jenis penelitian yang dibutuhkan dan tepat sasaran. Kajian
kebijakan program dan penelitian saling terkait dan harus terintegrasi. Luaran
kajian diharapkan dapat menjawab permasalahan atau mengisi gap untuk
perbaikan dan pengembangan program dan penelitian.
Penyakit

menular

(PM)

adalah

penyakit

yang

disebabkan

oleh

mikroorganisme dan ditularkan atau disebarkan secara langsung maupun tidak


langsung melalui perantara vektor dan/atau dari reservoir penyakit. Penyakit
menular merupakan masalah kesehatan utama negara berkembang atau daerah
dengan status ekonomi rendah (miskin). Upaya pengendalian PM belum maksimal
karena beberapa penyakit masih terabaikan (neglected). Keberadaan penyakit
menular neglected (PMN) merupakan indikator kemiskinan Negara. Penyakit
menular neglected ditemukan terbatas pada daerah atau kelompok tertentu yang
biasanya terisolir atau terpinggirkan dan miskin karena tidak mendapatkan
pelayanan kesehatan yang layak dan seringkali terabaikan atau sulit dikendalikan.
Keadaan ini dipeberat dengan ketidak-terbukaan penderita karena stigma

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

penyakit, terbatasnya ketersediaan dan/atau pengembangan alat diagnostik, dan


ketersediaan obat untuk penyakit tersebut karena alasan ekonomi pemasaran.
Badan

Kesehatan

Dunia

(World

Health

Organization/WHO)

mendukung

pengendalian dan eliminasi, bahkan eradikasi PMN karena selain merupakan


masalah kesehatan, juga merupakan masalah hak asasi manusia untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.2
WHO memperkirakan sebanyak satu milyar manusia di 149 negara
berkembang, terutama di daerah tropis berisiko terinfeksi PMN2 yang berdampak
besar terhadap beban ekonomi dan sistem kesehatan.3 Sebanyak 17% beban
penyakit parasit dan penyakit infeksi adalah PMN, dan diperkirakan 534.000
penduduk di dunia meninggal setiap tahun. Penyakit menular neglected dapat
mengakibatkan

ketidak-berdayaan

jangka

panjang,

kecacatan,

gangguan

pertumbuhan anak, dan keluaran kehamilan, serta penurunan produktifitas


ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan menetap di negara berpenghasilan
rendah.2 Globalisasi perdagangan dan transportasi memungkinkan beberapa PMN
muncul atau muncul kembali dan tersebar di daerah maju atau di daerah yang
sudah dikendalikan.4 Program pengendalian yang menyeluruh dibutuhkan dengan
pendekatan

multidisiplin

termasuk

lingkungan,

diagnosis,

pengobatan,

pencegahan dan lainnya. Perkembangan pengetahuan biologi dan pengobatan


menghasilkan teknologi baru untuk mempelajari dan mengerti epidemiologi,
infeksi ulang dan infeksi penyerta, dan mekanisme terjadinya resistensi terhadap
obat PMN. Upaya koordinasi yang terus menerus dan agenda khusus dibutuhkan
oleh pemerintah dan swasta untuk mencapai tujuan pengendalian PMN. 5 Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) mempunyai fungsi
dan peran untuk dapat merekomendasi dan mendukung upaya pengendalian PMN
melalui kajian mendalam program dan hasil penelitian PMN sehingga kualitas
hidup dapat diperbaiki dan ditingkatkan sesuai prinsip hak azasi manusia, serta
perbaikan ekonomi. Oleh sebab itu dibutuhkan metode kajian PMN yang baku,
berbasis bukti, dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

II. PENYAKIT MENULAR NEGLECTED (PMN)


WHO telah mengidentifikasi penyakit-penyakit yang termasuk PMN yaitu
Buruli

ulcer,

Chagas

disease,

African

trypanosomiasis,

onchocersiasis,

leishmaniasis, dracunculiasis/ guinea-worm disease, cysticercosis, echinococosis,


fascioliasis, schistosomiasis, soil-transmitted helminthiasis/STHs, filariasis limfatik,
dengue/dengue haemorrhagic fever/DHF, rabies, trachoma, leprosy, yaws,
leptospirosis, scabies, dan penyakit zoonosis lainnya.2 Di Indonesia, belum ada
kejelasan PM yang merupakan PMN. Penyakit menular neglected umumnya
dengan karakteristik sebagai berikut yaitu merupakan masalah kesehatan
masyarakat miskin, terpencil, terbatas atau terisolasi; PM yang belum dapat
dicegah dengan imunisasi; PM lama/existing; PM yang kompleks antara Pejamu
Agen Lingkungan; PM zoonosis yang pengendaliannya memerlukan lintas ilmu,
program dan kementerian; PM yang seharusnya sudah dikendalikan atau
dieliminasi atau dieradikasi.
Selain itu PMN dapat dikelompokan sebagai berikut yaitu berbasis
kebersihan lingkungan (kecacingan/STHs, scabies, frambusia, pes, leptospirosis),
ditularkan

melalui

vektor

atau

reservoir

(filariasis

limfatik,

Japanese

encephalitis/JE, schistosomiasis, fascioliasis, cysticercosis, pes, leptospirosis),


berdampak kecacatan atau stigma (lepra, frambusia, filariasis limfatik,
cysticercosis), merupakan zoonosis dan masalah lintas sektor (rabies, anthrax,
cysticercosis, leptospirosis, malaria, JE,). Penyakit menular neglected yang akan
dikaji dalam buku ini terbatas yang ada di Indonesia yaitu:
1.

Filariasis

2.

Kecacingan

3.

Schistosomiasis

4.

Fasciolopsiasis

5.

Taeniasis Cysticercosis

6.

Skabies

7.

Kusta

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

8.

Frambusia

9.

Antraks

10. Pes
11. Leptospirosis
12. Japanese Encephalitis
13. Rabies

III. TUJUAN
Utama: Merekomendasi kebijakan pengendalian penyakit berbasis bukti dan
agenda penelitian PMN.
Khusus:
- Mereview masalah PMN;
- Mereview kebijakan, strategi dan program pengendalian PMN;
- Mereview laporan, data dan pencapaian program pengendalian PMN dalam
3 tahun terakhir;
- Mereview hasil penelitian PMN;
- Menganalisis gap antara kondisi faktual dan upaya program pengendalian
PMN;
- Mengidentifikasi perkembangan ilmu dan temuan baru komponen-komponen
penunjang pengendalian PMN;
- Merumuskan policy option pengendalian PMN;
- Menilai besaran beban PMN;
- Menentukan faktor atau komponen yang berperan dalam pengendalian PMN;
- Menentukan atau mengembangkan model atau teknik intervensi

pengendalian PMN yang efisien.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

IV.

METODE

IV.1. Kerangka Konsep


Kerangka konsep kajian program dan penelitian PMN dapat dilihat pada
Gambar 1. Indikator input dari kajian ini adalah penguasaan substansi PMN dan
program pengendalian PMN. Sedangkan indikator proses adalah perumusan
situasi, sintesis data hasil penelitian, dan identifikasi pengembangan teknologi
penunjang pengendalian PMN yang efisien. Luaran kajian adalah policy option
untuk perbaikan atau mengisi gap yang terjadi pada pengendalian, dan prioritas
penelitian untuk melengkapi data yang dibutuhkan supaya upaya pengendalian
PMN lebih terarah dan dapat dipercepat.

IV.2. Kegiatan
Kajian ini melalui beberapa tahapan kegiatan sebagai berikut:
IV.2.1 Mereview masalah PMN dari beberapa aspek penyakit
Epidemiologi
Epidemiologi adalah pola, penyebab dan akibat dari kondisi
kesehatan dan penyakit dimasyarakat.6 Epidemiologi meliputi sebaran
penyakit dan faktor penentu yang berhubungan dengan kesehatan atau
penyakit termasuk jenis dan tingkat endemisitas atau keparahannya serta
fatalitasnya, reservoir atau hospes perantara dan vektor penular, dan
faktor risiko yang beperan atau potensial menimbulkan penyakit.
Epidemiologi PMN umumnya sebarannya terbatas, bersifat kompleks dan
sebagian besar merupakan zoonosis. Informasi atau data epidemiologi
bermanfaat untuk penentuan sasaran atau target pengendalian dan
pencegahan penyakit berbasis bukti.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Masalah
1. Epidemiologi (pemetaan
penyakit, reservoir dan
faktor risiko)
2. Patogenesis
3. Diagnosis
4. Pengobatan
5. Prognosis/prediksi/
estimasi
6. Pencegahan

PMNeglected
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Filariasis
Kecacingan
Schistosomiasis
Fasciolopliasis
Taeniasis
Cysticercosis
Skabies
Kusta/Lepra
Frambusia
Antraks
Pes
Leptospirosis
Japanese
encephalitis
Rabies

Program
1. SDM
2. Panduan/SOP/Kebijakan
(diagnosis, pengobatan,
pengendalian, monitoring)
3. Anggaran

Efisiensi
Ekonomi Kesehatan
(diagnosis, pengobatan
dan pengendalian)

Luaran
1. Policy Paper/
Kebijakan
pengendalian/
eliminasi/eradikasi
2. Prioritas penelitian
3. 1 buku/
14 manuskrip

1. Data/laporan program
2. Hasil penelitian kesmas,
klinis danteknologi

Gambar 1. Kerangka konsep kajian Penyakit Menular Neglected

Patogenesis
Patogenesis PMN adalah mekanisme penyebab penyakit yang
merupakan keseluruhan proses perkembangan penyakit, termasuk setiap
tahap perkembangan, rantai kejadian yang menuju kepada terjadinya
penyakit dan serangkaian perubahan struktur dan fungsi setiap
komponen yang terlibat di dalamnya, seperti sel, jaringan tubuh, organ,
oleh stimulasi faktor-faktor eksternal seperti faktor mikrobial, kimiawi
dan fisis. Umumnya patogenesis PMN kompleks karena proses atau
sumbernya tidak saja di manusia tetapi juga di hospes lain atau vektor
sebagai perantara atau hospes sementara. Pengetahuan patogenesis
sebagai dasar atau kunci memecahkan, memutuskan, mengendalikan,
dan mencegah rantai proses penyakit PMN supaya dapat dieradikasi,
dieliminasi, atau dikendalikan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Diagnosis
Diagnosis

adalah

proses

atau

kegiatan

menentukan

atau

mengidentifikasi suatu penyakit atau kelainan berdasarkan tampilannya


dan penyebabnya melalui gejala dan tanda penyakit, dengan konfirmasi
hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan pendukung lainnya.
Data penyakit atau kesakitan yang sahih dan akurat berasal dari penyakit
yang didiagnosis atau ditentukan menggunakan teknik atau proses baku
emas ilmiah. Data kesakitan ini berguna sebagai data dasar atau input,
proses dan data output upaya pengendalian PMN.
Pengobatan
Pengobatan merupakan tindakan untuk menyembuhkan penyakit
atau memusnahkan penyebab penyakit secara radikal dengan obatobatan dan/atau teknik atau peralatan lainnya yang sudah terbukti secara
ilmiah khasiat dan keamanannya. Pengobatan digunakan sebagai cara
untuk menyembuhkan, mencegah penularan dan komplikasi penyakit
atau berkembang menjadi berat. Sampai saat ini pengobatan masih
merupakan cara utama pengendalian PMN.
Prognosis

Prognosis penyakit adalah suatu perkiraan hasil suatu rangkaian


proses dan luarannya atau kemungkinan sembuh dari penyakitnya.
Prognosis biasanya berhubungan dengan tingkat kesulitan, keparahan
atau keganasan penyakit dan upaya tindakan yang dilakukan. Prognosis
berguna untuk penentuan pilihan tindakan pengendalian PMN yang akan
digunakan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan menghentikan sebelum terjadi
atau timbul penyakit. Upaya pencegahan PMN sebenarnya sangat
sederhana, murah dan dapat dilakukan yaitu pola hidup bersih dan sehat
(PHBS).

Bentuk lain dari pencegahan antara lain adalah vaksinasi,

kemoprofilaksis, dan upaya pencegahan perorangan.

IV.2.2 Mereview kebijakan, strategi dan program pengendalian PMN


Kebijakan
Kebijakan merupakan produk turunan dari suatu peraturan atau
keputusan Pemerintah atau Insitusi untuk melaksanakan upaya
pengendalian PMN sesuai tujuan atau luaran yang diharapkan. Kebijakan
yang baik dibuat atau ditentukan berdasarkan bukti atau hasil analisis
yang mendalam, dan dapat dilaksanakan. Kebijakan bersifat dinamis,
sesuai kebutuhan, dapat diperbaiki, dikembangkan dan diperbaharui
sesuai kebutuhan. Keberhasilan upaya pengendalian PMN terutama
ditentukan oleh kebijakan yang tepat.
Strategi pengendalian
Dalam melaksanakan kebijakan pengendalian PMN dibutuhkan
strategi yang efektif. Data dan pengetahuan epidemiologi, patogenesis,
teknik diagnosis, jenis pengobatan, prognosis dan pencegahan penyakit
menentukan strategi yang akan dipilih.
Program pengendalian
Program pengendalian merupakan penjabaran kebijakan sesuai
strategi yang dipilih. Program pengendalian PMN dapat dalam bentuk
mono-intervensi atau multi-intervensi pada upaya penemuan kasus,
pengobatan, pengendalian, surveilans atau monitoring.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Panduan atau standard operational procedure (SOP)


Standard operational procedure adalah panduan atau pedoman
lengkap dan rinci yang telah disepakati untuk melaksanakan tiap kegiatan
program. Standard operational procedure yang tersosialisasi dan
dimengerti dengan baik, mendukung cakupan dan keberhasilan program
penegendalian PMN.
Sumber daya manusia (SDM)
Keberadaan, kuantitas dan kualitas tenaga pelaksana program
mempengaruhi keberhasilan pengendalian PMN. Oleh sebab itu
pengendalian PMN memerlukan sebaran SDM yang sesuai kebutuhan
atau besaran masalah, dan SDM yang terlatih dan trampil (kompeten).
Anggaran
Upaya pengendalian PMN perlu ditunjang kejelasan dan komitmen
sediaan

anggaran

yang

rasional

dan

berkesinambungan

untuk

pelaksanaan kegiatan mencapai tujuan dan pemantauan.

IV.2.3 Mereview laporan, data dan pencapaian program pengendalian PMN


dalam 3 tahun terakhir
Cakupan
Cakupan program merupakan indikator penting untuk menilai
besaran, tepat sasaran, dan kinerja pelaksanaan program pengendalian
PMN. Banyak faktor yang berperan pada cakupan yang perlu dievaluasi
dan umumnya ada faktor penentu keberhasilan program. Evaluasi
sebaiknya dilakukan minimal dalam tiga tahun terakhir karena beberapa
PMN bersifat musiman dan untuk mendapat gambaran atau data terkini.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Angka kesakitan
Penyakit menular neglected selalu berhubungan dengan angka
kesakitan atau morbiditas atau kejadian penyakit. Angka kesakitan yang
baik adalah dalam bentuk insidens atau prevalens, dapat juga dalam
bentuk proporsi apabila data yang tersedia terbatas diketahui, atau dalam
jumlah absolut apabila jumlah kasusnya jarang atau sulit ditemukan.
Angka kesakitan merupakan indikator utama untuk menilai besaran
masalah pengendalian penyakit dan beban penyakit, serta keberhasilan
upaya pengendalian PMN.
Angka rujukan
Penyakit menular neglected tidak jarang memerlukan rujukan
karena kasus terlupakan dan terbatas. Angka rujukan merupakan
indikator pelengkap cakupan dan angka kesakitan untuk menilai sistem,
mutu dan kemampuan tata laksana kasus program pengendalian
penyakit. Angka ini merupakan indikator proses yang cukup penting untuk
kepastian penyebab atau diagnosis penyakit, mencegah kecacatan dan
memberikan pelayanan terbaik.
Angka kesembuhan
Angka

kesembuhan

merupakan

indikator

keberhasilan

penatalaksanaan kasus penyakit, dan berhubungan dengan program


pengobatan. Indikator ini mempunyai kontribusi terhadap angka
kesakitan dan keberhasilan pengendalian PMN.
Angka komplikasi/kecacatan
Sebaliknya angka komplikasi atau kecacatan merupakan indikator
kegagalan penatalaksanaan kasus penyakit, dan berhubungan dengan
program pengobatan. Indikator ini mempunyai kontribusi terhadap
penilaian beban ekonomi PMN. Beberapa PMN memungkinkan memberi
dampak kecacatan apabila penanganan kasus tidak optimal.

10

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Angka kematian
Angka kematian biasanya berhubungan dengan tingkat keseriusan
masalah dan kinerja penanganan kasus PMN. Angka kematian juga
sebagai indikator keganasan penyakit. Umumnya angka ini digunakan
dalam bentuk angka kefatalan kasus (case fatality rate/ CFR)..
Pola/kecenderungan
Pola atau kecenderungan penyakit merupakan bagian dari data
epidemiologi. Beberapa PMN mempunyai pola atau cenderung musiman.
Oleh sebab itu penentuan pola atau kecenderungan penyakit sebaiknya
dinilai dari data minimal 3 tahun terakhir.

IV.2.4 Mereview hasil penelitian PMN


Penelitian operasional (kesehatan masyarakat)
Penelitian operasional digunakan untuk percepatan pengendalian;
perbaikan, penentuan dan pengambilan keputusan; dan efisiensi
pengendalian PMN.
Penelitian klinis
Penelitian klinis PMN digunakan untuk menentukan keamanan dan
efektifnes peralatan, hasil diagnosis, dan obat atau regimen pengobatan
yang akan digunakan oleh manusia untuk pencegahan, diagnosis,
pengobatan atau menghilangkan gejala penyakit.
Penelitian teknologi terapan
Penelitian teknologi terapan digunakan untuk memperbaiki keadaan
manusia dengan memecahkan masalah PMN menggunakan teknologi
terkini.

11

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Penelitian dasar/laboratoris
Penelitian dasar PMN digunakan untuk meningkatkan pengertian
mengenai prinsip dasar penyakit, dan umumnya berhubungan dengan
laboratorium.
Penelitian sosial budaya
Penelitian sosial budaya digunakan untuk memahami karakteristik
masyarakat berisiko dan kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan pada
pengendalian PMN.
Penelitian ekonomi kesehatan
Penelitian ekonomi kesehatan digunakan untuk mencapai nilai
pengendalian PMN maksimal termasuk efektifnes klinis dan costeffectiveness

IV.2.5 Menganalisis gap antara kondisi faktual dan laporan program


pengendalian
Eksistensi program
Keberadaan dan kejelasan program pengendalian PMN dari tingkat
Pusat di Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan sampai di Puskesmas sebagai pelaksana utama sangat
diperlukan untuk mengendalikan, mengeliminasi atau memusnahkan
penyakit.
Fungsi dan aktifitas program
Program pengendalian yang diharapkan adalah program yang
berfungsi dan jelas kegiatan dan hasil pengendalian PMN.

12

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Indikator besaran masalah


Dari hasil pelaksanaan program dapat diidentifikasi faktor-faktor
atau indikator yang berperan dalam keberhasilan atau kegagalan program
pengendalian PMN.
Hasil penelitian/kondisi faktual di lapangan versus pencapaian program
Data pencapaian program PMN perlu dilengkapi atau dibandingkan
dengan data dari sumber lain untuk mendapatkan data yang sahih dan
lengkap.
Target program nasional/global versus data faktual
Pencapaian program pengendalian PMN perlu dianalisis apakah
sesuai dengan komitmen global dan sumber data lain.

IV.2.6 Mengidentifikasi perkembangan ilmu dan temuan baru komponenkomponen penunjang pengendalian penyakit menular
Modeling intervensi, dan estimasi/prediksi besaran penyakit atau
keberhasilan progam.
Program pengendalian penyakit memerlukan terobosan-terobosan
inovatif yang terbukti dapat mendukung dan mempercepat pencapaian
target pengendalian, eliminasi dan eradikasi PMN.
Teknologi inovasi pemetaan, deteksi, diagnostik dan pengobatan
Perkembangan teknologi untuk menentukan besaran masalah,
penemuan kasus, dan pengobatan diperlukan untuk pelaksanakan
program pengendalian PMN yang efisien dan akurat.
Indikator, petanda/marker, dan faktor risiko penyakit
Pelaksanaan dan penilaian hasil pengendalian penyakit PMN
mengacu pada sasaran indikator baku atau terpilih atau indikator yang
dikembangkan.

13

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Obat/regimen baru, dan obat tambahan/pelengkap


Pengobatan

adalah

komponen

pengendalian

PMN

yang

memerlukan obat pilihan yang terbukti aman dan efektif untuk


menyembuhkan, mencegah kekambuhan dan mencegah komplikasi
penyakit. Saat ini banyak dikembangkan adjunctive treatment yaitu
pengobatan dengan obat tambahan untuk mengurangi atau mencegah
kerusakan organ atau meningkatkan respon kekebalan.
Vaksin
Perkembangan

pengetahuan

dan

teknologi

memungkinkan

pengembangan vaksin yang dibutuhkan untuk mencegah terinfeksi dan


mempunyai kekebalan tubuh untuk jangka waktu panjang atau seumur
hidup terhadap PMN.

IV.2.7 Merumuskan policy option pengendalian PMN


Identifikasi gap
Pelaksanaan dan pencapaian upaya pengendalian PMN yang belum
atau tidak optimal sesuai target perlu diketahui permasalahan utamanya
untuk merumuskan dan mengembangkan kebijakan.
Identifikasi indikator utama gap
Permasalahan utama yang sudah teridentifikasi, dijabarkan atau
ditentukan indikator-indikator yang berhubungan atau berdampak
langsung maupun tidak langsung terhadap pengendalian PMN untuk
penentuan strategi program.
Identifikasi intervensi kebijakan/strategi /program yang memberi daya
ungkit besar
Dari

indikator-indikator

yang

sudah

teriidentifikasi

permasalahannya dirumuskan atau diformulasikan program utama yang

14

memberi daya ungkit besar pengendalian PMN.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Saran/rekomendasi

SOP,

pedoman,

program/strategi/kebijakan

terobosan yang fisibel dan mempunyai nilai kebaruan


Dari hasil perumusan yang menyeluruh dan mendalam dari temuan
kajian, dapat disarankan atau direkomendasi policy option dalam bentuk
perbaikan, melengkapi atau membuat SOP, pedoman, kegiatan program,
strategi atau kebijakan pengendalian PMN yang merupakan terobosan,
mempunyai nilai kebaruan dan dapat dilaksanakan.

Hasil akhir kajian tidak saja berupa policy option yang dapat
diimplementasikan langsung, tetapi juga rekomendasi penelitian untuk
melengkapi data penting yang kurang atau tidak tersedia. Oleh sebab itu hasil
lain kajian adalah agenda penelitian PMN yang melalui tahapan lanjutan sebagai
berikut:
IV.2.8 Menilai besaran beban PMN
Morbiditas
Umumnya

makin

tinggi

angka

morbiditas

dan/atau

sulit

disembuhkan, dan/atau penularannya cepat, makin besar permasalahan


pengendalian penyakitnya. PMN dengan morbiditas tinggi perlu diteliti
pemecahan masalahnya untuk menekan dan mencegah morbiditas
melalui penelitian.
Mortalitas
Demikian pula mortalitas, makin tinggi angka mortalitasnya
dan/atau keganasan, dan/atau kefatalan penyakit tinggi menunjukkan
besarnya permasalahan pengendalian penyakit dalam penanganan kasus.
Penyakit menular neglected dengan mortalitas tinggi juga perlu diteliti
alternatif atau terobosan penatalaksanaan kasus yang lebih baik dan
sedini mungkin untuk mengurangi atau menghindari terjadinya kematian.

15

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Mutu/kualitas hidup
Beberapa

PMN

bersifat

kronik, berulang,

komplikasi

atau

mengakibatkan kecacatan yang mempengaruhi kualitas hidup dan


menunjukkan besarnya permasalahan pengendalian penyakit. Penyakit
menular neglected dengan dampak kualitas hidup buruk, perlu diteliti
untuk mendapatkan model penanganan kasus yang menyeluruh dan lebih
baik untuk mencegah kecacatan dan memperbaiki kualitas hidup.
Dampak ekonomi
Penyakit menular neglected yang mengakibatkan kualitas hidup
menurun atau buruk mempengaruhi produktifitas ekonomi. Penyakit
menular neglected dengan dampak ekonomi yang besar perlu dianalisis
kebutuhan atau pengeluaran anggaran untuk pembiayaan kesehatan
terhadap penyakit tersebut oleh keluarga dan pemerintah.
Dampak politis
Sehubungan PMN merupakan penyakit yang berhubungan dengan
pola hidup sehat dan bersih, sewaktu-waktu dapat menimbulkan kejadian
luar biasa (KLB), pada populasi sulit terjangkau, terabaikan dan dapat
mengakibatkan

kecacatan

atau

stigma.

Penyakit

ini

seringkali

berkembang atau digunakan menjadi isu politik. Selain itu keberadaan


PMN merupakan tanda kemiskinan atau keterbelakangan, dan lingkungan
yang tidak baik. Oleh sebab itu PMN perlu dikendalikan melalui surveilens
yang berkelanjutan.

Setelah mengidentifikasi penyakit PMN yang bermasalah dan memerlukan


penelitian untuk mengendalikan penyakit, dilakukan tahap kajian selanjutnya
sebagai berikut:

16

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

IV.2.9 Menentukan faktor atau komponen yang berperan dalam pengendalian


PMN
Mono atau multi faktor/komponen gap utama
Kendala utama percepatan pengendalian PMN dapat mengarah
atau fokus pada satu atau multi faktor atau komponen penyakit yang
perlu dibuktikan kebenarannya dengan penelitian.
Pertanyaan penelitian, konsep atau hipotesis
Dari hasil kajian perlu dikembangkan pertanyaan, konsep atau
hipotesis penelitian yang perlu dilakukan untuk mendukung upaya
percepatan pengendalian PMN.
Goal yang jelas dan fisibel
Semua upaya program

dan penelitian

pengendalian

PMN

seharusnya dengan tujuan akhir yang dapat dicapai yaitu menurunkan


kesakitan dan kematian, eliminasi atau eradikasi penyakit.

IV.2.10 Menentukan atau mengembangkan model atau teknik intervensi


pengendalian yang efisien
Nilai tambah ilmiah atau kebaruan
Dukungan

melalui

penelitian

dapat

merupakan

penelitian

operasional yang mempunyai nilai kebaruan dan nilai tambah program


atau berdampak besar untuk percepatan pengendalian PMN.
Kebutuhan mendesak pengembangan alat, teknik, obat, vaksin untuk
pengendalian
Penelitian pengembangan teknologi kesehatan atau kedokteran
dibutuhkan untuk mendukung percepatan pengendalian PMN antara lain:
alat, metode, obat atau vaksin.

17

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

IV.3. Bahan
Bahan kajian berasal dari dokumen (peraturan, kesepakatan, kebijakan),
buku (buku ilmiah, pedoman/panduan), jurnal atau artikel ilmiah, laporan
pencapaian pengendalian PMN dari program Kementerian Kesehatan dan WHO.
Sebagai data pendukung dan pembanding adalah data hasil penelitian terkini
baik yang bersumber dari Indonesia maupun luar negeri.

IV.4 Cara
Kajian dilakukan dengan mereview dan menganalisis bahan atau sumber
data kajian yang relevan.

IV.5. Penilaian Besaran Masalah


Penentuan prioritas penyakit dan aspek pengendalian PMN yang perlu
diteliti lebih lanjut dinilai dari besaran masalah pada manajemen kasus,
pencegahan, pengendalian dan biaya. Selain itu penyakit yang mengakibatkan
dampak politis atau menyebabkan epidemi, kematian yang tinggi atau bersifat
fatal, dan kecacatan atau stigma juga merupakan prioritas untuk dikendalikan
atau dieliminasi atau dieradikasi dan diteliti.

V.

PRODUK KAJIAN

V.1. Policy option


Policy option merupakan luaran hasil kajian program yang disandingkan
dengan hasil atau data dari sumber lain. Luaran ini merupakan rekomendasi
pilihan kebijakan yang dapat dikembangkan, diperbaiki atau merupakan

18

kebijakan baru untuk memperbaiki atau mengoptimalkan upaya pengendalian

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

PMN. Pilihan kebijakan meliputi kebijakan penanganan kasus PMN saat ini,
kebijakan pengendalian atau eliminasi atau eradikasi PMN, dan kebijakan
pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian/eliminasi/eradikasi PMN.

V.2. Prioritas penelitian


Hasil kajian lain adalah agenda penelitian untuk melengkapi data atau
indikator penting, membuat terobosan ilmiah atau kebaruan untuk percepatan
pencapaian program pengendalian, dan mengembangkan teknologi untuk
program pengendalian (alat, teknik, obat, dan vaksin). Penelitian yang
diprioritaskan adalah penelitian yang sesuai dengan kebutuhan, efektif, luaran
jelas, berkeadilan, kewajaran, kelayakan, dan beretika atau dapat dipertanggung
jawabkan. Goal penelitian pengendalian PMN mengarah minimal ke penurunan
angka kesakitan dan kematian sampai mencapai eliminsai atau eradikasi.

No

Penyakit

Goal

Filariasis

Eliminasi

Kecacingan

Eliminasi

Schistosomiasis

Eliminasi

Fasciolopsiasis

Eliminasi

Taeniasis Cysticercosis

Eliminasi

Scabies

Eradikasi

Kusta/Lepra

Eradikasi

Frambusia

Eradikasi

Anthraks

Eliminasi

10

Pes

Eradikasi

11

Leptospirosis

Kesakitan dan kematian menurun

12

Japanese encephalitis

Kesakitan dan kematian menurun

13

Rabies

Eliminasi

19

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Produk atau luaran penelitian pengendalian PMN dapat berupa teori baru,
model pengendalian penyakit, alat dan teknik diagnostik, obat baru program,
atau vaksin.

Daftar Pustaka
1.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pedoman


Karya Tulis Ilmiah: Peraturan Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia No.04/E/2012. LIPI. 2012.

2.

World Health Organization. Neglected tropical


diseases,
hidden
successes,
emerging
opportunities.WHO. 2009. Geneva, Switzerland.

3.

20

World Health Organization. Global Plan to Combat


Neglected Tropical Diseases: 20082015.WHO.
2007, Lyon, France.

4.

Mackey TK and Liang BA.Threats from emerging and


reemergingneglected tropical diseases
(NTD).Infection Ecology& Epidemiology. 2012; 2:
Article ID 18667.

5.

Drugs for Neglected Diseases initiative. Diunduh


dari http://www.dndi.org.

6.

World Health Organization. Epidemiology. Diunduh


dari http://www.who.int/topics/epidemiology.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAGIAN

KAJIAN PENYAKIT MENULAR NEGLECTED


1.

Filariasis

2.

Kecacingan

3.

Schistosomiasis

4.

Fasciolopsiasis

5.

Taeniasis Cysticercosis

6.

Skabies

7.

Kusta

8.

Frambusia

9.

Antraks

10. Pes
11. Leptospirosis
12. Japanese Encephalitis
13. Rabies

21

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

22

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB

FILARIASIS
Hadjar Siswantoro

1.1.

PENDAHULUAN
Filariasis di Indonesia merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan
oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan B. timori yang ditularkan oleh
nyamuk sebagai vektor.
Di Indonesia,

pertama kali kasus penyakit ini dengan elefantiasis skroti

ditemukan oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889 di Jakarta.1 Sejak tahun 1975
program pengendalian filariasis nasional didirikan dan mulai melakukan strategi
kontrol filariasis dengan pemberian pengobatan massal diethylcarbamazine citrate
(DEC).2
Walaupun penyakit ini telah dikenal dan dilakukan upaya penanggulangan
sejak lama namun hingga kini masih merupakan masalah kesehatan di masyarakat.
Filariasis tidak menimbulkan kematian, namun Badan Kesehatan Dunia menyatakan
bahwa penyakit tersebut merupakan penyebab kedua kecacatan permanen di
dunia. Filariasis juga menimbulkan stigma sosial di masyarakat dan berdampak
pada tingginya kasus perceraian dan sulitnya mendapatkan pasangan hidup.3 Di
Indonesia, akibat seringnya serangan akut menyebabkan penderita mengalami
kerugian ekonomi hingga 17,8% dari biaya rumah tangga atau 32,3% dari biaya
makan keluarga.4

23

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

1.2.

MASALAH FILARIASIS DI INDONESIA

1.2.1. Etiologi
Di Indonesia ditemukan enam tipe cacing filaria pada manusia berdasarkan
sifat periodisitasnya dalam peredaran darah tepi, yaitu: Wuchereria bancrofti tipe
perkotaan, W. bancrofti tipe pedesaan, Brugia malayi tipe periodik nokturna,
B. malayi tipe subperiodik nokturna, B. malayi tipe non periodik dan B. timori tipe
periodik nokturna.4

1.2.2. Epidemiologi
Di Indonesia parasit W.bancrofti tersebar di wilayah Jambi dan Papua,
B. malayi tersebar diwilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan di kepulauan
sekitarnya. Sedangkan B.timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan
Sumba.4 Saat ini telah teridentifikasi lima genus vektor filariasis yaitu: Mansonia,
Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang terdiri atas 23 spesies nyamuk vektor
filariasis.4
Selain manusia, hewan lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis)
dan kucing (Felis catus) dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis
(B.malayi tipe subperiodik nokturna dan B. malayi tipe non periodik).5
Penularan filariasis dikaitkan dengan mobilitas penduduk dari suatu wilayah
endemis ke wilayah non endemis atau sebaliknya (transmigrasi). Pembangunan
proyek irigasi, bisa menjadi sarana perindukan vektor nyamuk yang memungkinkan
terjadinya

penularan.

Pertumbuhan

ekonomi

tanpa

diikuti

peningkatan

pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) kesehatan masyarakat di wilayah perkotaan


akan berakibat timbulnya genangan air dan sampah di selokan sebagai tempat
perindukan nyamuk Culex quinquefasiatus sebagai vektor filariasis.6

24

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

1.2.3. Patogenesis
Infeksi filariasis diawali pada saat nyamuk infektif menggigit manusia. Larva
L3 akan keluar dari probosis nyamuk dan melalui bekas luka gigitan nyamuk masuk
menembus dermis dan bergerak menuju sistem limfe. Sistem limfe berfungsi
antara lain untuk menyaring dan menghancurkan mikroorganisme untuk
menghindarkan penyebaran serta menghasilkan zat kekebalan tubuh. Larva L3 akan
berubah menjadi larva L4 pada hari 9-14 setelah infeksi dan akan mengalami
perkembangan menjadi cacing dewasa dalam 6-12 bulan.
Setelah proses inseminasi/reproduksi, zigot menjadi telur, telur menjadi
mikrofilaria. Cacing betina dewasa akan melepaskan ribuan mikrofilaria yang
mempunyai

selubung

(kulit

telur

yang

memanjang

dan

menyelubungi

larva/mikrofilaria) ke dalam sirkulasi limfe lalu masuk ke sirkulasi darah perifer.


Cacing betina dewasa aktif bereproduksi (mengeluarkan mikrofilaria) selama lebih
kurang lima tahun.
Cacing dewasa berdiam di pembuluh limfe dan menyebabkan pembuluh limfe
berdilatasi, sehingga memperlambat aliran cairan dan meningkatkan tekanan
hidrostatik dalam saluran limfe. Hal ini mengakibatkan keluarnya cairan limfe dan
masuk dalam jaringan sehingga terjadi edema jaringan dan kulit menjadi rentan
terhadap infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Pelebaran pembuluh limfe
menyebabkan terjadinya disfungsi limfatik dan terjadinya manifestasi klinis
termasuk limfedema dan hidrokel. Pecahnya saluran limfe yang melebar
menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih sehingga terjadi
kiluria dan kilokel. Matinya cacing dewasa menyebabkan respon inflamasi akut
yang akan memberikan gambaran klinis adenitis dan limfangitis. Sejumlah besar
cacing dewasa ditemukan pada saluran limfe ekstremitas bawah, ekstremitas atas
dan genitalia pria.4

25

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

1.2.4. Diagnosis
Alat diagnostik filariasis ideal adalah yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas
tinggi di berbagai tingkat prevalensi dan beban parasit, mudah ketersediaannya,
mudah digunakan, efektif dan biaya terjangkau6. Filariasis didiagnosis dengan cara
sebagai berikut:
1. Deteksi mikrofilaria secara mikroskopis
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku program untuk mendeteksi
keberadaan mikrofilaria dalam darah. Selain untuk menegakkan diagnosis
penyakit, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan status dan evaluasi
endemisitas suatu wilayah setelah pengobatan massal selesai. Permasalahannya
adalah pengambilan darah dilakukan pada malam hari karena munculnya
mikrofilaria antara pukul 22.00 02.00. Selain itu proses pembuatan serta
pewarnaan sediaan darah juga memakan waktu (tidak praktis) sehingga
berdampak tidak nyaman bagi pemeriksa maupun masyarakat. Pemeriksaan ini
juga kurang sensitif (insensitive) karena tidak mampu mendeteksi infeksi ringan
(infeksi prepaten).8 Selain itu saat proses, menggunakan zat antikougulan darah
dapat menyebabkan berkurangnya jumlah mikrofilaria dalam sediaan sehingga
sulit terdeteksi.
2. Deteksi antigen yang beredar dalam sirkulasi
Pemeriksaan pengenalan antigen filaria dalam darah (CFA/circulating
filarial antigen) dengan pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent tes (ELISA)9
dan tes

immunochromatographic (ICT)10 dimulai pada tahun 1990 untuk

diagnosis filariasis Bancroftian. Tes CFA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
sangat baik, tidak terpengaruh oleh periodisitas, dan dapat mendeteksi kedua
kasus microfilaraemic dan amicrofilaraemic.9

26

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

CFA menguntungkan untuk pemetaan endemisitas sebelum dilakukan


pengobatan massal dan dapat digunakan juga untuk monitoring hasil
pengobatan tersebut. Keuntungan dari ICT lainnya adalah invasif minimal (100
l), mudah digunakan, tidak memerlukan teknisi khusus, hasil dapat langsung
dibaca dan murah.
3. Deteksi antibodi menggunakan tes dipstik 'Brugia Rapid'
Sampai saat ini, belum ada tes cepat untuk diagnosis filariasis Brugia yang
sebanding dengan pemeriksaan mikroskopis. Tes dipstik masih dalam
pengembangan11 dan tes telah mencapai spesifisitas yang baik dengan
mendeteksi antibodi terhadap IgG4 rekombinan antigen filaria seperti Bm14 dan
BmR1.12 Tes antibodi Bm14 sensitif untuk infeksi Brugia malayi dan Wuchereria
bancrofti, sedangkan tes antibodi BmR1 sensitif untuk infeksi Brugia saja.
Pemeriksaan ini dapat berguna untuk menentukan endemisitas suatu wilayah
akibat brugia sp. dan untuk pendatang yang tinggal didaerah endemik.

1.2.5. Pengobatan
Saat ini terdapat dua cara pengobatan filariasis, yaitu: pemberian obat masal
pencegahan (POMP), dan selektif/individu. Pengobatan selektif berperan untuk
mencegah bertambah parahnya penyakit dengan membunuh cacing dalam tubuh
penderita. Pengobatan ini diberikan pada individu dengan parasit filaria dalam
tubuh atau penderita filariasis klinis kronis tanpa mikrofilaria. Tatalaksana kasus
individu terdiri dari: pengobatan dan perawatan yang dilakukan secara bersamaan
untuk hasil yang baik. Obat yang dianjurkan adalah DEC dengan dosis
5mg/kbBB/hari selama 10 hari.13 Jika disertai serangan akut/filariasis akut, maka
harus diobati dulu gejala akutnya dengan obat simptomatik dan antibiotik bila ada
infeksi sekunder. Perawatan kasus dengan gejala klinis akut selain diberikan obat
simptomatis/antibiotik, juga dilakukan perawatan pembersihan luka/lesi (bila ada
abses diinsisi). Sedangkan perawatan kasus dengan gejala klinis kronis adalah

27

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

tergantung gejala yang ditimbulkan, seperti: stadium limfedeme, adanya limfe


skrotum, hidrokel dan kiluria.14
Pemberian obat masal pencegahan

dilakukan di wilayah endemis

(mikrofilaria rate > 1%), setelah sebelumnya dipastikan melalui survei darah jari
filariasis di wilayah tersebut. Kegiatan ini dilakukan untuk memutus penularan
filariasis di masyarakat. Penularan akan menurun atau tidak ada penularan jika
jumlah mikrofilaria yang beredar dalam masyarakat sangat rendah sehingga
meskipun ada vektor nyamuk namun gigitannya tidak bisa menularkan karena
rendahnya mikrofilaria dalam darah penderita.14 Pengobatan dilakukan dengan
menggunakan kombinasi: Dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kgBB dan albendazol dosis
sesuai dengan berat badan, diberikan dalam dosis tunggal sekali setahun berturutturut selama minimal 5 tahun. Sasaran pengobatan massal adalah seluruh
penduduk yang tinggal di daerah endemis secara blanket approach, kecuali anakanak berusia < 2 tahun, ibu hamil dan menyusui, orang yang sedang sakit, orang tua
yang lemah, penderita serangan epilepsi.

15

Blanket approach artinya pengobatan

diberikan tanpa memeriksa satu persatu lebih dahulu apakah seseorang menderita
filariasis atau tidak.15
Permasalahan yang biasa timbul akibat pemberian obat massal adalah
timbulnya kejadian ikutan obatseperti: demam, gatal, myalgia, sakit kepala dan
adenolimfangitis.16

1.2.6. Prognosis
Prognosis penyakit filariasis menjadi tidak baik apabila penderita terlambat
didiagnosis dan menjadi klinis kronis sehingga sulit disembuhkan karena sudah
banyak terjadi kerusakan jaringan.

28

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

1.2.7. Pencegahan
Beberapa upaya dilakukan untuk pencegahan filariasis, seperti: pengendalian
vektor, menghindari gigitan nyamuk menggunakan kelambu dan anti nyamuk.
Walaupun beberapa upaya pengembangan vaksin dilakukan, hingga kini belum
menjadi kenyataan. Pengendalian vektor nyamuk akan berperan jika dilakukan
terintegrasi dengan program malaria, mengingat kesamaan spesies vektornya
(Anopheles sp.).

1.3.

PROGRAM PENGENDALIAN FILARIASIS


Terdapat dua indikator penting yang digunakan oleh program dalam rangka
eliminasi filariasis. Indikator tersebut adalah indikator microfilaria rate sebagai
indikator penyebaran dan indikator

kasus klinis sebagai indikator kronisitas

penyakit. Wilayah penyebaran filariasis dikelompokkan menjadi 2 wilayah, yaitu


wilayah yang endemis (microfilaria rate > 1%) dan wilayah yang tidak endemis
(microfilaria rate < 1% ). Sedangkan indikator kasus klinis merupakan gambaran
jumlah kasus filariasis baik akut maupun kronis.
Indikator proses untuk menuju eliminasi filariasis tahun 2020 adalah
Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) dan penatalaksanaan kasus klinis
kronis filariasis. Indikator kinerja17 yang digunakan untuk menilai keberhasilan
kegiatan tersebut adalah persentase kabupaten/kota endemis menjadi tidak
endemis dan persentase kasus yang ditangani pertahunnya adalah diatas 90%.
Kabupaten/kota eliminasi filariasis adalah apabila hasil evaluasi tahun ke-5
menunjukkan microfilaria rate kurang dari 1%.
Beberapa indikator input berupa kebijakan dan peraturan untuk mendukung
upaya eliminasi filaria, antara lain:

Surat Edaran Menkes no.612 tahun 2004

tentang Pelaksanaan Pemetaan Endemisitas dan Pengobatan Massal daerah


Endemis; Peraturan Presiden RI no.7 tahun 2005 tentang RPJMN tahun 2004-2005

29

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Bab 28 tentang Filariasis Sebagai Salah Satu Program Prioritas Pemberantasan


Penyakit Menular; SK Menkes No. 1582 tahun 2005 tentang Pedoman
Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah); SK Menkes No. 345 tahun 2006
tentang National Task Force Eliminasi Filariasis; Surat Edaran No. 443.43/875/SJ
tanggal 24 April 2007 tentang Pelaksanaan Pengobatan Massal Filariasis dalam
Rangka Eliminasi Filariasis di Indonesia.
Selain itu untuk membantu para pengelola program dan penentu kebijakan
telah ada buku-buku pedoman pelaksanaan filariasis 2009, yaitu: buku Pedoman
Program Eliminasi Filariasis, Epidemiologi Filariasis, Pedoman Penentuan dan
Evaluasi Daerah Endemis Filariasis, Pedoman Pengobatan Massal Filariasis,
Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis, Pedoman Promosi Kesehatan
dalam Eliminasi Filariasis dan Pedoman Tenaga Penatalaksana Eliminasi Filariasis;
buku Rencana Nasional Progam Akselerasi Eliminasi di Indonesia tahun 20102014. Dalam buku pedoman filariasis 2009, terdapat agenda eliminasi dan
diharapkan sampai dengan tahun 2014 kegiatan-kegiatan:

POMP,

evaluasi

cakupan POMP dan evaluasi prevalensi mikrofilaria telah dilakukan di seluruh


wilayah endemis filariasis. Hal ini didukung dengan rencana-rencana POMP perpropinsi per tahun selama 5 tahun.

1.4.

ANALISIS GAP

1.4.1. Laporan kegiatan/pencapaian program


Hasil kegiatan program berdasarkan laporan data filariasis 2011 mengenai
persentase kumulatif penatalaksanaan kasus klinis kronis filariasis tahun 2005
2011 menunjukkan tren peningkatan dari 17,7% menjadi 45,6%, namun indikator
sukses adalah jika cakupan penatalaksanaannya lebih dari 90% pertahunnya. Hasil
kegiatan program lainnya menunjukkan penurunan terhadap persentase
kabupaten/kota endemis dari 67,2% (334/497) pada tahun 2011 menjadi 60,4%
(300/497) pada tahun 2012. Hasil laporan kegiatan POMP filariasis pada tahun

30

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

2012 menunjukkan masih terdapat 60,3% (181/300) kab/kota endemis yang belum
dilakukan POMP; 73,1% (87/119) kab/kota masih berproses POMP (minimal 5
tahun); dan

21,9% (7/32) kab/kota belum dilakukan penilaian

(lihat gambar

1.4.1.1. dibawah ini).


497 Kab/Kota di
Indonesia
60,4% (300)
Kab/Kota endemis
39,7% (119)
Kab/Kota POMP
73,1% (87)
Kab/Kota proses POMP
78,1% (25)
Kab/Kota TAS
52% (13)
Kab/Kota mf < 1%

39,6% (197)
Kab/Kota non-endemis
60,3% (181)
Kab/Kota belum POMP

26,9% (32)
Kab/Kota lengkap
POMP

21,9% (7)
Kab/Kota belum TAS

48% (12)
Kab/Kota mf > 1%

Gambar 1.4.1.1. Hasil Kegiatan program filariasis dalam rangka eliminasi tahun 2012

Kegiatan POMP dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.


Walaupun kegiatan ini dilakukan, namun pelaksanaannya banyak kendala seperti
kurangnya komitmen para pengambil keputusan di daerah dan terbatasnya
pembiayaan operasional kegiatan. Cakupan kegiatan POMP dan evaluasinya adalah
sekabupaten wilayah endemis. Hal ini terkait dengan beberapa kendala seperti:
pelaksanaan POMP diserahkan sepenuhnya pada Dinkes Kabupaten/Kota setempat
karena kebijakan otonomi daerah, banyaknya populasi, faktor luas dan sulitnya
akses geografi di wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Tengah, serta komitmen
daerah. Hal ini akan sulit diatasi tanpa komitmen yang tinggi dari para Kepala
Daerah dan jajarannya serta DPRD setempat untuk mengalokasikan biaya
operasional yang memadai dalam rangka eliminasi filaria. Dari hasil penelitian di

31

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Sikka, NTT melaporkan kendala kurangnya komitmen sehubungan ada masalah


kesehatan masyarakat yang lebih penting (malaria) menyebabkan alokasi anggaran
banyak tercurah untuk kegiatan tersebut dibandingkan program filariasis.18
Selain itu persyaratan untuk penilaian sertifikasi filariasis sebagai bukan
masalah kesehatan di wilayah endemis oleh WHO adalah telah dilakukannya
POMP minimal 5 putaran (selama 5 tahun).19 Dari India dilaporkan bahwa
pengobatan yang diulang hanya

4 kali sudah dapat menghentikan penularan.20

Laporan lain di 10 lokasi pengobatan di India menunjukkan bahwa hanya dengan


satu kali POMP saja telah dapat menghilangkan mikrofilaria 30- 100% sesudah dua
tahun dan dapat bertahan selama dua tahun.21 Di pulau Alor, Nusa Tenggara Timur,
pemberian DEC saja dengan dosis terbagi (6 mg/kg berat badan) selama dua hari
atau dosis tunggal konrbinasi DEC (6 mg/kg BB) dan albendazol (400 mg), samasama dapat menurunkan kepadatan mikrofilaria B. timori dan W. bancrofti, namun
lebih cepat pada B. timori. Khusus pada penderita brugiasis timori, satu hari setelah
menerima pengobatan, 43% (23 diantara 54) penderita menjadi negatif
mikrofilaria.22
Hasil lain penelitian tersebut menunjukkan bahwa hanya dengan dua kali
pengobatan massal dengan DEC-albendazol telah menurunkan mf-rate brugiasis
timori dari 26,8% sebelum pengobatan menjadi 3,8% sesudah pengobatan disertai
penurunan kepadatan mikrofilaria pada semua penderita yang positif mikrofilaria.23
Penelitian yang dilakukan oleh Ompusunggu dkk, melaporkan hasil penurunan
besarnya mf-rate tidak dipengaruhi oleh pengulangan POMP.24 Berdasarkan
protokol WHO menyebutkan bahwa jika teridentifikasi suatu desa endemis
(kantong filaria), maka cakupan luas wilayah POMP adalah seluas wilayah
kabupaten tersebut. Dalam suatu wilayah Kabupaten bisa terdiri atas berbagai
tingkat infeksi filariasis, sehingga penggunaan prevalensi mikrofilaria keseluruhan
kabupaten sebagai kriteria untuk POMP adalah suatu kendala.20 Beberapa hasil
penelitian juga melaporkan adanya keluhan masyarakat dalam suatu wilayah
endemis kabupaten/kota namun tidak berada di wilayah kantong filaria terhadap

32

kepatuhan minum obat karena merasa tidak diperlukan manfaatnya.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pada kenyataannya, masalah wilayah endemis (masyarakat dengan prevalensi


mikrofilaria > 1%) saja yang perlu intervensi POMP. Daerah ini umumnya kecil dan
terbatas secara geografis. Untuk kemudahan logistik dan efisiensi operasional
pelaksanaan POMP, di sarankan bahwa unit intervensinya di tingkat Puskesmas
Kecamatan, karena wilayah/kantong filariasis biasanya terdapat di desa-desa
tingkat kecamatan dalam wilayah kerja Puskesmas. Sedangkan untuk meningkatkan
cakupan POMP dan evaluasinya dalam suatu wilayah endemis sangat dibutuhkan
peranan promosi kesehatan baik pusat dan daerah untuk sosialisasi dan advokasi
bagi para Kepala daerah, DPRD, para stake-holder lainnya dan lintas sektoral akan
perlunya program ini sehingga meningkatkan komitmen daerah berupa realisasi
anggaran yang memadai.
Sumber daya manusia berpengetahuan dan terlatih di Pusat dan Daerah
dalam pengendalian filariasis adalah salah satu faktor penting untuk program ini.
SDM sebagai pelaksana bertanggungjawab di semua program berkaitan dengan
eliminasi. Program filariasis akan berjalan baik jika SDM tersebut selain diberikan
pelatihan filariasis, juga dilengkapi dengan buku-buku pedoman pengendalian
filariasis hingga tingkat Puskesmas.
Berdasarkan hasil analisis epidemiologi deskriptif filariasis yang dilakukan
oleh Miko tahun 2009

25

, melaporkan kualitas data dari laporan subdit Filariasis

kemungkinan memiliki 3 kendala (validitas, kelengkapan dan keterwakilan),


sehingga perlu kehati-hatian dalam menginterpretasi data. Pada penelitian
tersebut juga dilaporkan bahwa jumlah kasus klinis kronis yang banyak, namun
tidak diikui dengan tingginya mikrofilaria rate. Hal ini dapat tanggulangi dengan
peningkatan kompetensi SDM dalam manajemen data baik tingkat pusat maupun
daerah.
Langkah awal POMP adalah penemuan kasus klinis akut maupun kronis di
masyarakat. Penemuan kasus klinis ini selain untuk diobati dan dilakukan
perawatan, juga sebagai tanda adanya masalah kesehatan masyarakat berupa
penularan mikrofilaria oleh vektor nyamuk. Hal ini terkait dengan aktifnya kegiatan

33

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

surveilans filariasis di puskesmas maupun di masyarakat dan bekerjasama dengan


aparat desa, tokoh agama dan masyarakat melalui kegiatan promosi kesehatan.
Dalam suatu wilayah endemis, terdapat beberapa kelompok masyarakat, yaitu
kelompok normal endemis (klinis dan mikrofilaria negative), kelompok
asimptomatik dengan mikrofilaria positif, kelompok klinis aktif dengan
mikrofilaria positif dan kelompok klinis kronis dengan mikrofilaria negative. 6
Atas dasar hal tersebut (kelompok asimptomatik) maka dilakukan kegiatan survei
darah filariasis guna menjaring penderita tanpa gejala namun mengandung
mikrofilaria yang dapat ditularkan oleh vektor nyamuk. Sedangkan bagi penderita
dengan gejala klinis aktif atau klinis kronis, biasanya akan datang berobat ke
Puskesmas. Alat diagnostik yang masih banyak digunakan sampai sekarang adalah
menggunakan mikroskopis dengan pewarnaan giemsa. Kekurangan pemeriksaan ini
adalah pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari, rumitnya proses
pembuatan hingga pewarnaan sediaan dan hasilnya kurang sensitif karena
mikrofilaria hanya bisa dapat dibaca oleh mikroskopis jika melewati ambang batas
jumlah > 15 mikrofilaria per ml darah.6
Saat ini telah tersedia pemeriksaan/tes ICT menggunakan deteksi antigen
W. brancrofti dan hasil penelitian melaporkan sangat berguna dalam pemetaan
endemisitas filariasis bancrofti.

10

Pemeriksaan deteksi antigen dalam darah

merupakan alat diagnostik pilihan untuk pemetaan endemisitas dan menentukan


prevalensi filariasis brancofti. Sampai saat ini belum ada pemeriksaan deteksi
antigen untuk filariasis brugia, namun hasil penelitian menggunakan Brugia Rapid
untuk pemetaan endemisitas B. malayi dan B. timori di Alor adalah menjanjikan.11
Sehingga berdasarkan kajian ini, alat diagnostik pemeriksaan untuk menentukan
tingkat endemisitas atau diagnosis filariasis disarankan juga menggunakan
alternatif tes diagnostik deteksi antigen (ICT) dan antibodi Brugia Rapid. Namun
untuk mendapatkan data yang akurat di Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk menilai sensitifitas dan spesifisitas alat diagnostik ini.
Jika ditemukan kasus klinis kronis di suatu wilayah, maka dilakukan kegiatan

34

survei darah untuk menentukan status endemisitasnya. Apabila hasil mikrofilaria

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

rate-nya < 1% maka tidak dilakukan kegiatan POMP. Sebaliknya jika hasil
mikrofilaria rate-nya > 1%, maka dilakukan kegiatan POMP. POMP adalah kegiatan
pemberian obat DEC kombinasi Albendazol dengan dosis sekali minum per tahun
selama minimal 5 putaran (5 tahun). Hal ini dilakukan untuk menurunkan risiko
penularan mikrofilaria oleh nyamuk vektor dalam wilayah tersebut. DEC berperan
dalam membunuh mikrofilaria, sedangkan albendazol

membunuh cacing

dewasanya. Banyak penelitian melaporkan adanya hubungan antara rendahnya


cakupan POMP dengan mis-persepsi masyarakat terhadap kejadian sampingan obat
ini dan terkait dengan tingkat pemahaman dari masyarakat dan petugas kesehatan
tentang kejadian sampingan obat. Untuk meningkatkan pemahaman sehingga tidak
terjadi mis-persepsi tentang kejadian ikutan setelah pelaksanaan POMP, maka
sangat diharapkan promosi kesehatan mulai dari para stake-holder, Pemda, DPRD,
dan masyarakat tentang kejadian ikutan obat filariasis. Khusus bagi dokter dan
petugas kesehatan diharapkan juga mendapatkan pendidikan dan pelatihan
tentang cara penanganan kejadian ikutan pasca POMP sehingga dapat mengurangi
mis persepsi tersebut.
WHO tahun 2008 merekomendasikan untuk menurunkan mikrofilaria rate
< 1%, maka pelaksanaan POMP (single dose sekali setahun selama 5 tahun
menggunakan: DEC kombinasi Albendazol) harus mencapai angka cakupan 70%
hingga 80% dari populasi di wilayah endemis. Berdasarkan hasil laporan subdit
filariasis tahun 2010, menunjukkan angka cakupan POMP filariasis berkisar antara
28% - 59,5% dan cakupan ini masih jauh dari harapan. Agar efektifitas POMP
berhasil, maka perlu dilakukan upaya peningkatan pencapaian cakupan. Beberapa
kendala adalah keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya komitmen
sehingga kontribusi daerah dalam pembiayaan juga kurang. Kegiatan promosi
kesehatan harus lebih ditingkatkan untuk sosialisasi dan advokasi ke pemerintah
daerah, DPRD, lintas sektoral guna meningkatkan komitmen. Selain itu
pemberdayaan masyarakat dengan pembentukan Tenaga Pelaksana Eliminasi
(TPE)/ tim kader/ tim PKK untuk turut serta membantu penyuluhan, memberitahu

35

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

rencana POMP, seleksi yang bisa minum obat, sebagai pengawas minum obat dan
lain-lain.
Kendala selanjutnya adalah berdasarkan laporan subdit. filariasis pada tahun
2011, cakupan penatalaksanaan terhadap kasus klinis kronis di Indonesia hanya
45,6% dan

belum seperti yang diharapkan yaitu 90%. Hal ini terkait dengan

kurangnya kegiatan surveilans dan promosi kesehatan oleh provider kesehatan,


sehingga partisipasi masyarakat, penderita dan keluarga untuk berobat ke
Puskesmas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara
keberhasilan eliminasi filariasis dengan partisipasi masyarakat ini.26 Komitmen yang
tinggi dari petugas kesehatan dan petugas sektor terkait dalam penyelenggaraan
promosi kesehatan tentang perawatan terhadap luka/pembengkakan terhadap
penderita dan keluarga agar bisa merawat secara mandiri di rumah sangat
diharapkan.14 Sehingga luka atau pembengkakan tersebut dapat sembuh dan
mencegah cacat bertambah berat.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang melaporkan masalah kekurangan
ketersediaan obat DEC dan albendazol. Hal ini adalah tanggungjawab pusat, namun
pendistribusiannya hingga mencapai masyarakat adalah tanggungjawab Dinkes
kabupaten/kota setempat.17
Permasalahan lain adalah kurangnya komitmen dan kontribusi daerah dalam
pembiayaan untuk mendukung operasional program filariasis. Berdasarkan data
dari subdit filariasis dibandingkan anggaran tahun 2008-2009, anggaran untuk
tahun 2010-2014 melonjak tajam yaitu dari USD 8.227.685 (2008) menjadi USD
19.944.286 (2010) dan USD 34.181.410 (2014). Lonjakan biaya ini dikarenakan
meluasnya cakupan pelaksanaan POMP filariasis di kabupaten/kota endemis.
Sumber pendanaan adalah dari Pemerintah Pusat dan daerah serta dari donor yang
terbagi dalam dua jenis, secured yaitu sumber dana yang dipastikan akan
dialokasikan, dan unfunded yaitu dana yang belum jelas sumbernya dan harus
diupayakan melalui advokasi bisa bersumber dari APBN (DAK, Dana Dekon, APBN-P
dan APBD Propinsi/Kabupaten/Kota, WHO, BLN maupun sumber lain yang tidak

36

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

mengikat). Kebutuhan biaya terbesar adalah untuk biaya operasional pelaksanaan


POMP filariasis. Proporsi kedua terbesar adalah untuk obat POMP filariasis. Agar
tujuan program akselerasi eliminasi filariasis ini berhasil optimal, maka biaya yang
unfunded ini haruslah dapat dicukupi terutama dari pemerintah daerah unfunded
yaitu dana yang belum jelas sumbernya dan harus diupayakan melalui advokasi.
Sampai saat ini cakupan pemberian POMP dan pengobatan kasus individu
masih rendah. Sehinggga dalam rangka percepatan eliminasi filariasis tahun 2020,
perlu dilakukan operasional riset untuk melihat dan membandingkan keberhasilan
pengobatan masal dan pengobatan selektif dalam 2 wilayah endemis yang berbeda.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi program pengendalian
untuk percepatan eliminasi filariasis.

1.4.2. Penelitian
1.4.2.1. Penelitian Kesehatan Masyarakat
Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 melaporkan angka prevalensi klinis
filariasis (berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan dan keluhan responden
dalam 12 bulan terakhir) adalah sebesar 1.1 permil. Hasil sensus penduduk 2007,
jumlah penduduk Indonesia adalah 234.693.997 orang, sehingga jumlah penderita
klinis filariasi adalah 258.000 orang. Hal ini menunjukkkan tingginya kasus klinis
filariasis di masyarakat dibangdinkan yang berobat ke puskesmas.
Hasil laporan Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011 oleh Badan Litbangkes,
menunjukkan bahwa persentase Puskesmas yang melakukan kegiatan program
filariasis adalah 42%. Persentase Puskesmas yang mengikuti pelatihan filariasis dan
yang memiliki buku pedoman penanggulangan filariasis adalah 9,2% dan 32,2%.
Hasil penelitian terhadap faktor risiko kejadian filariasis di Bone Bolango,
Gorontalo pada tahun 2008, menunjukkan bahwa faktor perilaku/kebiasaan (tidak
memakai baju lengan panjang) dan faktor lingkungan (rawa/tempat perindukan

37

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

nyamuk), serta faktor status sosial budaya (pengetahuan rendah) adalah


berpengaruh terhadap kejadian filariasis27. Selanjutnya penelitian filariasis di
Bangka tahun 2008, melaporkan tidur tanpa kelambu atau tanpa anti nyamuk
merupakan faktor risiko utama terjadinya penularan penyakit ini28. Hasil penelitian
juga melaporkan bahwa umumnya wilayah endemis filariasis juga berkaitan dengan
tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakatnya.

1.4.2.2. Penelitian Alat Diagnostik


Efikasi tes antigen filaria dilaporkan oleh Simonsen dan Dunyo tahun 1999
dan Phantana et al. tahun 1999 yang membandingkan hasil tes ICT dengan sediaan
darah tebal dan filtrasi membran, memperoleh hasil sebagai berikut: sensitivitas
100%, spesifisitas 96,3%, nilai false positive 70,7%, nilai false negative 100%.
Namun hasil penelitian melaporkan juga bahwa tes antigen filaria dapat tetap
positif selama tiga tahun setelah pemberian obat massal, sehingga tidak cocok
untuk memantau/evaluasi efektivitas pengobatan massal.29
Tes dipstik baru 'Brugia Rapid', yang dikembangkan di Malaysia, menunjukkan
sensitivitas 97%, spesifisitas 99%, nilai false positive 97% dan nilai false negative
99%. Tes ini mendeteksi antibodi IgG4, bukan antigen filaria, dan tidak spesifik
untuk spesies Brugia, dapat bereaksi silang dengan sebagian besar kasus dari
Wuchereria bancrofti tapi tidak dengan infeksi cacing umum dan parasit protozoa
lainnya. Hasil penelitian oleh Supali tahun 2004, dengan menggunakan tes Brugria
Rapid pada sampel plasma dari Indonesia, Malaysia dan India menunjukkan
sensitifitas dan spesifitasnya adalah 97% dan 99%, dengan 99% nilai false negative
dan 97% nilai false positive.12

38

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 1.4.1. Analisis Gap Filariasis


No

Temuan

Program

Saran

Data dasar pemetaan


endemisitas kab/kota
belum akurat
(fenomena gunung es)

Penemuan kasus
klinis kronis

Surveilans & pemberdayaan


masyarakat penemuan kasus aktif
(door to door)

Sulitnya pengendalian
vektor nyamuk

Integrasi program
malaria

Integrasi lintas program malaria


(kelambunisasi) KIA

Rendahnya PSP
kesehatan terkait FL

Promkes

Peningkatan promkes

Diagnosis dini FL

Meningkatkan
kompetensi
mikroskopis

Pelatihan penyegaran

Alat diagnostik yang


tidak mudah & praktis

RDT (ICT test dan


Brugia Ab test)

Uji RDT (ICT test dan Brugia Ab test)

Luasnya cakupan
wilayah POMP adalah
kab/kota

Partial tingkat
kecamatan/Desa
diperluas
kabupaten/kota

Advokasi dan operasional riset utk


masukan program IU yang sesuai
kondisi geografis

Rendahnya komitmen
para stakeholder di
daerah utk MDA

Sosialisasi dan
advokasi

Sosialisasi, advokasi dan


pendampingan pusat untuk solusi

Masih tingginya 60,3%


(181/300) kab/kota
endemis belum
POMP/MDA

Sosialisasi dan
advokasi

Surveilans &pemberdayaan masy


penemuan aktif kasus fokus
pengobatan selektif

Lamanya proses POMP


(sekali setahun selama

Evaluasi per dua


tahun

Operasional riset untuk masukan


lama ideal MDA

5 th)

39

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

1.5.

POLICY OPTION DAN PENELITIAN


Kebijakan penangan kasus Filariasis saat ini
Kebijakan

peningkatan

penanganan

kasus

filariasis

memerlukan

peningkatan pemanfaatan tokoh masyarakat/kader untuk membantu update/


menemukan kasus baru di wilayah endemis.
Kebijakan eliminasi filariasis
Penanggulangan filariasis saat ini lebih banyak dilakukan oleh Dinas
Kesehatan sebagai leading sector pengendaliannya. Penanggulangan kasus
berupa pengobatan massal penderita dengan pemberian DEC se-kabupaten/
kota endemis. Keterbatasan SDM berkualitas dan biaya operasional POMP
(MDA) di Kabupaten/kota endemis dapat diminimalisir dengan melakukan
kegiatan POMP di wilayah cakupan lebih kecil yaitu pada kecamatan/desa
dimana kantong penderita filariasis berada.
Kebijakan pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian/eliminasi/eradikasi
Filariasis
Kebijakan pemantauan pengendalian filariasis adalah perlunya pengaktifan
kembali dukungan Dinas Kesehatan dan stake holder untuk penganggaran yang
lebih besar bagi program penanggulangan filariasis.
Untuk peningkatan cakupan pengobatan kasus klinis, diperlukan
peningkatan peran PKK, tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, guru,
kader dalam penemuan aktif penderita.
Operasioanl riset untuk memberi masukan program penanggulangan agar terjadi
percepatan

eliminasi

pengobatan massal).

40

melalui

multiintervensi

(kualitas

diagnostik

dan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 1.5.1. Policy Option Filariasis

Masalah

Penanganan

Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Maintenance

Penelitian

Tingginya
Wilayah
endemis dan
belum
dilakukan MDA

Sosialisasi &
advokasi

Peningkatan
Surveilans & Peran
Serta Aktif
Masyarakat dalam
penemuan kasus
pengobatan selektif

Surveilans

Operasional Riset

Diagnostik
kurang akurat

Pelatihan
mikroskopis

Peningkatkan
kompetensi
pemeriksaan
mikroskopis

Refresh Training

Alat diagnostik
alternative (Uji
RDT)

Rendahnya
cakupan
Pengobatan
kasus dini

Surveilans aktif
& pengobatan
selektif

Peningkatkan
kompetensi
diagnostik &
pengobatan petugas
kesehatan

Refresh Training

Operasional Riset

Rendahnya
cakupan MDA

Cakupan
Kab/kota
endemis

Cakupan wilayah
Kecamatan/ Desa
(kantong) endemis

Surveilans

Operasional Riset

Target Eliminasi
tahun 2020

MDA dan
pengobatan
klinis kronis

Percepatan eliminasi
melalui kegiatan
multiintervensi

Surveilans

Operasional Riset
(multi intervensi)

Daftar Pustaka
1. Haga J Ev. Elephantiasis scroti et penis. I. Operatie. II.
Mikroskopisch onderzoek. . Geneesk Tijdschr Nederl
Indie 1889; 29 102 -13.

6. Melrose WD. Lymphatic filariasis: new insights into


an old disease. Int J Parasitol. 2002;32(8):947-60.
Epub 2002/06/22

2. Widarso. Filariasis control in Indonesia (unpublished)


1998.

7. Nutman TB. Filariasis. Tropical Infectious Diseases


2006;2:1152-62.

3. WHO. Lymphatic Filariasis: Reasons for Hope. WHO,


Geneva. 1997a.

8. Turner P, Copeman B, Gerisi D, Speare R. A


comparison of the Og4C3 antigen capture ELISA, the
Knott test, an IgG4 assay and clinical signs, in the
diagnosis of Bancroftian filariasis. Trop Med
Parasitol. 1993;44(1):45-8. Epub 1993/03/01.

4. direktorat Jenderal P2PL Kem-Kes R. Epidemiologi


Filariasis. 2009.
5. Palmieri JR P, Lee VH, Dennis DT, Harijani AM
Parasites of the silvered leaf monkey, Presbytis
cristata Escscholts, with note on a Wuchereria-like
nematode. . J Parasitol 1980;66 645-51.

9. More SJ, Copeman DB. A highly specific and sensitive


monoclonal antibody-based ELISA for the detection
of circulating antigen in bancroftian filariasis. Trop
Med Parasitol. 1990;41(4):403-6. Epub 1990/12/01.

41

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

10. Weil GJ, Lammie PJ, Weiss N. The ICT Filariasis Test:
A rapid-format antigen test for diagnosis of
bancroftian filariasis. Parasitol Today.
1997;13(10):401-4. Epub 2004/07/28.
11. Supali T, Rahmah N, Djuardi Y, Sartono E, Ruckert P,
Fischer P. Detection of filaria-specific IgG4 antibodies
using Brugia Rapid test in individuals from an area
highly endemic for Brugia timori. Acta Trop.
2004;90(3):255-61. Epub 2004/04/22.
12. Rahmah N, Lim BH, Khairul Anuar A, Shenoy RK,
Kumaraswami V, Lokman Hakim S, et al. A
recombinant antigen-based IgG4 ELISA for the
specific and sensitive detection of Brugia malayi
infection. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2001;95(3):2804. Epub 2001/08/09.
13. Jamail M, Andrew K, Junaidi D, Krishnan AK, Faizal M,
Rahmah N. Field validation of sensitivity and
specificity of rapid test for detection of Brugia malayi
infection. Trop Med Int Health. 2005;10(1):99-104.
Epub 2005/01/19.

22. Supali T, Ismid IS, Ruckert P, Fischer P. Treatment of


Brugia timori and Wuchereria bancrofti infections in
Indonesia using DEC or a combination of DEC and
albendazole: adverse reactions and short-term
effects on microfilariae. Trop Med Int Health.
2002;7(10):894-901. Epub 2002/10/03.
23. Oqueka T, Supali T, Ismid IS, Purnomo, Ruckert P,
Bradley M, et al. Impact of two rounds of mass drug
administration using diethylcarbamazine combined
with albendazole on the prevalence of Brugia timori
and of intestinal helminths on Alor Island, Indonesia.
Filaria J. 2005;4:5. Epub 2005/07/15.
24. Ompusunggu dkk. Endemisitas Filariasis dengan
Lama Pengobatan Massal Berbeda. Maj Kedokt
Indonesia. 2008;58(11).

14. Direktorat Jenderal P2PL Kem-Kes R. Pedoman


Penataksanaan Kasus Klinis Filariasis. 2009.

25. Wahyono. Analisis Epidemiologi Deskriptif Filariasis


di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. 2010;1.

15. Purwatyastuti. Pemberian Obat Massal Pencegahan


(POMP) Filariasis. Buletin Jendela Epidemiologi.
2010;1.

26. Ompusunggu. Endemisitas Filariasis dengan Lama


Pengobatan Massal Berbeda. Majalah Kedokt
Indonesia 2008. 2008;58.

16. direktorat Jenderal P2PL Kem-Kes R. Pedoman


Pengobatan Massal Filariasis. 2009.

27. Reyke Uloli S, Sumarni. ANALISIS FAKTORFAKTOR


RISIKO KEJADIAN FILARIASIS. Berita Kedokteran
Masyarakat. 2008;24(1):44 50

17. direktorat Jenderal P2PL Kem-Kes R. Pedoman


Program Eliminasi Filariasis di Indonesia. 2009.
18. Sekartuti dkk. Masalah Filariasis di Kabupaten Sikka,
Provinsi Nusa Tenggara Timur 2008.
19. Transmission assessment surveys in the Global
Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis: WHO
position statement. Wkly Epidemiol Rec.
2012;87(48):478-82. Epub 2012/12/12.
20. Sabesan S, Ravi R, Das PK. Elimination of lymphatic
filariasis in India. The Lancet infectious diseases.
2005;5(1):4-5. Epub 2004/12/29.

42

21. Gyapong JO, Kumaraswami V, Biswas G, Ottesen EA.


Treatment strategies underpinning the global
programme to eliminate lymphatic filariasis. Expert
opinion on pharmacotherapy. 2005;6(2):179-200.
Epub 2005/03/11.

28. NASRIN. Faktor-Faktor Lingkungan dan Perilaku Yang


Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di
Kabupaten Bangka Barat. Semarang: Universitas
Diponegoro; 2008
29. Schuetz A, Addiss DG, Eberhard ML, Lammie PJ.
Evaluation of the whole blood filariasis ICT test for
short-term monitoring after antifilarial treatment.
Am J Trop Med Hyg. 2000;62(4):502-3. Epub
2001/02/28

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB

KECACINGAN
Armedy Ronny Hasugian

2.1.

PENDAHULUAN
Kecacingan adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing yang
hidup dalam usus manusia. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan,
kecacingan

Indonesia

dikaitkan

dengan

infeksi

Soil

Transmitted

Helminths(STH).1 Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Cacing Tambang


(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) adalah infeksi STH, yang
penularannya melalui tanah dan air dengan sanitasi buruk.2,3 Kecacingan
menjadi bagian dari 17 penyakit Neglected Disease (NTD).4 Kecacingan
menyebabkan kemiskinan terutama pada penduduk dengan penghasilan
dibawah US$2, gangguan kesehatan kronis dengan manifestasi klinis yang
tersembunyi, dan kerugian yang sulit dinilai ekonomi dan pendidikannya.2
Pada tahun 2003, WHO melaporkan kurang lebih 1 milyar penduduk
menderita kecacingan, 300 juta diantaranya menderita kesakitan berat.5
Kematian yang disebabkan infeksi KECACINGAN jarang terjadi. Penyebab
kematian sering dikaitkan dengan komplikasi akibat keterlambatan pengobatan.
Malnutrisi dan manifestasi klinis menjadi tantangan dan masalah pengendalian
kecacingan saat ini.
Upaya pengendalian kecacingan telah dilakukan oleh WHO dan negara
negara

endemis.1,3

Program

pengendalian

dengan

deworming

telah

dilaksanakan sejak tahun 2000 tidak berhasil baik termasuk di Indonesia. Angka
cakupan program pengendalian dari tahun 2003 2011 masih rendah.6 Oleh

43

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

sebab itu dibutuhkan upaya pengendalian kecacingan bersama. Kajian


kebijakan program pengendalian dan penelitiani diharapkan dapat menentukan
besaran masalah dan pilihan upaya pengendalian infeksi kecacingan di
Indonesia.

2.2.

MASALAH KECACINGAN DI INDONESIA

2.2.1. Etiologi
Penyebab infeksi Kecacingan adalah telur cacing infektif dari Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura dan larva Cacing Tambang (Necator americanus
dan Ancylostoma duodenale).

2.2.2. Epidemiologi
Pemetaan Penyakit
Setiap individu dapat terinfeksi cacing, Kecacingan berhubungan
dengan gaya atau pola hidup, kemiskinan, dan sanitasi lingkungan.
Keragaman tingkat sosial dan perilaku masyarakat, memungkinkan
kecacingan tersebar di Indonesia.
Reservoir
Infeksi KECACINGAN dapat juga terjadi pada hewan seperti babi yang
diinfeksi A. suum, babi dan lemur diinfeksi T. trichiura, anjing serta kucing
diinfeksi cacing tambang (A. braziliense dan A. caninum).7,8 Hewanhewan
tersebut diatas juga merupakan hewan yang hidup dan berkembang biak
dekat dengan manusia. Walaupun infeksi melalui telur dan larva dari hewan
ke manusia sangat jarang, namun kemungkinan penularan dapat terjadi
karena spesies cacing pada hewan mirip dengan manusia.7,9

44

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Faktor Risiko
Anakanak pra dan sekolah merupakan kelompok berisiko kecacingan.3
Anak-anak menjadi sasaran utama dari program pengendalian kecacingan
karena infeksi kronis akibat infeksi KECACINGAN akan mengganggu
pertumbuhan dan kecerdasan karena kehilangan nutrisi terus menerus yang
akhirnya menyebabkan malnutrisi. Kelompok risiko lainnya yang mudah
terinfeksi STH adalah wanita hamil dan menyusui yang hidup di wilayah
dengan sanitasi buruk serta kelompok pekerja di pertanian dan
pertambangan.3,4,10
Faktor risiko lain adalah perilaku hidup yang tidak sehat. Lingkungan
rumah yang tidak bersih dan sanitasi lingkungan rumah yang tidak sehat
dapat disebabkan oleh pola perilaku penghuninya. Selain itu perilaku
defekasi yang tidak pada tempatnya atau penggunaan sumber air yang tidak
bersih yang menyebabkan individu dan masyarakat mudah terinfeksi STH.3,11
Secara umum sumber air minum di Indonesia berasal dari sumur dan
PAM. Air sungai masih digunakan di beberapa daerah sebagai sumber air
yang sangat berisiko. Penelitian terhadap air sungai di Jakarta Utara
didapatkan lebih 50% air sungai mengandung telur Ascaris lumbricoides.
Sumber air yang tidak bersih ini menjadi tempat berkembangnya telur cacing
STH sehingga menjadi faktor risiko bagi infeksi KECACINGAN.
Kemiskinan meningkatkan kejadian penyakit akibat hidup dan tinggal di
lingkungan tidak layak.12

Walaupun urbanisasi menunjukkan kemajuan

suatu wilayah, arus urbanisasi yang tidak terkontrol menyebabkan beban


ekonomi, ketersediaan infrastruktur dan sanitasi yang layak kurang
memadai.13,14

45

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

2.2.3. Patogenesis
Infeksi A. lumbricoides dan T. trichiura terjadi melalui masuknya telur ke
tubuh manusia sementara Cacing tambang menginfeksi melalui infasi larva
infektif ke kulit manusia. Gejala klinis yang muncul terjadi setelah telur menetas
menjadi larva dan melewati organ tubuh manusia termasuk melintasi paru
paru (lung migration).15,16 Manifestasi yang muncul pada Ascaris lumbricoides
diantaranya syndrome Loeffler17-19, gangguan nutrisi seperti Stunting20-22.
Kemudian pada cacing tambang memicu syndrome Wakana, ground Itch dan
creeping eruption, dan anemia yang dapat menyebabkan gangguan jantung,
paru, dan hambatan pertumbuhan fisik serta mental.16,21,23 Sementara pada T.
trichiura manifestasi yang muncul adalah rectal prolepsusanemia, diare
(Trichiuris Dysentri Syndrome), gangguan nutrisi dan clubbing finger.23,24
Malnutrisi terjadi karena peradangan usus yang kronis akibat infeksi
kecacingan.

Malnutrisi

menyebabkan

gangguan

pertumbuhan

seperti

stunting,menurunkan kapasitas sekolah untuk seorang anak, mengganggu


perkembangan janin dan berat bayi lahir rendah.25 Banyaknya kasus
asimptomatik pada infeksi kecacingan menyebabkan penderita tidak melakukan
pemeriksaan dengan segera. Hal ini menyebabkan infeksi kecacingan menjadi
kronis dan bermasalah di kemudian hari.

2.2.4. Diagnosis
Diagnosis pasti dari pemeriksaan infeksi STH adalah ditemukannya cacing
dewasa atau telur pada feses terduga terinfeksi.

Golden standard untuk

diagnosis STH adalah pemeriksaan tinja menggunakan metode Kato-katz.3,26


Kelebihan metode kato- katz adalah lebih sensitif dan spesifik, jumlah telur
pada feses dapat diketahui sehingga intesitas infeksi STH dapat diduga. Namun
demikian dalam pelaksanaannya dibutuhkan SDM yang terlatih serta biaya yang
lebih mahal dari metode konvensional. Saat ini pemeriksaan infeksi kecacingan

46

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

di Indonesia secara umum masih menggunakan metode langsung ataupun


pewarnaan lugol dan eosin.27 Pemeriksaan tinja juga terbatas dilakukan
berdasarkan adanya keluhan klinis atau dugaan adanya infeksi KECACINGAN.

2.2.5. Pengobatan
Obat yang direkomendasikan WHO untuk pengobatan kecacingan adalah
dosis tunggal albendazole 400 mg dan mebendazol 500 mg.3,28 Albendazol
adalah obat antihelmintes yang bersprektum luas bersifat vermisidal, ovisidal
dan larvasidal, bekerja dengan menghambat polimerase tubulin sehingga
mengganggu pembelahan sel, dan menganggu penyerapan glukosa sehingga
cacing mati kekurangan energi. Mebendazol juga mempunyai kerja yang sama
dengan albendazol, namun cure rate nya pada T.trichiura dan cacing tambang
dibawah albendazol. Obat lainnya yang dapat diguanakan adalah Pirantel
pamoat, walaupun cure ratenya terbatas hanya pada ascariasis dan cacing
tambang. Pirantel pamoatmenyebabkan paralisis spastic pada cacing.
Program Pengendalian KECACINGAN di Indonesia telah menggariskan
bahwa kedua obat tersebut digunakan untuk pengobatan KECACINGAN.
Penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan yaitu untuk pengobatan spesifik
dan preventif. Untuk pengobatan spesifik sangat bergantung pada kesadaran
seseorang dalam memeriksakan diri atau saat muncul gejala klinis. Sementara
untuk pengobatan preventif ditujukan pada kelompok anak pra dan sekolah.
Metode pengobatan preventif telah tertuang pada program Pengendalian
KECACINGAN.

2.2.6. Prognosis/prediksi/estimasi
Prognosis infeksi KECACINGAN sangat tergantung dengan intensitas
infeksi dan manifestasi klinis.Walaupun kematian sangat jarang namun dapat

47

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

terjadi bila terlambat mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi infeksi


KECACINGAN yang menyebabkan kematian adalah obstruksi usus, intusepsi,
vovulasi, malnutrisi berat, perforasi, perdarahan usus, apendisitis, cholangitis,
abses hati, henti nafas.29-36

2.2.7. Pencegahan
Sanitasi dan lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi kecacingan,
masalahnya pembangunan infrastrukur sanitasi dan memelihara lingkungan
yang bersih memerlukan biaya besar dan dukungan kebijakan yang kuat.37
Selain itu rendahnya kebiasaan hidup sehat yang berkaitan dengan kemiskinan
dan prilaku juga mempermudah infeksi KECACINGAN.10

2.2.8. Ekonomi Kesehatan


Walaupun kecacingan tidak merupakan penyakit yang akibatkan
kematian tinggi, tetapi Beban ekonomi akibat kecacingan cukup besar terutama
akibat dampak malnutrisi.

2.3.

PROGRAM PENGENDALIAN KECACINGAN


Yang ada dan telah dilakukan
Proprorsi kasus kecacingan Indonesia berdasarkan data Subdit
Kecacingan dan Filariasis, Direktorat Jenderal P2PL, Kementerian Kesehatan
sangat bervariasi dari tahun 2001 2011 yang berasal dari 173 kabupaten di
30 provinsi yaitu 0,4 89,5%.38 Data didapatkan dari berbagai kegiatan yang
dilakukan Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan ataupun yayasan di
bidang kesehatan. Data secara umum hanya berasal dari anak anak pra dan
sekolah karena merupakan kelompok berisiko utama.

48

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Upaya pengendalian KECACINGAN di Indonesia telah dilakukan sejak


tahun 1975 dengan dibentuknya Sub Direktorat Cacing Tambang dan Parasit
Perut Lainnya dan dalam perkembangannya telah beberapa kali berpindah
hingga saat ini masalah KECACINGAN dikelola oleh Subdit Filariasis dan
Kecacingan.

Adapun langkah langkah yang sudah pernah dilakukan

sebelumnya adalah pelaksanaan program edukasi tentang KECACINGAN di


Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), integrasi pemberian Makanan Tambahan
Anak Sekolah (PMT-AS) dengan pemberian obat cacing sejak tahun 1996
2000, pengobatan KECACINGAN yang terintegrasi dengan program Filariasis.
Kemitraan dengan pihak swasta juga telah dirintis sejak tahun 1984, dan
dimulai sejak tahun 1987 dengan basis pengendalian di sekolah di
Indonesia.26,39
Yang ada dan belum maksimal
Program saat ini adalah melanjutkan Program Pemberantasan
KECACINGAN yang telah diatur pada Keputusan Kementerian Kesehatan no
424 tahun 2006 yang bertujuan umum untuk menurunkan angka kesakitan
dan intensitas penyakit KECACINGAN.26 Pada pedoman Pengendalian
KECACINGAN sudah tertuang cara menghitung prevalensi, pelaksanaan
pengobatan, dan pencegahan. Selain itu telah dicantumkan juga komitmen
kerjasama pemerintah dan swasta, harmonisasi lintas program, peningkatan
kapasitas teknis, penyediaan petunjuk teknis, fasilitasi tanggung jawab,
peningkatan kapasitas monitoring serta evaluasi. Tiga langkah dilakukan
dalam penerapan strateginya yaitu: Promotif, Preventif dan pengobatan.
Adapun tahapan kegiatan dalam pelaksanaan program tersebut adalah
dimulai dari penentuan prevalensi data, pengobatan, pemantauan, evaluasi
dan koordinasi lintas program dan sektoral.
Program Pengendalian KECACINGAN merupakan suatu program
pembangunan kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi tingginya dengan mendahulukan kepentingan rakyat. Hal ini

49

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

menunjukkan bahwa program Pengendalian KECACINGAN sudah tertuang


dalam Rencana Strategis Kesehatan.39 Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan
semangat dan kebijakan otonomi daerah maka Program Pengendalian
KECACINGAN diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Peran Pemerintah
Pusat

masih

ada

yaitu

memastikan

semua

pemerintah

menyelenggarakan Program Pengendalian KECACINGAN.

39

daerah

Namun proses

pelaksanaannya masih belum berjalan sebagaimana mestinya, peran


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum maksimal dalam
melaksanakan program Pengendalian Kecacingan.
Program

Pengendalian

kecacingan

di

Indonesia

menggunakan

albendazol dan mebendazol untuk pengobatan kecacingan. Penggunaannya


disesuaikan dengan kebutuhan yaitu untuk pengobatan spesifik dan
preventif. Untuk pengobatan spesifik sangat bergantung pada kesadaran
seseorang dalam memeriksakan diri atau saat muncul gejala klinis.
Sementara untuk pengobatan preventif yaitu deworming ditujukan pada
kelompok anak pra dan sekolah. Metode pengobatan preventif telah
tertuang

pada

program

pengendalian

kecacingan.

Namun

hasil

pelaksanaannya di periode tahun 2001 2011 masih rendah.


Yang direkomendasikan WHO tapi belum maksimal dilaksanakan
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mencanangkan program yang
memuat strategi global dalam pengendalian infeksi KECACINGAN. Program
pengendalian tersebut telah dimulai sejak tahun 2001, dan tahap pertama
telah selesai di tahun 2010. Program ini bertujuan melakukan deworming
terhadap kelompok risiko anak pra dan sekolah hingga 75%. Pada jangka
waktu tersebut sekitar 200 juta anak sudah sekolah telah diberi pengobatan
massal albendazol/mebendazol namun jumlah tersebut hanya 30% dari
target yang tercapai, sementara sasaran target 75% baru dapat dicapai 13
dari 60 negara yang berpartisipasi.3

50

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Untuk tahap kedua yaitu tahun 2011 sampai dengan 2020 target yang
ditetapkan tidak berubah dan rekomendasi WHO tersebut telah dilakukan
dan masuk dalam Program Pengendalian KECACINGAN. Berbagai macam
kendala yang terjadi pada periode sebelumnya telah dievaluasi dan
diupayakan jalan keluar yang dapat dilakukan.
Kendala yang dihadapi sehingga target tersebut tidak tercapai
diantaranya adalah orang yang mempunyai kapasitas untuk mobilisasi
kegiatan deworming STH masih kurang, dukungan teknis dari pemerintah
termasuk akademisi serta peneliti belum memadai,
pemetaan

kesulitan dalam

yang dilakukan di daerah STH sehingga terjadi overestimasi

target, yang hasilnya terjadi bias data dari aktivitas deworming, kesulitan
dalam mengeluarkan rekomendasi walaupun manual sudah dikeluarkan
WHO,

kehadiran anak sekolah yang menjadi target capaian pada saat

program

dilakukan

tidak

dapat

diprediksi,

sistem

pelaporan

yan

dikembangkan ternyata menjadi beban bagi staf kesehatan ditambah


kurangnya sumber daya yang trampil dalam pelaporan, komponen edukasi
pengobatan STH kurang dimaksimalkan saat proses belajar mengajar,
kurangnya keberlanjutan program karena sangat mengandalkan bantuan
eksternal, kurangnya sumber dana local, keterlibatan organisasi swasta
dalam edukasi pengendalian STH masih kurang memadai, masalah harga
obat dan proses pengadaannya termasuk kendala bea cukai dan impor, biaya
untuk mempertahankan strategi pelaksanaan setelah beberapa tahun
program semakin berkurang, belum adanya pedoman pengobatan STH yang
terlepas dari program filariasis setelah 5 tahun keberhasilan MDA filariasis,
kurangnya kapasitas dalam monitoring ketercapaian target deworming,
indikator standar yang menjadi pegangan ketercapaian target setiap
tahunnya masih berubah ubah, metode standar untuk kejadian sampingan
harus dimiliki tidak ada, pencatatan dan pengelolaan obat belum maksimal,
kurangnya kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta

51

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

swasta seperti LSM dalam hal transformasi data sehingga data akurat
tentang capaian target tidak jelas. 3

2.4.

ANALISIS GAP
Dalam upaya menurunkan infeksi KECACINGAN berbagai upaya telah
dilakukan sebelumnya.Namun hingga saat ini program pengendalian masih
belum menjawab permasalahan infeksi kecacingan (tabel 2.4.1).
Data kecacingan
Salah satu penyebab pencapaian program pengendalian kecacingan
belum tercapai karena data prevalensi dan pemetaan kasus infeksi
kecacingan belum tersedia sehingga capaian tidak dapat dinilai. Proses
pendataan yang tidak periodik dan bervariasi antara setiap daerah
menyebabkan data belum bisa menjadi angka prevalensi mewakili Indonesia
termasuk

pendataan dan pengobatan hanya lebih difokuskan pada

kelompok risiko anak anak dan dilakukan saat melakukan program


deworming saja.
Walaupun cara penghitungan sudah tersedia di pedoman pengendalian
kecacingan, belum ada sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dapat
merangkum informasi data kecacingan

di Indonesia.

Oleh sebab itu

diperlukan pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan terpadu seperti


penyakit lainnya.
Deworming
Pendekatan dan strategi penanganan terhadap kelompok berisiko
anak-anak sudah tepat karena merupakan kelompok terbesar terinfeksi
kecacingan. Program deworming pada tahun 2010 belum mencapai target
yaitu 75% kelompok anak pra dan sudah sekolah, dan

program yang

berlangsung saat ini untuk tahun 2011 hingga 2020 belum diketahui

52

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

perkembangannya. Monitoring dan evaluasi dibutuhkan sehingga setiap


masalah dapat segera diatasi dalam pelaksanaan deworming. Selain itu
keterlibatan lintas program dan sektoral perlu ditingkatkan supaya kegiatan
dapat berjalan kontinu dan mendapat dukungan dari masyarakat
Faktor risiko
Sementara pencegahan atau penanganan terhadap kelompok faktor
berisiko lainnya yaitu wanita hamil, penambang/pertanian belum ada, hanya
bersifat jika ada keluhan maka dilakukan pengobatan spesifik. Data
penelitian menunjukkan wanita hamil yang terinfeksi kecacingan mempunyai
risiko melahirkan anak malnutrisi yang cenderung menjadi stunting.40 Belum
ada program khusus pengendalian pada kelompok ini. Perlunya disusun
program dikarenakan kelompok ini juga berinteraksi dengan anak anak
sehingga kemungkinan terjadinya reinfeksi pada anak besar. Pengembangan
sistem pencegahan faktor risiko kelompok ini

dibutuhkan dan dalam

pelaksanaannya dilakukan terpadu dengan berbagai kegiatan dan program


kesehatan lainnya. Untuk hal ini dibutuhkan peningkatan kerjasama lintas
program dan sektoral.
Perilaku hidup bersih rendah
Perilaku hidup bersih dan sehat masih rendah, yaitu hanya 44,5%
rumah tangga Indonesia tidak memiliki akses pembuangan tinja yang layak,
dan 53, 9% rumah tangga berperilaku hidup bersih, serta sekitar 32,5% akses
air bersih masih belum dirasakan di seluruh Indonesia.41 Kemiskinan dan
urbanisasi semakin meningkat dan sulit diatasi dalam waktu singkat.
Walaupun program PHBS, edukasi melalui upaya promotif seperti cuci
tangan, dan UKS sudah dilaksanakan, serta pembangunan infrastruktur
kebersihan telah dilakukan, kegiatan ini belum mampu mengubah perilaku
kesehatan yang baik. Pendekatan sosio-kultural sangat penting dilakukan
karena keberagaman masyarakat Indonesia. Selain itu agar pendekatan itu

53

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

dapat berjalan dengan baik kerjasama lintas program dan sektoral serta
masyarakat sebaiknya berjalan dengan harmonis.
Reservoir
Kemungkinan adanya reservoir pada infeksi kecacingan perlu diteliti
lebih lanjut karena kedekatan manusia dengan ternak dan belum ada
program pengendaliannya. Kerjasama lintas sektoral dengan Dinas
Peternakan dan Hewan diperlukan untuk mengembangkan dan menentukan
mekanisme pencegahan infeksi kecacingan dari binatang ke manusia.
Diagnostik
Penggunaan teknik diagnostik baku Kato Katz masih belum dapat
dilaksanakan di pelayanan primer, dan hanya dilakukan di penelitian.
Metode ini membutuhkan SDM dan laboratorium yang layak karena
tekniknya lebih kompleks jika dibandingkan dengan metode konvensional
yaitu pemeriksaan langsung ataupun dengan pewarnaan Lugol. Pada
umumnya metode konvensional yang digunakan secara luas pada pelayanan
primer di Indonesia. Cara atau teknik ini dapat membantu diagnosis untuk
pengobatan

infeksi

kecacingan

walaupun

akurasinya

lebih

rendah

dibandingkan metode Kato Katz. Penelitian di beberapa negara melaporkan


metode pemeriksaan lain antara lain i Koga agar Plate, teknik Baermann,
sedimentation in tube technique, HaradaMori culture, Direct Smear, metode
Formol-eter Concentration, dan metode FLOTAC.42-45 Diantara semuanya
metode FLOTAC lebih sensitif dan spesifik dibandingkan pemeriksaan lainnya
termasuk metode Kato-Katz, dan menjadi alternatif untuk mendapatkan
hasil diagnosis yang lebih tepat.44,46,47 Untuk pelaksanaanya metode FLOTAC
membutuhkan biaya dan infrastruktur bangunan yang spesifik di
laboratorium, sehingga lebih mahal dibandingkan dengan metode Kato Katz.
Oleh sebab itu metode Kato-Katz masih menjadi pilihan baku untuk diagnosis
infeksi kecacingan. Uji konversi ataupun modifikasi penggunaan metode
konvensional di Indonesia dibandingkan metode Kato Katz dibutuhkan untuk

54

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

dapat penentuan teknik diagnostik yang tepat untuk Indonesia. Metode


Kato Katz dapat digunakan sebagai konfirmasi yang dapat dilakukan di
lembaga laboratorium pusat atau penelitian.
Pengobatan
Pengobatan preventif sudah dilakukan bersama atau terintegrasi
dengan lintas program (pemberian obat cacing bersama filarisasis, vitamin A
bersama obat cacing dan PMT-AS) namun hasil kegiatan belum mencapai
75% anak pra dan sudah sekolah pada tahun 2010. Pengobatan spesifik
bersifat pasif yaitu hanya menunggu kasus kasus infeksi kecacingan yang
datang ke pusat pelayanan. Program pengobatan preventif dan spesifik
belum memberi dampak yang bermakna terhadap kecacingan walaupun
tidak terdata dengan baik. Dibeberapa Negara Afrika deworming berhasil
menunjukkan peningkatan kualitas hidup anak pra dan sudah sekolah.
Pembasmian cacing berbasis sekolah adalah tidak mahal dan dapat
memperbaiki kemampuan sekolah individu anak jangka pendek dan
panjang.48 Saat ini di hanya terbatas di 3 provinsi yang secara penuh
memberi obat cacing kepada anak pra dan sudah sekolah yaitu provinsi Bali,
Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara. Kebijakan pengobatan spesifik
sebaiknya merupakan kebijakan minum obat cacing setahun sekali khusus di
daerah endemis rendah dan 2 kali setahun untuk daerah endemis tinggi.
Hasil penelitian pada anak usia sekolah menunjukkan Albendazol dosis
tunggal mempunyai efek penyembuhan (cure rate) > 90% pada
A.lumbricoides dan cacing tambang sementara untuk T. trichiura hanya <
50% dan menurunkan jumlah telur per gramnya > 90% pada A. lumbricoides
dan cacing tambang sementara Trichuris trichiurahanya < 60%.49 Sementara
Mebendazol yang juga mempunyai kerja yang sama dengan albendazol,
namun cure rate-nya pada trichuris dan cacing tambang dibawah
albendazol.39 Selain obat diatas obat lainnya yang dapat diguanakan adalah
Pirantel pamoat, walaupun cure rate-nya terbatas hanya pada A.
lumbricoides .39

55

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pencegahan
Pencegahan infeksi kecacingan memerlukan perilaku, sanitasi dan
lingkungan bersih. Perbaikan sanitasi dan pola hidup bersih merupakan
strategi utama untuk mencegah infeksi kecacingan.3,12,26,39 Penelitian kohort
program Blue Bay di Brazil terhadap daerah sebelum dan sesudah di
intervensi didapatkan terjadi penurunan infeksi kecacingan yang bermakna.
Program tersebut merupakan jejaring sistem penanganan limbah dan sistem
sanitasi.50,51 Di Bali, infeksi kecacingan sangat bergantung pada lingkungan
tanah di lokasi kerja atau tempat tinggal individu penderita. 52 Sanitasi yang
bersih saja tidak cukup untuk menghadapi infeksi cacingan tetapi harus
diperkuat dengan upaya perilaku higenitas perorangan.53 Sikap dan tindakan
individu berperan dalam upaya pengendalian kecacingan di Sumatera. 54
Berbagai program promotif, preventif sudah ada misalnya program cuci
tangan, pakai alas sepatu, buang sampah pada tempatnya, tetapi lingkungan
dan perilaku masyarakat tidak banyak berubah dan belum menjadi bagian
dari hidup warga Indonesia. Program PHBS dan pembangunan infrastruktur
yang dilakukan pemerintah ternyata belum mampu mengatasi permasalahan
ini. Pendekatan filosofi yang menjadikan kebersihan menjadi bagian hidup,
pengembangan kembali wilayah percontohan serta meningkatkan kerjasama
lintas sektoral serta peningkatan peran serta masyarakat dapat menjadi jalan
untuk tercapainya upaya pencegahan masalah kecacingan. Imunisasi
merupakan salah satu cara pencegahan terhadap penyakit. Pengembangan
vaksin memerlukan dana yang besar dan pengembangan masih sebatas pada
hewan

coba,

sehingga

masih

memerlukan

waktu

untuk

dapat

digunakan.Beberapa calon vaksin seperti NS-ASP 2, Recombinant Aspartic


Hemoglobinase, pVAX-Enol dan L3 excretorysecretoryproducts (ES) 55-58
Beban ekonomi
Beban ekonomi kecacingan di Indonesia yang dihitung berdasarkan
kehilangan karbohidrat dan protein akibat A.lumbricoides adalah 316 milyar
pada tahun 2002 2003. Untuk cacing tambang kerugian yang dinilai dari

56

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

kehilangan darah pertahun, maka beban biaya yang dikeluarkan sekitarRp


4,5 triliun per tahun. Sementara untuk T. trichiura yang juga dinilai karena
kehilangan darah diasumsikan Rp 2 trilun per tahun.26
Beban ekonomi kecacingan sangat fluktuatif dan sulit diprediksi karena
ditentukan oleh kronisitas infeksi dan kondisi perekonomian saat
perhitungan. Informasi klinis dan ekonomi dibutuhkan untuk dapat
menghitung secara pasti berapa kerugian sebenarnya akibat infeksi
kecacingan. Kerjasama lintas sektoral dengan pemerhati ekonomi kesehatan
dapat membantu untuk mengetahui dan menilai masalah ekonomi akibat
infeksi kecacingan.

Tabel 2.4.1. Analisis Gap Kecacingan


No

Temuan

Program

Saran

Data prevalensi program tidak


tersedia sehingga capaian
program tidak diketahui

Belum ada sistem


pencatatan dan pelaporan
program kecacingan

Pengembangan sistem
pencatatan dan pelaporan
terpadu penyakit negcleted
termasuk Kecacingan

2.a

Capaian program deworming


terhadap kelompok berisiko
anak belum tercapai.

Deworming pada anak

Perluasan program deworming


dan berkesinambungan
Kerjasama lintas program dan
sektor ditingkatkan

2.b

Pencegahan / penanganan pada


kelompok berisiko wanita hamil
dan pekerja tambang/pertanian
tidak ada

Belum ada program khusus


untuk kelompok berisiko

Pengembangan sistem
pencegahan terpadu pada
kelompok berisiko dan
peningkatan kerjasama lintas
program dan sektoral

2.c

Perilaku hidup sehat masih


rendah

Program PHBS, promotif


UKS

Pendekatan sosio-kultural.
Kerjasama lintas program dan
sektoral ditingkatkan.

2.d

Kemungkinan infeksi melalui


binatang peliharaan ataupun
ternak

Program belum ada

Meningkatkan kerjasama lintas


sektoral diantaranya
melaksanakan penelitian
epidemiologi dan alat
diagnostik

57

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

No

Temuan

Program

Saran

Metode diagnostik di pelayanan


primer (Puskesmas) secara
langsung atau pewarnaan lugol,
penggunaan metode diagnostik
Kato Katz sangat terbatas hanya
untuk konfirmasi

Kato Katz sebagai teknik


diagnostik baku

Penelitian/uji diagnostik
kecacingan (akurasi, konversi,
modifikasi dari tehnik) antara
teknik konvensional versus
Kato Katz. Penetapan metode
Kato Katz untuk konfirmasi di
pusat, penelitian atau
laboratorium sentral

Pengobatan preventif dan


spesifik tidak bermakna
memberi dampak penurunan
kasus KECACINGAN

Pengobatan preventif pada


kelompok anak pra dan
sudah sekolah, pengobatan
spesifik untuk kelompok
lainnya atau endemis
sangat terbatas

Kebijakan nasional wajib obat


cacing bagi anak sekolah
diperluas dan dipercepat.
Kebijakan wajib minum obat
cacing untuk dewasa setiap 1
2 tahun sekali membantu
pengobatan spesifik

Sanitasi, perilaku higienitas,


lingkungan bersih belum
menjadi bagian hidup semua
warga Indonesia

Program preventif,
promotif melalui PHBS,

Budaya bersih menjadi falsafah


hidup, mengembangkan
wilayah percontohan yang
mengedepankan kebersihan
lingkungan dan meningkatkan
kerjasama lintas sektoral serta
peningkatan peran serta
masyarakat

Kecacingan seharusnya menjadi


prioritas berdasarkan besaran
beban ekonomi

Belum ada sistem


pencatatan dan pelaoran
data kecacingan dan
menilai kerugian ekonomi
kesehatan

Penelitian ekonomi kesehatan


penyakit neglected termasuk
bidang kecacingan

2.5.

POLICY OPTION DAN PENELITIAN


Permasalahan kecacingan yang dapat dilakukan saat ini adalah tahap
pengendalian. Pertimbangan tahap pengendalian karena belum adanya data
yang valid sebagai data dasar yang diperlukan untuk menilai perkembangan
pengendalian infeksi kecacingan. Strategi dan langkah langkah pencapaian
yang tertuang pada Program Pengendalian Kecacingan seharusnya menjawab
permasalahan program . Diidentifikasi 3 masalah yang yang perlu dilaksanakan

58

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

dan diselesaikan (tabel 3.5.1) yaiu belum adanya sistem pencatatan dan
pelaporan yang valid dan terpadu untuk penyakit neglected termasuk
kecacingan, program deworming yang belum optimal, dan pengendalian faktor
risiko infeksi kecacingan.
a. Sistem pencatatan dan pelaporan yang valid dan terpadu untuk penyakit
neglected termasuk kecacingan
Penentuan besaran masalah memerlukan data pendukung yang valid
untuk mengambil suatu kebijakan. Prevalensi kecacingan hingga saat ini
belum diketahui dengan pasti karena tidak adanya sistem pencatatan dan
pelaporan terpadu penyakit neglected termasuk kecacingan. Komitmen
pemerintah sangat penting untuk mendapatkan data prevalensi yang
dibutuhkan. Komitmen akan mempengaruhi dampak kebijakan yang
dikeluarkan. Komitmen pemerintah mengendalikan kecacingan belum
optimal dan membutuhkan alokasi dana dan regulasi yang jelas untuk
pengendalian.59
Di era desentralisasi

penanganan bidang kesehatan dibagi

kewenangannya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.49


Berbagai program kesehatan telah dikembangkan dan sistem surveilans
sudah banyak dilakukan namun untuk penyakit neglected termasuk
kecacingan belum ada yang dapat dipergunakan secara luas di Indonesia.
Bentuk dan format sistem pencatatan dan pelaporan sebaiknya teruji
kesahihannya. Balitbangkes dapat berperan dalam pengembangan sistem
pencatatan

dan

pelaporan

bekerjasama

dengan

bidang

program

pengendalian kecacingan dan pihak akademisi. Penelitian operasional


surveilans berbasis penyakit neglected dapat dilakukan bersamaan dengan
pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan.

59

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

b. Program deworming yang belum optimal


Salah satu program pengendalian kecacingan adalah program
deworming. Tahap I program ini telah selesai tahun 2010 dan target belum
mencapai 75% kelompok anak pra dan sudah sekolah. Ketidaktercapaian ini
dipengaruhi banyak faktor diantaranya belum adanya petunjuk teknis yang
jelas antara berbagai pihak yang berperan, SDM yang terlatih dalam
pelaksanaanya, bagaimana mekanisme monitoring dan evaluasinya. Saat ini
kegiatan dilanjutkan dan pelaksanaanya baru dilakukan di 3 provinsi.
Tantangannya target 75% harus dicapai pada tahun 2020. Oleh karenanya
dibutuhkan komitmen pemerintah dengan

menerbitkan petunjuk teknis

kegiatan termasuk dana operasional. Petunjuk teknis berguna untuk


menyusun kegiatan yang dilakukan, tugas dan tanggung jawab pemerintah,
pelatihan SDM, pelaksanaan kegiatan, sistem pelaporan kegiatan serta
monitoring dan evaluasi. Dana operasional juga penting sehingga
pemerintah pusat maupun daerah dapat mengalokasikan dana kegiatan yang
diperlukan. Komitmen pemerintah dalam melibatkan pihak lintas program
dan sektoral dalam pelaksanaan program mendukung dan menjaga
kesinambungan kegiatan .
Upaya

Pengendalian

kecacingan

melalui

program

deworming

memerlukan ketersediaan obat cacing yang mudah pengadaan dan


pendistribusiannya. SDM yang bertanggung jawab terhadap kegiatan
deworming harus dipersiapkan sehingga program deworming dapat tercapai.
Monitoring dan evaluasi kegiatan deworming terus menerus harus
dilakukanuntuk menjamin keberhasilan program pengendalian kecacingan
termasuk penyediaan dana operasional kegiatan danpelatihan SDM.
Monitoring dan evaluasi terhadap keuangan menjamin akuntabilitas
program deworming dapat berjalan dengan baik. Harapan seluruh anak di
Indonesia mendapatkan program deworming adalah mutlak dan dapat
dilakukan jika semua pihak mempunyai komitmen yang sama. Revisi target

60

perlu dilakukan dari 75% menjadi 50% ataupun jumlah lainnya yang

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

disesuaikan dengan kebutuhan dan anggaran yang disediakan. Revisi target


tidak merupakan alasan tidak menyelesaikan segera program deworming.
Target utama adalah daerah dengan sanitasi buruk dimana anak anak
tinggal bermaindengan target seharusnya 100%.
Badan Litbangkes sebagai salah satu lembaga penelitian dapat
berperan melakukan penelitian berbasis monitoring dan evaluasi kegiatan
program deworming, melakukan uji obat deworming dan uji diagnostik untuk
tehnik pemeriksaan yang akurat, dan menemukan formula konversi metode
Kato Katz. Penelitian bersama program deworming akan membantu
menjawab dan mengatasi permasalahan kecacingan.
c. Pengendalian faktor risiko infeksi kecacingan yang belum memberikan
dampak yang bermakna
Pencegahan adalah program utama pengendalian faktor risiko infeksi
kecacingan melalui upaya sanitasi dan higienitas melalui PHBS dan lainnya
telah dilakukan termasuk perbaikan infrastruktur yang terkait masalah
kesehatan. Program ini belum memberikan hasil yang dapat dirasakan
masyarakat. Angka rumah sehat dan tingkat pendidikan yang rendah, dan
kemiskinan serta urbanisasi mempersulit pengendalian faktor risiko sehingga
tidak memberikan hasil.
Peraturan pemerintah tentang kebijakan pengobatan kelompok
berisiko dan pengembangan wilayah percontohan diperlukan. Pengobatan
kepada kelompok berisiko seperti deworming terbukti menurunkan angka
kesakitan anak di Afrika dan berpengaruh pada perkembangan tubuh dan
intelektualitas anak. Wilayah percontohan akan menjadi pemicu wilayah
lainnya di Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Permenkes dan
petunjuk teknis pelaksanaan PHBS, UKS dan cara menjalankan wilayah
percontohan diharapkan dapat mencapai target pengendalian kecacingan
yang diharapkan. Komitmen pemerintah dalam pembagian tugas dan
tanggung jawab yang jelas dalam pelaksanaannya antara semua pihak yang

61

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

terlibat akan membuat program ini berjalan dengan baik dan terus menerus
sehingga upaya untuk memfalsafakan kebersihan menjadi budaya hidup
berhasil.

Upaya upaya seperti melakukan perlombaan kesehatan,

mengingatkan dan melaksanakan wajib cuci tangan dan wajib menggunakan


sandal dari usia dini akan membantu keberhasilan program pengendalian
yang berkelanjutan.

Tabel 2.5.1. Policy Option Kecacingan


Masalah

Penanganan

Pengendalian
/Eliminasi/
Eradikasi

Sistem
pencatatan dan
pelaporan
terpadu
penyakit
neglected
termasuk
kecacingan
belum ada

Komitmen pemerintah
dalam pengembangan
dan pelaksanaan
sistem pencatatan dan
pelaporan terpadu

Pengendalian
infeksi
kecacingan
berbasis bukti

Regulasi , petunjuk
teknis untuk
pelaksanaan dan
pengembangan sistem
pencatatan tugas dan
tanggungjawab setiap
pihak yang terlibat

Penelitian
operasional
surveilans
berbasis
penyakit
neglected dan
pengembangan
sistem
pencatatan

Program
deworming
belum tercapai

Komitmen pemerintah
dengan diterbitkannya
petunjuk teknis
termasuk dana
operasional kegiatan
dan keterlibatan lintas
program dan sektoral

Pengendalian
berupa
Ketersediaan
obat cacing
dan SDM
trampil/komp
eten

Monitoring dan evaluasi


kegiatan deworming
berkesinambungan
termasuk penyediaan
dana operasional
kegiatan, pelatihan SDM
Revisi target pencapaian

Penelitian
berbasis
monitoring dan
evaluasi uji
obat
deworming dan
uji diagnostik

Pengendalian
faktor risiko
termasuk
pencegahan
infeksi
kecacingan
belum
memberikan
hasil yang
bermakna

Didukung peraturan
pemerintah tentang
kebijakan pengobatan
kelompok berisiko dan
pengembangan
wilayah percontohan

Pengendalian
melalui
diterbitkannya
petunjuk
teknis
pelaksanaan
PHBS, UKS dan
wilayah
percontohan

Komitmen pemerintah,
pembagian tugas dan
tanggung jawab yang
jelas dalam
pelaksanaannya antara
semua pihak yang
terlibat. Upaya untuk
memacu kebersihan diri
dan lingkungan dengan
melakukan perlombaan
kesehatan dan lainnya.

Penelitian
sosial-budaya
serta ekonomi
kesehatan dan
faktor risiko
untuk
menentukan
luasnya besaran

62

Maintenance

Penelitian

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pendekatan yang menjadikan kebersihan adalah bagian hidup kita


bukanlah hal yang mudah di Indonesia. Keberagaman suku dan budaya
bangsa memungkinkan satu kebijakan tidak dapat di generalisir. Penelitian
sosial-budaya dapat membantu menemukan pilihan terbaik dalam
melakukan pencegahan. Penelitian terhadap faktor risiko di tiap daerah juga
dapat dilakukan untuk menentukan pendekatan yang diperlukan dalam
mengendalikan infeksi kecacingan. Selain itu penelitian ekonomi kesehatan
akan membantu menilai besaran permasalahan dan menentukan luasnya
besaran dan prioritas infeksi kecacingan.

Daftar Pustaka
1.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor
424/Menkes/SK/VI/2006.
Pedoman
Pengendalian Kecacingan.

2.

Bethony Jr, Brooker S, Albonico M, Geiger SM,


Loukas A, Diemert D, et al. Soil-transmitted
helminth infections: ascariasis, trichuriasis, and
hookworm. Lancet 2006;367:1521 - 32.

3.

Eliminating Soil-Transmitted Helminthiases as A


Public Health Problem in Children.Progress Report
2001-2010 and Strategic Plan 2011 - 2020. World
Health Organization. 2012.

4.

http://www.who.int/neglected_diseases/diseases/e
n/ tanggal 21 januari 2013.

5.

Working to overcome the global impact of


neglected diseases.First WHO report on neglected
tropical diseases. WHO 2012

6.

Soil Transmitted Helminths. Country x Indicators.


http://wwwwhoint/neglected_diseases/preventive
_chemotherapy/sth/db/indexhtml?units=minimal&r
egion=all&country=all&countries=all&year=all
16
July 2013.

7.

Leles D, Gardner SL, Reinhard K, Iiguez A, Araujo A.


Are Ascaris lumbricoides and Ascaris suum a single
species? Parasites & Vectors 2012;5(42).

8.

, Rubinsky-Elefant G, Ferreira MU. SoilTransmitted Helminthic Zoonoses in Humans and


Associated Risk Factors. In: Pascucci S, editor. Soil
Contamination. Rijeka, Croatia Sanghai, China:
INTECH; 2011.http://www.intechopen.com/books/
soilcontamination/soil-transmitted-helminthiczoonoses-in-humans-and-associated-risk-factors.

9.

Anderson TJ. Ascaris infections in humans from


North America: molecular evidence for crossinfection. Parasitology. 1995;110 ( Pt 2):215-9. Epub
1995/02/01.

10. Pham-Duc P, Nguyen-Viet H, Hattendorf J, Zinsstag


J, Phung-Dac C, Zurbrgg C, et al. Ascaris
lumbricoides and Trichuris trichiura infections
associated with wastewater and human excreta use
in agriculture in Vietnam. Parasitology International.
2013;Accepted 19 December 2012.
11. Peter J. Hotez, Donald A. P. Bundy, Kathleen Beegle,
Simon Brooker, Lesley Drake, Nilanthi de Silva, et al.
Chapter 24. Helminth Infections: Soil-Transmitted
Helminth Infections and Schistosomiasis. Disease
Control Priorities in Developing Countries Second
Edition: World Bank; April 2006. p. 467 - 82.
12. Mascarini-Serra L. Prevention of Soil-transmitted
Helminth Infection. J Glob Infect Dis. Apr-Jun
2011;3(2):175 - 82.
13. Godfrey R, M MJ. Urbanisation and health. Clin
Med. Mar-Apr 2005;5(2):137 - 41.
14. Brooker S, Clements AC, Bundy DA. Global
epidemiology, ecology and control of soiltransmitted helminth infections. Adv Parasitol.
2006;62:221
61.doi:10.1016/S0065308X(05)62007-6.
15. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2
3779/4/Chapter%20II.pdf. 4 Desember 2012.
16. Rampengan T. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak.
Ankilostomiasis, Askariasis, Trikuriasis. 2 ed. Jakarta:
EGC; 2007. p. 226-43,48 - 51.

63

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

17. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/
000628.htm. 4 Desember 2012.
18. Materaa G, Giancottia A, Scalisea S, Pulicaria MC,
Masellib R, Piizzib C, et al. Ascaris lumbricoidesinduced suppression of total and specific IgE
responses in atopic subjects is interleukin 10independent and associated with an increase of
CD25+ cells. Diagnostic Microbiology and Infectious
Disease 2008;62:280 - 6.
19. Sarinas P, Chitkara R. Ascariasis and hookworm.
Semin Respir Infect. Jun 1997;12(2):130 - 7.
20. Larocque R, Casapia M, Gotuzzo E, Gyorkos TW.
Relationship Between Intensity Of Soil-Transmitted
Helminth Infections And Anemia During Pregnancy.
Am J Trop Med Hyg. 2005;73(4):783 - 9.
21. Ngui R, Lim YAL, Kin LC, Chuen3 CS, Jaffar S.
Association between Anaemia, Iron Deficiency
Anaemia, Neglected Parasitic Infections and
Socioeconomic Factors in Rural Children of West
Malaysia.
PLoS
Negl
Trop
Dis
March
2012;6(3):e1550.
22. Phathammavong O, Moazzam A, Xaysomphoo D,
Phengsavanh A, Kuroiwa C. Parasitic infestation and
nutritional status among schoolchildren in
Vientiane, Lao PDR. Journal of paediatrics and child
health. 2007;43(10):689-94. Epub 2007/09/15.
23. Hotez PJ, Brooker S, Bethony JM, Bottazzi ME,
Loukas A, Xiao S. Current concepts : Hookworm
Infection. N Engl J Med 2004;351:799 - 807.
24. Hotez P, Pritchard D. Hookworm infection. Sci Am.
1995;272:68 - 74.
25. Stephenson LS, Latham MC, Ottesen EA.
Malnutrition and parasitic helminth infections.
Parasitology.
2000;121
Suppl:S23-38.
Epub
2001/06/02.
26. http://pppl.depkes.go.id/focus?id=781. 31 Januari
2013.
27. Soedarto. Pengobatan Penyakit Parasit. Penyakit
Cacing, Obat Cacing. Jakarta: Sagung Seto; 2009. p.
60 - 9, 137 - 48.
28. Steinmann P, Utzinger J, Du ZW, Jiang JY, Chen JX,
Hattendorf J, et al. Efficacy of single-dose and tripledose albendazole and mebendazole against soiltransmitted helminths and Taenia spp.: a
randomized
controlled
trial.
PloS
one.
2011;6(9):e25003. Epub 2011/10/08.
29. Wani I, Rather M, Naikoo G, Amin A, Mushtaq S,
Nazir M. Intestinal ascariasis in children. World
journal of surgery. 2010;34(5):963-8. Epub
2010/02/10.

64

30. Sangkhathat
S,
Patrapinyokul
S,
Wudhisuthimethawee P, Chedphaopan J, Mitamun
W. Massive gastrointestinal bleeding in infants with
ascariasis.
Journal
of
pediatric
surgery.
2003;38(11):1696-8. Epub 2003/11/14.
31. Nikolic H, Palcevski G, Saina G, Persic M. Chronic
intussusception in children caused by Ascaris
lumbricoides. Wiener klinische Wochenschrift.
2011;123(9-10):294-6. Epub 2011/04/19.
32. Chawla A, Patwardhan V, Maheshwari M, Wasnik A.
Primary ascaridial perforation of the small intestine:
sonographic diagnosis. Journal of clinical ultrasound
: JCU. 2003;31(4):211-3. Epub 2003/04/15.
33. Sforza M, Andjelkov K, Zaccheddu R, Ivanov D, Krstic
S, Paganelli A. An unusual case of ascariasis of the
appendix. Srpski arhiv za celokupno lekarstvo.
2011;139(11-12):809-11. Epub 2012/02/18.
34. Slesak G, Phanthavong P, Rasphone O, Luangxay K,
Anoulakkham P, Pahatsalang V, et al. Obstructive
biliary ascariasis with cholangitis and hepatic
abscesses in Laos: a case report with gall bladder
ultrasound video. The Journal of infection.
2007;54(4):e233-5. Epub 2007/02/24.
35. Bari S, Sheikh KA, Ashraf M, Hussain Z, Hamid A,
Mufti GN. Ascaris liver abscess in children. Journal
of gastroenterology. 2007;42(3):236-40. Epub
2007/03/24.
36. Bailey JK, Warner P. Respiratory arrest from Ascaris
lumbricoides. Pediatrics. 2010;126(3):e712-5. Epub
2010/08/04.
37. Ziegelbauer K, Speich B, Mausezahl D, Bos R, Keiser
J, Utzinger Jr. Effect of Sanitation on SoilTransmitted Helminth Infection: Systematic Review
and
Meta-Analysis.
PLoS
Med
January
2012;9(1):e1001162. doi:10.1371/journal.pmed.
38. Soil Transmitted Survey Year 2002 - 2011. Unpublish
Data. Data SubDit Filariasis dan Kecacingan, Ditjen
PPdan PL, Kementerian Kesehatan Republim
Indonesia2012.
39. Pedoman Pengendalian Kecacingan Direktorat
Jenderal PP dan PL, Kementerian Kesehatan. 2012.
40. Steketee RW. Pregnancy, nutrition and parasitic
diseases. J Nutr. 2003;133(5 Suppl 2):1661S-7S.
Epub 2003/05/06.
41. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012.
42. Knopp S, Mgeni AF, Khamis IS, Steinmann P,
Stothard JR, Rollinson D, et al. Diagnosis of SoilTransmitted Helminths in the Era of Preventive
Chemotherapy: Effect of Multiple Stool Sampling
and Use of Different Diagnostic Techniques. PLoS
Negl
Trop
Dis
2008;2(11):e331.
doi:10.1371/journal.pntd.0000331.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

43. Machicado JD, Marcos LA, Tello R, Canales M,


Terashima A, Gotuzzo E. Diagnosis of soiltransmitted helminthiasis in an Amazonic
community of Peru using multiple diagnostic
techniques. Transactions of the Royal Society of
Tropical Medicine and Hygiene. 2012;106 333 - 9.
44. K opp , Gli z D, Ri ldi L, Moh
ed K , NGo
EK, Stothard JR, et al. FLOTAC: A promising
technique for detecting helminth eggs in human
faeces. Transactions of the Royal Society of Tropical
Medicine and Hygiene 2009;1003:1190 - 4.
45. Dacombe RJ, Crampin AC, Floyd S, Randall A,
Ndhlovu R, Bickle Q, et al. Time delays between
patient and laboratory selectively affect accuracy of
helminth diagnosis. Transactions of the Royal
Society of Tropical Medicine and Hygiene
2007;101:140 - 5.
46. Jeandron A, Abdyldaieva G, Usubalieva J, Ensink JHJ,
Cox J, Matthys B, et al. Accuracy of the Kato-Katz,
adhesive tape and FLOTAC techniques for helminth
diagnosis among children in Kyrgyzstan. Acta
Tropica 2010;116:185 - 92.
47. Habtamu K, Degarege A, Ye-Ebiyo Y, Erko B.
Comparison of the Kato-Katz and FLOTAC
techniques for the diagnosis of soil-transmitted
helminth infections. Parasitology International
2011;60:398 - 402.
48. Deworming (Pembasmian cacing): Pilihan Terbaik
untuk Pembangunan. 2012; Available from:
http://www.povertyactionlab.org/sites/default/files
/publication_versions/2013.06.05b_Deworming_BA
HASA_INDONESIA_0.pdf. 6 November 2013.
49. Vercruysse J, Behnke JM, Albonico M, Ame SM,
Angebault Cc, Bethony JM, et al. Assessment of the
Anthelmintic Efficacy of Albendazole in School
Children in Seven Countries Where SoilTransmitted Helminths Are Endemic. PLoS Negl
Trop
Dis.
2011;5(3):
e948.
doi:10.1371/journal.pntd.0000948.
50. Mascarini-Serra LM, Telles CA, Prado MS, Mattos
SA, Strina A, Alcantara-Neves NM, et al. Reductions
in the Prevalence and Incidence of Geohelminth
Infections following a City-wide Sanitation Program
in a Brazilian Urban Centre. PLoS Negl Trop Dis
2010;4(2):e588. doi:10.1371/journal.pntd.0000588.

52. Widjana DP, Sutisna P. Prevalence Of SoilTransmitted Helminth Infections In The Rural
Population Of Bali, Indonesia. STH Infection in
Indonesia. September 2000;31(3):454 - 9.
53. Friscasari Kundaian* JMLU, Billy J. Kepel*.
Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan
Infestasi Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa
Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa.
http://ejournalunsratacid 26 Februari 2013. 2012.
54. Baharuddin. Pengaruh Perilaku Higienitas Terhadap
Kejadian Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar
Negeri Di Kecamatan Meurebo Kabupaten Aceh
Barat (Tesis): Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Medan; 2010.
55. Bethony J, Loukas A, Smout M, Brooker S, Mendez
S, Plieskatt J, et al. Antibodies against a secreted
protein from hookworm larvae reduce the intensity
of hookworm infection in humans and vaccinated
laboratory animals. Faseb Journal. 2005;19(2):1743
- 5.
56. Loukas A, Bethony JM, Mendez S, Fujiwara RT, Goud
GN, Ranjit N, et al. Vaccination with Recombinant
Aspartic Hemoglobinase Reduces Parasite Load and
Blood Loss after Hookworm Infection in Dogs. PLoS
Med October 2005;2(10):1008 - 17.
57. Chen N, Yuan Z, Xu M, Zhou D, Zhang X, Zhang Y, et
al. Ascaris suum enolase is a potential vaccine
candidate against ascariasis. Vaccine. May
2012;30(23):3478 - 82.
58. Dixon H, Johnston C, Else K. Antigen selection for
future anti-Trichuris vaccines: a comparison of
cytokine and antibody responses to larval and adult
antigen in a primary infection. Parasite
Immunology. 2008;30:454 - 61.
59. http://kebijakankesehatanindonesia.net/componen
t/content/article/73-berita/1302-komitmenpemerintah-terhadap-kesehatan-dinilai-masihlemah.html, 19 September 2013
60. Kumar D, Mishra S, Tandan S, Tripathi H.
Mechanism of antihelmintic action of benzyl
isothiocyanate. Fitoterapia. 1991;62(5):403 - 10.

51. Melo JC. The Experience of Condominial Water and


Sewerage Systems in Brazil:Case Studies from
Brasilia, Salvador and Parauapebas. Lima, Peru:
World Bank, BNWP, WSP; 2005.

65

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

66

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB

SCHISTOSOMIASIS
Anis Nur Widayati, Jastal,Hayani Anastasia Siahaan, Made Agus Nurjana

3.1.

PENDAHULUAN
Schistosomiasis menginfeksi 230 juta orang di 77 negara dengan 600 juta
orang berisiko terinfeksi. Penyakit ini tersebar di negara-negara berkembang
baik tropik maupun subtropik yaitu China, Jepang, Philipina, Indonesia,
Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja.1
Schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis yang
disebabkan cacing trematoda darah Schistosoma japonicum dengan hospes
perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis.
Schistosomiasis sering disebut juga sebagai demam keong di daerah
endemis di Indonesia. Daerah endemis pertama ditemukan oleh Dr. Btrug dan
Dr. Tesch di desa Tomado, dataran tinggi Lindu pada tahun 1937. Pada tahun
1972 daerah endemis kedua ditemukan oleh Carney, dkk di dataran tinggi
Napu.2 Pengendalian secara intensif mulai dilakukan pada tahun 1982 dengan
kegiatan berupa pengobatan massal dan survei tinja dan tikus tiap 6 bulan.
Pada tahun 1995-2005 berlangsung proyek pinjaman ADB Central Sulawesi
Integrated Area Development and Corservation Project (ADBCSIADCP) yang
melibatkan lintas sektor dalam pengendalian schistosomiasis.3 Daerah endemis
schistosomiasis baru di dataran tinggi Bada ditemukan oleh Jastal, dkk pada
tahun 2008.4

67

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Penyakit schistosomiasis merupakan neglected disease karena sebagai


penyakit zoonosis yang ditemukan atau endemik terbatas di Sulawesi Tengah
(Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso), dan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di daerah endemis sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1937.
Komitmen dari pengambil kebijakan kesehatan dan lintas sektor dalam
pengendalian schistosomiasis juga kurang serius.

3.2.

MASALAH SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA

3.2.1. Etiologi
Penyebab schistosomiasis japonica adalah cacing trematoda Schistosoma
japonica. Telur S.japonicum dikeluarkan bersama dengan tinja penderita,
kemudian dalam air menetas menjadi mirasidium yang akan menembus tubuh
keong Oncomelania hupensis lindoensis. Dalam tubuh keong mirasidium akan
mengalami perkembangan menjadi sporokista, kemudian menjadi serkaria yang
akan keluar dari tubuh keong. Infeksi terjadi melalui serkaria yang menembus
kulit manusia dan atau mamalia. S.japonicum dewasa hidup di vena hepatika
dan vena mesenterika.

Gambar 3.2.1.1. Cacing dewasa Schistosoma japonicum


(sumber: Balai Litbang P2B2 Donggala)

68

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

3.2.2. Epidemiologi
Schistosomiasis japonica di Indonesia hanya ditemukan di Propinsi
Sulawesi Tengah yaitu di dataran tinggi Lindu, Kabupaten Sigi dan dataran tinggi
Napu dan dataran tinggi Bada, Kabupaten Poso.

Gambar 3.2.2.1. Persebaran daerah endemis schistosomiasis di Indonesia


(sumber: Balai Litbang P2B2 Donggala)

Penyebaran schistosomiasis antar daerah endemis dari dataran tinggi


Lindu ke Napu dan Bada masih belum diketahui secara pasti. Penyebaran dari
Lindu ke Napu maupun ke Bada dapat terjadi karena mobilitas penduduk antara
dua wilayah endemis. Penduduk Napu dapat terinfeksi schistosomiasis saat
mengunjungi keluarganya di Lindu.
Hospes

perantara

schistosomiasis

adalah

keong

O.h.lindoensis

yangbersifat amfibious. Keong perantara ini hidup tersebar luas di daerah


endemis tetapi tidak merata, terbatas pada tempat tempat tertentu yang kita
sebut fokus.1 Hospes definitif schistosomiasis adalah manusia dan hewan
mamalia. Ada 13 mamalia yang diketahui terinfeksi oleh schistosomiasis antara
lain : sapi (Bos sundaicus), kerbau (Bubalusbubalis), kuda (Equus cabalus),
anjing (Canis familiaris), babi (Sus sp), musang (Vivera tangalunga), rusa

69

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

(Cervus timorensis), berbagai jenis tikus (Rattus exulans, R. marmosurus, R.


norvegicus, R. palellae)5

Gambar 3.2.2.2. Keong Oncomelania hupensis lindoensis, hospes perantara


schistosomiasis di Indonesia

Habitat keong perantara schistosomiasis :


1. Daerah habitat alami keong : daerah yang belum dijamah manusia, misalnya
di tepi hutan, dalam hutan, tepi danau, mata air, saluran air, daerah tempat
terlindung dari sinar matahari dengan pohon besar atau semak belukar,
selalu basah dan lembab. Keong dapat ditemukan di tanah, menempel di
daun dan ranting yang jatuh, di batu.

Gambar 3.2.2.3. Daerah habitat alami keong (sumber foto: Anis NW)

2. Habitat yang terjamah manusia : kebun coklat, bekas sawah yang lama
ditinggalkan, padang rumput bekas ladang penduduk, tepi saluran air, di pinggir
kolam yang ditumbuhi rumput.

70

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gambar 3.2.2.4. Daerah Habitat yang terjamah manusia (sumber foto: Balai Litbang
P2B2 Donggala)

Manusia yang kontak dengan air didaerah fokus keong O.h.lindoensis


positif serkaria berisiko terkena schistosomiasis japonica. Oleh sebab itu
dibutuhkan alat pelindung diri untuk petani, pencari kayu dan atau rotan di
sekitar daerah fokus, peternak sapi / kerbau, nelayan atau pencari ikan di danau
yang melewati daerah fokus, petugas kesehatan laboratorium schistosomiasis,
perambah hutan, peneliti schistosomiasis, dan petugas kehutanan.
Hewan ternak mamalia yang merumput dan mamalia liar yang melintasi
daerah fokus O.h.lindoensis juga berisiko terinfeksi schistosomiasis. Oleh sebab
itu masyarakat dianjurkan untuk tidak menambatkan ternak mamalia di daerah
fokus keong O.h.lindoensis.

71

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

3.2.3. Patogenesis2
Perkembangan schistosomiasis pada manusia melalui beberapa stadium, yaitu:
1. Stadium I : dimulai sejak masuknya serkaria menembus kulit sampai cacing
menjadi dewasa, termasuk perpindahan schistosomula (cacing Schistosoma
muda) melalui paru paru ke sistem vena portal. Gejala klinis pada stadium
ini adalah sebagai berikut:
a. Gejala alergi yaitu ruam pada kulit, kemerahan dengan rasa gatal dan
panas di tempat serkaria masuk. Gejala ini timbul beberapa jam setelah
serkaria menembus kulit. Gejala ini akan hilang dalam waktu 2-3 hari.
Setelah itu gejala alergi akan muncul kembali disertai dengan
pembengkakan di sekitar tempat serkaria masuk.
b. Gejala paruparu berupa batuk yang disertai dahak dan sedikit bercampur
darah timbul karena serkaria masuk ke paru yang dalam beberapa hari
akan menjadi schistosomula.6
c. Gejala toksemia yaitu muncul antara minggu ke dua sampai minggu ke
delapan setelah infeksi. Gejalanya berupa demam tinggi, lemah, malaise,
anoreksi, mual, muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh, diare, sakit perut.
2. Stadium II : Gejala utama berupa disentri (diare disertai darah). Gejala lain
dapat berupa lemas, malaise, demam, berat badan menurun, mulai terjadi
pembengkakan hepar (hepatomegali), pembengkakan limpa (spleenomegali)
yang timbul pada 6-8 bulan setelah infeksi.
3. Stadium III : merupakan stadium lanjut, lebih dari 8 bulan setelah infeksi.
Kelainan berupa jaringan ikat di hati yang menetap akibat terperangkapnya
telur di jaringan hati. Gejala berupa anemia, ikterus, sakit perut, disentri,
pelebaran pembuluh darah perut, asites dan hepatomegali dan kemudian
splenomegali (hepatosplenomegali).

72

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

3.2.4. Diagnosis
Diagnosis

schistosmiasis

ditegakkan

dengan

menemukan

telur

S.japonicum dalam tinja penderita, menggunakan teknik baku emas Kato-katz,


pemeriksaan telur pada tinja dengan metode konsentrasi dan flotasi,
pemeriksaan cairan duodenum, PCR tinja untuk mendeteksi berbagai stadium
cacing S.japonicum, ELISA: antigen capture, dan USG (kerusakan organ).
Permasalahan dalam diagnosis schistosomiasis di Indonesia adalah:
Regenerasi dan kaderisasi tenaga laboratorium kurang karena tenaga yang
melakukan pemeriksaan tinja sudah banyak pensiun, masih diperbantukan di
laboratorium.
Tidak ada pengawasan kualitas hasil pemeriksaan mikroskopis (cross check).
Sumber pencahayaan mikroskop yang kurang memadai (sumber daya listrik).
Selain permasalahan diagnosis ditemukan juga permasalahan penting
dalam penentuan tingkat infeksi, yaitu:
Cakupan pemeriksaan tinja tidak mencapai target program (80%) karena
masyarakat sudah jenuh.
Data penduduk tidak terkini (ada yang sudah pindah, sudah meninggal,
masih tercatat, sedangkan pendatang baru belum tercatat sehingga kadang
tidak dibagikan pot tinja).
Kesadaran kurang untuk mengumpulkan tinja sesuai prosedur: (pot tinja diisi
oleh satu orang, dibagi menjadi beberapa pot untuk mewakili anggota
keluarga yang lain, tinja dari 1x BAB dibagi menjadi 3 pot untuk mewakili

hari).

3.2.5. Pengobatan
Strategi WHO untuk pengendalian schistosomiasis fokus pada mengurangi
penyakit melalui pengobatan periodik pada kelompok target dengan

73

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

praziquantel. Hal ini melibatkan pengobatan teratur semua orang pada


kelompok berisiko. Kelompok yang menjadi target pengobatan adalah:
- Anak usia sekolah di daerah endemis
- Orang dewasa yang dianggap berisiko di daerah endemis, misalnya nelayan,
petani, pekerja irigasi, dan wanita yang kontak dengan air yang terinfeksi
serkaria saat melakukan pekerjaan rumah tangga
- Seluruh komunitas di daerah endemis tinggi
Frekuensi pengobatan ditentukan olek prevalensi infeksi pada anak usia
sekolah. Di area transmisi tinggi, pengobatan dapat diulang setiap tahun selama
beberapa tahun. Monitoring sangat penting untuk menentukan dampak dari
intervensi pengendalian.
Tujuan pengobatan dalam pengendalian schistosomiasis adalah untuk
mengurangi penyakit. Pengobatan secara periodik pada populasi yang berisiko
dapat menyembuhkan gejala ringan dan mencegah berkembangnya penyakit
menjadi parah manusia yang terinfeksi.
Pengobatan schistosomiasis dilakukan dengan menggunakan praziquantel
(600 mg), karena sangat efektif terhadap semua bentuk schistosomiasis, baik
fase akut, kronik maupun yang sudah mengalami spleenomegali. Efek samping
praziquantel ringan dan hanya diperlukan satu dosis yaitu 60 mg/kg BB yang
dibagi dua dan diminum dalam tenggang waktu 4-6 jam.7
Pengobatan diberikan pada :
1. Pengobatan massal: Pengobatan penduduk dilakukan secara rutin setiap
6 bulan sesudah kegiatan survei tinja di seluruh daerah endemis.
2. Pengobatan selektif: pada desa tertentu (kasus paling tinggi), pada anak SD,
pada pekerja dengan risiko tinggi.
3. Pengobatan sewaktu-waktu: apabila hasil pemeriksaan tinja seseorang
positif saat memeriksakan diri, dan juga terhadap anggota keluarga
serumah.2,7

74

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Permasalahan pengobatan adalah sebagai berikut:


Ketersediaan obat terbatas dan sering habis.
Cakupan pengobatan <100%, sehingga penduduk yang lolos pengobatan
dapat menjadi sumber penular.
Efek samping pusing dan mual dari praziquantel menyebabkan beberapa
masyarakat tidak mau minum, walaupun sudah diberikan obat penyerta.

3.2.6. Prognosis
Angka kesembuhan schistosomiasis yang disebabkan S.

japonicum

dengan pengobatan praziquantel menurut WHO adalah di atas 90%.4


Schistosomiasis dapat disembuhkan dengan praziquantel apabila masih dalam
stadium I dan II, karena belum banyak terjadi kerusakan jaringan akibat telur
cacing. Prognosis menjadi tidak baik apabila penduduk terlambat didiagnosis
karena tidak mau mengumpulkan tinja, sehingga sulit disembuhkan karena
sudah banyak terjadi kerusakan jaringan hati akibat respon imun tubuh
terhadap telur cacing yang terperangkap di jaringan hepar.2

Gambar 3.2.6.1. Penderita schistosomiasis yang sudah mengalami


pembengkakan hati

75

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

3.2.7. Pencegahan
Schistosomiasis dapat dicegah dengan cara sebagai berikut:
Buang air besar dijamban yang saniter (bersih dan sehat).
Memakai alat pelindung diri (sepatu boot) saat bekerja di kebun yang
merupakan fokus keong perantara.
Mengambil air bersih dari sumber yang bebas serkaria
Mengobati penderita di daerah endemis dengan praziquantel untuk
mencegah penyakit berlanjut dan mengurangi penularan
Menghindari menambatkan ternak atau mengembala ternak peliharaan
pada area fokus
Sosialisasi tentang letak fokus, risiko penularan dan cara pencegahan
schistosomiasis kepada para wisatawan yang mengunjungi daerah endemis.
Permasalahan dalam pencegahan schistosomiasis adalah kurangnya
kesadaran masyarakat menggunakan sepatu boot di daerah fokus, masih ada
masyarakat buang air besar di daerah fokus, dan masih menambatkan ternak
mamalia di daerah fokus keong O.h.lindoensis.

3.3.

PROGRAM PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS


Beberapa kegiatan program pengendalian telah dilakukan yaitu:
a. Pengobatan massal dan juga pengobatan selektif.
b. Pengendalian keong oleh Dinas Kesehatan adalah dengan dua cara yaitu
secara mekanik dan kimiawi.7
1. Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan penyemprotan
moluskisida Bayluscide 70% WP dengan dosis 0,2 gr/m setiap 6 bulan
sekali pada fokus aktif.
2. Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan berbagai cara
misalnya:
- Perbaikan dan pembuatan saluran air

76

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

- Pembersihan saluran air


- Pengeringan daerah fokus
- Pemanfaatan lahan fokus menjadi lahan produktif
Program pengendalian yang belum maksimal dilaksanakan yaitu:
Pengendalian yang kegiatannya melibatkan peran lintas sektor, yaitu Dinas
Kesehatan, Balai Litbang P2B2 Donggala, Balitbang Daerah, Dinas Pertanian,
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas PU, Dinas Kehutanan, Dinas
Perkebunan, Dinas Pendidikan dan Pengajaran, Dinas Perikanan dan
Kelautan, Bappeda, BPMPD, Badan Lingkungan Hidup, dan Balai Besar Taman
Nasional Lore Lindu. Peran lintas sektor dalam pengendalian schistosomiasis
sudah ditetapkan

dengan

SK

443.2/201/DISKESDA-G.ST/2012

Gubernur Sulawesi
tentang

Tim

Tengah

Terpadu

Nomor:

Pengendalian

Schistosomiasis Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2012-2016. Peran lintas


sektor dalam pengendalian saat ini sudah berjalan akan tetapi kurang
maksimal. Sektor kesehatan saat ini berperan sebagai leading sector dalam
pengendalian schistosomiasis. Keterbatasan anggaran pengendalian yang
dimiliki oleh sektor kesehatan menyebabkan tidak dapat melaksanakan
keseluruhan kegiatan pengendalian.
Kegiatan pengendalian yang belum maksimal adalah:
- Pengolahan area fokus menjadi sawah dan kolam ikan sepanjang tahun
secara terus menerus.
- Pengolahan lahan perkebunan menjadi kebun cokelat atau kopi agar
keong perantara tidak berkembang biak di lahan tersebut.
- Penimbunan daerah fokus dan pengolahan areal fokus keong.
- Pengadaan MCK umum
- Pembuatan kandang untuk hewan ternak mamalia untuk menghindari
penambatan ternak mamalia di daerah fokus keong
- Penguatan peran serta masyarakat (tokoh masyarakat, tokoh adat, guru,
kader) dalam pengendalian schistosomiasis.

77

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

- Belum dimanfaatkannya peta persebaran penyakit dan daerah fokus


O.h.lindoensis di tiga wilayah endemis oleh lintas sektor.
Kegiatan program yang direkomendasikan WHO tetapi belum dilaksanakan
adalah di bidang sosial, yaitu buku pelajaran schistosomiasis sudah dibuat,
tetapi belum diajarkan di daerah endemis.

3.4.

ANALISIS GAP

3.4.1. Laporan kegiatan/pencapaian program


Kasus schistosomiasis di Lindu dan Napu cenderung naik dari tahun
2007 sampai dengan tahun 2010 (Gambar 3.4.1.1.). Kenaikan ini disebabkan
adanya reinfeksi sebagai akibat dari pembukaan ladang, penularan dalam
hutan, atau daerah infektif lainnya. Untuk menurunkan jumlah kasus, dilakukan
pengendalian secara intensif sejak tahun 2011, sehingga kasus schistosomiasis
turun pada tahun 2011 dan 2012 di Lindu (Gambar 3.4.1.1.) dan Napu (Gambar
3.4.1.2). Disamping jumlah kasus schistosomiasis pada manusia, angka infeksi
pada keong dan tikus juga diukur. Pada tahun 2012, infection rate pada keong
adalah sebesar 1,8% di Lindu dan 1,1% di Napu sedangkan infection rate pada
tikus adalah sebesar 16% di lindu dan 7,3% di Napu.

78

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

3,5

3,21

3
2,67

Persen

2,5

2,32

2
1,5

1,26

semester 1

1,4

semester 2

0,8

0,76

0,5
0
2007

2008

2009

2010

2011

2012

Tahun

Gambar 3.4.1.1. Proporsi kasus schistosomiasis di dataran tinggi Lindu,


tahun 2007 - 20123

6
4,78

5
3,8

Persen

semester1

2,44

2,12 2,15

1,84
1,21

semester 2
1,44

0,9
0,31

0
2007

2008

2009

2010

2011

2012

Tahun

Gambar 3.4.1.2. Proporsi kasus schistosomiasis di dataran tinggi Napu,


tahun 2007 - 20123

79

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

3.4.2. Penelitian Kesehatan Masyarakat


Penelitian Kesehatan Masyarakat yang dilakukan di Indonesia sejak tahun
2008 adalah sebagai berikut:
1. Penelitian epidemiologi:
a. Pada tahun 2008 proporsi kasus schistosomiasis di Napu 2,22%, Lindu
2,11%, dan Bada 0,8%4. Pada tahun 2010 proporsi sebesar 5,9%.8
b. Peta kasus, reservoar dan fokus keong secara spasial untuk pengendalian
schistosomiasis.4
c. Infection rate pada hewan mamalia sapi, kerbau, babi, anjing, kuda di
Lindu di atas 5%.9
2. Penelitian peran serta masyarakat:
a. Perlunya peningkatan peran serta masyarakat

(termasuk tokoh

masyarakat) dalam pengendalian schistosomiasis.10


b. Perlu pengaktifan kader dan PKK kembali karena dapat meingkatkan
cakupan survei tinja.10
c. Penyuluhan schistosomiasis tetap perlu dilakukan di daerah endemis. 2,9
d. Perlunya peningkatan peran lintas sektor dalam pengendalian
schistosomiasis.10

Penelitian Kesehatan Masyarakat di Luar Negeri:


Hasil penelitian di Cina, Schistosomiasis merupakan masalah kesehatan
utama. Jumlah populasi terinfeksi adalah lebih dari 1 juta penduduk, dan lebih
dari 50 juta penduduk hidup di daerah berrisiko terinfeksi. Secara ekologi,
lingkungan, genetika populasi dan faktor molekuler, penularan schistosomiasis
di RRC dapat dikategorikan menjadi empat model penularan. Penelitian
longitudinal dilakukan dari tahun 2002-2006 pada desa sentinel untuk
menentukan pengaruh pembangunan Three George Dam (TGD) terhadap
penularan

80

schistosomiasis.

Hasil

penelitian

menunjukkan

prevalensi

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

schistosomiasis pada awal penelitian adalah sebesar 42%. Prevalensi pada


tahun 2003 sebesar 46% dan turun menjadi 11,3% pada tahun 2006. Angka
insiden schistosomiasis pada kerbau juga ditemukan turun dari 11,8% pada
tahun pertama survei menjadi 0% pada tahun terakhir survei. Penurunan
prevalensi pada manusia dan kerbau disebabkan karena pengobatan dengan
praziquantel secara intensif setiap tahun pada penduduk dan kerbau yang
positif.11
Pada penelitian di Philipina ditemukan bahwa kerbau juga berperan
penting dalam penularan schistosomiasis di Pilipina. Dengan demikian,
pengendalian schistosomiasis dapat dilakukan secara terintegrasi, termasuk
intervensi terhadap kerbau yang terinfeksi untuk dapat mengurangi kejadian
schistosomiasis pada manusia di Philipina.12
Hasil penelitian lain di Afrika, estimasi beban penyakit / burden disease
akibat penyakit banyak digunakan untuk menyusun prioritas dalam kesehatan
masyarakat. Analisis DALY (disability-adjusted life years) menjadi alat yang
penting dalam estimasi tersebut. Pada penelitian ini dilakukan analisis QoL
(quality of Life) berdasarkan disabilitas akibat schistosomiasis dan cacing STH
(soil transmitted helminthiasis). Hasil penelitian menunjukkan

infeksi

S. Mansoni dan T.trichiura menurunkan QoL dari partisipan penelitian sebanyak


16 poin dan 13 poin, dengan skala QoL 1-100 poin

(terendah sampai

tertinggi).13

3.4.3. Penelitian IPTEK


Penelitian IPTEK yang dlakukan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Penelitian pengobatan:
Praziquantel masih efektif untuk pengobatan schistosomiasis, dengan
angka kesembuhan mencapai 100%, yaitu tidak ditemukan lagi telur
Schistosoma japonicum setelah pemberian praziquantel dosis normal.

81

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pengamatan dilakukan

setiap 3 minggu sampai 12 minggu setelah

pengobatan, sehingga pengobatan schistosomiasis dengan praziquantel


tetap dilanjutkan.14
2. Penelitian diagnosis:
Pengembangan teknik ELISA untuk diagnosis schistosomiasis (Ag ES),
untuk

memudahkan

proses

penegakan

diagnosis

schistosomiasis.15

Kelebihan dari metode ini dibandingkan dengan metode konvensional, yaitu


masyarakat tidak perlu lagi mengumpulkan tinja karena dengan metode ini
hanya

membutuhkan

sampel

darah.

Sehingga

diharapkan

target

pemeriksaan schistosomiasis pada daerah endemis dapat tercapai.


3. Penelitian molekuler:
Keragaman genetik keong O.h. lindoensis sebagai data pendukung bagi
pengendalian keong perantara schistosomiasis. Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya variasi genetik di antara keong O.h.lindoensis dari tiga
wilayah endemis, dengan tingkat polimorfisme untuk primer 1,2,3,4,5,6 pada
RAPD-PCR berturut turut adalah sebagai berikut: 16,67%, 45,45%, 50%,
54,55%, 14,29%, dan 22,22%. Penelitian ini belum menjawab genotipe yang
ada di Indonesia, sehingga masih diperlukan analisis lebih lanjut lagi.16
4. Penelitian pengendalian:
Hasil penelitian ekstrak biji jarak merah masih kurang efektif dalam
membunuh
dibandingkan

keong

perantara

dengan

schistosomiasis,

moluskisida

kimia

yang

keong

O.h.lindoensis

digunakan

program

(bayluscide), dimana hasilnya diperoleh nilai Lc 50 sebesar 50,98 ppm PE


dan Lc 95 sebesar 80,19 ppm PE, sehingga perlu dicari tanaman yang lebih
efektif.17

82

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Penelitian IPTEK di Luar Negeri:


1. Penelitian tentang pengobatan schistosomiasis: Uji efikasi prazikuantel di
Cina dan Afrika menunjukkan bahwa praziquantel masih efektif untuk
pengobatan schistosomiasis. Meta-analisis dari 52 trial menunjukkan bahwa
dosis 30-60 mg/kg praziquantel memberikan protection rate sekitar
76% (95% CI: 67%-83%) pada pengobatan schistosomiasis, tanpa adanya
perbedaan yang signifikan antar spesies S. haematobium, S. japonicum atau
S. mansoni. Protection rates ditemukan lebih tinggi ketika dosis praziquantel
dinaikkan: protection rate praziquantel untuk dosis 40 mg/kg sebesar 52%
(95% CI: 49%-55%), dan meningkat menjadi 91% (95% CI: 88%-92%) ketika
dosis dinaikkan menjadi 60/80/100 mg/kg. Multiple dosis artemether atau
artesunate selama interval 1 atau 2 minggu menunjukkan protection rates
sebesar

65%

sampai

97%

untuk

mencegah

schistosomiasis,

dan

meningkatkan dosis serta memperpendek interval dapat meningkatkan


efikasi. Kombinasi Praziquantel dan derivat artemisinin (artemether or
artesunate)menunjukkan protection rate yang lebih tinggi sebesar 84% (95%
CI: 64%-91%) dibandingkan monoterapi praziquantel untuk pengobatan.
Kombinasi praziquantel dan artesunate memiliki protection rate sebesar 96%
(95% CI: 78%-99%) untuk pencegahan infeksi schistosoma. 18,19,20
2. Penelitian pengembangan vaksin di Institut Pasteur de Lille (Perancis): uji klinik
fase 1 dan 2 pengembangan antigen 28 kD S.haematobium GST (Sh28GST)
sebagai kandidat vaksin dan menunjukkan imunogenitas yang baik pada
orang sukarelawan di Francis, Nigeria dan Senegal. Penelitian menunjukkan
bahwa Sh28GST

dapat menurunkan kecacingan sebesar 40-60% jika

dibandingkan dengan kontrol.21


3. Penelitian diagnosis:
a. ELISA: antigen capture dari Ag telur, Ag permukaan, Ag ES (metabolisme).
b. USG: mendeteksi keberadaan cacing dan organ failure
c. PCR: mendeteksi parasit berbagai stadium.22

83

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

4. Penelitian molekuler Epidemiologi schistosomiasis di Cina: Tingginya


transmisi antara spesies reservoir, perbedaan genetik parasit antara habitat
yang berbeda kemungkinan mengakibatkan berbedanya jenis reservoir antar
habitat.23
5. Penelitian titer antibodi dikaitkan dengan infeksi.24

Tabel 3.4.1. Analisis Gap Schistosomiasis


No
1

Program

Saran

Cakupan
pemeriksaan
penduduk <80%
(karena penduduk
sudah bosan untuk
mengumpulkan
tinja, data 2012:
74,6%)
Data penduduk
tidak update (ada
yang sudah pindah,
sudah meninggal,
masih tercatat;
penduduk baru
belum tercatat)
Pengisian pot tinja
tidak sesuai
prosedur

Minimal cakupan
pemeriksaan
penduduk 80%

Perlu peningkatan peran PKK, tokoh


masyarakat, kader dalam pengumpulan
tinja dan pengendalian schistosomiasis

Data sensus dari


Desa di daerah
endemis

Pembaruan data penduduk

Tinja diisi dan


dikumpulkan sesuai
prosedur

Penyuluhan untuk mengumpulkan tinja


sesuai prosedur

Prevalensi 5 tahun
terakhir > 1%
(tahun 2012: 1,3%)

Target < 1%

Perlu peningkatan peran PKK, tokoh


masyarakat, kader dalam pengendalian
schistosomiasis

- Cakupan
pengobatan
penduduk <100%
- Stok obat
terbatas dan
sering habis

- Target
pengobatan 100%

- Perlu peningkatan peran PKK, tokoh


masyarakat, kader untuk meningkatkan
cakupan pengobatan.
- Permintaan obat dengan
mempertimbangakan pertambahan
jumlah penduduk di waktu yang akan
datang

84

Temuan

- Obat cukup untuk


penduduk di
daerah endemis

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

No

Temuan

Program

Saran

Manajemen
lingkungan yang
parsial dan tidak
kontinyu

Pemberantasan
daerah fokus
dilakukan secara
menyeluruh, baik
secara mekanik
maupun kimia
(bayluscide)

- Pengaktifan kembali lintas sektor dalam


pengendalian schistosomiasis sesuai SK
Gubernur Sulteng tentang Tim Terpadu
Pengendalian Schistosomiasis.
- Pemanfaatan data fokus yang lengkap di
Balai Litbang P2B2 Donggala untuk
mendukung program pemberantasan
daerah fokus keong
- Perlu dukungan Dinas Kesehatan dan
stake holder untuk penganggaran yang
lebih besar bagi program pengendalian
schistosomiasis

SDM petugas
laboratorium
schistosomiasis
sudah pensiun
(regenerasi/
kaderisasi kurang)

Tenaga yang sudah


pensiun masih
ditugaskan di lab.
schistosomiasis

Perlu dukungan Dinas Kesehatan dan stake


holder untuk regenerasi dan petugas
lab.schistosomiasis

Hewan mamalia
ternak
digembalakan di
daerah fokus keong

Hewan mamalia
ternak tidak
digembalakan di
daerah fokus keong

Pengaktifan kembali lintas sektor dalam


pengendalian schistosomiasis sesuai SK
Gubernur Sulteng tentang Tim Terpadu
Pengendalian Schistosomiasis, terutama
Dinas Peternakan dalam pengandangan
hewan ternak

Infection rate
keong dan tikus >
1%

Target infection rate


keong dan tikus <1%

Pengaktifan kembali lintas sektor dalam


pengendalian schistosomiasis sesuai SK
Gubernur Sulteng tentang Tim Terpadu
Pengendalian Schistosomiasis

3.5.

POLICY OPTION DAN PENELITIAN


Kebijakan penangan kasus Schistosomiasis saat ini
Penanganan schistosomiasis saat ini belum maksimal karena lebih
banyak dilakukan oleh Dinas Kesehatan sebagai leading sector. Oleh karena
itu untuk memaksimalkan penanganan schistosomiasis, diperlukan leading
sector yang bisa mengkoordinir berbagai pihak, misalnya BAPPEDA.
Penanganan kasus berupa pengobatan penderita dengan praziquantel.
Pengendalian juga dilakukan dengan pemberantasan keong perantara

85

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

schistosomiasis di daerah fokus keong secara mekanik dan kimia.


Pengendalian dengan manajemen lingkungan sebaiknya dilakukan secara
menyeleruruh dan kontinyu. Peran lintas sektor dalam pengendalian
schistosomiasis perlu dimaksimalkan.

Tabel 3.5.1. Policy Option Schistosomiasis

Masalah
Peran lintas
sektor belum
maksimal
dalam
pengendalian
schistosomiasis

Penanganan

Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Maintenance

Sektor
- Pemanfaatan daerah - Pengaktifan kembali
kesehatan
fokus keong menjadi lintas sektor dalam
sebagai leading
lahan pertanian
pengendalian
sector
intensif.
schistosomiasis
melakukan
- Pemanfaatan data
sesuai SK Gubernur
pengobatan dan fokus yang lengkap
Sulteng tentang Tim
pemberantasan di Balai Litbang P2B2 Terpadu
fokus keong
Donggala untuk
Pengendalian
secara
mendukung
Schistosomiasis.
menyeluruh dan program
- Perlu dukungan
kontinyu.
pemberantasan
Dinas Kesehatan dan
fokus keong.
stake holder untuk
penganggaran yang
lebih besar bagi
program
pengendalian
schistosomiasis.

Penelitian
- Modifikasi
lingkungan untuk
pemberantasan
keong.
- Penelitian
mikrohabitat fokus
keong.
- Alternatif
moluskisida
erbahan tanaman
yang efektif.
- Analisis kebijakan
pengendalian
schistosomiasis

Sosial budaya
- Petugas lab dan - Petugas dan kader
- Perlu peningkatan
- Metode
(masyarakat
kader
lebih proaktif dalam peran PKK, tokoh
penyuluhan yang
jenuh
menerapkan
pengumpulan tinja.
masyarakat, kader
tepat untuk
mengumpulkan sistemjemput - Bekerjasama dengan dalam pengumpulan meningkatkan
tinja)
bola untuk
puskesmas, pasien
tinja.
kesadaran
pengumpulan
yang berobat
- Penyuluhan yang
masyarakat
tinja.
diwajibkan
tepat tentang
- Metode diagnosis
membawa sampel
pentingnya
selain pemeriksaan
tinjanya untuk
pengumpulan tinja
tinja: ELISA, RDT,
diperiksa
sesuai prosedur.
USG, PCR
schistosomiasis.
- Penetapan perda
- Penelitian lebih
- Pemanfaatan kader
tentang kewajiban
lanjut faktor risiko
untuk membantu
pengumpulan tinja
schistosomiasisdi
update data
bagi penduduk di
Bada
daerah endemis.

86

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Kebijakan pengendalian atau eliminasi atau eradikasi Schistosomiasis


Kebijakan pengendalian schistosomiasis memerlukan peran lintas
sektor dan berbagai tokoh masyarakat dalam pengendalian schistosomiasis.
Dalam hal peningkatan cakupan survei tinja dan pengisian sampel tinja
sesuai prosedur diperlukan kerjasama antara laboratorium schistosomiasis
dan Puskesmas di daerah endemis, yaitu pasien yang berobat diwajibkan
membawa sampel tinjanya untuk diperiksa schistosomiasis. Selain itu juga
perlu pemanfaatan kader untuk membantu update data penduduk di daerah
endemis.
Kebijakan pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian/eliminasi/
eradikasi Schistosomiasis
Kebijakan pemantauan pengendalian schistosomiasis adalah perlunya
pengaktifan kembali peran lintas sektor sesuai SK Gubernur Sulteng tentang
Tim Terpadu Pengendalian Schistosomiasis di Sulawesi Tengah. Selain itu
juga perlu dukungan Dinas Kesehatan dan stake holder untuk penganggaran
yang lebih besar bagi program pengendalian schistosomiasis. Ppeningkatan
cakupan survei tinja, memerlukan peningkatan peran PKK, tokoh adat, tokoh
agama, tokoh masyarakat, guru, kader dalam pengumpulan tinja.
Penyuluhan yang tepat tentang pentingnya pengumpulan tinja sesuai
prosedur juga diperlukan untuk menjaga cakupan pengumpulan tinja.
Apabila diperlukan, dapat juga diberlakukan penetapan Peraturan Daerah
(Perda) tentang kewajiban pengumpulan tinja bagi penduduk di daerah
endemis.

Daftar Pustaka
1. WHO. Schistosomiasis Fact Sheet. 2010. Available at:
http://www.who.int.
2. Hadidjaja P. Schistosomiasis di Sulawesi Tengah,
Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1985.

3. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah.


Prevalensi Schistosomiasis di Sulawesi Tengah.
Program Pemberantasan Schistosomiasis.; 2012.
4. Jastal, Ambar Gardjito T, Mujiyanto, Chadijah S,
Rosmini. Analisis Spasial Epidemiologi
Schistosomiasis dengan Menggunakan Pengindraan
Jarak JAuhdan Sistem Informasi Geografis di Sulawesi
Tengah. Donggala; 2008.

87

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

5. Sudomo M. Penyakit Parasitik yang Kurang


diperhatikan di Indonesia. In: Orasi Pengukuhan
Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska.
Jakarta: Badan Litbangkes; 2008:161.

16. Gunawan, Nur Widayati A, Janitra B, Nelfita. VARIASI


GENETIK Oncomelania hupensis lindoensis Dengan
Menggunakan Metode RAPD-PCR Di Sulawesi
Tengah. Donggala; 2012.

6. MCManus DP, Loukas A. Current Status of Vaccines


for Schistosomiasis. Clinical Microbiology Reviews.
2008;21(1):225242.

17. Nur Widayati A, Veridiana NN, Srikandi Y, Labatjo Y,


Risti. Skrining Fitokimia Fraksi Ekstrak Biji Jarak
Ulung (Jatropha gossypiifolia), Ekstrak Jarak Pagar
(Jatropha curcas) dan Ekstrak Jarak Kastor (Riccinus
communis) Famili Euphorbiaceae dan Efektivitasnya
Terhadap Hospes Perantara Schistosomiasis, Keong
Oncome. Donggala; 2009.

7. Depkes RI. Petunjuk Teknis Pemberantasan


Schistosomiasis. Jakarta: Sub Direktorat Filariasis dan
Schistosomiasis, Direktorat P2B2, Ditjen PPM & PLP;
1989.
8. Rosmini, Jastal, Erlan A, Ningsi, Risti, Labatjo Y. Studi
Epidemiologi Schistosomiasis di Dataran Tinggi Bada,
Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.
Donggala; 2010.
9. Gunawan, Anastasia Siahaan H, Sumolang PPF, Risti.
Kontribusi Reservoir dalam Penularan
Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi
Provinsi Sulawesi Tengah. Donggala; 2013.
10. Ningsi, Erlan A, Ikhtiar, Puryadi, Tenriangka A.
Pengembangan Peran Serta Masyarakat Dalam
Penanggulangan Schistosomiasis di Dataran Tinggi
Lindu Kabupaten Sigi Biromaru Sulawesi Tengah.
Donggala; 2011.
11. Zhu R, Gray D, Thrift A, Williams G, Zhang Y. A 5-year
longitudinal study of schistosomiasis transmission in
Shian village, the Anning river valley, Shichuan
Province, The Peoples Republic of China. Parasites &
Vectors Open Access Journal. 2011;4(43):18.
12. Gordon CA, Acosta LP, Gray DJ, et al. High Prevalence
of Schistosoma japonicum Infection in Carabao from
Samar Province , the Philippines: Implications for
Transmission and Control. PLOS Neglected Tropical
Diseases Open access Journal. 2012;6(9):17.
13. Furst T, Silue KD, Ouattara M, et al. Schistosomiasis,
Soil-Trasmitted Helminthiasis, and Sociodemographic
Factors Influence Quality of Life of Adults in Coto
dIvoire. PLOS Neglected Tropical Diseases Open
access Journal. 2012;6(10):113.
14. Nur Widayati A, Ambar Gardjito T, Sumolang PPF,
Risti. Analisis gen penyandi Protein Glutathion s
transferase pada cacing S.japonicum (Sj26GST) di
Napu dan Lindu Sulawesi Tengah. Donggala; 2011.
15. Samarang, Chadijah S, Nurjana MA, Tolistiawaty I,
Maksud M, Tenriangka A. Pengembangan metode
ELISA untuk mendeteksi ekskretori sekretori antigen
Schistosoma japonicum pada penderita
schistosomiasis di Napu, Sulawesi Tengah. Donggala;
2012.

88

18. Liu R, Dong H, Guo Y, QP Z, Jiang M. Efficacy of


praziquantel and artemisinin derivates for the
treatment and prevention of human schistosomiasis:
A systemastic review and meta-analysis. . Parasites &
Vectors Open Access Journal. 2011;4(201):117.
19. Sousa-Figueiredo J, Betson M, Atuhaire A, et al.
Performance and Safety of Praziquantel for
Treatment of Intestinal Schistosomiasis in Infants
and Preschool. PLOS Neglected Tropical Diseases
Open access Journal. 2012;6(10):19.
20. Toure S, Zhang Y, Bosque-Oliva E, Ky C, Onedraogo A.
Two-year impact of single praziquantel treatment on
infection in the national control programme on
schistosomiasis in Burkina Faso. Bulletin of the World
Health Organization. 2008;86(10):780788.
21. WHO. Initiative for vaccine research (IVR) Parasitic
Disease: Schistosomiasis. 2013. Available at:
http://apps.who.int/vaccine_research/diseases/soa_
parasitic/en/index5.html.
22. Zhao G, Li J, Blair D, Li X, Elsheikha H.
Biotechnological advances in the diagnosis, species
differentiation, and phylogenetic analysis of
Schistosoma spp. Biotechnology Advances.
2012;30:13811389.
23. Rudge J, Lu D, Fang G, Wang T, Basanez M, Webster
J. Parasite genetic differentiation by habitat type and
host species: Molecular epidemiology of Schistosoma
japonicum in hilly and marshland areas of Anhui
Province, China. Molecular Ecology. 2009;18:2134
2147.
24. Elhag S, Abdelkareem E, Yousif A, Frah E, Mohamed
A. Detection of schistosomiasis antibodies in urine
patients as a promising diagnostic marke. Asian
Pacific Journal of Tropical Medicine. 2011:773777.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB

FASCIOLOPSIASIS
Annida

4.1.

PENDAHULUAN
Fasciolopsiasis merupakan penyakit kecacingan usus yang disebabkan
oleh infeksi cacing Fasciolopsis buski.
Fasciolopsiasis pertama kali diperkenalkan oleh Busk pada tahun 1843
ketika cacing ini ditemukan di dalam duodenum pelaut India Timur yang telah
meninggal.1 Di Indonesia fasciolopsiasis hanya ditemukan di kabupaten Hulu
Sungai Utara (HSU) provinsi Kalimantan Selatan sejak tahun 1982. Kasus
pertama tersebut terjadi pada seorang anak kecil di desa Sungai Papuyu yang
mengalami muntah-muntah dan mengeluarkan banyak cacing yang berbentuk
seperti daun lewat tinjanya.
Penyakit menular ini termasuk sebagai food borne disease. Pencegahan
terhadap fasciolopsiasis cukup mudah yaitu dengan menghentikan kebiasaan
makan tumbuhan air secara mentah dan tidak buang air besar di air rawa.
Fasciolopsiasis cenderung tanpa gejala dan tidak berdampak langsung pada
kematian, sehingga penyakit ini termasuk dalam golongan neglected disease.
Komitmen pengendalian yang lemah dan karakteristik lingkungan yang khas
berupa daerah rawa yang luas menyebabkan fasciolopsiasis masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di wilayah kabupaten HSU dan tidak menjadi
prioritas utama dalam penanggulangannya.

89

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

4.2.

MASALAH FASCIOLOPSIASIS DI INDONESIA

4.2.1. Etiologi
Cacing Fasciolopsis buski dinamakan juga Giant Intestinal Fluke of Man
atau Ginger worm, karena bentuknya seperti akar jahe. Oleh karena itu cacing
ini sering disebut dengan fluke. Cacing ini merupakan cacing trematoda usus
terbesar yang melekat pada dinding duodenum dan jejunum manusia.1,2,3

Gambar 4.2.1.1. Cacing Dewasa Fasciolopsis buski


(Sumber: Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu)

4.2.2. Epidemiologi
Sampai saat ini sekitar 10 juta orang di dunia terinfeksi Fasciolopsis buski
yang menyebar di wilayah tertentu yaitu di negara Cina bagian Selatan dan
Tengah, Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Bengal, Pakistan, Laos, Kamboja,
Bangladesh, Jepang, India, dan Indonesia, sebagaimana pada gambar 4.2.2.1.1,2

Gambar 4.2.2.1. Persebaran Fasciolopsiasis di dunia dan Indonesia

90

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Di Indonesia, desa yang hampir selalu ditemukan fasciolopsiasis setiap


tahunnya adalah desa Sungai Papuyu dan Kalumpang Dalam di kecamatan
Babirik, desa Putat Atas dan Padang Bangkal di kecamatan Sungai Pandan, serta
desa Telaga Mas dan Sarang Burung di kecamatan Danau Panggang, seperti
pada gambar 4.2.2.2. Sejak tahun 1982, secara berfluktuasi kasus fasciolopsiasis
masih berlangsung hingga sekarang.

Gambar 4.2.2.2. Persebaran Fasciolopsiasis di Kabupaten Hulu Sungai Utara


(Sumber: Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu)

Geografis ketiga wilayah kecamatan tersebut berbatasan langsung, dan


merupakan dataran rendah yang digenangi air rawa seluas 570 km2 dengan
kedalaman 2-3 meter hampir di sepanjang tahun. Di musim kemarau wilayah
tersebut akan surut bahkan kering selama 2-3 bulan.
Kondisi tersebut membuat penduduk harus membangun rumah di atas air
rawa dengan tiang-tiang pondasi yang tinggi, terbuat dari kayu ulin. Air rawa
yang luas sebagai sumber utama bagi kebutuhan air rumah tangga dan air
minum. Kista serkaria tidak hanya ditemukan menempel pada tumbuhan air,
namun juga dapat ditemukan mengapung pada permukaan air sekitar 3,6%.4

91

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gambar 4.2.2.3. Daerah Fokus Fasciolopsiasis di Kabupaten Hulu Sungai Utara


(Sumber: Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu)

Pada tahun 1982 melalui survei pertama di desa Sungai Papuyu


kecamatan Babirik diketahui infection rate (IR) fasciolopsiasis sebesar 27% (148
kasus dari 548 penduduk) dengan presentase terbesar pada anak-anak
(79,1%).3,5
Fasciolopsis buski memiliki siklus hidup yang kompleks yaitu, melewati
beberapa stadium perkembangan sebagai cacing dewasa telur mirasidium
sporokista redia serkaria - metaserkaria. Perkembangan reproduksinya
berganti-ganti antara aseksual dan seksual. Pergantian host terjadi selama
perkembangannya yaitu dari invertebrata ke vertebrata atau sebaliknya. Siklus
fasciolopsiasis membutuhkan hospes definitif dan/atau hospes reservoir,
hospes perantara pertama dan hospes perantara kedua.
a. Hospes Reservoir
Babi merupakan hospes reservoir utama pada fasciolopsiasis. Selain
manusia, anjing, kelinci dan kerbau dapat pula terinfeksi F.buski.1,6
b. Hospes Perantara Pertama
Fasciolopsis buski pada stadium mirasidium memerlukan keong air
tawar sebagai hospes perantara pertama. Stadium serkaria yang keluar dari
keong kemudian melakukan enkistasi pada tumbuhan air sebagai hospes

92

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

perantara kedua. Jenis keong di beberapa negara yang telah dikonfirmasi


sebagai hospes perantara pertama adalah Planorbis spp, Trochorbis
trochoideus, Segmentina hemisphaerula, S.trochoideus, Gyraulus chinensis,
Hippeutis cantori, Polypylis hemisphaerula.1,2,7,8,9
c. Hospes Perantara Kedua
Serkaria

tidak menunjukkan

kecenderungan memilih

tumbuh-

tumbuhan tertentu untuk tumbuh menjadi metaserkaria yang berbentuk


kista.8 Serkaria yang berenang bebas di air akan segera berenkistasi menjadi
metaserkaria dengan cara menempelkan diri pada tumbuh-tumbuhan air
seperti buah berangan/water chestnut (Eliocharis spp.), rebung/bamboo
shoots, water calthrop (Trapa bicornis, Trapa natans), water lily, Eliocharis,
Eichornia, Zizania, Nymphoea lotus, Ipomoea, Eleocharis tuberose, Salvinia
natans, Lemna polyrhiza, dan Valisneria sp. Umumnya tumbuhan tersebut
dikonsumsi oleh penduduk setempat di daerah endemik.1,2,8,9
Penduduk atau hewan reservoir dapat tertular fasciolopsiasis karena
kebiasaan makan biji bunga teratai yang dipetik saat melintasi air rawa, makan
tumbuhan air sebagai bahan sayuran atau sebagai bahan makanan ternak
mamalia, atau hewan mamalia yang mencari makanan sendiri dengan
memakan rumput atau tumbuhan air yang tumbuh di rawa.
Jenis tumbuhan air yang berperan sebagai hospes perantara kedua belum
jelas diketahui di kabupaten HSU. Jenis tumbuhan air yang biasa dikonsumsi
penduduk adalah biji bunga teratai, umbi dan batang teratai air atau dalam
bahasa setempat biasa disebut tatanding banar (Nymphaea alba) dan
tatanding burung (Nymphaea lotus), kangkung (Ipomea aquatica), genjer atau
patiul (Limnocharis flava), putri malu air atau susupan (Mimosa spp.), pakis
atau kalakai (Stenochiaena palustris), sulur keladi atau luncar kaladi (Caladium
sp.), biji bunga teratai atau tarati/palilak (Lotus/Nympahea) dan taluk balun.
Daerah habitat keong dan tumbuhan perantara fasciolopsiasis adalah
lingkungan rawa di sekitar rumah penduduk. Keong umumnya menempel pada

93

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

akar tumbuhan air, dan kadang menempel pada daun dan rerumputan di tepi
air rawa, atau tiang-tiang pondasi rumah penduduk yang terendam air rawa.
Tumbuhan air sebagian besar mengapung di air rawa mengikuti arus pasang
surut, dan sebagian lagi tumbuh dengan batang yang kuat dan menancap pada
tanah di dasar rawa. Arus air rawa cenderung tenang, mengikuti aliran pasang
surut air sungai karena rawa berada di sepanjang bantaran sungai Negara.
Aktivitas penduduk sehari-hari hampir seluruhnya tergantung pada air
rawa, antara lain sebagai sumber mata pencaharian bagi penangkap
ikan/nelayan, tempat buang air, mandi, menggosok gigi, dan mencuci bahan
makanan. Penduduk buang air besar di jamban ceplung atau di atas lantai kayu
berlubang di bagian belakang rumah, dekat kandang ternak, atau di pijakan
kayu yang dipasang di atas air rawa (gambar 4.2.2.4).

Gambar 4.2.2.4. Jamban di Daerah Endemik Fasciolopsiasis


di Kabupaten Hulu Sungai Utara
(Sumber: Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu)

4.2.3. Patogenesis
Masa inkubasi F.buski diperkirakan antara 2-3 bulan setelah pemaparan
dengan metaserkaria.9 Manusia atau hospes reservoir dapat terinfeksi F.buski
karena memakan tumbuhan air mentah atau dimasak kurang matang yang
mengandung kista metaserkaria. Kista metaserkaria akan mengalami eksistasi di

94

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

dalam duodenum dalam waktu 25-30 hari, melekat pada dinding usus dan
berkembang menjadi cacing dewasa dalam waktu kurang lebih 3 bulan hingga
akhirnya ditemukan telurnya bersama tinja. Kemampuan dan masa hidup
cacing F.buski dewasa dalam tubuh hospesnya kurang lebih selama 6-12
bulan.1,2,6
Umumnya fasciolopsiasis tanpa gejala. Pada infeksi ringan dapat terjadi
gejala berupa sakit perut, nausea dan muntah. Gejala klinis awal adalah diare
dan nyeri ulu hati (epigastrium). Diare mulanya diselingi konstipasi, kemudian
menjadi persisten. Warna tinja menjadi hijau kuning, berbau busuk dan berisi
makanan yang tidak dicerna. Pada beberapa penderita, nafsu makan cukup baik
atau berlebihan, walaupun ada yang mengalami mual, muntah, atau tidak
mempunyai selera, semua ini tergantung berat ringannya penyakit.
Perlekatan cacing pada dinding mukosa usus mengakibatkan peradangan
lokal dengan hipersekresi mukus, perdarahan, dan ulserasi. Apabila terjadi erosi
kapiler pada tempat perlekatan cacing tersebut, maka timbul perdarahan
(hemorrhage), kemungkinan terbentuk abses dan jaringan fibrosis pada proses
penyembuhan.8
Pada infeksi berat, cacing dewasa ditemukan di lambung dan bagian usus
lainnya (pilorus, ileum dan kolon), jumlah tinja sangat banyak, berwarna kuning
kehijauan dan berisi banyak makanan yang belum dicerna, yang menunjukkan
terjadinya proses malabsorbsi. Cacing-cacing pada infeksi berat dapat
menimbulkan obstruksi usus, ileus akut, dan absorbsi dari metabolit cacing yang
toksik atau alergik menimbulkan gejala intestinal, toksemia sistemik,
manifestasi alergi, edema umum dan asites. Manifestasi sistemik akibat
absorpsi bahan toksik dari sisa metabolisme cacing, menimbulkan leukositosis,
hipereosinofilia dan alergi.2,8
Kasus berat pada anak-anak ditandai dengan gejala intoksikasi dan
sensitisasi karena absorpsi sisa metabolisme cacing yang lebih menonjol, seperti
edema pada muka, dinding perut dan tungkai bawah. Edema muka dan

95

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

ekstremitas dapat terjadi akibat dari hipoalbuminemia sekunder sampai


malabsorpsi atau kehilangan protein karena enteropat. Keadaan ini sebenarnya
disebabkan oleh proses alergi, gangguan penyerapan vitamin B12 dan
penurunan vitamin B12 dalam serum hingga menyebabkan anemia defisiensi
B12, atau malabsorbsi yang menyebabkan hipoalbuminemia sekunder.2,8,9

4.2.4. Diagnosis
Diagnosis fasciolopsiasis ditetapkan melalui pemeriksaan telur secara
mikroskopik pada tinja hospes untuk menemukan telur F.buski. Bentuk telur
F.buski spesifik yaitu mempunyai operkulum. Metode pemeriksaan tinja yang
sesuai adalah centrifugalitation method, yang merupakan kombinasi dari
floatation method dan sedimentation method.6 Umumnya pemeriksaan
fasciolopsiasis masih menggunakan metode pewarnaan lugol dan eosin yang
jauh lebih murah dan tidak menggunakan media khusus untuk pemeriksaan
tinja.

4.2.5. Pengobatan
Pengobatan umumnya bertujuan untuk mengurangi/menghilangkan
akibat penyakit, dan mengurangi sumber penular sehingga dapat menekan
prevalensi pada manusia serendah mungkin. Pengobatan tuntas merupakan
upaya yang diandalkan dalam penanggulangan fasciolopsiasis. Praziquantel
merupakan drug of choice karena angka penyembuhannya mencapai 90100%.2,8 Obat ini merupakan derivat isokuinolon yang pemberiannya dilakukan
secara oral, dengan dosis 40mg/kg BB. Toleransi manusia terhadap obat ini baik
dengan beberapa efek samping yaitu nyeri perut, pusing, dan perasaan
mengantuk, namun biasanya akan hilang setelah 48 jam, dan cacing dapat
dikeluarkan pada hari berikutnya. Obat lain dengan angka penyembuhan sekitar
75%

pada

fasciolopsiasis

hexylresorcinol.1,2,6

96

adalah

niclosamide,

tetrachlorethylene

dan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

4.2.6. Prognosis
Fasciolopsiasis umumnya tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatis),
sehingga cenderung untuk diabaikan (neglected disease). Gejala klinis yang
ditimbulkan bervariasi tergantung jumlah, tipe kelainan organ atau jaringan dan
kerusakan bersifat sementara atau permanen (irreversible) dan dapat berakibat
fatal, tergantung pada jumlah cacing. Cacing F.buski dewasa pada infeksi ringan
hidup dalam duodenum dan jejunum, tetapi pada infeksi berat dapat
ditemukan dalam lambung dan bagian usus lainnya. Infeksi berat dengan
jumlah cacing yang banyak dapat menyebabkan sumbatan pada usus hingga
dapat menyebabkan kematian namun jarang.1,2

4.2.7. Pencegahan
Pencegahan fasciolopsiasis dilakukan dengan pengobatan terhadap
penderita sebagai sumber infeksi, kemudian memperbaiki lingkungan dengan
tidak membuang kotoran (manusia, ternak) di air rawa, serta memasak
tumbuhan air hingga benar-benar matang sebelum dimakan, termasuk
memasak air rawa yang dijadikan sumber air minum hingga mendidih.

4.3.

PROGRAM PENGENDALIAN FASCIOLOPSIASIS


Yang ada dan telah dilakukan
Sebagai neglected disease, fasciolopsiasis kurang mendapatkan
perhatian pemerintah terutama lemahnya komitmen dan kurangnya alokasi
anggaran pengendalian dibandingkan penyakit yang lain seperti halnya
filariasis. Program penanggulangan fasciolopsiasis belum dilaksanakan secara
optimal dan berkelanjutan.
Program penanggulangan fasciolopsiasis yang telah dilaksanakan di
kabupaten HSU berupa survei tinja pada penduduk atau anak sekolah dasar;

97

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

pengobatan fasciolopsiasis dengan obat Praziquantel terhadap penderita


fasciolopsiasis yang diketemukan pada survei tinja; sosialisasi dan advokasi
fasciolopsiasis secara lintas sektor pada bulan (2012); pemicuan berupa
penyuluhan fasciolopsiasis terhadap anak sekolah di desa Pararain (2013)
oleh dinas kesehatan kabupaten.
Yang ada tetapi belum maksimal
Program pengobatan fasciolopsiasis belum dilaksanakan secara
maksimal, karena hanya terbatas pada penderita fasciolopsiasis yang
diketemukan pada survei-survei tinja, tanpa adanya pedoman khusus
pengobatan fasciolopsiasis. Hal ini berakibat banyaknya obat Praziquantel
yang mengalami kadaluarsa tanpa dimanfaatkan.
Yang direkomendasikan WHO tapi belum dilaksanakan
Belum ada pedoman atau petunjuk teknis penanggulangan dan
pengobatan yang khusus terhadap fasciolopsiasis di Indonesia.

4.4.

ANALISIS GAP

4.4.1. Laporan kegiatan/pencapaian program


Pada tahun 2005 2009 program pengendalian fasciolopsiasis di Dinas
Kesehatan kabupaten HSU berupa penemuan kasus infection rate sebagaimana
pada tabel 4.4.1.1. melalui pemeriksaan tinja penduduk dan atau anak sekolah
dan pengobatan terhadap penderita di 8-12 desa endemis fasciolopsiasis,
menggunakan anggaran APBD. Namun tahun 2010 2011 tidak dialokasikan
lagi anggaran bagi pengendalian fasciolopsiasis.
Tahun 2012, melalui anggaran APBD dilakukan kembali survei tinja
sebanyak 700 sampel dan penyuluhan pada desa sampling. Tahun 2013
menggunakan dana BOK dilaksanakan pemicuan yang sifatnya memberikan

98

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

motivasi melalui penyuluhan fasciolopsiasis pada anak sekolah di SDN Desa


Pararain Kabupaten HSU, untuk melaksanakan pencegahan secara mandiri.

Tabel 4.4.1.1. Trend Fasciolopsiasis di Kabupaten HSU


Tahun

Infection Rate
(persen)

Keterangan

1985 1990
5,18 27 %
6 desa
1991 2001
3,8%
8 desa
2001
2,28%
3 desa
2001 2002
7,8%
7 desa
2005
1,28%
4.853 penduduk
2006
0,58%
5.825 penduduk
2006
0,39%
227 penduduk
2007
0,29%
2.067 penduduk
2008
0,42%
1.680 penduduk
2008
2%
161 penduduk
2009
0,42%
1.680 penduduk
2010
0,64%
314 penduduk
2011
6,87%
83 penduduk
2012
1,00%
700 penduduk
2012
1,46%
137 penduduk
2012
6,92%
130 penduduk
(Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten HSU)

4.4.2. Penelitian Kesehatan Masyarakat


Penelitian Kesehatan Masyarakat di Indonesia :
Studi epidemiologi11 dan studi prevalensi12, berupa survei tinja pada
penduduk di 20 desa di kabupaten HSU menunjukkan kasus fasciolopsiasis yang
hampir selalu terjadi di desa Sungai Papuyu, desa Kalumpang Dalam, desa
Telaga Mas, desa Putat Atas, desa Sarang Burung, dan desa Pondok Babaris;
pada survei tinja kerbau di desa Sapala-Bararawa, survei tinja unggas (ayam dan
itik) di desa Kalumpang Dalam, survei keong air tawar, dan survei tumbuhan air
belum menunjukkan adanya stadium F.buski selain pada manusia.11,13,14,15
Pendekatan sosial budaya16 sebagai model penanggulangan fasciolopsiasis
dilakukan pada anak sekolah dengan pemberian komik buski berbahasa daerah

99

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Banjar.17,18,19 Survei fasciolopsiasis dan pengobatannya selama dua kali setahun,


di musim hujan dan musim kemarau menunjukkan adanya peningkatan kasus
fasciolopsiasis di musim hujan20. Survei fasciolopsiasis pada wilayah
karakteristik serupa di kabupaten lain yang berbatasan langsung dengan daerah
endemis tidak menunjukkan adanya distribusi fasciolopsiasis.21
Penelitian Kesehatan Masyarakat di Luar Negeri:
Distribusi fasciolopsiasis terjadi di China, India, Thailand, Taiwan, Vietnam,
Assam,

bahkan

dilaporkan

di

Indonesia

terjadi

di

Borneo

dan

Sumatera.22,23,24,25,26,27,28,29,30 Fasciolopsiasis menjadi re-emerging infeksi yang


semula terbatas di negara-negara Asia sekarang berkembang di negara Afrika.31
Fasciolopsiasis juga terjadi sebagai kasus import pada imigran dari daerah
endemis ke daerah non endemis.32 Di India sebesar 59,7% dari 221 spesimen
tinja,23 di Vietnam sebesar 0,7% dari 964 petani ikan,25 dan di Thailand terjadi
pada 3 dari 93 orang yang bekerja di Israel.24 Kerugian ekonomi akibat
fasciolopsiasis lebih besar daripada hookworm dan schistosomiasis, dimana
pada beberapa desanya mempunyai prevalensi fasciolopsiasis sebesar 100%.33
Kelompok umur yang berisiko menderita fasciolopsiasis adalah anak-anak,
puncaknya terjadi pada usia antara 5-29 tahun.27,30,34,35 Gejala klinis pada kasus
kronis dan berat berupa diare, muntah, sakit perut dan kehilangan berat badan,
bahkan kematian.36 Faktor risiko berupa budidaya water chestnuts, adanya
keong sebagai hospes perantara, dan babi sebagai hospes definitif yang hidup di
wilayah geografis fokus endemik.29 Implementasi program pengendalian yang
tidak berhasil disebabkan budaya lama masyarakat memakan tumbuhan air
secara mentah dan menggunakan air yang tidak diolah.37
Babi atau spesies Sus scrofa domestica sebagai hospes definitif,30,38,39,40
dan juga ditemukan pada monyet.41 Metaserkaria dapat ditemukan pada
tumbuhan air jenis Trapa bispinosa dan Ipomoea reptans (Ipomoea aquatica).30
Sedangkan serkaria gymnocephalous dapat ditemukan adalah jenis Segmentina
hemisphaerula, Hippeutis (Helicorbis) umbilicalis, dan Segmentina (Trochorbis)

100

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

trochoideus.30,42,43,44 Jumlah populasi keong (n = 1,275) secara signifikan


berkorelasi dengan curah hujan (r = +0.62; P less than 0.05) dan suhu air
(r = +0.59; P less than 0.05). Tingkat infeksi alami dari F.buski pada keong
berkisar antara 0.5--2%. Sebanyak 13 dari 49 (27%) keong Hippeutis (Helicorbis)
umbilicalis dan 6 dari 14 (43%) keong S.(T.)trochoideus menunjukkan adanya
serkaria pada 4-6 minggu setelah terekspose mirasidium.42 Batas ketahanan
keong tanpa air pada suhu 25oC dan kelembaban 50% adalah selama 25 jam.
Sebanyak 43% keong akan mati sebelum mengeluarkan serkaria. Diantara
keong yang masih hidup, infection rate sebesar 20%. Setelah shedding pertama,
keong bertahan hidup sampai 28 hari. Jumlah serkaria yang dihasilkan seekor
keong sekitar 595, atau 21 per hari; keong yang lebih besar memproduksi
serkaria yang lebih banyak dibanding keong yang lebih kecil.45

4.4.3. Penelitian IPTEK


Penelitian IPTEK Indonesia:
Ditemukan 2 ekor metaserkaria pada akar lumbu yang diambil dari desa
Sungai Papuyu, kabupaten HSU, namun belum bisa dikonfirmasi apakah berasal
dari spesies buski.15
Penelitian IPTEK Luar Negeri:
Studi preliminary susceptibility menunjukkan bahwa hewan yang dapat
digunakan sebagai hewan coba terhadap F.buski di laboratorium adalah kelinci
berumur 6-8 minggu dan monyet spesies Saimiri sciureus petrinus.46,47
Uji klinik anthelmentik stilbazium iodide (Monopar), turunan pyridine
pada penderita anak-anak selama 3 hari berturut-turut menunjukkan obat
tersebut efektif terhadap F.buski tanpa efek samping serius meskipun mual dan
muntah tidak jarang terjadi.48 Uji klinik anthelmentik spektrum luas
(thiabendazole, mebendazole, levamisole dan pyrantel pamoate) dibandingkan
dengan 2 anthelmintik lama (tetrachloroethylene dan hexylresorcinol)

101

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

menunjukkan bahwa tetrachloroethylene lebih efektif dibanding obat lainnya


dan sekitar 99% cacing dan telurnya dikeluarkan bersama tinja setelah
pengobatan. Pemberian oral obat tetrachloroethylene dan hexylresorcinol
dihubungkan dengan reaksi anafilaksis berat yang dicegah melalui pemberian
antihistamin sebelum pengobatan.49 Praziquantel dosis tunggal 15, 25 atau 40
mg/kg BB dilaporkan menimbulkan efek samping ringan dan sementara seperti
sakit kepala, pusing, mual, mengantuk, perut tidak nyaman, anoreksia, diare,
nyeri epigastrium, muntah dan kelelahan. Lepuh besar terlihat pada tegument
F.buski yang keluar dalam tinja paska pengobatan yang diyakini karena
Praziquantel. Dosis tunggal Praziquantel 15 mg/kg BB direkomendasikan
sebagai pengobatan,50 karena angka kesembuhan mencapai 100%.51,52
Kerusakan tegument yang dipelajari melalui Transmission Electron Microscopy
(TEM) dan Scanning Electron Microscopy (SEM), baik secara in vivo atau in vitro
sangat mirip.53 Penderita tuberculosis dengan fasciolopsiasis mendapatkan
pengobatan antituberculosis dan praziquantel secara berurutan.54
Efek paralisis dari ekstrak tanaman obat Flemingia vestita pada F.buski
dan sufrartyfex.55 Terhadap aktivitas nitric oxide synthase dan nitric oxide
F.buski.56 Efek anthelmentik berupa perubahan metabolisme asam amino pada
parasit.57 Efek in vitro dari tanaman obat tradisional Alpinia nigra (Gaertn.)
Burtt terhadap F.buski dewasa.58 Enzim tegumel parasit menjadi target penting
dari komponen aktif ekstrak Alpinia nigra yang menyebabkan alterasi
ultrastruktural pada F.buski.59,60,61 Efek fasciolisida pada aktivitas dehidrogenase
malate dan mortalitas F.buski menunjukkan bahwa nitroxynil pada 10-3M
menghasilkan 60% penghambatan homogenate. Fasciolopsis buski mati oleh
10-3M oxyclozanide tetapi pada konsentrasi senyawa berulang hanya
menyebabkan

penurunan

aktivitas.

Oxyclozanide

dan

heksaklorofen

menghasilkan penghambatan pada F.buski.62


Morfologi dan microtopografi F.buski pada babi bervariasi dari wilayah
geografis berbeda.40 Hemoglobin F.buski pada umumnya didistribusikan dalam

102

parenkim dan terkonsentrasi di dekat saluran ekskretoris dan koil uterus

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

proksimal; protein F.buski menyerupai mioglobin, memiliki satu heme, dan


mengandung jumlah yang sama dari asam amino, tapi setengah dari cystine dan
taurine terdeteksi dalam preparat hemoglobin.63,64,65 Fasciolopsiasis ringan
tidak menunjukkan gejala klinis dan malabsorbsi.66 Studi komposisi lipid pada
F.buski menunjukkan bahwa komposisi kolesterol, fosfolipid dan trigliserida
sekitar 13-14%, dan asam lemak bebas sekitar 7%. Kolin dan etanolamin
fosfatida adalah lipid polar utama. Sphingomyelin dan cardiolipin dalam fraksi
kecil, dan lysofosfatidylkolin sekitar 15%.67 Studi absorbsi usus pada penderita
fasciolopsiasis menunjukkan gangguan penyerapan vitamin B12 dan serum
vitamin B12 yang sedikit lebih rendah dari normal, namun secara histologi,
biopsi jejenum tampak normal.68
Melalui studi meiosis diketahui bahwa Fasciolopsis buski mempunyai
proses spermatogenesis dan aktivitas NADPH-diaphorase yang sama dengan
digenean lainnya.69,70,71 Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA 28S (548
bp) menempatkan Fascioloidae dalam kontek yang lebih luas. Primer spesifik
ITS2 dapat digunakan pada metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam
penyelidikan epidemiologis prevalensi yang disebabkan trematoda.72,73

103

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 4.4.1. Analisis Gap Fasciolopsiasis


No

104

Temuan

Program

Saran

Kasus
fasciolopsiasis
masih terus
menerus
berlangsung

- Survei tinja dan


pengobatan;
- Penyuluhan
fasciolopsiasis;
- Sosialisasi dan
advokasi
fasciolopsiasis lintas
sektor;
- Bantuan air bersih di
lokasi tertentu.

- Strategi pengendalian fasciolopsiasis


spektrum luas, melibatkan
kerjasama listas sektor yang
terintegrasi dan berkesinambungan;
- Surveilans fasciolopsiasis;
- Mass Drug Assesment (MDA);
- Pengaktifan program Usaha
Kesehatan sekolah (UKS) di sekolahsekolah.

Kurangnya data
fasciolopsiasis

- Keterbatasan alokasi
anggaran dan
program
penanggulangan
fasciolopsiasis;
- Surveilans
fasciolopsiasis
kurang berjalan.

- Dukungan dan komitmen


pemerintah dan para stake holder;
- Surveilans fasciolopsiasis;
- Regenerasi sumber daya manusia
(SDM) pengelola program, tenaga
promosi kesehatan, dan tenaga
mikroskopis kecacingan.

- Pengobatan
hanya diberikan
pada penderita
yang ditemukan
pada survei tinja
atau ditemukan
secara
insidentil/pasif;
- Stok obat
praziquantel
sebanyak 7.840
kadaluarsa pada
Juli 2013.

- Tidak ada pedoman


dan petunjuk teknis
pengobatan
fasciolopsiasis.

- Inisiasi pedoman dan petunjuk


teknis pengobatan dan
penanggulangan fasciolopsiasis;
- Manajemen data dan pelaporan
terstandar.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

4.5.

POLICY OPTION DAN PENELITIAN


Kebijakan penanganan kasus fasciolopsiasis saat ini
Kebijakan pengendalian fasciolopsiasis merupakan tanggung jawab
pemerintah pusat dan daerah. Perhatian terhadap fasciolopsiasis di
kabupaten HSU kurang sehingga menyebabkan lemahnya komitmen
pemerintah dalam pengendalian fasciolopsiasis. Alokasi anggaran terhadap
pengendalian fasciolopsiasis cenderung kurang mendapat perhatian.
Cakupan pemeriksaan tinja tidak tercapai dan teknik pemeriksaan tinja
hingga pengobatan tidak terstandarisasi.
Kebijakan pengendalian atau eliminasi atau eradikasi fasciolopsiasis
Inisiasi pedoman dan petunjuk teknis yang khusus ditujukan bagi
penanggulangan
surveilans

dan

terhadap

pengobatan
fasciolopsiasis

fasciolopsiasis,
berupa

serta

optimalisasi

penetapan

endemisitas

fasciolopsiasis, peningkatan jumlah cakupan pemeriksaan (survei tinja),


metode diagnosis dan standar pemeriksaan mikroskopik tinja pada
fasciolopsiasis, metode pengobatan dan penyediaan obat fasciolopsiasis,
alokasi anggaran terhadap penyediaan sarana dan prasarana laboratorium,
peningkatan SDM dalam pemeriksaan mikroskopik kecacingan dan promosi
kesehatan (penyuluhan), serta manajemen data dan pelaporan terstandar,
sehingga dapat dijadikan acuan perencanaan program pengendalian dan
eliminasi fasciolopsiasis. Perlu adanya pedoman maupun petunjuk teknis
khusus untuk pengendalian fasciolopsiasis, terutama terhadap karakteristik
wilayah endemik yang khas.
Mass Drug Assessment (MDA) dapat dijadikan alternatif utama dalam
mengeliminasi fasciolopsiasis, sebagai tindakan awal dalam memutus mata
rantai penularan.

Ditunjang dengan adanya pemicuan masyarakat non

material melalui penyuluhan sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) di masyarakat, serta pengaktifan program usaha kesehatan sekolah
(UKS) di sekolah-sekolah wilayah kecamatan endemis fasciolopsiasis.

105

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Kebijakan pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian/eliminasi


fasciolopsiasis
Karakteristik wilayah endemis fasciolopsiasis di kabupaten HSU
merupakan rawa yang luas sehingga memerlukan dukungan dan komitmen
pemerintah dalam pengalokasian anggaran kesehatan dan perencanaan
strategi pengendalian spektrum luas yang melibatkan kerjasama lintas sektor
dalam penanggulangan fasciolopsiasis. Sosialisasi advokasi fasciolopsiasis
lintas sektor harus dilaksanakan secara berkelanjutan, terutama dalam
penetapan program pengendalian.

Tabel 4.5.1. Policy Option Fasciolopsiasis

Masalah

Penanganan

Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Maintenance

- Budaya
- Strategi
- Penyuluhan;
- Revitalisasi lintas
masyarakat
pengendalian
- Sosialisasi dan
sektor dalam
dalam
fasciolopsiasis
advokasi
pengendalian
mengkonsumsi spektrum luas,
fasciolopsiasis lintas fasciolopsiasis;
tumbuhan air
melibatkan
sektor;
- Pengalokasian
mentah;
kerjasama lintas - Bantuan air bersih di anggaran dan
- Karakteristik
sektor yang
lokasi tertentu.
program
wilayah rawa
terintegrasi dan
penanggulangan
dan cenderung berkesinambun
secara rutin.
terisolir
gan;
sehingga
- Surveilans
menggunakan
fasciolopsiasis;
air rawa
- Mass Drug
sebagai sumber Assesment
air minum/
(MDA).
rumah tangga
dan MCK.

106

Penelitian
- Penelitian
biomolekuler;
- Transmisi
fasciolopsiasis;
- Pencarian hospes
perantara;
- Sosial budaya.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Masalah

Penanganan

Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

- Kasus
- Dukungan dan - Alokasi anggaran
fasciolopsiasis
komitmen
dalam
cenderung
pemerintah dan penanggulangan
diabaikan;
para stake
fasciolopsiasis;
- Data kurang;
holder;
- Program eliminasi
- Penemuan
- Surveilans
fasciolopsiasis;
kasus
fasciolopsiasis; - Surveilans
umumnya
- Regenerasi
fasciolopsiasis;
bersifat insiden sumber daya
- Pemutusan mata
(melalui survei
manusia (SDM)
rantai penularan
penelitian).
pengelola
dengan cara
program,
pengobatan
tenaga promosi terhadap penderita,
kesehatan, dan
pemberantasan
tenaga
hospes perantara,
mikroskopis
pencegahan makan
kecacingan.
tumbuhan air
mentah dan BAB di
air rawa.

Maintenance

Penelitian

- Peningkatan peran - Pengembangan


serta masyarakat;
penelitian
- Pembuatan jamban
transmisi;
septik tank;
- Pengembangan
- Penyediaan air
teknik diagnosis;
bersih;
- Identifikasi dan
- Penyuluhan dan
isolasi komponen
pemicuan yang
aktif tumbuhan
berkesinambungan;
sebagai
- Koordinasi
anthelmentik
penelitian dan
tradisional dan
pengembangan.
molusida.

- Pengobatan
- Inisiasis
- Tidak ada pedoman - Komitmen
hanya
pedoman dan
pengobatan khusus
pemerintah dan
diberikan pada
petunjuk teknis untuk
para stoke holder;
penderita yang pengobatan
fasciolopsiasis;
- Pedoman dan
ditemukan
dan
- Stok obat
petunjuk teknis
pada survei
penanggulanga
Praziquantel
penanggulangan
tinja atau
n
terbatas dan
fasciolopsiasis.
ditemukan
fasciolopsiasis;
merupakan drop
secara
- Manajemen
obat dari WHO;
insidentil/pasif; data dan
- Tidak ada pedoman
- Tidak ada
pelaporan
upaya pengobatan
pedoman dan
terstandar.
yang spesifik
petunjuk teknis
terhadap
pengendalian
fasciolopsiasis
dan
menyebabkan
pengobatan
ancaman kadaluarsa
fasciolopsiasis.
pada 7.840 tablet
praziquantel
(@400mg) di bulan
Juli 2013.

- Penelitian
kesehatan
masyarakat;
- Pemetaan kasus
fasciolopsiasis.

107

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Daftar Pustaka
1. Garcia LS, dan Bruckner, David A. Diagnostik
Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC; 1996.
2. Ideham B, dan Pusarawati, Suhintam, editor.
Helminthologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga
University Press; 2002.
3. Oemijati S. The Current Situation of Parasitic
Infections in Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan.
1989;17(2):12-21.
4. Weng, Y.L., Zhuang, Z.L., Jiang, H.P., Lin, G.R., Lin, J.J.
Studies on ecology of Fasciolopsis buski and control
strategy of fasciolopsiasis. 1989, Vol. 7(2), PP:108-11.
5. Tjitra E. Penelitian-penelitian fasciolopsiasis di
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 1994;97:22-5.
6. Sandjaja, Bernardus. Parasitologi Kedokteran: Buku
2, Helminthologi Kedokteran. Prestasi Pustaka,
Jakarta. 2007.
7. Ichhpujani, R.L., dan Bhatia, Rajesh. Medical
Parasitology, Second Edition. Jaypee Brothers
Medical Publishers, New Delhi. 1998.
8. Handojo, Imam, dan Gandahusada, Srisasi.
Fasciolidae. Dalam Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran, Edisi Keempat, Eds: Inge Sutanto, dkk.
PP. 55-8. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. 2008.
9. Purnomo, Gunawan, W.J., Magdalena L.J., Ayda, R.,
Harijani, A.M. Atlas Helminthologi Kedokteran. PT
Gramedia, Jakarta. 2003.
10. Muller, Ralph. Worms and Human Disease, 2nd
Edition. CABI Publishing, New York. 2002.
11. Anorital, Dewi, R.M., Purnomo, Ompusunggu, S., dan
Harijani. Studi Epidemiologi Fasciolopsis buski di
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol 4 nomor 1 April 2005.
Puslitbang Ekologi Kesehatan Balitbangkes Depkes
RI, Jakarta. 2005.
12. Anorital, Dewi, R.M., Pancawati, O., Ompusunggu, S.,
Harijani, dan Purnomo. Media Litbangkes. Studi
Prevalensi fasciolopsiasis di Kabupaten Hulu Sungai
Utara Kalimantan Selatan Tahun 2001 dan 2003.
2006.
13. Annida. Epidemiologi Fasciolopsiasis di Desa
Kalumpang Dalam Kecamatan Babirik Kabupaten
Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. 2010.
14. Annida.
Studi
Epidemiologi
Komprehensif
Fasciolopsiasis dan Pemetaannya di Kabupaten Hulu
Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Balai Litbang P2B2
Tanah Bumbu, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2012.

108

15. Handojo I, Ismulyuwono B. Pencarian dan Penemuan


Bentuk Metaserkaria pada Tumbuhan Air yang
Berperan sebagai Inang Perantara II Fasciolopsis
buski di Kabupaten Hulu Sungai Utara Profinsi
Kalimantan Selatan. Jakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia.1988.
16. Anorital, Ompusunggu S, Dewi RM, Kasnodiharjo.
Model Penanggulangan Fasciolopsis buski di
Kalimantan Selatan dengan Pendekatan Sosial
Budaya (Tahun Pertama). Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Badan
Litbangkes Depkes RI. 2002.
17. Anorital, Ompusunggu S, Dewi RM, Kasnodiharjo.
Model Penanggulangan Fasciolopsis
buski di
Kalimantan Selatan dengan Pendekatan Sosial
Budaya (Tahun Kedua). Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. 2003.
18. Anorital, Kasnodihardjo, Dewi, R.M., Ompusunggu, S.
2009. Peningkatan Aspek Pengetahuan dan Perilaku
Anak Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah Melalui
Komik Buski pada Tiga Desa Endemis Fasciolopsis
buski di Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2003.
19. Anorital. Penyakit Kecacingan buski (fasciolopsiasis)
di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan,
Analisis dari Aspek Epidemiologi dan Sosial Budaya.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
RI; 2008.
20. Annida, dkk. Penanggulangan Fasciolopsiasis melalui
Pemberian Obat 2 Kali Setahun di Kab. HSU. Loka
Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
RI. 2006.
21. Waris, Lukman, dkk. Distribusi Parasitik Intestinal
(Kecacingan) di Prov. Kalimantan Selatan. Loka
Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
RI. 2008.
22. Goddard, F.W. Fasciolopsis Buski: A Parasite of Man
as Seen in Shaohing, China. The Journal of
Parasitology. 1919. Vol. 5, No. 4, PP:141-63.
23. Buckley, J.J.C. Observations on Gastrodiscoides
hominis and Fasciolopsis buski in Assam. Journal of
Helminthology. 1939;17(01):1-12.
24. Greenberg Z, Giladi L, Bashary A, Zahavi H.
Prevalence of Intestinal Parasites Among Thais in
Israel. Harefuah. 1994;126(9):507-9, 63.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

25. Olsen, A., Thuan, L.K., Murrell, K.D., Dalsgaard, A.,


Johansen,
M.V.,
De,
N.V.
Cross-sectional
parasitological survey for helminth infections among
fish farmers in Nghe An province, Vietnam. Acta
Tropica. 2006. 100(3), PP:199-204.
26. Nakagawa, Koan. The Development of Fasciolopsis
buski Lankester. The Journal Parasitology.
1922;8(4):161-6.
27. Lee, H.H. Survey on Fasciolopsis buski infection
among children of Liu-ying Primary School in Tainan
Country. Zhonghua Minguo wei Sheng wu xue za zhi
= Chinese Journal of Microbiology. 1972. 5(3):110-4.
28. Hadidjaja, P., Dahri, H.M., Roesin, R., Margono, S.S.,
Djalins, J., Hanafiah, M. First Autochthonous Case of
Fasciolopsis buski Infection in Indonesia. The
American Journal of Tropical Medicine and Hygiene.
1982;31(5):1065.
29. Bhatti, H.S., Malla, N., Mahajan, R.C., Sehgal, R.
Fasciolopsiasis--a re-emerging Infection in Azamgarh
(Uttar Pradesh). Indian J Pathol Microbiol.
2000;43(1):73-6.
30. Hsien-Chen, Hsieh. Studies on the Epidemiology
of Fasciolopsis buski in South Taiwan. Formosan
Science. 1960. Vol. 14 No. 3, PP:95-120.
31. Mas-coma, S., Bargues, M.D., Valero, M.A.
Fascioliasis and other plant-borne trematode
zoonoses. International Journal for Parasitology,
2005, Vol. 35, Issues 11-12, PP: 1255-78.
32. Wiwanitkit V, Suwansaksri J, Chaiyakhun Y. High
prevalence of Fasciolopsis buski in an endemic area
of liver fluke infection in Thailand . Medscape
General Medicine, 2002, Vol. 4(3):6.
33. Barlow, C.H. The Life Cycle of the Human Intestinal
Fluke Fasciolopsis Buski (Lankester). American
Journal of Hygiene. 1925.PP:98.
34. Manning, G.S., Brockelman, W.Y., Viyanant, V. An
Analysis of The Prevalence of Fasciolopsis buski In
Central Thailand Using Catalytic Models. American
Journal Of Epidemiology. 1971;93(5):354-60.
35. Lea, T.H., Nguyenb, V.D., Phanc, B.U., Blaird, D.,
McManuse, D.P. Case Report: Unusual Presentation
of Fasciolopsiasis buski in a Viet Namese Child.
Transactions of The Royal Society of Tropical
Medicine and Hygiene. 2004;98:193-4.
36. Gupta, A., Xess, A., Sharma, H.P., Dayal, V.M., Prasad,
K.M., Shahi, S.K. Fasciolopsis buski (Giant Intestinal
Fluke)--a case report. Indian J Pathol Microbiol.
1999;42(3):359-60.

39. Galliard, H., Ncu, D. Some Trematode Parasites of


Domestic Animals in Tonkin, Indochina. Rev med
Franc Extreme-Orient. 1940;18:131-4.
40. Roy, B., Tandon, V. Morphological and
microtopographical
strain
variations
among
Fasciolopsis buski originating from different
geographical areas. Acta Parasitologica. 1993.
38(2):72-7.
41. Hartman, H.A. The Intestinal Fluke (Fasciolopsis
buski) in a Monkey. American Journal of Veterinary
Research. 1961;22:1123-6.
42. Gilman, R.H., Mondal, G., Maksud,
Rutherford, E., Gilman, J.B., Khan,
Focus of Fasciolopsis buski Infection
The American Journal of Tropical
Hygiene. 1982;31(4):796-802.

M., Alam, K.,


M.U. Endemic
in Bangladesh.
Medicine and

43. Ditrich, O., Nasincov, V., Scholz, T., Giboda, M.


Larval Stages of Medically Important Flukes
(Trematoda) from Vientiane Province, Laos. Part II.
Cercariae. Annales de Parasitologie Humaine et
Comparee. 1992;67(3):75-81.
44. Graczyk, T.K., Alam, K., Gilman, R.H., Mondal, G., Ali,
S. Development of Fasciolopsis buski (Trematoda:
Fasciolidae) in Hippeutis umbilicalis and Segmentina
trochoideus (Gastropoda: Pulmonata). Parasitology
Research, 2000, Vol. 86, Issue 4, PP:324-6.
45. TsongLo, Chin. Life History of the Snail, Segmentina
hemisphaerula (Benson), and Its Experimental
Infection with Fasciolopsis buski (Lankester). The
Journal of Parasitology. 1967. Vol.53, No.4, PP:73538.
46. Kuntz, Robert E., Lo, Chin-Tsong. Preliminary Studies
on Fasciolopsis buski (Lankester, 1857) (Giant Asian
Intestinal Fluke) in the United States Transactions of
The American Microscopical Society. 1967;86(2):1636.
47. Malviya, H.C. The susceptibility of mammals
to Fasciolopsis buski. Journal of Helminthology, 1985,
Vol. 59, Issue 01, PP: 19-22.
48. Hsieh, H.C., Brown, H.W., Chen, E.R., Chen, C.Y., Shih,
C.C. Treatment of Fasciolopsis buski, Ancylostoma
duodenale, Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
and Enterobius vermicularis Infections with
Stilbazium Iodide. The American Society of
Parasitologists. 1963;49(3):425-7.

37. Graczyk, T.K., Gilman, R.H., Fried, B. Fasciolopsiasis:


is it a controllable food-borne disease?. Parasitology
Research. 2001, Vol. 87, Issue 1, PP:80-3.

49. Rabbani, G.H., Gilman, R.H., Kabir, I., Mondel, G. The


Treatment of Fasciolopsis buski Infection in Children:
A Comparison of Thiabendazole, Mebendazole,
Levamisole, Pyrantel Pamoate, Hexylresorcinol and
Tetrachloroethylene. Transactions of the Royal
Society of Tropical Medicine and Hygiene.
1985;79(4):5135.

38. Roy, Bishnupada, and Tandon, Veena. Seasonal


Prevalence of Some Zoonotic Trematode Infections
in Cattle and Pigs in The North-East Montane Zone in
India. Veterinary Parasitology. 1992. 41(1-2):69-76.

50. Bunnag, D., Radomyos, P., Harinasuta, T. Field Trial


on The Treatment of Fasciolopsiasis with
Praziquantel. Southeast Asian J Trop Med Public
Health. 1983. 14(2):216-9.

109

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

51. Harinasuta, T., Bunnag, D., Radomyos, P. Efficacy of


Praziquantel
on
Fasciolopsiasis.
Arzneimittelforschung. 1984;34(9B):1214-5.
52. Wegner, D.H. The Profile of The Trematodicidal
Compound Praziquantel. Arzneimittel-Forschung.
1984;34(9B):1132-6.

62. Probert, A.J., Sharma, S.K., Singh, K., Saxena, R. The


effect of five fasciolicides on malate dehydrogenase
activity and mortality of Fasciola gigantica,
Fasciolopsis buski and Paramphistomum explanatum.
Journal of Helminthology. [Journal article].
1981;55(02):115-22.

53. Taraschewski, H., Mehlhorn, H., Bunnag, D.,


Andrews, P., Thomas, H. Effects of Praziquantel on
Human Intestinal Flukes (Fasciolopsis buski and
Heterophyes
Heterophyes).
Zentralblatt
fr
Bakteriologie, Mikrobiologie und Hygiene Series A:
Medical Microbiology, Infectious Diseases, Virology,
Parasitology. 1986;262(4):54250.

63. Calm, George D. Studies on Hemoglobins in Some


Digenetic Trematodes. The American Society of
Parasitologists. 1969. 55(2):301-6.

54. Rohela, M., Jamaian, I., Menon, J., Rachel, J. Case


report fasciolopsiasis: a first case report from
Malaysia. Southeast Asian Journal of Tropical
Medicine and Public Health, 2005. 36 (2). pp. 456458. ISSN 0125-1562.

65. Calm, George D. Purification and properties of


hemoglobin from fasciolopsiasis buski. The journal of
parasitology, 1969, Vol. 55, no. 2, PP:311-20.

55. Roy, B., Tandon, V. Effect of root-tuber extract


of Flemingia vestita, a leguminous plant, on
Artyfechinostomum sufrartyfex and Fasciolopsis
buski: a scanning electron microscopy study.
Parasitology Research, 1996, Vol. 82, Issue 3, PP:24852.
56. Kar, Pradip K., Tandon, Veena, Saha, Nirmalendu.
Anthelmintic efficacy of Flemingia vestita: genisteininduced effect on the activity of nitric oxide synthase
and
nitric
oxide
in
the
trematode
parasite, Fasciolopsis
buski.
Parasitology
International, 2002, Vol 51, Issue 3, PP: 249-57.
57. Kar, P.K., Tandon, V., Saha, N. Anthelmintic efficacy
of genistein, the active principle of Flemingia
vestita (Fabaceae): alterations in the free amino acid
pool and ammonia levels in the fluke, Fasciolopsis
buski. Parasitology International, 2004, Vol. 53, Issue
4, PP:28791.
58. Roy, Bishnupada, and Tandon, Veena. Flukicidal
Activity of Alpinia nigra (zingiberaceae) Against The
Trematode, Fasciolopsis buski, in Humans.
Biomedical Letters. 1999. 60:23-9.
59. Roy, Bishnupada, Swargiary, Ananta. Anthelmintic
efficacy of ethanolic shoot extract of Alpinia nigra on
tegumental enzymes of Fasciolopsis buski, a giant
intestinal parasite. Journal of Parasitic Diseases,
2009, Vol. 33, Issue 1-2, PP:48-53.
60. Roy, Bishnupada, Dasgupta, Shyamashree, Tandon,
Veena. Ultrastructural observations on Fasciolopsis
buski and its alterations caused by shoot extract
of Alpinia nigra. Microscopy Research and
Technique, 2009, Vol. 72, Issue 2, PP:616.
61. Ananta Swargiary BR, Bhabesh Ronghang. Partial
characterisation of alkaline phosphatase in
Fasciolopsis buski an intestinal fluke treated with
crude extract of Alpinia nigra (Zingiberaceae).
Journal of Pharmaceutical Technology and Drug
Research. 2013:1-7.

110

64. Calm, George D. The Source of Hemoglobin in


Philophthalmus megalurus and Fasciolopsis buski
(Trematoda: Digenea). The American Society of
Parasitologists. 1969. 55(2):307-10.

66. Plaut, Andrew G., Kampanart-Sanyakorn, Chaiyan,


Manning, George S. A clinical study of Fasciolopsis
buski infection in Thailand. Transactions of the Royal
Society of Tropical Medicine and Hygiene, 1969,
Vol.63, Issue 4, PP:470-8.
67. Yusufi, A.N.K., Siddiqi, A.H. Comparative studies on
the lipid composition of some digenetic trematodes.
International Journal for Parasitology. [Journal
article]. 1976, Vol.6(1), PP:5-8.
68. Jaroonvesama, N., Charoenlarp, K., Areekul, S.
Intestinal absorption studies in Fasciolopsis buski
infection. Southeast Asian J Trop Med Public Health.
1986, Vol.17(4), PP:582-6.
69. Longshcng, Gao, et al. Observation of Meiosis of
Fasciolopsis buski. Hereditas (Beijing). 1985;02.
70. Xiaobin, Dai, et al. Spermatogenesis in Fasciolopsis
buski. Journal of Chongging Medical University.
1990;03.
71. Tandon, Veena, Kar, Pradip Kumar, Saha,
Nirmalendu. NO nerves in trematodes, too!: NADPHdiaphorase activity in adult Fasciolopsis buski.
Parasitology International, 2001, Vol. 50, Issue 3,
PP:15763.
72. Lotfy, W.M., Brant, S.V., DeJong, R.J., Le, T.H.,
Demiaszkiewicz, A., Rajapakse, R.P., Perera,V.B.,
Laursen, J.R. and Loker, E.S. Evolutionary origins,
diversification, and biogeography of liver flukes
(Digenea, Fasciolidae). Am J Trop Med Hyg. 2008. 79
(2), PP:248-55.
73. Prasad, K.P., Goswarni, L.M., Tandon, V., Chatterjee,
A. PCR-based molecular characterization and insilico
analysis
of
food-borne
trematode
parasites Paragonimus westermani, Fasciolopsis
buski and Fasciola gigantica from Northeast India
using ITS2 rDNA. Bioinformation, 2011, Vol.6(2),
PP:64-8.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB

TAENIASIS-CYSTICERCOSIS
Lidwina Salim, B. Sandjaja

5.1.

PENDAHULUAN
Taeniasis solium adalah keadaan dimana terdapat Taenia solium di usus
penderita, yang juga dinamakan cacing pita babi, karena bentuknya yang
seperti pita dan terdapat pada babi,1 sedangkan cysticercosis (cysticercosis
cellulose) merupakan penyakit pada manusia dan babi yang disebabkan oleh
stadium larva atau kista T. solium. Ditularkan melalui jalur fecal-oral dengan
menelan telur T. solium.
Cacing ini terdapat di seluruh dunia. Tahun 1955 dilaporkan adanya 1
orang penderita cerebral cysticercosis dari hasil pembedahan di Jakarta. Tahun
1960-1978, dari 3 studi terhadap 80.000 jaringan histopatologi di Jawa Timur
ditemukan 9 kasus. Pada 1962-1970 ditemukan 7 kasus di Jakarta: 1 kasus dari
Bali, 1 kasus dari Jawa Timur, 2 kasus dari Sumut dan 3 kasus dari Jakarta.2
Di Papua, laporan pertama berasal dari Rumah Sakit Enarotali, daerah
pedalaman Papua sebagai epidemic combustio, yang ternyata kemudian
diakibatkan karena serangan epilepsi pada malam hari. Enarotali merupakan
daerah pegunungan yang dingin dan penduduk biasa tidur malam hari di
sekeliling api unggun. Serangan epilepsi pada malam hari menyebabkan terjadi
combustio yang tidak jarang sampai perlu diamputasi. Epilepsi yang diderita
penduduk Enarotali disebabkan karena cysticercosis di daerah otak. Kasus
pertama pada tahun 1969 diduga dibawa oleh transmigran dari Bali. 3,4 Selama
tahun 1972 sampai 1973 dirawat 13 orang penderita cysticercosis. Selama

111

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

12 bulan diperiksa tinja dari 170 pasien, dan 9% dari pasien tersebut
mengeluarkan telur Taenia sp. Cacing dewasa yang diperiksa diidentifikasi
sebagai T. solium. Selanjutnya sampai tahun 1975 dilaporkan adanya
cysticercosis di daerah Paniai. Setiap bulan 60 - 100 pasien dengan cysticercosis
mengunjungi Rumah Sakit Eanarotali. Pada tahun 1979 dilaporkan penyakit ini
sudah menyebar ke kabupaten tetangga, yaitu Kabupaten Jayawijaya.
Penyebaran berlanjut kearah barat yaitu Kabupaten Manokwari.
Tahun 1975 di Bali dilaporkan 4 kasus yang diperkirakan menderita
neurocysticercosis yaitu adanya gejala sistem syaraf pusat dan ditemukannya
kista di otot dan jaringan subkutan.
Penyakit taeniasis-cysticercosis merupakan penyakit yang berkaitan
dengan higiene dan sanitasi lingkungan yang tidak baik, budaya dan adat
istiadat, kurangnya pengawasan kesehatan daging, kebiasaan untuk melepas
ternak, dan konsumsi daging kurang masak. Penyakit ini seringkali disebut
penyakit rumah tangga dengan karakteristik sebagai berikut: sering dijumpai
lebih dari satu anggota keluarga di suatu rumah tangga yang terinfeksi penyakit
tersebut.7

Gambar 5.1.1. Daging babi yang mengandung kista T. solium


(Sumber: dokumentasi dr.Sukwan Handali, Ph.D)

112

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Isu kesehatan masyarakat yang paling penting adalah perkembangan


neurocysticercosis. Gejalanya tidak tampak sampai kista mulai berdegenerasi
dan menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan kejang dan pingsan
(serangan epilepsi). Kejadian ini dikaitkan dengan kasus-kasus combustio
(terbakar) dan kecelakaan kendaraan bermotor.
Taeniasis-cysticercosis cenderung diabaikan karena tidak menimbulkan
gejala selama bertahun-tahun dan hanya endemis di beberapa tempat
sehingga terabaikan.

5.2.

MASALAH TAENIASIS-CYSTICERCOSIS DI INDONESIA

5.2.1. Etiologi 1
Cacing T. solium hidup di dalam tubuh hospes definitif, yaitu manusia,
sedangkan larvanya hidup di babi yang merupakan hospes perantara.
Siklus hidup terjadinya taeniasis dimulai dengan manusia terinfeksi cacing
T. solium dengan mengkonsumsi daging babi mentah yang mengandung
larva/kista. Larva yang masuk ke usus manusia segera keluar dari kistanya dan
melekatkan diri di permukaan usus halus dengan scolexnya. Larva menjadi
cacing dewasa 8-10 minggu kemudian. Cacing dewasa mencapai panjang 5-15
meter dan mampu hidup bertahun-tahun dalam tubuh manusia. Cacing dewasa
menghasilkan proglotid yang hamil, kemudian terlepas dari stobilanya yang
bergerak aktif maupun pasif menuju anus. Lebih sering proglotid yang hamil
pecah dan telurnya keluar bersama faeces.
Babi merupakan hospes perantara, yang terinfeksi saat memakan rumput
atau tumbuhan lain yang terkontaminasi proglotid atau telur T. solium.
Proglotid cacing mempunyai sifat geotrophic dan bermigrasi dari feces naik ke
rumput atau daun, sehingga siap untuk dimakan oleh babi. Tumbuh-tumbuhan

113

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

sering terkontaminasi telur cacing bilamana manusia buang air besar di


sembarang tempat, sanitasi lingkungan yang tidak sehat, dan pemakaian
kotoran manusia sebagai pupuk.
Siklus hidup abnormal dapat terjadi bilamana manusia makan makanan
yang terkontaminasi atau air yang mengandung telur atau proglotid dari
kotoran manusia yang kemudian telurnya menetas dan keluar oncosphere.
Larva tahap pertama inilah yang kemudian tumbuh menjadi Cysticercus
cellulose dalam tubuh manusia dan menimbulkan cysiticercosis cellulose. Siklus
abnormal ini melibatkan manusia sebagai hospes perantara. Infeksi dapat pula
terjadi melalui internal autoinfection pada manusia yang mengandung banyak
cacing dalam tubuhnya. Proglotid T. solium akan pecah di dalam usus penderita
dan telurnya akan menetas, dan larvanya terbawa aliran darah ke banyak organ
tubuh termasuk mata dan otak. Diperkirakan sekitar 75% kasus terjadi akibat
menelan telur cacing dan 25% akibat autoinfection.
Parasit ini mempunyai kepala (scolex) dengan 4 buah penghisap dan
mahkota berkait ganda, leher yang tidak bersegmen, dan tubuh yang besar
dengan ratusan proglotid yang hermaphrodite. Setelah telur tertelan melalui
makanan yang tercemar, maka telur akan menetas dan keluarlah oncosphere
yang akan melewati lumen usus, di lumen usus oncosphere masuk ke dalam
jaringan dan bermigrasi ke otak, mata, otot, subkutan atau jaringan lain
membentuk kista (cysticerci) yang dapat bertahan bertahun-tahun. Kista akan
menyebabkan reaksi inflamasi berupa nyeri pada nodul-nodul subkutan
ataupun kejang. Kista yang berada di otak, disebut neurocysticercosis.
Oncosphere akan berkembang menjadi kista yang infeksius. Bila manusia
mengkonsumsi daging atau organ tubuh babi secara mentah atau kurang
matang, maka siklus hidupnya akan berulang kembali.

114

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gambar 5.2.1.1. Siklus hidup T. solium


(Sumber: www.dpd.cdc.gov/dpdx)

Morfologi parasit memperlihatkan panjang cacing T. solium antara 2 - 7


meter. Parasit ini mempunyai kepala (scolex) dengan 4 buah penghisap dan
mahkota berkait ganda, leher yang tidak bersegmen, dan tubuh yang besar
dengan ratusan proglotid yang hemaphrodite. Scolexya berbentuk persegi
empat berukuran 0,6 - 1 mm dilengkapi dengan 4 buah alat penghisap dan
rostellum yang prominent. Pada rostellum ini melekat kait-kait dalam 2 baris
terdiri dari 22 - 32 kait.

Gambar 5.2.1.2. Morfologi T. solium

115

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gambar 5.2.1.3. Scolex, rostelum, kait-kait


(Sumber: basic.shsmu.edu.cn/jpkc/parasitology/bnz/ppt/1.pp)

Proglotidnya berjumlah 800 - 900 buah. Proglotid yang muda lebarnya


lebih dari panjangnya. Proglotid tua berbentuk bujur sangkar, yang dapat
dilihat ovariumnya yang terletak di bagian belakang memenuhi 1/3 bagian
segmen. Ciri khas dari ovariumnya yang berbeda dengan ovarium Taenia
saginata adalah adanya 2 lobus tambahan di samping ovariumnya sendiri.
Vitellaria pada cacing ini terletak di belakang ovarium, membentuk kelompok
sel berbentuk elips. Testes dapat ditemukan tersebar di seluruh segmen dan
berjumlah antara 150 - 200 buah per segmen. Genital pore terletak di samping
lateral tiap segmen.

Gambar 5.2.1.4. Proglotid T. solium

116

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Proglotid yang berisi telur panjangnya lebih dari lebarnya sehingga


berbentuk empat persegi panjang. Pada proglotid berisi telur, semua organ
reproduksi berdegenerasi dan menyisakan uterus saja. Uterus ini memiliki
percabangan lateral sebanyak 7-12 cabang di setiap sisinya. Proglotid terminal
biasanya melepaskan diri dari keseluruhan strobili dan keluar bersama tinja
dalam kelompok 2-3 segmen, jarang yang single segment seperti pada T.
saginata. Menghitung jumlah percabangan uterus ini merupakan salah satu
cara untuk membedakannya dari uterus Tenia saginata. Dalam tinja, proglotid
hamil ini pecah dan mengeluarkan telurnya melalui sebuah celah, telur tidak
pernah keluar melalui genital pore, sebab genital pore ini sebenarnya hanya
saluran untuk pertemuan ovum dan sperma. Setiap proglotid hamil berisi kirakira 40.000 butir telur. Telur T. solium berukuran 31-43 , berbentuk bulat
berwarna kuning kecoklatan. Telur ini memiliki kulit yang bergaris radial. Secara
mikroskopis tidak dapat dibedakan dengan T. saginata.

Gambar 5.2.1.5. Proglotid berisi telur


(Sumber: basic.shsmu.edu.cn/jpkc/parasitology/bnz/ppt/1.pp)

117

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gambar 5.2.1.6. Telur Taenia spp.


(Sumber: basic.shsmu.edu.cn/jpkc/parasitology/bnz/ppt/1.pp)

Gambar 5.2.1.7. Bentuk cacing dewasa


(Sumber: basic.shsmu.edu.cn/jpkc/parasitology/bnz/ppt/1.pp)

Cysticercus cellulose merupakan larva T. solium berukuran panjang 5 mm


dan leher 8 - 10 mm dan berbentuk oval. Larva ini berwarna putih susu dan
memiliki scolex yang terinvaginasi dalam cyste tersebut.

5.2.2. Epidemiologi
Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang dan prevalen di Mexico, Amerika Latin, Afrika dan Asia Tenggara,
India, China, termasuk Indonesia. Sekitar 3 juta orang terinfeksi cacing ini
diseluruh dunia.3 Di Indonesia terutama ditemukan di tiga provinsi yaitu: Bali,
Papua, dan Sumatra Utara. Prevalensi tertinggi ditemukan di provinsi Papua. 1

118

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tidak ada binatang yang menjadi reservoir, babi menjadi hospes


perantara.
Faktor Risiko8
1. Cara penyajian daging babi yang kurang matang mempunyai risiko lebih
besar dari yang penyajian matang. Di Paniai terdapat suatu tradisi bakar
batu yaitu pesta adat dengan memasak daging babi dengan batu yang
terlebih dahulu dibakar. Daging tersebut diletakkan di suatu lubang di tanah
kemudian ditutup dengan daun-daunan dan akhirnya ditimbun dengan batu
panas. Daging tersebut dibiarkan kurang lebih satu jam baru kemudian
dikonsumsi. Keadaan inilah yang selanjutnya menimbulkan taeniasis.
Sanitasi yang tidak baik memberi kesempatan terkontaminasinya makanan
dengan telur T. solium dan berakhir dengan cysticercosis.
2. Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan memberi peluang telur T.
solium yang kebetulan terdapat pada tangan akan masuk melalui mulut dan
ke dalam lambung kemudian menetas menembus dinding usus, masuk ke
dalam pembuluh darah dan terbawa ke berbagai macam jaringan
membentuk Cysticercus cellulose.
3. Petani mempunyai risiko terpapar telur T. solium dan menyebabkan
terjadinya cysticercosis.
4. Higiene perorangan dan perilaku tidak sehat berhubungan dengan kejadian
cysticercosis.
5. Sumber air yang terbuka akan mudah tercemar telur T. solium.

Gambar 5.2.1.8. Sumber air minum yang berisiko


(Sumber: Balai Litbang Biomedis Papua)

119

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

6. Buang air sembarangan akan mempermudah penularan melalui jalur fecaloral.

Gambar 5.2.1.9. Jamban yang tidak memenuhi syarat


(Sumber: Balai Litbang Biomedis Papua)

5.2.3. Patogenesis 1
Taenia solium dinamakan juga cacing pita babi, sangat berbahaya karena
manusia dapat menjadi hospes definitif atau menjadi hospes perantara-nya.
Bila manusia bertindak sebagai hospes definitif, penyakit yang ditimbulkan
dinamakan taeniasis solium. Sebagai hospes perantara, tubuh manusia
mengandung larva cacing ini yang dinamakan Cysticercus cellulose, penyakitnya
dinamakan cysticercosis cellulose. Habitat cacing dewasa di usus halus
manusia, sedangkan larvanya di tubuh babi dan manusia.
Manifestasi klinis taeniasis berupa: 1
1. Gangguan nutrisi
2. Gangguan fungsi saluran pencernaan tidak spesifik berupa muntah atau
diare
3. Reaksi alergi
4. Appendicitis
5. Obstruksi usus

120

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gejala paling umum pada penderita cysticercosis adalah nodul-nodul


subkutan dan serangan epilepsi. Pada kenyataannya penyakit ini merupakan
penyakit yang serius dan dapat mengakibatkan kematian. Manifestasi
cysticercosis sangat bervariasi tergantung pada jumlah cysticercus yang ada,
umur larva tersebut dan lokasi dimana cysticercus itu berada.
1. Subcutan cysticercosis berukuran 0,5-2 mm. Umumnya tidak menimbulkan
gejala, hanya sedikit pembengkakan yang tidak menimbulkan rasa sakit.
2. Cystisercosis pada otot dapat berkembang dalam setiap otot manusia,
menyebabkan

myositis,

disertai

demam,

eosinophilia,

dan

pseudohipertrophi otot, yang dimulai dengan pembengkakan otot dan


kemudian berkembang menjadi atrofi dan fibrosis.
3. Jika lokasinya di mata, dapat menimbulkan rasa sakit preorbital, gangguan
lapangan pengelihatan, kabur bahkan sampai kebutaan. Sering ditemukan
cysticercus terapung di camera occuli.
4. Di otak disebut neurocysticercosis, dapat menimbulkan gejala meningitis,
hydrocephalus dan eplepsi. Eplepsi ini sering ditemukan di Kabupaten Paniai
(Papua) sampai menimbulkan epidemic combustio. Kabupaten Paniai
merupakan daerah pegunungan yang dingin, sehingga penduduk seringkali
tidur di sekeliling api untuk menghalau dingin. Bila terjadi epilepsi pada saat
tidur, seringkali tubuhnya terkena api dan terjadilah luka bakar. Pada
autopsi ditemukan banyak cysticercus di otak penderita.
5. Cysticercus yang terletak di otot, hati, paru dan ginjal serta jantung biasanya
tidak menimbulkan gejala dan pada saatnya akan mengalami kalsifikasi.
Cacing ini mampu hidup di tubuh manusia selama 3 - 5 tahun. Cacing yang
masih hidup biasanya tidak menimbulkan inflamasi, tetapi bila sudah mati
sering menimbulkan infiltrasi selular.
Otak merupakan tempat utama cysticercus (60%), tetapi kemungkinan
besar data ini bias karena biasanya yang mengalami infeksi di otak sering
berobat, sedangkan yang infeksinya di kulit tidak pernah berobat. Data lain
menyebutkan 5% cysticercus ditemukan di otot dan 3% di mata.

121

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

5.2.4. Diagnosis11
Penegakkan diagnosa yang penting adalah melalui anamnesa. Diagnosa
taeniasis definitif dilakukan dengan ditemukannya telur Taenia spp melalui anal
swab pada daerah perianal atau di tinja penderita, atau ditemukannya
proglotid hamil yang memiliki uterus dengan percabangan sebanyak 7-13 buah.
Di samping itu menemukan scolex dengan rostellum dan kait-kait yang
ditemukan dalam tinja penderita. Diagnosa definitif cysticercosis dengan
ditemukannya Cysticercus cellulose. Diagnose dapat juga ditegakkan dengan
melakukan biopsi nodul-nodul subkutan, pemeriksaan radiologis pada cerebral
cysticercosis dan adanya kalsifikasi berbentuk elips dalam jumlah yang banyak.
Pemeriksaan ophthalmoscopy dapat digunakan untuk melihat ophthalmic
cysticercosis. CT Scan dapat menunjukkan baik kalsifikasi kista (calcified cyst)
dan uncalcified cyst, serta membedakan kista aktif dan tidak aktif. Magnetic
Resonance Imaging (MRI) lebih sensitif untuk mendeteksi adanya kista
intraventrikular.

Gambar 5.2.4.1. Radilogis tampak multiple kalsifikasi di otak


(Sumber: basic.shsmu.edu.cn/jpkc/parasitology/bnz/ppt/1.pp)

122

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gambar 5.2.4.2. Neurocysticercosis

Deteksi serologis dilakukan melalui pemeriksaan ELISA. Deteksi antibodi


cysticercosis dengan menggunakan enzyme-linked immunoelectrotransfer blot
(EITB) strip yang mengandung rekombinan antigen spesifik dan sensitif untuk
cysticercosis (rT24H) yang diproduksi oleh CDC Atlanta.7, 11, 12

5.2.5. Pengobatan1, 9, 10
Obat taeniasis pilihan adalah niclosamide dan praziquantel. Praziquantel
dapat menembus sawar otak dan mampu membunuh cysticercus di otak, juga
dapat membunuh cysticercus di otot. Autoinfeksi dan muntah yang berakibat
penyebaran telur ke berbagai tempat di tubuh pasien dapat mengakibatkan
terjadinya cysticercosis cellulose. Oleh sebab itu sebaiknya pengobatan pasien
dengan rawat inap di rumah sakit dan diberi pencahar 2 jam setelah pemberian
obat cacing.
Pengobataan cysticercosis tergantung dari banyak faktor, yaitu gejala
individu, lokasi dan jumlah cysticerci, dan tahap perkembangan kista. Rejimen
yang diperlukan selain obat cacing adalah kostikosteroid, antikonvulsan,
dan/atau pembedahan untuk mengangkat daerah yang terinfeksi. Cysticercus
yang mati karena pengobatan dapat menimbulkan reaksi imunologis dan
pembengkakan,

oleh

karena

itu

pemberian

kortikosteroid

perlu

dipertimbangkan. Bila cysticercus terletak di mata atau otak, steroid harus

123

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

diberikan lebih dulu beberapa hari sebelum pemberian obat antiparasitik untuk
mencegah

masalah

yang

disebabkan

karena

pembengkakan

selama

pengobatan dengan antiparasitik.

5.2.6. Prognosis
Umumnya prognosis cysticercosis baik, kecuali lesinya menyebabkan
kebutaan, gagal jantung atau kerusakan otak. Komplikasi ini sangat jarang
terjadi.

Kejang

tampaknya

meningkat

setelah

pengobatan

dengan

anticysticercal, dan dapat dikendalikan dengan obat first line antiepileptic.


Lamanya pengobatan belum dapat ditentukan.
Mortalitas sehubungan dengan neurocysticercosis tidak diketahui.
Racemose yaitu kumpulan cysticerci, seperti tandan buah anggur yang terletak
dalam ruang subarachnoid, dikaitkan dengan prognosis buruk dan angka
kematian tinggi (>20%).1, 10
Epilepsi merupakan penyebab penting morbiditas neurologis. Epilepsi
kronis merupakan komplikasi paling sering dari neurocysticercosis. Gejala yang
lain berupa sakit kepala, defisit neurologis yang berkaitan dengan stroke, dan
hydrocephalus. Penderita dengan komplikasi seperti hydrocephalus, kista yang
besar, lesi multiple yang disertai pembengkakan, meningitis kronis, dan
vaskulitis akan sangat menderita dan tidak berespon baik terhadap
pengobatan. Seringkali, komplikasi terjadi karena terapi medis ataupun
pembedahan.

5.2.7. Pencegahan8, 9, 10
Pencegahan yang paling baik adalah edukasi mengenai parasite dan rute
transmisinya terhadap masyarakat yang kontak dengan hewan piaraan babi.
Selain itu menghindari makanan yang tidak bersih, makan makanan yang tidak

124

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

matang selama melakukan perjalanan, daging babi mentah atau setengah


matang di daerah endemik, dan potensi penularan fecal-oral dengan mencuci
tangan dan kebersihan pribadi yang baik. Inspeksi daging dan pembuangan
yang tepat dari daging yang terinfeksi di daerah endemik dan skrining kontak
individu terinfeksi dan pengobatan yang tepat perlu dilakukan.

5.2.8. Ekonomi Kesehatan


Cysticercosis selain menyebabkan masalah serius kesehatan masyarakat,
juga menimbulkan masalah serius yang berkaitan dengan ekonomi. Dampak
ekonomi meliputi biaya yang harus dikeluarkan untuk diagnosis, perawatan,
dan ketidakmampuan (kecacatan) yang ditimbulkan pada pasien. Kerugian
ekonomi juga berhubungan dengan inspeksi daging dan dibuangnya daging
babi yang terinfeksi. Seekor babi dengan berat 50 kg di Jayapura harganya 10
juta rupiah, di Jayawijaya 10-13 juta rupiah, di Mulia 20 juta rupiah. Hal ini
menyebabkan pemilik merasa rugi bila tidak dapat dijual dan dagingnya harus
dimusnahkan.

5.3.

PROGRAM PENGENDALIAN TAENIASIS-CYSTICERCOSIS


Ditjen P2PL mengeluarkan buku saku Petunjuk Pemberantasan
Taeniasis/Sistiserkosis di Indonesia yang dapat diunduh dari internet:
www.depkes.go.id/download/Taeniasi.pdf. Namun penyakit ini tidak lagi
menjadi penyakit yang masuk dalam program unggulan, tidak ada program dan
anggaran khusus untuk menangani penyakit ini. Penyakit ini terabaikan,
walaupun kenyataannya masih banyak penderitanya terutama di kabupatenkabupaten pegunungan di Papua.
Di Provinsi Papua, baru 12 Puskesmas di Kabupaten Jayawijaya yang
mempunyai petugas yang sudah dilatih oleh Dinas Kesehatan Provinisi.

125

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Kabupaten lain belum tersedia tenaga khusus untuk menangani penyakit ini.
Oleh sebab itu perlu dilakukan integrasi penanganan penyakit ini dengan
penanganan penyakit lain yang berhubungan dengan higiene perorangan dan
sanitasi lingkungan. Anggaran untuk penyakit ini didapat dari dana Otsus dari
Pemda Provinsi Papua. Sementara di Provinsi Papua Barat belum ada program
untuk menanggulangi penyakit ini, data juga belum bisa didapatkan.

5.4.

ANALISIS GAP

5.4.1. Laporan kegiatan/pencapaian program


Tidak ada kegiatan/program khusus maupun rutin dari pusat yang
dilakukan untuk memantau penyakit ini. Data jumlah penderita yang masuk di
Dinas Kesehatan Provinsi Papua:
Tahun 1993-1999 data hanya dari Kabupaten Jayawijaya
Tahun 2001, 2003, 2004 data hanya dari Kabupaten Jayawijaya dan
Kabupaten Manokwari
Tahun 2005-2007 data dari Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Paniai dan
Kabupaten Nabire.
Tahun 2008-terakhir 2011 data hanya dari Kabupaten Jayawijaya, yaitu dari
Kota Wamena.
Dinkes Provinsi Papua pada tahun 2010 melaporkan 120 kasus di
Kabupaten Jayawijaya dan 35 kasus pada tahun 2011. Di tahun 2012 tidak
tersedia data tersebut. Di Bali dan Lombok Barat (penduduk keturunan Bali),
orang menderita taeniasis karena konsumsi lawar, yaitu masakan yang
mengandung darah dan daging babi mentah.4

126

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

5.4.2. Penelitian Kesehatan Masyarakat


Penelitian kesehatan masyarakat di Indonesia:
Aspek epidemiolgi cysticercosis di Indonesia menggambarkan dengan jelas,
bahwa kepercayaan (agama), cara hidup, sosio ekonomik merupakan aspekaspek yang penting dalam keberlangsungan dan peningkatan kasus
cysticercosis sebagaimana taeniasis solium di beberapa wilayah di Indonesia.
Data epidemiologi untuk penyakit ini sangat terbatas, sehingga dibutuhkan
penelitian dalam aspek epidemiologi, terutama di Indonesia Bagian Timur
dan Sumatra Utara. 2
Penelitian kesehatan masyarakat di luar negeri, yaitu:
Penelitian yang dilakukan dibeberapa negara berkembang di Amerika
Selatan yang epidemik neurocycticercosis, menunjukkan beban penyakit
yang cukup besar, dimana 25% kasus epilepsi ada hubungannya dengan
neurocysticercosis. Neurocycticercosis dapat diatasi dengan strategi sebagai
berikut: meningkatkan sanitasi, pengandangan babi, pengobatan babi secara
masal

dan

penganganan/pengobatan

target

atau

secara

masal

penderitanya. Hasil penelitian ini memastikan bahwa cysticercosis


merupakan masalah kesehatan yang besar, butuh upaya mengawasan yang
ketat dengan tujuan akhir eradikasi. 11

5.4.3. Penelitian IPTEK


Penelitian IPTEK di Indonesia:
Survei seroepidemiologik telah dilakukan oleh Balai Litbang Biomedis Papua
(pada waktu itu masih sebagai UPF Litkes Papua) bersama Dinkes Provinsi
Papua dan CDC Atlanta pada tahun 2007 di 4 kabupaten pegunungan tengah
(Jayawijaya, Paniai, Pegunungan Bintang dan Puncak Jaya). Sebanyak 2.931
orang. Pada survey ini diukur antibodi cysticercosis dan antibodi taeniasis
menggunakan T24 rekombinan dan ES33 rekombinan untuk mengukur

127

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

tingkat kepaparan terhadap cysticercosis dan taeniasis. Prevalensi


cysticercosis-taeniasis tertinggi di Jayawijaya dan Paniai (20,8% dan 29,2%
untuk cysticercosis dan 7% dan 9,6% untuk taeniasis) dan lebih rendah di
Pegunungan Bintang dan Puncak Jaya (2% dan 2% untuk cysiticercosis dan
1,7% dan 10,7% untuk taeniasis). Data ini menunjukkan prevalensi
cysticercosis dan taeniasis tidak berubah dari yang pernah dilaporkan
hampir 35 tahun yang lalu pada awal epidemi cysticercosis dan taeniasis di
Papua.7
Penelitian IPTEK di luar negeri:
Diagnosa dengan menggunakan EITB (Enzyme-linked Immunoelectro
Transfer Blot) untuk mendeteksi antibodi taeniasis dan cysticercosis.
Merupakan alat skrining yang paling praktis digunakan dalam suatu
populasi, dan cukup spesifik. Dalam evaluasi klinik spesifisitasi EITB 100%,
sedangkan sensitifitas untuk mendeteksi kasus dengan multiple intracranial
cysticerci 90-100%. Namun EITB hanya menunjukkan 65% sensitivitas pada
penderita dengan single intracranial cyst (72% untuk lesi yang sedang
tumbuh dan 40% untuk kista yang sudah terkalsifikasi). EITB seronegatif
dapat berarti adanya single cyst atau penyakit yang sudah tidak aktif lagi
tetapi mempunyai sisa lesi di otak. Seringkali ditemukan juga EITB
seropositif yang tidak bergejala, sering diinterpretasi sebagai infeksi
subklinik. Pada beberapa kasus dapat berarti individu sudah pernah
terekspos T. solium dan berhasil mengembangkan kekebalan tubuh.11, 12

128

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 5.4.1. Analisis Gap Taeniasis-Cysticercosis


No

Temuan

Program
Tidak ada
program
pengendalian

Saran
Kejelasan program di salah satu
subdit penyakit menular

1.

Tidak ada/data terbatas

2.

Tidak ada pedoman


penanganan penyakit

Pedoman/juknis program
pengendalian

3.

Lingkaran penularan manusia


dan binatang peliharaan

Kerjasama lintas sector

4.

Tenaga lapangan dan


laboratorium tidak terlatih

Pelatihan dan penyegaran latihan


untuk tenaga lapangan dan
laboratorium

5.

Alat diagnosis

Fasilitas laboratorium (mikroskop)

Kaitan budaya dan taeniasiscysticercosis

Penelitian hubungan budaya dan


taeniasis-cysticercosis

129

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

5.5.

POLICY OPTION DAN PENELITIAN


Tabel 5.5.1. Policy Option Taeniasis-Cysticercosis

Masalah
Program
pengendalian

Data

Nilai ekonomi
hewan
peliharaan
Manajemen
terpadu
Rantai
penularan
penyakit
Sosio
kultural
(cara
memasak)
Kerjasama
lintas sektor
PHBS

130

Penanganan
Integrasi
dengan program
kecacingan
lainnya
Pengembangan
sistem
pencatatan dan
pelaporan
Alat diagnostik
dan obat
tersedia di
daerah endemik
Komitmen
Pemerintah
Daerah
Koordinasi lintas
sektor

Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Maintenance

Program dengan
status dan juknis
yang jelas

Program terpadu
eradikasi kecacingan

Sistem pencatatan
dan pelaporan baku
Alat diagnostik baku
dan obat tersedia di
seluruh Indonesia

Surveilans
Monev

Peraturan Daerah
untuk inspeksi
daging sebelum
dikonsumsi
Program lintas
sektor:
Pengobatan
simultan manusia
dan hewan
peliharaan
Ketersediaan
obat

Laporan rutin
perkembangan
penyakit

Jejaring dan
komitmen lintas
sektor
Peyuluhan dan
edukasi
kelompok
berisiko

Rapat koordinasi
berkala dan
terjadwal lintas
sektor (Dinas
Kesehatan, Dinas
Peternakan, Dinas
Pertanian, Dinas
Pendidikan)
mengevaluasi
program lintas
sektor

Penelitian

Riskesdas berbasis
penyakit

Riset alat/
metode edukasi
Riset budaya

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Daftar Pustaka
1. Sandjaja B. Parasitologi Kedokteran, Helmintologi
Kedokteran, Buku 2. Prestasi Pustaka, Cetakan
Pertama, 2007.
2. Margono SS, Subahar R, Hamid A, Wandra T, Sudewi
SSR, Sutisna P, Ito A. Cysticercosis in Indonesia:
Epidemiological aspects. Southeast Asian J. Trop Med
Public Health, Vol 32 (Suppl 2), 2001.
3. Wandra T, Ito A, Yamasaki H, Suroso T, Margono SS.
Emerging Infecious Diseases. Vol.9, No.7, July 2003.
4. Soejoedono RR. Status Zoonosis di Indonesia.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.
5. Suhabar R, Hamid A, Purba W, Widarso, Ito A,
Margono SS. Taeniasis/Sistiserkosis Di Antara
Anggota Keluarga Di Beberapa Desa, Kabupaten
Jayawijaya, Papua.
6. Estuningsih SE. Taeniasis dan Sistiserkosis
Merupakan Penyakit Zoonosis Parasiter. Wartazoa
Vol.19 No 2, 2009.
7. Salim L, Ang A, Handali S, et al. Seroepidemiologic
Survey of Cysticercosis-Taeniasis in Four Central
Highland
Districts
of
Papua,
Indonesia.
AmJ.Trop.Med.Hyg., 80(3), 2009, pp.384-388

8. Purba W, Miko TYW, Ito A, Widarto HS, Hamid A,


Subahar R, Margono SS. Faktor-faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Sistiserkosis Pada
Penduduk
Kecamatan
Wamena,
Kabupaten
Jayawijaya, Propinsi Papua Tahun 2002. Makara,
Kesehatan, Vol.7, No.2, Desember 2003.
9. Neva FA, Brown HW. Basic Clinical Parasitology.
Appleton & Lange. Norwalk, Connecticut. 1994
Garcia LS. Diagnostic Medical Parasitology. ASM
Press, Washington DC. 2001.
10. Garcia LS. Diagnostic Medical Parasitology. ASM
Press, Washington DC. 2001
11. Bern C, Garcia HH, Evans C, Gonzales AE, Verastegui
M, Tsang VCW, Gilman RH. Magnitude of the Disease
Burden from Neurocysticercosis in a Developing
Country. Clinical Infectious Diseases, 1999;29:1203-9
12. Tsang VC, Brand JA, Boyer AE. An enzyme-linked
Immunoelectrotransfer Blot Assay and Glycoprotein
Antigens For Diagnosing Human Cysticercosis
(Taeniasolium). J Infect Dis 1989;159:50-9

131

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

132

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB
SKABIES

Armaji Kamaludi Syarif

6.1.

PENDAHULUAN
Skabies adalah penyakit pada epidermis kulit yang disebabkan oleh
tungau sarcoptes scabei var hominis.1 Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan
umumnya kejadian tertinggi ditemukan di negara-negara dengan cuaca tropis.2
Sekitar 300 juta orang di dunia terinfeksi tungau skabies yang tersebar di
berbagai level status ekonomi.1, 3, 4 Di Indonesia penyakit ini dikenal sejak lama,
namun data prevalensi paling awal penyakit ini di puskesmas baru tercatat
pada tahun 1986.5,6 Penyakit ini dapat menyerang dimana saja dan
menghabiskan dana yang tidak sedikit.7 Walaupun skabies tidak berakibat fatal
tetapi bisa mengakibatkan komplikasi ke jantung dan ginjal serta pandemi.
Penyakit ini tidak termasuk dalam kategori penyakit kulit alergi.5
Kejadian penyakit ini berhubungan dengan tingkat kebersihan dan kondisi
sanitasi yang buruk, serta lebih cenderung terjadi di daerah dengan kepadatan
penduduk tinggi.8 Stigma sosial terjadi pada beberapa tempat sehingga
membuat pasien ragu-ragu untuk mencari pengobatan.3 Kadang-kadang
skabies juga dianggap bukan penyakit yang harus dilaporkan oleh pihak
berwenang, sehingga data-data tentang penyakit ini sulit didapatkan.3

133

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

6.2.

MASALAH SKABIES DI INDONESIA

6.2.1. Etiologi
Tungau skabies berukuran diameter 0,3 mm serta memiiki empat pasang
kaki, sehingga sulit terlihat dengan mata telanjang. Tungau tidak dapat terbang
atau melompat, hidup dengan siklus 30 hari di epidermis. Tungau betina
membuat terowongan ke dalam stratum corneum dalam waktu 20 menit dan
meletakkan 3 telur perhari. Telur-telur menetas dalam jangka waktu 4 hari,
dan larva bermigrasi ke permukaan kulit kemudian menjadi dewasa. Setelah
2 minggu, tungau jantan dan betina melakukan kopulasi, setelah itu tungau
betina yang mempunyai telur membuat terowongan kembali ke stratum
corneum, bersamaan dengan itu tungau jantan jatuh dari kulit dan mati.
Jumlah rata-rata tungau di inang/host rata-rata kurang dari 20, kecuali pada
crusted scabies (sebelumnya dikenal sebagai norwegian scabies), dimana
inang dapat menampung lebih dari 1 juta tungau. Orang dengan human
immunodeficiency virus, orang lanjut usia, dan orang dengan pengobatan yang
menekan sistem imun berisiko terkena crusted scabies, walaupun penyakit
jenis ini juga pernah dilaporkan pada penduduk asli australia dengan sistem
imun yang baik.1

6.2.2. Pemetaan
Kejadian skabies di Indonesia masih ada hingga saat ini, dan jumlahnya
sulit diperkirakan.

Data

yang

dikumpulkan

di

fasilitas

kesehatan

menunjukkan bahwa penyakit ini masih menjadi salah satu sebab yang
membawa seorang penderita mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan.
Beberapa fasilitas kesehatan yang menjadi sumber data berada di kota besar.
Adanya penyakit ini di kota besar dapat dicermati sebagai risiko penyebaran
yang potensial karena kota besar mempunyai kecenderungan padat
populasi.9,10

134

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Setiap tahun kasus skabies dilaporkan dari Propinsi Kalimantan Selatan,


walaupun skabies tidak termasuk sepuluh penyakit terbanyak. Hal ini
menunjukkan kecenderungan persebaran penyakit ini cukup luas, dan tidak
menutup kemungkinan penyakit ini juga ditemukan di pulau-pulau lain di
seluruh Indonesia.5

6.2.3. Penularan
Penyebaran infeksi skabies dapat terjadi karena kontak erat dengan
penderita maupun dengan barang tempat menempelnya tungau skabies
seperti pada selimut, sarung bantal, pakaian, karpet, sofa dan tempat-tempat
yang sering bersentuhan langsung dengan kulit.1, 7, 11-13
Jumlah anggota keluarga dewasa yang mengalami buta huruf adalah
prediktor yang cukup baik untuk memperkirakan adanya skabies, dan menjadi
faktor risiko yang signifikan. Buta huruf biasanya sejalan dengan status sosial
ekonomi yang rendah dan kondisi kehidupan yang buruk.14
Tungau ektoparasit mampu bertahan jauh dari tuan rumah selama 24-36
jam pada suhu 21,80 C dengan kelembaban 40-80% dan tetap infektif. Pada
suhu yang lebih rendah dan kelembaban lebih tinggi, tungau dapat tetap
infektif selama 1 minggu walaupun sudah diluar tubuh manusia dan mampu
menembus kulit pada suhu di atas 200C.

6.2.4. Diagnosis
Diagnosis skabies secara cepat dan tepat tidak mudah untuk dilakukan.
Gejala timbul 3-4 minggu setelah infeksi.15 Gejala skabies dapat menyerupai
banyak penyakit lain, sehingga membuat diagnosis sulit ditegakkan.15 Tekhnik
diagnosis yang bervariasi membuat keakuratan nya juga bervariasi, serta sulit
untuk membuat teknik baku.14, 16, 17

135

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Diagnosis klinis skabies ditegakkan dengan menemukan liang khas


skabies pada kulit, khususnya pada anak-anak dengan defisiensi imunologis dan
orang tua. Periode inkubasi, jumlah tungau, dan intensitas gatal bervariasi.
Liang khas tidak selalu jelas pada kasus-kasus khusus. Infeksi pada individu
seringkali menyebar pada seluruh anggota keluarga. Papul gatal, papul dengan
krusta, atau lesi vesikular menjadi tanda-tanda ke arah skabies. Individu yang
diduga mengidap skabies apabila terdapat satu atau lebih lesi khas yang
bertahan lebih dari dua minggu yaitu apabila gatal memberat pada malam hari,
atau apabila setidaknya salau satu dari anggota keluarga mempunyai lesi yang
sama. Pada kebanyakan kasus, deteksi mikroskopis tungau, telur atau feses
tidak dilakukan.3
Setelah terkena paparan dari tungau skabies, rasa gatal dan kemerahan
dapat terjadi setelah 6 sampai 8 minggu. Paparan berikutnya terhadap tungau
mengakibatkan rasa gatal dan kemerahan dalam waktu beberapa hari,
kemungkinan karena sensitisasi sebelumnya dari tungau skabies. Rasa gatal
terasa berat dan biasanya memburuk pada malam hari. Erupsi kemerahan
terjadi pada badan dan menunjukkan reaksi hipersensitifitas yang disebabkan
oleh antigen tungau.1
Lesi terlihat merah, bersisik, kadang-kadang papul dengan krusta
(eksoriasi) dan nodul yang biasanya terjadi di sela-sela jari, disamping jari,
pergelangan tangan bagian depan dan bagian lateral telapak tangan, siku,
ketiak, skrotum, penis, labia, dan areola pada wanita. Erupsi kemerahan dapat
terjadi pada badan dan menunjukkan reaksi hipersensitifitas yang disebabkan
oleh antigen tungau. Lesi patognomonik adalah terowongan, berbentuk tipis,
seperti benang, dengan struktur linear dengan panjang 1 sampai 10 mm, dan
terowongan yang disebabkan oleh pergerakan tungau di stratum corneum.
Terowongan dapat terlihat dengan jelas di sela-sela jari, pergelangan tangan,
atau siku. Namun, dapat sulit ditemukan pada awal-awal kasus, atau setelah
pasien secara luas mengalami lesi eksoriasi.1

136

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Identifikasi dari terowongan dapat dibantu dengan tinta penanda


berwarna hitam di area yang terkena penyakit. Setelah tinta tersapu oleh
alkohol, terowongan pada kulit akan terlihat lebih gelap dari kulit yang lain
karena ada penumpukan tinta di terowongan.1
Diagnosis pasti dibuat dengan indentifikasi mikroskopis dari tungau
skabies, telur atau tinjanya (scybala). Hal ini dapat diakukan dengan
menggunakan satu tetes minyak mineral di atas terowongan dan mengiris
sepanjang terowongan tersebut secara longitudinal menggunakan scalpel no
15 dan jangan sampai berdarah. Irisan kemudian diletakkan di slide dan
diperiksa dengan mikroskop.1
Metode diagnostik lain yaitu dengan dermoscopy yang digunakan untuk
memeriksa tungau in vivo; polymerase chain reaction base method dengan
menggunakan DNA tungau dari sisik pada kulit; scabioscopy; biopsi
cyanoacrylate superfisial di tempat pada kulit yang dicurigai; dan analisis ikatan
IgE dengan suatu allergen tungau skabies yaitu rSar s 14.3.1, 11,18, 19

6.2.5. Pengobatan
Obat skabies yang tersedia di sarana kesehatan di Indonesia adalah salep
2-4. Obat ini aman untuk anak kurang dari 2 bulan namun salep ini harus
dioleskan di seluruh badan dan tidak boleh dicuci selama 3x24 jam.1 Cara
pengobatan ini sangat tidak nyaman dan berpotensi untuk tidak tuntas.
Permethrin adalah obat pilihan untuk penyakit ini, aman digunakan untuk
anak berusia lebih dari 2 bulan. Apabila ada kecurigaan resistensi, pengobatan
diganti dengan menggunakan benzyl benzoate. Obat ini masih relatif mahal
harganya sehingga kurang menjangkau daerah-daerah dengan ekonomi sulit.

137

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

6.2.6. Prognosis
Penyakit ini tidak mengancam nyawa namun memiliki potensi membuat
keadaan tidak nyaman bahkan depresi. Pada anak-anak dapat menjadi awal
bagi komplikasi yang lebih serius seperti glomerulonefritis paska streptokokus
dan demam rematik akut. Bakteri streptokokus group A adalah yang paling
sering menjadi penyebab komplikasi, diikuti oleh Staphylococus aureus.4, 13
Pada anak berumur kurang dari dua tahun, wajah dan kulit kepala dapat
terkena, sedangkan pada orang dewasa hal ini jarang terjadi. Kemerahan
sampai nodul dengan gatal hebat di ketiak dan area di samping perut dan pada
skrotum sering terjadi pada anak anak. Kejadian ini diduga karena reaksi
hipersensitifitas oleh tungau. Nodul-nodul ini dapat bertahan sampai beberapa
minggu setelah eradikasi yang sukses terhadap infeksi tungau. Vesikel dan bulla
dapat terjadi, khusunya pada telapak tangan dan jari-jari.1
Sering sekali penderita skabies anak terjangkit Acrupustulosis Infantil (AI),
yaitu gangguan vesicopustular berulang dan sembuh sendiri yang menjangkiti
anak-anak. AI umumnya terjadi pada anak-anak yang diadopsi dari panti
asuhan di luar negeri.20
Pada skabies dengan krusta, plak hiperkeratotik terjadi secara difus pada
daerah telapak tangan dan telapak kaki, dengan penebalan dan distrophy dari
kuku. Kulit biasanya terlihat kering. Rasa gatal bervariasi dan bisa tidak gatal
pada bentuk penyakit ini. Lebih dari satu juta tungau hidup di kulit dan pasien
yang sangat terpapar ini dapat menjadi sumber wabah pada fasilitas
kesehatan.1

6.2.7. Pencegahan
Individu dengan kontak erat harus diobati dengan skabisid topikal.
Pengobatan diarahkan untuk mencegah penyebaran dari skabies, karena

138

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

individu mungkin saja menampung tungau skabies selama periode inkubasi


yang simptomatik.
Pencegahan re-infeksi dari objek-objek yang mungkin menularkan, kasur,
seprai, sarung bantal, handuk dan baju-baju yang dipakai selama 5 hari terakhir
harus dicuci dan dikeringkan dengan siklus panas, atau dry clean. Tungau dapat
hidup tiga hari di luar di kulit, oleh sebab itu karpet dan pelapis dinding harus di
vacum cleaning.1
Pasien skabies atau yang dicurigai skabies diisolasi di kamar perawatan
sampai 8 jam setelah pengobatan skabies dan desinfeksi rutin selesai. Prosedur
isolasi meliputi penggunaan sarung tangan dan mencuci tangan, gaun
bertangan panjang dan penutup sepatu sewaktu memasuki kamar isolasi.11
Desinfeksi dan pembersihan kamar yang ditempati pasien dilakukan
selama terapi dan pada saat isolasi berakhir (chloramine 5%). Perabotan yang
mengandung tekstil dan barang-barang pribadi yang tidak dapat dicuci
diletakkan di freezer (-20o C) selama 72 jam, atau di dalam kantong plastik
dengan suhu kamar selama 10 hari. Perabotan, kasur, bantal dan lain-lain yang
tidak dapat dicuci langsung diletakkan di dalam freezer. Cucian yang terinfeksi
dimasukkan dalam kantong dan dicuci dengan suhu minimum 50 oC selama
10 menit.11
Staff rumah sakit yang mengalami gejala yang dicurigai skabies diizinkan
untuk kembali setelah pengobatan, namun harus menggunakan sarung tangan
dan mencuci tangan dengan metode khusus selama tiga hari pertama. rumah
dari staf dan keluarga nya yang dicurigai atau didiagnosis skabies harus diterapi
seperti di atas.11
Vaksin untuk skabies belum tersedia, namun protein rekombinan dari
Sarcoptes scabei sedang dikembangkan dan diujicobakan pada kelinci untuk
menjadi vaksin. Walaupun masih belum memuaskan dan belum bisa diberikan

139

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

kepada manusia, pengembangan vaksin tersebut merupakan harapan baru


untuk eliminasi skabies di masa yang akan datang.21

6.3.

PROGRAM
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mempunyai salah satu unsur
pelaksana pegendalian yaitu Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL) yang bertugas merumuskan serta melaksanakan
kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pengendalian penyakit dan
penyehatan

lingkungan.

P2PL

belum

mempunyai

program

untuk

menanggulangi skabies di Indonesia. Program belum dibuat karena berbagai


keadaan yang berkaitan dengan keadaan terkini yaitu kendala yang terjadi di
lapangan, terbatasnya data, dan kurangnya prioritas. Walaupun demikian
tersedia buku pedoman pengobatan di Puskesmas oleh Departemen Kesehatan
(Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan) pada tahun 2007.
Salah satu isi di dalam pedoman tersebut adalah tentang diagnosis dan terapi
skabies (3 halaman, 208-210). Buku pedoman khusus untuk penanggulangan
penyakit ini tidak tersedia.
WHO belum merekomendasikan suatu bentuk pengendalian penyakit
skabies. Berbagai negara mempunyai program pengendalian yang disesuaikan
dengan keadaan masing-masing.

6.4.

ANALISIS GAP
Besaran masalah tentang skabies di Indonesia tidak dapat diketahui
dengan tepat karena terbatasnya data tentang penyakit ini. Data-data yang ada
diperoleh dari beberapa fasilitas kesehatan dan dari studi yang dilakukan di
tepat-tempat dengan sanitasi yang buruk.

140

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Prevalensi skabies di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986


adalah 4,6%-12,9%, dan menduduki urutan ketiga dari dua belas penyakit kulit
tersering.5,6 Di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 1995-98 tercatat penderita
skabies sebanyak 1,6%.5 Data kesakitan skabies pada tahun 2008 di tingkat
puskesmas se-kota Semarang adalah 1100 kasus, 14,7% diantaranya terjadi
pada balita.9
Data dari Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) tahun
2001 melaporkan dari 9 rumah sakit di 7 kota besar di Indonesia, jumlah
penderita skabies terbanyak didapatkan Jakarta yaitu 335 kasus di 3 rumah
sakit.9
Pada tahun 1982 di suatu pesantren yang padat penghuninya (7 orang
dalam satu ruangan berukuran < 4 m2 / jiwa) di daerah Pasuruan, Jawa Timur,
didapatkan frekuensi penderita skabies 78.7% terdiri dari 72.7 % pada
kelompok yang higienenya kurang dan 3.8 % pada kelompok yang higienenya
baik.5 Pada tahun 1991 penderita skabies di panti asuhan di kotamadya
Semarang sebanyak 16,06%. Pada tahun 1998 angka kejadian skabies di
kalangan santri pondok pesantren di desa Sudimoro, Kecamatan Turen,
Kabupaten Malang sangat tinggi yaitu 89,9%.6 Pada tahun 2002 di suatu
pesantren di Jakarta terdapat frekuensi sedikit lebih rendah yaitu 66,7%.
Penelitian lain pada tahun 2004 menunjukkan prevalensi penyakit skabies pada
santri pondok pesantren Kabupaten Lamongan, Propinsi Jawa Timur sebesar
64,20%. Prevalensi penyakit skabies tahun 2008 di berbagai pemukiman kumuh
(TPA, rumah susun, pondok pesantren) di Semarang mencapai 5,80%.10
Prioritas yang kurang terhadap skabies mengakibatkan penyakit ini tidak
diperhatikan oleh petugas di sarana kesehatan yang tersebar di seluruh daerah.
Walaupun kemungkinan ada data yang ditulis di lembar rekam medis, data
tersebut tidak dikumpulkan maupun dilaporkan dengan baik.

141

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gejala yang baru timbul setelah 3-4 minggu paska infeksi menyulitkan
identifikasi dini penyakit ini. Penegakan diagnosis dengan gejala klinis di
lapangan kurang ketepatannya.
Pemberian terapi yang tidak nyaman (salep 2-4 yang tidak boleh dicuci
dari kulit selama 3x24 jam) membuat sulit untuk mencapai kesembuhan yang
optimal.
Program dan panduan untuk menanggulangi skabies tidak ada. Buku
pedoman, pelatihan, budget, dan logistik juga tidak ada. Buku pedoman
pengobatan di puskesmas yang direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang juga mencantumkan pedoman
pengobatan skabies membantu pengendalian penyakit ini. Bagian buku yang
membahas penyakit tersebut kemungkinan luput diperhatikan oleh petugas
pelaksana di Puskesmas.
Kendala lain di lapangan adalah masih belum imbangnya beban kerja
dengan ketersediaan tenaga petugas yang kompeten melaksanakan pekerjaan.
Program yang banyak sering hanya dikerjakan oleh satu orang petugas di
puskesmas. Keadaan ini mengakibatkan tidak maksimalnya hasil dari program
tersebut.
Penerapan otonomi daerah yang belum mengakomodasi neglected
disease, berimbas pada sulitnya kerjasama di tempat yang membutuhkan.
Kewenangan daerah yang sangat luas membuat kebijakan kesehatan di daerah
disesuaikan dengan program kerja pemerintah daerah. Kebijakan baru ini
dimaksudkan untuk kemajuan daerah. Kebijakan tersebut masih perlu
diperbaiki dan ditingkatkan. Saat ini, petugas pelaksana kegiatan menjadi sulit
untuk dimonitor oleh P2PL dengan adanya penerapan kebijakan tersebut.
Prioritas yang kurang juga membawa dampak alokasi dana untuk
program pengendalian neglected disease. Dana yang terbatas harus
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan kesehatan masyarakat.

142

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Oleh sebab itu, penyakit-penyakit yang lebih berat dan dapat dicegah mungkin
menjadi lebih prioritas sebagian besar daerah.
Pada masa-masa yang akan datang, penyakit-penyakit yang termasuk
dalam neglected disease ini harus menjadi perhatian. Penyakit-penyakit ini
berpotensi membuat ketidaknyamanan, kecacatan, dan bahkan dampak sosial
ekonomi yang besar.

Tabel 6.4.1. Analisis Gap Skabies


No

Temuan

Program

Saran

1.

Kasus masih ada


dan belum
dipetakan
(kurangnya data
epidemiologi)

Tidak ada

Diadakan/diintegrasikan program
pengendalian penyakit Skabies &
Pemberdayaan Masyarakat untuk
mengendalikan penyakit ini

2.

Terapi dengan
obat yang tersedia
dengan harga
murah (salep 2-4)
tidak nyaman

Tidak ada

Pengadaan obat pilihan pertama


(permetherin) yang generik apabila
memungkinkan

3.

Diagnosis yang
kurang akurat

Tidak ada

Pendidikan dan Pelatihan terhadap


petugas puskesmas

4.

Tidak ada buku


pedoman

Tidak ada

Buku pedoman penanggulangan


penyakit skabies

6.5.

POLICY OPTION
Tidak adanya kebijakan dari lembaga pembuat program, prioritas yang
kurang, serta dana yang tidak memadai membuat pilihan semakin terbatas.
Ketiadaan sarana dan prasarana, rendahnya pendidikan, dan sulitnya akses ke
tempat-tempat dengan kemungkinan tinggi menderita penyakit ini membuat
kebijakan yang sudah baik pun menjadi sulit diwujudkan. Otonomi daerah
dapat menjadi kendala dalam monitoring dan advokasi di lapangan.

143

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Walaupun pendidikan dan pelatihan sudah dilaksanakan dengan baik,


buku pedoman sudah ada di puskesmas, dan buku pelaporan untuk monitoring
tersedia, apabila program tersebut terlalu banyak dan hanya dilaksanakan oleh
petugas yang jumlahnya terbatas maka hasil yang baik sulit untuk diperoleh.
Pilihan kebijakan dapat diambil dengan mempertimbangkan daya ungkit
paling besar dalam meningkatkan derajat kesehatan. Kemajuan terbaru di
bidang teknologi tentunya sangat membantu untuk penegakan diagnosis,
pemberian terapi, dan pencegahan penyakit, namun dana yang diperlukan juga
tidak sedikit. Cara-cara baru penegakan diagnosis skabies masih mengandalkan
keahlian para dokter maupun praktisi dalam bidang kulit lainnya, tentunya
memerlukan pakar, dan biaya yang cukup besar. Terapi pilihan pun ternyata
tidak murah, sedangkan pencegahan dengan menggunakan vaksin masih dalam
tahap uji coba dan belum pernah digunakan pada manusia.
Kebijakan hollistik yang ideal diperlukan untuk eradikasi penyakit ini.
Pada keadaan saat ini, usaha pengendalian yang efektif adalah hal yang realistis
untuk dicapai. Kebijakan yang dijalankan tentunya bersinergi dengan upaya
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang menyeluruh tidak hanya dari
Kementerian Kesehatan, namun didukung oleh semua pihak-pihak terkait. Pola
hidup bersih dan sehat adalah sesuatu sangat ampuh untuk memberantas
penyakit ini. Hal ini tidak bisa tercapai dengan status ekonomi yang buruk dan
pendidikan yang rendah.
Pendekatan positive deviance yang pernah dicoba oleh Jerry Sternin di
Vietnam perlu dipertimbangkan. Pendekatan ini lebih memfokuskan kepada
hal-hal apa saja yang sudah terbukti berhasil di daerah masing-masing untuk
mengatasi masalah kesehatan yang ada. Bahkan dengan pendekatan ini
kemungkinan didapatkan pengetahuan baru yang lebih realistis untuk
menangani penyakit skabies di daerah dengan ekonomi sulit di Indonesia.
Pendekatan ini dapat diteliti lebih lanjut untuk dikembangkan apabila memang
bisa diterapkan.

144

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Masyarakat diupayakan dapat lebih menghayati pentingnya pencegahan


dan penanggulangan penyakit ini dengan melakukan diskusi antara anggota
masyarakatnya sendiri. Anggota masyarakat termasuk individu yang telah
sembuh dari penyakit. Suasana problem solving diciptakan di masyarakat
setempat dan tidak terlalu bergantung dengan petugas puskesmas.
Peningkatan surveilans dan peran serta aktif masyarakat dalam
penemuan kasus penyakit in sangat dibutuhkan, sehingga bisa dilakukan
pendataan terhadap penderita penyakit ini dan dapat dilakukan pengobatan
selektif. Pemberdayaan masyarakat dapat memudahkan pengendalian serta
mempercepat usaha eliminasi bahkan eradikasi penyakit ini. Hal ini tentu dapat
dicapai dengan kerja sama yang baik antara anggota masyarakat dan petugas
kesehatan.
Alat diagnostik yang cepat dan akurat akan sangat membantu dalam
penemuan kasus penyakit ini. Penelitian mengenai alat diagnostik dibutuhkan
untuk penanganan kasus yang lebih efektif dan efisien.
Regulasi yang baik dan benar, SDM yang mumpuni, budget yang
memadai, fasilitas yang tepat, pedoman yang jelas namun ringkas, dan obat
yang adekuat tentunya mutlak dibutuhkan. Kegiatan yang berkesinambungan,
pelatihan yang tepat sasaran, dan monitoring serta evaluasi rutin tentunya
akan membantu pelaksanaan program pemberantasan penyakit skabies.
Media mempunyai pengaruh luas dan sangat berperan dalam
mempengaruhi pola pikir masyarakat. Keadaan ini dapat digunakan untuk
usaha promotif dan preventif dalam bidang kesehatan dengan biaya yang lebih
rendah dan dampak yang lebih besar. Salah satu cara adalah menyelipkan
pesan-pesan kesehatan yang cukup eksplisit dengan cara yang sangat halus dan
implisit sehingga dapat mencapai lapisan masyarakat walaupun di daerah
terpencil dengan biaya yang jauh lebih rendah.

145

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Kerjasama tentunya menjadi kunci dalam hal ini, dimana Kementerian


Kesehatan bisa berperan aktif dan bekerjasama dengan Kementerian
Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Keuangan, dan pihak swasta yang berkepentingan. Kerjasama
tersebut tentu sangat sejalan dengan salah satu misi kementerian kesehatan
yaitu Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani dan juga sesuai dengan
salah satu strategi Kementerian Kesehatan dalam mewujudkan misi itu yaitu
Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani
dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global.

Tabel 6.5.1. Policy Option Skabies

Masalah

Penanganan

Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Maintenance

Penelitian

Data
epidemiologi
dan penyakit
terbatas

Pendataan

Peningkatan
Surveilans & Peran
Serta Aktif
Masyarakat dalam
penemuan kasus
pengobatan selektif

Surveilans

Operasional Riset

Diagnosis
kurang akurat

Pelatihan
mikroskopis

Peningkatan
kompetensi
pemeriksaan
mikroskopis

Refresh Training

Alat diagnostik
alternatiif (Uji RDT)

Terapi dengan
obat yang
tersedia dengan
harga murah
(salep 2-4) tidak
nyaman

Surveilans aktif
& pengobatan
selektif

Peningkatan
kompetensi
diagnostik &
pengobatan petugas
kesehatan

Refresh Training

Uji klinik obat


alernatif

Tidak tersedia
buku pedoman

Pengadaan
buku pedoman

Peningkatan
pemahaman buku
pedoman

Penyediaan dan
pengembangan buku
pedoman secara
berkala (bisa dengan
softcopy)

Operasional Riset

146

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Daftar Pustaka
1. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies, Other
Mites, and Pediculosis. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
Seventh ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 2029.

11. Andersen BM, Haugen H, Rasch M, Heldal Haugen A,


Tageson A. Outbreak of scabies in Norwegian nursing
homes and home care patients: control and
prevention. The Journal of hospital infection.
2000;45(2):160-4. Epub 2000/06/22.

2. Hay RJ, Steer AC, Engelman D, Walton S. Scabies in


the developing worldits prevalence, complications,
and management. Clinical microbiology and infection
: the official publication of the European Society of
Clinical Microbiology and Infectious Diseases.
2012;18(4):313-23.

12. Ariza L, Walter B, Worth C, Brockmann S, Weber ML,


Feldmeier H. Investigation of a scabies outbreak in a
kindergarten in Constance, Germany. European
journal of clinical microbiology & infectious diseases :
official publication of the European Society of Clinical
Microbiology. 2012. Epub 2012/10/12.

3. Amro A, Hamarsheh O. Epidemiology of scabies in


the West Bank, Palestinian Territories (Occupied).
International journal of infectious diseases : IJID :
official publication of the International Society for
Infectious Diseases. 2012;16(2):e117-20. Epub
2011/12/07.

13. Talukder K, Talukder MQ, Farooque MG, Khairul M,


Sharmin F, Jerin I, et al. Controlling scabies in
madrasahs (Islamic religious schools) in Bangladesh.
Public health. 2012. Epub 2012/10/16.

4. Steer AC, Jenney AW, Kado J, Batzloff MR, La


Vincente S, Waqatakirewa L, et al. High burden of
impetigo and scabies in a tropical country. PLoS
neglected tropical diseases. 2009;3(6):e467. Epub
2009/06/24.

14. Feldmeier H, Jackson A, Ariza L, Calheiros CM, Soares


Vde L, Oliveira FA, et al. The epidemiology of scabies
in an impoverished community in rural Brazil:
presence and severity of disease are associated with
poor living conditions and illiteracy. Journal of the
American Academy of Dermatology. 2009;60(3):43643. Epub 2008/12/10.

5. Audhah NA. Faktor Risiko Skabies pada Siswa Pondok


Pesantren [Tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada 2009.

15. Hengge UR, Currie BJ, Jger G, Lupi O, Schwartz RA.


Scabies: a ubiquitous neglected skin disease. The
Lancet infectious diseases. 2006;6(12):769-79.

6. Chandra EN. Uji Banding Efektifitas krim Permetrin


5% dan Salep 2-4 pada Pengobatan Skabies [Karya
Tulis]. Semarang: Universitas Diponegoro 2004.

16. Dupuy A, Dehen L, Bourrat E, Lacroix C,


Benderdouche M, Dubertret L, et al. Accuracy of
standard dermoscopy for diagnosing scabies. Journal
of the American Academy of Dermatology.
1
2007;56 :53-62. Epub 2006/12/28.

7. Buehlmann M, Beltraminelli H, Strub C, Bircher A,


Jordan X, Battegay M, et al. Scabies outbreak in an
intensive care unit with 1,659 exposed individuals-key factors for controlling the outbreak. Infection
control and hospital epidemiology : the official
journal of the Society of Hospital Epidemiologists of
America. 2009;30(4):354-60. Epub 2009/03/04.
8. Buczek A, Pabis B, Bartosik K, Stanislawek IM, Salata
M, Pabis A. Epidemiological study of scabies in
different environmental conditions in central poland.
Annals of epidemiology. 2006;16(6):423-8. Epub
2005/10/04.
9. Mansyur M, Wibowo AA, Marie A, Munandar A,
Abdillah A, Ramadora AF. Pendekatan Kedokteran
Keluarga pada Penatalaksanaan Skabies Anak Usia
Pra-Sekolah. Majalah Kedokteran Indonesia. 2007
Februari 2007:63-7.
10. Azizah IN, Setiyowati W. Hubungan Tingkat
Pengetahuan Ibu Pemulung tentang Personal
Hygiene dengan Kejadian Skabies pada Balita di
Tempat Pembuangan Akhir Kota Semarang. Dinamika
1
Kebidanan. 2011;1 .

17. Walter B, Heukelbach J, Fengler G, Worth C, Hengge


U, Feldmeier H. Comparison of dermoscopy, skin
scraping, and the adhesive tape test for the diagnosis
of scabies in a resource-poor setting. Archives of
dermatology. 2011;147(4):468-73. Epub 2011/04/13.
18. Neynaber S, Muehlstaedt M, Flaig MJ, Herzinger T.
Use of Superficial Cyanoacrylate Biopsy (SCAB) as an
alternative for mite identification in scabies. Archives
1
of dermatology. 2008;144 :114-5. Epub 2008/01/23.
19. Jayaraj R, Hales B, Viberg L, Pizzuto S, Holt D, Rolland
JM, et al. A diagnostic test for scabies: IgE specificity
for a recombinant allergen of Sarcoptes scabiei.
Diagnostic microbiology and infectious disease.
2011;71(4):403-7. Epub 2011/10/25.
20. Good LM, Good TJ, High WA. Infantile acropustulosis
in internationally adopted children. Journal of the
American Academy of Dermatology. 2011;65(4):76371. Epub 2011/06/03.
21. Zhang R, Quwu J, Wanpeng Z, Yongjun R, Xiang N,
Xuhang W, et al. Characterization and evaluation of a
Sarcoptes scabiei allergen as a candidate vaccine.
Parasites and Vectors. 2012;5(176).

147

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

148

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB
KUSTA

Retna Mustika Indah

7.1.

PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit infeksi yang berlangsung kronis, penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae. Kusta dapat menyerang saraf tepi, kulit dan saluran
pernapasan bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Nama lainnya adalah Lepra atau Morbus Hansen. Di bagian tenggara Amerika
Serikat, armadillo dapat membawa M. leprae, dan kontak dengan armadillo diyakini
sebagai sumber infeksi pada daerah ini. Namun di daerah lain, termasuk Indonesia
hal ini belum ditemukan
Kusta atau lepra telah dikenal sejak zaman peradaban kuno Cina, Mesir dan
India. Catatan pertama mengenai kusta ini ditemukan pada tahun 600 sebelum
masehi. Pada masa itu penderita kusta dikucilkan oleh komunitas maupun
keluarganya. Pencatatan kasus kusta di Indonesia dimulai sejak tahun 1970.
Walaupun pencatatan kasus kusta telah dimulai lebih dari 40 tahun yang lalu,
namun masalah kusta ini tidak pernah hilang dari Indonesia. Setiap tahunnya selalu
ditemukan adanya kasus baru. Pada tahun 2000, Indonesia sudah mencapai
eliminasi dengan prevalensi kusta menurun sekitar 90 persen. Hal ini disebabkan
pasien yang menyelesaikan pengobatan berhasil disembuhkan, tetapi hingga saat
ini kusta masih mejadi masalah kesehatan, ekonomi, maupun sosial. Prevalensi
kusta cenderung meningkat dari tahun ke tahunnya. Begitu juga dengan angka
kecacatan tingkat 2. Sementara pada tahun 2015, ditargetkan penurunan angka
cacat tingkat 2 sebanyak 35% dari baseline pada tahun 2010.1,2

149

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

7.2.

MASALAH KUSTA DI INDONESIA

7.2.1. Etiologi
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang merupakan bakteri gram
positif, tahan asam, obligat, intraseluler, dan tidak bisa dikembangbiakan. 2

7.2.2. Epidemiologi
Di Indonesia, dalam 13 tahun terakhir (2000 2012), situasi penyakit kusta
tidak banyak mengalami perubahan. Penemuan kasus baru (case detection
rate/CDR) penyakit ini masih terus berlanjut, statis dan cenderung terlihat adanya
peningkatan prevalensi. Prevalensi merupakan jumlah kasus kusta terdaftar per
10.000 penduduk.
8,99
8,27

9,5
8,5

7,76
7,22 7,21

7,51

7,84

7,8

8,3
7,6 7,49

7,76
7,22

7,5
6,5
5,5

CDR

4,5

PREVALENSI

3,5
2,5
1,5

0,86 0,87 0,95 0,87 0,93 0,98 1,03 0,95 0,94 0,91 0,84 0,96 0,91

Gambar 7.2.2.1. CDR dan Prevalensi kusta di Indonesia


Tahun 2000-2012

150

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

0,5

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Case Detection Rate dan kecenderungan prevalensi kasus kusta di Indonesia


dapat dilihat pada Gambar 7.2.2.1 Dari gambar tersebut juga terlihat, bahwa
penyakit kusta masih merupakan masalah di Indonesia. 3,4 Indikator penting lainnya
adalah angka Cacat Tk. 2 yaitu jumlah kasus baru dengan cacat Tk.2 yang
ditemukan diantara kasus baru (Gambar 7.2.2.2).

11,20

10,11

10,71

9,56

8,62

8,61

8,74

8,63

8,01

7,70

8,83

8,38

10

10,50

12

Cacat
Tingkat 2
(%)

2
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Gambar 7.2.2.2 Angka Cacat Tingkat 2 di Indonesia tahun 2000-2012

7.2.3. Patogenesis
Mycobacterium leprae ditularkan melalui saluran pernafasan atau melalui
kontak fisik pada jaringan kulit yang rusak atau luka. Setelah masuk ke dalam
tubuh, bakteri tersebut akan bermigrasi ke jaringan saraf dan memasuki sel
schwan. Bakteri tersebut juga dapat ditemukan pada sel-sel makrofag, sel otot dan
endotel pembuluh darah. Setelah masuk ke dalam sel schwan/makrofag, bakteri
mulai memperbanyak diri secara perlahan di dalam sel. Kira-kira diperlukan waktu
sekitar 12-14 hari oleh 1 bakteri untuk membelah diri menjadi 2. Kemudian bakteri
tersebut akan keluar dari sel yang rusak dan mulai memasuki sel-sel yang masih
sehat. Sampai pada fase ini, sesorang yang terinfeksi masih belum menunjukkan

151

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

gejala dan tanda penyakit kusta. Patogenesitas bakteri ini rendah, sehingga hanya
pada sebagian kecil orang yang terinfeksi bakteri tersebut dapat berkembang
menjadi penyakit.4
Seiring dengan berkembangbiaknya bakteri, maka terjadi peningkatan
bacterial load di dalam tubuh, dan sistem imunologis akan mendeteksi adanya
infeksi. Pada fase ini manifestasi klinis dapat timbul gangguan saraf berupa
gangguan sensasi pada kulit. Jika hal ini tidak terdiagnosis atau diterapi sejak awal,
maka perkembangan selanjutnya tergantung dari daya tahan tubuh seseorang. Jika
sel imunitas pada tubuh manusia efektif dalam mengendalikan

infeksi dalam

tubuh, maka lesi yang timbul akan sembuh secara spontan atau menghasilkan jenis
kusta pauci-bacillary (PB). Jika sel imunitas tidak efektif dalam mengatasi infeksi,
maka akan terjadi penyebaran dan menghasilkan kusta multi-bacilary (MB) dengan
keterlibatan multi organ.2

7.2.4. Diagnosis dan Klasifikasi


WHO memperkenalkan klasifikasi pauci-bacillary (PB) dan multi-bacilary (MB)
yang digunakan secara luas dalam penentuan terapi pasien kusta. Selain klasifikasi
menurut WHO dikenal klasifikasi menurut Ridley-Jopling Classification, dengan
berdasarkan respon klinis dan imunologis.3 Pasien dengan tipe tuberculoid (TT)
mempunyai imunitas yang baik, dengan Cell mediated Immune response (CMI) yang
baik dan hanya terdapat sedikit lesi tanpa ada mikrobakteria. Pasien dengan tipe
lepromatosa (LL) anergik terhadap M. leprae dan mempunyai lesi yang multiple
dengan adanya mikrobakteria. Diantara dua klasifikasi ini terdapat tipe borderline,
dimana pasien tersebut mempunyai CMI, terdapat lesi yang multiple, dan imunitas
yang tidak stabil.7 Klasifikasi Ridley-Jopling berhubungan dengan reaksi kusta.

152

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gambar 7.2.4.1. Lima bentuk kusta berdasarkan klasifikasi Ridley-Jopling1


Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis kusta dimana
terjadi hipersensitivitas sistem kekebalan tubuh (respons seluler maupun humoral)
dengan akibat yang merugikan bagi penderita. Reaksi kusta yang timbul dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi saraf. Monitoring fungsi saraf secara
rutin pada pasien kusta diperlukan untuk pencegahan dini cacat kusta. Deteksi
reaksi kusta dilakukan pada setiap pemeriksaan pasien dan dilakukan dengan teliti.
Reaksi kusta diklasifikasikan sebagai tipe 1 (reversal reaction) atau tipe 2,
erythemanodosum leprosum (ENL).8 Pada penderita kusta yang tidak dilakukan
manajemen terapi dengan baik maka kemungkinan untuk menjadi sembuh atau
cacat sangat besar. Pada kasus kusta tipe borderline lepromatosa dan tipe
lepromatosa, dapat timbul ENL.2

7.2.5. Pengobatan
Perkembangan dalam pengobatan kusta menemukan babak baru dengan
ditemukannya dapson yang merupakan suatu terobosan dalam kusta, pada tahun
1940. Pengobatan kusta dengan menggunakan dapson memerlukan waktu
bertahun-tahun atau mungkin seumur hidup. Pada tahun 60-an dilaporkan kasuskasus resistensi terhadap dapson, dan kemudian pada tahun 1981 WHO
merekomendasikan Multi Drug Therapy (MDT) untuk pengobatan kusta. Pada
tahun 1995, MDT ini disediakan gratis untuk pasien kusta di seluruh dunia. MDT
yang merupakan lini pertama pengobatan terdiri dari rifampisisn, klofazimin, dan

153

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

dapson. Tujuan pengobatan adalah untuk memutuskan mata rantai penularan,


mencegah resistensi obat, memperpendek masa pengobatan, meningkatkan
keteraturan berobat, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya
cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pengobatan dengan MDT juga
membutuhkan waktu yang lama, sehingga menimbulkan masalah pada kepatuhan
pengobatan dan resistensi. Pengawasan terhadap minum obat, dukungan serta
motivasi yang kuat dbutuhkan agar penderita kusta dapat menyelesaikan
pengobatannya.

7.2.6. Prognosis/prediksi/estimasi
Prognosis penyakit akan baik dan kecacatan dapat dihindari bila penemuan
kasus lebih awal, patuh terhadap terapi, dan manajemen terhadap reaksi kusta
secara benar. Masih banyak stigma berkembang di masyarakat, terutama pada
penderita kusta yang cacat dan tidak di rehabilitasi dengan baik. Hal ini dapat
berakibat pengasingan atau pengucilan penderita kusta di masyarakat. dan
prognosis untuk mengembalikan fungsi sosial penderita kusta di masyarakat juga
menjadi sulit.

7.2.7. Pencegahan
Belum ada data mengenai efektivitas BCG sebagai pencegahan terhadap
kusta di Indonesia. Sedangkan pemberian kemoprofilaksis baru dimulai sebagai
pilot project di Indonesia. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan
salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Bakteri kusta diluar tubuh
manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini
tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca
makin cepat kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk
ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.

154

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

7.3.

PROGRAM PENGENDALIAN KUSTA


Pada tahun 1991 lahirlah resolusi WHO melahirkan resolusi eliminasi kusta
sebagai masalah kesehatan masyarakat. Eliminasi kusta didefinisikan sebagai
prevalence rate kurang dari 1 per 10.000 penduduk, dimana pada tahun 2000
Indonesia telah mencapai eliminasi secara nasional.
Global WHO yang didukung The International Federation of Anti-Leprosy
Associations (ILEP) mengeluarkan Enhanced Global Strategy for Further Reducing
the Disease Burden due to Leprosy (2011 2015). Berpedoman pada panduan WHO
dan diselaraskan dengan Rencana Strategi Kementerian Kesehatan untuk tahun
2010 2014, disusun kebijakan nasional pengendalian kusta di Indonesia. Sasaran
strategisnya adalah pengurangan angka cacat kusta tingkat-2 sebesar 35% pada
tahun 2015 dibandingkan data tahun 2010.4
Kegiatan pengendalian kusta di Indonesia terdiri dari kegiatan yang dilakukan
oleh kabupaten atau kota beban rendah dan kabupaten atau kota beban tinggi.
Suatu kabupaten dinyatakan beban rendah apabila memenuhi indikator
epidemiologi

dan

manajerial.

Kegiatan

program

kusta

menurut

beban

kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel 7.3.1 dan 7.3.2.


Penemuan Suspek Pasien Kusta dan Diagnosis
Penemuan pasien kusta dilakukan secara aktif maupun pasif. Penemuan
pasien secara aktif dapat dilakukan melalui kegiatan seperti pemeriksaan kontak,
Rapid Village Survey (RVS), chase survey, pemeriksaan anak sekolah SD
sederajat, Leprosy Elimination Campaign (LEC), dan Special Action Program for
Elimination Leprosy (SAPEL). Beberapa kegiatan di atas telah dapat dilaksanakan
di beberapa daerah yang mendapat bantuan.
Di Indonesia diagnosis kusta ditegakkan sesuai kriteria WHO. Sesuai
Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta, diagnosis kusta didasarkan
pada 3 tanda kardinal, yaitu: lesi kulit yang berbentuk bercak putih
(hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) disertai mati rasa (anestesi) pada

155

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

daerah lesi tersebut; penebalan saraf perifer disertai gangguan fungsi saraf yang
dapat berupa gangguan fungsi sensoris, motoris maupun otonom; dan adanya
basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (skin smears).4,9

Tabel 7.3.1. Kegiatan Program Kusta-Tatalaksana Pasien


Kabupaten/Kota
No.

Beban Rendah

Kegiatan

Beban Tinggi

Puskesmas
Non PRK

PRK/RSUD

Wasor

Semua
Puskesmas

Pelayanan Pasien
1.

Penemuan suspek

2.

Diagnosis

3.

4.

Penentuan regimen dan


mulai pengobatan
Pemantauan pengobatan

5.

Pemeriksaan kontak

6.

Konfirmasi kontak

+/-

14. Register kohort pasien

15. Pelaporan

7.

Diagnosis dan pengobatan


reaksi
8. Penentuan dan
penanganan reaksi
9. Pemantauan pengobatan
reaksi
10. POD dan perawatan diri
11. Penyuluhan perorangan
Pendukung Pelayanan
12. Stok MDT
13. Pengisian kartu pasien

16. Penanggung jawab


program

156

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari


tanda-tanda utama di atas.4 Umumnya di Puskesmas hanya digunakan tanda
klinis, tanpa pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium, tidak
diwajibkan dalam program nasional, tetapi pada pasien yang meragukan
sebaiknya dilakukan pemeriksaan kerokan jaringan kulit oleh petugas terlatih. 4
Jumlah kasus baru yang ditemukan dalam 1 tahun per100.000 penduduk
dinyatakan sebagai CDR. Di Indonesia terdapat 12 daerah beban tinggi (CDR >
10/100.000 penduduk atau jumlah kasus > 1000), meliputi Aceh, Jawa Timur,
Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Sulbar, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua &
Papua Barat. Prevalence Rate merupakan jumlah kasus kusta terdaftar per
10.000 penduduk. Tidak kalah pentingnya adalah angka Cacat Tk. 2 Jumlah kasus
baru dengan cacat Tk.2 yang ditemukan diantara kasus baru.
Tabel 7.3.2. Kegiatan Program Kusta-Tatalaksana Program
Kabupaten/Kota
No.

Kegiatan

Propinsi

+
-

Beban
Rendah
+
+

+
+

+
+

Beban Tinggi
1.
2.

3.

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Rapid Vilage Survey


Intenfikasi pemeriksaan
kontak serumah &
lingkungan
Pemeriksaan laboratorium
pada pasien dengna
diagnosis meragukan
Penyuluhan / advokasi
Pelatihan petugas
Puskesmas dan RS
Pelatihan wasor kabupaten
propinsi
Supervisi
Pencatatan & pelaporan
Monev
Stock logistic MDT
Rehabilitasi medic sosoal
ekonomi
Seminar dengan
FK/Perdoski
Seminar dengan sekolah
calon tenaga kesehatan
lain

Pusat

+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

157

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pengobatan Kusta dan pengobatan reaksi kusta


Sejak tahun 1988, MDT digunakan untuk pengobatan lepra di seluruh
Indonesia. Pada awal tahun 1990, diperkenalkanlah konsep Fixed Duration
Treatment (FDT). Pada kasus kusta tipe pausibasiler, 6 dosis obat diberikan
dalam jangka waktu maksimal 9 bulan dan dibawah pengawasan setiap
bulannya. Sementara untuk kasus kusta multibasiler, diberikan 12 dosis obat
dalam jangka waktu maksimal 18 bulan pengobatan. Pengobatan ini tanpa
memperhatikan hasil skin smears yang negatif atau positif setelah pengobatan
selesai.4,10,11 Tabel 7.3.4 memperlihatkan regimen MDT rekomendasi WHO.
Tabel 7.3.3. Tanda untuk Klasifikasi Kusta4

Distribusi

PB
Unilateral/bilateral
asimetris

MB
Bilateral simetris

Permukaan bercak

Kering, kasar

Halus, mengkilap

Batas bercak

Tegas

Kurang tegas

Mati rasa pada


bercak

Jelas

Biasanya kurang jelas

Deformitas

Proses terjadi lebih cepat

Terjadi pada tahap lanjut

Ciri-ciri khas

Madarosis, saddle nose,


facies leonina,
ginekomastia

Tabel 7.3.4. Regimen MDT Rekomendasi WHO10


Tipe Kusta

Terapi yang diberikan


Supervisi setiap bulan Harian, tanpa supervisi

Pausibasiler

Rifampisin 600mg

Dapson 100mg

Multibasiler

Rifampisin 600mg,

Clofazimine 50mg,

clofazimine 300mg

Dapson 100mg

Pausibasiler dengan
lesi tunggal

Rifampisin 600mg, ofloxacin 400mg, minoksiklin


100mg
(ROM)

158

Durasi
pengobatan
6-9 bln
12-18 bln

Dosis
tunggal

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Setiap petugas wajib memonitor tanggal pengambilan obat. Jika terlambat,


paling lama 1 bulan, harus dilakukan pelacakan. Pasien yang menyelesaikan
pengobatan dengan dosis lengkap, dinyatakan Release From Treatment (RFT)
tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Bagi pasien RFT yang memiliki
risiko cacat tingkat 1 atau 2, pernah mengalami reaksi, dan BTA pada awal
pengobatan positif >3 dilakukan pengamatan secara semi aktif. Jika pasien PB
tidak mengambil obat lebih dari 3 bulan atau pasien MB lebih dari 6 bulan secara
kumulatif, maka yang bersangkutan dinyatakan default. Jika dikemudian hari
pasien tersebut datang kembali, maka perlu dilakukan pemeriksaan klinis ulang
dengna teliti. Jika pada pemeriksaan tersebut didapat tanda-tanda klinis aktif,
maka pasien diberikan MDT ulang sesuai klasifikasi kusta terbaru dari pasien
tersebut. Jika tidak ada tanda-tanda aktif, maka tidak perlu diberikan
pengobatan. Jika kemudian pasien tersebut default (default kedua), obat sisa
diberikan hingga lengkap. Pada pasien

default lebih dari 2 kali diperlukan

penanganan khusus. Selain itu dikenal juga relaps. Pasien dinyatakan relaps bila
setelah RFT timbul lesi baru. Untuk kasus MB, dinyatakan relaps jika setelah RFT
dilakukan pemeriksaan ulang BTA terjadi peningkatan Indeks Bakteri 2+ atau
lebih dibandingkan saat diagnosis awal.4
Selain pengobatan kusta diperlukan penanganan reaksi kusta yang baik.
Terapi reaksi kusta bertujuan untuk meredakan inflamasi akut, mengurangi rasa
sakit, mengembalikan kerusakan saraf dan mata. Sebelum memulai penanganan
reaksi, terlebih dahulu dilakukan identifikasi tipe reaksi yang dialami serta
derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada
formulir pencatatan pencegahan cacat, seperti: adanya lagoftalmos yang terjadi
pada 6 bulan terakhir, nyeri raba saraf tepi, kekuatan otot berkurang dalam 6
bulan terakhir, rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir, bercak pecah atau
nodul pecah, dan bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi. Bila terdapat
salah satu dari gejala diatas berarti terjadi reaksi berat dan perlu diberikan obat
anti reaksi dan MDT juga tetap diberikan. Neuritis atau inflamasi sedang pada
daerah lesi kulit dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid yang digunakan

159

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

untuk pengobatan reaksi kusta ini adalah prednison.4

22222

Skema pemberian

prednison yang masih digunakan oleh program dapat dilihat pada tabel 7.3.5
Pada reaksi tipe 2 (ENL) diberikan klofazimin sebagai anti inflamasi.
Program menggunakan klofazimin yang disebut lampren pada penderita ENL
berat, berulang (setelah terjadi 2 episode), dimana terdapat ketergantungan
steroid.4 Skema pemberian lampren dapat dilihat pada tabel 7.3 6.

Tabel 7.3.5. Skema Pemberian Prednisone


2 Minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan
2 Minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan
2 Minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan
2 Minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan
2 Minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan
2 Minggu keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan

Tabel 7.3.6. Skema Pemberian lampren/Klofazimin

300 mg/hari atau 3 x 100 mg selama 2 bulan

200 mg/hari atau 2 x 100 mg selama 2 bulan

100 mg/hari selama 2 bulan

Pencegahan dan Tatalaksana Cacat


Kecacatan pada penyakit kusta dapat dicegah dengan cara menemukan
kasus sejak dini, pengobatan pasien dengan MDT-WHO sampai RFT, deteksi dini
adanya reaksi kusta, pengan rekasi, penyuluhan, perawatan diri, penggunaan
alat bantu, dan rehabilitasi medis. Indonesia membagi tingkat kecacatan sesuai
dengan

rekomendasi WHO dan dimodifikasi sesuai dengan pemeriksaan di

lapangan.4 Pembagian tersebut dapat dilihat pada tabel 7.3.7.


Untuk menilai kualitas pencegahan cacat selama MDT di gunakan
perbandingan skor cacat pada awal dan akhir MDT. Skor cacat atau Eye-Hand-

160

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Foot sum of Impairment (EHF score) didapat dari penjumlahan angka cacat pada
mata, tangan dan kaki.
Kecacatan dan Rehabilitasi
Kecacatan menurut International Classification of Function Disability and
Health (ICF) mencakup 3 aspek yaitu kerusakan struktur dan fungsi (impairment),
keterbatasan aktivitas (activity limitation) dan masalah partisipasi (participation
problem). United Nation Standard Rules for Equalization of Opportunities for
People with Disability menyatakan rehabilitasi meliputi semua upaya yang
bertujuan untuk mengurangi dampak kecacatan pada individu agar mereka
mampu mencapai kemandirian integrasi sosial, kualitas hidup yang lebih baik
serta aktualisasi diri. Strategi yang ditetapkan adalah dengan membangun
network dengan berbagai pihak untuk bidang atau tugas diluar tupoksi subdit
kusta/ Kemenkes/ Dinkes, menghilangkan berbagai hambatan agar klien bisa
mengakses program pembangunan yang ada di masyarakat (inklusi), mendukung
(pemberdayaan) klien untuk bisa berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi,
mengendalikan hidup agar bisa lebih mandiri. Kegiatan yang dilakukan
disesuaikan dengan matriks WHO mengenai rehabilitasi berbasis masyarakat.
Kegiatan tersebut meliputi kesehatan dan rebilitasi medis, pendidikan,
kehidupan sosial ekonomi dan pemberdayaan. Kegiatan sosial ekonomi dan
pemberdayaan yang dilakukan antara lain adalah membentuk kelompok
ekonomi mandiri, memfasilitasi klien untuk mendapatkan bantuan dari program
pemberdayaan sosial ekonomi yang ada di masyarakat, misalnya bantuan mikro
kredit pelatihan ketrampilan, dan program pemberdayaan masyarakat yang lain
(PNPM mandiri, dll), menyediakan dan memfasilitasi klien yang memerlukan
konseling untuk mendapat pelayanan, mendukung organisasi yang pernah
mengalami kusta dan kegiatannya, mendukung pemenuhan hak klien untuk
mendapatkan haknya , misalnya bekerjasama dengan dinas pendidikan, dinas ,
dinas koperasi, program pemberdayaan masyarakat yang ada di daerah,
pemerintah daerah, LSM.

161

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Upaya pengendalian penularan


Upaya memutuskan rantai penularan kusta dapat dilakukan melalui
vaksinasi BCG, maupun pemberian kemoprofilaksis. Subdit kusta sedang
melakukan suatu pilot project di daerah Sampang, Bima dan Papua untuk
profilaksis kusta. Daerah ini dipilih karena kasus yang tinggi dan adanya
dukungan pemerintah setempat.

7.4.

ANALISIS GAP
Dalam upaya untuk menurunkan angka KUSTA dan mengurangi beban akibat
KUSTA maka berbagai upaya telah dilakukan sebelumnya. Permasalahan yang telah
tersebut diatas seharusnya telah terjawab dan diselesaikan pada program
Pemberantasan Kusta.
Sebuah penelitian pernah dilakukan di lima pulau yang terisolasi di Sulawesi
Selatan, dari 4140 orang yang di skrining, 96 orang teridentifikasi menderita
penyakit lepra, angka ini mewakili CDR 205/10.000 dan prevalence rate
195/10.000.Pada penelitian tersebut dilakukan skin smears dari 90 pasien, dan
didapatkan 16 positif dan 74 negatif. Proporsi skin smear yang positif diantara
kasus baru yang terdeteksi adalah 13%. Sepuluh dari 31 pasien baru MB (32%) dan
6 dari 10 pasien lama (60%) menunjukkan hasil smear yang positif.12 Penggunaan
tanda kardinal sebagai diagnosis mempunyai sensitivitas 97% dengan positive
predictive value 98%.13 Sementara skin smears mempunyai spesifisitas yang tinggi,
tetapi dengan sensitivitas rendah, karena sekitar 70% pasien kusta menampakan
hasil smear negatif.14 Diagnosis kusta dapat ditegakkan secara histologis, dimana
gambaran inflamasi sel saraf dapat membedakan kelainan kusta dengan kelainan
granulomatosa lainnya.15
Secara imunologis, tes yang dikenal untuk membantu penegakkan diagnostik
kusta adalah menggunakan lepromin test. Test ini bukan untuk secara khusus
mendiagnosis penyakit kusta, melainkan untuk menilai respon imun seluler

162

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

penderita. Pada tipe Pausibasiler didapatkan hsail positif kuat, sedang tipe
Multibasiler hasilnya negatif.16 Berbagai alat immunodiagnostik yang ideal untuk
mendeteksi kusta telah dikembangkan melalui berbagai tahapan selama bertahuntahun dan.Diantaranya adalah modifikasi dari tes terhadap anti bodi PGL-1 yang
lebih cepat dan lebih murah, seperti dipstick, ELISA, ML flow test. Antibody pada
M.leprae spesifik untuk PGL-I tampak pada 90% pasien dengan penyakit kusta yang
belum mendapatkan terapi, tetapi hanya 40 50 % pada pasien dengan tipe
paucibacillary, dan 1 5 % pada Kontrol yang sehat.17,18 Metode Skin test terhadap
antigen seperti M. leprae soluble antigens dan lipoarabinomannan (MLSA LAM),
wall-associated protein sof M. leprae (MLCwA) dan fraksinya juga telah
dikembangkan sebagai alat diagnostik untuk kusta.19
Namun demikian pendekatan secara imunologis maupun histologis
mempunyai keterbatasan. Terutama dalam mendiagnosis kasus-kasus baru, fase
awal dari kusta dan untuk monitoring terapi. Adanya bakteri tahan asam pada skin
smears juga tidak cukup sensitif. Pada pemeriksaan histopatologis, beberapa
karakteristik granuloma dapat menyerupai dermatitis non spesifik.20 Saat ini
informasi yang luas mengenai struktur molekular kuman lepra telah banyak
tesedia.21,22 Kini dikembangkan teknologi molekuler untuk mendiagnosis lepra
dengan PCR, berdasarkan DNA maupun RNA. PCR mempunyai sensitivitas maupun
spesifisitas yang tinggi, karena dapat mendeteksi DNA M. leprae pada 95% pasien
multibasiler dan 55% pada pasien pausibasiler.23,24 Akan tetapi teknologi PCR
berdasarkan DNA mempunyai keterbatasan dalam penerapan di bidang monitoring
terapi.20 Selanjutnya teknologi PCR ini mengalami perkembangan dengan adanya
PCR berdasarkan RNA, dimana PCR dapat meningkatkan level RNA. Pendekatan ini
dapat membantu dalam membedakan kondisi seperti reaksi lambat dan terjadinya
relaps.20 Namun hingga saat ini PCR ini belum digunakan secara rutin untuk
kepentingan klinis mengingat biaya dan infrastruktur yang mahal.
Keterlambatan dalam menegakkan diagnosis kusta dapat berakibat
meningkatnya penularan dan meningkatnya risiko kecacatan.25 Faktor yang
berhubungan dalam keterlambatan penegakkan diagnosis datang dari pasien yang

163

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

menunda kedatangannya ke fasilitas kesehatan, maupun dari pelayanan kesehatan


yang terlambat dalam menegakkan diagnosis.
Pengobatan yang tepat, sesuai dengan klasifikasi kusta dan kepatuhan pasien
dalam menjalani pengobatan merupakan faktor lain yang penting dalam
penanganan kusta. Regimen pengobatan dengan MDT ini telah menampakkan hasil
yang baik, namun beberapa keterbatasan masih ditemukan. Pada kusta dengan
tipe pausibasiler, beberapa hal yang menjadi perdebatan adalah sebagai
berikut.Beberapa penelitian menunjukkan, pada akhir pengobatan di bulan ke 6,
sekitar 1067 % pasien masih menunjukkan gejala sisa pada lesi kulit. Gejala sisa ini
sebagian dapat membaik, namun sebagian lagi menjadi lebih buruk dan
membutuhkan terapi lebih lanjut.26-31 Selain itu ditemukan juga reaksi kusta
lambat dan relaps. Seringkali sulit membedakan antara reaksi kusta lambat dan
relaps. Secara klinis maupun histologis keduanya saling tumpang tindih. 31 Sekitar 521% pasien dilaporkan menderita reaksi kusta lambat, biasanya timbul setelah 6-18
bulan setelah pengobatan.Namun demikian ada juga yang dilaporkan timbul 5
tahun setelah terapi dihentikan.26,29,32 Relaps sendiri dapat diartikan sebagai
timbulnya lesi baru secara bertahap dengan adanya peningkatan reaktivitas pada
lesi baru maupun lama, dengan atau tanpa keterlibatan saraf maupun adanya skin
smear yang positif.20 Kasus relaps sendiri bervariasi pada beberapa penelitian,
yaitu mulai 0,1-1%30, hingga 6-13%26,28,32. Untuk mengatasi adanya reaksi kusta
lambat dan relaps dapat dilakukan dengan cara memperpanjang durasi terapi29,
terapi dapson tambahan26,32, terapi klofazimin tambahan33, dan penggunaan obat
lainnya seperti prothionamide34

33333

Diantara semuanya, klofazimin menjadi

pilihan yang menarik, karena dengan regimen yang sama, durasi yang berbeda, dan
dapat digunakan pada tipe kusta pausibasiler maupun multibasiler. Masalah yang
diperdebatkan atas keterbatasan MDT pada kasus pausibasiler kusta adalah belum
jelas bagaimana kasus dengan lesi tunggal harus diterapi.Walaupun WHO telah
merekomendasikan dosis tunggal ROM untuk kasus tersebut, beberapa penelitian
menunjukkan hasil yang bervariasi.Hasil yang bervariasi ini menunjukkan bahwa

164

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

terlalu awal untuk menyimpulkan bahwa pengobatan ini efektif untuk lesi tunggal,
dimana lesi tunggal ini sangat heterogen dan mudah berevolusi.20
Respon pengobatan dengan menggunakan FDT selama 24-36 bulan pada
kasus kusta multibasiler, dinilai baik.35

44444

Regimen ini telah digunakan selama

beberapa tahun dan laporan selama ini hanya menunjukkan kasus relaps kurang
dari 1%.36 Namun beberapa hal yang menjadi perdebatan antara lain. Gejala sisa
masih dilaporkan pada 9-16% pasien dengan

Bacterial Index (BI) yang tinggi

walaupun telah menjalani pengobatan selama 2 tahun.37,38 Setelah follow up


selama 3-5 tahun dilaporkan kasus relaps sebanyak 2,9% dan meningkat sebanyak
20% setelah follow up selama 7,5 tahun.39

55555

Masalah yang tidak kalah

pentingnya adalah, pada kasus yang diterapi dengan FDT, reaksi kusta timbul
secara berulang dan juga dapat menyebabkan kematian setelah terapi selesai. 20
Masalah yang terakhir adalah rekomendasi WHO mengenai terapi kusta
multibasiler yang dapat dihentikan setelah 12 dosis (1 tahun) dengan regimen
standar WHO. Mengingat gejala sisa maupun relaps yang timbul walaupun dengan
pengobatan selama 24 bulan, sebaiknya kewaspadaan pada durasi pengobatan
selama 12 bulan, ditingkatkan. Untuk mendeteksi kasus-kasus relaps, surveilans
secara intensif sekurangnya pada area yang dipilih selama 8-10 tahun diperlukan.20
Pada Januari tahun 1995 sampai dengan Mei 2000, diadakan sebuah
penelitian mengenai adverse effect yang disebabkan MDT di Health Center of The
Federal University of Uberlandia.Dari 187 pasien dilaporkan adverse events
sebanyak 113.Sebanyak 37,9% efek samping dilaporkan. Efek samping ditemukan
pada terkait dengan dapson 70,7%, 6,2% disebabkan oleh rifampisin dan 20,5%
disebabkan oleh klofazimin. Efek samping yang terjadi ini menyebabkan perubahan
rejimen terapeutik pada 28 (14,9%) dari 187 pasien atau 39,4% dari 71 dengan efek
samping.40
Efek samping dari dapson dapat berupa gastritis, anemia hemolitik, sakit
kepala, asthenia, methemoglobinemia, insomnia, agranulositosis, hepatitis, sulfon
sindrom , neuropati perifer, sindrom nefrotik, dan dermatitis eksfoliatif.40,41 Efek

165

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

samping yang paling banyak ditemukan adalah gastritis dan anemia hemolitik. 40
Efek samping tercatat dengan penggunaan klofazimin adalah ichthyosis sebanyak
69,2% kasus, dan rasa panas atau terbakar pada mata. Rifampisin dapat
menyebabkan demam dan kolik renal. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah
mual, diare dan dermatitis alergi.40
Obat alternatif lain untuk pengobatan kusta telah banyak dipelajari, beberapa
obat diantaranya adalah fluorokuinolon, minoksiklin dan clarithromycin. Berikut
akan diuraikan secara singkat mengenai obat-obat tersebut.
Fluorokuinolon. Obat-obat pada golongan ini yang dipakai untuk pengobatan
kusta adalah moksifloksasin dan ofloksasin, terutama digunakan pada pasien
dengan

intoleransi,

resistensi,

atau

gagal

klinis

terhadap

terapi

utama.Fluorokuinolon ini bekerja dengan menghambat DNA gyrase maupun


menghambat replikasi dan transkripsi DNA.42 Moksifloksasin mempunyi sifat
bakterisidal yang kuat seperti rifampisin, dibuktikan pada sebuah penelitian,
dimana setelah 3 minggu terapi harian tidak lagi didapatkan kuman yang poten. 43
Minoksiklin. Walau pun tidak sekuat rifampisin, minoksiklin diyakini efektif
dan merupakan alternatif untuk pengobatan kusta.44,45 Adverse effects dari obat ini
biasanya ringan, walaupun juga dapat menimbulkan pigmentasi pada kulit, gejala
gastrointestinal dan juga gangguan sistem saraf pusat. Minoksiklin tidak dapat
diberikan pada anak-anak maupun wanita hamil karena mengakibatkan
penimbunan pada enamel gigi dan diskolorasi.20 Minoksiklin merupakan satusatunya obat dari golongan tetrasiklin yang dapat melawan M.leprae.
Clarithromycin.

Mempunyai mekanisme kerja dengan menghambat ATP

pada bakteri.46 Berguna sebagai terapi alternatif terapi maupun terapi utama pada
kasus dengan resistensi maupun intoleransi dan sudah berhasil digunakan untuk
pengobatan kusta lepromatosa sebagai monoterapi.47 Clarithromycin 500 mg/hari
berhasil dipasangkan dengan minoksiklin.48

166

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Selain penatalaksanaan kusta, diperlukan juga penatalaksanaan reaksi kusta.


Obat yang digunakan secara lazim pada saat ini adalah prednisone atau
prednisolon. Perbaikan fungsi saraf yang diharapkan dengan terapi ini adalah 6070%. Perbaikan ini sulit terjadi pada pasien dimana terdapat kerusakan saraf
sebelumnya, atau pada reaksi kusta yang kronis maupun berulang.15 Pada sebuah
RCT dengan pasien kusta multibasiler yang mendapat pengobatan prednisolon,
terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok terapi dengan kelompok
placebo.Pada kelompok dengan terapi prednisolon episode reaksi kusta lebih
sedikit jika dibandingkan kelompok placebo.Namun demikian efek proteksi
tersebut menghilang pada akhir bulan ke 12. Studi ini menunjukkan bahwa ketika
raksi reversal muncul satu kali saja, maka selanjutnya akan sulit untuk dicegah
ataupun dihentikan49 Siklosporin juga efektif untuk mengurangi inflamasi pada
saraf dan kulit, namun sama halnya dengan prednisolon, akan terjadi relaps ketika
obat tersebut tidak diberikan.50
Thalidomide 400 mg per hari merupakan obat pilihan pada laki-laki dengan
ENL berat.51

66666

Pentoxyfylline juga dapat digunakan dalam terapi ENL berat,

walaupun efeknya tidak sekuat thalidomide maupun kortikosteroid.52 Tetapi saat


ini program tidak menggunakan thalidomide maupun penthoxyfylline.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa kusta menimbulkan kecacatan,
tindakan rehabilitasi perlu dilaksanakan. Kusta yang berhubungan dengan
kecacatan adalah tantangan untuk kesehatan masyarakat, dan pelayanan sosial
dan rehabilitasi. Cacat ini lebih dari disfungsi fisik semata, dan termasuk
keterbatasan aktivitas, stigma, diskriminasi, dan pembatasan partisipasi sosial.
Pencegahan penyakit kusta ini salah satunya dapat dilakukan dengan
vaksinasi BCG. Efikasi dari vaksin BCG terhadap penyakit kusta bervariasi anatara
34-80%. Pada sebuah penelitian di Malawi, BCG mempunyai efikasi sebesar 50%
untuk perlindungan terhadap kusta, dan vaksinasi ulang dapat meningkatkan efek
proteksi vaksin BCG ini sebanyak 50%.53 Efek proteksi ini telah dikonfirmasi pada
banyak case-control study.

167

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Kemoprofilaksis menjadi bahan pertimbangan untuk orang yang kontak erat


dengan penderita kusta, terutama pada daerah endemik dimana kontak erat
merupakan salah satu faktor risiko.54 Regimen yang digunakan dalam profilaksis ini
adalah satu atau dua dosis 600 mg rifampisin, 400 mg ofloxacin, dan 100 mg
minoksiklin.55 Pada sebuah penelitian di 5 kepulauan di Indonesia didapatkan
bahwa pemberian kemoprofilaksis pada populasi berhubungan dengan penurunan
insiden KUSTA pada 3 tahun pertama setelah implementasi.7 Rekomendasi WHO
saat ini untuk mengurangi beban penyakit akibat kusta adalah dengan melakukan
tes pada orang dengan kontak erat penderita kusta untuk mendapatkan atau
menyingkirkan diagnosis kusta. Jika kasus kusta tidak ditemukan, selanjutnya
adalah memberikan edukasi mengenai gejala awal yang mungkin timbul pada
orang yang kontak erat tersebut, dan menganjurkan untuk datang ke fasilitas
kesehatan jika timbul gejala-gejala tersebut.56 Sebuah analisis sekunder dilakukan
untuk menilai efek proteksi kombinasi BCG (saat balita) ditambah pemberian
rifampisin sebagai profilaksis dan menunjukkan efektivitas sebesar 80% (95% CI:
50-92%).8

Tabel 7.4.1. Analisis Gap Kusta


No

168

Temuan

Program

Saran

Penemuan kasus
statis

Penemuan kasus aktif &


pasif

meningkatkan active case finding

Diagnostik dini sulit

klinis, tanda cardinal

meneliti & mengembangkan


diagnostik yang ideal, RDT

Pengobatan lama

Supervisi utk obat harian?


Kasus resistensi obat?

Deteksi dini &


Pencegahan reaksi
kusta

Stigma Masyarakat

ketersediaan &
kemampuan petugas
untuk mendeteksi reaksi
kusta secara dini?
Kampanye kusta,
pemberdayaan Orang
Yang Pernah Menderita
Kusta (OYPMK)

penelitian mengenai kepatuhan


Survey mengenai resistensi obat
kusta di Indonesia
menambah jumlah SDM dan
melakukan capacity building

Meningkatkan kampanye di
media dan meningkatkan
pemberdayaan OYPMK

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

7.5.

POLICY OPTION DAN PENELITIAN


Untuk menangani masalah kusta, beberapa kebijakan yang dapat
dipertimbangkan diuraikan dalam tabel 7.5.1. Pengembangan alat diagnostik baru
yang akurat, aplicable dan terjangkau dalam penggunaan klinik perlu dilakukan
untuk deteksi dini kusta agar kecacatan dapat dicegah sedini mungkin.

Tabel 7.5.1. Policy Option Kusta

Masalah

Penanganan

Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Maintenance

Penelitian

Diagnostik dini
sulit

Diagnosis
berdasarkan
klinis

Alat diagnostik yang


feasible

Meningkatkan
ketrampilan SDM

Uji RDT/PCR
sebagai
pemeriksaan
rujukan

Pengobatan
lama

Menggunakan
obat program
yang ada

Merancang strategi
dalam meningkatkan
kepatuhan

Sosisalisasi, edukasi
pasien, supervisi
pada pengobatan

Monitoring efikasi
obat

Sisitem pencatatan
dan pelaporan yang
jelas mengenai
resistensi /pemetaan
resistensi pelacakan
Pelacakan kontak &
pemberian
profilaksis

Penelitian
mengenai
intervensi yang
sesuai untuk
meningkatkan
kepatuhan
Uji klinik obat
alternatif

Resistensi Obat

transmisi

Edukasi pasien
& keluarga

Pemberian
profilaksis pada
kontak erat

Target
menurunkan
kecacatan

Penemuan
kasus sejak dini

Percepatan melalui
kegiatan
multiintervensi

Surveilans

Penelitian
mengenai
profilaksis
Operasional Riset
(multi intervensi)

Pengobatan kusta yang memerlukan jangka waktu yang lama, menjadi


masalah

dalam

kepatuhan,

sebaiknya

perlu

merancang

strategi

untuk

meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan. Selain itu pengobatan lama juga


dapat meningkatkan risiko resistensi terhadapa obat, maka perlu adanya survey

169

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

untuk mengetahui drug resistancy. Dalam upaya pencegahan perlu adanya


penelitian mengenai profilaksis & vaksinasi. Untuk menghapus stigma, perlu
memperluas jangkauan promosi kusta dan pemberdayaan OYPMK dalam rangka
mengembalikan fungsi sosial dan ekonomi.

Daftar Pustaka
1. Global
leprosy
situation,
2012.
Releve
epidemiologique hebdomadaire / Section d'hygiene
du Secretariat de la Societe des Nations = Weekly
epidemiological record / Health Section of the
Secretariat
of
the
League
of
Nations.
2012;87(34):317-28. Epub 2012/08/28.
2. Fitzpatrick_Dermatology_in_General_Medicine__2_
Volumes__7th_Edition.pdf>.
3. Ridley DS, Jopling WH. A classification of leprosy for
research purposes. Leprosy review. 1962;33:119-28.
Epub 1962/04/01.
4. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan; 2012. 172 p.
5. Eichelmann K, Gonzalez Gonzalez SE, Salas-Alanis JC,
Ocampo-Candiani J. Leprosy. An Update: Definition,
Pathogenesis,
Classification,
Diagnosis,
and
Treatment. Actas dermo-sifiliograficas. 2012. Epub
2012/05/29. Lepra: puesta al dia. Definicion,
patogenesis, clasificacion, diagnostico y tratamiento.
6. Moet FJ, Meima A, Oskam L, Richardus JH. Risk
faktors for the development of clinical leprosy
among contacts, and their relevance for targeted
interventions. Leprosy review. 2004;75(4):310-26.
Epub 2005/02/03.
7. Rodrigues LC, Lockwood DNJ. Leprosy now:
epidemiology, progress, challenges, and research
gaps. The Lancet infectious diseases. 2011;11(6):46470.
8. Legendre DP, Muzny CA, Swiatlo E. Hansen's disease
(Leprosy): current and future pharmacotherapy and
treatment of disease-related immunologic reactions.
Pharmacotherapy.
2012;32(1):27-37.
Epub
2012/03/07.
9. WHO Expert Committee on Leprosy. World Health
Organization technical report series. 2012(968):1-61,
1 p following Epub 2012/09/14.
10. WHO Expert Committee on Leprosy. World Health
Organization technical report series. 1998;874:1-43.
Epub 1998/06/17.

170

11. Ji B. Why multidrug therapy for multibacillary leprosy


can be shortened to 12 months. Leprosy review.
1998;69(2):106-9. Epub 1998/08/26.
12. Bakker MI, Hatta M, Kwenang A, Klatser PR, Oskam L.
Epidemiology of leprosy on five isolated islands in
the Flores Sea, Indonesia. Tropical medicine &
international health : TM & IH. 2002;7(9):780-7. Epub
2002/09/13.
13. Report of the International Leprosy Association
Technical Forum. Paris, France, 22-28 February 2002.
International journal of leprosy and other
mycobacterial diseases : official organ of the
International Leprosy Association. 2002;70(1
Suppl):S1-62. Epub 2002/07/20.
14. Lockwood DN. Leprosy elimination-a
phenomenon
or
a
reality?
2002;324(7352):1516-8. Epub 2002/06/22.

virtual
BMJ.

15. Britton W, Lockwood D. Leprosy. The Lancet.


2004;363(9416):1209-19.
16. Sri Vitayani Muchtar MDA, Yasuko Yogi, Norihisa Ishi.
Lepromin Test pada Penderita Kusta. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit & Kelamin. 2009;21.
17. Cho SN, Cellona RV, Villahermosa LG, Fajardo TT, Jr.,
Balagon MV, Abalos RM, et al. Detection of phenolic
glycolipid I of Mycobacterium leprae in sera from
leprosy patients before and after start of multidrug
therapy. Clinical and diagnostic laboratory
immunology. 2001;8(1):138-42. Epub 2001/01/04.
18. Roche PW, Britton WJ, Failbus SS, Ludwig H,
Theuvenet WJ, Adiga RB. Heterogeneity of
serological responses in paucibacillary leprosy-differential responses to protein and carbohydrate
antigens and correlation with clinical parameters.
International journal of leprosy and other
mycobacterial diseases : official organ of the
International Leprosy Association. 1990;58(2):31927. Epub 1990/06/01.
19. Sekar B. Recent advances in immunodiagnosis of
leprosy. Indian journal of leprosy. 2007;79(2-3):85106. Epub 2007/12/19.
20. Katoch VM. Advances in the diagnosis and treatment
of leprosy. Expert reviews in molecular medicine.
2002;4(15):1-14. Epub 2003/10/31.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

21. Clark-Curtiss JE, Jacobs WR, Docherty MA, Ritchie LR,


Curtiss R, 3rd. Molecular analysis of DNA and
construction of genomic libraries of Mycobacterium
leprae. Journal of bacteriology. 1985;161(3):1093102. Epub 1985/03/01.
22. Young RA, Mehra V, Sweetser D, Buchanan T, ClarkCurtiss J, Davis RW, et al. Genes for the major protein
antigens of the leprosy parasite Mycobacterium
leprae. Nature. 1985;316(6027):450-2. Epub
1985/08/01.
23. Kampirapap K, Singtham N, Klatser PR, Wiriyawipart
S. DNA amplification for detection of leprosy and
assessment of efficacy of leprosy chemotherapy.
International journal of leprosy and other
mycobacterial diseases : official organ of the
International Leprosy Association. 1998;66(1):16-21.
Epub 1998/06/06.

31. Boerrigter G, Ponnighaus JM, Fine PE. Preliminary


appraisal of a WHO-recommended multiple drug
regimen in paucibacillary leprosy patients in Malawi.
International journal of leprosy and other
mycobacterial diseases : official organ of the
International Leprosy Association. 1988;56(3):40817. Epub 1988/09/01.
32. Grugni A, Nadkarni NJ, Kini MS, Mehta VR. Relapses
in paucibacillary leprosy after MDT--a clinical study.
International journal of leprosy and other
mycobacterial diseases : official organ of the
International Leprosy Association. 1990;58(1):19-24.
Epub 1990/03/01.
33. Katoch K, Natarajan M, Katoch VM, Singh HB, Bhatia
AS. Chemotherapy trial in paucibacillary leprosy
using clofazimine. Indian journal of leprosy.
1999;71(3):311-24. Epub 2000/01/08.

24. Williams DL, Gillis TP, Booth RJ, Looker D, Watson JD.
The use of a specific DNA probe and polymerase
chain reaction for the detection of Mycobacterium
leprae. The Journal of infectious diseases.
1990;162(1):193-200. Epub 1990/07/01.

34. Katoch K, Natarajan M, Bhatia AS, Yadav VS.


Treatment of paucibacillary leprosy with a regimen
containing rifampicin, dapsone and prothionamide.
Indian journal of leprosy. 1992;64(3):303-12. Epub
1992/07/01.

25. Burki T. Old problems still mar fight against ancient


disease. Lancet. 2009;373(9660):287-8. Epub
2009/01/30.

35. Chemotherapy of leprosy. Report of a WHO Study


Group. World Health Organization technical report
series. 1994;847:1-24. Epub 1994/01/01.

26. Katoch K, Ramanathan U, Natrajan M, Bagga AK,


Bhatia AS, Saxena RK, et al. Relapses in paucibacillary
patients after treatment with three short-term
regimens containing rifampin. International journal
of leprosy and other mycobacterial diseases : official
organ of the International Leprosy Association.
1989;57(2):458-64. Epub 1989/06/01.

36. Risk of relapse in leprosy. The Leprosy Unit, WHO.


Indian journal of leprosy. 1995;67(1):13-26. Epub
1995/01/01.

27. Katoch K. Therapeutic prospects for paucibacillary


leprosy. Indian journal of leprosy. 2000;72(3):351-61.
Epub 2000/12/06.
28. Pavithran K. Relapse of paucibacillary leprosy after
short course multidrug therapy. Indian journal of
leprosy. 1988;60(2):225-9. Epub 1988/04/01.
29. Bhate RD, Gupta CM, Chattopadhyay SP, Singh IP.
Experience with multidrug therapy in paucibacillary
leprosy. Indian journal of leprosy. 1986;58(2):244-50.
Epub 1986/04/01.
30. Becx-Bleumink M. Relapses among leprosy patients
treated with multidrug therapy: experience in the
leprosy control program of the All Africa Leprosy and
Rehabilitation Training Center (ALERT) in Ethiopia;
practical difficulties with diagnosing relapses;
operational procedures and criteria for diagnosing
relapses. International journal of leprosy and other
mycobacterial diseases : official organ of the
International Leprosy Association. 1992;60(3):42135. Epub 1992/09/01.

37. The THELEP controlled clinical drug trials.


Subcommittee on Clinical Trials of the Chemotherapy
of Leprosy (THELEP). Scientific Working Group of the
UNDP/World Bank/WHO Special Programme for
Research and Training in Tropical Diseases.
International journal of leprosy and other
mycobacterial diseases : official organ of the
International Leprosy Association. 1987;55(4
Suppl):864-71. Epub 1987/12/01.
38. Katoch VM, Katoch K, Ramanathan U, Sharma VD,
Shivannavar CT, Datta AK, et al. Effect of
chemotherapy on viability of Mycobacterium leprae
as determined by ATP content, morphological index
and FDA-EB fluorescent staining. International
journal of leprosy and other mycobacterial diseases :
official organ of the International Leprosy
Association. 1989;57(3):615-21. Epub 1989/09/01.
39. Jamet P, Ji B. Relapse after long-term follow up of
multibacillary patients treated by WHO multidrug
regimen. Marchoux Chemotherapy Study Group.
International journal of leprosy and other
mycobacterial diseases : official organ of the
International Leprosy Association. 1995;63(2):195201. Epub 1995/06/01.

171

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

40. Goulart IM, Arbex GL, Carneiro MH, Rodrigues MS,


Gadia R. [Adverse effects of multidrug therapy in
leprosy patients: a five-year survey at a Health
Center of the Federal University of Uberlandia].
Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical.
2002;35(5):453-60. Epub 2003/03/08. Efeitos
adversos da poliquimioterapia em pacientes com
hanseniase: um levantamento de cinco anos em um
Centro de Saude da Universidade Federal de
Uberlandia.
41. Jopling WH. Side-effects of antileprosy drugs in
common use. Leprosy review. 1983;54(4):261-70.
Epub 1983/12/01.
42. Matrat S, Petrella S, Cambau E, Sougakoff W, Jarlier
V, Aubry A. Expression and purification of an active
form of the Mycobacterium leprae DNA gyrase and
its inhibition by quinolones. Antimicrobial agents and
chemotherapy.
2007;51(5):1643-8.
Epub
2007/02/28.
43. Pardillo FE, Burgos J, Fajardo TT, Dela Cruz E, Abalos
RM, Paredes RM, et al. Powerful bactericidal activity
of moxifloxacin in human leprosy. Antimicrobial
agents and chemotherapy. 2008;52(9):3113-7. Epub
2008/06/25.
44. Gelber RH, Siu P, Tsang M, Alley P, Murray LP. Effect
of low-level and intermittent minocycline therapy on
the growth of Mycobacterium leprae in mice.
Antimicrobial
agents
and
chemotherapy.
1991;35(5):992-4. Epub 1991/05/01.
45. Ji B, Perani EG, Grosset JH. Effectiveness of
clarithromycin and minocycline alone and in
combination against experimental Mycobacterium
leprae infection in mice. Antimicrobial agents and
chemotherapy.
1991;35(3):579-81.
Epub
1991/03/01.
46. Franzblau SG, Hastings RC. In vitro and in vivo
activities of macrolides against Mycobacterium
leprae. Antimicrobial agents and chemotherapy.
1988;32(12):1758-62. Epub 1988/12/01.
47. Chan GP, Garcia-Ignacio BY, Chavez VE, Livelo JB,
Jimenez CL, Parrilla ML, et al. Clinical trial of
clarithromycin
for
lepromatous
leprosy.
Antimicrobial
agents
and
chemotherapy.
1994;38(3):515-7. Epub 1994/03/01.

172

48. ji B, Jamet P, Perani EG, Bobin P, Grosset JH.


Powerful bactericidal activities of clarithromycin and
minocycline against Mycobacterium leprae in
lepromatous leprosy. The Journal of infectious
diseases. 1993;168(1):188-90. Epub 1993/07/01.
49. Lockwood DN. Steroids in leprosy type 1 (reversal)
reactions: mechanisms of action and effectiveness.
Leprosy review. 2000;71 Suppl:S111-4. Epub
2001/02/24.
50. Britton WJ. The management of leprosy reversal
reactions. Leprosy review. 1998;69(3):225-34. Epub
1998/11/07.
51. Jakeman P, Smith WC. Thalidomide in leprosy
reaction. Lancet. 1994;343(8895):432-3. Epub
1994/02/19.
52. Moreira AL, Kaplan G, Villahermosa LG, Fajardo TJ,
Abalos RM, Cellona RV, et al. Comparison of
pentoxifylline, thalidomide and prednisonin the
treatment of ENL. International journal of leprosy
and other mycobacterial diseases : official organ of
the International Leprosy Association. 1998;66(1):615. Epub 1998/06/06.
53. Randomised controlled trial of single BCG, repeated
BCG, or combined BCG and killed Mycobacterium
leprae vaccine for prevention of leprosy and
tuberculosis in Malawi. Karonga Prevention Trial
Group.
Lancet.
1996;348(9019):17-24.
Epub
1996/07/06.
54. Smith CM, Smith WC. Chemoprophylaxis is effective
in the prevention of leprosy in endemic countries: a
systematic review and meta-analysis. MILEP2 Study
Group. Mucosal Immunology of Leprosy. The Journal
of infection. 2000;41(2):137-42. Epub 2000/10/12.
55. Senior K. Stigma, chemoprophylaxis, and leprosy
control. The Lancet infectious diseases. 2009;9(1):10.
Epub 2009/01/16.
56. Zhang FR, Huang W, Chen SM, Sun LD, Liu H, Li Y, et
al. Genomewide association study of leprosy. The
New
England
journal
of
medicine.
2009;361(27):2609-18. Epub 2009/12/19.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB

FRAMBUSIA
Dona Arlinda, M. Karyana

8.1.

PENDAHULUAN
Frambusia merupakan penyakit treponematosis non venereal dan
endemis yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pertenue.1
Frambusia ditularkan melalui kontak langsung non-seksual, erat dan lama
dengan eksudat atau serum pada lesi kulit penderita (skin-to-skin).2 Umumnya
pada tempat inokulasi infeksi terdapat luka minor karena abrasi kulit, laserasi,
atau gigitan serangga. Sekitar 75% penderita frambusia adalah anak-anak
berusia kurang dari 15 tahun dan terbanyak pada kelompok 2-10 tahun.3
Penyakit ini banyak ditemui di wilayah tropis beriklim hangat dan
lembab.4 Daerah endemis umumnya adalah daerah kantong di wilayah
pedalaman yang sulit diakses. Penyebaran penyakit dipermudah oleh
lingkungan padat dengan sanitasi dan higiene buruk.5
Frambusia pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1624 di
wilayah barat Pulau Seram, Maluku. Pada saat itu penyakit ini dinamakan cacar
Ambon (Amboinese pox). Kemudian antara tahun 1700-1775, frambusia
ditemukan di Pulau Jawa dan dinamakan cacar Jawa (Javanese pox) atau
pathek.6 Indonesia termasuk negara endemis frambusia sejak lama. Walaupun
kegiatan pemberantasan telah dilakukan sejak tahun 1912, sampai sekarang
belum berhasil mencapai eradikasi. Tahun 2012 WHO menetapkan frambusia
sebagai salah satu penyakit neglected dengan target eradikasi global tahun
2020.

173

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

8.2.

MASALAH FRAMBUSIA DI INDONESIA

8.2.1. Etiologi
T. pallidum subspesies pertenue berasal dari famili Spirochaetaceae dan
bersifat gram negatif. Organisme ini berbentuk spiral dengan dimensi sangat
kecil (panjang 10-20 m dan diameter 0,2 m). T. pallidum subspesies pertenue
membelah diri dengan lambat setiap 30-33 jam, tidak dapat ditumbuhkan invitro, mati dengan pengeringan, pemanasan dan paparan oksigen.1, 2
Secara morfologis dan serologis, T. pallidum ssp. pertenue identik dengan
T. pallidum ssp. penyebab sifilis venereal, dan penyebab penyakit
treponematosis non venereal lain yaitu T. pallidum ssp. endemicum (sifilis
endemis) dan T. carateum (penyakit pinta).2 Dari 11 strain T. pallidum ssp.
pertenue yang berhasil diidentifikasi, di Indonesia terutama strain CDC-2575
dan Pariaman.7

8.2.2. Epidemiologi
Frambusia endemis dan tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat
dan Afrika.8 Di Indonesia, kasus frambusia terutama ditemukan di wilayah
Indonesia timur, antara lain di NTT, Papua, Sulawesi Tenggara, Papua Barat,
Maluku, dan Sulawesi Tengah.
Upaya pemetaan kasus frambusia dikoordinasikan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat Pengendalian Penyakit
Menular Langsung, Sub Direktorat Kusta dan Frambusia. Penemuan kasus
frambusia dilakukan secara aktif dan pasif, penemuan kasus aktif hanya di NTT
dan wilayah lain secara pasif. Data merupakan gabungan lesi menular (lesi
primer atau sekunder) dan tidak menular (lesi tersier), dari kasus tidak menular
belum diketahui angka kecacatan akibat frambusia.

174

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

8.2.3. Patogenesis
Masa inkubasi penyakit ini panjang selama 9-90 hari (rata-rata 21 hari).
Kemudian penyakit memasuki stadium dini yang sangat infeksius yaitu muncul
lesi inisial/primer (mother yaw) berupa papul tunggal yang berkembang
menjadi papiloma atau ulkus basah pada tempat inokulasi. Pada 65-85% kasus,
lesi inisial ditemukan pada tungkai dan pergelangan kaki.2 Setelah 3-6 bulan, lesi
inisial menyembuh dengan meninggalkan bekas atrofi, hipopigmentasi, atau
jaringan parut.
Diantara lesi primer dan sekunder terdapat masa laten pertama selama
beberapa minggu sampai dua tahun. Lesi sekunder timbul di sekitar lesi inisial
atau di tempat lain termasuk tulang dan tulang rawan. Karakteristik lesi
sekunder menyerupai lesi inisial, tersebar luas dan polimorfik. Pada telapak
tangan dan kaki dapat timbul hiperkeratosis kadang disertai fissura dan nyeri.
Pada

tulang

dan

sendi

berupa

osteoperiostitis

dengan

nyeri

dan

pembengkakan. Masing-masing lesi dapat bertahan >6 bulan dan reversibel


dengan pengobatan. Masa laten kedua berlangsung 5-10 tahun namun relaps
penyakit dapat terjadi setiap saat.
Sekitar 10% kasus berlanjut ke stadium lanjut bila tidak diobati. 2,

Stadium ini ditandai dengan lesi tersier yang bersifat destruktif (gumma) dan
menimbulkan cacat namun tidak infeksius. Lesi tersier berupa gangosa, gondou,
nodul juxta artikular, sabre tibia, dan lesi hiperkeratotik pada telapak tangan
dan kaki.

8.2.4. Diagnosis
Diagnosis frambusia di Indonesia ditegakkan secara klinis tanpa
konfirmasi sehingga kemungkinan terjadi over- maupun under-diagnosis yang
merancukan gambaran beban penyakit. Identifikasi frambusia berdasarkan
gejala klinis tidak mudah dilakukan karena manifestasi klinis tidak selalu khas. Di

175

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

beberapa negara mulai ditemukan bentuk attenuated yaws akibat penggunaan


luas antibiotik.4 Sifilis venereal merupakan diagnosis banding yang perlu
dipikirkan pada semua lesi frambusia (primer/sekunder/ tersier).4
Saat ini pemeriksaan serologis belum dapat membedakan treponematosis
venereal maupun non-venereal lain. Hanya 60% kasus suspek frambusia klinis
yang berhasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologis. Alat diagnostik
frambusia memiliki limitasi masing-masing. Mikroskop lapang gelap tidak
praktis digunakan di lapangan karena masalah operasional dan teknis. Sensitiviti
pemeriksaan ini pada stadium dini frambusia yang belum diobati antara 73,878,8%.9 Sensitiviti menurun drastis bila pasien telah mendapat antibiotik
sistemik atau topikal, serta pada keadaan bacterial load rendah yaitu pada lesi
penyembuhan atau masa laten.
Rapid test serologis frambusia (treponemal dan non-treponemal) fisibel
secara operasional dan teknis, namun interpretasi hasil pemeriksaan harus
dilakukan hati-hati. Beberapa keadaan yang perlu dipertimbangkan antara lain
antibodi terhadap treponema belum terdeteksi pada minggu 1-3 pasca-infeksi,
adanya positif atau negatif palsu, adanya antibodi maternal pada sifilis
kongenital dan data epidemiologis pada wilayah masing-masing.

8.2.5. Pengobatan
Terapi frambusia merupakan salah satu cara memutus rantai penularan
dan memberantas penyakit. Sampai tahun 2013, terapi frambusia di Indonesia
masih menggunakan injeksi tunggal penisilin benzatin terhadap semua kasus
aktif, anggota keluarga dan kontaknya. Pemberian injeksi penisilin benzatin
membutuhkan tenaga kesehatan terlatih, efek nyeri di lokasi penyuntikan,
risiko transmisi penyakit melalui jarum suntik tidak steril dan risiko reaksi alergi
obat atau anafilaksis. Selain itu penisilin benzatin perlu disimpan dalam
refrigerator untuk menjaga kualitas preparat.

176

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tahun 2012 WHO merekomendasi pengobatan frambusia menggunakan


azitromisin oral dosis tunggal.8 Walaupun pemberiannya relatif lebih mudah,
efikasi azitromisin oral dosis tunggal untuk terapi frambusia di Indonesia dan
kemungkinan resistensi belum diketahui.

8.2.6. Prognosis/prediksi/estimasi
Frambusia tidak lagi menular dalam 24 jam pasca pengobatan.
Penyembuhan sempurna lesi primer dan sekunder dicapai dalam 2-4 minggu
paska pengobatan. Destruksi tulang yang terjadi pada stadium lanjut bersifat
irreversible dan mengakibatkan kecacatan.2

8.2.7. Pencegahan
Penyebaran frambusia berhubungan dengan higiene dan sanitasi buruk,
oleh karena itu penyakit ini dapat dicegah dengan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS).
Imunitas terhadap infeksi T. pallidum ssp. pertenue tidak bertahan
seumur hidup dan bersifat strain-spesifik. Sampai saat ini belum ada vaksin
terhadap frambusia, sehingga tidak menutup kemungkinan reinfeksi pada
penderita yang sebelumnya telah dinyatakan sembuh.2

8.3.

PROGRAM PENGENDALIAN FRAMBUSIA


Kegiatan pemberantasan frambusia dimulai pada tahun 1912 oleh Dr.
Kodijat di Jawa Tengah. Program nasional penanggulangan frambusia dimulai
tahun 1950 melalui Treponema Control Programme (TCP), dilanjutkan dengan
Treponema Control Programme Simplified (TCPS) tahun 1952.10 Program ini
berhasil menurunkan prevalensi frambusia dari 4,11% pada tahun 1952 menjadi

177

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

0,45% pada tahun 1980. Pada tahun 1982 dilakukan crash program dengan
tujuan eradikasi frambusia namun program ini belum berhasil mencapai target.
Pada tahun 2007, program pemberantasan frambusia di Indonesia dimulai
kembali melalui Pedoman Eradikasi Frambusia 2007.11 Target yang ingin dicapai
adalah eradikasi frambusia tahun 2009 dengan unit terkecil desa/dusun.
Diagnosis ditegakkan secara klinis tanpa konfirmasi serologis.
Berdasarkan data epidemiologi, wilayah Indonesia dibagi menurut
endemisitas yaitu wilayah endemis, wilayah pengawasan, dan wilayah bebas.
Pada wilayah endemis dilakukan penemuan penderita secara aktif melalui
survey kantong, rapid village survey atau school survey. Pada wilayah
pengawasan dan bebas dilakukan penemuan penderita secara pasif. Selain itu
dilakukan pelacakan terhadap kontak penderita.
Pengobatan menggunakan injeksi penisilin benzatin dengan strategi
pemberian ditentukan menurut besarnya prevalensi penderita di desa/dusun
endemis. Bila prevalensi diatas 5% diberikan total mass treatment (TMT), bila
prevalensi 2-5% diberikan juvenile mass treatment (JMT), dan bila dibawah 2%
diberikan selective mass treatment (SMT). Follow up minimal dua kali paska
pengobatan untuk memantau hasil pengobatan sebelumnya dan mencari
penderita dan kontak yang lolos (missed cases).
Pada wilayah dengan laporan klinis frambusia negatif selama tiga tahun
berturut-turut akan dilanjutkan dengan serosurvei terhadap anak berusia
dibawah lima tahun. Jika serosurvei memberi hasil negatif selama tiga tahun
berturut-turut, wilayah tersebut akan mendapat sertifikasi bebas frambusia.
Kegiatan pendukung program meliputi pelatihan terhadap tenaga
kesehatan dan kader menggunakan modul pelatihan frambusia, promosi
kegiatan eradikasi terhadap sasaran primer, sekunder dan tersier dengan tema
bebas frambusia, tinggalkan keterbelakangan dan kemiskinan, serta kegiatan
pencatatan dan pelaporan.

178

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pada tahun 2011-2015, pengendalian penyakit menular neglected (kusta,


filariasis limfatik, schistosomiasis, soil transmitted helminths dan frambusia)
seharusnya dilaksanakan terintegrasi.12 Target untuk frambusia adalah eliminasi
frambusia tahun 2013 melalui penemuan kasus aktif.
Pelaksanaan program terkendala kurangnya jumlah dan koordinasi
pemegang program baik di Pusat maupun Daerah. Program juga kekurangan
pembiayaan, estimasi kebutuhan program ini sebesar US $ 8 500 000 untuk
lima tahun, sedangkan komitmen pemerintah hanya menjamin US $ 5 000 000
dan sisanya diusahakan melalui eksternal. Keterbatasan sumber daya manusia
pemegang program juga menjadi penyebab tersendatnya pelaksanaan
program. Umumnya program pengendalian frambusia dilekatkan dengan
program kusta baik kegiatan maupun pelatihannya.
Dalam roadmap pengendalian neglected tropical diseases (NTD) tahun
2012, WHO menetapkan target untuk eradikasi frambusia global tahun 2020.13
Eradikasi frambusia didefinisikan sebagai pemutusan rantai penularan atau
tidak ada kasus frambusia baru dengan konfirmasi klinis dan serologis.
Rekomendasi utama WHO adalah pengobatan menggunakan azitromisin
oral dosis tunggal (30 mg/kg berat badan, maksimal 2 g). Penisilin benzatin
digunakan sebagai cadangan bagi pasien yang tidak dapat menggunakan
azitromisin, kasus gagal pengobatan, atau dimana tidak tersedia azitromisin
untuk pengobatan skala besar. Strategi pemberian adalah:
1. Total community treatment (TCT), yaitu mengobati seluruh penduduk di
wilayah endemis tanpa memandang jumlah kasus yang visibel secara klinis.
2. Total targetted treatment (TTT), yaitu mengobati pasien dengan lesi
frambusia visibel secara klinis dan kontaknya yang diketahui pada saat survei
atau pengobatan lanjutan, atau pada saat respons kejadian luar biasa. Hal ini
juga berlaku pada kasus impor.

179

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Berdasarkan rekomendasi WHO tersebut, Sub Direktorat Kusta dan


Frambusia merevisi buku pedoman dan diharapkan selesai akhir tahun 2013.
Program juga menyiapkan roadmap pengendalian frambusia menuju eradikasi
global 2020 dan menyelenggarakan penelitian pilot terapi frambusia
menggunakan azitromisin oral dosis tunggal.

8.4.

ANALISIS GAP

8.4.1. Laporan kegiatan/pencapaian program


Tahun 2005 terdapat 5500 kasus baru frambusia klinis di lima propinsi.
Tahun 2009 terdapat 8309 kasus baru di 13 propinsi, sebanyak 7400 kasus
diantaranya didapat dari survei aktif pada enam kabupaten/kota endemis di
Nusa Tenggara Timur (NTT). Tahun 2011 terdapat penurunan jumlah kasus yaitu
6631 kasus tersebar di Sumatera Utara, NTT, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Maluku, Papua, dan Papua Barat (Gambar 1). Jumlah kasus terendah
di Sumatera Utara sebanyak 4 kasus, tertinggi di NTT 5263 kasus, diikuti Papua
867 kasus dan Sulawesi Tenggara 214 kasus. Kasus terkonsentrasi pada wilayah
timur Indonesia.
Pada tahun 2009-2011, sebanyak 23 propinsi memberi laporan kepada
Kementerian Kesehatan. Tiga belas propinsi telah melaporkan tidak ada kasus,
yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung,
Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Gorontalo.
Tahun 2012 dilakukan survei serologis pada 8 kabupaten/kota di 8
propinsi yang melaporkan tidak ada kasus selama tiga tahun berturut-turut
(Tabel 1), tetapi masih dijumpai kasus seropositif pada
Konsekuensinya sertifikasi bebas frambusia belum dapat diberikan.

180

30 orang.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gambar 8,4,1.1. Distribusi kasus baru frambusia klinis di Indonesia tahun 2011
(Sumber: Summary report of a consultation on the eradication of yaws:
5-7 March 2012, Morges, Switzerland)

Tabel 8.4.1.1. Jumlah kasus seropositif terhadap frambusia tahun 2012


No.
1.

Propinsi
Jawa Timur

Kab./Kota
Sampang

2.

Riau

Inhil

3.

Sumatera Utara

Labuhan Batu

4.

Bengkulu

Seluma

Desa
Moktesareh

Klinis
-

RDT (+)
1

RPR (+)
-

Sei Penggantungan

Talang Kabu

Tanah Abang

Penago Baru

5.

Jambi

Tanjab Timur

Parit culum 2

6.

Sumatera Barat

Padang Pariaman

Pasir Baru

7.

Sulawesi Tengah

Parimo

Palasa Lambori

Bambasian

Pebounang

Matabaho

8.

Sulawesi Tenggara

Konawe

Jumlah
30
Rapid Diagnostic Test (RDT) treponemal; Rapid Plasma Reagin (RPR) non-treponemal;
*Tidak ada keterangan

15

181

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

8.4.2. Penelitian Kesehatan Masyarakat


Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan salah satu cara
pencegahan frambusia. Angka nasional rumah tangga yang memenuhi kriteria
PHBS baik menurut riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 sebesar
38,7%.14 Selain Sumatera Utara (41,3%), ternyata pencapaian PHBS propinsi
endemis frambusia dibawah angka nasional (Papua 24,4%; NTT 26,8%; Papua
Barat 33,0%; Sulawesi Tenggara 33,3%; Maluku 33,8%; Sulawesi Tengah 34,9%).
Berdasarkan riset fasilitas kesehatan (Rifaskes) tahun 201115, angka
nasional puskesmas melakukan kegiatan kusta 80,6% sementara di NTT 75,5%;
Maluku 69,6%; Papua Barat 62,5% dan Papua 38,1%. Angka nasional puskesmas
yang melakukan pelatihan kusta 32,2%, di Papua Barat 41,3%; Maluku 36,0%;
NTT 22,5%; dan Papua 22,4%. Data tersebut memperlihatkan pelaksanaan
kegiatan kusta/frambusia dan pelatihannya di puskesmas daerah endemis
masih rendah.
India adalah contoh negara yang sukses menerapkan program eradikasi
frambusia.16 Pada tahun 2006, negara ini berhasil mencapai status eliminasi dan
sampai tahun 2011, survei serologis pada anak berusia dibawah lima tahun
selalu memberi hasil negatif.
India mendeklarasi program eradikasi frambusia sebagai komitmen
nasional. Target mencapai status eradikasi pada tahun 2005 tercantum dalam
kebijakan kesehatan nasional tahun 2002. Implementasi kegiatan berupa
advokasi, koordinasi, KIE, identifikasi daerah endemis, deteksi kasus aktif dan
terapi, surveilans, supervisi dan evaluasi, serta validasi dilaksanakan dengan
perencanaan yang baik, interval teratur, dan pengawasan ketat di setiap level.
Program ini dinilai setiap tahunnya oleh task force frambusia, usulan strategi
atau rekomendasi ditulis dalam plan of action tahunan.

182

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Strategi program eradikasi frambusia di India meliputi dua komponen


besar, yaitu deteksi kasus secara aktif dan program komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE). Untuk menemukan kasus secara aktif, setiap enam bulan atau
minimal sekali setahun pada musim hujan (post-monsoon period), tenaga
paramedis terlatih melakukan pencarian kasus melalui kunjungan rumah-kerumah di daerah endemis. Pasien dengan lesi visibel suspek frambusia
dikonfirmasi secara klinis oleh dokter. Kemudian dilakukan pengobatan
menggunakan injeksi penisilin benzatin terhadap pasien dan kontaknya.
Program KIE ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dan
tenaga kesehatan. Dilakukan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi tenaga
kesehatan dalam mendiagnosis dan terapi penyakit frambusia. Disamping itu
disediakan material berupa kartu atau gambar berwarna untuk mempermudah
diagnosis dan edukasi.
Keberhasilan India membuktikan bahwa eradikasi frambusia bukan hal
yang mustahil. Kunci kesuksesan program ini adalah adanya kebijakan dan
komitmen nasional, sistem pelaksanaan yang baik dan lengkap dengan evaluasi
efektif, deteksi kasus secara aktif, dan anggaran yang cukup dapat mewujudkan
tujuan tersebut.

8.4.3. Penelitian IPTEK


Diagnosis
Evaluasi kombinasi point-of-care test yang mendeteksi antibodi
treponemal dan non-treponemal dalam alat tunggal dilakukan di Amerika
Serikat dan China.17,

18

Alat ini dirancang untuk mempermudah survei

serologis di daerah kategori low-resource atau daerah endemis yang sulit


diakses. Hasilnya dilaporkan nilai kesetaraan pemeriksaan non-treponemal
98,4% untuk hasil reaktif dan 98,6% untuk non-reaktif. Kesetaraan terhadap
pemeriksaan treponemal sebesar 96,5% dan 95,5% masing-masing untuk

183

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

hasil reaktif dan non-reaktif. Pada pemeriksaan treponemal didapat nilai


sensitiviti sebesar 96,7% untuk WB, 96,4% untuk kapiler dan 94,6% untuk
plasma, serta nilai spesifisiti berurutan sebesar 99,3%; 99,1%; dan 99,6%.
Pemeriksaan non-treponemal memperlihatkan nilai sensitiviti 87,2% untuk
WB, 85,8% untuk kapiler dan 88,4% untuk plasma, nilai spesifisiti sebesar
94,4%; 96,1%; dan 95,0%.
Diferensiasi penyebab frambusia dengan sifilis venereal melalui analisis
pemetaan genomik juga menyatakan bahwa perbedaan sekuens genomik T.
p. ssp. pertenue dengan T. p. ssp. pallidum kurang dari 0,2% dan perbedaan
tersebut terlokalisasi pada enam area genomik saja.19
Studi biomolekuler telah mengidentifikasi 11 strain T. pallidum ssp.
pertenue, yaitu strain Brazzaville, CDC-1, CDC-2, CDC-2575, Gauthier, Ghana,
Pariaman, Samoa D, Samoa F, Guyana 1, dan Guyana 2.20 Imunitas yang
timbul pada infeksi frambusia bersifat strain-spesifik dan melindungi individu
yang tidak diobati dari reinfeksi strain yang sama. Imunitas ini tidak bertahan
seumur hidup, oleh karena itu pengembangan vaksin di masa depan tidak
menjadi fokus solusi pengendalian frambusia.21
Identifikasi

kromosom

DNA

treponema

menggunakan

teknik

polymerase chain reaction (PCR) dikembangkan selama 20 tahun terakhir.


Kromosom treponema dapat diidentifikasi dari sediaan dengan jumlah
bakteri minimal, sensiviti pemeriksaan 10-2-10-3 organisme ekuivalen.
Terdapat 2 jenis PCR assay, yaitu yang bersifat non-spesifik terhadap
subspecies T. pallidum dan spesifik subspecies. Teknik spesifik subspecies
potensial digunakan untuk diferensiasi sifilis, frambusia, dan sifilis endemis.
Alat pemeriksa tersebut belum tersedia dan area genomic pembeda antar
subspesies treponema masih memerlukan studi lanjutan.2, 3

184

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Attenuated yaws
Attenuated yaws merupakan perubahan manifestasi klinis frambusia
tampak dilemahkan. Survei membandingkan gejala klinis frambusia tahun
1987 dibandingkan dengan hasil survei di pulau yang sama pada tahun
1953.22,

23

Hasil studi memperlihatkan kecenderungan perubahan pola

perjalanan penyakit menjadi lebih ringan (attenuated), dimana lesi sekunder


tidak lagi disertai nyeri dan proporsi lesi tersier dibawah 10%. Beberapa studi
lain di Papua Nugini24-26 memperlihatkan kecenderungan yang sama.
Keadaan ini kemungkinan karena adanya interaksi beberapa faktor, yaitu
semakin mudahnya akses ke fasilitas pelayanan kesehatan sehingga
diagnosis lebih dini dan penggunaan antibiotik pada penderita frambusia
laten atau dengan gejala ringan.27 Karakteristik attenuated yaws masih perlu
studi lebih lanjut, namun keberadaannya patut diwaspadai untuk
menghindari missed-diagnosis frambusia.
Azitromisin oral dosis tunggal vs injeksi penisilin benzatin.
Uji klinik menilai efikasi azitromisin oral dosis tunggal terhadap injeksi
intramuskular benzilpenisilin benzatin terhadap pasien frambusia berusia 6
bulan sampai 15 tahun.28 Perbedaan cure rate kedua grup sebesar -3,4%
(KI95% -9,3 s.d. 2,4), dan disimpulkan bahwa azitromisin non-inferior
terhadap benzilpenisilin benzatin. Analisis biaya pengobatan dengan kedua
obat ini di Papua Nugini menyatakan bahwa biaya pengadaan dan
pemberian azitromisin generik sangat kompetitif dan mungkin lebih rendah
dari penisilin injeksi.29
Resistensi terhadap azitromisin
Penisilin telah digunakan untuk pengobatan frambusia selama lebih
dari 60 tahun dan sejauh ini belum ada bukti resistensi T. pallidum ssp.
pertenue terhadap penisilin, azitromisin atau antibiotik golongan makrolid
lain. Di Amerika Serikat, Kanada dan Irlandia, azitromisin semakin sering
diresepkan untuk pengobatan sifilis venereal menggantikan penisilin karena

185

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

kemudahan penggunaan dan efikasinya. Kasus resistensi T. pallidum


terhadap azitromisin pada pasien sifilis telah dilaporkan.30 Resistensi ini
berhubungan dengan mutasi treponema akibat penggunaan antibiotik
golongan makrolid untuk berbagai indikasi.31 Kejadian ini patut diwaspadai
mengingat azitromisin mudah didapat, tersedia sediaan generik sehingga
harga relatif terjangkau, dan dapat digunakan untuk indikasi lain seperti
infeksi saluran nafas, paru, sinus, telinga dan infeksi menular seksual.

Tabel 8.4.1. Analisis Gap Frambusia


No

186

Temuan

Program

Saran

Pemetaan
penyakit belum
akurat

- Diagnosis klinis tanpa


konfirmasi serologis
- Penemuan kasus aktif
di hanya di NTT

Pembiayaan
program belum
mencukupi

Pelaksanaan
program belum
efektif

- Estimasi pembiayaan
2011-2015 sebesar
US$ 8 500 000
- Kekurangan
US$ 3 500 000
- SDM merangkap dan
kurang koordinasi
- Pelaksanaan kegiatan
dan pelatihan kusta/
frambusia di wilayah
endemis rendah
- Belum semua propinsi
melapor ke Pusat

Kendala teknis
injeksi penisilin

- Terapi menggunakan
injeksi penisilin
benzatin menurut
prevalensi

- Terapi menggunakan azitromisin


oral dosis tunggal
- Uji efikasi dan resistensi azitromisin

PHBS belum
menjadi
kebiasaan
masyarakat

- Rumah tangga
termasuk kriteria
PHBS baik di wilayah
endemis rendah

Komitmen
politis belum
mendukung

- Eradikasi frambusia
bukan program
prioritas di Pusat dan
Daerah

- Sosialisasi PHBS melalui media


massa
- Penyuluhan langsung kepada
masyarakat
- Menjamin ketersediaan air bersih
- Advokasi untuk menetapkan
program eradikasi frambusia sebagai
prioritas
- Sistem reward bagi daerah yang
berhasil eliminasi

- Diagnosis klinis diperkuat serologis


(treponemal dan non treponemal)
- Penemuan kasus aktif
- Pelatihan nakes dan kader untuk
maksimalkan penemuan kasus
- Advokasi kepada lembaga donor
atau program CSR perusahaan
nasional/ internasional

- Pemantauan pelaksanaan dan


evaluasi program ketat, sebaiknya
oleh pihak ketiga independen
- Sosialisasi alur pelaporan
- Sistem reward bagi daerah yang
berhasil eliminasi

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

8.5.

POLICY OPTION DAN PENELITIAN


Kebijakan penangan kasus Frambusia saat ini
Untuk menangani kasus frambusia dan kontaknya yang ada
berdasarkan data tersedia saat ini, pengobatan menggunakan injeksi
penisilin benzatin tetap dilanjutkan sesuai arahan pedoman eradikasi
frambusia 2007.
Kebijakan pengendalian atau eliminasi atau eradikasi frambusia
Kebijakan pemantauan pengendalian frambusia dimulai dengan
menetapkan cara diagnosis dan pengobatan terbaik untuk penderita
frambusia di Indonesia. Diagnosis sebaiknya ditegakkan berdasarkan kriteria
klinis ditunjang konfirmasi serologis treponemal dan non-treponemal serta
dilakukan penemuan kasus secara aktif. Pengobatan ditentukan menurut
fisibilitas dan kemudahan operasional karena kedua pilihan terapi sama
efektif untuk frambusia.
Arah kebijakan dan strategi program disesuaikan dengan rekomendasi
WHO 2012 dan terus melakukan advokasi kepada stakeholder terkait di level
Pusat maupun Daerah agar diperoleh komitmen dalam menyukseskan
eradikasi frambusia 2020.
Kebijakan pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian/eradikasi
Kebijakan pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian dilakukan
dengan memberi perhatian kepada kegiatan pendukung program, yaitu
advokasi, sosialisasi dan menghimpun peran serta masyarakat secara
bersinambungan, pelatihan untuk tenaga kesehatan dan kader, dll. Kegiatan
serosurvei dilaksanakan sesuai ketentuan dengan meperhatikan aspek
metodologi dan diagnostik. Aspek pengawasan dan evaluasi program juga
penting, jika memungkinkan sebaiknya dibentuk tim kerja independen yang
khusus bertugas sebagai time-keeper dan evaluator jalannya program.

187

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 8.5.1. Policy Option Frambusia


Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Masalah

Penanganan

Maintenance

Penelitian

Manajemen
kasus

Untuk kasus yang


ada sekarang
mengobati
penderita dan
kontak dengan
injeksi penisilin
benzatin

- Menetapkan cara
diagnosis terbaik:
klinis diperkuat
serologis
(treponemal dan
non treponemal)
- Penemuan kasus
secara aktif
- Menetapkan terapi
terbaik: azitromisin
atau penisilin
benzatin

- Serosurvei berkala
dengan cara
diagnosis terbaik
- Pelatihan untuk
nakes dan kader
- Sosialisasi kepada
masyarakat
- Peran serta
masyarakat

Uji efikasi dan


resistensi
azitromisin

Manajemen
program

Melanjutkan
program

- Revisi pedoman
- Roadmap menuju
eradikasi global
2020

Pengawasan
pelaksanaan dan
evaluasi ketat

Analisis costeffectiveness
pengobatan
frambusia di
Indonesia

Komitmen
politis

Melanjutkan
program

Menetapkan eradikasi
frambusia sebagai
prioritas

Advokasi dan
sosialisasi
bersinambungan

Analisis kebijakan

Survei untuk
pemetaan atau
validasi eliminasi

Daftar Pustaka
1. Perine PL, Hopkins DR, John RKS, Niemel PLA, Causse
G, Antal GM. Handbook of endemic treponematoses
yaws, endemic syphilis and pinta. Geneva: World
Health Organization; 1984.

5. Boedisusanto I. Analisis kondisi rumah, sosial


ekonomi dan perilaku sebagai faktor risiko kejadian
frambusia di Kota Jayapura tahun 2007. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada; 2008.

2. Mitj O, Asiedu K, Mabey D. Yaws. The Lancet. 2013;


381(9868): 763-73.

6. Boomgaard P. Syphilis, gonorrhoea, leprosy and yaws


in the Indonesian archipelago, 1500-1950. Journal of
Humanities. 2007; 14: 20-41.

3. Mitja O, Smajs D, Bassat Q. Advances in the diagnosis


of endemic treponematoses: yaws, bejel, and pinta.
PLoS neglected tropical diseases. 2013; 7(10): e2283.
4. Farnsworth N, Rosen T. Endemic treponematosis:
review and update. Clinics in dermatology. 2006;
24(3): 181-90.

188

7. Noordhoek GT, Engelkens HJH, Judanarso J, Stek Jvd,


Aelbers GN, Sluis JJAvd, et al. Yaws in West Sumatra,
Indonesia: Clinical manifestations, serological
findings and characterisation of new Treponema
isolates by DNA probes. European journal of clinical
microbiology & infectious diseases : official
publication of the European Society of Clinical
Microbiology. 1991; 10(1): 12-9.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

8. Summary report of a consultation on the eradication


of yaws: 5-7 March 2012, Morges, Switzerland.
Geneva: World Health Organization; 2012.
9. Kennedy EJ, Creighton. ET. Darkfield microscopy for
the detection and identification of Treponema
pallidum. Manual of syphillis tests. Atlanta: Centers
for Disease Control and Prevention; 1998.
10. Soetopo M, Wasito R, Soedarsono H, Tjokrodipo D.
The Indonesian treponematoses control project. Bull
Wld Hlth Org. 1956; 15: 937-58.
11. Pedoman eradikasi frambusia. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia 2007.
12. Neglected tropical diseases in Indonesia: An
integrated plan of action, Ministry of Health
Indonesia, 2011-2015. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011.
13. Accelerating work to overcome the global impact of
neglected tropical diseases: A roadmap for
implementation. Geneva: World Health
Organization; 2012.
14. Laporan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS)
nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2007.
15. Laporan akhir Riset Fasilitas Kesehatan 2011:
Puskesmas. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2012.
16. Weekly epidemiological record:Elimination of yaws
in India World Health Organization; 2008.
17. Yin YP, Chen XS, Wei WH, Gong KL, Cao WL, Yong G,
et al. A dual point-of-care test shows good
performance in simultaneously detecting
nontreponemal and treponemal antibodies in
patients with syphilis: a multisite evaluation study in
China. Clinical infectious diseases : an official
publication of the Infectious Diseases Society of
America. 2013; 56(5): 659-65.
18. Castro AR, Esfandiari J, Kumar S, Ashton M, Kikkert
SE, Park MM, et al. Novel point-of-care test for
simultaneous detection of nontreponemal and
treponemal antibodies in patients with syphilis.
Journal of clinical microbiology. 2010; 48(12): 46159.

19. Cejkova D, Zobanikova M, Chen L, Pospisilova P,


Strouhal M, Qin X, et al. Whole genome sequences of
three Treponema pallidum ssp. pertenue strains:
yaws and syphilis treponemes differ in less than 0.2%
of the genome sequence. PLoS neglected tropical
diseases. 2012; 6(1): e1471.
20. Harper KN, Ocampo PS, Steiner BM, George RW,
Silverman MS, Bolotin S, et al. On the origin of the
treponematoses: a phylogenetic approach. PLoS
neglected tropical diseases. 2008; 2(1): e148.
21. Koff AB, Rosen T. Nonvenereal treponematoses:
Yaws, endemic syphilis, and pinta. J Am Acad
Dermatol. 1993; 29: 519-35.
22. Fegan D, Glennon M, Macbride-Stewart G, Moore T.
Yaws in the Solomon Islands. The Journal of tropical
medicine and hygiene. 1990; 93(1): 52-7.
23. Fegan D, Glennon MJ, Thami Y, Pakoa G. Resurgence
of yaws in Tanna, Vanuatu: time for a new approach?
Tropical doctor. 2010; 40(2): 68-9.
24. Duncan LE, Alto W. An investigation of yaws on the
Trobriand Islands, 1985. Papua and New Guinea
medical journal. 1987; 30(1): 57-61.
25. Reid MS. Yaws in Papua New Guinea: extent of the
problem and status of control programs. Reviews of
infectious diseases. 1985; 7 Suppl 2: S254-9.
26. Willcox RR. Venereal diseases in the Pacific Islands.
Papua New Guinea. The British journal of venereal
diseases. 1980; 56(5): 277-81.
27. Capuano C, Ozaki M. Yaws in the Western pacific
region: a review of the literature. Journal of tropical
medicine. 2011; 2011: 642832.
28. Mitja O, Hays R, Ipai A, Penias M, Paru R, Fagaho D,
et al. Single-dose azithromycin versus benzathine
benzylpenicillin for treatment of yaws in children in
Papua New Guinea: An open-label, non-inferiority,
randomised trial. Lancet. 2012; 379: 342-47.
29. Mitja O, Hays R, Rinaldi AC, McDermott R, Bassat Q.
New treatment schemes for yaws: the path toward
eradication. Clinical infectious diseases : an official
publication of the Infectious Diseases Society of
America. 2012; 55(3): 406-12.
30. Katz KA, Klausner JD. Azithromycin resistance in
Treponema pallidum. Current opinion in infectious
diseases. 2008; 21(1): 83-91.
31. Marra CM, Colina AP, Godornes C, Tantalo LC, Puray
M, Centurion-Lara A, et al. Antibiotic selection may
contribute to increases in macrolide-resistant
Treponema pallidum. The Journal of infectious
diseases. 2006; 194(12): 1771-3.

189

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

190

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB

ANTRAKS
Basundari Sri Utami

9.1.

PENDAHULUAN
Antraks, adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Bacillus
anthracis. Antraks menurut WHO termasuk salah satu penyakit Neglected
Zoonotic Diseases (NZDs) atau penyakit zoonosis yang terabaikan.

NZDs

terutama terjadi pada penduduk miskin dan tinggal didaerah marginal, dimana
bisa terjadi penularan antara manusia dengan hewan domestik atau hewan liar
oleh karena adanya peran lingkungan yang mendukung untuk terjadinya
penularan.
Kasus Antraks telah dilaporkan sejak tahun 1832, pertama kali dilaporkan
di kecamatan Tirawuta dan Monewe, kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Kemudian kasus antraks dilaporkan terjadi di Pulau Sumatera (1884), Bali
(1885), Jawa Tengah (1990), Nusa Tenggara Timur (1976), Nusa Tenggara Barat
(1977), Irian Jaya (1985),Jawa Barat (2000), Jakarta Selatan (2008), Sulawesi
Selatan (2009).
Penyakit antraks menjadi penting karena kejadian KLB antraks
mempunyai konotasi dengan kemiskinan. Disamping itu B. anthracis termasuk
dalam urutan pertama dalam klasifikasi agen biologi yang digunakan sebagai
senjata biologi, oleh karena mudah disebarkan secara luas dan gejala yang
ditimbulkan non spesifik sehingga menyulitkan diagnosis. 1,2

191

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

9.2.

MASALAH ANTRAKS DI INDONESIA

9.2.1. Etiologi
Bacillus anthracis

adalah bakteri gram positif, berbentuk batang

berukuran 1x6 m, sedangkan sporanya berukuran lebar 1 - 1.2m dan


panjang 3 - 5m. Genotip dan fenotip sangat mirip dengan Bacillus cereus dan
Bacillus thuringiensis, dapat ditemukan pada tanah diseluruh dunia. Tiga spesies
ini mempunyai ukuran dan morfologi yang sama, dan dapat membentuk spora
dengan posisi di tengah.3 Hal yang membedakan B.anthracis dengan kelompok
Bacillus cereus adalah, faktor virulensi dari B.anthracis yang dikode plasmids
pXO1 (189 kb, anthrax toxin) dan kapsulnya yang dikode plasmids pXO2 (96 kb,
capsule genes). Bacillus anthracis mempunyai dua bentuk pertahanan, yaitu
kapsul dan spora. Jika kondisi menguntungkan, banyak mengandung nutrisi
maka B. anthracis akan tumbuh dan berkembang. Jika kondisi tidak
menguntungkan, setiap bentuk batang dari bakteri akan membentuk spora,
yang merupakan fase dorman, tahan hidup lama dan mencemari lingkungan.4

9.2.2. Epidemiologi
Kejadian kasus antraks di Indonesia bersifat sporadik, terlokalisir dalam
satu wilayah tertentu dan cenderung berulang. Infeksi penyakit antraks dimulai
ketika spora B. anthracis memasuki tubuh inang (manusia atau hewan
memamah biak). Spora akan berkembang didalam tubuh inang hingga
menimbulkan gejala klinis, jika terjadi kematian pada inang B. anthracis akan
keluar bersama cairan tubuh membentuk spora dan mencemari tanah sekitar.
Permasalahan untuk penyakit antraks adalah jika sudah terjadi penularan dapat
dipastikan bahwa telah terjadi pencemaran tanah dilingkungan kejadian
penyakit. Spora antrak dapat mencemari lingkungan ditanah kering selama
60 tahun. Daya tahan spora antraks akan meningkat

pada tanah yang

mempunyai tingkat keasaman pH >6.0 dan temperatur lingkungan >15,5oC. Di

192

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Indonesia kejadian antraks sering terjadi pada sistim pemeliharaan ternak


dilepas untuk bisa merumput pada siang hari. Pada musim kering dimana
rumput sangat langka ternak sering terinfeksi karena memakan rumput yang
tercabut sampai ke akarnya. Kasus antraks di daerah-daerah endemis seringkali
dikaitkan dengan tanah dengan kebun yang ditanami palawija (jagung,
singkong, tebu) atau juga yang tumpang sari. Sebanyak 92% dari sampel batang
sampai ke ujung daun tanaman jagung yang tumbuh di lokasi tanah yang
terkontaminasi dengan spora antraks ternyata positif mengandung spora
B.anthracis. Begitu juga tanah pertanian di sekitar saluran irigasi dimana ternak
merumput merupakan faktor risiko untuk terjangkitnya antraks. Spora antraks
cenderung akan mengapung dan mengikuti air yang mengalir atau air yang
berkumpul dalam satu lokasi tertentu.5 Wabah antraks dilaporkan seringkali
didahului dengan perubahan ekologi atau iklim, seperti banjir atau hujan yang
diikuti dengan kekeringan.
Manusia dapat tertular antraks baik secara langsung maupun tidak
langsung, tiga modus penularan antraks ke manusia yang diketahui sejak lama
yaitu melalui kulit, pencernaan dan pernafasan.

Antraks kulit (antraks

kutaneus) biasanya menjangkiti orang yang menangani produk hewan


terkontaminasi spora antraks. Antraks pencernaan (antraks gatro-intestinal)
ditularkan akibat spora yang tertelan melalui mulut. Antraks pernafasan
(antraks pulmonal) akibat terhirupnya spora antraks. Meskipun belum pernah
diteliti di Indonesia, lalat kemungkinan mempunyai peran penting dalam
menyebarkan antraks secara mekanis terutama pada situasi wabah hebat di
daerah endemis.6, 7, 8

9.2.3. Patogenesis
Bacillus anthracis mempunyai dua bentuk pertahanan, yaitu kapsul dan
spora. Bacillus anthracis dalam bentuk aktif (vegetative) bisa keluar dari dalam
tubuh setelah inang mati (ternak atau hewan lain), melalui pendarahan dari

193

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

hidung, mulut, anus, atau dengan cara lain, dan akan mencemari lingkungan.
Jika keadaan lingkungan tidak kondusif untuk berkembang (kondisi nutrisi
esensial tidak terpenuhi dan aerob), maka bentuk vegetatif akan membentuk
spora. Bentuk spora merupakan fase dormant/ tidak aktif. Kapsul B. anthracis
berperan dalam menghambat proses fagositosis makrofag, karena adanya
asam Poly-D-glutamyl (PGA) dan 3 komponen eksotoksin pada kapsulnya.
Protein eksotoksin tersebut adalah protective antigen (PA, 83 kDa), lethal faktor
(LF, 90 kDa), dan edema faktor (EF, 89 kDa). LF dan EF secara individu bersifat
non toksik, tetapi bila bergabung dengan PA menjadi bersifat toksik dan
menyebabkan respon patogenik pada hewan dan manusia. Gabungan PA + LF
adalah toksin penyebab kematian jaringan, gabungan PA + EF merupakan toksin
penyebab edema, sedangkan gabungan PA + LF + EF menyebabkan edema,
nekrosis dan kematian.9,

10

Konsentrasi LF yang tinggi dapat merusak sel

makrofag sehingga bakteri bisa bebas dalam aliran darah atau limfe. EF dapat
merubah cyclic ATP (cATP) menjadi cyclic AMP (cAMP), sehingga konsentrasi EF
yang tinggi menyebabkan resistensi air dalam sel tidak bisa dipertahankan,
terjadi penumpukan air (edema). PA berfungsi sebagai sarana jalan masuknya
komponen toksin dalam sel pertahanan, melalui mekanisme khusus. 11

9.2.4. Diagnosis
Ada 3 bentuk klinis Antraks, yaitu tipe kulit, tipe gastro intestinal dan tipe
inhalasi tergantung tempat masuk spora. Antraks tipe kulit ditunjukkan dengan
adanya vesikula atau ulser yang karakteristik dengan adanya eschar hitam. Tipe
gastrointestinal terjadi karena memakan daging hewan terinfeksi B anthracis,
dengan diare yang tidak spesifik. Tipe inhalasi terjadi karena terhirupnya spora
dalam pernafasan, dengan gejala awal menyerupai influenza, demam ringan,
pusing, lemah, mialgia dan batuk non produktif. Setelah 48 jam gejala menjadi
berat seperti dyspnoea, stridor, demam, dan cyanosis.

Antraks inhalasi

merupakan bentuk yang paling berbahaya karena perjalanan infeksi yang

194

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

sangat cepat. Pada antraks inhalasi, infeksi tidak terjadi pada paru-paru, tetapi
pada

kelenjar

mediastinum,

dan

tidak

terlihat

gambaran

bronchopneumonia.12,13,14
Uji

laboratorium untuk diagnosis antraks

sangat diperlukan untuk

memastikan agen penyebab. Berdasarkan panduan dari WHO persyaratan


laboratorium pemeriksaan antraks adalah BSL2 sampai BSL3, dengan sumber
daya manusia yang sudah dinyatakan lulus dalam pelatihan GLP (Good
Laboratory Practice). 15

9.2.5. Pengobatan
Umumnya penyakit-penyakit NZDs under diagnosis atau under reported
oleh karena sering tidak mendapat prioritas dan perhatian penuh dalam
penanggulangannya.16 Antraks dapat menginfeksi binatang peliharaan, ternak
(kambing, domba, sapi, kuda, babi) binatang liar

17

dan juga unggas.18

Pengobatan yang dilakukan sedini mungkin akan menunjukkan hasil yang baik.
Obat-obatan yang diajurkan atau direkomendasikan saat ini seperti yang
dianjurkan WHO pada tabel 9.2.5.1.

9.2.6. Prognosis/prediksi/estimasi
Penyakit-penyakit NZDs dapat meluas ke daerah lain meskipun tidak
cepat tetapi dapat berdampak fatal (kematian) atau mengakibatkan disability
permanent (kecacatan permanen). Pengobatan NZDs relatif mudah dan tidak
mahal, sehingga penanggulangan atau eliminasi NZDs sangat mungkin
dilakukan.
Antraks tipe kulit paling sering terjadi di Indonesia, namun demikian
adanya kejadian antraks di Indonesia seringkali dikategorikan sebagai Kejadian
Luar Biasa, (KLB), oleh karena kebiasaan penduduk untuk menyegerakan

195

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

penyembelihan hewan sakit serta mengkonsumsi atau menjual cepat ternak


sakit.19

Tabel 9.2.5.1. Pemberian Antibiotik Untuk Pengobatan Antraks


Menurut Rekomendasi WHO
Antibiotik

Dosis
Dewasa

Penicillin V
Penicillin G,
procaine
Penicillin G, sodium
atau potassium
Ampicillin

500 mg PO, 4 kali/ hari


0.61.2 mU IM tiap 1224
jam
4 mU IV tiap 46 h

Amoxicillin

500 mg per oral tiap 8 jam

Ciprofloxacin (a)

500 mg PO tiap 12 jam


400 mg IV tiap 12 jam

Clarithromycin (b)
Clindamycin (b)

500 mg PO or IV every 12 h
150300 mg PO tiap 6 jam
600900 mg IV tiap 68 jam
100 mg tiap 12 jam

Doxycycline

Erythromycin
Rifampicinc

12 g IV tiap 46 jam

Anak-anak
2550 mg/kg/hari PO dibagi dalam 4 dosis
25 00050 000 U/kg/hari IM
300 000400 000 U/kg/hari dosis dibagi untuk pemberian
tiap 46 jam
50200 mg/kg/hari IV dibagi untuk pemberian tiap 46
jam
Berat > 20 kg: 500 mg PO tiap 8 jam
Berat < 20 kg: 40 mg/kg PO dibagi dalam 3 dosis tiap 8 jam
Tidak dianjurkan untuk anak-anak.
Pada keadaan darurat, 1015 mg/kg 2 kali/ hari, tidak
diberikan lebih dari 1 g/ hari.
Tidak dianjurkan
(oral) 825 mg/kg/hari tiap 68 jam
(IV) 1540 mg/kg/hari dibagi dalam 34 dosis
Tidak direkomendasikan untuk < 8 tahun.
Pada keadaan darurat,
8 tahun, 2.2 mg/kg dua kali/ hari
> 8 tahun dan berat > 45 kg: 100 mg dua kali per hari
> 8 tahun dan berat < 45 kg: 2.2 mg/kg dua kali per hari
3050 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis
1020 mg/kg/hari tiap 1224 jam

500 mg PO tiap 6 jam


0.61.2 g tiap hari IV atau
PO dibagi dalam 24 dosis
Streptomycin (d)
1 g/hari IM
2040 mg/kg/hari IM
Tetracycline
500 mg PO tiap 6 jam
Tidak dianjurkan untuk anak-anak
Vancomycin (c)
1 g IV tiap 12 jam
40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 atau 4 dosis tiap 612 jam
PO = peroral; IV = intravenous; IM = intramuscular.
(a) Pada penderita alergi penicillin, dianjurkan untuk memberikan kombinasi fuoroquinolone dengan 2
agen tambahan yang dapat mencapai CSF
(b) Kombinasi penicillin G dengan clindamycin atau clarithromycin dianjurkan untuk pengobatan antraks
inhalation
(c) Kombinasi penicillin G dengan rifampicin atau vancomycin dianjurkan untuk pengobatan antraks
meningoencephalitis.
(d) Kombinasi penicillin G dengan streptomycin atau aminoglycosides dianjurkan untuk pengobatan
antraks gastrointestinal
15
(Disalin dari Anthrax in human and animal. WHO 2008)

196

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Ke 3 tipe kasus antraks berpotensi untuk terjadi septikemi. Pada kasus


antraks kulit yang tidak segera diobati, 20% penderita akan terjadi septikemi,
dan akan terjadi kematian. Jika penderita mendapat pengobatan yang memadai
mortality rate kurang dari 1%. Pada antraks gastro intestinal, karena gejala
yang tidak spesifik, diagnosis sulit ditegakkan dan angka mortality rate bisa
mencapai 20-60%. Lima puluh persen (50%) dari penderita antraks inhalasi
dapat menjadi meningitis, estimasi mortality rate antraks inhalasi diatas 95%.
Bila sampai terjadi meningitis maka mortality rate 100%.12,13

9.2.7. Antraks sebagai senjata biologi


Karakteristik dari senjata biologi adalah agen mudah diproduksi dan
disebar, aman digunakan oleh yang menyebarkan, serta dapat melumpuhkan
atau membunuh individu berulang kali dengan hasil yang sama/konsisten.
Agen biologi pada senjata biologi juga harus dapat diproduksi dengan cepat dan
murah,

mudah

ditularkan,

menimbulkan

sakit

berkepanjangan

yang

membutuhkan perawatan intensif dan gejala yang ditimbulkan bersifat nonspesifik sehingga menyulitkan diagnosis. Pada umumnya, senjata biologi juga
memiliki waktu inkubasi yang cukup panjang di dalam tubuh penderita sehingga
penyakit dapat ditularkan dan menyebar secara luas sebelum dapat terdeteksi.
Bacillus antracis termasuk dalam urutan pertama agen biologi. Bentuk sporanya
tahan lama bahkan sampai puluhan tahun.20, 21

9.2.8. Pencegahan
Pencegahan terulangnya kejadian KLB antraks seperti yang dianjurkan
WHO adalah sebagai berikut :
Memutus siklus penularan dan setiap langkah harus dilakukan secara serius
dan secara lintas sektor antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Pertanian.

197

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Menghilangkan sumber infeksi dengan memusnahkan bangkai hewan


terinfeksi secara benar.
Melakukan disinfeksi, dekontaminasi dan memusnahkan material yang
terkontaminasi disekitar kasus indeks, dengan menggunakan material yang
dapat membunuh spora dan memberi dampak minimal pada manusia,
hewan dan tanaman sekitar (chlorine, formaldehyde, hydrogen peroxide dan
bahan pengoksidasi atau glutaraldehyde).
Melakukan vaksinasi hewan secara berkala dan manusia yang berisiko
terkena.
Melakukan pengobatan sedini mungkin.
Survailans antrak dianjurkan WHO untuk mengetahui situasi endemisitas,
sehingga dapat mencegah kejadian penyakit pada hewan dan manusia,
survai sebaiknya dilakukan secara lintas sektor.16, 15

9.3.

PROGRAM PENGENDALIAN ANTRAKS


Program penanggulangan antraks yang dilakukan SubDit Zoonosis, DirJen
PPM dan PL adalah dengan melakukan pemantauan daerah endemis antraks
diutamakan untuk propinsi-propinsi timur Indonesia. Pemantauan dilakukan
secara lintas sektor bersama dengan Direktorat Jenderal Peternakan, dilakukan
terutama pada saat hari besar Idhul Adha, dimana banyak terjadi lalu lintas
hewan kurban antar propinsi maupun kabupaten. Jika dilaporkan adanya kasus
antrak petugas kesehatan pusat akan melakukan pengambilan sampel darah
untuk dilakukan konfirmasi laboratorium, namun demikian pemeriksaan sampel
masih dilakukan di laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVet) yang ditunjuk
yaitu: BBVet Denpasar, Bali untuk Indonesia Timur, BBVet Wates, Yogyakarta
untuk Jawa Tengah, BBVet Maros untuk Sulawesi dan BBVet Bogor untuk Jawa
Barat (Subdit Zoonosis, DirJen PPM dan PL). Pengobatan penderita Antraks
dilakukan berdasarkan gejala klinis oleh puskesmas setempat sesuai standar

198

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

pedoman

pengobatan

Antraks

PEDOMAN

PENGOBATAN

DASAR

DI

PUSKESMAS, DEPKES RI.22


Jika dilaporkan ditemukan kasus antrak didaerah baru, kegiatan yang
dilakukan adalah : melakukan investigasi lapangan untuk penentuan lokasi,
pemetaan geografis, penentuan penularan dan dilakukan pengambilan sampel
darah untuk konfirmasi laboratorium. Kegiatan pelatihan atau pelatihan
penyegaran petugas kesehatan tidak dilakukan karena adanya kendala
pendanaan. (Subdit Zoonosis, DirJen PPM dan PL).

9.4.

PENELITIAN

9.4.1. Penelitian Kesehatan Masyarakat


Sejak tahun 1832 sampai dengan bulan Juli tahun 2012, tercatat lebih dari
15 propinsi di Indonesia telah tertular antraks, kejadiannya dikategorikan dalam
Kejadian Luar Biasa (KLB), laporan kematian dalam KLB antraks dilaporkan di
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Irian Jaya, Nusa Tenggara barat, Jawa
Barat dan Jawa Tengah.23, 24
Penelitian yang dilakukan bersifat monitoring dan evaluasi dilakukan
untuk melihat kesiapan SDM baik kesehatan maupun peternakan dalam
menanggulangi kejadian luar biasa (KLB) antraks. Dari hasil monitoring dan
evaluasi KLB pada tahun 2011 di 3 kecamatan (kecamatan Klego kabupaten
Boyolali dan kecamatan Miri kabupaten Sragen propinsi Jawa Tengah serta
kecamatan Sabu Timur kabupaten Sabu Raijua, propinsi Nusatenggara Timur),
dapat disimpulkan bahwa; kurang siapnya petugas kesehatan yang terlihat dari
keterlambatan dalam pelaksanaan konfirmasi spesimen, karena sarana
transportasi dan sumber daya manusia yang kurang memadai, adanya kendala
dalam sarana dan prasarana

pengambilan sampel dan

terjadi kesalahan

diagnosis penyakit. Petugas peternakan, yang melakukan vaksinasi ternak

199

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

hanya pada saat kejadian KLB dan tidak pernah dilaksanakan rutin berkala,
desinfeksi dilaksanakan tidak menyeluruh pada area tercemar. Pengetahuan
masyarakat tentang penyakit antraks masih sangat kurang, penduduk masih
sering melakukan tradisi-tradisi yang dapat memperluas penularan, misalnya
memotong hewan sakit dan membagikan ke penduduk lain, mengkonsumsi dan
mengawetkan daging sapi yang mati, keengganan untuk melakukan tindakan
medis untuk dirinya, enggan menerima petugas untuk vaksinasi ternaknya dan
enggan melaporkan ternak sakit.

11

Perluasan daerah tertular antraks

cenderung terjadi. Di Kabupaten Sabu Raijua pada tahun 1987 tercatat terjadi
KLB antraks hanya di 1 kecamatan (desa Jiwuwu kecamatan Sabu Timur),
namun pada tahun 2011 meluas di 4 kecamatan (Sabu Timur, Sabu Tengah,
Sabu Barat dan Hawu Mehara). 7,23,26

9.4.2. Penelitian IPTEK


Penelitian yang dilakukan di luar negeri terutama untuk pengembangan
vaksin antraks yang aman dan mempunyai daya lindung lama. Pengembangan
vaksin dilakukan untuk melindungi para tentara

untuk antisipasi terhadap

ancaman antraks sebagai senjata biologi. Vaksin yang telah dikembangkan


antara lain vaksin anti protective antigen (Anthrax Vaccine Absorbed). Vaksin
ini melindungi pada tahap awal dari infeksi spora B. anthracis. Vaksin subunit
merupakan vaksin inaktif yang hanya mengandung

protektif antigen (PA)

sebagai imunogen, aplikasi vaksin ini dapat secara aerosol atau parenteral.
Vaksin rekombinan protektif antigen (rPA) dikembangkan untuk vaksinasi
secara oral dan dapat menginduksi kekebalan humoral dan kekebalan
mukosal.3,18 Disamping pengembangan vaksin penelitian juga dilakukan untuk
mengatasi

antraks inhalasi yaitu pengembangan antibodi monoklonal

(Raxibacumab) untuk bloking toksin PA,

sehingga toksin-toksin LF dan EF

menjadi tidak berfungsi karena tidak terjadi penggabungan toksin toksin


tersebut dengan toksin PA.27,28

200

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Di Indonesia vaksinasi untuk manusia belum lazim digunakan, penelitian


pengembangan vaksin dilakukan untuk ternak dengan menggunakan isolat
lokal, yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitVet), namun
vaksin ini masih dalam tahap uji pada hewan coba.29

9.5.

ANALISIS GAP

9.5.1. Laporan kegiatan/pencapaian program


Penanganan dan pelaporan kasus antraks lambat, menunjukkan SDM
Puskesmas yang kurang siap, mengindikasikan kurangnya pemahaman tentang
penyakit antraks secara utuh.

Program yang ada selama ini tidak pernah

merencanakan pelatihan atau pelatihan penyegaran. Program pelatihan untuk


SDM puskesmas yang meliputi: pengetahuan tentang agen penyebab,
epidemiologi, lingkaran penularan dan patogenesis penyakit, gejala klinis,
biosafety pengambilan, penanganan dan pengiriman spesimen, pengetahuan
tentang obat dan pemberian obat, pengetahuan tentang potensi B.anthracis
sebagai senjata biologi, sangat diperlukan untuk membekali SDM puskesmas
dalam menghadapi secara langsung permasalahan antraks didaerah endemis.
Laboratorium untuk konfirmasi spesimen antraks tidak tersedia sehingga
pemeriksaan spesimen dilakukan di laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVet)
yang hanya berjumlah 4 buah, yaitu BBVet Denpasar, Bali untuk Indonesia
Timur, BBVet Wates, Yogyakarta untuk Jawa Tengah, BBVet Maros untuk
Sulawesi dan BBVet Bogor untuk Jawa Barat, sehingga akan terjadi transportasi
spesimen dari lokasi endemis ke laboratorium. Hal yang sangat berbahaya jika
biosafety transportasi spesimen tidak dilakukan dengan benar. Oleh karena itu
sangat diperlukan laboratorium dengan SDM (Sumber Daya Manusia) yang
terlatih dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) pemeriksaan yang sudah
mantap. Disarankan untuk mengembangkan laboratorium yang lebih mendekat
ke daerah-daerah endemis, setidaknya

pada

tingkat propinsi.

Posisi

201

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

laboratorium disesuaikan dengan daerah endemis antraks. Disamping itu


laboratorium merupakan upaya pengembangan sistem pertahanan nasional
untuk mengantisipasi senjata biologi.

9.5.2. Gambaran situasi daerah endemis antraks


Kebiasaan masyarakat yang cenderung dapat memperluas penularan,
mengindikasikan bahwa pengetahuan masyarakat tentang bahaya penyakit
antraks masih sangat rendah. Disarankan untuk menyusun program sosialisasi/
edukasi masyarakat tentang bahaya penyakit antraks, lingkaran penularan dan
pentingnya melakukan vaksinasi ternak untuk memutus rantai penularan.
Program sosialisasi/ edukasi disampaikan dalam bahasa sederhana dengan
menggunakan alat bantu (seperti lembar balik, gambar atau poster) dilakukan
berkala setiap menjelang hari besar dimana lalu lintas ternak meningkat
(misalnya Idhul Adha).
Survai daerah endemis antraks belum pernah dilakukan dan belum ada
pemutakhiran data daerah endemis. Survai yang dilakukan saat ini bersifat
konfirmasi kejadian KLB yang hanya diprioritaskan untuk daerah Indonesia
Timur. Disarankan untuk melakukan pemetaan daerah endemis lama dan
kemungkinan daerah endemis baru.

9.5.3. Kewaspadaan masyarakat


Sampai saat ini tidak ada rambu-rambu peringatan (awareness) untuk
lokasi

tercemar spora antraks dalam bahasa Indonesia. Rambu yang ada

merupakan peninggalan jaman Belanda dengan menggunakan bahasa Belanda.


Disarankan untuk membuat rambu peringatan dengan kerjasama lintas sektor
untuk : identifikasi lokasi penguburan ternak mati karena antraks didaerah
endemis, lokasi tersebut di semen dan membuat papan peringatan permanen.
Hal

202

ini

untuk

mencegah

masyarakat

melakukan

bercocok

tanam,

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

menggembalakan ternak dan melakukan penggalian, sehingga dapat mencegah


menyebarnya spora antrak.

Tabel 9.5.1. Analisis Gap Pencapaian Program Penanggulangan Antraks


No

Temuan

Program

SDM (Puskesmas) yang kurang


memahami penyakit antraks
Pengetahuan masyarakat masih
rendah:
1. Penyakit antraks dan bahayanya
2. Siklus dan cara penularan
3. Kesadaran untuk vaksinasi ternak
4. Kecenderungan masyarakat
untuk mengkonsumsi daging sapi
mati karena antraks
Manajemen spesimen antraks.
Tidak ada laboratorium untuk
konfirmasi spesimen antraks

Tidak ada program


pelatihan
Tidak ada program
sosialisasi dan edukasi
untuk masyarakat
daerah endemis

Pelatihan & pelatihan


penyegaran
Sosialisasi dan edukasi
masyarakat secara berkala
pada saat lalu lintas ternak
meningkat (Idhul Adha)

Tidak ada program


pengembangan
laboratorium.
Selama ini konfirmasi
spesimen antraks
dilakukan di
laboratorium veteriner
(BBVET)

Belum ada pemutakhiran data


daerah endemis

Tidak ada rambu peringatan


(awareness) untuk lokasi tercemar
spora antraks dalam bahasa
Indonesia

Tidak ada program


survai untuk pemetaan
daerah endemis.
Selama ini survai yang
dilakukan bersifat
konfirmasi kejadian
KLB, dan diprioritaskan
untuk wilayah
Indonesia Timur.
Tidak ada program
untuk membuat rambu
peringatan.
Rambu yang ada saat
ini merupakan
peninggalan jaman
Belanda dengan
menggunakan bahasa
Belanda

Mengembangkan laboratorium di propinsi daerah


endemis.
Membangun laboratorium
nasional untuk rujukan dan
pengawasan sistem ketahanan
nasional (pengawasan
terhadap kemungkinan isu
senjata biologi)
Melakukan survai daerah
endemis lama dan
kemungkinan adanya daerah
endemis baru

1
2

Saran

Membuat rambu peringatan


dengan kerjasama lintas sektor.
1. Identifikasi lokasi
penguburan ternak
mati karena antraks didaerah
endemis
2. Membuat rambu peringatan
permanen.

203

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

9.6.

POLICY OPTION DAN PENELITIAN

9.6.1. Kebijakan program pengendalian/eliminasi/eradikasi antraks


Kebijakan untuk mencegah KLB berulang dan perluasan daerah endemis,
perlu dilakukan secara lintas sektor terpadu antara Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan,

Kementerian Pertanian dengan

Kementerian Kesehatan.
Hal yang perlu dilakukan adalah :
1. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,

Kementerian

Pertanian:
Vaksinasi ternak di daerah endemis secara berkala, penguatan pengetahuan
SDM Ditnak di daerah endemis, menyusun laporan dan pencatatan data
vaksinasi ternak lokasi serta lingkungan kasus.
2. Kementerian Kesehatan:
Penguatan pengetahuan SDM puskesmas di daerah endemis, melakukan
pelatihan biosafety dan biosecurity penanganan & pengiriman spesimen,
menyusun pelaporan kasus, lokasi serta lingkungan kasus.
Penelitian: identifikasi KAP (Knowledge Attitude Practice) pengetahuan
penyakit antraks dari petugas kesehatan puskesmas, pemuka masyarakat
di daerah endemis.
Mengembangkan laboratorium nasional sebagai rujukan pemeriksaan
antraks dan untuk pengembangan sistem pertahanan nasional dalam
mengantisipasi antraks sebagai senjata biologi. BSL3 adalah laboratorium
yang tepat untuk pemeriksaan antraks, kualitas laboratorium perlu
dipertahankan dengan melakukan akreditasi laboratorium secara berkala
dan mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi untuk laboratorium
di tingkat propinsi.
Penelitian: dalam antisipasi antraks sebagai senjata biologi, perlu

204

mengembangkan teknologi sederhana untuk membedakan strain lokal

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

dengan luar negeri. Mendapatkan primer spesifik spora B.anthracis isolat


lokal, membandingkan perbedaan dengan strain luar negeri.
Melakukan sosialisasi dan edukasi masyarakat didaerah endemis yang
dilakukan

bersama

Ditnak secara

berkala, untuk mengingatkan

pengetahuan yang disampaikan, terutama pada saat lalu lintas ternak


tinggi (Idhul Adha).
Penelitian: mengembangkan peraga edukasi masyarakat (seperti lembar
balik, gambar atau poster) tepat guna.

9.6.2. Kebijakan pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian/


eliminasi/eradikasi
1. Melakukan pemetaan daerah endemis bersama Ditnak, pemutakiran data daerah
endemis perlu dilakukan secara berkala, dengan adanya data yang up date dapat
disusun perencanaan kegiatan vaksinasi secara berkala untuk melestarikan hasil
pengendalian.
Kegiatan: melakukan survai lingkungan untuk cemaran spora antraks di daerah
endemis lama dan daerah terdekat di kecamatan lain. Mendapatkan primer spesifik
spora B.anthracis isolat lokal, membandingkan perbedaan dengan strain luar negeri.
2. Identifikasi lokasi penguburan ternak mati karena antraks, menutup dengan semen
dan membuat rambu, yang dilakukan bersama antara Kementerian Kesehatan,
Ditnak, aparat desa serta kepolisian setempat. Melarang keras menggali dengan
alasan apapun. Rambu dibuat permanen dalam bahasa yang mudah difahami
penduduk setempat, untuk menguatkan dibuatkan undang undang oleh
pemerintah daerah setempat.

205

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 9.6.1. Policy Option Antraks dan Penelitian

Masalah

Penanganan

Pengendalian/Elimi
nasi/Eradikasi

Maintenance

Penelitian

1. Kebijakan program pengendalian/eliminasi/eradikasi Antraks


KLB berulang
dan
wilayah
daerah
endemis
cenderung
meluas

Penguatan SDM
puskesmas :
- Penanganan kasus,
- Penanganan &
pengiriman spesimen
(biosafety dan
biosecurity)
- Pelaporan,
- Pengatahuan penyakit
Mengembangkan
laboratorium nasional
(BSL3) sebagai rujukan
pemeriksaan antrak dan
untuk ketahanan negara
(senjata biologis)

Kegiatan vaksinasi
ternak oleh Dit Nak

Pelatihan berkala
- Identifikasi
SDM nakes dan SDM KAP tentang
Ditnak
penyakit
antraks dari
petugas
kesehatan
puskesmas
dan pemuka
masyarakat
Tidak ada
Akreditasi
- Mendapatkan
laboratorium
laboratorium,
primer spesifik
pemeriksaan
mengembangkan
spora
spesimen
sistem monev
B.anthracis
antraks
isolat lokal,
membandingk
an dengan
strain luar
negeri
Pengetahuan
Sosialisasi dan edukasi
Dilakukan berkala
- Mengembangk
masyarakat
dilakukan bersama Ditnak
pada saat lalu lintas
an peraga
rendah
ternak tinggi
edukasi
masyarakat
2. Kebijakan pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian/eliminasi/eradikasi
Tidak ada data Pemetaan daerah
daerah
endemis bersama Dit nak
endemis
terkini

Kegiatan vaksinasi
ternak oleh Dit nak
untuk daerah
endemis

Rambu
peringatan
tidak sesuai
dengan situasi
terkini

206

Membuat rambu
permanen dilakukan
bersama : Kemkes,
Ditnak, aparat desa,
kepolisian setempat

Pemutakiran data
dilakukan berkala
bersama Ditnak

Larangan keras
menggali
Untuk menguatkan
dibuatkan undang undang

- Melakukan
survai untuk
cemaran spora
antraks di
daerah
endemis dan
daerah
terdekat

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Daftar Pustaka
1. SF Dept. Public Health-Infectious Disease
Emergencies.2005. Anthrax. Tersedia pada:
www.sfcdcp.com/document.html
2. Senjata Biologi. Tersedia pada:
http://id.wikipedia.org/wiki/Enjata_biologi
3. Todars Online Textbook Of Bacteriology. Tersedia
pada :
http://textbookofbacteriology.net/Anthrax.html
4. Bacillus anthracis. Tersedia pada:
http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Bacillus
_anthracis
5. Penyakit Menular Dari Hewan Ke Manusia.
Zoonosis (1). Tersedia pada:
http://books.google.co.id/books?id=BaV3U0vkTto
C&pg=PA19&lpg=PA19&dq=siklus+anthrax&source
=bl&ots=9BU59OhPm&sig=ULN1Sc7HDdDImEAWB
b2VE6lX7Uk&hl=id&sa=X&ei=sQiwUO7gBNDHrQe
b24DwBw&ved=0CFkQ6AEwCQ#v=onepage&q=sik
lus%20anthrax&f=false
6. Dragon DC, Rennie RP. 1995. The Ecology Of
Anthrax Spores: Tough But Not Invincible. Can Vet.
J. 1995. (36): 295-301
7. Tri Satya Putri Naipospos, Blog Veteriner Ku. 2011.
Pertanian, Trdisi Dan Antraks. Tersedia pada:
http://tatavetblog.blogspot.com/2011/08/pertani
an-tradisi-dan-antraks.html
8. Edwin M. Anthrax. Tersedia pada:
http://www.history-magazine.com/anthrax.html
9. Bhatnagar R, Batra S. 2001. Antharx Toxin. Crit Rev
Micribiol. 27 (3): 167-200. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11596878
10. Agent And Pathogenesis. Tersedia pada:
http://www.cidrap.umn.edu/cidrap/content/bt/an
thrax/biofacts/anthrax_agent.html
11. Jeremy Mogridge. 2007. Defensive strategies of
Bacillus anthracis that promote a fatal disease;
Drug Discovery Today: Disease Mechanisms . (4):
253-258. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC25
97864/
12. Bacillus anthracis. 2003. J Clin Pathol. (56) 182187. Tersedia pada :
http://jcp.bmjjournals.com/content/56/3/182.full
13. Burke A Cunha, MD; Michael Stuart Bronze, MD.
Anthrax. Tersedia pada :
http://emedicine.medscape.com/article/212127overview Updated: Dec 24, 2012
14. N. A. Twenhafel. 2010. Pathology of Inhalational
Anthrax Animal Models; Vet Pathol. ( 47): 819
originally published online 23 July 2010. Tersedia
pada:
http://vet.sagepub.com/content/47/5/819.full

15. WHO, FAO, and OIE. 2008. Anthrax in humans and


animals. Tersedia pada :
http://www.who.int/csr/resources/publications/anthrax_
web.pdf
16. (WHO) who headquarters. 2010. Report Of The Third
Conference. The Control Of Neglected Zoonotic Diseases:
Community-based Interventions For Prevention And
Control
17. International Association Of Fire Fighter. 2013. History of
Anthrax. Last Modified: 12/2/2013
18. Wartazoa 2002. Kejadian Antraks Pada Burung Unta Di
Purwakarta, Jawa Barat Indonesia. 12 (3)
19. Keputusan Dirjen PPM No 451/91: Pedoman Penyelidikan
dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Tersedia pada:
http://www.scribd.com/doc/134449195/Kriteria-KlbMenurut-Keputusan-Dirjen-PPM-No-451
20. S.F. Dept. Public Health Infectious Disease Emergencies.
Agustus 2005. Anthrax. Tersedia pada :
www.sfcdcp.com/document.html?id=28
21. Senjata biologi. Tersedia pada:
http://id.wikipedia.org/wiki/Senjata_biologi
22. Rozi Abdullah. Antraks. Tersedia pada :
http://bukusakudokter.wordpress.com/2012/10/05/antra
ks/
23. Nurhayati, dkk. 2012. Gambaran Penyelidikan Dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Antraks Yang
Terjadi Di Desa Karangmojo Kecamatan Klego Kabupaten
Boyolali Jawa Tengah Tahun 2011. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 1(2). Tersedia pada :
http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm
24. Data Subdit Zoonosis, P2B2,PPPL,Kementerian Kesehatan
RI. (2008-2012)
25. Wartazoa 2002. Keamanan Pangan Asal Ternak: Suatu
Tuntutan Di Era Perdagangan Bebas. 12(2)
26. Ni Luh Dartini Dan I Ketut Narcana. 2011. Kasus Antraks Di
Kabupaten Sabu Raijua Provinsi Nusatenggara Timur
Tahun 2011.(Laporan Kasus). Buletin Veteriner, BBVet
Denpasar. XXIII (79). Tersedia pada : http://www.bppvdps.info/assets/pdf/buletin/des2011/4.%20KASUS%20AN
TRAKS%20DI%20KABUPATEN%20SABU%20RAIJUA%20%2
0PROVINSI%20NUSATENGGARA%20TIMUR%20TAHUN%2
02011.pdf
27. Raxibacumab. Tersedia pada:
http://en.wikipedia.org/wiki/Raxibacumab#cite_note-3
28. A Study to Evaluate the Safety and Tolerability of
Raxibacumab in Healthy Subjects. Tersedia pada:
http://www.clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT00639678
29. Publikasi Balitvet mengenai Anthrax Tahun 1949 2010.
Tersedia pada :
http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/perpu
stakaan/bibliografi/371-bibliografi-anthrax

207

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

208

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB

10

PES
Ristiyanto

10.1. PENDAHULUAN
Pes adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri Yersinia
pestis. Penyakit ini termasuk zoonosis yang ditularkan dari binatang pengerat
(khususnya tikus) kepada manusia melalui gigitan pinjal1. Sinonim penyakit ini
adalah pasteurellosis, yersiniosis, bubonic plague, pneumonic plague, black
death atau plague1, sampar, dan panas mringkil (bhs.Jawa)2.
Pada abad pertengahan, sekitar tahun 13471351, pes pernah menjadi
epidemi di Eropa dan daerah lainnya, serta menewaskan dua pertiga populasi
Eropa3. Peristiwa wabah pes tersebut dikenal dengan nama The Black Death,
karena bercak-bercak hitam yang terdapat di kulit penderita pada awal
kejangkitannya. Pada abad tersebut, pandemi pes di dunia menyebabkan
kematian kurang lebih 75 juta penduduk1
Pes, pertama kali masuk di Indonesia melalui pelabuhan Surabaya, pada
tahun 1910. Selain di Surabaya, pes juga masuk melalui pelabuhan Semarang
tahun 1916, Cirebon tahun 1923 dan Tegal, tahun 1927. Epidemi pertama
diketahui di provinsi Jawa Timur, akan tetapi wabah pes terus meluas ke Jawa
Tengah (Surakarta pada tahun 1915 dan Yogyakarta pada tahun 1916). Tahun
1910 sampai tahun 1960, pes menyebabkan banyak kematian pada penduduk
di pulau Jawa. Pes pernah dilaporkan terjadi di Makasar dan Deli pada tahun
1922, akan tetapi penyakit ini tidak pernah lagi ditemukan di kedua daerah

209

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

tersebut sampai saat ini. Tahun 1934-1950, kasus pes hanya ditemukan di
kabupaten Boyolali dan kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah2.
Sejak tahun 1960 tidak pernah ada laporan tentang adanya kasus pes
pada manusia, tetapi tiba-tiba pada tahun 1968 dilaporkan oleh Dinas
Kesehatan Rakyat Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah adanya banyak kematian
penduduk kecamatan Selo dan Cepogo. Kematian pada penduduk di kedua
kecamatan tersebut terkonfirmasi disebabkan karena pes. Dari tahun 19691985 tidak ada laporan kasus pes, baik di pulau Jawa maupun di pulau lain di
Indonesia. Pada akhir tahun 1986, pes kembali mewabah di dusun Sulorowo,
desa Kayukebek, kecamatan Nongkojajar, kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Sejak saat itu sampai sekarang hanya daerah terjadinya wabah pes tersebut
dilakukan pengamatan pes secara intensif, baik pada manusia, tikus dan
pinjalnya.1
Walaupun jumlah kasus pes tidak sebanyak malaria, HIV / AIDS, dan
tuberkulosis (global commitment)4,5, tetapi penyebaran pes cepat, serta
berpotensi menjadi pandemi di bawah kondisi yang tepat. Oleh karena itu pes
tidak boleh diabaikan. Pes dapat menjadi ancaman kesehatan bagi manusia,
selama pes tidak dikenal dan dipahami oleh masyarakat.

10.2. MASALAH PES DI INDONESIA


10.2.1. Etiologi
Pes disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis. Bakteri pes termasuk dalam
famili enterobacteriaceace, genus Yesinia. Genus ini terdiri atas 11 jenis, 3 di
antaranya adalah patogen atau menyebabkan penyakit pada manusia dan
hewan. Ketiga jenis bakteri tersebut yaitu, Yersinia pseudotuberculosis, Y.
enterocolitica dan Y. pestis. Bakteri Yersinia pestis menginfeksi binatang
pengerat (rodensia) dan manusia, sedangkan dua yang lain sering terdeteksi

210

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

pada mamalia dan burung. Yersinia pestis mempunyai tiga varietas yaitu Y.
pestis var. Antiqua ditemukan di Afrika dan Asia Tengah, var Medievalis
ditemukan terbatas ke Asia Tengah, dan var. Orientalis tersebar hampir seluruh
dunia5.

Gambar 10.2.1.1. Bakteri pes dengan pengecatan gram (Wayson stain)1

Bakteri Yersinia pestis berbentuk batang coccobacillus atau batang


gemuk/mencembung dengan ujung membulat, berukuran 1,5 5,7 , bersifat
anaerob fakultatif. Bakteri ini sering menunjukkan pleomorfisme. Pada
pewarnaan Wayson, Y. pestis tampak bipolar, mirip peniti tertutup. Bakteri pes
tidak bergerak (non motil), tidak membentuk spora (non sporing). Berdasarkan
kemampuan melakukan asidifikasi terhadap gliserol dan reduksi nitri, bakteri Y.
pestis termasuk dalam bakteri katalase-positif, oksidase-negatif, urease-negatif,
dan indole-negatif. Bakteri ini menguraikan endotoksin lipopolisakarida,
koagulase, dan fibrinolisin.

10.2.2. Epidemiologi
Sejak tahun 1910, Sub Direktorat Zoonosis, melaporkan bahwa distribusi
pes hanya dari pulau Jawa, dan pada ahun 1922 ditemukan di Makasar,
Sulawesi Selatan dan Deli, Sumatera Utara. 2 (Gambar 10.2.2.1)

211

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Kabupaten Boyolali

Banten
Jawa Barat
N
W

Jawa Tengah
Jawa Timur

Kabupaten Pasuruan

Kabupaten Sleman

D.I. Yogyakarta
Keterangan;
= Daerah enzootik Pes
= Daerah bebas Pes

Gambar 10.2.2.1 Persebaran daerah enzootik pes di Indonesia tahun 1913

Pes ditularkan dari tikus ke manusia, melalui gigitan pinjal. Di Indonesia,


jenis pinjal yang dikenal antara lain pinjal tikus rumah Xenopsylla cheopis, pinjal
tikus kebun Stivalius cognatus dan Neopsylla sondaica. Inang reservoir pes
yang pernah terdeteksi mengandung bakteri pes adalah tikus rumah (Rattus
tanezumi), tikus got (R. norvegicus), tikus ladang (R. exulans) dan tikus pohon
(R. tiomanicus).2

11.

Gambar 10.2.2.2. Pinjal tikus rumah Xenopsylla cheopis infektif Y. pestis1 dan
tikus rumah (R. tanezumi)2

212

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Faktor risiko kejadian pes adalah gigitan pinjal tikus, kontak dengan
penderita pes atau kontak dengan hewan atau binatang pengerat terinfeksi pes,
tinggal di daerah endemik pes/enzootik pes,

berekreasi (camping, hiking),

berburu atau memancing, terpapar ditempat kerja (misalnya, peneliti, dokter


hewan) dan penularan langsung (inhalasi), serta terkontaminasi jaringan atau
cairan jaringan terinfeksi pes5,6.

10.2.3. Patogenesis
Pes merupakan penyakit tular vektor yaitu, penyakit yang ditularkan dari
binatang (terutama tikus) ke manusia melalui gigitan pinjal infektif bakteri Y.
pestis dan apabila terlambat pengobatannya dapat berkembang menjadi
penyakit tular udara (air borne disease) yaitu, penularan pes dari manusia
penderita pes ke manusia sehat lewat pernafasan7,8. Terdapat 3 tahap
perkembangan pes pada manusia yaitu, bubonik, pneumonik dan septikemik.
Ketiga tahapan tersebut dapat menyebabkan kematian, yaitu 30-75% bagi
penderita bubonik, 90-95% bagi penderita pes pneumonik dan 100% bagi
penderita pes septikemik.9,1 Menurut World Health Organization penyakit ini
merupakan salah satu penyakit menular yang paling mematikan, penderita
dapat meninggal dunia 24 jam setelah infeksi (pes pneumonik). Tingkat
kematian tergantung pada seberapa cepat pengobatan dimulai.2
Pada tempat gigitan pinjal akan timbul gelembung kecil yang berisi cairan
yang hemoragis. Sebanyak 5% dari gigitan pinjal yang infektif Y. pestis
menimbulkan pes kulit.1 Y. pestis mempunyai endotoksin yang merupakan
faktor utama dalam patogenesis pes. Patogenesis akibat infeksi Y. pestis pada
inang mamalia disebabkan kemampuan bakteri Y. pestis untuk masuk dalam
kulit dan menghindari respon imun tubuh seperti, fagositosis dan antibodi.1
Bakteri ini menghasilkan koagulase pada suhu 280C (suhu normal pinjal) tetapi
tidak pada suhu 350C. Pada suhu tinggi penularan lewat pinjal relatif rendah
atau penularan pes tidak terjadi dalam cuaca panas.13

213

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Kekebalan tubuh secara alami terhadap Y. pestis diperoleh dengan


memproduksi antibodi spesifik terhadap opsonic Fraksi 1 (F1) dan antigen V,
karena antibodi terhadap F1 dan V menginduksi fagositosis oleh neutrofil.
Faktor virulensi Y. pestis adalah anti-fagositik yaitu anti-fagositosis yaitu, F1 ()
dan V atau LcrV. Antigen tersebut diproduksi oleh bakteri ketika sedang berada
di dalam sel darah putih seperti monosit, tapi tidak di neutrofil. Proses produksi
ke dua antigen terjadi pada suhu tubuh manusia normal.9
Y. pestis yang masuk dalam kulit akan mengekspresikan gen yadBC
(mirip adhesins) dan aktivator plasminogen, sehingga memungkinkan untuk
invasi sel epitel dan menyebabkan terhambatnya pembekuan darah. Bakteri ini
akan ikut aliran getah bening, menuju daerah kelenjar getah bening. Y. pestis
berproliferasi di dalam kelenjar getah bening, dan mampu menghindari
perusakan oleh sel-sel sistem imun tubuh seperti makrofag, sehingga
menimbulkan

limfadenitis. Kemampuan

Y. pestis untuk menghambat

fagositosis, dan tumbuh dalam kelenjar getah bening menyebabkan


limfadenopati atau pembesaran kelenjar limfayang disebut bubo. Bubo akan
timbul di ketiak jika digigit di tangan, bubo akan timbul di lipatan paha jika
digigit dikaki, dan bubo akan timbul di leher jika digigit dikepala. Kematian
akibat pes bubo berkisar 60%.10 Pes bubo yang tidak diobati akan menyebabkan
pes paru dan septikemi yang dapat ditularkan lewat udara.
Pada pes paru tidak timbul bubo karena tidak melalui kelenjar limpa
tetapi melalui duktus thorasikus, dan kemudian bakteri masuk ke dalam
peredaran darah menimbulkan keadaan pes-sepsis (pes-bakteri aemi, atau pes
septikemi). Pes sepsis ditandai dengan gejala intoksikasi hebat yaitu penderita
dengan panas tinggi, gelisah, tidak terkendali, kadang-kandang berkeliaran di
luar rumah dan meninggal di sembarang tempat.11
Bakteri pes, selanjutnya masuk ke vena cava superior, ke serambi kanan,
bilik kanan, arteria pulmonalis, dan sampai di paru-paru dan menyebabkan pes
paru-paru. Pes paru ini disebut pes paru sekunder karena terjadi dengan

214

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

melalui pes bubo dan pes-septikemi. Penderita ini dapat mengeluarkan bakteri
pes ke udara melalui dahaknya atau batuk/bersin. Bakteri pes akan masuk ke
pernafasan orang sehat dengan cara langsung dan akan timbul pes paru primer.
Pes paru adalah penyakit yang berat dan dapat mengakibatkan kematian dalam
beberapa jam atau hari. Penderita sangat lemah sehingga tidak mampu batuk
dengan keras. Jika batuk, dahaknya bercampur dengan darah.12

10.2.4. Diagnosis 12,13


Diagnosis pes tergantung pada tingginya indeks kecurigaan. Diagnosis
penyakit mudah karena penularannya fokus disuatu tempat. Diagnosis kadangkadang sulit karena mobilitas penderita selama masa inkubasi. Jika diluar
daerah endemis, perlu diketahui riwayat perjalanan kedaerah endemik,
terutama berkemah atau pernah kontak dengan hewan pengerat (tikus,dll).
Angka fatalitas kasus lebih tinggi pada penderita yang terdiagnosis diluar
daerah endemik, karena salah atau terlambat didiagnosis. Penyakit pes dapat
berakibat fatal dengan gejala bakteriemia yaitu demam tinggi, shock,
penurunan tekanan darah, nadi cepat dan tidak teratur, gangguan mental,
kelemahan, kegelisahan, koma, serta batuk darah. Febris atau demam dan
limfadenitis

(peradangan

dan

pembengkakan

kelenjar

getah

bening)

merupakan tanda-tanda utama pes walaupun tidak patognomonik. Gejala


panas tidak bisa dibedakan dengan panas pada demam tifoid, malaria dan
ricketsiosis. Bubo juga mirip dengan limfadenitis yang disebabkan oleh kuman
lain seperti sifilis, streptococcus atau stafilokokus.
Selain

berdasarkan

gejala

klinis,

juga

diperlukan

pemeriksaan

mikrobiologi, radiologis dan pemeriksaan lain. Diagnosis dapat dilakukan


dengan pemeriksaan aspirat nodus limfe (bubo), darah, sputum eksudat
purulent atau kadang-kadang dari tinja atau bisa juga cairan otak untuk tipe pes
meningeal. Pemeriksaan dilakukan secara langsung dengan pewarnaan Gram

215

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

yaitu tampak sel batang gram negatif (coccobacilli), dan Giemsa atau Wayson
untuk pewarnaan organisme bipolar
Leukositosis dengan dominasi neutrofil dapat dijumpai, dan tingkat
leukositosis sebanding dengan tingkat keparahan penyakit. Angka leukosit
darah tepi antara 10.000-20.000 per mm3 dan pada kasus-kasus yang berat
tidak jarang terjadi Koagulasi Intravaskular Disseminata (KID). Trombositopenia
menyebabkan

degradasi fibrin meningkat. Serum transaminase dan kadar

bilirubin juga meningkat. Apusan darah tepi menunjukkan granulasi toksik dan
badan Dohle. Analisis cairan cerebrospinal (CSF) pada sampar tipe meningeal
menunjukkan pleositosis dengan dominasi leukosit polimorfonuklear 8.
Uji serologi secara klinis tidak berguna dalam mendiagnosis penyakit akut.
Secara serologis mengukur titer antibody akut dan konvelensi 2-4 minggu
kemudian, walaupun tetap harus dipertimbangkan kemungkinnan adanya
reaksi silang dengan salmonella, brucella dan Escheria coli. Di Indonesia, titer
antibodi yang kurang dari 1:128 dianggap tidak bermakna. Tes imunofluoresensi
direct dapat dapat membantu dalam diagnosis cepat. Tes diagnostik cepat
dikembangkan dan mampu mendeteksi bakteri Y.pestis dalam waktu 15 menit
dengan sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk spesies Yersenia8.
Radiografi thoraks menunjukkan adanya infiltrat, konsolidasi, atau rongga
persisten pada pasien dengan wabah pneumonia. EKG menunjukkan takikardia
sinus dan perubahan ST-T. Pencitraan nuklir dapat membantu melokalisasi
daerah peradangan limfadenitis dan meningeal.

10.2.5. Pengobatan
Pengobatan pes ditujukan untuk penyembuhan dan menghindari
kematian. Pemilihan antibiotik bergantung pada gambaran klinis yang
ditunjukan penderita.

216

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pengobatan kasus pes berat seperti pada tipe septikemia dan pneumonik
adalah sebagai berikut

Pada dewasa

Streptomisin merupakan pilihan utama dengan dosis 30mg/kgBB/hari,


diberikan secara intramuskular dengan dosis terbagi 2-4 kali sehari. Bila
penderita dalam keadaan rejatan, pemberian suntikan intramuskular
tidak terabsorbsi dengan baik. Pemberian streptomicyn maksimum
selama 5-7 hari untuk mencegah autotoksik. Apabila pengobatan tersebut
masih diperlukan, dapat dilanjutkan dengan tetrasiklin yang mulai
diberikan pada hari pengobatan ke-4 selama 10-14 hari.

Tetrasiklin merupakan obat pilihan kedua dan dapat diberikan sebagai


kelanjutan pemberian streptomisin atau diberikan sebagai preparat
tunggal untuk kasus-kasus ringan baik berupa tetrasiklin HCL,
oksitetrasiklin maupun klortetrasiklin. Dimulai dengan loading dose
15mg/kg/BB dengan maksimum 1 gram peroral, diikuti dalam waktu 24
jam pertama dengan 40-50mg/kg/BB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian,
kemudian untuk selanjutnya 30mg/kg/BB/hari terbagi dalam 4 kali
pemberian, sampai hari pengobatan ke 10-14. Apabila dipakai dengan
kombinasi obat lain cukup 30mg/kg/BB/hari terbagi dalam 4 kali
pemberian. Pemberian secara parenteral hanya dilakukan bila secara oral
tidak memungkinkan dengan dosis 12-20mg/kg/BB/hari secara intravena
terbagi dalam dua kali pemberian. Kontraindikasi pemberian tetrasiklin
adalah adanya gangguan faal ginjal, kehamilan dan untuk anak-anak
dibawah usia 8 tahun. Pemberian bersama makanan termasuk minuman
susu dan antasid tidak dianjurkan.

Kloramfenikol merupakan obat pilihan ain yang baik, walaupun


dikhawatirkan adanya efek menekan sumsum tulang. Obat ini di berikan
terutama untuk penderita-penderita yang berat seperti tipe meningeal
yang tidak dapat diberi streptomisin. Dosis 50-75mg/kg/BB/hari,

217

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

intravena terbagi dalam 4 kali pemberian selama 10 hari. Secara oral juga
dapat diberikan dengan dosis yang sama.

Trimetoprin-sulfametoksazol dapat menjadi obat pilihan lain, tetapi hanya


diberikan bila obat-obat tersebut diatas tidak dapat digunakan.
Sulfadiazin juga efektif dan dapat dipakai bila obat-obat lain tidak
tersedia, dosisnya bisa mencapai 1-2g/hari selama 4-7 hari. Untuk kasus
yang agak berat dapat dimulai dengan dosis awal 4 gram, dilanjutkan 2
gram tiap jam sampai tercapai suhu badan normal, lalu diteruskan 500 mg
tiap 4 jam sampai 7-10 hari. Penggunaan sulfadiazin ini harus disertai
pemberian sodium bikarbonat. Kebutuhan cairan dan kalori dapat
diberikan secara parenteral apabila tidak dapat diberikan secara oral.

Anak-Anak

Pada anak-anak pengobatan pilihan sama seperti dewasa yaitu dengan


streptomisin,

dapat

dilakukan

intamuskular

dengan

dosis

20-

30mg/kgBB/hari dibagi setiap 12 jam untuk sampar tipe bubo. Untuk tipe
septikemia dan meningitis biasanya diobati dengan kloramfenikol
intravena (100mg/kgBB/hari) dibagi setiap 6 jam. Penyakit ringan dapat
diobati dengan kloramfenikol atau terasiklin oral tapi pada anak yang
berusia diatas 10 tahun. Doksisiklin atau gentamisin dan fluoroquinolones
(siprofloksasin) dilaporkan juga efektif untuk pes anak

Pasien dengan gejala fisik tipe pes pneumonia harus ditempatkan dalam
ruang isolasi yang ketat selama 48-72 jam dan diberikan terapi antibiotik
sampai gejala pneumonia telah disembuhkan atau sampai kultur sputum
negatif. Terapi suportif seperti pemantauan hemodinamik dan dukungan
ventilasi dilakukan sesuai dengan keadaan klinis. Cairan infus, epinefrin,
dan dopa min diperlukan untuk koreksi dehidrasi dan hipotensi. Diazepam
diberikan untuk mengurangi kegelisahan. Heparin biasanya diberikan
apabila

218

terdapat

gejala

pembekuan

memerlukan insisi dan drainase.

darah.

Pembesaran

bubos

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

10.2.6. Prognosis8,9
Pengobatan dengan antibiotik dapat menyembuhkan 100%. Angka
kematian tipe bubonik mencapai 50-90%; sedangkan tipe pneumonik, dan
septikemik hampir seluruhnya berakhir dengan kematian. Kejadian luar biasa
(KLB) pes di kabupaten Boyolali, Jawa Tengah tahun 1968-1970 mempunyai
angka kematian 42- 20%; sedangkan KLB pes di kabupaten Pasuruan, Jawa
Timur tahun 1986-1987, angka kematian mencapai 83%. Persentase kematian
akibat pes tergantung pada kecepatan mendapatkan pertolongan atau
pengobatan.

10.2.7. Pencegahan
Upaya pencegahan pes berdasarkan sasaran komponen penting, yaitu
patogen pada manusia, jenis tikus sumber patogen, dan jenis pinjal vektor pes.
Pencegahan penularan pes pada manusia sebagai berikut:
Pencegahan pes yang ditujukan ke masyarakat, dilakukan dengan
penemuan dan diagnosis dini, diikuti dengan tindakan pengobatan segera
sebagai upaya pencegahan penyakit dalam masa laten sehingga tidak melanjut
ke tahap yang lebih berat. Pencegahan juga dapat dilakukan agar tidak terjadi
penularan dengan cara vaksinasi (inactivated vaccine; Haffkines vaccine), isolasi
penderita pes pneumotik, post-exposure prophylaxis (PEP) untuk orang -orang
yang memiliki resiko terpapar7,10.
Tindakan penanggulangan pes

dilakukan dengan pengendalian pinjal

vektor pes.WHO merekomendasikan pengendalian pinjal dengan metode


dusting. Dusting adalah penaburan bubuk insektisida pada tempat yang diduga
sebagai jalan tikus (runway) atau sarang tikus. Di Indonesia, pengendalian pinjal
vektor pes menerapkan metode tersebut. Dalam rangka meningkatkan efisiensi
dan mencegah pencemaran lingkungan, dikembangkan metode

bumbung

bambu (metode dust-pring) atau pipa pralon berinsektisida (dust-lon)14.

219

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

10.3. PROGRAM PENGENDALIAN PES


Pada pertemuan pes internasional tahun 2006 diperbarui definisi klinis
pes, metode diagnostik, vaksin, dan terapi antimikroba, serta strategi
pengendalian inang reservoir dan vektor. Pertemuan tersebut menyimpulkan
bahwa: (1) bakteri pes (Y. pestis) masih menyebabkan beberapa ribu kasus pes
manusia per tahun, (2) risiko penularan pes yang ditanggung secara lokal jauh
melebihi risiko kejadian pes didasarkan pada jumlah kasus, (3) perubahan iklim
dapat meningkatkan risiko wabah pes di daerah endemik dan berpotensi
menimbulkan daerah pes baru, (4) dinamika penularan pes di alam masih
sangat terbatas informasinya.1
Program yang dilakukan oleh Dirjen P2B2 adalah eliminasi pes dengan
surveilans pada rodent dan pinjalnya, surveilans pada manusia, dan surveilans
binatang karnivora (anjing). Sistem Kewaspadaan Dini, tindakan yang harus
dilakukan bila ada wabah pes, penangkalan masuknya pes dari luar Indonesia,
cara-cara diagnosa, [engobatan, pemberantasan vektor (flea control) dan
penyuluhan

kepada

masyarakat.

Eliminasi

pes

saat

ini

bertujuan

mempertahankan agar kasus kematian karena pes tetap nol, mencegah


penularan pes dari daerah fokus ke daerah lain termasuk dari negara lain,
memantau bekas lokasi pes akan terjadinya relaps, dan mencegah dan
menangkal masuknya pes dari luar negeri. Dalam 3 tahun terakhir tidak pernah
ditemukan kasus pes pada manusia, demikian juga pada pinjal dan tikus 15.
Program eliminasi pes yang belum terlaksana adalah peran lintas sektor dengan
Dinas Pertanian, Kehutanan, dan lainnya. Peran lintas sektor dalam eliminasi
pes belum ditetapkan dalam peraturan pemerintah/daerah.

220

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

10.4. ANALISIS GAP


Sampai saat ini di daerah enzootik pes (kabupaten Boyolali, Jawa Tengah,
kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta dan kabupaten Pasuruan, Jawa Timur) tidak
ditemukan kasus pes pada manusia. Surveilans pes masih tetap dilakukan di
daerah enzootik pes, karena masih ditemukan adanya titer positif pes pada
manusia (Gambar 10.4.1.) dan tikus (Gambar 10.4.2).
Y. pestis ditemukan pada tikus rumah (R. tanezumi) pada tahun 1982 di
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah,

dan pinjal tikus rumah (X. cheopis)

ditemukan positif Y. pestis di kabupaten Pasuruan, Jawa Timur pada tahun 1987
yang diikuti dengan kejadian luar biasa pes pada manusia. Pada tahun 1992 dan
1997, ditemukan rat fall di kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Pada tahun 1997,
ditemukan pes bubo pada manusia di kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Saat ini
kabupaten Boyolali (Selo dan Cepogo), Jawa Tengah dan kabupaten Pasuruan
(Nongkojajar, Tosari, Pasrepan), Jawa Timur masih berstatus sebagai daerah
fokus pes

Jumlah sampel darah manusia

900

775

800
700
600
500
400
300

329
254
166

200
100

242

207
82

11

2004

2005

2006

151

147
40

14

2009

2010

2011

2012

2013

0
2007

2008

Tahun
Diperiksa

Positif

Gambar 10.4.1. Proporsi positif serologi pes dan darah manusia diperiksa,
tahun 2004 - 2013

221

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Dinas Kesehatan propinsi/kabupaten saat ini berperan sebagai pengambil


keputusan dalam eliminasi pes. Keterbatasan anggaran pengendalian yang
dimiliki oleh sektor kesehatan menyebabkan tidak dapat melaksanakan
keseluruhan kegiatan pengendalian. Masyarakat masih kurang berpartisipasi
dalam pengendalian dan pemberantasan vektor pes, karena banyak perangkap
tikus yang hilang (>10%). Oleh karena itu program penyuluhan pemberantasan
pes perlu digiatkan kembali dengan mengintensifkan sosialisasi pentingnya
surveilans pes. Studi tentang Penularan Penyakit Pes Dengan Pendekatan
Sosioekologi Di Dusun Sulorowo, Perbukitan Tengger Bromo, Kabupaten
Pasuruan, Jawa Timur menunjukkan bahwa masyarakat dusun Solorowo masih
tradisional. Penduduk sangat akrab terhadap lingkungan alam sekitarnya.
Masyarakat sangat mensakralkan tempat-tempat tertentu yang dianggap
mempunyai nilai kesejarahan serta nilai budaya seperti Petrenan, yaitu tempat
yang disakralkan yang dipercaya sebagai tempat makam leluhur dijadikan
tempat pemujaan dun untuk menyelenggarakan upacara ritual dun keagamaan.

5540

Jumlah sampel darah tikus

6000
4762

5000
4000
3000

2151

2147

2000

3329

3242

3157

1214 1140

1190

1000
3

16

12

28

16

18

0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
Diperiksa

Positif

Gambar 10.4.2. Proporsi positif serologi pes dan darah tikus diperiksa,
tahun 2004 2013

222

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Sehingga adanya hubungan antara manusia dengan kondisi lingkungan


alam sekitarnya yang menyangkut rodent, pinjal dan habitat juga sifat
tradisional tersebut menunjang tetap terpeliharanya penularan pes di
masyarakat dusun Solorowo. Ditunjang pula oleh pengetahuan dun persepsi
penduduk yang salah terhadap penyakit pes, maka penyakit tersebut sewakruwaktu akan tetap menjadi wabah di dusun Solorowo.1

Jejaring komunikasi dan koordinasi lintas sektoral dalam pemberantasan


pes belum optimal
Jejaring komunikasi dan koordinasi sangatlah penting di dalam suatu
instansi, terutama instansi yang saling terkait untuk menciptakan suatu
usaha yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan.
Dalam hal ini Dinas Kesehatan dan Pertanian, serta Pendidikan Kabupaten
daerah enzootik pes untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pemberantasan/eliminasi pes. Namun pada kenyataannya masih ditemukan
hal-hal yang dapat diartikan bahwa belum adanya koordinasi yang baik oleh
dinas-dinas tersebut Hal-hal tersebut diantaranya adalah hama tikus
dianggap tidak mempengaruhi hasil panen penduduk, sehingga pengelolaan
lahan relatif statis dan monokultur, sehingga menciptakan kondisi yang stabil
bagi perkembangan populasi hama tikus. Dampaknya angka keberhasilan
penangkapan tikus dalam surveilans rodensia di daerah enzootik pes relatif
tinggi (>7% di dalam rumah dan >2% di luar rumah)19 dan

promosi

kesehatan tentang eliminasi pes dilakukan hanya oleh jajaran dinas


kesehatan, sehingga terbatas hanya dikalangan orang dewasa (penduduk),
sedangkan dikalangan anak sekolah belum pernah dilakukan. Dari beberapa
faktor tersebut diatas menunjukkan bahwa jejaring komunikasi dan
koordinasi lintas sektor kurang optimal. Oleh karena itu intensifikasi
pertemuan lintas sektor perlu ditingkatkan.

223

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Terbatasnya sarana & prasarana untuk menunjang kegiatan surveilans pes


Pes, merupakan penyakit yang kurang mendapat perhatian, namun
diketahui penyakit tersebut dapat mepengaruhi stabilitas sosial, ekonomi,
dan politik. Walaupun surveilan pes masih dilakukan secara intensif di
daerah enzootik pes seperti, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah, dan Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta, namun
dengan pelaksanaan otonomi daerah terdapat berbagai kebijakan yang
mempengaruhi kegiatan surveilans pes, seperti keterbatasan persediaan
sarana dan prasarana surveilans pes, meliputi jumlah perangkap tikus, alat
dan bahan laboratorium. Selain keterbatasan anggaran pengadaan alat
tersebut, juga kesulitan dalam mendapatkan alat dan bahan tersebut.
Program pemberantasan pes di Indonesia dalam pengadaan sarana dan
prasarana surveilans pes saat ini dibebankan pada anggaran pendapatan
daerah (APBD). Olehkarena itu sangat penting melakukan advokasi ke
Bapeda dalam meningkatkan anggaran surveilans pes, sehingga dapat
mempercepat eliminasi pes di Indonesia20.

Keterampilan Petugas kurang


Di daerah enzooik pes, petugas Puskesmas sangat terbatas.
Padaumunya petugas tersebut merangkap tugas lainnya dan sering
dirotasi/mutasi ke bidang lain, sehingga berpengaruh terhadap kemampuan
dan keterampilan para petugas. Program pelatihan entomologi dan rodensia
sering belum terlaksana karena keterbatasan dana. Dalam rangka
menanggulangi permasalahan tersebut Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
bekerjasama dengan instansi lain seperti lembaga penelitian untuk
mengadakan workshop bagi para petugas kesehatan atau pelatihan kilat bagi
petugas.Pelatiha tersebut sangat bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas
petugas kesehatan dalam identifikasi vektor dan reservoir penyakit,
penemuan kasus pes, tatalaksana kasus pes dan pengendalian vektor
pes.(KLB).

224

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Legalitas status Pes


Penyakit pes, merupakan penyakit relatif kurang mendapat perhatian
(prioritas), tetapi di kabupaten/kota yang memiliki wilayah enzootik pes
direkomendasikan melakukan surveilans pes, baik surveilans pada manusia,
tikus maupun pinjal21,22. Kegiatan surveilans dikategorikan menurut status
endemisitas pes yang tertulis dalam Buku Pedoman Penanggulangan Pes di
Indonesia, yaitu daerah fokus, daerah terancam dan daerah bekas pes.
Status endemisitas tersebut akan ditinjau atau dinilai setiap 10 tahun oleh
pelaksana program pemberantasan pes dan para ahli pes, baik dalam
maupun luar negeri. Tetapi setelah sejak diberlakukannya paket UU Otonomi
Daerah (UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi
UU No. 32 dan No. 33 tahun 2004) telah terjadi perubahan pembagian fungsi
antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Sesuai dengan UU
No. 22 tahun 1999 dan SK Menkes RI No. 1147 tahun 2000, maka tugas
Depkes Pusat adalah menyusun kebijakan nasional, pedoman, standar,
petunjuk teknis, fasilitasi dan bantuan teknis kepada daerah, sementara
fungsi-fungsi yang bersifat operasional sudah harus diserahkan kepada
daerah (propinsi dan kabupaten/kota), maka kegiatan surveilans pes
dialihkan ke kewenangan daerah, baik dana, tenaga dan kebijakannya.
Dalam pelaksanaanya daerah mengalami kendala tentang legalitas status
pes, karena belum ada undang-undang atau peraturan daerah yang
mengatur status daerah pes tersebut (saat ini status endemisitas daerah pes
berdasarkan buku pedoman penaggulangan pes tahun 1999), sehingga hal
tersebut mempengaruhi kebijakan daerah untuk melakukan kegiatan
surveilans pes secara komprehensif. Pemecahan masalah legalitas status
endemisitas pes disikapi olehDinas Kesehatan Kabupaten Boyolali, Jawa
Tengah dengan bersurat ke Kemenkes RI perihal Permohonan Fasilitasi
Assesment Status Endemisitas Daerah Fokus Pes di Kab.Boyolali, Jawa
Tengah23

225

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 10.4.1. Analisis Gap PES


No

Temuan

Program

Saran

Kurangnya
parstisipasi
masyarakat
terhadap kegiatan
surv.pes , banyak
perangkap
hilang/dirusak

Penyuluhan kepada
masyarakat

Mengintensifkan sosialisasi/ penyuluhan


ttg pentingnya surveilans pes

Belum optimalnya
jejaring komunikasi
& koordinasi lintas
sektoral terkait

Integrasi program
pemberantasan pes

Memantapkan jejaring komunikasi &


koordinasi dg linsek terkait
(pertanian,pemda)

Terbatasnya sarana
& pra sarana untuk
menunjang
kegiatan surveilans
pes

Pengadaan sarana
dan prasarana
surveilans pes

Sosialisasi & advokasi pd Bappeda agar


mendukung penganggaran unt menunjang
kegiatan surv.pes

Ketrampilan
petugas kurang

Pelatihan
entomologi dan
rodentologi

Pelatihan/ Workshop petugas pengelola


Prog.P2 Pes ttg rodentologi

Legalitas status Pes

Belum ada

Bersurat ke Kemenkes RI. perihal


Permohonan Fasilitasi Assesment Status
Endemisitas Daerah Fokus Pes

10.5. POLICY OPTION DAN PENELITIAN


Pemberdayaan masyarakat dalam eliminasi pes belum optimal
Pemberantasan pes sangat tergantung pada peran besar pemerintah
daerah, yang langsung menghadapi masyarakat. Daerah diharapkan lebih
aktif menggerakkan masyarakatnya untuk menjaga lingkungan masingmasing. Peran daerah dalam eliminasi pes antara lain dilakukan dengan
tindakan preventif seperti (1) mengeluarkan surat edaran kewaspadaan dini
kepada semua kepala Puskesmas daerah enzootik pes, (2) kampanye
gerakan pembersihan lingkungan, (3) penyebaran poster, ceramah klinik
penyegaran tata laksana kasus pes, maupun membahas penanganan dan

226

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

antisipasi pes. Pemerintah Provinsi memfasilitasi teknis dan pengamatan pes


di daerah enzootiki pes, selain juga memberikan bantuan alat pengendalian
vektor pes, seperti pipa pralon, insektisida dll. Usaha promosi kesehatan
secara konvensional telah meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
masyarakat mengenai pemberantasan pes, namun belum diikuti dengan
perbaikan sikap. Pengembangan inovasi pemberdayaan masyarakat untuk
menetapkan intervensi, perlu didasari pada suatu formative research yang
mengungkap hal-hal yang dibutuhkan masyarakat. Penelitian tentang
pembinaan masyarakat dalam pengendalian pinjal vektor pes di daerah
enzootik pes Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah dan Kabupaten Pasuruan,
Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat
dalam menggunakan pipa peralon berinsektisida untuk pengendalian pinjal
vektor pes di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur sebesar 81,86% dari 182
responden dan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah 37,86% dari 178
responden.1 Studi tentang Penularan Penyakit Pes Dengan Pendekatan
Sosioekologi Di Dusun Sulorowo, Perbukitan Tengger Bromo, Kabupaten
Pasuruan, Jawa Timur menunjukkan bahwa masyarakat dusun Solorowo
masih tradisional. Penduduk sangat akrab terhadap lingkungan alam
sekitarnya. Masyarakat sangat mensakralkan tempat-tempat tertentu yang
dianggap mempunyai nilai kesejarahan serta nilai budaya seperti Petrenan,
yaitu tempat yang disakralkan yang dipercaya sebagai tempat makam leluhur
dijadikan tempat pemujaan, untuk menyelenggarakan upacara ritual dan
keagamaan. Sehingga adanya hubungan antara manusia dengan kondisi
lingkungan alam sekitarnya yang menyangkut rodent, pinjal dan habitat juga
sifat tradisional tersebut menunjang tetap terpeliharanya penularan pes di
masyarakat. Ditunjang pula oleh pengetahuan dan persepsi penduduk yang
salah terhadap penyakit pes, maka penyakit tersebut dapat menjadi wabah
kembali. Oleh karena itu dalam eliminasi pes penyuluhan kepada masyarakat
ditingkatkan dan diintensifkan. Penggunaan media elektronik dan media
massa digiatkan untuk menyebarluaskan informasi tentang eliminasi pes.

227

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Selain itu cara-cara efektif untuk pemberdayaan masyarakat diteliti, sehingga


diperoleh metode pemberdayaan masyarakat yang efisien dan efektif untuk
eliminasi pes16,20.
Jejaring komunikasi & koordinasi linsek terkait
Koordinasi dengan instansi terkait di tingkat Kabupaten/Kota setelah
adanya desentralisasi dan otonomi daerah, menjadi lebih sulit untuk
dilakukan. Hal ini dikarenakan ada kesan masing-masing Kabupaten/Kota
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tidak memerlukan
bantuan/koordinasi. Dinas Kesehatan Propinsi. Koordinasi yang sulit terlihat
tidak adanya dukungan pendanaan dari masing-masing instansi terkait.
Setiap usulan rencana kegiatan dan pembiayaan kegiatan pemberantasan
pes yang diajukan oleh masing-masing instansi terkait di luar kesehatan
sering tidak mendapat persetujuan untuk mendapat dana APBD dari
Pemerintah Daerah setempat, dengan pertimbangan antara lain bahwa
urusan penyakit menular adalah urusan dinas kesehatan, tidak melibatkan
instansi di luar kesehatan. Pada umumnya, sektor kesehatan masih
dipandang sebagai aktor dan inisiator utama dalam pencegahan pes. Hal ini
sejalan dengan temuan Halstead (2000) mengenai sukses dan kegagalan
pengendalian penyakit pes. Metode konvensional promosi kesehatan melalui
KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) dan advokasi telah meningkatkan
kesadaran dan pengetahuan masyarakat, namun belum berhasil. Adanya
usulan mengenai pembentukan dan pengaktifan Tim Epidemiologi Daerah
Enzootik Pes sebagai wahana untuk penelusuran penyakit berbasis
lingkungan, diharapkan dapat merangkum berbagai pihak terkait dari lintas
program

pemberantasan

penyakit,

kesehatan

lingkungan,

promosi

kesehatan maupun lintas sektor dari lingkungan dan memantapkan jejaring


komunikasi & koordinasi dg linsek terkait (pertanian,pemda)20

228

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Kebijakan eliminasi pesdi intensifkan


Kebijakan eliminasi pes meliputi kebijakan penanganan kasus dan
pengendalian vektor pes pes. Aplikasi kebijakan tersebut di daerah enzootik
saat ini15, adalah ;
1. Bila ditemukan pes bubo maka dilakukan isolasi di rumah masing-masing,
dan yang kontak serumah dilarang keluar desa, atau Kasus saspek pes
segera dirawat di puskesmas setempat yang memenuhi persyaratan, bila
tidak mampu maka dirujuk ke Rumah Sakit Kabupaten atau RS Provinsi,
atau
2. Bila ditemukan pes paru-paru, maka daerah rumah penderita dan rumahrumah sekitarnya harus diisolasi. Luas daerah yang diisolasi harus
diperhitungkan secara epidemiologis dengan memperhatikan letak dan
batas situasi wilayah. Pengobatan terhadap penderita termasuk kontak
serumah sesuai tatacara yang telah ditentukan.
3. Semua penduduk dalam daerah yang diisolasi juga diberikan pengobatan
pencegahan dengan Tetracycline 500 mg sehari selama 10 hari berturutturut.
4. Isolasi daerah dinyatakan selesai jika di dalam satu minggu setelah kasus
pes paru-paru terakhir sembuh atau mati, dan tidak terdapat kasus baru
lagi.
5. Keluarga lain yang mengunjungi keluarga terjangkit atau dikunjungi oleh
kontak serumah dari penderita perlu diisolasi di rumah dan di berikan
pengobatan serta diadakan pengamatan dalam satu minggu.
6. Jika keluarga yang diisolir timbul gejala pes paru-paru maka isolasi
dilakukan seperti tersebut di atas.
7. Para tersangka yang ditemukan pada pemeriksaan diberikan pengobatan
penuh, sambil menunggu hasil konfirmasi laboratorium.

229

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

8. Jika ternyata konfirmasi positif diberi tindakan seperti kasus, bila tidak
maka pengobatan dihentikan.
9. Kepada keluarga dimana rumahnya terdapat tikus mati tanpa sebabsebab yang jelas (rat fall) dengan pemeriksaan laboratorium positif,
diberikan pengobatan pencegahan selama 5 hari, dan jika tidak timbul
gejala pes, keluarga tersebut tetap dipantau setiap hari.

Kebijakan pengendalian vektor untuk eliminasi pes disesuaikan dengan


status endemsitas daerah enzootik yaitu;
a. Untuk daerah fokus :
Surveilans dilakukan terhadap binatang-binatang yang berhubungan
erat dengan manusia (contoh: anjing, kucing, kelinci, dll). Pemeriksaan
secara serologi serum darah terhadap pes dilakukan sebanyak 2 kali dalam
setahun (musim kemarau dan hujan). Jumlah sampel secara epidemiologis
mewakili populasi binatang di daerah tersebut.
Surveilans pada manusia dan tikus dilakukan sepanjang tahun, 1 x (satu
kali) sebulan selama 5 hari berturut-turut setiap survei. Bila ditemukan titer
positif atau Y. pestis pada manusia perlu dilakukan penangkapan tikus dan
pinjal ulang selama 5 hari berturut-turut, setiap 2 minggu sekali, selama 2
bulan berturut-turut sampai tidak ditemukan lagi kasus atau spesimen positif
pada manusia. Pada keadaan kejadian luar biasa dilakukan pengendalian
pinjal vektor pes dengan metoda dusting. Di daerah fokus pes, apabila terjadi
kenaikan indeks umum pinjal (>2) dan indeks khusus pinjal (>1) dilakukan
pengendalian pinjal dengan metode pipa pralon berinsektisida.
b. Untuk daerah terancam :
Surveilans dilakukan secara periodik 4 x (empat kali) dalam setahun
selama 5 hari berturut-turut. Bila ditemukan titer positif atau Y. pestis pada
manusia perlu dilakukan dilakukan penangkapan tikus dan pinjal ulang

230

selama 5 hari berturut-turut, setiap 2 minggu sekali, selama 2 bulan berturut-

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

turut sampai tidak ditemukan lagi kasus atau spesimen positif pada manusia.
Apabila daerah terancam terjadi kejadian luar biasa pes statusnya dapat naik
menjadi daerah fokus, dan tindakan pengendalian dan pemberantasan pes
dilakukan seperti di daerah fokus pes.
c. Untuk daerah bekas fokus pes
Surveilans dilakukan 1 (satu) tahun sekali atau 2 (dua) tahun sekali
selama 5 hari berturut-turut atau bila ditemukan jejak tikus (rat fall) dan
dilakukan secara spot survei.

Berdasarkan hasil pertemuan evaluasi pes di Ciloto pada tahun 1997, yang
dilanjutkan dan ditinjau kembali pada pertemuan evaluasi tahun 2004, maka
kebijaksanaan pencegahan dan pemberantasan/eliminasi pes dititikberatkan
kepada;
1. Kegiatan pengamatan aktif dan pasif terhadap manusia dan rodensia serta
pinjalnya, pengobatan terhadap penderita/tersangka, pemberantasan vektor
dan tindakan perbaikan lingkungan
2. Sasaran prioritas adalah daerah fokus pes yaitu, desa, tempat ditemukan Y.
pestis baik pada pinjal, rodent, tanah, bahan organik lain ataupun manusia
dan/atau serologi positif manusia (titer 1: 128) atau serokonversi terdapat
kenaikan titer 4 kali lipat (2 x pengambilan) serta serologi positif rodent (titer
1 : 128). Daerah terancam yaitu, desa yang berbatasan dengan daerah
fokus oleh perhubungan (darat, laut dan udara) dan ditemukan serologi
positif binatang pengerat dan manusia dengan titer < 1: 128, dan daerah
bekas fokus yaitu,desa yang masih dianggap potensial sebagai daerah
enzootik dan wabah pes atau pernah ada riwayat pes.
3. Kegiatan pemberantasan dan status daerah pes sesuai kesepakatan, maka
setiap 10 tahun diadakan penilaian dengan melibatkan pelaksana program
pemberantasan pes dan para ahli pes, baik dari dalam dan luar negeri.

231

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Kebijakan eliminasi pes mengalami hambatan dalam alokasi dana untuk


dilaksanakan di sektor kesehatan yang mencakup area kegiatan luas dan yang
selama ini didominasi peran pemerintah pusat. Sebelum desentralisasi alokasi
anggaran kesehatan dilakukan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan
model negosiasi ke propinsi-propinsi. Setelah desentralisasi kebijakan sektor
kesehatan menghadapi apa yang disebut anggaran pembangunan melalui Dana
Alokasi Umum (DAU) yang berbasis pada formula. Dalam formula ini pembagian
alokasi anggaran tidak hanya ke propinsi melainkan sampai ke kabupaten/kota.
Secara implisit DAU kesehatan dianggap sudah termasuk dalam formula
tersebut walaupun sebenarnya secara eksplisit tidak ada. Praktis sektor
kesehatan harus berjuang di tiap propinsi dan kabupaten/kota untuk
mendapatkan anggaran. Dengan demikian daerah harus merencanakan dan
menganggarkan program kesehatan dan bersaing dengan sektor lain untuk
mendapatkannya, termasuk anggaran eliminasi pes. Oleh karena itu Dinas
Kesehatan Kabupaten yang memiliki daerah enzootik pes mengalokasikan
anggaran untuk surveilans pes di daerah fokus, sedangkan surveilans pes di
daerah terancam dan bekas pes dilakukan oleh instansi lain seperti, BBTKL.
Surveilan pes merupakan kegiatan utama dalam pemantauan pes, sehingga
kewaspadaan dini situasi dan kondisi lingkungan enzootik pes berjalan baik.
Data surveilans pes dapat sebagai bahan pertimbangan eliminasi pes di
Indonesia. Studi dinamika penularan pes dalam rangka eliminasi pes akan
sangat mendukung mengetahui status pes domestik, peridomestik dan silvatik,
sehingga program pengendalian vektor pes dapat diaplikasikan secara tepat
sasaran.

232

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 10.5.1. Policy Option PES


Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Masalah

Penanganan

Maintenance

Penelitian

Pemberdayaan
masyarakat
dalam eliminasi
pes belum
optimal

Mengintensifkan
sosialisasi/
penyuluhan
pentingnya
surveilans pes

Penyuluhan kepada
masyarakat dalam
eliminasi pes

Media elektronik dan


media masa

Studi Partisipasi
masyarakat dalam
eliminasi pes

Belum
optimalnya
jejaring
komunikasi &
koordinasi linsek
terkait

Memantapkan
jejaring
komunikasi &
koordinasi dg
linsek terkait
(pertanian,pemda
)

Integrasi program
pemberantasan pes

Jejaring kerjasama
lintas sektoral dalam
eliminasi pes

Implementasi
advokasi lintas sektor
dalam eliminasi pes
di Indonesia

Kebijakan
eliminasi
pes
diintensifkan

Mengalokasikan
anggaran
eliminasi
pes
pada area luas
dan
kerjasama
dengan instansi
terkait

Surveilans pes
dan
pengendalian vektor
dan
faktor
risiko
lingkungan

Kompetensi petugas

Studi
dinamika
penularan pes dalam
rangka eliminasi pes

Pemberdayaan
masyarakat
dalam eliminasi
pes belum
optimal

Mengintensifkan
sosialisasi/
penyuluhan
pentingnya
surveilans pes

Penyuluhan kepada
masyarakat dalam
eliminasi pes

Media elektronik dan


media masa

Studi Partisipasi
masyarakat dalam
eliminasi pes

Daftar Pustaka
1.

Weber, W. Transmitted by rats and mice. Health


Hazard to humans and Domesticated Animals.
Thomson Pub. Fresno, California, USA. 1982.

2.

Sub
Direktorat
Zoonosis,
Pedoman
Penanggulangan Pes di Indonesia. Dep. Kes. RI.,
Dirjen. P2M & PLP. Jakarta. 1999.

3.

Bahmanyar, M and Cavanaugh, DC. Palgue Manual.


WHO, Geneva. 1976

4.

World Health Organizations, Plague Manual:


Epidemiology, Distribution, Surveillance and
Control. WHO/CDS/CSR/EDC/99.2. 1999

5.

Nils Chr. Stenseth, Bakyt B. Atshabar, Mike Begon,


Steven R. Belmain, Eric Bertherat, Elisabeth Carniel,
Kenneth L. Gage, Herwig Leirs, Lila Rahalison.
Plague: Past, Present, and Future. PLoS Medicine.
Vol 5. Issue 1. p.9-13. 2008

6.

Peter J. Hotez*, David H. Molyneux, Alan Fenwick,


Eric Ottesen, Sonia Ehrlich Sachs, Jeffrey D. Sachs.
Incorporating a Rapid-Impact Package for Neglected Tropical Diseases with Programs for
HIV/AIDS, Tuberculosis, and Malaria (A comprehensive pro-poor health policy and strategy for the
developing world). PLoS Medicine. Vol 3. Issue 5.
p.576-584. 2006

233

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

7.

Gage, K. Plague Surveyllans. CDC. Fort Collin.

8.

Crook, Larry D. and Bruce T., Plague: A clinical


review of 27 cases. The A chives of Internal
Medicine.
Vol.11523.
American
Medical
Association. USA. 1992

9.

John M. Last. "Black Death", Encyclopedia of Public


Health, eNotes website. 2010.

10.

Askham, Leonard R. 1987. The rat: its biology and


control, Cooperative Extension Bulletin EB1377,
Washington State University, Pullman, WA.1987

11.

Parkhill, J., Wren, B.W., Thomson, N.R. et al.


Genome sequence of Yersinia pestis, the causative
agent of plague. Nature 413, 523 - 527 (04 October
2001); doi:10.1038/35097083

12.

Perry, R. D. and Fetherston, J. D. Yersinia pestis-etiologic agent of plague. Clin. Microbiol. Rev. 10,
35-66 (1997)

13.

Park H, Teja K, O'Shea JJ, Siegel RM . The Yersinia


effector protein YpkA induces apoptosis
independently of actin depolymerization. J
Immunol. 178 (10): 64266434.2007

14.

Ristiyanto, Sustriayu N., Suskamdani dan Soenarto


N., Evaluasi Pembinaan Masyarakat Dalam
Pengendalian Pinjal di Daerah Enzootik pes di
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah dan Kabupaten
Pasuruan, Jawa Timur. Seminar Biologi Nasional X,
Bogor. 1999.

15.

Sub
Direktorat
Zoonosis.
Pedoman
Penanggulangan Pes di Indoensia. Dep. Kes. R.I.
Dirjen. P2M dan Pl. Jakarta. 1999.

16.

Kasnodihardjo, Rachmalina Soerachman, Sunanti


Zalbawi S. Stud1 Tentang Penularan Penyakit Pes
Dengan Pendekatan Sosioekologi Di Dusun
Sulorowo, Perbukitan Tengger Bromo, Kabupaten
Pasuruan, Jawa Timur.

234

17.

Ristiyanto, Sustriayu N, dan Suskamdani. Aplikasi


metoda pipa peralon berinsektisida (fenithrothion)
dalam pengendalian pinjal vektor pes di daerah
enzootik pes di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur
dan Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Seminar
Parasitilogi, VI. Jakarta. 1997

18.

Ristiyanto, Sustriayu Nalim dan Hadisuwasono.


Metode Pengabutan Habitat Tikus dalam
Pengendalian Vektor Pes di Kabupaten Boyolali,
Jawa Tengah. Bul.Pen.Kes. Vol.4. (2). 1995.

19.

Anne Laudisoit,* Herwig Leirs,* Rhodes H.


Makundi, Stefan Van Dongen,* Stephen Davis,*
Simon Neerinckx,* Jozef Deckers, and Roland
Libois Plague and the Human Flea, Tanzania
Emerging Infectious Diseases www.cdc.gov/eid
Vol. 13, No. 5, May 2007

20.

Atmawikarta, A, Hadiat, Dadang R.R., Yosi D.T.


Sularsono, Pungkas B.A, Inti Wikanestri, dan
Nurlaili Aprilianti. Laporan kajian kebijakan
penanggulangan (wabah) penyakit menular. Deputi
Bidang SDM dan Kebudayaan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional. 2006

21.

Gage, Kenneth L.; Montenieri, John A.; and


Thomas, Rex E., The Role Of Predators In The
Ecology Epidemiology, And Surveillance Of Plague
In The United States" (1994). Proceedings of the
Sixteenth Vertebrate Pest Conference . 20.1994

22.

Chanteau S, Rahalison L, Ratsitorahina M,


Mahafaly, Rasolomaharo M, Boisier P, O'Brien T,
Aldrich J, Keleher A, Morgan C, . Early diagnosis of
bubonic plague using F1 antigen capture ELISA
assay and rapid immunogold dipstick. Int J Med
Microbiol.290(3):279-83.2000.

23.

Ristiyanto, Sustriayu N., Suskamdani dan Soenarto


N., Evaluasi Pembinaan Masyarakat Dalam
Pengendalian Pinjal di Daerah Enzootik pes di
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah dan Kabupaten
Pasuruan, Jawa Timur. Seminar Biologi Nasional X,
Bogor. 1999.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB

11

LEPTOSPIROSIS
Ristiyanto

11.1. PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah zoonosis, disebabkan oleh bakteri patogenik dari
genus Leptospira. Sampai saat ini dikenal dua jenis Leptospira yaitu Leptospira
interogans dan Leptospira biflexa. Jenis pertama dikenal patogen terhadap
manusia dan hewan, sedangkan spesies kedua merupakan safrofit yang hidup
bebas di perairan dangkal dan jarang dihuhungkan dengan infeksi pada
manusia. 1,2
Di Indonesia, leptospirosis telah dikenal sejak tahun 1892 di Jakarta.
Serovar Leptospira di Indonesia pertama kali teridentifikasi dari pekerja kebun
karet di Ambarawa Jawa Tengah pada tahun 1922. Tahun 1938, Wolf
mengisolasi serovar Hardjo. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya telah
diisolasi berbagai serovar Leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan
peliharaan. Sejak itu leptospirosis jarang dilaporkan1.
Di negara berkembang leptospirosis sering diabaikan keberadaannya,
karena kurang informasi, ketidak tahuan insidensi leptospirosis, tidak ada alat
diagnostik

yang

berkelanjutan

sesuai

untuk

dan

kesulitan

pencegahan

dan

dalam

merencanakan

pengendalian

strategi

leptospirosis.

Konsekuensinya leptospirosis dianggap sebagai penyakit yang kurang


berdampak serius bagi masyarakat, sehingga tidak diprioritaskan dalam
program penanggulangan penyakit dan

penelitian untuk pencegahan

penularannya2.

235

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

11.2. MASALAH LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA


11.2.1. Etiologi
Leptospirosis disebabkan bakteri patogen berbentuk spiral termasuk
genus Leptospira, famili Leptospiraceae dan ordo Spirochaetales. Spiroseta
berbentuk gulungan tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob.
Leptospira terbagi menjadi puluhan serogrup dan terbagi lagi menjadi puluhan,
bahkan ratusan serovar. Saat ini L. interrogans mempunyai lebih dari 200
serovar. Jasad renik ini biasanya hidup di dalam ginjal host dan dikeluarkan
melalui air kencing (urin)2.

11.2.2. Epidemiologi
Awal tahun 1970-an, kasus leptospirosis pada

manusia dilaporka di

Sumatera Selatan dan P. Bangka, serta dibeberapa rumah sakit di Jakarta.


Tahun 1986 di daerah transmigrasi Kuala Cinaku, propinsi Riau terjadi Kejadian
Luar Biasa (KLB) leptospirosis. Daerah tersebut merupakan daerah pasang surut
air laut. Tahun 1994-1996, hasil spot survei Sub Dit Zoonosis menunjukkan
bahwa leptospirosis telah menyebar luas di beberapa propinsi, tetapi hasil spot
survei tersebut belum dapat memberikan informasi yang sebenarnya tentang
insidensi dan prevalensi leptospirosis di Indonesia1. Berdasarkan International
Leptospirosis Society (2001), Indonesia sebagai negara dengan insidensi
leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia dengan angka mortalitas
16,7%1.
Penularan ke manusia dapat melalui mandi disaluran air, danau atau
kolam yang terkontaminasi bakteri Leptospira patogenik, kontak dengan tanah
basah yang mengandung urin tikus infektif. Infeksi dapat melalui jaringan kulit
(custaneous route), yaitu Lepstospira mempenetrasi luka di kulit atau melalui
kulit sehat yang lecet karena keringat, air dan lumpur. Infeksi tersebut juga

236

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

dapat melalui hidung atau farinks dan melalui kunjunktiva saat menggosok
mata dengan jari kotor infektif Leptospira patogenik3. Bakteri Leptospira yang
ditularkan oleh tikus berpotensi menyebabkan sakit pada manusia daripada
semua jenis Leptospira yang ada pada hewan domestik4.
Host (inang) bakteri Leptospira dapat dibedakan sebagai maintenance
host dan incidental host. Inang tempat bakteri Leptospira menetap sebagai
infeksi kronik di dalam tubulus ginjal disebut maintenance host. Contohnya
tikus. Sedangkan incidental host adalah inang yang terinfeksi Leptospira tanpa
menimbulkan manifestasi kronis, tetapi akut. Contohnya manusia dan hewan
ternak/piaraan seperti sapi,anjing dan lain-lain2,5
Infeksi biasanya ditularkan dari hewan ke hewan melalui kontak langsung.
Biasanya, infeksi didapat pada usia dini. Frekuensi ekskresi kronik melalui urin
meningkat dengan bertambahnya umur hewan. Pada manusia, penularan
melalui kontak tidak langsung dengan maintenance host. Luasnya penularan
tergantung dari banyak faktor yang meliputi iklim, kepadatan populasi, dan
derajat kontak antara maintenance host dan incidental host.

Kalimantan
Papua
Maluku

Sumatera
Jawa
Keterangan;

Sulawesi
NTB

= Daerah leptospirosis

NTT

= Daerah tidak ditemukan leptospiirosis

Gambar 11.2.2.1. Persebaran daerah leptospirosis di Indonesia (Tahun 2013)

237

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Peta persebaran leptospirosis yang meliputi peta endemisitas, peta


reservoir dan serovar Leptospira di Indonesia belum tersedia, sehingga angka
insidensi belum dapat diketahui.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola penularan penyakit
leptospirosis yaitu,
1. Karakteristik individu
Karakteristik individu yang dihubungkan dengan kejadian leptospirosis
adalah jenis kelamin dan umur. Faktor risiko jenis kelamin dan umur tersebut
berkaitan dengan jenis pekerjaan dan aktivitas sehari-hari5. Jenis kelamin
tidak memberikan perbedaan tingkat kerentanan seseorang terhadap infeksi
leptospirosis. Penderita laki-laki cenderung lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. karena berkaitan dengan pekerjaanya. Pekerjaan yang
berpotensi sebagai faktor risiko kejadian leptospirosis adalah petani,
peternak, pemotong hewan, dan pekerjaan lain yang memungkinkan kontak
dengan hewan5,6,7.
2. Lingkungan
Leptospirosis timbul di masyarakat sebenarnya merupakan suatu
indikator dari buruknya kondisi lingkungan karena memberikan peluang
proliferasi bagi inang reservoir leptospirosis5,7, terutama tikus. Bakteri
Leptospira dapat hidup berbulan-bulan di lingkungan air atau tanah basah
atau lumpur (1-3 bulan). Bakteri ini dapat hidup di air yang menggenang,
kisaran pH antara 7,0-7,4 dan suhu 280C-300C, serta ketinggian air 5-10 cm.
Umumnya karaktersitik lingkungan endemis leptospirosis adalah rentan
terhadap banjir, kumuh, sanitasi buruk, pemukiman padat, kemiskinan, dan
kelimpahan tikus. Jalan beraspal lebih kedap air daripada tanah bervegetasi,
sehingga berdampak run-off.i5,7,8.
3. Hewan liar
Peran hewan liar adalah penting dalam epidemiologi leptospirosis

238

karena beberapa spesies terutama mamalia kecil, bertindak sebagai

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

reservoir bakteri Leptospira. Jenis binatang mamalia kecil terutama adalah


binatang pengerat yang peridomestik (tikus, mencit dll.) dan insektivora
(cecurut). Selain itu, hewan domestik yaitu hewan ternak dan piaraan seperti
lembu, babi, anjing, berperan juga sebagai sumber penular leptospirosis,
tetapi jarang terjadi pada domba-domba, kambing, kuda dan kerbau liar7.
4. Rekreasi
Wisatawan dapat terinfeksi leptospira pada saat rekreasi5. Kasus
leptospirosis pada wisatawan biasanya berhubungan dengan wisata air
seperti, renang di air tawar, arung jeram, kayak, kano, memancing, berburu
dan bersepeda5,7

Selain itu, berendam di air berkepanjangan dapat

membuat kulit lebih mudah ditembus bakteri Leptospira5.

11.2.3. Patogenesis
Leptospira masuk ke dalam tubuh inang melalui luka iris/luka abrasi pada
kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus,
bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan
minum air yang terkontaminasi8. Walaupun jarang ditemukan, namun
dilaporkan kasus leptospirosis yang terjadi karena penetrasi kuman Leptospira
melalui kulit utuh yang lama terendam air pada saat banjir. Infeksi melalui
selaput lendir lambung jarang terjadi karena asam lambung yang mematikan
bakteri Leptospira dan Leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi akan
dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari
infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan. Pada
keadaan ini bakteri Leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit9.
Leptospira

merusak

dinding

pembuluh

darah

kecil

sehingga

menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas


bakteri Leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel

239

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

dan toksisitas selluler. Organ utama yang terinfeksi bakteri Leptospira adalah
ginjal dan hati. Di dalam ginjal bakteri Leptospira bermigrasi ke interstisium
(ruang kecil diantara sel) tubulus ginjal dan lumen tubulus9,11.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro
dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran
cairan dan hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati,
pelepasan bilirubin darah dari jaringan

yang mengalami hemolisis

intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin 9,12.


Conjungtival suffusion (selaput lendir mata kemerahan) khususnya
perikorneal terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini patognomonik
pada stadium dini9. Komplikasi lain berupa uveitis, iritis dan iridosiklitis yang
sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular12. Keberadaan bakteri
Leptospira

di

aqueous

humor

difagosit

oleh

kadang

menimbulkan

uveitis

kronik

berulang13,14.
Leptospira

sel-sel

sistem

retikuloendotelial

serta

mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah organisme semakin berkurang dengan


meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam darah. Kuman Leptospira akan
dieleminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal, dan
mungkin otak dimana kuman Leptospira dapat menetap selama beberapa
minggu atau bulan. 9,13

11.2.4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis di berbagai rumah sakit
tidak sama, tergantung dari : jenis bakteri leptospirosis, kekebalan seseorang,
kondisi lingkungan dan lain-lain. Diagnosis banding leptosipirosis ialah dengan
influenza yang sporadik, meningitis aseptic viral, ricketsiosis, segala macam
penyakit dengan ikterus, glandular fever, brucellosis, pneumonia atipic, DHF,

240

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

fever unknown origin (FUO). Selain itu diagnosis banding lain adalah
hemorrhagic fever yang lain, dan arthropod-borne disease dan rodent-borne
dsiease15,16,17.
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data
epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan faktor
risiko18,19,20. Keluhan khasnya yaitu, demam mendadak, keadaan umum lemah
tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata semakin
lama semakin bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis
dan paha21.
Manifestasi klinis leptospirosis bervariasi dari ringan hingga ikterohemoragik yaitu seluruh tubuh berwarna kuning seperti hepatitis, dan timbul
manifestasi perdarahan misalnya: mimisan, batuk darah, muntah darah, berak
darah, perdarahan di otak). Leptospirosis ringan (90% kasus Leptospirosis)
ditandai dengan gejala demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri perut, mual dan
muntah. Semua pasien Leptospirosis berat menunjukkan gejala demam yang
tinggi (lebih dari 390C) pada dua hari pertama, dan bisa berlangsung sampai 8
hari. Selanjutnya muncul gejala kuning (ikterus) di mata, kulit, dan air kencing
yang berwarna kuning tua seperti air teh, sehingga sering diduga sebagai
hepatitis akut. Gejala lainnya adalah kelainan ginjal, perdarahan di paru, dan
kadang miokarditis mengakibatkan kematian mendadak19,22.
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terbagi atas pemeriksaan
laboratorium umum dan pemeriksaan laboratorium khusus23.
1. Pemeriksaan laboratorium umum
Pemeriksaan laboratorium umum meliputi pemeriksaan darah,
pemeriksaan fungsi ginjal dan hati. Pemeriksaan darah rutin biasanya
terdapat leukositosis, trombositopeni dan peningkatan laju endap darah/
LED.

241

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

2. Pemeriksaan laboratorium khusus


Pemeriksaan laboratorium khusus meliputi pemeriksaan langsung dan
pemeriksaan tidak langsung (pemeriksaan serologi).
a. Pemeriksaan langsung23
1. Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi bakteri Leptospira dalam
darah, cairan peritoneal dan eksudat pleura pada minggu pertama
sakit antara hari ke-3-7, dan di dalam urin pada minggu kedua untuk
diagnosis definitif leptospirosis. Bakteri Leptospira dapat dilihat dengan
mikroskop lapang gelap.
2. Pemeriksaan molekuler23,24
Pemeriksaan molekuler dengan teknik Polymerase Chain Reaction
(PCR). Deteksi DNA bakteri Leptospira dapat dilakukan dengan
menggunakan primer khusus untuk konfirmasi semua strain Leptospira
patogen sejak stadium dini (hari ke-2). Teknik PCR lebih sensitif dan
spesifik dibanding uji serologi dan bakteriologi.
3. Biakan23
Spesimen untuk biakan diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil
optimal bila darah, cairan serebrospinal, urin dan jaringan postmertem
segera ditanam ke media, kemudian dikirim ke laboratorium pada suhu
kamar.
4. Inokulasi hewan percobaan23
Bakteri Leptospira virulen dapat menginfeksi hewan percobaan. Hewan
yang dapat dipakai untuk isolasi bakteri Leptospira adalah golden
hamsters (umur 4-6 minggu) dan marmut muda (150-175g), karena
hewan-hewan tersebut bukan merupakan karier bakteri Leptospira.
Isolasi bakteri
peritoneal23,24.

242

Leptospira didapat dari biakan darah atau cairan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

b. Pemeriksaan langsung atau pemerikaan serologi23


Pemeriksaan serologi leptospirosis dapat menggunakan metode
seperti berikut:
a. Microscopic Agglutination Test (MAT)
Pemeriksaan MAT didasarkan atas reaksi aglutinasi dan kenaikan titer
antibodi di dalam serum penderita yang terdiri dari IgM atau IgG. MAT
merupakan baku emas pemeriksaan serologi bakteri Leptospira. Sampai
saat ini belum ada uji lain yang lebih spesifik
b. Macroscopic Slide Agglutination Test (MSAT)
Prinsip uji MSAT sama dengan MAT tetapi tes dilakukan secara
makroskopis di atas kaca obyek. Hasil reaksi dinilai secara semi kuantitatif
dengan mata telanjang. Interpretasi hasil sama dengan MAT. Uji MSAT
kurang spesifik dibanding MAT.
c. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji ELISA sering dipakai dan dapat dilakukan dengan reagen komersial
maupun antigen yang dibuat sendiri.
d. Uji serologi penyaring
Uji serologi penyaring yang praktis, cepat dan sering dipakai sebagai tes
leptospirosis di Indonesia, antara lain :
a) Lepto Dipstick Assay
Lepto Dipstick Assay dapat mendeteksi bakteri leptospira-spesifik IgM
dalam serum.
b) LeptoTek Dri Dot
LeptoTek Dri Dot berdasarkan aglutinasi partikel lateks, harganya lebih
murah, praktis dan cepat karena hasil dapat dilihat dalam detik.
c) Leptotek Lateral Flow
Prinsip pemeriksaan sama dengan ELISA, yaitu deteksi leptospira
specific imunoglobulin M dengan sistem lateral flow. Evaluasi Leptotek
Lateral Flow menunjukkan nilai diagnostik yang baik dengan
sensitivitas 85,8% dan spesifitas 93,6%23,25.

243

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

11.2.5.Pengobatan
Pengobatan leptospirosis pada dasarnya dibagi menjadi leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik (leptospirosis berat)23, seperti tertera pada
tabel dibawah ini;
Tabel 11.2.5.1. Pengobatan leptospirosis an-ikterik dan ikterik23
An-Ikterik
Pilihan

Ikterik

1. Ampisilin 75-100 mg/kg/hari, 1. Penisilin

pertama

Pilihan ke dua

Alergi pinisilin

G,100,000
U/kg/hari,
intravena, diberikan setiap 6 jam
oral, tiap 6 jam, selama 7
selama 7 hari
hari.
2. Amoksisilin 50 mg/kg/hari, 2. Ampisilin 200 mg/kg/hari, intravena,
tiap 6 jam
,oral, tiap 6-8 jam, selama 7
3. Amoksisilin 200 mg/kg/hari, intravena,
hari.
tiap 6 jam
Doksisiklin 40 mg/kg/hari, oral, Eritromisin 50 mg/kg/hari, intravena (data
dua kali sehari selama 7 hari penelitian in-vitro)
(tidak direkomendasikan untuk
umur di bawah 8 tahun).
Doksisiklin 40 mg/kg/hari, oral, Eritromisin 50 mg/kg/hari, intravena (data
dua kali sehari selama 7 hari penelitian in-vitro)
(tidak direkomendasikan untuk
umur dibawah 8 tahun

Pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan


pemberian

antibiotik

seperti

penisilin,

streptomisin,

tetrasiklin

atau

erithromisin. Penisilin atau tetrasiklin dosis tinggi dapat memberikan hasil yang
sangat baik. Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dapat juga melindungi
terpapar leptospirosis.

244

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

11.2.6. Prognosis
Umumnya pasien leptospirosis non ikterus akan sembuh dalam 2-6
minggu. Pada leptospirosis berat didapatkan kegagalan multi organ yang dapat
menyebabkan kematian yang ditandai dengan dyspneu, oliguri, lekositosis,
kelainan EKG, foto thoraks adanya infiltrate. Persentase kematian akibat
leptospirosis 1 20%. Jika pengobatan dengan pinisilin diberikan lebih awal
maka angka kematian pada pasien ikterus mungkin sangat rendah dan gagal
ginjal maupun gangguan fungsi hati dapat diobati dengan sempurna. Sepuluh
persen atau lebih dari pasien mengeluh kambuh, sakit kepala terus-menerus
dan uveitis selama beberapa tahun.

11.2.7. Pencegahan
Pencegahan leptospirosis ditargetkan pada: (a) sumber infeksi; (b)
pemutusan alur transmisi antara sumber infeksi dan manusia; atau (c) infeksi
atau penyakit pada manusia24,25.
a. Pengendalian sumber infeksi
1. Pemberian Vaksinasi.
Pencegahan leptospirosis dengan vaksinasi diberikan untuk para pekerja
tertentu, seperti pekerja rumah potong hewan, peternak sapi perah,
dokter hewan, pekerja sampah/selokan, tukang pipa, dan penambang.
Efek samping vaksinasi antara lain nyeri di tempat suntikan dan demam25.
2. Pengendalian inang reservoir
Pengendalian sumber infeksi adalah sebagai pencegahan primer yaitu
menurunkan populasi reservoir misalnya tikus. Tikus diduga paling
berpotensi dalam penularan leptospirosis ke manusia. Menurut WHO 26,
pengendalian tikus ada 2 cara yaitu eliminasi sumber pakan tikus dan
perlindungan terhadap intervensi tikus (rodent proof). Eliminasi sumber

245

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

pakan tikus dengan cara sanitasi lingkungan rumah dan sekitarnya,


pengelolaan sampah yang baik, pengaturan tanam padi dan lain-lain
b. Pengendalian alur/lalu-lintas penularan

antara sumber infeksi dan

manusia
1. Pengelolaan tanah terkontaminasi bakteri Leptospira patogen.
Tanah yang basah (becek) berpotensi terpapar terhadap bakteri
Leptospira dapat sebagai sumber penular leptospirosis. Pemberian
sodium hipokhlorit dengan pengenceran 1 : 4000 atau dengan deterjen
dapat mengendalikan bakteri Leptospira di tanah basah tersebut. Para
pekerja yang selalu kontak dengan tanah basah dianjurkan memakai alat
khusus misal : sepatu bot, masker dan sarung tangan untuk mencegah
penularan leptospirosis25.
2. Pengelolaan air minum penduduk sesuai standar kesehatan
Pencegahan kontaminasi air minum terhadap bakteri leptospira patogen
dengan cara filtrasi dan dekhlorinasi24. Hasil penelitian Maria27
menunjukkan bahwa densitas bakteri Leptospira dapat menurun hingga
90% pada pemberian kaporit 0,03 ppm/lt. Air minum sebaiknya didihkan
terlebih dahulu sebelum diminum.
3. Pengelolaan genangan air alami
Genangan air alami seperti, genangan air hujan, selokan, kolam, sawah,
genangan

air

setelah

banjir

dan

sebagainya

perlu

dilakukan

penyemprotan sodium hipokhlorit atau kaporit dosis 0,05 ppm/lt27,


pengeringan atau penimbunan. Penurunan pH air,pada air

sawah

menjadi asam dengan pemakaian pupuk / bahan-bahan kimia, pemberian


kaporit20.
c. Pengendalian infeksi atau penyakit pada manusia
1. Pengendalian infeksi/penyakit pada manusia dengan antibiotik.
Leptospirosis ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin,
ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat

246

diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin 26.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

2. Promosi kesehatan
Usaha promotif untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan
penyuluhan. Satu daerah dengan daerah lain mempunyai serovar dan
epidemiologi leptospirosis yang relatif berbeda, oleh karena itu setiap
program penyuluhan haruslah melibatkan profesi kesehatan/kedokteran,
dokter hewan dan kelompok lembaga sosial masyarakat28.

11.3. PROGRAM PENGENDALIAN LEPTOSPIROSIS


Program pengendalian leptospirosis yang telah dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota adalah penyelidikan epidemiologi (PE) di sekitar
tempat tinggal penderita, ceramah klinik leptospirosis bagi dokter Puskesmas
dan Rumah Sakit, pertemuan Leptospirosis bagi petugas Pemberantasan
Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) dan petugas Surveilans Puskesmas,
penyediaan dan pelatihan rapid diagnostic test (RDT) bagi Puskesmas,
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang Leptospirosis, penapisan
leptospirosis di tempat pembuangan sampah dan di daerah rawan banjir, rapat
koordinasi di lokasi kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis bagi Puskesmas.
Walaupun telah dilakukan penanggulangan leptospirosis tersebut di atas,
namun kasus leptospirosis masih sering ditemukan dan menimbulkan kematian.
Program pengendalian yang belum optimal adalah kegiatan surveilans
berbasis Puskesmas dan kegiatan yang melibatkan peran lintas sektor, seperti
Pertanian, Peternakan dan PDAM. Saat ini Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
pada

umumnya

melakukan

pemantauan

leptospirosis,

dan

belum

melaksanakan surveilans leptospirosis, karena keterbatasan alat diagnostik dan


belum

ditetapkan

komponen

pengumpulan

data

kegiatan

surveilans

leptospirosis.

247

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Dukungan pendanaan APBD kab/kota masih rendah karena leptospirosis


merupakan neglected diseases. Disamping itu, belum tersedianya Leptotek dan
buku pedoman tata laksana kasus leptospirosis terbaru di semua fasilitas
yankes, serta

laboratorium diagonsis leptospirosis rujukan nasional

dan

jejaring laboratorium diagonisis leptospirosis di Indonesia

11.4. ANALISIS GAP


Dalam program pengendalian leptospirosis ada beberapa yang perlu
dianalisis anatara lain;
Pengetahuan

dan

pemahaman

masyarakat

tentang

pemberantasan

leptospirosis belum optimal


Dalam setahun terakhir ini, KLB leptospirosis sering terjadi di beberapa
kota di Indonesia (Kota Semarang, Jawa Tengah, D.I. Yogyakata, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat, Makasar, Sulawesi Selatan dll.) dan menyebabkan
kematian penderitanya31. Kejadian luar biasaKLB leptospirosis tahun 2002 di
Jakarta ditemukan 138 korban banjir positif terserang leptospirosis,
sedangkan pasien korban banjir dan pasca banjir yang meninggal berjumlah
4 orang. Tahun 2002-2012, leptospirosis ditemukan di beberapa propinsi di
Indonesia yaitu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, D.I. Yogyakarta,
Jawa Timur, Bengkulu, dan Kepulauan Riua. Berdasarkan International
Leptospirosis Society Indonesia sebagai negara dengan insidensi leptospirosis
tinggi dan peringkat ketiga di dunia dengan angka mortalitas 16,7%. Keadaan
tersebut dikarenakan penderita leptospirosis terlambat dibawa ke pelayanan
kesehatan (Puskesmas,rumah sakit). Pada umumnya, keterlambatan
tersebut disebabkan oleh gejala yang menyertai penyakit ini sama dengan
penyakit lain yang terjadi di masyarakat. Yaitu mual, demam, serta sakit
kepala. Akibat ketidaktahuan masyarakat tentang leptospirosis membuat
masyarakat menganggap leptospirosis sebagai penyakit yang tidak

248

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

berbahaya. Mereka baru akan membawa penderita ke rumah sakit jika yang
bersangkutan telah mencapai stadium lanjut, bahkan, ada yang sudah
kehilangan kesadaran. Selain itu ketidaktuan masyarakat dapat berperan
atas kejadian luar biasa leptospirosis, dapat berperan dalam meluasnya
sebaran leptospirosis, karena terlambat dan kekurantahuan dalam
mengantisipasinya28.Leptospirosis telah menyebar luas di beberapa propinsi,
tetapi hasil spot survei tersebut belum dapat memberikan informasi
sebenarnya tentang insidensi dan prevalensi leptospirosis di Indonesia1.
Leptospirosis ditemukan di beberapa propinsi di Indonesia yaitu, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sulawesi selatan, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu, dan
Kepulauan Riau7

Leptospirosis belum pernah dilaporkan dari Indonesia

bagian Timur seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (Gambar 1). Tahun
2004- 2011, Case Fatality Rate/angka kematian relatif berfluktuatif
cenderung menurun, yaitu, masing-masing berturut-turut 15%, 12,2%, 9,5%,
8,0%, 2,0%, 5,2%, 5,2%, 11,0% dan 9,1%7
Informasi faktor risiko kejadian leptospirosis pada masyarakat masih
sangat terbatas dan jarang dipublikasikan di media masa dan elektronik. Saat
ini, masyarakat menganggap bahwa bencana alam banjir merupakan faktor
risiko kejadian leptospirosis utama, sedangkan faktor risiko lainnya belum
banyak merekaketahui31. Hasil penelitian Soeharyo (1996)24 di Semarang
menunjukkan beberapa faktor yang merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis adalah riwayat adanya luka (OR=5,71, p:0,018), perawatan luka
yang tidak baik (OR=2,68, p:0,037) dan keberadaan selokan dengan aliran air
yang tidak baik (OR=3,00; p:0,018).9 Penelitian yang dilakukan oleh
Wiharyadi (2004)23 pada penderita leptospirosis berat dan dirawat di Rumah
Sakit di Semarang menunjukkan bahwa riwayat adanya luka mempunyai
risiko 44 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis, aktivitas di tempat
berair mempunyai risiko 18 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis.Studi
yang dilakukan oleh Agus (2008)25 di Kabupaten Demak menunjukkan
beberapa faktor risiko kejadian leptospirosis yaitu pekerjaan yang

249

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

melibatkan kontak tubuh dengan air (OR=17,36; p:0,001), keberadaan


sampah di dalam rumah (OR=7,76; p:0,008), kebiasaan tidak memakai alas
kaki (OR=24,04; p:0,001), kebiasaan mandi/cuci di sungai (OR=12,24;
p:0,001), tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis (OR=4,94; p:0,022).
Studi yang dilakukan oleh Agus (2008) di Kabupaten Demak keberadaan tikus
di dalam dan sekitar rumah (OR=10,34; p:0,004). Penelitian oleh
Murtiningsih (2003)27 di Yogyakarta dan sekitarnya menyimpulkan bahwa
dijumpainya tikus di dalam rumah meningkatkan risiko 7,4 kejadian
leptospirosis.
Program

pemberantasan

leptospirosis,

terutama

penyuluhan

masyarakat tentang pencegahan penularan leptospirosis diintensifkan,


dengan materi secara menyeluruh baik cara penularan, penyebab, faktor
risiko, maupun pencegahannya. Penyuluhan dilakukan melalui media masa
dan elektronik31.

Jumlah kasus leptospirosis

600
500
400
300
200
100
0

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012
16

Jakarta

138

65

78

62

51

470

37

15

Jabar

12

Jateng

12

40

34

35

70

205

120

135

78

Sulsel

18

16

DIY

20

125

95

215

558

16

Jatim

65

28

10

17

Bengkulu

Kepri

Gambar 11.4.1. Dinamika kasus leptospirosis di Indonesia, tahun 2002-2012

250

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Sarana Diagnostik leptospirosis masih terbatas


Awal perjalanan leptospirosis menunjukkan gejala ringan dan pada
fase tersebut, diagnosis dini sangat berperan penting untuk mengetahui
seseorang terinfeksi bakteri Leptospira patogenik. Kondisi tersebut dapat
berkontribusi pada keterlambatan identifikasi leptospirosis sampai akhirnya
ditemukan leptospirosis berat.Untuk mendeteksi dini terjadinya KLB dan
perubahan mendadak insidensi penyakit perlu dilakukan surveilans
kesehatan masyarakat. Penelitian membandingkan dua metode polymerase
chain reaction (PCR) menggunakan 16S ribosomal RNA (rRNA) dan 23S rRNA
gen primer untuk mendeteksi berbagai serovars Leptospira interrogans.
Kedua metode tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi leptospira baik
pada manusia dan hewan. Penelitian ini untuk menguji 16S ribosomal RNA
(rRNA) dan 23S rRNA metode yang spesifik untuk patogen L. interrogans
Penelitian tentang model asymptomatic chronic reservoir Leptospira oleh
Athanazio dkk. (2008) menunjukkan bahwa, dasar selektifitas jenis inang
imun terhadap leptospirosis berhubungan dengan peningkatan persistensi
bakteri Leptospira dalam organ ginjal tikus tersebut, terutama tikus riul R.
norvegicus Dilaporkan pula bahwa Leptospira serovar grippotyphosa dan
icterohaemorrhagiae dapat bertahan di ginjal tikus selama >7 bulan.
Penelitian keragaman gen

immunoglobulin-like (Lig) Leptospira

patogenik oleh McBridge (2009) menunjukkan bahwa keragaman gen Lig


Leptospira patogenik memiliki konsekuensi penting bagi pemilihan
polipeptida Lig untuk digunakan dalam diagnosis dan vaksin.
Surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas belum dilaksanakan
Surveilans leptospirosis dilaksanakan di negara-negara tropis dan
subtropis, karena sering menimbulkan wabah di negara tersebut, terutama
pada musim hujan, dan sering mewabah diantara para pekerja,
wisatawan/rekreasi, tentara, dan olahragawan. kesehatan masyarakat
manusia atau hewan. Pelaporan kasus leptospirosis berbasis rumah
sakit/dokter/ laboratorium umum, segera dilacak atau dikonfirmasi di rumah

251

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

sakit yang berkompeten untuk deteksi Leptospira patogenik. Semua kasus


harus dilakukan penyelidikan epidemiologi.. Surveilans berbasis rumah sakit
dapat

memberikan

informasi

tentang

kasus

leptospirosis

berat.

Serosurveillans dapat memberikan informasi infeksi leptospiral terjadi atau


tidak di daerah-daerah tertentu atau populasi.
Penelitian surveilans leptospirosis secara aktif pada manusia pernah
dilakukan oleh Sasaki dkk. (1993) menunjukkan bahwa program surveilans
leptospirosis berbasis klinik rumah sakit pulau, Kauai dan Hawaii, di negara
bagian Hawaii selama satu tahun selama tahun 1988 dan 1989.,
menunjukkan bahwa demam, sakit kepala, mialgia , atau mual / muntah
dapat digunakan sebagai diagnosis awal leptospirosis. Faktor-faktor yang
berhubungan

dengan

perkembangan

leptospirosis

adalah

sistem

penampungan air hujan (P = 0,003), adanya pemotongan kulit selama masa


inkubasi (P=0,008), kontak dengan ternak (P=0,05) atau air kencing sapi (P=
0,03), dan pengolahan daging (P= 0,005).
Kurangnya ketrampilan petugas
Petugas kesehatan di tingkat Puskesmas merupakan ujung tombak
dalam diagnosis dini leptospirosis. Ketrampilan petugas dalam diagnosis awal
sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya leptospirosis berat dan
peningkatan angka kematian akibat leptospirosis. Diagnosis banding sangat
penting dan harus dimiliki oleh petugas kesehatan. Termasuk dalam
diagnosis banding leptospirosis adalah Influenza, malaria, dengue, dengue
haemorrhagic fever, hantavirus, yellow fever, viral haemorrhagic fevers,
rickettsiosis, borreliosis, brucellosis, pyelonephritis, aseptic meningitis,
chemical poisoning, food poisoning, typhoid fever and other enteric
feversviral hepatitis. Untuk meningkatkan kapasitas ketrampilan petugas
puskesmas dalam diagnosis leptospirosis diperlukan pelatihan atau diklat
teknis. Dengan meningkatnya ketrampilan petugas dalam diagnosis dini
diharapkan dapat menurunkan angka kematian akibat leptopsirosis.

252

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Belum adanya pedoman yang baku terbaru


Buku Pedoman Diagnosa Dan Penatalaksanaan Kasus Penanggulangan
Leptospirosis di Indonesia terakhir diterbitkan pada tahun 2008 oleh Sub
Direktorat

Zoonosis Direktorat

Jendral

Pengendalian

Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan Kementrian Keseahatan. Buku pedoman ini


digunakan sebagai acuan dalam mengelola kasus Leptospirosis di lapangan
dan mengantisipasi terjadinya Kejadian Luar Biasa. Dengan adanya buku
pedoman ini diharapkan mampu mengurangi kejadian dan kematian akibat
Leptospirosis.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
program dalam menetukan kebijakan-kebijakan dan pembuatan pedoman
mengenai leptospirosis. Dengan adanya buku pedoman baru yang sudah
disempurnakan diharapkan mampu menekan insiden dan kematian akibat
leptospirosis.
Belum menjadi program prioritas sehingga berdampak pada anggaran
Dalam pelaksanaan program kesehatan, pengendalian leptospirosis
masih belum menjadi prioritas utama. Leptospirosis merupakan penyakit
bersifat zoonosis sehingga program pengendaliannya perlu dilakukan
koordinasi

lintas sektoral dan lintas program. Pencegahan penularaan

zoonosis terutama leptopsirosis dapat berhasil dan berkelanjutan dengan


cara menempatkan program penanggulangan penyakit tersebut ke dalam
bagian integral pembangunan kesehatan nasional dan didukung oleh
kerjasama lintas sektoral seperti instansi pertanian, pendidikan, lingkungan,
dan pemerintah daerah. Pembentukan jejaring laboratorium dan informasi
secara lintas sektoral juga perlu ditingkatkan secara berkesinambungan.
Dengan adanya kerjasama tersebut diharapkan dapat membentuk
kesepahaman dalam kesiapan dan respon terhadap leptospirosis.

253

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 11.4.1. Analisis Gap Leptospirosis


No
1

Temuan

Program

Saran

Pengetahuan dan
pemahaman
masyarakat tentang
leptospirosis belum
optimal
Kurangnya deteksi
dini di lapangan

Penyuluhan kepada
masyarakat

Mengintensifkan sosialisasi/
penyuluhan ttg pentingnya
perlindungan diri terhadap
penularan leptospirosis

Tatalaksana kasus
leptospirosis

Deteksi dini dan cepat leptospirosis


secara biologi molekuler (PCR dll).

Surveilans berbasis
Puskesmas belum
dilaksanakan

Surveilans leptospiosis
berbasis rumah sakit

Pelaksnaan surveilans leptospirosis


berbasis Puskesmas

Kurangnya
ketrampilan
petugas

Pelatihan Petugas P2B2

Pelatihan/Diklat Teknis Petugas


P2B2

Belum adanya
pedoman yang
baku yang terbaru

Belum menjadi
program prioritas
sehingga
berdampak pada
anggaran
Kurangnya
pengendalian tikus
bersama-sama oleh
masyarakat

Pedoman Diagnosa Dan


Penatalaksanaan Kasus
Penanggulangan
Leptospirosis di Indonesia
Koordinasi Lintas sektoral
dan lintas Program

Perbaikan Pedoman Diagnosa Dan


Penatalaksanaan Kasus
Penanggulangan Leptospirosis di
Indonesia
Jejaring pencegahan leptospirosis

Pencegahan Terjadinya
penularan leptospirosis ke
manusia

Implementasi promkes secara tatap


muka, leflet, poster dan baliho di
lokasi strategis

Penelitian penanggulangan letospirosis di beberapa daerah telah


dilakukan oleh B2P2VRP bekerjasama dengan Dinas Kabupaten/Kota
setempat (Kota Semarang, Jawa Tengah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah
dan Kabupaten Bantul dan Kulonprogo, D.I. Yogyakarta. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengendalian secara terpadu meliputi aplikasi
desinfektan (Sodium Hipoklorit 1%) pada lingkungan air, pemberdayaan
masyarakat dalam sanitasi perorangan dan lingkungan serta pengendalian
tikus secara periodik berpotensi menurunkan kasus leptospirosis. Dalam

254

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

pengendalian tikus untuk mencegah penularan leptospirosis di setiap daerah


yang karakteristiknya berbeda, aplikasi metode pengendalian tikus juga
berbeda. Di daerah persawahan pengendalian tikus menggunakan Linier trap
barrier system, di pemukiman menggunakan metode live trap dan di daerah
kebun menggunakan metode sherman trap.

11.5. POLICY OPTION


Kebijakan menghadapi permasalahan pelaksanaan program pengendalian
leptospirosis saat ini teridentifikasi 3 masalah utama (tabel 2.5.1) yaitu: .
Dinas Kesehatan provinsi/kabupaten/kota di Indonesia menentukan
kebijakan program dalam penemuan kasus leptospirosis dilakukan secara pasif
dan aktif untuk puskesmas, memberikan upaya peningkatkan sumber daya
manusia

dengan

memberikan

pelatihan

epidemiologi

leptospirosis,

memberikan fasilitas yang memadai untuk pelaksanaan penemuan dan


diagnosis kasus di lapangan, dan menjadikan program prioritas agar kegiatan
penemuan kasus bisa lebih optimal.
a. Surveilans leptospirosis berbasis rumah sakit belum tidak dapat
menunjukkan masalah kasus leptospirosis yang sebenarnya di masyarakat
dan kurang sesuai untuk diaplikasikan dalam sistem kewaspadaan dini.,
Data yang akurat secara kuantitas maupun kualitas sangat penting
untuk

penentuan

kebijakan

leptospirosis yang tepat.

upaya

penanganan

dan

pencegahan

Penemuan kasus leptospirosis di Rumah sakit

menyebabkan jumlah kasus yang sebenarnya masih belum pasti diketahui


dan hal ini dapat berkembang menjadi fenomena gunung es. Strategi
mendapatkan data kasus leptospirosis

yang lebih akurat, memerlukan

diagnosis cepat dan tepat di pelayanan kesehatan tingkat Puskesmas.


Surveilans berbasis Puskesmas sebagai strategi dalam penemuan kasus
perlu dilakukan secara aktif (active case finding) dengan pendekatan yang

255

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

lebih efektif dan sasaran diagnosis yang lebih luas dapat menjangkau dan
menangkap kasus lebih banyak. Pengembangan diagnostik cepat dan akurat
berdasarkan hasil penelitian, yang praktis, mudah dikerjakan, murah, dengan
sensivitas dan spesifisitasnya tetap terjaga, akan mendukung perluasan
cakupan penemuan kasus leptospirosis dalam kondisi keterbatasan
anggaran. Sementara tes diagnostik dengan kemampuan lebih baik dalam
mendeteksi leptospirosis anukterik akan membantu menangkap kasus pada
stadium lebih dini.

Penemuan kasus leptospirosis secara dini akan

berdampak dalam mencegah penularan dan angka kematian , bahkan


mempercepat eliminasi leptospirosis di Indonesia30.
b. Diagnosis laboratorium leptospirosis belum maksimal
Cara

cepat

mendeteksi

antibodi

leptospirosis

pada

manusia

menggunakan Leptotek Dri Dot atau Lateeral Flow. Namun deteksi antibodi
ini memiliki beberapa kelemahan, yakni tidak dapat mendeteksi di awal
infeksi karena tubuh memerlukan waktu untuk membentuk antibodi setelah
terinfeksi bakteri Leptospira. Kelemahan lainnya adalah kemungkinan
terjadinya reaksi silang (cross reaction) dengan agen penyakit lain, karena
antibodi yang terbentuk di dalam tubuh bersifat poliklonal. Alat deteksi yang
masih terbatas dan sulit didapat makin menambah sulit pelaksanaan deteksi
antibodi ini. Sedangkan standar baku metode pemeriksaan laboratorium
untuk leptospirosis saat ini adalah microscopic agglutination test (MAT),
yaitu untuk mengidentifikasi serovar Leptospira. Tetapi metode tersebut
memerlukan waktu lama dan biaya relatif mahal, serta sangat jarang
pelayanan kesehatan, baik rumah sakit maupun Puskesmas yang dapat
melakukan cara diagnosis baku ini. oleh karena itu perlu pengembangan dan
peningkatan jumlah pelayanan kesehatan yang dapat melakukan MAT
melalui pelatihan dan ketersediaan sarana diagonsis baku leptospirosis
tersebut.
Pengembangan dan penguatan berbagai teknik laboratorium lain yang

256

dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit leptospirosis secara cepat dan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

akurat diantaranya dengan mendeteksi Leptospira secara langsung


menggunakan mikroskop medan gelap atau mendeteksi bakteri Leptospira
dengan membiakkan (kultur) dan pemeriksaan serologi. Untuk mendukung
diagnosis dini leptospirosis perlu penguatan dan penelitian diagnosis
leptospirosis baik secara secara kultur, serologi maupun biologi molekuler,
seperti penelitian lebih mendalam tentang amplifikasi asam nukleat dengan
menggunakan teknik PCR dapat memperpendek window periode sehingga
dapat mendeteksi lebih dini. Loop Mediated Isothermal Amplification
(LAMP) adalah metode amplifikasi asam nukleat yang memiliki kecepatan
reaksi 30-60 menit dibandingkan RT-PCR yaitu 3-4 jam dengan kemudahan,
spesifitas dan sensifitas lebih tinggi. Kombinasi dengan dipstik merupakan
metode jenis Nucleic Acid Lateral Flow Assay (NALF) dimana untuk analisis
visual sangat mudah dan mempersingkat waktu kerja dibandingkan metode
PCR dengan elektroforesis. Penelitian tentang perancangan dipstick sebagai
prototipe kit diagnosis dini Leptospira berbasis Nucleic Acid Lateral Flow
Assay (NALF). Metode Nucleic Acid Lateral Flow Assay (NALF) memberi
banyak kelebihan yaitu akan mempercepat analisis visual hasil amplifikasi
yaitu 15 menit dibandingkan elektroforesis31.
c. Pengendalian faktor risiko kejadian leptospirosis yang belum optimal
Pencegahan penularan yang dilakukan terintegrasi, yaitu

layanan

pengobatan di Puskesmas, pengendalian reservoir Leptospirosis, pemberian


desinfektan lingkungan air dan sanitasi lingkungan merupakan langkah
strategis dalam pengendalian leptospirosis, termasuk pencegahan penularan
dengan vaksinasi hewan piaraan seperti kucing dan anjing.yang berperan
sebagai reservoir leptospirosis30. Upaya pencegahan penularan leptospirosis
yang perlu dimaksimalkan adalah promosi dan penyebarluasan informasi
pada sasaran masyarakat menggerakkan kesadaran dan dukungan
masyarakat termasuk dukungan dari pemuka agama atau tokoh masyarakat
serta perbaikan kondisi dalam rangka pemberdayaan kelompok masyarakat
dapat lebih berperan aktif dalam pembinaan perilaku hidup bersih. berupa

257

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

pelatihan ketrampilan untuk yang berhasil menjaga dirinya terhadap


penularan leptospirosis . Upaya pencegahan dengan pengembangan vaksin,
pengendalian hewan reservoir

leptospirosis

atau profilaksis masih

merupakan tantangan untuk diteliti lebih lanjut.

Tabel 11.5.1. Policy Option Leptospirosis

Masalah

Penanganan

Surveilans
leptospirosis
berbasis rumah
sakit belum
dapat
menununjukkan
masalah
leptospirosis di
masyarakat yang
sebeanrnya

Sarana dan
Prasarana
lengkap dan
terstandar untuk
surveilans
manusia, hewan
domestik/liar
(tikus) dan
lingkungan.

Pengendalian
faktor risiko yang
belum optimal

Penyuluhan
pencegahan
penularan
leptospirosis

Belum
optimalnya
diagnosis cepat
dan tepat untuk
leptospirosis di
masyarakat

258

Ketersediaan dlm
pengadaan saana
diagnosis cepat
dan akurat

Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Maintenance

Penelitian

Meningkatkan
surveilans
leptospirosis
berbasis Puskesmas
dalam strategi
penemuan kasus ,
dilakukan lebih aktif
dengan sasaran yang
diperluas.
Sistem pencatatan
dan pelaporan yang
berjalan teratur dan
konsisten.
Meningkatkan upaya
promosi,
penyebarluasan
informasi pada
sasaran populasi dan
cakupan program
yang diperluas.

Memperkuat
komitmen pemerintah
monitoring evaluasi,
kerjasama lintas sektor
dan kemitraan.

Studi surveilans pada


manusia, hewan
liar/domestik dan
lingkungan

Memperkuat
komitmen , monitoring
evaluasi, kerjasama
multi sektoral dengan
dukungan anggaran,
sarana dan sumber
daya yang mencukupi.

Penelitian
pengembangan
diagnosis cepat,
vaksin, dan
profilaksis.

Pengembangan
dan
peningkatan
jumlah
pelayanan kesehatan
(rumah sakit) yang
dapat
melakukan
diagnosis baku (MAT)
ensi

Pengembangan
dan
penguatan
berbagai
teknik diagnosis cepat
dan akurat.

Penelitian berbagai
kit untuk diganosis
cepat leptospirosis
baik berbasis serologi
maupun molekuler.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Daftar Pustaka
1. Widarso HS, M.H. Gasem, Wilfried Purba, Tato
Suharto dan Siti Ganefa. Pedoman Diagnosa dan
Penatalaksanaan
Kasus
Penanggulangan
Leptosprosis di Indonesia. Sub. Dit. Zoonosis.
Dir.Jend. P2 & PL Depp. Kes. R.I., Jakarta. 2008
2. Bharti, A.R., Nally, J.E., Ricaldi, J.N., Matthias,
M.A., Diaz, M.M., Lovett, M.A., Levett, P.N.,
Gilman, R.H., Willig, M.R., Gotuzzo, E. and Vinetz,
J.M. Leptospirosis: a zoonotic disease of global
importance. The Lancet Infectious Diseases, 3,
Iss.12, 757-771. 2003
3. Bahaman, A.R. Leptosspiral infection in domestic
animals in Malaysia : its importance, epidemiology
and control. Proceedings of the 6th International
Symposium on Veterinary Epidemiology and
Economics. 1991 www.sciquest.org.nz. 2012
4. Athanazio, D.A. Everton F. Silva, Cleiton S. Santos,
Gustavo M. Rocha, Marcos A. Vannier-Santos,
Alan J.A. McBride, Albert I. Ko, Mitermayer G.
Reis.2004. Rattus norvegicus as a model for
persistent renal colonization by pathogenic
Leptospira interrogan.Acta Tropica 105 (2008)
176180.
5. Bovet. P., Yersin, C., Merien, F., Davis, C.E., dan
Perolat, P., 1999, Factor associated with clinical
leptospirosis : a population based-control study in
Seychelles ( indian Ocean), Int. Epid. Ass
6. Kusriastuti, R. Situasi dan Kebijakan Nasional
Pengendalian
Leptospirosis.
Direktur
Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang.
Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI. Jakarta. 2012
7. Rocha, MTRB Equine Leptospirosis in Portugal;
Serological, Immunological and Microbiological
Studies. Unversidade de Ttras-Os-Montes E Alto
Douro, Vila Real. Purtugal. 2004.
8. Leptonet:
[http://www.leptonet.net].
Royal
Tropical Institute, Amsterdam, The Netherlands
9. Fraga, T. R., A. S. Barbosa and
L. Isaac.
Leptospirosis: Aspects of Innate Immunity,
Leptonet:
[http://www.leptonet.net].
Royal
Tropical Institute, Amsterdam, The Netherlands
10. World
Health
Organization.
Leptospirosis
worldwide. Wkly Epidemiol. Rec;74:23742.
Levett, P. N. Leptospirosis. Clin. Microbiol. Rev. 14,
296326. 2001. 1999
11. World Health Organization. Report of The Second
Meeting
of
The
Leptospirosis
Burden
Epidemiologic Reference Group. WHO.ISBN
9789241501521.NLM
classification:WC
420.
Geneva, Switzerland. 2011.

12. The Leptospirosis Information Center. Life cycle of


pathogenic
leptospires.
http://www.leptospirosis.org/topic.php?t=27.
2009
13. Scott-Orr, H. dan Darodjat, M. Leptospirosis :
Kerja pendahuluan di LP :PII . Bull .Lembaga
Penelitian Penyakit Hewan (16) : 35-44.1978.
14. Ellis, WA, Obrein, JJ, Nell, SO, and Bryson, DG.
1986. Bovine leptospirosis: experimental serovar
hardjo infection. Vet. Microbiol. 11 : 293-299.
15. Suprapto, Burham, Gasem MH, Setyawan H,
Soeharyo. Risk factors for human leptospirosis in
Semarang: A case-control study. Buku abstrak
kongres nasional bersama: Perkembangan
mutakhir strategi penanggulangan resistensi anti
mikroba dan immuno sains di bidang penyakit
tropik & infeksi, Hotel Kusuma Agrowisata, BatuMalang 19-21 Juli 2002. hal. 20.
16. Brooks, G.F., J.S. Butel dan S.A. Morse, 2001.
Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, Penerbit
Buku Kedokteran Jakarta
17. Sarkar U, Nascimento SF, Barbosa R, Martins R,
Nuevo H, Kalofonos I, et al. Population-based
case-control investigation of risk factors for
leptospirosis during an urban epidemic. Am J Trop
Med Hyg.;66(5):605-10. 2002
18. Wiharyadi D., Faktor-faktor Risiko Leptospirosis
Berat di Kota Semarang, Tesis, Bagian / SMF Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Undip.
Semarang, 2004.
19. Soeharyo, H,. Faktor-faktor Risiko Leptospirosis. In
: Riyanto B, Gasem MH, Sofro MA,
editor.Simposium Leptospirosis: 2002: Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro: 2002. hal
32
20. Murtiningsih B., Faktor Risiko Kejadian
Leptospirosis di Provinsi DIY dan Sekitarnya, Tesis,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2003.
21. Bovet P, Yersin C, Merien F, Wong T, Panowsky J,
Perolat P. Human leptospirosis in the Seychelles
(Indian Ocean): a population-based study. Am. J.
Trop. Med. Hyg; 1998. pp.583-590.
22. Sarkar U, Nascimento SF, Barbosa R, Martins R,
Nuevo H, Kalofonos I, et al. Population-based
case-control investigation of risk factors for
leptospirosis during an urban epidemic. Am J Trop
Med Hyg.;66(5):605-10. 2002
23. Faine, S., Adler, B., Bolin, C. & Perolat, P.
Leptospira and Leptospirosis. MedScience,
Melbourne,1999.

259

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

24. World Health Organization: Human leptospirosis:


guidance for diagnosis, surveillance and control.
World Health Organization, Geneva; 2003
25. Levett, P. N. Leptospirosis. Clin. Microbiol. Rev. 14,
296326. 2001
26. World Health Organization. 1991. Rodent Control.
WHO Pub. Series 7. Geneva Speelman P.,
Leptospirosis, Harrisons Principles of Internal
Medicine, edisi 14, Mc Graw-Hill, New York, 1998,
pp: 1036-1038.
27. Maria, l., 2008. Pengaruh kaporit terhadap
jumlah bakteri leptospira pada medium EMJH di
laboratorium. Journal Vektor. Vol 1. No.1 p. 15-21
28. World Health Organization. 2001. Water Related
Diseases:
Leptospirosis.
World
Health
Organization. Diakses pada 15 April 2010

260

29. Tangkanakul W. et .al., Risk Factor Associated with


Leptospirosis in Northeastern Thailand 1998,
Amerika Journal Tropical Medicine, pp.204-208.
2000,
30. Burriel,
A. R., Leptospirosis: an important
zoonotic diseasesis. Associate Professor of
Veterinary Microbiology, Faculty of Veterinary
Medicine, University of Thessaly, Trikalon 224,
Karditsa, Greece. 2010.
31. Rejeki, D. Sarwani Sri. 2005. Faktor Risiko
Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Leptospirosis Berat (Studi Kasus di Rumah Sakit
Dr.
Kariadi
Semarang).
Program
Studi
Epidemiologi Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. SemarangGuerreiro, H., Croda, J.,
Flannery, B., Mazel, M., Matsunaga, J., Galvo
Reis, M., Levett, P.N., Ko, A.I. and Haake, D.A.
Leptospiral Proteins Recognized during the
Humoral Immune Response to Leptospirosis in
Humans. Infection and Immunity, Vol. 69, No. 8,
2001.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB

12

JAPANESE ENCEPHALITIS
Sahat Ompusunggu

12.1. PENDAHULUAN
Japanese Encephalitis (JE) adalah radang otak yang disebabkan oleh virus
JE anggota keluarga Flaviviridae dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.
Penyakit ini telah dikenal pada kuda dan manusia di awal 1871. Pada tahun
1924 epidemi penyakit yang berat dilaporkan dari Jepang dan agen penyakit
dapat diekstraksi dari otak manusia dan diinjeksikan ke tubuh marmut, namun
agen tersebut belum dapat dikenali. Tiap 10 tahun dilaporkan terjadi epidemi di
Jepang dengan jumlah kasus ribuan orang. Pada tahun 1937 virus ini berhasil
diisolasi dari otak seekor kuda yang mati. Isolasi virus dari nyamuk dilakukan
pada awal tahun 1930-an dan peranan babi dan burung bangau sebagai
reservoir diketahui pada tahun 1959. Penyakit ini semula disebut sebagai
Japanese B Encephalitis untuk membedakannya dengan ensefalitis tipe A yang
sudah dikenal sebelumnya namun nama tersebut kemudian ditinggalkan dan
sekarang dikenal sebagai Japanese Encephalitis.1
Penyakit ini menyebar mulai dari sebelah Timur hingga sebelah Tenggara
Asia termasuk Kepulauan Pasifiik dan mengancam sekitar 3 milyard penduduk.
Diperkirakan jumlah kasusnya setiap tahun sekitar 50 ribu orang, terutama
pada anak-anak umur < 15 tahun, dengan 15 ribu kematian setiap tahun.2
Sampai saat ini isolasi virus JE dari manusia di Indonesia belum pernah
dilaporkan, tetapi kasus-kasus JE telah dilaporkan dari beberapa daerah di
Indonesia selama beberapa dekade terakhir. Dugaan adanya kasus JE pertama

261

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

pada manusia dilaporkan pada tahun 1971 di Jakarta.3 Sejak itu berbagai
laporan kasus JE dilaporkan dari berbagai provinsi. Surveilans JE di Indonesia
belum spesifik menyebutkan JE dalam daftar penyakit yang masuk dalam
pelaporan surveilans terpadu penyakit.4 Sub Direktorat Pengendalian Penyakit
Arbovirosis (Subdit P2 Arbovirosis) Direktorat

Pengendalian Penyakit

Bersumber Binatang (Dit P2B2) Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) yang berwenang menangani program
pengendalian JE belum menerbitkan buku pedoman pengendalian JE untuk
dinas-dinas kesehatan dan Puskesmas. Hingga saat ini satu-satunya buku
pedoman yang diterbitkan instansi yang berwenang tersebut adalah buku
pedoman tatalaksana kasus JE di rumah sakit.5 Dengan perkataan lain, JE di
Indonesia belum mendapat perhatian yang memadai sehingga penyakit ini bisa
digolongkan sebagai penyakit yang terlupakan (neglected disease) di Indonesia.
Sebelum permasalahan JE di Indonesia bertambah besar perlu dilakukan
upaya lain berupa suatu kajian. Kajian diperlukan karena masih banyak hal
tentang epidemiologi JE di Indonesia yang belum diketahui.

12.2. MASALAH JAPANESE ENCEPHALITIS DI INDONESIA


12.2.1. Etiologi
Virus JE terbagi dalam dalam lima genotip (G-I sampai G-V). G-IV dan G-V
merupakan turunan virus paling tua, sedangkan G-I, G-II dan G-III merupakan
genotip yang ditemukan belakangan. Virus moyangnya muncul di kawasan
Indonesia-Malaysia dan menyebar menjadi genotip G-I, G-II, G-III, G-IV dan G-V.
Genotip G-IV dan G-V merupakan genotip paling berbeda sifatnya dan hanya
ditemukan di kawasan Indonesia-Malaysia.6

262

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

12.2.2. Epidemiologi
Di Indonesia, berdasarkan laporan resmi oleh Ditjen PP & PL, sampai
tahun 2000 kasus-kasus JE telah tersebar di 13 provinsi.5 Kasus JE juga sudah
dilaporkan dari

provinsi lain sehingga secara keseluruhan kasus JE telah

ditemukan paling tidak di 16 provinsi di Indonesia. Kasus JE diduga sudah ada di


provinsi lain, tetapi belum ditemukan karena terbatasnya pelaksanaan
surveilans

atau

penemuan

kasus.

Penyebaran

kasus

JE

menurut

kabupaten/kota dan wilayah Puskesmas belum diketahui sama sekali, termasuk


di provinsi-provinsi yanhg sudah ditemukan kasusnya. Terbatasnya pelaksanaan
surveilans ini sebagian disebabkan oleh belum tersedianya pedoman surveilans
JE untuk dinas-dinas kesehatan dan Puskesmas. .
Meskipun JE dapat menyerang semua kelompok umur, namun umumnya
kelompok yang paling banyak terinfeksi JE adalah anak-anak. Penularan pada
laki-laki sedikit lebih tinggi daripada perempuan.
Berbagai jenis hewan bisa berperan sebagai reservoir JE, tetapi babi dan
burung bermigrasi (burung bangau, dan lain-lain) dianggap sebagai reservoir
utama atau sebagai amplifier. Di Indonesia telah diketahui adanya berbagai
hewan sebagai reservoir JE yang meliputi: babi, sapi, kerbau, kuda, kambing,
biri-biri, anjing, kera, kelelawar, orang hutan, ayam dan bebek. Isolasi virus JE
yang pernah berhasil diisolasi adalah dari babi.7 Kecuali kera, kelelawar dan
orang hutan, semua hewan tersebut adalah hewan piaraan, yang berarti selalu
berada dekat dengan manusia. Meskipun hanya babi yang dianggap sebagai
amplifier di berbagai negara, tetapi keberadaan hewan reservoir JE di sekitar
penduduk harus tetap diwaspadai.
JE ditularkan oleh vektor yang berupa nyamuk yang meliputi berbagai
spesies dari berbagai genus. Di Indonesia hingga saat ini telah ditetapkan
adanya 11 spesies vektor JE berdasarkan isolasi virus JE. Vektor-vektor tersebut
mempunyai sifat binomik yang beragam, baik dalam hal tempat perindukan,

263

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

tempat mencari darah, sumber darah, aktifitas menggigit maupun tempat


isitirahat. Beberapa spesies anggota genus Anopheles sudah diketahui sifat
bionomiknya,

termasuk kerentanannya terhadap racun serangga tertentu,

karena berperan ganda sebagai vektor malaria, tetapi vektor yang anggota
Culex dan Armigeres belum diketahui dengan jelas.

Pengendalian vektor

memang bukan pilihan utama dalam pengendalian JE, tetapi informasi tentang
vektor tetap diperlukan untuk pengendalian JE yang komprehensif atau
terpadu.
Sebagai penyakit tular vektor dan bersifat zoonotik, musim penularan JE
sangat dipengaruhi oleh sifat vektornya, kondisi reservoir, cuaca dan
lingkungan. Umumnya penularan JE di negara lain berlangsung pada musimmusim tertentu, tetapi di Indonesia pernah dilaporkan bahwa penularan
berlangsung sepanjang tahun.8 Ini berarti, di Indonesia JE bukan penyakit
musiman sehingga pengendaliannya juga harus dengan cara tersendiri atau
mungkin tidak bisa diintegrasikan dengan pengendalian penyakit tular vektor
lainnya.

12.2.3. Gejala Klinis


Infeksi JE pada manusia bermanifestasi dari asimptomatik dan demam
ringan (flu-like) hingga ke gejala yang mematikan dan mempengaruhi sistem
saraf pusat. Tingkat kematian karena JE dilaporkan antara 20 % - 30 % di mana
40 % - 70 % lainnya akan berakibat sequelae berat termasuk paralisis dan
keterbelakangan mental. Case Fatality Rate yang pernah tercatat di Indonesia,
antara lain adalah di Bali sebesar 10 %9 dan di 6 provinsi lain di luar Bali sebesar
16 %.10 Kematian karena JE berkaitan dengan penatalaksanaan kasus, sistim
rujukan dan penemuan kasus sedini mungkin. Hal-hal tersebut memang belum
seluruhnya diatur dalam sebuah pedoman, yang ada baru pedoman
penatalakasanaan dan penemuan kasus di rumah sakit.

264

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

12.2.4. Patogenesis, Patologi dan Imunologi


Virus JE bersifat netrotropik dan fatal, tetapi sebagian besar yang
terinfeksi JE adalah asimtomatis, yang berarti kerusakan organ tubuh oleh virus
JE sangat beragam mulai dari yang sangat ringan hingga yang sangat berat.
Diduga hal itu dipengaruhi oleh keganasan virus, cara masuknya virus ke dalam
tubuh dan faktor imunitas penderita.

12.2.5. Diagnosis
WHO telah membuat pedoman cara diagnosis JE yang merupakan bagian
dari sistim surveilans JE dan hal itu telah diadopsi oleh banyak negara. Di
Indonesia hal itu belum sepenuhnya diadopsi karena berbagai hambatan dan
keterbatasan fasilitas. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pedoman
surveilans JE yang ada masih terbatas hanya di rumah sakit sehingga dinasdinas kesehatan dan Puskesmas masih menggunakan diagnosis umum
ensefalitis dalam sistim surveilans terpadu penyakit.

12.3. PROGRAM PENGENDALIAN JAPANESE ENCEPHALITIS


Pengendalian JE di Indonesia sekarang ini berada dibawah wewenang Sub
Direktorat Pengendalian Penyakit Arbovirosis (Subdit P2 Arbovirosis) Direktorat
Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (Dit P2B2) Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL)
Kementerian Kesehatan RI. Di Indonesia pengendalian JE telah dimulai sejak
sekitar tahun 1970-an yang pada waktu itu penyakit ini berada di bawah
wewenang Subdit P2 Zoonosis. Pada awalnya kegiatan yang dilakukan adalah
pemetaan permasalahan JE di Indonesia, terutama tentang penentuan
penyebaran penyakit dan angka infeksinya. Namun karena berbagai kendala
yang dihadapi, hal itu belum terlaksana seperti yang diinginkan sehingga peta JE

265

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

di Indonesia belum diketahui dengan jelas di seluruh wilayah hingga awal tahun
1990-an. Baru pada tahun 1993 ada dokumentasi kasus JE sebagaimana
tercatat dalam buku Pedoman Tatatalaksana Kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Japanese Encephalitis di Rumah Sakit.5 Sekitar pertengahan
tahun 2000-an, pengendalian JE sempat berada di bawah wewenang Subdit
Imunisasi, Dit Surveilans, Imunisasi, Karantina dan Kesehatan Matra dan diduga
hal itu berkaitan dengan adanya rencana dilakukannya imunisasi JE di Bali yang
kemudian ditangguhkan. Setelah itu, dalam beberapa tahun terakhir wewenang
itu dialihkan ke Subdit P2 Arbovirosis.
WHO telah merekomendasikan, bilamana vaksinasi belum siap dilakukan
secara berkesinambungan, tujuan utama surveilans adalah mengidentifikasi
populasi berisiko tinggi atau wilayah geografis yang membutuhkan peningkatan
cakupan vaksinasi dan wilayah penularan baru serta mendokumentasikan
dampak pengendalian. Surveilans JE sangat perlu dilakukan untuk mengenal
epidemiologi dan beban penyakit dan mengidentifikasi wilayah berisiko tinggi.
Dalam kegiatan surveilans JE, standar pemeriksaan laboratoris terhadap JE
adalah: 1) Menentukan adanya antibodi spesifik terhadap virus JE pada sampel
tunggal CSF atau serum dengan pemeriksaan IgM-capture ELISA yang spesifik
terhadap virus JE; 2) Deteksi antigen virus JE pada jaringan secara
imunohistokemis; atau 3) Deteksi genom virus JE dalam serum, plasma, CSF,
atau jaringan dengan cara RT-PCR atau tes amplifikasi asam nukleat; 4) Isolasi
virus dalam serum, plasma, CSF, atau jaringan; 5) Deteksi antibodi spesifik virus
JE dengan HI atau plaque reduction neutralization assay (PRNT). Dalam keadaan
kejadian luar biasa (KLB), cukup 5-10 kasus pertama saja yang perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium dan selama periode penularan,
sedangkan konfirmasi laboratoris terhadap setiap kasus tidak perlu.11
Rekomendasi WHO ini belum terlaksana sepenuhnya karena berbagai
hambatan dan keterbatasan fasilitas sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya.

266

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Diagnosis banding yang penting terhadap kemungkinan infeksi JE


meliputi: meningitis tuberkulosis, meningitis piogenik/bakterial, malaria
serebral

dan

infeksi

encephalomyelitis,

virus

dengue

lain

penyebab

ensefalopati

dan

ensefalitis,
infeksi

demyelinating

parasit,

misalnya

toksoplasmosis.5 Pada meningitis tuberkulosis, uji Mantoux positif, biakan


bakteri positif dan pada foto toraks tampak gambaran milier. Pada meningitis
bakterial, CSF purulen, jumlah sel meningkat dan biakan bakteri positif. Herpes
zoster akan menunjukkan syaraf kranial satu sisi. Dugaan malaria serebral akan
menunjukkan parasit malaria positif. Leptospirosis biasanya menunjukkan
ikterus dan hepatosplenomegali. Dengue ensefalopati menunjukkan adanya
manifestasi perdarahan dan hemokonsentrasi.5
Pengobatan bagi penderita JE adalah dengan pemberian obat-obatan
suportif. Penderita sering membutuhkan makanan (kalori), pengawasan jalan
nafas dan pengendalian seizure. Bila diperlukan, manitol dapat digunakan untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Pemberian steroid (misalnya deksametason)
tidak menunjukkan perbaikan. Ada sedikit bukti yang menyebutkan bahwa
pemberian interferon alfa memberi perbaikan, namun hasil penelitian terakhir
menyebutkan bahwa pemberian interferon alfa-2a pada anak-anak secara
keseluruhan tidak menghasilkan perbaikan. Penderita dengan kenaikan tekanan
kranial membutuhkan monitoring yang invasif. Penderita juga memerlukan
tidak-lanjut penanganan komplikasi, termasuk komplikasi oleh infeksi bakteri
(misalnya terhadap pneumonia, infeksi saluran uriner, bisul dekubitus dan
sebagainya).5
Bila terdapat tanda-tanda shok, pasien harus segera diberi cairan
intravena Ringers lactate atau NaCl 0,9 %. Kejang pada anak-anak diatasi
dengan pemberian diazepam rektal, sedangkan kepada orang dewasa diberi
obat golongan benzodiazepin atau golongan barbiturat. Demam harus segera
dihentikan karena dapat menyulitkan pengobatan kejang, yaitu dengan
pemberian antipiretik seperti parasetamol atau asetaminofen atau ibuprofen.

267

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Untuk mempertahankan metabolisme fungsi otak, diberi glukosa 10 %.


Antibiotik harus diberikan bila terdapat infeksi sekunder.5
Upaya-upaya yang sudah dilakukan dalam program pengendalian JE di
Indonesia adalah sebagai berikut: (1) pengumpulan data dasar; (2) penyuluhan
ke masyarakat; (3) pelatihan dokter pada rumah sakit tingkat provinsi/
kabupaten dan Balai Laboratorium Kesehatan; (4) pembentukan Kelompok
Kerja Japanese Encephalitis; (5) surveilans Berbasis Rumah Sakit; (6) Passive
Surveillance di rumah sakit; dan (7) perluasan Passive Surveillance di rumah
sakit.

12.4. ANALISIS GAP


12.4.1. Pencapaian Program Pengendalian
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pengendalian JE di Indonesia
belum dirumuskan secara rinci dan sistematis dan bahkan pedoman
pengendalianpun belum disusun hingga saat ini sehingga pencapaian program
agak sulit ditentukan. Meskipun demikian, dari beberapa kegiatan yang pernah
dilakukan dapat dikemukakan hasil-hasil seperti berikut ini.
a. Pengumpulan data dasar: hasil-hasil yang dicapai dalam pengumpulan data
dasar

sebagai

hasil

surveilans

berbasis

rumah

sakit

adalah

terdokumentasinya beberapa insidensi JE di rumah sakit seperti yang


dikemukakan pada Tabel 12.4.1.1. Dalam kurun waktu tahun 1993 sampai
dengan 2004 ditunjukkan bahwa kasus JE pada manusia telah tersebar paling
tidak di 13 provinsi dengan persentase positif JE berkisar antara 2,3 % (1/42)
di Kalimantan Barat hingga 92,81 % (142/153) di Bali. Seluruh kasus tersebut
bersumber dari rumah sakit dan metoda pemeriksaan untuk mendiagnosis
kasus-kasus tersebut adalah pemeriksaan Haemagglutination Inhibition (HI)
dan Enzyme linked imunosorbent assay (ELISA).

268

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 12.4.1.1. Kasus Japanese Encephalitis di beberapa provinsi di Indonesia,


tahun 1993-20045

1993/1994

Bali
Riau

RS
RS

HI
HI

122
250

Jumlah dan
persentase
positif
71 (58,2)
141 (56,4)

1994/1995

Jawa Barat
Jawa Tengah
Lampung
Bali
NTB

RS
RS
RS
RS
RS

HI
HI
HI
HI
HI

121
176
171
153
176

78 (64,5)
154 (87,5)
152 (88,9)
142 (92,8)
125 (71)

1995/1996

Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
NTT
Papua

RS
RS
RS
RS
RS
RS

ELISA
ELISA
ELISA
ELISA
ELISA
ELISA

68
62
66
65
60
87

40 (58,8)
45 (72,6)
20 (30,3)
34 (52,3)
9 (15)
47 (54)

1996/1997

Lampung
Riau
Sumatera Utara
Bali
Jawa Timur

RS
RS
RS
RS
RS

HI
HI
HI
HI
HI

47
19
25
15
20

22 (46,8)
11 (57,9)
16 (64)
9 (60)
12 (60)

1999 (Juli)

Bali
Kalimantan Barat

RS
RS

ELISA
ELISA

25
42

3 (12)
1 (2,4)

2000 (Des)

NTT
NTB

RS
RS

ELISA
ELISA

68
60

5 (7,4)
5 (8,3)

2001

Bali

RS

ELISA

18

12 (66,7)

2002

Bali

RS

ELISA

35

12 (34,3)

2003

Bali

RS

ELISA

114

48 (42,1)

2004

Bali

RS

ELISA

95

40 (42,1)

Tahun

Lokasi

Sasaran
pemeriksaan

Teknik
pemeriksaan

Jumlah yang
diperiksa

Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatanh Lingkungan, Depertemen Kesehatah RI, 2007
(kepustakaan no 5); RS = rumah sakit; HI = Haemagglutination Inhibition; ELISA = Enzyme linked imunosorbent

assay.

269

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pengumpulan data dasar lainnya adalah inventarisasi jenis-jenis hewan


yang positif antibodi JE selama tahun 1993 hingga Desember 2000, namun
tidak dijelaskan apakah data tersebut hasil-hasil penelitian atau hasil
pengumpulan spesimen hasil surveilans pada hewan. Secara keseluruhan
hewan-hewan yang positif antibodi JE meliputi: babi, sapi, kuda, kambing
dan unggas dengan persentase positif JE berkisar antara 0 persen (0/20) di
Jawa Timur sampai 88,9 persen di Sulawesi Selatan (Tabel 12.4.1.2.).
b. Penyuluhan ke masyarakat: penyuluhan ini belum khusus ditujukan terhadap
JE, melainkan diintegrasikan dengan penyuluhan lain kesehatan yang
dilakukan oleh bagian penyuluhan sehingga hasil-hasil penyuluhan yang
konkrit belum diketahui.
Tabel 12.4.1.2. Spesimen positif Japanese Encephalitis pada hewan*
Teknik
Jumlah yang
pemeriksaan
diperiksa
HI
548
HI
523
HI
391
HI
235
HI
165
HI
280
HI
153

Positif antibodi
Jumlah
%
155
28,3
211
40,3
150
38,4
158
67,2
69
41,8
117
41,8
61
39,9

Tahun

Provinsi

1993-1994

Bali
Riau
Jawa Barat
Jawa Tengah
Lampung
Bali
Nusa Tenggara Barat

1995-1996

Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan

ELISA
ELISA
ELISA

121
176
171

78
154
152

64,5
87,5
88,9

1996-1997

Lampung
Riau
Bali
Jawa Timur

ELISA
ELISA
ELISA
ELISA

53
19
15
20

6
8
7
0

11,3
42,1
46,7
0

Nusa Tenggara Timur

ELISA

125

50

40

2000 (Desember)

Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatanh Lingkungan, Depertemen Kesehatah RI, 2007
(kepustakaan no 5);*meliputi: babi, sapi, kuda, kambing, unggas; HI = Haemagglutination Inhibition; ELISA =

Enzyme linked imunosorbent assay.

270

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

c. Pelatihan dokter pada rumah sakit tingkat provinsi/kabupaten dan Balai


Laboratorium Kesehatan: pelatihan ini telah terlaksana di Provinsi Bali,
Sumatera Utara dan Riau.
d. Pembentukan Kelompok Kerja Japanese Encephalitis: kelompok kerja ini
telah terbentuk sekitar tahun 2009 yang lalu yang terdiri dari sektor:
Kementerian

Kesehatan, Kementerian

Pertanian, Kementerian

yang

membidangi Pariwisata, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ahli nerolog


dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Kelompok kerja ini sempat tidak aktif,
namun sekarang ini diaktifkan kembali dan dilibatkan dalam proses
penyusunan buku pedoman pengendalian JE yang sedang dilakukan sekarang
ini.
e. Surveilans Berbasis Rumah Sakit: surveilans ini telah terlaksana di Provinsi
Bali dan berlangsung hingga sekarang.
f. Passive Surveillance di rumah sakit:

pada awalnya surveilans ini telah

terlaksana di beberapa rumah sakit, tetapi dalam beberapa tahun terakhir


telah berhenti. Dalam surveilans ini, dilakukan pengumpulan dan pengiriman
spesimen dari pasien-pasien yang diduga sebagai ensefalitis viral dari rumahrumah sakit, dimana spesimennya adalah serum lalu dikirimkan ke
laboratorium rujukan (Laboratorium Imunoserologi, Pusat Biomedis dan
Teknologi

Dasar

Kesehatan,

Badan

Penelitian

dan

Pengembangan

Kesehatan). (7) Perluasan Passive Surveillance di rumah sakit: surveilans ini


telah sempat terlaksana di Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta yang
didanai oleh KOICA, namun dalam beberapa tahun terakhir telah berhenti.

271

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

12.4.2. Hasil-Hasil Penelitian


12.4.2.1.Bidang Kesehatan Masyarakat
Epidemiologi
a. Sebaran Kasus JE
Indonesia berada di dalam kawasan yang endemis JE. Sekarang ini JE
telah menyebar Thailand,12 Malaysia,13,14 Kamboja,15 Hongkong,16 Korea
Selatan,17 China,18 India19 dan Sri Lanka.20 JE juga menyebar ke kawasan
lebih Selatan seperti Australia.21,22 Kasus-kasus import dari wilayah Asia
juga telah dilaporkan terjadi antara lain di Amerika Serikat,23, 24 Finlandia25
dan Jerman. 26,27 Menurut World Health Organization (WHO), saat ini JE
telah menyebar di 24 negara.18
Di Indonesia, selain kasus-kasus JE hasil pengumpulan data dasar
oleh Ditjen PP & PL, di beberapa daerah lain juga ditemukan kasus JE juga
dihasilkan oleh beberapa penelitian, baik di rumaha sakit maupun pada
penduduk. Pada Tabel 2 diperlihatkan secara kronologis penemuan kasuskasus JE hasil penelitian di Indonesia dengan persentase yang beragam. Di
daerah transmigrasi Way Abung III, Lampung, ditemukan peningkatan
jumlah transmigran yang mengandung antibodi JE dari 45,5 % 160/352)
pada tahun 1976 menjadi 84,9 % (124/146) pada tahun 1978. 28 Hasil
survei pada penduduk yang dilakukan di Kepulauan Indo-Australia
menyebutkan bahwa prevalensi penduduk yang memiliki antibodi
terhadap JE lebih

tinggi di sebelah Barat Garis Wallace daripada di

sebelah Timur-nya, yang berkisar antara 0,02 % (1/50) di Balikpapan


hingga 52 % (48/94) di Bali.29 Selanjutnya pada tahun 1981 kasus JE yang
ditemukan di rumah sakit di Jakarta dilaporkan sebesar 25,4 % (30/118)30
dan di Bali pada tahun 1982-1983 di dua rumah sakit masing-masing
sebesar 30 % (109/363) dan 2,2 % (5/224).31 Di Irian Jaya ada dua
penelitian yang melaporkan kasus JE, dimana 1 kasus dirawat di rumah

272

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

sakit32 dan 9,4 % (9/96) pada penduduk.33 Tahun 1999 di antara 12 kasus
ensefalitis viral yang diperiksa di Bali, 1 kasus mengandung antibodi JE. 34
Tanpa menyebutkan lokasi penelitian, laporan lain menyebutkan bahwa
24 % (73/298) penduduk di berbagai tempat di Indonesia mengandung
antibodi JE.35

Laporan terakhir yang menyimpulkan bahwa JE telah

endemis di Indonesia adalah hasil surveilans berbasis rumah sakit di enam


provinsi di Indonesia pada tahun 2005-2006 dengan persentase positif
antibodi JE antara 1,8 % di Sumatera Barat hingga 17,9 % di Kalimantan
Barat.10
b. Karakteristik Kasus dan Faktor Risiko
Di negara lain disebutkan bahwa pada daerah non endemis, JE
menginfeksi semua kelompok umur, namun di daerah endemis kelompok
umur yang tertinggi infeksinya adalah anak-anak umur < 15 tahun.36,37
Mayoritas infeksi JE pada kelompok anak-anak juga dilaporkan dari
Thailand12 dan India.38 Di China, kasus JE pada umur < 15 tahun selalu >
90 %,40 dan puncak kasus terjadi pada umur 0-6 tahun. Kasus JE menurut
jenis kelamin kelihatannya agak beragam di berbagai negara. Di China
infeksi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan dengan
perbandingan

1,3:118

sedangkan

di

Anurachal

Paradesh,

India,

perbandingannya adalah 0,87:1.19 Khusus pada kasus yang simtomatik,


ada yang menyebutkan bahwa rasio antara laki-laki dan perempuan
adalah 1,5:1.36
Di Bali mayoritas penderita JE juga pada kelompok umur < 15 tahun,
atau mirip dengan yang ditemukan di negara-negara lain. Kasus di rumah
sakit dengan umur seluruh penderita JE < 11 tahun, mayoritas penderita
berumur 0-4 tahun (69,8 %), lalu umur 5-9 tahun (29 %) dan hanya 1,2 %
yang berumur 10-11 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan dalam
penelitian tersebut adalah 1,7:1.9 Pada surveilans berbasis rumah sakit di
6 provinsi di luar Bali pada tahun 2005-2006 yang seluruh umur penderita
< 15 tahun, urutan proporsi infeksi JE dari yang tertinggi ke terendah

273

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

adalah umur 1-4 tahun (53 %), 5-9 tahun (24 %), < 1 tahun (18%) dan 1015 tahun (5%) dengan rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 1,3:1.10

Tabel 12.4.2.1.1. Hasil penelitian kasus Japanese Encephalitis


di beberapa provinsi di Indonesia

Lokasi

Tahun

Teknik
pemeriksaan

Jumlah yang
diperiksa

Jumlah dan
persentase positif

28

Lampung

Transmigran

HI

352

160 (45,5)

28

Lampung

Transmigran

HI

146

124 (84,9)

29

Pontianak
Samarinda
Balikpapan
Bali
Lombok
Kupang
Ujung Pandang
Pomalaa
Ambon
Jayapura

Penduduk asli

HI
HI
HI
HI
HI
HI
HI
HI
HI
HI

121
172
50
94
115
98
174
116
125
170

31 (27)
37 (22)
1 (0,02)
48 (52)
18 (16)
2 (2)
3 (2)
3 (3)
6 (5)
4 (3)

30

Jakarta

Rumah Sakit

HI & IAHA

118

30 (25,4)

Bali

Rumah Sakit

HI
HI

363
224

109 (30)
5 (2,2)

32

Irian Jaya

Rumah Sakit

EIA

33

Irian Jaya

Masyarakat

EIA

96

9 (9,4)

34

Bali

Rumah Sakit

Mac ELISA

12

1 (8,3)

35

Indonesia

ELISA

298

73 (24)

Rumah Sakit

MAC ELISA
MAC ELISA
MAC ELISA
MAC ELISA
MAC ELISA
MAC ELISA
MAC ELISA

114
173
172
546
164
227
95

2 (1,8)
31 (17,9)
8 (4,7)
24 (4,4)
11 (6,7)
4 (1,8)
2 (3,2)

1976
1978
1979

1981

1982/1983

31

1997
1997
1999
2005

2005-2006

274

Sasaran
pemeriksaan

10

Sumatera Barat
Kalbar
Jawa Timur
NTB
NTT
Papua
a
NTB

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pekerjaan yang terkait dengan infeksi JE disebutkan bahwa


meskipun kasus JE tersebar paling banyak terjadi di wilayah
persawahan,12,,39, kelihatannya kelompok petani bukanlah kelompok
pekerjaan yang paling berisiko. Sebagaimana ditunjukkan di China, petani
merupakan kelompok yang paling kecil infeksinya (8,3%).39
Dalam hal faktor risiko pekerjaan,

hasil penelitian di Bali

menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara kasus JE dengan


kepemilikan sawah, namun tidak disebutkan apakah kepemilikan tersebut
sama pengertiannya dengan pekerjaan petani.40 Dengan metoda
pengumpulan data yang hampir sama, dalam surveilans JE di enam
provinsi di Indonesia menunjukkan hasil bahwa di antara 44 kasus JE yang
berada di sekitar persawahan, mayoritas (66 %) hanya berjarak 15 menit
perjalanan (sekitar 0,25 km) ke lokasi sawah. Hasil lain penelitian ini, yaitu
jarak kasus JE dengan ternak babi dan/atau sawah dan/atau rawa, adalah
bahwa 76 % kasus berjarak tempuh 1 jam (sekitar 4 km).10.
c. Hewan Reservoir
Dari berbagai negara dilaporkan bahwa JE dapat menginfeksi
berbagai jenis hewan, namun hewan reservoir utama atau sebagai
amplifier adalah babi. Babi telah dilaporkan sebagai reservoir utama di
Singapura,41 Kamboja,42 Serawak (Malaysia),43 India,44 Vietnam45 dan
Australia.22 Disebutkan bahwa Infection rate pada babi meningkat seiring
dengan meningkatnya umur babi.42,43 Di Vietnam, infeksi pada babi betina
(91,7 %) lebih tinggi daripada infeksi pada babi jantan (89,1 %). 45 Babi
dan burung bangau berperan selain sebagai amplifier, juga berperan
untuk mempertahankan siklus penularan di alam dan penyebaran virus JE
dari satu tempat ke tempat lainnya.1
Meskipun babi merupakan reservoir utama, hewan-hewan lain juga
terbukti bisa terinfeksi dengan virus JE namun peranan hewan bukan babi
dalam penularan sangat kecil. Jenis hewan bukan babi yang terbukti

275

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

mengandung antibodi terhadap JE cukup beragam, baik mamalia, reptil,


maupun burung. Mamalia yang sudah terbukti mengandung antibodi
terhadap JE antara lain adalah anjing di Serawak, Malaysia41 dan
Vietnam,45 dan kera di wilayah Asia.46 Kuda disebutkan sebagai reservoir
di Nepal47 dan di Singapura.41 Di Taiwan dua jenis kelelawar ditemukan
positif antibodi JE, yaitu Hipposideros armiger terasensis dan Miniopterus
schreibersii fuliginous.48

Jenis reptil yang ditemukan mengandung

antibodi JE adalah kura-kura air tawar (Tryonix sinensis), kadal


(Takydromus tachydromoides), ular Korea (Elaphe rufodorsata dan E.
schrenkii), ular berpita (Bungarus faschiatus), ular pemakan tikus (Ptyas
korros)54 dan ular kobra (Naja naja).49 Adapun jenis burung yang terbukti
mengandung antibodi terhadap JE adalah bebek.47
Di Indonesia, virus JE yang sudah berhasil diisolasi dari hewan hanya
dari babi,7 sedangkan isolasi virus JE dari jenis hewan lainnya sejauh ini
belum pernah dilaporkan. Disamping hasil-hasil pengumpulan data
hewan-hewan yang positif antibodi JE oleh Ditjen PP & PL seperti yang
dikemukakan pada Tabel 2, terdapat beberapa hasil penelitian tentang
hewan reservoir di Indonesia. Di Jawa Barat hewan-hewan seperti kera,
kerbau, biri-biri, sapi dan kuda semuanya mengandung antibodi JE. 52 Di
Jawa Timur, semua hewan-hewan yang meliputi orang hutan, sapi, babi
dan kambing juga positif antibodi JE dalam darahnya.53,54. Dalam Tabel 3
diperlihatkan besarnya persentase spesimen darah hewan yang positif JE
di beberapa lokasi yang merupakan hasil penelitian di Indonesia. Babi
yang terbukti mengandung antibodi JE antara lain adalah yang berasal
dari Jawa Barat dan Jawa Tengah yang dipotong di Rumah Potong Hewan
Jakarta dengan kisaran persentase positif antara 88-97 %.55 Demikian
juga dengan sapi-sapi asal Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta, juga
positif antibodi terhadap JE dengan persentase yang relatif rendah. 56 Di
peternakan di Jakarta, babi juga dibuktikan positif,29 demikian juga di dua
kecamatan di Bali.30 Di antara 112 ekor kuda yang diperiksa dengan HI di

276

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pulo Mas (Jakarta) dan Pamulang (Jawa Barat) tahun 1995, ternyata 52 %
(58 ekor) mengandung antibodi JE dan proporsi yang positif di Jawa Barat
(Pamulang) lebih tinggi daripada yang di Jakarta (Pulo Mas); di antara 58
ekor tersebut, 52 (90 %) mengandung antibodi netralisasi yang spesifik
terhadap JE.57 Pemeriksaan yang dilakukan Balai Penelitian Veteriner di
berbagai daerah di Indonesia terhadap berbagai jenis hewan seperti sapi,
kambing, babi, ayam, bebek, kuda dan anjing menunjukkan hasil positif
antibodi JE pada semua jenis hewan tersebut dengan prevalensi berkisar
antara 11 % pada babi hingga 51 % pada sapi.35 Di Riau, 94 % babi
mengandung antibodi JE, demikian juga Sumatera Utara dengan
persentase 70 %; prevalensi tertinggi di kedua provinsi itu adalah pada
babi berumur lebih dari empat bulan.58 Laporan survei dari Kalimantan
Barat menyebutkan bahwa 84 % dari 610 ekor babi yang berasal dari 6
kabupaten (Pontianak, Landak, Sanggau, Sambas, Bengkayang and
Singkawang) mengandung antibodi JE, demikian juga 12 % di antara 84
ekor kelelawar Cynopterus vampyrus di Kabupaten Pontianak, sedangkan
di antara 15 kelelawar Cynopterus brachyotis dari Kabupaten Singkawang
tidak ada yang mengandung antibodi JE.59 Penularan virus JE di Bali telah
dibuktikan lebih tinggi daripada di Jawa Timur yang didasarkan atas
penemuan babi yang mengandung antibodi JE di Mengwi, Bali sebanyak
49 % dan di Tulung Agung, Jawa Timur sebanyak 6 %.55 Hasil penelitian
lain di Bali menyebutkan bahwa kasus JE pada manusia berkorelasi
signifikan dengan kepemilikan babi.40 Di Kapuk, Jakarta juga telah
dibuktikan bahwa makin tinggi umur babi makin tinggi proporsi yang
terinfeksi JE dan persentase seluruhang positif sebesar 53,6 %.60 Hasil
pemeriksaan kera di Asia, termasuk di Indonesia, juga positif antibodi JE.46

277

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 12.4.2.1.2. Hasil penelitian hewan-hewan yang positif


Japanese Encephalitis di Indonesia

197355

Jabar dan Jateng

Babi

Jumlah yang
diperiksa
?

197456

Jatim, Jateng, Yogyakarta

Sapi

391

158

40,4

198730

Jakarta

Babi

250

134

53,6

198331

Bali

Babi
Babi

?
?

?
?

64
80

199557

Jakarta & Jabar

Kuda

112

58

52

199835

Indonesia

Sapi
Kambing
Babi
Ayam
Bebek
Kuda
Anjing

126
84
273
110
32
14
16

64
23
30
47
14
2
2

51
27
11
43
44
14
12

200358

Riau
Sumatera Utara

Babi
Babi

190
164

179
115

94
70

200859

Kalimantan Barat

Babi
Kelelawar

610
84

512
10

84
12

200955

Bali
Jawa Timur

Babi
Babi

123
96

60
6

49
6

Tahun

Jenis
Hewan

Lokasi

Positif antibodi
Jumlah
%
?
88-97

Percobaaan pada kera telah ditunjukkan bahwa infeksi bisa juga


terjadi secara intranasalis.1. Pada babi telah dibuktikan bahwa lamanya
viremia adalah 1-2 minggu dan waktu yang dibutuhkan agar seluruh babi
dalam kelompoknya dapat terinfeksi hanya satu minggu.61 Infection rate
pada babi ternyata tidak selalu sama tingginya dalam setahun dan selama
masa pertumbuhan terjadi peningkatan infeksi babi hingga dewasa. 43
Pada sapi, meskipun terjadi pembentukan antibodi, virus JE tidak
menyebabkan viremia.62 Penemuan itu makin memperkuat bukti bahwa

278

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

sapi tidak berperan sebagai hewan amplifier virus JE. Keadaan yang
berbeda ditunjukkan di Sri Lanka, dimana seroprevalensi pada sapi dan
kambing lebih berkorelasi dengan infeksi pada manusia, sedangkan babi
yang mengandung antibodi JE berlokasi di daerah yang tidak ada
infeksinya pada manusia.63
Di Indonesia penelitian tentang peranan hewan-hewan sebagai
sumber infeksi ke manusia dan mekanisme penularannya masih terbatas.
Hanya di Bali yang sudah pernah dibuktikan secara eksperimen di suatu
kawasan yang endemis JE bahwa babi lebih peka terinfeksi virus JE
dibandingkan dengan sapi.64 .
Yang berperan dalam penyebaran virus dari satu kawasan ke
kawasan lain adalah burung migran. Penyebaran virus JE ke Selat Torres
di Australia dilakukan oleh burung bangau yang bermigrasi dari Indonesia
ke Papua Nugini dan mencapai Selat Torres. Strain virus yang beredar di
Australia tersebut juga sama dengan yang ada di Papua Niugini.22 Keadaan
yang berbeda ditemukan di Thailand dimana pada pemeriksaan terhadap
14 spesies nyamuk yang bersumber dari sarang burung bangau ternyata
semua negatif.65
d. Musim Penularan
Penyebaran JE sekarang ini dapat dibagi menjadi 3 kawasan sebagai
berikut: 1) Kawasan endemis, 2) Kawasan subtropis perantara, dan
3) Kawasan epidemis menengah. Indonesia masuk dalam kawasan
endemis, dimana di kawasan ini nyamuk lebih atraktif terhadap burung
dan babi dan kasus pada manusia jarang.1
Tergantung luasnya suatu negara, dalam satu negara bisa terjadi
keragaman musim penularan. Di China musim penularan utama JE dimulai
pada Juni hingga September dengan puncak pada Agustus. 18 Di sebelah
Selatan kawasan subtropis, penularan dimulai di awal Maret dan
berlangsung hingga Oktober.1

279

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Di Indonesia musim penularan pada manusia masih terbatas


publikasinya. Pada penelitian berbasis rumah sakit selama tahun 20012003 di Bali ditunjukkan bahwa kasus JE terjadi sepanjang tahun dengan
puncaknya pada bulan April-Mei.40 Hasil penelitian lain yang juga berbasis
rumah sakit selama 2 tahun (2005-2006) di enam provinsi di Indonesia
menunjukkan bahwa penularan JE terjadi sepanjang tahun, namun ada
kecenderungan peningkatan kasus pada 4 bulan di akhir tahun di
Kalimantan Barat dan 4 bulan awal tahun di Nusa Tenggara Timur.10
e. Vektor
Hingga saat ini kurang lebih 5 genus nyamuk dan 1 genus bukan
nyamuk (Culicoides) yang meliputi 32 spesies telah dilaporkan sebagai
vektor JE dari berbagai negara, namun Culex tritaeniorrhynchus diyakini
sebagai

vektor

utama.

Ke-32

spesies

tersebut

adalah:

Culex

tritaeniorrhynchus,39,69,72,73,74 Cx. gelidus,72,73,74 Cx. fuscocephala,39,63,65,66


Cx. pseudovishnui,63,6566 Cx. vishnui,65,66 Cx. pipiens fatigans,39,65,66 Cx.
pipiens pallens,39,65 Cx. bitaeniorhynchus,65,66

Cx. whitmorei,63,67 Cx.

modestus39,65 Cx. annulirostris,21,65 Cx. epidesmus, Cx. infula,67 Cx. sitiens


group,21,68

Cx. theileri,39 Anopheles annularis, An. vagus,65 An.

sinensis,39,,66 An. barbirostris, An. peditaeniatus, An. subpictus,67 Aedes


vexans,39 Ae. vexans nipponii, Aedes togoi, Ae. japonicus,65 Armigeres
subalbatus,39,,66 Mansonia. annulifera, Ma. indiana,67 Ma. uniformis63,67
dan Culicoides.39
Pada Cx. tritaeniorhus dibuktikan bahwa sifat netrotrofik virus JE
tidak hanya terjadi pada manusia, namun juga pada nyamuk dan
kemungkinan dapat mengubah perilaku nyamuk menjadi lebih atraktif. 69
Perkembangan virus JE pada tubuh Cx. gelidus menunjukkan bahwa:
1) multiplikasi virus terjadi pada hari ke-5 hingga ke-21 dan mencapai titer
8 63 ribu kali dibandingkan dengan titer pada awal mengisap darah;
2) nyamuk yang sudah infektif, dalam waktu 5 hari mampu menginfeksi

280

lebih dari satu hospes bila ada gangguan waktu mengisap darah; 3) ada

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

korelasi positif antara dosis virus yang terisap nyamuk dengan tingkat
penularan, dan 4) makin tinggi konsentrasi virus yang diisap nyamuk
makin rendah masa inkubasi ekstrinsiknya.70
Spesies vektor yang sama bisa saja berbeda tipe. Di Thailand,
ternyata Cx. tritaeniorhynchus merupakan spesies kompleks dan memiliki
dua tipe, eurygamy dan stenogamy yang moderat.71 Di dataran tinggi, Cx.
tritaeniorhynchus dan Cx. gelidus lebih senang menggigit sapi daripada
babi bila hanya diberi pilihan satu jenis hospes saja, namun bila diberi
kebebasan mengisap, kedua spesies itu cenderung mengisap darah
hospes yang pertama kali dijumpainya.72 Di Vietnam dibuktikan bahwa
kehadiran babi di suatu lokasi berpengaruh terhadap peningkatan jumlah
Cx. tritaeniorhynchus, demikian juga jumlah anggota keluarga dalam suatu
keluarga juga menentukan kepadatan Cx. quinquefasciatus.73 Ketinggian
tempat juga mempengaruhi kepadatan vektor, seperti yang ditemukan di
Sri Lanka, dimana makin tinggi tempat, makin rendah kepadatan vektor
JE.62
Korelasi infeksi di antara ketiga jenis hospes JE (babi-vektormanusia) telah diamati di India., dimana serokonversi babi berkorelasi
dengan kasus manusia,

baik 4 minggu sebelum, 2 minggu sebelum,

selama dan sampai 2 minggu setelah timbulnya kasus. Virus JE telah


terdeteksi pada tubuh nyamuk dan babi di bulan yang sama dan puncak
infeksi pada nyamuk terjadi 1-2 minggu sebelum puncak serokonversi
babi. Hasil ini bisa memperkirakan kapan waktunya dilakukan tindakan
pengendalian vektor yang tepat dan kapan dilakukan vaksinasi pada babi
dan manusia di daerah endemis.74
Penularan virus JE pada vektor juga bisa terkadi secara vertikal dari
nyamuk dewasa ke telor dan berkembang hingga menjadi nyamuk
dewasa.

Transmisi

vertikal

ini

telah

dibuktikan

pada

Cx.

281

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

tritaeniorrhynchus (3 strain), Cx. pipiens, Aedes albopictus, Ae. togoi, Cx.


annulus, Cx. quinquefasciatus dan Armigeres subalbatus.1
Di

Indonesia

virus

JE

pertama

kali

diisolasi

dari

Cx.

tritaeniorrhynchus di daerah Kapuk, Jakarta.75 Selanjutnya virus tersebut


diisolasi lagi dari Cx. gelidus7 dan Cx. fuscocephalus serta Cx. vishnui di
sekitar Bogor, Jawa Barat.75 Selanjutnya virus JE diisolasi dari An. annulus
dan An. vagus di Lombok, Nusa Tenggara Barat.76 Di Semarang, Jawa
Tengah virus JE berhasil diisolasi dari 7 spesies nyamuk yang meliputi: Cx.
tritaenorhynchus,

Cx.

fuscocephalus,

Cx.

bitaeniorhynchus,

Cx.

quinquefasciatus, An. vagus, An. kocki dan Ar. subalbatus, dan di antara
ketujuh spesies tersebut, virus JE yang paling sering diisolasi adalah dari
Cx. quinquefasciatus.77 Dengan demikian sudah 11 spesies nyamuk yang
dibuktikan sebagai vektor JE di Indonesia. Di antara keseluruhan vektor
itu, spesies yang kepadatannya sudah dibuktikan berkorelasi positif
dengan aktifitas virus JE adalah Cx. tritaeniorrhynchus.78
Bionomik vektor JE di Indonesia, meskipun masih terbatas, telah
dilaporkan dari beberapa daerah. Di Kepulauan Indonesia bagian Timur,
Cx. tritaeniorhynchus bertelur di persawahan, sungai yang tidak deras,
selokan irigasi, kolam, mata air, lekukan tanah bekas jejak kaki hewan,
kubangan dan rawa-rawa, baik di tempat teduh maupun tidak. Jenis
nyamuk ini umum ditemukan dan mulai rumah pada senja namun
gigitannya tidak begitu mengganggu.79 Di Jakarta ditunjukkan bahwa
kenaikan populasi Cx. tritaeniorhynchus terjadi selama musim hujan dan
pertengahan musim kemarau.80 Kepadatannya berkorelasi positif dengan
insidensi JE pada babi di Cengkareng, sehingga dianggap sebagai vektor
paling potensial di antara beberapa jenis vektor lainnya.81 Di Jawa Timur,
makin tinggi tempat, makin jarang kepadatannya.82 Adapun larva Cx.
gelidus biasanya ditemukan di air tawar segar, sungai kecil, genangan,
terusan tertahan, cabang sungai, kubangan dan rawa-rawa, juga di tong

282

berisi air, pot bunga berbahan tanah dan tangki air.83 Di Jakarta dan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

sekitarnya, populasi Cx. gelidus selalu lebih rendah daripada Cx.


tritaeniorhynchus9 dan berkorelasi dengan curah hujan.78

Culex

fuscocephalus berkembang biak di persawahan, roda bekas, kolam


tertahan baik bersih maupun kotor dan tempat-tempat lain yang dilapisi
tanah. Tempat perindukan Cx. vishnui hampir sama dengan tempat
perindukan Cx. tritaeniorhynchus dan kedua spesies ini sering ditemukan
bersama-sama.79

Untuk kawasan lain Indonesia, terutama Kawasan

Sumatera, publikasi tentang bionomik vektor JE masih sangat terbatas


sehingga masih diperlukan penelitian tentang itu.
f. Cuaca dan Lingkungan
Cuaca secara langsung berpengaruh terhadap vektor sehingga
secara tidak langsung juga mempengaruhi kasus JE pada manusia. Di
China dibuktikan bahwa temperatur mempengaruhi tingginya kasus,
demikian juga dengan curah hujan dan kelembaban.84 Di kawasan UtaraTimur Laut Thailand, ada korelasi antara kasus bulanan JE pada manusia
dengan musim, temperatur, kelembaban udara dan curah hujan, tetapi di
kawasan Selatan-Tengah, hanya berkorelasidengan kelembaban udara
saja. Kasus JE pada manusia di kawasan Utara-Timur Laut negara itu juga
berkorelasi positif dengan ketinggian tempat tetapi berkorelasi negatif
dengan persawahan, penggunaan lahan dan temperatur, sementara di
kawasan Selatan-Tengah tidak ada korelasi yang bisa diidentifikasi.85 Di
distrik Andhra Pradesh, India disebutkan bahwa minimum infection rate
(MIR) Cx. gelidus dan Cx. tritaeniorhynchus dipengaruhi oleh beragam
parameter cuaca. Nilai MIR juga berfluktuasi antar musim, dimana MIR
tertinggi terjadi setelah musim hujan dan terendah di penghujung musim.
Dalam hal ini, terjadi interaksi kompleks antara temperatur, pola musim,
praktek pertanian, dinamika populasi nyamuk dan keberadaan hospes
amplifier yang peka.86
Dari Sri Lanka dilaporkan bahwa ada hubungan terbalik antara
ketinggian dengan kepadatan vektor potensial, dengan serokonversi

283

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

ternak dan serokonversi manusia. Kasus JE sangat sedikit atau tanpa kasus
di daerah berketinggian > 1.200 meter di atas permukaan laut. Di dua
daerah dataran rendah, infeksi JE pada babi terjadi serentak pada musim
hujan dan berkorelasi signifikan dengan seroprevalensi pada sapi,
kambing dan manusia.20 Lain lagi di Cina, virus JE bisa ditemukan di tubuh
vektor masih hingga 2.000 meter di atas permukaan laut.39
Patogenesis
Japanese Encephalitis merupakan penyakit yang unik sebab
gambaran klinisnya sangat beragam mulai dari kasus tanpa gejala hingga
kasus yang berakhir dengan kematian. Faktor yang berpengaruh terhadap
keragaman klinis tersebut belum sepenuhnya jelas.
Setelah virus masuk tubuh, virus JE memperbanyak diri pada nodus
limfatikus. Akibatnya terjadi viremia dan peradangan pada jantung, paruparu, hati dan sistim retikuoendotel. Kebanyakan infeksi sembuh sebelum
virus mencapai sistim syaraf pusat. Serangan neurologis bisa timbul,
kemungkinan disebabkan oleh terjadinya perkembangan virus melalui sel-sel
endotel pembuluh darah sehingga terjadi infeksi otak di area yang luas. 87
Infeksi yang luas memberi kesan bahwa terjadi mekanisme hematogen.
Faktor lain yang menyebabkan penerobosan barier darah-otak dapat
meningkatkan risiko neuroinvasi virus JE. Pada penderita neurosistiserkosis
yang terinfeksi JE, jumlah virus JE jauh lebih banyak dan kasus JE-nya juga
lebih berat. Secara histopatologi tidak terbukti adanya peradangan, tetapi
secara imunohistopatologi ditemukan antigen virus pada neuron yang
morfologinya normal. Kenyataan ini menjelaskan CSF yang normal pada
penderita JE yang berat. Juga ditemukan adanya hipertropi retikulum
endoplasmik dan degenerasi pada struktur

kista dan kerusakan yang

meluas.1
Pada otopsi ditunjukkan bahwa meningens bisa normal atau kabur dan
parenkim otak mengalami kongesti dengan ptekie atau hemoragi terfokus.

284

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Lesi hanya terbatas pada bagian materi kelabu (grey matter) saja. Thalamus,
ganglia basalis, otak tengah, korteks serebrum, serebelum dan sel-sel tanduk
anterior korda spinalis umum terkena. Pada beberapa spesimen, materi
kelabu korda spinalis kehilangan warna. Pada fase akut infeksi JE, perubahan
histopatologi yang terjadi meliputi: kongesti, degenerasi, hemoragi kecil,
pembentukan trombus, kerusakan neuron dan neurofagia. Perubahanperubahan tersebut menyebabkan area nekrosis yang terbatas dan
pelunakan parenkim otak. Keseluruhan perubahan itu menyolok pada bagian
diensefalon dan mesensefalon sehingga pada infeksi JE timbul istilah
diencephalo-mesencephalitis. Pada fase subakut, perubahan peradangan
kurang menonjol, tetapi degenerasi, hilangnya neuron dan proliferasi sel-sel
glia menjadi lebih jelas. Pada fase kronis terjadi degenerasi atau hilangnya
neron, penebalan fibrosa dinding pembuluh darah dan pengorganisasian
peradangan. Pada fase lanjut, timbul endapan kalsium di ganglia basalis,
thalamus dan korteks serebrum.1
Pada pemeriksaan imunositokemis tampak adanya lokalisasi antigen
virus JE pada neuron dengan keterlibatan yang besar pada talamus dan
batang otak. Meskipun di serebelum terjadi lokalisasi antigen pada neuron
granuler dan molekuler, tetapi keadaan seperti itu tidak terjadi pada sel-sel
Purkinji. Pada

pemeriksaan histopatologi, hilangnya sel-sel Purkinjii

mempertegas gambaran karakteristik infeksi JE. Absennya antigen virus JE


pada sel-sel Purkinjii dan hilangnya sel-sel Purkinjii kemungkinan disebabkan
oleh hipertermia.1 Pada tikus percobaan diperlihatkan bahwa kehadiran
antigen virus JE telah terdeteksi pada talamus, striatum, korteks dan otak
tengah masing-masing pada hari ke-3, 6, 10 dan ke-20 setelah inokulasi.89
Penelitian di India memperlihatkan bahwa koinfeksi nerosistiserkosis dapat
memperparah akhir penyakit pada kasus JE. Sebanyak 33 % spesimen otopsi
kasus JE ada kaitannya dengan nerosistiserkosis. Hal itu mempertegas bahwa
nerosistiserkosis merupakan faktor predisposisi terhadap JE atau menjadi
koeksistensi satu sama lain pada kedua penyakit.35

285

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Immunologi
Pada infeksi JE timbul imunrespon, baik humoral maupun seluler.
Hanya dalam beberapa hari setelah infeksi primer, timbul respon IgM yang
cepat dan poten di dalam serum dan CSF. Pada hari ketujuh, semua
penderita JE menunjukkan peningkatan titer IgM. Pada kasus yang virusnya
berhasil diisolasi dan kasus fatal, ada kaitan kematian dengan kegagalan
peningkatan respon IgM. Antibodi antivirus JE dapat melindungi hospes
melalui pembatasan replikasi virus selama fase viremia sebelum virus
melewati barier darah-otak. Antibodi dapat membatasi kerusakan selama
proses ensefalitis dengan cara netralisasi virus yang ekstraseluler dan
memudahkan lisisnya sel-sel terinfeksi oleh antibodi, tergantung pada sifat
sitotoksisitasnya. Pada penderita yang bertahan hidup, jenis imunoglobulin
berganti; IgM berkurang dan IgG meningkat, dan dalam 30 hari kebanyakan
penderita telah memiliki IgG antivirus JE di dalam serum. Infeksi JE
asimtomatis juga dikait-kaitkan dengan munculnya IgM di dalam serum,
tetapi tidak di dalam CSF. Pada penderita infeksi sekunder atau terinfeksi
flavivirus berbeda, timbul respon anamnestik terhadap antigen umum
kelompok flavivirus. Pola aktivasi antibodi sekunder ini ditandai dengan
timbulnya IgG dini yang diikuti dengan pembentukan IgM yang lambat.
Respon imunseluler kelihatannya berperan dalam pencegahan penyakit
selama infeksi akut melalui pembatasan replikasi virus sebelum memasuki
sistim saraf pusat.1
Gejala Klinis
Gejala klinis sangat beragam mulai dari gejala demam tidak spesifik
hingga meningitis aseptik dan ensefalitis berat. Kebanyakan

penderita

mengalami sakit jangka pendek akut yang diikuti dengan masa pemulihan.
Dalam 2-4 hari setelah mengalami gejala non spesifik, penderita mengalami
sakit kepala, demam dan kaku (rigor). Dalam beberapa hari kemudian
muncul gejala gastrointestinal seperti: mual, anoreksia, muntah dan nyeri
perut berkepanjangan. Selanjutnya timbul sindroma ensefalitis yang berupa

286

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

perilaku abnormal, perubahan sensor, seizure dan penurunan nerologis


dalam bentuk hemiplegi, kuadriplegi atau gejala serebelum. Lengan atas
lebih umum terserang dibandingkan lengan bawah. Pada penderita berat
bisa terjadi penurunan daya pikir atau dekortikasi. Gejala iritasi menings,
misalnya kaku kuduk atau gejala Kernig, bisa juga terjadi. Kelumpuhan saraf
otak jarang, namun pandangan kabur, diplopi dan kebutaan bisa muncul.
Gerakan tremor mata bisa terjadi selama periode demam akut. Pada
beberapa penderita, khususnya anak-anak lebih tua dan orang dewasa,
perilaku abnormal bisa saja salah satu gejala, tetapi bisa juga disalahtafsirkan dengan sakit psikiatrik.1
Seizure timbul pada 6,7-67,2 % penderita JE. Seizure bisa lokal atau
tergeneralisasi sekunder dan jarang dihubungkan dengan status epileptikus.
Dalam suatu penelitian pada 65 penderita berumur 2-57 tahun, 30 (46 %)
penderita disertai seizure dalam minggu pertama setelah sakit dan di
antaranya, 13 penderita mengalami seizure lokal dan 17 penderita seizure
tergeneralisasi. Dua penderita di antaranya berstatus epileptikus, 11 dengan
seizure tunggal, 8 dengan dua seizure dan 11 dengan seizure multipel.
Seizure tersebut berkaitan dengan kedalaman koma dan lesi kortikal tetapi
tidak terkait dengan akhir penyakit. Di Vietnam ditemukan bahwa 30,6 %
penderita mengalami seizure yang berkaitan dengan timbulnya tekanan CSF,
gejala herniasi dan kematian.1 Dari Thailand dilaporkan bahwa faktor risiko
yang berkaitan dengan kematian dan atau gangguan nerologis berat adalah:
tingkat tekanan kesadaran, peningkatan konsentrasi protein cairan
serebrospinal, kadar serum yang rendah, kadar antibodi IgM terhadap JEV di
serum dan CSF serta respon serologis yang cocok dengan infeksi flavivirus
primer. Kadar IgM antivirus JE serum awal yang < 150 U dan tidak mengalami
infeksi flavivirus sebelumnya, misalnya dengue, merupakan faktor risiko
terhadap kematian atau gangguan nerologis berat. Dengan perkataan lain,
imunrespon anti-flavivirus yang terbentuk sebelumnya merupakan faktor
proteksi pada infeksi JE.88

287

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gambaran klinis infeksi JE pada anak-anak agak berbeda dengan pada


orang dewasa. Seizure lebih umum terjadi pada anak-anak dan seizure yang
lemah bermanifestasi berupa kejang jari dan otot wajah, nistagmus, deviasi
penglihatan, pernafasan tidak teratur dan salivasi berlebihan.1 Di India
ditunjukkan bahwa demam merupakan gejala paling lazim terjadi baik pada
anak-anak maupun orang dewasa. Kaku kuduk, konvulsi, perilaku abnormal,
seizure dan peningkatan enzim transaminase aspartat lebih tinggi pada anakanak dibandingkan dengan orang dewasa. Kadar bilirubin serum lebih tinggi
pada 2,3 % orang dewasa, tetapi normal pada semua penderita anak-anak.
Kenaikan kandungan protein dan sel-sel darah putih CSF lebih tinggi pada
orang dewasa dibandingkan anak-anak. Adapun kematian, sama pada kedua
kelompok

umur.89

Laporan

dari

Vietnam

memperlihatkan

bahwa

kelihatannya seizure dan peningkatan tekanan intrakranial berpotensi untuk


dapat diobati, tetapi kaitannya dengan patofisiologi JE belum jelas.90
Pada hewan percobaan mencit ditunjukkan bahwa

immuno-

suppression sel-T yang dirangsang oleh virus JE dapat terpicu oleh infeksi
Toxocara canis.91

Bila hal tersebut terjadi pada manusia, di mana

penyebaran virus JE terjadi di daerah yang prevalensi kecacingan juga tinggi,


tentu dapat memperparah kejadian immuno-suppression sel-T.
Perkiraan rasio antara kasus simtomatik dengan asimtomatik JE bisa
berkisar antara 1:25 hingga 1:1000. Hal itu tergantung pada tiga faktor: virus,
penderita dan endemisitas. Faktor virus meliputi rute entri, titer virus dan
virulensi virus. Bila inokulasi virus ke tubuh manusia dalam jumlah besar
dapat memperbesar timbulnya ensefalitis. Bila virus diinokulasikan langsung
ke aliran darah penyebaran virus ke sistim syaraf pusat berlangsung lebih
cepat dibandingkan dengan inokulasi subkutan. Faktor pada manusia yang
penting adalah umur, genetis, kesehatan umum dan imunitas sebelumnya.
Dalam faktor endemisitas, misalnya di daerah rural Asia, kebanyakan
penduduk telah terinfeksi dengan virus JE mulai masa kanak-kanaknya

288

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

sehingga sudah memiliki kekebalan. Sekitar 10 % populasi peka di Asia telah


mengalami infeksi JE setiap tahun.1
Di Indonesia terdapat dua laporan yang menyangkut gejala kinis. Di
Bali ditunjukkan bahwa pada penderita JE yang semuanya berumur < 15
tahun, gejala yang dialami adalah demam dan penurunan status mental,
sedangkan persentase gejala lainnya lebih rendah, seperti konvulsi, muntah,
kaku kuduk, coryza dan sakit kepala. Akhir penyakit adalah meninggal 7,3 %,
hidup dengan disabilitas 45,5 %, hidup masih sakit 3,6 % dan sembuh total
43,6 %.9 Dalam penelitian di 6 provinsi di Indonesia, besarnya fatality rate 16
% dan tidak sembuh 31 %. Gejala ketidakmampuan yang tercatat adalah:
afasia, hemiparesis dan spastisitas. Beberapa penderita (12 %) tidak bisa
sembuh dari gejala akut sewaktu meninggalkan rumah sakit dan bagaimana
akhir penyakit tidak diketahui. Hanya 41 % yang dilaporkan tetap hidup dan
sembuh total. Case fatality rate dan persentase ketidakmampuan adalah
sama pada kelompok umur < 5 tahun dan 5-9 tahun.10
Diagnosis
Pemeriksaan laboratoris digunakan sebagai diagnosis penunjang
terhadap kasus JE. Pemeriksaan hitung darah lengkap sering menunjukkan
hasil tidak spesifik, demikian juga dengan hitung jumlah lekosit yang sedang
pada minggu pertama sakit. Anemia yang moderat bisa terjadi. Natrium
serum bisa menurun karena sekresi hormon antidiuretika. Tekanan kranial
pada fungsi lumbal biasanya normal. Protein CSF pada banyak kasus sedikit
meningkat. Hitung sel biasanya berkisar antara 6-200 sel/mm kubik (kisaran
lengkap 6-1000 mm kubik). Netrofil terlihat dalam beberapa jam awal fase
akut dan limfosit terlihat setelah beberapa jam.35
Teknologi pemeriksaan serologis yang pertama dikembangkan untuk
arbovirus adalah haemagglutination inhibition (HI)93 pada tahun 1970-an.
Teknik lain yang dikembangkan pada kurun waktu yang sama adalah Immune
Adherence Haemagglutination (IAHA) yang pada dasarnya hampir sama

289

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

dengan HI. Selanjutnya dikembangkan lagi teknik enzyme immunoassay (EIA)


seperti yang digunakan dalam pemeriksaan di Irian Jaya.33
Pemeriksaan dengan IgM dot enzyme immunoassays terhadap CSF dan
serum mencapai sensitivitas 98,3% dan spesifisitasnya 99,2%. Teknik lain,
Immunofluorescent

Assay

(IFA),

mampu

mendeteksi

antibodi

IgM

menggunakan immunoperoxidase meskipun antigen dalam CSF tidak


terdeteksi. Teknik yang relatif baru, Reverse passive haemagglutination
(RPHA), bisa berhasil bilamana sampel CSF diperoleh dalam 10 hari setelah
penderita menunjukkan gejala klinis. Genom virus JE dapat terdeteksi
menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR). Antibodi dalam serum,
selain dapat terdeteksi dengan Haemagglutination-Inhibition Test (HI), juga
dengan Complement Fixation Test (CFT), Kinetic CFT, Neutralization Test (NT)
dan Immunodiffusion.36
Sekarang ini tes diagnosis yang dianggap sebagai standar adalah
pemeriksaan CSF dan serum dengan teknik IgM antibody capture enzyme
linked imunosorbent assay (MAC-ELISA). IgM dapat dideteksi pada semua
kasus JE di bawah 7 hari sakit. Sensitifitasnya mendekati 100 % bila spesimen
serum dan CSF dapat diperiksa. Beberapa reaksi silang bisa terjadi dari
infeksi lain flavivirus (misalnya virus dengue dan West Nile) serta vaksinasi JE
dan vaksinasi yellow fever.36
Di Thailand telah dicoba membandingkan MAC-ELISA dan HI
menggunakan serapan darah pada kertas saring. Ternyata untuk kasus JE
akut selama masa epidemi, MAC-ELISA lebih sensitif daripada HI, tetapi
dalam keadaan non epidemi, HI lebih sensitif.95 Di Jepang hasil perbandingan
ELISA dengan menggunakan spesimen serapan darah pada kertas saring
menunjukkan, bila serapan kertas saring disimpan di dalam lemari beku,
tidak terjadi penurunan titer antibodi, namun bila di lemari es, titer antibodi
menurun.96 Hasil perbandingan teknik rapid microneutralization test (MRT)
dengan teknik MAC-ELISA di India menunjukkan bahwa pada tingkat titer

290

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

antibodi netralisasi yang tinggi (> 80), terdapat korelasi antara berat tidaknya
gejala klinis ensefalitis dengan titer antibodi.96
Teknik molekuler yang dikembangkan belakangan adalah reversetranscriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Pada awal infeksi JE, lebih
baik menggunakan RT-PCR terhadap spesimen yang pada pemeriksaan MACELISA menunjukkan hasil negatif, baik spesimen CSF maupun serum.97
Prognosis
Prognosis kasus JE sebagian tidak menggembirakan. Di Cina besarnya
case fatality rate tiap tahun berkisar antara 2,5 % - 6,1 %.39 Di tempattempat yang kemampuan penanganan kasus JE intensif dan bagus, besarnya
mortalitas adalah 5-10 %. Di negara-negara kurang berkembang,
mortalitasnya melebihi 35 %. Di seluruh dunia, lebih dari 10 ribu kasus
kematian tiap tahun dan 3-50 % penderita yang hidup, mengalami sekuele.
Infeksi oleh dengue sebelumnya, bisa menurunkan morbiditas dan tingkat
kematian, yang kemungkinan karena ada perlindungan silang oleh antibodi
sesama flavivirus.35
Di Bali ditunjukkan bahwa menunjukkan case fatality rate sebesar 7,3
% dan hanya 43,6 % yang sembuh total dan sisanya hidup cacat dan hidup
sakit.40 Pada penelitian lain di provinsi yang sama disebutkan bahwa case
fatality rate sebesar 11 % dan hanya 50 % yang sembuh total sedangkan
sisanya hidup cacat (36 %) dan hidup masih sakit (3 %).9 Pada surveilans di
enam provinsi di luar Bali, case fatality rate adalah 17 %, sembuh total 39 %
dan sisanya hidup cacat (32 %) dan hidup sakit (13 %).10
Pengendalian
Pengendalian vektor JE bukan pilihan utama dalam pengendalian JE.
Namun demikian, dari India dilaporkan bahwa pengasapan (fogging) dengan
malation di dua desa dalam rangka pengendalian KLB JE berhasil
menurunkan kepadatan Cx. tritaeniorhynchus di dalam rumah di kedua
desa.98

291

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Telah

dilaporkan

bahwa

beberapa

jenis

tanaman

terbukti

mengandung senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan larva


menjadi nyamuk dewasa (emergence inhibition/EI). Zat-zat tersebut adalah:
daun Aegle marmelos, Andrographis lineata, Andrographis paniculata,
Cocculus hirsutus, Eclipta prostrata dan Tagetes erecta. Tanaman-tenaman
tersebut dibuktikan mengandung ekstrak heksan, kloroform, etil asetat,
aseton, dan metanol, yang semuanya efektif membunuh larva Cx.
tritaeniorhynchus. Semua ekstrak tanaman tersebut menunjukkan efek EI
dan efek adultiside dalam waktu 24 jam setelah pemaparan pada konsentrasi
1.000 ppm. Efek EI paling tinggi ditemukan pada ekstrak daun Aegle
marmelos, A. paniculata dan Tagetes erecta yang mengandung metanol dan
ekstrak Eclipta prostrata yang mengandung kloroform. Efek adulticidal yang
tinggi terdapat pada ekstrak aseton Aegle marmelos, ekstrak heksan
Andrographis lineata, etil asetat

Andrographis paniculata, dan metanol

Cocculus hirsutus, Eclipta prostrata dan Tagetes erecta. Disebutkan juga


bahwa ekstrak metanol daun Cocculus hirsutus, Eclipta prostrata dan
Tagetes erecta berpotensi digunakan sebagai zat penghambat pertumbuhan
nyamuk untuk tujuan pengendalian Cx. tritaeniorhynchus karena zat-zat
tersebut ramah lingkungan.99
Suatu penelitian evaluasi telah dilakukan terhadap pengendalian
vektor JE yang ditujukan terhadap sawah, mulai dari cara pengeringan sawah
secara berkala hingga pengendalian larva secara hayati (bakteri, nematoda,
predator invertebrata, ikan larvivora, jamur dan produk lainnya). Hasilnya
adalah, untuk daerah pedesaan yang endemis JE dimana cakupan
vaksinasinya rendah, dapat ditunjang dengan integrasi manajemen vektor
melalui gabungan pengeringan sawah secara berkala dan penggunaan ikan
larvivora.100
Keberhasilan

pengendalian

JE

melalui

pemakaian

kelambu

berinsektisida permetrin yang digabungkan dengan pemberian vaksin telah

292

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

dilaporkan dari Cina. Kedua gabungan tindakan itu dapat menurunkan


penularan JE pada anak-anak umur < 10 tahun.101
Khusus dalam hal perlindungan amplifier babi terhadap infeksi JE telah
dilaporkan dari Jepang. Pada babi yang divaksinasi dengan vaksin JE hidup,
terbentuk kekebalan antivirus JE paling tidak selama 7 minggu.102 Karena
jumlah sampel babi dalam eksperimen ini masih sedikit, maka belum
diketahui dampak vaksinasi babi dalam suatu kawasan peternakan babi
terhadap penularan JE ke manusia. Laporan dari Hongkong menyatakan
bahwa vaksinasi JE pada babi tidak berpengaruh pada siklus penularan JE
karena babi hanya sebagai amplifier sedangkan reservoirnya adalah burung
bangau dan sejenisnya.103 Dilaporkan dari Australia bahwa pemindahan
kandang babi dari hunian manusia dapat menurunkan kontak antara hewan
reservoir dengan vektor, tetapi hal itu tidak bisa menghilangkan risiko
terhadap JE karena nyamuk tetap mengandung virus JE.104
Dari pengalaman di berbagai negara telah terbukti bahwa cara
pengendalian yang paling efektif

terhadap JE adalah dengan vaksinasi.

Menurut WHO, sekarang ini imunisasi rutin pada anak sekolah telah
dilaksanakan di Korea, Jepang, China, Thailand and Taiwan. Pemberian
vaksin melalui program Expanded Program of Immunization telah mampu
membantu pengendalian penyakit itu di negara-negara seperti Thailand,
Vietnam, Sri Lanka dan China.105
Ada bermacam-macam vaksin yang sudah dikembangkan sekarang ini,
baik vaksin dari virus mati maupun vaksin dari virus hidup yang
dilemahkan.106
1. Vaksin dari virus mati: vaksin ini berasal dari virus strain Nakayama hasil
biakan pada otak ginjal yang dibunuh dengan formalin. Vaksin ini relatif
mahal dan membutuhkan 3 dosis, yaitu pada hari ke-0, 7 dan 30, lalu
diikuti dengan booster 1 tahun kemudian dan selanjutnya booster 3

293

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

tahun kemudian. Vaksin ini telah mendapat lisensi dari Badan


Pengawasan Obat dan Makanan Amerika Serikat
2. Vaksin hidup yang dilemahkan (live attenuated vaccine): vaksin yang
dilemahkan menggunakan strain SA14-14-2 hasil biakan 11 kali pasase
pada otak mencit dan dilanjutkan dengan 100 kali pasase pada sel ginjal
hamster. Meskipun belum dianjurkan WHO, sedang distandarisasi secara
internasional.
3. Vaksin Chimeri: vaksin ini masih dalam taraf pengembangan yang
merupakan vaksin hidup yang dilemahkan yang mengandung gen virus JE
strain SA14-14-2 yang disisipkan ke tulang punggung virus Yellow Fever.
4. Vaksin rekombinan hidup: dalam pengembangan vaksin ini, telah
digunakan replikasi defektif canarypox (ALVAC) dan virus vaccinia strain
NYVAC yang sangat lemah sebagai vektor untuk mempertegas gen prM, E,
NS-1 dan NS-2 virus JE.
Hasil uji-coba vaksin JE hidup yang dilemahkan di Filippina yang jadwal
pemberiannya digabungkan dengan jadwal vaksinasi rutin campak memberi
hasil perlindungan yang sama-sama baik bila dibandingkan dengan
pemberian kedua jenis vaksin secara terpisah.107 Vaksin lain JE strain SA1414-2 yang juga sudah dikembangkan adalah vaksin IC51, yang diperoleh dari
hasil kultur pada sel Vero. Hasil uji coba vaksin itu setelah dibandingkan
dengan 3 dosis JE-VAXR ternyata vaksin IC51 menghasilkan titer antibodi
protektif yang tinggi Selain itu, IC51 memiliki tolerabilitas yang lebih baik
dibandingkan dengan JE-VAX.107
Khusus pada penderita infeksi Human Immuno-deficiency Virus (HIV)
yang sudah sembuh dengan pengobatan retroviral, ada keraguan bahwa
vaksinasi memberi reaksi yang tidak bagus. Keraguan itu telah terbantahkan
berdasarkan pembuktian di Thailand, dimana pada anak-anak yang sudah
sembuh dari infeksi HIV, dalam 3 tahun setelah revaksinasi dengan dua dosis

294

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

0,5 ml vaksin JE yang dilemahkan, 88 % masih memiliki antibodi netralisasi 1


bulan setelah vaksinasi ulang dan 81 % masih memiliki antibodi 3 tahun
setelah vaksinasi ulang.108
Ekonomi Pengendalian
Di Cina, dicoba membandingkan cost-effectiveness pemakaian vaksin
pada bayi dan anak-anak yang dibagi dalam tiga kelompok: kelompok
penerima vaksin virus mati (P3), penerima vaksin hidup yang dilemahkan (SA
14-14-2)

dan yang tidak menerima vaksin. Ternyata kedua cara vaksinasi

dapat menghemat biaya dan menguntungkan secara ekonomis.109 Dalam


penelitin lain, juga di Cina, telah dievaluasi tindakan vaksinasi JE di Provinsi
Guizhou yang pada awalnya pembayaran dilakukan oleh rumah tangga
bersama pemerintah lalu diganti menjadi pembayaran yang terintegrasi
seluruhnya ke dalam Expanded Program on Immunization (EPI) tingkat
provinsi. Hasilnya adalah bahwa integrasi penggunaan vaksin JE pada EPI
adalah investasi yang cost-effective.110
Di Indonesia, sewaktu ada rencana memulai vaksinasi di Bali, pada
tahun 2006 telah dilakukan penelitian kerjasama antara Subdit Imunisasi
(yang mewenangi JE pada waktu itu) dan produsen vaksin tentang costeffectiveness pemakaian vaksin. Dalam penelitian itu, satu kelompok anak
menerima vaksin hidup yang dilemahkan dan kelompok lain tidak
divaksinasi. Hasilnya adalah bahwa vaksinasi bernilai cost-effectiveness yang
tinggi.111 Dalam perkembangan selanjutnya, dengan beberapa pertimbangan
tertentu, rencana vaksinasi ini ditunda sehingga hasil penelitian itu belum
dimanfaatkan.

295

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

12.4.2.2.Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Etiologi.
Laporan peneliti asing mengemukakan bahwa semua lima genotip virus
JE beredar di Indonesia, tetapi belum jelas apakah semua genotip
terdistribusi merata atau genotip tertentu hanya terdapat di daerah
geografis tertentu. Pengenalan genotip tersebut sangat penting dalam
pengembangan vaksin.
Diagnosis
Di Indonesia, telah pernah dicoba membandingkan 3 jenis spesimen
dengan pemeriksaan MAC-ELISA, yaitu cairan CSF, serum dari darah vena
dan serapan darah pada kertas saring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase tertinggi hasil positif JE berturut-turut adalah CSF (39,1 %), serum
(9,97 %) dan serapan darah tepi pada kertas saring (4,88 %).8 Meskipun
serapan darah adalah yang terendah sensitifitasnya, yang berarti belum
dapat menggantikan jenis spesimen lainnya, hasil itu memberi sumbangan
awal dalam diagnosis JE.

Kesenjangan antara pelaksanaan program dengan kondisi saat ini dapat


dikelompokkan dalam beberapa kelompok menurut aspeknya, sebagaimana
dikemukakan dalam Tabel 12.4.1.

Tabel 12.4.1. Analisis Gap Japanese Encephalitis


No
1

296

Temuan

Program

Buku pedoman
pengendalian JE yang
lengkap belum
tersedia.
Definisi kasus JE
menurut WHO belum
diadopsi dalam buku
Surveilans Epidemilogi
dan Penanggulangan
KLB.

Belum menyediakan
Buku Pedoman
Pengendalian JE yang
lengkap.
Dalam sistim surveilans
RS, sudah diadopsi,
tetapi untuk Puskesmas
dan klinik belum.

Saran
Buku pedoman yang lengkap perlu
disusun segera.

Buku Surveilans Epidemiologi dan


Penanggulangan KLB yang ada
sekarang ini perlu direvisi.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

No
3

Temuan

Program

Saran

Laboratorium
kesehatan yang
mampu memeriksa
spesimen JE sangat
terbatas, terutama di
daerah.
Kerjasama dgn
laboratorium sektor
lain, terutama
laboratorium
kesehatan hewan dan
perguruan tinggi
tentang pemeriksaan
spesimen JE masih
terbatas.
Peta geografis genotip
virus JE masih
terbatas.
Peta geografis kasus JE
sangat terbatas, baik
untuk wilayah
provinsi, kabupaten
maupun
kecamatan/Puskesmas

Belum
mengembangkan
kapasitas laboratorium
daerah

Laboratorium kesehatan daerah perlu


dikembangkan, baik dalam kapasitas,
SDM, biaya dan peraturan.

Kerjasama yang sudah


dibangun baru di
tingkat pusat, di tingkat
daerah belum.

Kerjasama dengan laboratorium


kesehatan hewan dan perguruan
tinggi di daerah tentang pemeriksaan
spesimen JE perlu dijalin, lengkap
dengan perundang-undangan dan
aturannya.

Belum ada aturan


tentang genotip virus
JE.
Surveilance JE yang
sudah diatur baru
berbasis RS, tetapi
pelaksanaannya belum
di semua RS, sementara
surveilans berbasis
masyarakat belum
diatur dan belumn ada
pedomannya.
Belum ada aturan
tentang hewan
amplifier. JE

Perlu dilakukan penelitian tentang


genotip virus JE karena itu menjadi
dasar pengembangan vaksin.
Perlu diperluas pelaksanaan
surveilans JE berbasis RS ke semua
provinsi dan kabupaten dan perlu
segera disusun pedoman surveilans
berbasis masyarakat untuk dinas
kesehatan provinsi, kabupaten dan
Puskesmas dan peningkatan
kapasitas laboratorium daerah.

Hewan amplifier JE
selain babi belum
diketahui.

Peta vektor JE
menurut ekosistim
masih terbatas

Belum ada aturan


tentang vektor JE.

Mekanisme dan
dinamika penularan JE
belum diketahui.
Teknik diagnosis JE
yang sederhana dan
murah belum tersedia.

Belum ada aturan


tentang mekanisme dan
dinamika penularan JE.
Belum ada aturan
tentang kebutuhan
teknik diagnosis JE yang
sederhana dan murah.

10

1. Perlu aturan program tentang


prioritas hewan amplifier JE.
2. Perlu dukungan penelitian tentang
prioritas penentuan hewan amplifier
JE.
1. Perlu aturan tentang surveilans
vektor JE.
2. Perlu dukungan penelitian tentang
pemetaan vektor JE, termasuk
pemetaan menurut ekosistim vektor.
Perlu dukungan penelitian tentang
mekanisme dan dinamika penularan
JE.
Perlu dukungan penelitian untuk
menemukan teknik diagnosis JE yang
sederhana dan murah.

297

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

No

Temuan

11

Angka kematian dan


kecacatan JE masih
tinggi.

12

Hubungan sistiserkosis
dan parasit lain
dengan infeksi JE
belum diketahui.
Pengaruh
kelambunisasi malaria
terhadap JE belum
diketahui

13

Program
Pedoman tatalaksana
kasus JE di RS sudah
ada, demikian juga
aturan sistim rujukan;
yang belum diatur
adalah tatalaksana
kasus di Puskesmas
perawatan dan klinik
pengobatan.
Belum ada aturan
tentang hubungan
sistiserkosis dan parasit
lain dengan infeksi JE.
Belum ada aturan
unrtuk mengetahui
pengaruh
kelambunisasi malaria
terhadap JE.

Saran
1. Sistim rujukan disertai jaminan
asuransi perlu dipertajam dan
kapasitas RS perifer dan Puskesmas
perawatan perlu ditingkatkan.
2. Perlu dukungan penelitian klinik
tentang pengobatan dan inovasi
penemuan obat baru JE.

Perlu dukungan penelitian tentang


hubungan sistiserosis dan parasit lain
dengan infeksi JE di daerah endemis
kedua penyakit.
Perlu penelitian lapangan tentang
pengaruh kelambunisasi malaria
terhadap kasus JE.

12.5. POLICY OPTION


12.5.1. Kebijakan Pengendalian Japanese Encephalitis di Indonesia
Kebijakan pengendalian kasus JE di Indonesia yang sudah diatur dan
tertera dalam sebuah buku pedoman hanya tentang tatalaksana kasus di rumah
sakit, sedangkan kebijakan yang komprehensif pengendalian

belum ada.

Dengan demikian, tahap awal pengendalian JE di Indonesia adalah penyusunan


buku pedoman pengendalian dan selanjutnya sosialisasi pedoman lalu
pelaksanaan. Pelaksanaan pengendalian tentu saja harus didahului dengan
penentuan morbiditas dan penyebaran kasus serta faktor risiko agar dapat
ditentukan prioritas sasaran pengendalian. Bila untuk tahap pengendalian saja
masih membutuhkan waktu pelaksanaan yang lama, apalagi untuk tahap
eliminasi dan eradikasi tentu saja membutuhkan waktu yang jauh lebih lama.

298

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

12.5.2. Kebijakan Penelitian Japanese Encephalitis di Indonesia


Agar hasil-hasil penelitian dapat mendukung pengendalian, maka
kebijakan penelitian JE tergantung pada kebijakan pengendalian.

Karena

kebijakan pengendalian belum jelas, maka prioritas penelitian JE di Indonesia


selama ini juga belum jelas arahnya.
Sebagai opsi kebijakan, berikut ini dikemukakan masalah-masalah JE di
Indonesia, cara penanganan masalah, cara pengendalian/eliminasi/eradikasi,
pemeliharaan eradikasi dan saran-saran yang dirangkum dalam sebuah bagan
sebagaimana tertera pada Tabel 12.5.1.

Tabel 12.5.1. Policy Option Japanese Encephalitis

Masalah

Penanganan

Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Maintenance

Saran

Buku pedoman
pengendalian JE yang
lengkap belum
tersedia.

Penyusunan buku
pedoman
pengendalian

Isi buku pedoman


dievaluasi secara periodik
dan disesu-aikan dengan
perkembangan.

Buku pedoman disesuaikan


dengan
perkembangan

Buku pedoman yang lengkap


perlu disusun segera.

Definisi kasus JE
menurut WHO belum
diadopsi dalam buku
Surveilans
Epidemilogi dan
Penanggulangan KLB.

Revisi buku Surveilans


Epidemiologi dan
Penanggulangan KLB

Definisi kasus agar lebih


spesifik sesuai dengan
perkembangan teknologi
diagnosis

Definisi ka-sus
disesu-aikan
de-ngan perkembangan
teknologi
diagnosis

Program: perlu mempertajam definisi kasus


ensefalitis dan
memasukkannya di revisi
buku Surveilans Epidemiologi
dan penanggulangan KLB.

Laboratorium
kesehatan yang
mampu memeriksa
spesimen JE sangat
terbatas, terutama di
daerah.

Peningkatan kapasitas
labkes di daerah

Kapasitas laborato-rium
disesuaikan dengan
perkembangan ke-butuhan
diagnostilk

Kapasitas
laboratori-um
disesuaikan
dengan
kebutuhan
diagnostik

Program: perlu meningkatkan kapasitas


laboratorium kese-hatan
daerah, baik dalam kapasitas,
SDM biaya dan peraturan.

Kerjasama dgn
laboratorium sektor
lain masih terbatas.

Membangun jejaring
laboratorium dan alih
teknologi

Jejaring antar labo-ratorium


diperluas dan tukar
menukar keahlian

Jejaring an-tar
labora-torium
diperkokoh

Program: perlu mem-bangun


jejaring labo- ratorium baik di
pu-sat maupun daerah.

Peta geografis
genotip virus JE
masih terbatas.

Penyediaan
data/informasi genotip virus JE

Monitoring periodik
terhadap kemung-kinan
mutasi genotip virus

Monitoring
terhadap
mutasi vi-rus
diper-ketat

Perlu dilakukan pe-nelitian


tentang ge-notip virus JE
karena itu menjadi dasar
pengembangan vaksin.

299

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Masalah

Penanganan

Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Maintenance

Saran

Peta geografis kasus


JE sangat terbatas.

Penyediaan data/
informasi tentang
peta geografis kasus
JE

Klasifikasi endemi-sitas JE
diperjelas di tiap satuan
wilayah administrasi

Klasifikasi
endemi-sitas
JE diperketat

Program: perluasan
surveilans berbasis RS dan
Puskesmas dan sistim
pengirim-an spesimen..

Informasi tentang
hewan amplifier JE
selain babi belum
diketahui.

Penyediaan data/
informasi tentang
hewan amplifier. JE

Kerjasama dengan sektor


kehewanan dalam
surveilans hewan resevoir

Kerjasama
dengan sektor
kehewanan
dipelihara

1. Program: penyu-sunan
pedoman surveilans hewan
amplifier JE.

Peta vektor JE
menurut ekosistim
masih terbatas

Penyediaan data/
informasi tentang
vektor JE.

Surveilans vektor digiatkan

Surveilans
vektor
digiatkan

Program dan unit litbang


bekejasama dalam surveilans
vektor dan identifi-kasi vektor
JE.

Mekanisme dan
dinamika penularan
JE belum diketahui.

Penyediaan data/
informasi tentang
mekanisme dan
dinamika penularan
JE.

Monitoring peru-bahan
pola penularan

Monitoring
perubahan
pola penularan

Program dan unit litbang


bekejasama dalam hal
penelitian mekanisme dan
dina-mika penularan JE

Teknik diagnosis JE
yang sederhana dan
murah belum
tersedia.

Penyediaan teknologi
diagnostik yang
praktis dan murah

Mencari inovasi teknologi


diagnostik yang terus
menerus melalui penelitian
dan pengembangan

Mencari
inovasi teknologi diagnostik

Pemegang program dan unit


litbang be-kerjasama dalam
hal penelitian untuk menemukan teknik diag-nosis
yang sederhana dan murah.

Angka kematian dan


kecacatan JE masih
tinggi.

Perbaikan penemuan
kasus, diagnosis,
tatalaksana, asuransi
dan rujukan.

- Penemuan kasus yang


cepat.

-Penemuan
kasus diperketat.

1. Program: penemu-an kasus


lebih aktif, diagnosis lebih
cepat, tatalaksana kasus lebih
tepat, ada ja-minan asuransi,
ru-rujukan lancar.

- Diagnosis yang ce-pat dan


akurat
- Tatalaksana kasus tepat
dan rasional
- Jaminan asuransi
kesehatan yang adil
merata.
- Sistim rujukan yang tidak
biro-kratis.

-Diagnosis
dipercepat
- Tatalaksa-na
kasus
diperketat
- Jaminan
rujukan
diperbaiki

2. Perlu dukungan penelitian


tentang perluasan penentuan
hewan amplifier JE.

2. Perlu dukungan penelitian


klinik ten-tang pengobatan
dan inovasi penemuan obat
baru JE.

Kaitan sistiserkosis
dan parasit lain
dengan infeksi JE
belum diketahui.

Penyediaan informasi kaitan sistiserkosis dan virus JE


melalui penelitian

Monitoring
koin-feksi
kedua penyakit diperketat

Monitoring
koinfeksi
kedua penyakit diperketat

Program dan unit litbang


bekejasama dalam hal
penelitian tentang kaitan
sistiserkosis dan parasit lain
dgn infeksi JE.

Pengaruh
kelambunisasi
malaria terhadap JE
belum diketahui

Penyediaan informasi tentang hubungan


sistiserkosis dan parasit lain dengan
infeksi JE.

Monitoring ketat kedua


penyakit di wilayah
kelambunisasi

Monitoring
ketat kedua
penyakit di
wilayah
kelambunisasi

Perlu penelitian lapangan


tentang pengaruh
kelambunisasi malaria
terhadap kasus JE.

300

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Daftar Pustaka
1. Misra UK and Kalita J. Overview: Japanese
encephalitis. Prog. Neurobiol, 2010, 91:108-120.
2. Ferguson M, Kurane I, Wimalaratne O, and Wood.
Meeting report WHO informal consultation on the
scientific basis of specifications for production and
control of inactivated Japanese encephalitis vaccines
for human use, Geneva, Switzerland, 12 June 2006.
doi:10.1016. Vaccine. 2007. 25: 52335243.
3. Kho LK, Wulur H, Ramalean L dan Thaib S. Japanese
Encephalitis di Jakarta (Laporan Sementara). Maj.
Kedok. Indon, 1971, 21(9): 435-448.
4. Ditjen PPM-PL, Departemen Kesehatan. Surveilans
Epidemiologi dan Penanggulangan KLB. Jakarta:
Ditjen PPM-PL, Departemen Kesehatan, 2003: 41.
5. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan.
Pedoman Tatalaksana kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Japanese Encephalitis di Rumah Sakit..
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan,
2007.
6. Saxena SK, Tiwari S, Saxena R, Mathur A and. Nair
MPN. 15. Japanese Encephalitis: An Emerging and
Spreading Arbovirosis. In: Ruzek D (Ed). Flavivirus
Encephalitis. Sep. 2011: 295-317. ISBN: 978-953-307669-0,
InTech,
Available
from:
http://www.intechopen.com/books/
flavivirusencephalitis/japanese-encephalitis-anemerging-and-spreading-arbovirosis.
7. Van Peenen PFD, Joseph PL, Atmosoedjono S, Irsiana
R. Saroso JS. Japanese Encephalitis virus from Pigs
and Mosquitoes in Jakarta, Indonesia. Trans.
Roy.Soc. Trop. Med. Hyg., 1975a. 69(5&6): 477-479.
8. Sedyaningsih ER, Ompusunggu SM, Tresnaningsih E
dan Suwandono A. Laporan Akhir Surveilans
Japanese Encephalitis di enam provinsi di Indonesia.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Ditjen Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI dan Program for Appropriate
Technology in Health (PATH), 2007.
9. Kari K, Liu W, Gautama K, Mammen Jr MP, Clemens
JD, Nisalak A, et al. A hospital-based surveillance for
Japanese encephalitis in Bali, Indonesia. BMC
Medicine 2006, 4:8 doi:10.1186/1741-7015-4-8.
10. Ompusunggu S, Hills SL, Maha MS, Moniaga VA,
Susilarini NK, Widjaja A et al. Confirmation of
Japanese Encephalitis as an Endemic Human Disease
Through Sentinel Surveillance in Indonesia. Am. J.
Trop. Med. Hyg., 2008, 79(6): 963-970.

11. World Health Organization. Japanese encephalitis


surveillance standards. WHO/V&B/03.01, Januari
2006. Tersedia di: http://www.who.int/ vaccinesdocuments/DocsPDF06/843.pdf.
12. Olsen SJ, Supawat K, Campbell AP, Anantapreecha S,
Liamsuwan S, Tunlayadechanont S, et al. Japanese
encephalitis virus remains an important cause of
encephalitis in Thailand. Intern. J. Infect. Dis., 2010,
14: 888892.
13. Cardosa MJ, Tio PH and Kaur P. Japanese Encephalitis
virus is an important cause of encephalitis among
children in Penang. SE Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth.,
1995. 26(2): 272-276.
14. Cardosa MJ, Choo BH and Zuraini I. A Serological
study of Japanese Encephalitis virus infections in
northern Peninsular Malaysia. SE Asian J. Trop. Med.
Pub Hlth., 1991, 22(3): 341-346.
15. Duong V, Sorn S, Holl D, Rani M, Deubel V, Buchy P.
Evidence of Japanese encephalitis virus infections in
swine populations in 8 provinces of Cambodia:
Implications for national Japanese encephalitis
vaccination policy. Acta Trop., 2011, 120: 46-150.
16. Ma SE, Wang, Wong WC, Leung CR, Lai ST, Yee-chi, et
al. Review of vector-borne diseases in Hong Kong.
Travel Med. Infect. Dis., 2011, 9: 95-105.
17. Lee DW, Choe YJ, Kim JH, Song KM, Cho H, Bae GR,
Lee JK. Epidemiology of Japanese encephalitis in
South Korea, 20072010. Intern. J. Infec. Dis., 2012,
16:448452.
18. Zhang L, Luan RS, Jiang F, Rui LP, Liu M, Li Y, et. al.
Epidemiological
Characteristics
of
Japanese
Encephalitis in Guizhou Province, China, 1971-2009.
Biomed. Environ. Sci, 2012, 25(3): 297304.
19. Khan SA, Dutta P, Khan AM, Topno R, Chowdhury P,
Borah J, Mahanta J. Japanese encephalitis
epidemiology in Arunachal Pradesh, a hilly state in
northeast India. Asian Pacific J. Trop. Dis., 2011: 119122.
20. Peiris JSM, Amerasinghe FP, Arunagiri CK., Pereral
LP, Ratnayake, Kulatilaka TA and Abeysinghe MRN.
Japanese encephalitis in Sri Lanka: comparisan of
vector and virus ecology in different agro-climatic
areas. Trans. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg., 1993, 87:
541-548.
21. Hanna JN, Ritchie SA, Phillips DA, Shield J, Bailey MC,
Mackenzie JS et al. An outbreak of Japanese
encephalitis in the Torres Strait, Australia, 1995.
Med. J. Australia, 1996; 165: 256-260.
22. Hanna JN, Ritchie SA, Phillips DA, Lee JM, Hills SL,
Van den Hurk AF, et.al. Japanese Encephalitis in
North Queensland, Australia, 1998. Med. J. Australia,
7 June 1999, 170: 533-536.

301

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

23. Bakken J, Neitzel D, Taylor L, Civen R, Plawner LL,


McKiernan S, et al. Japanese Encephalitis Among
Three U.S. Travelers Returning From Asia, 20032008. Morbidity and Mortality Weekly Report. JAMA,
October 7, 2009., 13: 302 (Reprinted).
24. Zahran HS, Bailey C, Garbe P, Hatice S. Japanese
Encephalitis in Two Children-United States, 2010.
MMWR. 011;60:276-278 JAMA, June 22/29, 2011,
305(24): 2516-2518.
25. Lehtinen VA, Huhtamoc E, Siikamaki H, Vapalahti O.
Case report: Japanese encephalitis in a Finnish
traveler on a two-week holiday in Thailand. J. Clin.
Virol. 2008, (43): 93-95.
26. Tappe D, Nemecek A, Zipp F, Emmerich P, Gabriel M,
Gnther S, et al. Case report Two laboratoryconfirmed cases of Japanese encephalitis imported
to Germany by travelers returning from Southeast
Asia. J. Clin. Virol, 2012, 54: 282- 285.
27. Reppel M, Landreh L, Gottschalk S, Schunkert H,
Kurowski V, Seidel G. Japanese encephalitis in
Western Europe. Clin. Neurol. Neurosurg., 2009, 111:
373-375.
28. Gandahusada S, Dennis DT, Saroso JS, Simanjuntak
CH, Olson J, Lee V, et al. Infectious disease risks in
the transmigration area, Way Abung III, Lampung
Province. Bul. Penelit. Kes. (Health Studies in
Indonesia), 1984, XII(2): 1-10.
29. Kanamitsu M, Taniguchi K, Urasawa S, Ogata T, Wada
Y, Saroso JS. Geographycal Distribution of Arbovirus
Antibodies in Indogenous Human Population in the
Indo-Australian Archipilego. Am. J. Med. Hyg., March
1979, 28(2): 351-363.
30. Lubis I dan Suharyono W. Penyakit Japanese
Encephalitis (JE) pada anak-anak di dua rumah sakit
di Jakarta dalam tahun 1981. Bull. Penelit. Kes
(Health Studies in Indonesia), 1983, XI(2): 18-22.
31. Lubis I dan Suharyono W. Penelitian Penyakit
Japanese Encephalitis (JE) pada Anak-Anak di
Denpasar, Bali. Dalam: Kumpulan Hasil Penelitian Bio
Medis. Jakarta: Pusat Penelitian Bio Medis, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes
RI., 1982-1983, pp. 80-95.
32. Spicer PE. Japanese Encephalitis in Western Irian
Jaya. J. Travel. Med., 1997, 4: 146-147.
33. Spicer PE, Philips D, Pike A, Johansen C, Melrose W
and Hall RA. Antibodies to Japanese encephalitis
virus in human sera collected from Irian Jaya. Follow
up of a previously reported case of Japanese
Encephalitis in that region. Trans. Roy. Soc. Trop.
Med. Hyg., 1999, 93: 511-514.
34. Yoshida M, Igarashi A, Suwendra P, Inada K, Maha
MS, Kari K, et.al. The first report on human cases
serologically diagnosed as Japaanese Encephalitis in
Indonesia. SE Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth, Dec
1999, 30(4): 698-706.

302

35. Sendow I dan Bahri S., Perkembangan Japanese


Encephalitis di Indonesia. Wartazoa, 2005, 15(3):
111-118.
36. Kumar A and Gupta VB. Japanese B Encephalitis.
Apollo Med., Dec 2005, 2(4): 374-377.
37. Stahl JP, Mailles A, Dacheux L, Morand P. General
review Epidemiology of viral encephalitis in 2011.
Mdecine et maladies infectieuses, 2011, (41): 453
464.
38. Keiser J, Maltese MF, Erlanger TE, Bosc R, Tanner M,
Singer BH, Utzinger J. Effect of irrigated rice
agriculture on Japanese encephalitis, including
challenges and opportunities for integrated vector
management. Acta Trop., 2005, 95: 4057.
39. Zheng Y, Li M., Wang H. and Liang G. Japanese
encephalitis and Japanese encephalitis virus in
mainland China. Rev. Med. Virol., 22: 301322.
doi: 10.1002/rmv.1710. Copyright 2012 John
Wiley & Sons, Ltd.
40. Kari IK, Liu W, Gautama IMK, Subrata IK, Xu ZY.
Clinical profiles and some associated factors of
Japanese
encephalitis
in
Bali.
Paediatrica
Indonesiana, Jan- Feb 2006, 46(1-2): 13-19.
41. Goh,
KT.
Epidemiological
surveillance
of
Communicable Diseases in Singapore. Tokyo,
SEAMIC, 1983: 160.
42. Duong V, Sorn S, Holl D, Rani M, Deubel V, Buchy P.
Evidence of Japanese encephalitis virus infections in
swine populations in 8 provinces of Cambodia:
Implications for national Japanese encephalitis
vaccination policy Acta Trop., Oct-Dec 2011, 120(12): 146-150.
43. Simpson DIH, Smith CEG, Marshall TFD, Platt GSH,
Way J, Bowen ETW, et al. Arbovirus infections in
Sarawak: the role of the domestic pig. Trans. Roy.
Soc. Trop. Med. Hyg., 1976, 70(1): 66-72.
44. Kalimuddin MD, Narayan KG and Choudary, SP.
Serological evidence of Japanese Encephalitis virus
activity in Bihar. Inter. J. Zoon., June 1982, 9(1): 3944.
45. Nilsson S. Seroprevalence of Japanese Encephalitis
Virus in pigs and dogs in the Mekong Delta. Sveriges
lantbruksuniversitet Fakulteten fr veterinrmedicin
och husdjursvetenskap Institutionen fr kliniska
vetenskaper . Examensarbete 2013:46.
46. Yuwono J, Suharyono W, Koiman I, Tsuchiya Y,
Tagaya I. Epidemiological survey on Dengue and
Japanese Encephalitis virus infections in Asian
Monkeys. SE Asia J. Trop. Med. Pub. Hlth, 1984,
15(2): 194-200.
47. Pant GR, Lunt RA., Rootes CL, Daniels PW. Serological
evidence for Japanese encephalitis and West Nile
viruses in domestic animals of Nepal. Comparative
Immunol, Microbiol & Infect Dis, 2006, 29: 166175.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

48. Cross, JH, Lien JC, Huang WC, Lien SC, Chiu SF.
Japanese Encephalitis virus surveillance in Taiwan. II.
Isolations from mosquitoes and bats in Taipei Area. J.
Formosan Med. Assoc, December 1971, 70(12): 680683.

59. Sendow I, Field HE, Adjid RMA, Lunt R, Ratnawati A,


Breed AC, et al. Seroepidemiology of Japanese
Encephalitis Virus Infection in Bats and Pigs in West
Kalimantan, Indonesia. Abstrak. J. Mikrobiol. Indon,
2008, 2(2).

49. Shortridge KF, Oya A, Kobayashi M, Yip DY. Arbovirus


infetions in reptiles: Studies on
presence of
Japanese Encephalitis virus antibody in the plasma of
the turtle, Trionyx sinensis. SE Asian J. Trop. Med.
Pub. Hlth, 1975, 6(2): 162-169.

60. Ompusunggu, S. Infeksi Japanese Encephalitis pada


babi di Cengkareng, Jakarta dan peranannya dalam
penularan ke manusia. Cermin Dunia Kedokt., 1987,
45: 12-15.

50. Shortridge KF, Ng MH, Oya A, Kobayashi M, Munro


M, Wong F, Lance V. Arbovirus infections in reptiles:
Immunological evidence for high incidence of
japanese encephalitis virus in the cobra Naja naja.
Trans Roy. Soc. Trop. Med. Hyg., 1974, 68(6): 454460.
51. Koesharjono C,. Van Peenen PFD, Joseph SW, Saroso
JS, Irving CS, and Durfee PT. Serological survey of
pigs from a sloughterhouse in Jakarta, Indonesia.
Bull. Penelit. Kes. (Health Studies in Indonesia), 1973,
1(1): 8-18.
52. Thaib S and Madhar E. A serological survey on B
Group Arbovirus Antibodies in various animals in
Bandung. Bull. Bio Farma, 1968, V(2): 10-25.
53. Hotta S, Aoki H, Samoto S, Yasui T, Noerjasin B.
Virologic Epidemiological Studies on Indonesia. III.
Antibodies against Selected Arboviruses (Group A
and B) in Human and Animal Sera collected in
Surabaya, East Java, 1n 1968. In Medical and Publick
Health Investigations Conducted by Kobe University
and Indonesia Teams, 1967-1970. .Kobe J. Med. Sci,
Dec. 1970, 16(4): 235-250.

61. Okuno T, Mitchell JC, Chen PS, Wang JS, and Lin SY.
Seasonal infection of Culex mosquitoes and swine
with Japanese Encephalitis virus. Bull. Wld. Hlth. Org.
1973, 49: 347-352.
62. Ilkal MA, Dbanda V, Rae BU, George S, Mishra AC,
Prasanna Y, Gopall& lma S. and Pavri KM. Absence of
viraemia in cattle after experimental infection with
Japanese encephalitis virus. Trans. Roy. Trop. Med.
Hyg. 1988, 82: 628-631.
63. Peiris JSM, Amerasinghe FP,. Arunagiri CK, Perera LP,
Karunaratne SHPP. Ratnayake CB, Kulatilaka TA and
Abeysinghe MRNM. Japanese encephalitis in Sri
Lanka: comparisan of vector and virus ecology in
different agro-climatic areas. Trans. Roy. Soc. Trop.
Med. Hyg., 1993, 87: 541-548.
64. Santia KAP, Putra AAG, Dibia N, Mastra K dan Lunt R.
Surveilans terhadap Japanese Encephalitis pada
hewan sentinel (Surveillance Against of Japanese
Encephalitis in Animals Sentinel). Tersedia di
http://209.85.175.132/diunduh tanggal 19 Mar
2009.

54. Hotta S. Arboviral Sero-Epidemiology of Indonesia.


Viral Dis. in the SE Pacific Area and Africa Reporting
Series. Tokyo: Intern Med. Foundation of Japan,
1973, 3: 3-16.

65. Changbunjong T, Weluwanarak T, Taowan N, Suksai


P, Chamsai T, Sedwisai P. Seasonal abundance and
potential of Japanese encephalitis virus infection in
mosquitoes at the nesting colony of ardeid birds,
Thailand. Asian Pac. J. Trop. Biomed, 2013; 3(3): 207210.

55. Yamanaka A, Mulyatno KC, Susilowati H, Hendrianto


E, Utsumi T, Amin M, et al. Prevalence of antibodies
to Japanese encephalitis virus among pigs in Bali and
East Java, Indonesia, 2008. Abstract. Jpn J. Infect. Dis.
Jan 2010; 63(1): 58-60.

66. Liu, H, Lu HJ, Liu ZJ, Jing J, Ren JQ, Liu YY, Lu F and
Jin NY. Japanese Encephalitis Virus in Mosquitoes
and Swine in Yunnan Province, China 20092010.
Vector-Borne and Zoon. Dis., 2013, 13(1): 41-49.
Mary Ann Liebert, Inc. DOI: 10.1089/vbz.2012.1016.

56. Van Peenen PFD, Koesharjono C, Joseph SW, Saroso


JS, and Irving CS. Serological Survey of Cattle from a
sloughterhouse in Jakarta, Indonesia. Bull. Penelit.
Kes (Health Studies in Indon), 1974, 1(1): 1-8.

67. Kanojia PC. Ecological study on mosquito vectors of


Japanese encephalitis virus in Bellary district,
Karnataka. Indian J. Med. Res. August 2007, 126:
152-157.

57. Widjaja S, Soekotjo W, Hartati S, Jennings GB, Corwin


GB. Prevalence of hemagglutination-inhibition and
neutralizing antibodies to arboviruses in horses of
Java. Abstract. SE Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth.,
1995, 26(1): 109-113.

68. Johansen CA, Van Den Hurk AF, Ritchie SA, Zborowski
P, Nisbet DJ, Paru R, et al. Isolation of Japanese
Encephalitis Virus from Mosquitoes (Diptera:
Culicidae) Collected in the Western Province of
Papua New Guinea, 1997-1998. Am. J. Trop. Med.
Hyg., 631-638. c. 2000, Am. Soc. Trop. Med. Hyg.

58. Sendow I, Syafriati T, Hadi UK, Maloe M, Soviana S


dan Darminto. Epidemiologi Penyakit Japanese-BEncephalitis pada Babi di Propinsi Riau dan Sumatera
Utara. JITV, 2003, 8(1): 64-70.

69. Leake CJ, Eake and Johnson RT. The pathogenesis of


Japanese
encephalitis
virus
in
Culex
tritaeniorhynchus mosquitoes. Trans. Roy. Soc. Trop.
Med. Hyg. 1987, 81: 681-685.

303

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

70. Gould DJ, Barnett HC, Suyemoto W. Transmission of


Japanese Encephalitis virus by Culex gelidus
Theobald. Trans. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg. Sept
1962, 56(5): 429-435.

83. Sudarso. Kepadatan Nyamuk Culex tritaeniorhynchus


dan Culex gelidus di Beberapa Ketinggian Daerah.
Thesis Pasca Sarjana. Jakarta: Fakultas Kesehataan
Masyarakat Universitas Indonesia, 1977, hal. 52-53.

71. Sucharit S, Surathin K, Shrestha SR. Vectors of


Japanese encephalitis virus (JEV): species complexes
of the vectors. SE Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth., Dec
1989; 20(4): 611-621.

84. Olson, JG, Ksiazek TG, Tan R, Atmosoedjono S, Lee


VH, Conveerse JD. Correlation of population indices
of female Culex tritaeniorrhyncus and Cx. gelidus
(Diptera: Culicidae) and Rainfall in Kapuk, Indonesia.
J. Med. Ent., Jan. 1983, 20(1): 108-109.

72. Mwandawiro C, Boots M, Tuna N, Suwonkerd W,


Tsuda Y, and Takagi M. Heterogeneity in the host
preference of Japanese encephalitis vectors in
Chiang Mai, northern Thailand. Trans. Roy. Soc. Trop.
Med. Hyg., 2000, 94: 238-242.
73. Lindahl J, Chirico J, Boqvist S, Thu HTV and
Magnusson U. Occurrence of Japanese Encephalitis
Virus Mosquito Vectors in Relation to Urban Pig
Holdings. Am. J. Trop. Med. Hyg., 2012, 87(6): 10761082.
75. BBorah J, Dutta P, Khan SA and Mahanta J.
Epidemiological
concordance
of
Japanese
encephalitis virus infection among mosquito vectors,
amplifying hosts and humans in India. Zoon. Animal
Infect.. Feb 2012 (in press).
76. Van Peenen PFD, Joseph PL, Atmosoedijo S, Irsiana R,
Saroso JS. Isolation of Japanese Encephalitis virus
from mosquitoes near Bogor, West Java, Indonesia. J.
Med. Entomol, 1975, 2(5): 573-574.
77. Olson JG, Ksiazek TG, Lee VH, Tan R and Shope RE.
Isolation of Japanese encephalitis virus from
Anopheles annularis and Anopheles vagus in Lombok,
Indonesia. Trans. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg., 1985,
79: 845-847.
78. Tan R, Nalim S, Suwasono H, and Jennings GB.
Japanese encephalitis virus isolated from seven
species of mosquitoes collected at Semarang
regency, Central Java. Bull. Penelit. Kes., 1993, 21(1):
1-5
79. Olson, JG, Ksiazek TG, Tan R, Atmosoedjono S, Lee
VH and Converse JD. Correlation of population
indices of female Culex tritaeniorrhyncus with
Japanese Encephalitis viral activity in Kapuk,
Indonesia. SE Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth, June
1985, 16(2): 337-342.
80. Bonne-Webster J. Synopsis of A Hundred Common
Anopheline Mosquitoes of the Greater and Lesser,
the Moluccas and New Guinea. Doc. Med. Geog.
Trop. 1954, 6: 377.
81. Van Peenen PFD, Atmosoedjono S, Irsiana R, Saroso
JS. et al. Seasonal Distribution of Culicine Mosquitoes
near Jakarta, Indonesia. J. Med. Ent. Aug 1974, 11(4):
426-427.
82. Ompusunggu S. Vektor potensial Japanese
Encephalitis pada babi di Cengkareng, Jakarta. Bull.
FKH UGM, Des. 1989, IX(2): 19-22.

304

85. Peng B, Ying Z, Parton KA.. Weather variables and


Japanese encephalitis in the metropolitan area of
Jinan city, China. J. Infect., 2007, 55: 551-556.
86. Henrich TJ, Hutchaleelaha S, Jiwariyavej V, Barbazan
P, Nitatpattana N, Yoksan S, Gonzalez J-P.
Geographic dynamics of viral encephalitis in
Thailand. Microbes and Infect., 2003, 5: 603611.
87. Upadhyayula SM, Mutheneni SR, Nayanoori HK,
Natarajan A, Goswami P. Impact of weather variables
on mosquitoes infected with Japanese encephalitis
virus in Kurnool district, Andhra Pradesh. Asian
Pacific J. Trop. Med., 2012, 337-341.
88. Kumar S, Kalita J, Saxena V, Khan MY, Khanna VK,
Sharma S, et al. Some observations on the tropism of
Japanese encephalitis virus in rat brain. Brain Res.,
2009, 1268: 135-141.
89. Libraty DH, Nisalak A, Endi TP, Suntayakom S, Vaughn
DW, Innis BL. Clinical and immunological risk factors
for severe disease in Japanese encephalitis. Trans.
Roy. Soc. Trop. Med. Hyg. Marc-April 2002. 96(2):
173-178.
90. Borah J, Dutta P, Khan SA, Mahanta J. A comparison
of clinical features of Japanese encephalitis virus
infection in the adult and pediatric age group with
Acute Encephalitis Syndrome. J. Clin. Vir. Sept 2011,
52(1): 42-49.
91. Solomon T, Dung NM, Kneen R, Thao LTT,
Gainsborough M, Nisalak A, et al. Seizures and raised
intracranial prasere in Vietnamese patients with
Japanese encephalitis. Brain, 2000, 125: 1084-1093.
92. Gupta AK and. Pavri KM. Alteration in immune
response of mice with dual infection of Toxocara
canis and Japanese encephalitis virus. Trans. Roy.
Soc. Trop. Med. Hyg., 1987, 81: 835-840.
93. World Health Organization. WHO-Recommended
Standards for Surveillance of Selected VaccinePreventable Diseases. Japanese encephalitis
surveillance standards 2006. Geneve: World Health
Organization. WHO/V&B/03.01.
94. Clark DH and Casals J. Techniques for
Hameagglutination and Haemagglutination Inhibition
with Arthropod-borne Viruses. Am. J. Trop. Med.,
1958, 7: 561-573.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

95. Burke DS, Chatiyanonda K, Anandrik S, Nakornsri S,


Nisalak A & Hoke Jr CH. Improved surveillance of
Japanese Encephalitis by detection of virus-specific
IgM in desiccated blood specimens. Bull. Wld. Hlth.
Org., 1985, 63(6): 1037-1042.
96. Yamamoto T, Takagi M. Measurement antibodies to
Japanese Encephalitis virus by the enzyme-linked
immunosorbent assay using a small guantity of blood
absorbed on filter paper disc. Kansenshogaku Zasshi,
Nov 1985, 59(11): 1135-41.
97. Desai A, Ravi V, Chandramuki A, Gourie-Devil, M.
Detection of neutralizing antibodies to Japanese
encephalitis virus in the cerebrospinal fluid using a
rapid microneutralization test. Infect. Dis., Sept.
1994, 6: 130-134.
98. Saxena V, Mishra VK, Dhole TN. Evaluation of
reverse-transcriptase PCR as a diagnostic tool to
confirm Japanese encephalitis virus infection. Trans.
Roy. Soc. Trop. Med. Hyg., 2009, 103:403-406.
Available at www.science direct.com.
99. Srivastava VK, Ajay Singh and Thapar BR. Field
evaluation of malathion fogging against Japanese
encephalitis vector, Culex tritaeniorhynchus. J.
Vector Borne Dis., Sept. 2008, 45: 249-250.
100. Elango G, Rahuman AA, Kamaraj C, Bagavan A,
Zahir A. Adult emergence inhibition and adulticidal
activity of leaf crude extracts against Japanese
encephalitis vector, Culex tritaeniorhynchus. J. King
Saud University Science, 2012, 24: 7380.
101. Keiser J, Maltese MF, Erlanger TE,Robert Bosc R,
Tanner M, Singer BH, Utzinger J. Effect of irrigated
rice agriculture on Japanese encephalitis, including
challenges and opportunities for integrated vector
management. Acta Tropica, 2005, 95:4057.
102. Dapeng L, Konghua Z, Jinduo S, Renguo Y, Hongru
H, Baoxiu L, et al. The protective effect of bed nets
impregnated with pyrethroid insecticide and
vaccination against Japanese encephalitis. Trans.
Roy. Soc. Trop. Med. Hyg., 1994, 88: 632-634.
103. Sasaki O, Karoji Y, Kuroda A, Karaki T, Kunihachi T
and Maeda O. Protection of pigs against mosquitoborne japanese encephalitis virus by immunization
with a live attenuated vaccine. Antivir. Res., 1982, 2:
355-360.

104. Scientific Committee on Vector-borne Diseases. An


Assessment of Japanese Encephalitis Vaccinationin
Pigs in Hong Kong. Hongkong: Center for Health
Protection, Nov. 2004.
105. Van den Hurk AF, Ritchie SA, Johansen CA,
MacKenzie JS and Smith GA. Domestic Pigs and
Japanese Encephalitis Virus Infection, Australia.
Emerg. Infec. J., Nov. 2008, 14(11): DOI:
10.3201/eid1411.071368.
106. World Health Organization. Vector-Borne Viral
Infections. Initiative for Vaccine Research (IVR).
Tersedia di .http://www.who.int/en/. Diunduh: 21
Februari 2013.
107. Gatchalian S, Yao Y, Zhou B, Zhang L, Yoksan S,
Kelly K, et al. Comparison of the immunogenicity and
safety of measles vaccine administered alone or with
live, attenuated Japanese encephalitis SA14-14-2
vaccine in Philippine infants. Vaccine, 2008, 26:
2234-2241.
108. Schuller E, Klade CS, Wlfl G, Kaltenbck A,
Dewasthaly S, Tauber E. Comparison of a single, highdose vaccination regimen to the standard regimen
for the investigational Japanese encephalitis vaccine,
IC51: A randomized, observer-blind, controlled Phase
3 study. Vaccine, 2009, 27: 2188-2193.
109. Puthanakit T, Aurpibula L, Yoksan S, Sirisanthana T,
Sirisanthana V. A 3-year follow-up of antibody
response in HIV-infected children with immune
recovery vaccinated with inactivated Japanese
encephalitis vaccine. Vaccine, 2010, 28:59005902.
110. Ding D, Kilgore PE, Clemens JD, Wei L, and Zhi-Yi X.
Cost-effectiveness of routine immunization to
control Japanese encephalitis in Shanghai, China.
Abstrak. Bull World Health Organ. 2003; 81(5): 334
342. Tersedia di PMCID: PMC2572455, Juli 2003.
111. Yin Z, Asay GRB, Zhang L, Li Y, Zuo S, Hutin YJ, et al.
An economic evaluation of the use of Japanese
encephalitis vaccine in the expanded program of
immunization of Guizhou province, China. Vaccine,
2012, 30:5569-5577.
112. Liu W, Clemens, JD, Kari K, Xu ZY. Costeffectiveness of Japanese encephalitis (JE)
immunization in Bali, Indonesia. Vaccine, Agu. 2008,
26(35): 44564460.

305

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

306

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAB

13

RABIES
Rita Marleta Dewi

13.1. PENDAHULUAN
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan vertebrata yang
lazim menyerang satwa liar. Penyakit ini bersifat akut dan menyerang susunan
saraf pusat hewan berdarah panas dan manusia. Hewan yang menderita rabies
akan menjadi ganas dan menyerang atau menggigit manusia atau hewan lain di
sekitarnya. Secara alamiah rabies menunjukan gejala severe neurologic dan
berakibat fatal baik pada hewan maupun manusia. Penularan dari hewan ke
manusia (zoonosis) terjadi secara langsung serta menyebabkan kematian.
Rabies sudah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi.

Hal ini

terpampang dalam Prasasti rabies yang berisikan aturan denda bagi pemilik
anjing yang positif rabies atau menggigit manusia hingga mati. Rabies pada
anjing dan kucing telah digambarkan oleh Democritus (500 SM) dan Aristoteles
(322 SM), sedangkan Celcus (100 tahun sesudah masehi) yang pertama kali
melaporkan adanya hubungan antara gejala takut air (hidrofobia) pada manusia
dengan rabies pada hewan.
Di Indonesia kasus Rabies pertama kali dilaporkan oleh Esser di Jawa Barat
pada seekor kerbau pada tahun 1884, Penning (1889) melaporkan kasus pada
anjing, dan E.V.de Haan (1894) melaporkan kasus pada manusia. Setelah tahun
1953 kasus rabies dilaporkan dilaporkan menyebar ke daerah lain di
Indonesia.1,2

307

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Rabies tergolong penyakit yang terabaikan (neglected) dan mudah


menular dari hewan ke manusia. Kesakitan dan kematian yang cukup tinggi
berdampak pada kesehatan masyarakat, dan menyebabkan kepanikan atau
gangguan sosial di masyarakat.

13.2. MASALAH RABIES DI INDONESIA


13.2.1. Etiologi
Rabies disebabkan oleh virus RNA, dari famili Rhabdoviridae, genus
Lyssavirus.

Virus berukuran 180 nm, diameter 75 nm, berbentuk silindris

seperti peluru dengan salah satu ujung berbentuk kerucut dan pada potongan
melintang berbentuk bulat atau lonjong. Semua virus family Rhabdoviridae
mempunyai

dua

komponen

utama

yaitu

inti

dari

rantai

heliks

(ribonucleoprotein core / RNP), dan amplop dengan banyak tonjolan yang


tersusun dari lemak. Genomik dari virus rabies adalah nonsegmented negativestrand (NNS)RNA yang mengkode 5 struktur protein yaitu nukleoprotein (N),
phosphoprotein (P), matrix protein (M), glikoprotein (G), dan large polymerase
(L). Diantara semua protein tersebut, yang sangat berperan dalam proses
patogenesitas rabies adalah protein G dengan memfasilitasi masuknya virus,
perjalanan, dan replikasi virus.3 Replikasi dari Lyssavirus diawali dengan proses
adsorpsi yaitu menempelnya bagian amplop virus kedalam membran sel inang.
Hal ini terjadi akibat adanya interaksi protein G dengan permukaan sel inang
yang spesifik. Setelah proses adsorpsi, kemudian virus melakukan penetrasi
kedalam sel inang dan masuk ke dalam sitoplasma sel. Virion virus kemudian
berkumpul atau masuk kedalam vesikel cytoplasmic, diikuti masuknya
membran viral kedalam membran endosome disertai oleh lepasnya RNP
kedalam sitoplasma. Virus rabies kemudian akan membentuk mRNA untuk
menjalankan proses replikasinya dengan menyisipkan genom ke dalam sel inang
dan menginfeksi sel yang lain. Virus rabies ini sangat peka terhadap pelarut-

308

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

pelarut yang bersifat alkalis seperti sabun, desinfektan, alcohol, dll. Penularan
dari hewan ke hewan umumnya melalui gigitan karena virus rabies biasanya
dapat diakselerasikan melalui saliva dalam jumlah yang sangat banyak terutama
pada saat hewan mengalami viremia.4

Gambar 13.2.1.1. Struktuir virus rabies (sumber: WHO)

13.2.2. Epidemiologi
Rabies masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan
sekurangnya menyebabkan 50 ribu kematian tiap tahun.5 Sebagian besar kasus
terjadi di negara berkembang, khususnya di Afrika dan Asia.

Walaupun

pencegahan rabies pada manusia dilakukan secara efektif namun tetap bersifat
fatal.6 Di Indonesia, hospes reservoir utama adalah anjing, kucing, dan kera,
walaupun di negara lain dilaporkan selain kera dan kelelawar juga reservoir liar
lainnya seperti rubah, serigala, luwak, antelop, sigung, dan rakun.7 Masih
banyak daerah di Indonesia yang berstatus endemis rabies yang menjadi
tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas rabies pada 2020. Dari 34
povinsi di Indonesia hanya 9 provinsi yang dinyatakan masih bebas rabies yaitu :
Provinsi Bangka Belitung, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, Papua Barat dan Papua.1
Selama tahun 2008-2010 telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) rabies di
tiga daerah baru yaitu : Bali (2008), Pulau Nias-Sumatera Utara (2010) dan

309

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Pulau Larat-Maluku (2010). Berdasarkan laporan program pengendalian rabies


Kementerian Kesehatan bahwa dalam waktu 5 tahun terakhir terjadi kenaikan
jumlah GHPR (Gigitan Hewan Penular Rabies) dan Lyssa (Kasus rabies pada
manusia). Pada tahun 2007 hingga 2010 selalu terjadi peningkatan kasus rabies
setiap tahunnya, terutama pada tahun 2009 hingga 2010 adanya peningkatan
yang cukup signifikan kasus GHPR dari 45.466 menjadi 78.574 kasus. Demikian
pula dengan kasus kematian karena rabies terjadi peningkatan dari 195 kasus
menjadi 206 kasus, walaupun jumlah kasus yang ditangani melalui PET (Post
Exposure Treatment) yaitu cuci luka dan pemberian VAR telah ditingkatkan dari
35.316 kasus (2009) menjadi 63.856 kasus (2010).

Selama bulan Januari -

Desember 2011, dari 21 Provinsi dilaporkan 78,578 kasus GHPR dengan 150
Lyssa yang tersebar 13 Provinsi. Secara nasional rata-rata kasus kematian
(Lyssa) adalah 145 kasus/tahun.8
Berbagai upaya telah dilaksanakan guna pengendalian, pemberantasan
dan pembebasan rabies seperti: Sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat,
vaksinasi, eliminasi, surveilans, pengawasan lalu lintas dan perdagangan hewan
penular rabies, dan lain sebagainya. Evaluasi dan analisa dampak dari seluruh
kegiatan dilapangan juga dilakukan guna mendapatkan strategi yang lebih baik
dalam pengendalian dan pemberantasan rabies. Meskipun demikian kajian dan
penelitian yang terarah dan terencana masih diperlukan untuk penanggulangan
rabies guna mencapai target Indonesia bebas rabies tahun 2020 .
Adanya rabies positif di suatu daerah mengidentifikasikan cara
pemeliharaan anjing di daerah tersebut tidak baik atau dilepasliarkan, atau
keberadaan anjing liar yang sulit dikendalikan.

310

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Gambar 13.2.2.1. Anjing positif Rabies


Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Rabies dan
https://www.google.com/search?q=dog+with+rabies+image

Masyarakat yang sering kontak dengan anjing (dokter hewan, vaksinator,


dll) atau petugas laboratorium diagnostik rabies merupakan kelompok risiko
tinggi. Masyarakat di Bali mayoritas memelihara anjing secara dilepas, pemilik
anjing menyediakan makanan seadanya dan umumnya anjing mencari makan di
luar rumah. Masyarakat di Sumatra Barat mempunyai hobi berburu babi di
hutan dan memelihara anjing berburu dengan baik. Namun jumlah anjing
berburu yang dipelihara hanya terbatas, sedangkan anjing-anjing yang tidak
dimanfaatkan untuk berturu, tidak dipelihara dengan baik atau dilepasliarkan.
Akibatnya populasi anjing tersebut di masyarakat akan tinggi. Selain itu, anjing
mempunyai sifat senang berteman, sehingga kontak antar anjing akan sering
terjadi dan jika terjadi kasus rabies maka penularan mudah terjadi. Demikian
pula masyarakatnya berisiko tinggi untuk terkena rabies.

13.2.3. Patogenesis
Masa inkubasi virus rabies pada manusia beragam tergantung pada latar
belakang genetik inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus
pada sel inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak yang harus
ditempuh virus untuk bergerak dari titik masuk / lokasi gigitan HPR ke SSP ,
biasanya antara 20 sampai 90 hari, dan pada manusia tidak pernah lebih dari 1

311

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

tahun.3 Periode inkubasi yang lebih pendek biasanya berkaitan dengan gigitan
yang parah atau gigitan di kepala atau wajah. Virus rabies dikeluarkan bersama
air liur dan masuk ke dalam tubuh melalui luka gigitan hewan yang terinfeksi
rabies. Selama 2 minggu virus masih dapat ditemukan di daerah sekitar luka
gigitan, namun sebagian besar sudah mencapai ujung-ujung serabut syaraf
posterior tanpa menunjukan perubahan fungsi.1 Kemudian virus masuk ke sel
otot melalui reseptor yang sama pada ujung syaraf motorik dimana virus
tersebut akan memulai replikasi awal pada jaringan lurik atau ikat.9 Virus akan
bergerak menuju susunan syaraf pusat melalui ikatan dengan reseptor nicotinic
acetylcholine yang terdapat pada neuromuscular junction.9 Virus menyebar ke
susunan syaraf pusat (medulla oblongata) di endoneurium dari sel Schwann dan
menyebabkan kelainan struktural yang diikuti dengan kegagalan fungsi dari ionion seperti ion natrium dan potasium.
Di dalam otak, virus kembali memperbanyak diri dan menyebar ke seluruh
bagian neuron terutama bagian yang mempunyai prediksi khusus terhadap selsel limbik, hipotalamus dan batang otak. Virus yang telah memasuki sistem
imun saraf, akan terbebaskan dari sistem imun maka imunisasi menjadi tidak
efektif.

Di sistem saraf pusat (SSP), virus akan berkembang secara cepat,

kemudian keluar dari SSP melalui motor saraf sensorik, saraf autonom,
kemudian akan bereplikasi secara lokal di kelenjar ludah dan lacrimal glands
untuk kemudian ditransmisikan ke host berikutnya.9
Sesuai dengan perjalanan virus, gejala klinis yang ditimbulkan rabies
terdiri dari 4 stadium1 yaitu:
a. Stadium prodromal, terjadi setelah virus sampai di SSP, dengan gejala gelisah
disertai demam, malaise, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar namun
juga kedinginan, lemah, rasa nyeri di tenggorokan.
b. Stadium sensoris, yaitu nyeri, panas disertai kesemutan di tempat luka,
cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensoris.

312

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

c. Stadium eksitasi yang ditandai dengan tonus otot meningkat, ketakutan yang
berlebihan, haus, takut akan cahaya, tiupan angin dan suara keras, merintih
dan sebelum kesadaran hilang, bingung, gelisah tidak nyaman, bingung
berlebihan sehingga agresif, gemetar, kaku kejang, dan akhirnya meninggal.
d. Stadium paralisis, yaitu paresis otot termasuk otot pernapasan karena
gagangguan sumsum tulang.
Banyak aspek patofisiologi rabies yang sampai sekarang belum diketahui,
salah satunya adalah belum jelas bagaimana rabies dapat menyebabkan
kelumpuhan.

Demikian juga perbedaan patofisiologis antara bentuk

encephalitik dan paralytik dari rabies. Penyebab kematian pada kasus rabies
masih belum diketahui karena virus rabies wild-type tidak memberikan efek
sitopatik, apoptosis, atau menyebabkan inflamasi.

Dasar kegagalan fungsi

sistem syaraf dalam rabies adalah kompleks, kemungkinan karena perubahan


degeneratif sel syaraf seperti dendrit dan axon. Permeabilitas dari blood-brain
barrier untuk efektivitas sistem imun sangat penting untuk hilangnya virus dan
pemulihan pasien rabies.

13.2.4. Diagnosis
Virus Rabies dapat diisolasi dari air liur, cairan cerebrospinal, dan urin
penderita, namun isolasi virus dari isolat tersebut kadang tidak berhasil karena
adanya reaksi neutralizing antibodies. Berdasarkan pemeriksaan Fluorescent
Antibody Test / FAT dari jaringan otak, air liur, kerokan mukosa, cairan
cerebrospinal, urin, kulit, dan usap kornea kadang negatif bila antibodi sudah
terbentuk. Dalam mendiagnosa rabies beberapa pemeriksaan laboratorium
dapat dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan Histopatologi dengan mengidentifikasi adanya badan Negri
yang patognomonik rabies. Namun, badan Negri hanya dapat ditemukan
dalam 71% kasus.

313

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

2. Rapid virus antigen detection dengan immuno-fluorecens banyak digunakan


pada beberapa tahun terakhir. Pemeriksaan umumnya dilakukan melalui
pengambilan jaringan otak, air liur, cairan cerebrospinal, urin, dan usap
kornea atau leher biopsi kulit dan langsung dilakukan FAT.
3. Kultivasi virus dari air liur dan jaringan yang terinfeksi merupakan cara yang
paling definitif dalam mendiagnosa rabies.

Kultur sel dapat dilakukan

dengan menginokulasi jaringan intracerebral ke bayi tikus, namun memiliki


tingkat kesulitan yang tinggi, sehingga jarang dilakukan di laboratorium
diagnostik.
4. Serologi. Pada infeksi virus rabies, antibodi timbul secara perlahan tetapi
biasanya antibodi akan ada pada saat timbulnya gejala klinis.

13.2.5. Pencegahan dan Pengobatan


Penanganan kasus gigitan hewan tersangka/rabies, tidak dapat dipisahkan
antara pencegahan dan pengobatan, maka tindakan yang dilakukan adalah:
Pre-exposure prophylaxis yaitu pemberian vaksin rabies yang dilemahkan
kepada kelompok berisiko tinggi rabies misalnya dokter hewan, petugas
vaksinasi, petugas puskesmas atau rumah sakit, petugas laboratorium dll.
Post-exposure prophylaxis yaitu pengamanan dan observasi selama 10 hari
bila ada kasus gigitan terhadap hewan anjing atau kucing di daerah endemis
rabies. Jika terdapat tanda-tanda ke arah rabies, maka hewan tersebut harus
dibunuh dan jaringan diperiksa.
Profilaksis pasca pajanan yaitu pengobatan luka dan imunisasi aktif (sel
diploid) dan pasif (imunoglobulin) terhadap korban gigitan. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pemberian Profilaksis pasca pajanan adalah:
1. Jika ada gigitan oleh satwa liar, maka hewan tersebut harus dibunuh dan
diperiksa. Komponen penting dari profilaksis pasca pajanan adalah
pengobatan lokal luka dan imunisasi aktif dan pasif.

314

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

2. Setelah rabies ditegakkan, tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali


perawatan suportif intensif. Untuk saat ini, hanya 2 orang dengan rabies
terbukti telah bertahan.
3. Pengobatan luka atau debridement harus dilakukan.
4. Imunisasi pasif dengan pemberian imunoglobulin rabies pada manusia di
sekitar area luka, harus dilengkapi dengan pemberian secara intramuscular untuk memberikan perlindungan jangka pendek.
5. Imunisasi aktif yaitu vaksinasi sel diploid kepada manusia adalah cara
pencegahan terbaik, dan vaksin diberikan di daerah deltoid dengan 5
dosis.
6. Kombinasi imunoglobulin rabies dan imunisasi aktif jauh lebih efektif
daripada imunisasi aktif saja.
Pengobatan dalam pengendalian rabies bertujuan untuk mengurangi
angka kematian. Tatalaksana kasus gigitan hewan tersangka/rabies di Indonesia
adalah sebagai berikut: segera mencuci luka gigitan tersebut dengan air
mengalir

dan

sabun

atau

detergen

selama

10-15

menit

untuk

mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk melalui luka gigitan.


Kemudian beri antiseptik (alkohol, betadine, salvon dll) dan berobat ke
Puskesmas atau RS untuk dilakukan pencucian ulang.

Luka gigitan tidak

dibenarkan untuk dijahit. Apabila membutuhkan jahitan situasi, maka harus


disertakan pemberian serum anti rabies (SAR) secara intramuskuler sesuai
dengan dosis. Disamping itu perlu dipertimbangkan pemberian serum/vaksin
anti tetanus atau antibiotik untuk mencegah infeksi dan analgetik.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin anti rabies (VAR) dan
SAR adalah:
1. Riwayat gigitan, yang meliputi lokasi kejadian (daerah tertular atau terancam
atau bebas), penyebab digigit (apakah karena ada propokatif atau tidak),
cara kontak (jilatan atau gigitan), kondisi hewan (menunjukan gejala rabies

315

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

atau tidak), keberadaan hewan (hilang atau lari atau mati atau dibunuh),
status penderita gigitan (pernah mendapat VAR atau tidak).
2. Pemeriksaan fisik untuk menentukan identifikasi luka (risiko rendah atau
tinggi). Pada pasien risiko rendah cukup diberikan VAR saja, sedangkan pada
pasien risiko tinggi harus diberikan VAR dan SAR.

Sampai saat ini

pengobatan efektif untuk rabies tidak tersedia.(3,7)

13.2.6. Prognosis/prediksi/estimasi
Setelah diagnosis rabies ditegakan, tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali perawatan suportif intensif. Bila gejala klinis timbul biasanya diakhiri
dengan kematian. Penderita rabies dapat mengalami kematian dalam 3-5 hari
setelah timbul gejala, sehingga pemeriksaan serologis terlambat dilakukan
walaupun gejala cukup jelas.

.
Gambar 13.2.6.1. Penderita rabies dengan gejala
https://www.google.com/search?q=rabies+in+human+image

316

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

13.3. PROGRAM PENGENDALIAN RABIES


Rabies merupakan masalah serius karena setiap kasus selalu diakhiri
dengan kematian sehingga menyebabkan rasa tidak nyaman pada masyarakat.
Disamping itu juga berdampak pada perekonomian terutama di daerah
pariwisata.

Oleh karena besarnya bahaya rabies terhadap kesehatan dan

ketentraman masyarakat, maka usaha pengendalian, pencegahan dan


pemberantasan

rabies

dilaksanakan

dengan

intensif

dan

merupakan

kesepakatan nasional menuju program eliminasi.


Peraturan terkait rabies mempunyai tujuan utama menekan serendahrendahnya kematian akibat rabies telah ada dan telah dilakukan sejak
pemerintahan kolonial pada tahun 1926 yang disebut Hondsdolheid Ordonantie
Staatsblad No 451/1926 yang kemudian dipakai sebagai dasar dalam
pencegahan dan pemberantasan rabies.27 Pada tahun 1978 telah dikeluarkan
SK Bersama Tiga Menteri (Pertanian, Kesehatan, dan Dalam Negeri) No:
279A/MenKes/SK/VIII/1978, No: 522/Kpts/Um/8/78, dan No: 143/tahun 1978,
juga adanya Pedoman Khusus dari Menteri Pertanian pada tahun 1982.
Program tersebut telah diperbaharui pada tahun 1999 yang dituangkan dalam
Surat Keputusan Bersama dengan tugas pokok masing-masing adalah: Ditjen
PUOD menyangkut pergerakan birokrasi (sebagai koordinator), Ditjen
Peternakan yang menyangkut hewan, dan Ditjen PPM&PLP yang menyangkut
manusia.

Hingga saat kini masih menjadi tanggung jawab tiga kementerian

yaitu Kementerian Pertanian (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan),


Kementerian Kesehatan (Ditjen PP&PL) dan Kementerian dalam Negeri (Ditjen
Pemerintahan Umum).

Beberapa kegiatan proram Ditjen PP&PL dalam

pengendalian rabies yang telah dilakukan adalah:


1. Semua penderita gigitan hewan tersangka rabies diberikan vaksinasi yang
dipergunakan dalam pengobatan Pateur (vaksin Purified Vero Rabies
Vaccine/PVRV dengan indikasi yang tajam yaitu :

317

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

a. Pemberian vaksin dan serum antirabies yang berhubungan dengan hewan


penular rabies. Informasi yang perlu diperhatikan adalah tipe luka gigitan
dan keadaan hewan yang menggigit (saat menggigit dan setelah observasi
10 hari). Vaksinasi tidak perlu diberikan jika tidak ada luka walaupun ada
kontak dan hewan positif rabies. Vaksinasi diberikan jika terdapat luka
walaupun kecil/lecet di sekitar tangan/badan/ kaki, dan hewan tersangka
rabies. Vaksinasi tersebut dapat dihentikan apabila setelah observasi 10
hari hewan dinyatakan sehat. Vaksinasi harus diberikan secara lengkap
apabila hewan dinyatakan gila atau yang menggigit adalah hewan liar atau
tidak dapat diobservasi.

Pengobatan dengan vaksinasi disertai serum

antirabies diberikan apabila terdapat luka parah/multipel atau luka di


kepala, jari kaki, jari tangan atau leher akibat gigitan hewan yang
mencurigakan atau gila atau tidak dapat diobservasi.

Akan tetapi

pengobatan dapat dihentikan jika setelah observasi 10 hari hewan


dinyatakan sehat.
b. Pemberian vaksin dan serum antirabies bila tersentuh air liur penderita
rabies. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah bagian tubuh yang
terkena air liur. Apabila tidak ada luka pada bagian tubuh yang terkena
air liur penderita rabies, maka tidak perlu diberikan vaksin. Akan tetapi,
jika terdapat luka atau bagian tubuh yang kontak adalah selaput
lendir/mukosa maka segera diberi vaksinasi serta serum jika luka di bahu,
ujung jari, selaput lendir dan daerah yang banyak syaraf.
2. Pemberian pengobatan Pasteur dilakukan oleh Pusat Pengobatan Rabies
(Rabies Center) yang telah ditunjuk. Kasus rabies harus ditangani oleh dokter
yang terlatih dibantu paramedis yang terlatih pula. Rabies center harus
memiliki rantai dingin (cold chain) yang berfungsi baik dan mampu
menyediakan VAR secara berkesinambungan.
3. Penderita dirawat dengan sebaik-baiknya di rumah sakit dengan fasilitas
yang memadai. Adanya kasus kematian yang tinggi menunjukan adanya

318

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

ketidaktepatan dalam penanganan luka gigitan dan keterlambatan


pemberian vaksinasi .
4. Kemitraan dengan Dinas Peternakan dan Pemerintah Daerah meningkatkan
motivasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kasus
GHPR terutama di daerah endemis, serta mengaktifkan tim koordinasi
pemberantasan rabies (TIKOR)
5. Peningkatan sistem survailans terpadu dengan dinas peternakan.
6. Memberikan vaksinasi kepada kelompok masyarakat berisiko tinggi (petugas
yang menangani rabies yaitu investigator, petugas puskesmas/RS/
laboratorium, vaksinator dan dokter hewan).
Strategi nasional yang ditempuh guna mencapai target Indonesia bebas
rabies 2020 adalah peningkatan dalam berbagai bidang antara lain peningkatan
peran serta masyarakat, kemitraan, keterpaduan mutu program lintas sektor,
mutu program lintas sektor, mutu program pelayanan kesehatan, terutama
vaksinasi/eliminasi hewan dan pengobatan pasteur, Profesionalisme, serta
percepatan desentralisai. Pengendalian rabies di Indonesia tercakup dalam
tujuan pengendalian zoonosis terpadu yaitu : (1) Mencegah meluasnya zoonosis
ke daerah yang sebelumnya bebas; (2) Mengurangi daerah endemis zoonosis;
(3) Melindungi masyarakat dari penularan zoonosis untuk menurunkan angka
kematian pada manusia; (4) Penanganan hewan penular zoonosis untuk
menurunkan insidensi pada manusia; (5) Menekan dampak yang ditimbulkan
akibat zoonosis.
Strategi

yang

ditempuh

oleh

sektor

peternakan

adalah:

(1)

mempertahankan daerah bebas rabies, (2) pengendalian rabies di daerah


tertular dengan mengadakan bulan vaksinasi (vaksinasi masal) minimal 2 kali
dalam setahun, meningkatkan pengawasan lalu lintas hewan, melakukan
eliminasi anjing liar atau anjing tak bertuan di tempat/sarang anjing minimal 2
kali dalam setahun, (3) pemberantasan rabies dengan pembebasan daerah

319

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

secara bertahap.

Untuk mencapai hal tersebut, maka langkah-langkah yang

dilakukan adalah:
1. Pencegahan meliputi: (1) Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau
menurunkan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas
rabies, (2) Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang
masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies, (3) Melarang dilakukannya
vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah bebas rabies, (4)
Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70%
populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus, (5)
Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang
telah divaksinasi, (6) Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak
bertuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan, (7)
Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan
ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat,
(8) Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari
2 meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan
rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan
berangus (beronsong), (9) Menangkap dan melaksanakan observasi hewan
tersangka menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang
mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen
untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa, (10) Pengawasan
ketat terhadap lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya yang
bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies, (11) Membakar dan
menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya 1
meter.
2. Pemberantasan di daerah tertular secara bertahap dengan prioritas pada
daerah dengan angka kejadian tinggi.

Pelaksanaan dilakukan dengan

vaksinasi masal minimum pada 70% populasi hewan penular rabies.

320

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Dalam menjalankan program pemberantasan, tindakan pencegahan tepat


dilaksanakan agar tetap terwujud apa yang telah diserpakati yaitu : (1)
Pertahapan tercapainya daerah bebas rabies berdasarkan prioritas, (2)
Perlindungan ketat pada 9 daerah bebas rabies, (3) Program komisi nasional
dapat terwujud di seluruh sektor, (4) Pengendalian rabies dijadikan prioritas
utama pada Komnas Zoonosis, (5) Peningkatan survailans di daerah fokus (NTT
dan Sulawesi Utara), dan (6) Upaya peningkatan anggaran untuk pengendalian
di daerah wisata (Bali, Manado, Nias dll).

Secara keseluruhan upaya

pemerintah dalam penanggulangan rabies adalah membentuk tim kemitraan


antara Kementerian Pertanian dan Kesehatan dengan pengalokasian VAR untuk
manusia dan hewan, pembentukan tim koordinasi rabies di daerah, pendirian
posko KLB rabies di lokasi kejadian, serta eliminasi dan vaksinasi anjing.
Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah guna pengendalian,
pemberantasan dan pembebasan rabies seperti: Sosialisasi dan penyuluhan
kepada masyarakat, vaksinasi, eliminasi, surveilans, pengawasan lalu lintas dan
perdagangan hewan penular rabies dan lain sebagainya. Evaluasi dan analisa
dampak dari seluruh kegiatan dilapangan juga dilakukan guna mendapatkan
strategi yang lebih baik dalam pengendalian dan pemberantasan rabies.
Meskipun demikian kajian dan penelitian yang terarah dan terencana masih
diperlukan untuk penanggulangan rabies guna mencapai target Indonesia bebas
rabies tahun 2020.
Program pengendalian rabies yang telah dilakukan oleh Dirjen Peternakan
dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian adalah:
a. Pengobatan dengan pemberian VAR.

Adanya rabies di suatu daerah

mengidentifikasikan cara pemeliharaan anjing yang tidak baik atau


dilepasliarkan, atau keberadaan anjing liar yang sulit dikendalikan. Langkahlangkah pengendalian terhadap rabies pada anjing meliputi; kontrol anjing
liar atau dilepasliarkan, vaksinasi anjing, dan karantina hewan impor.

321

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

b. Pengendalian hewan penular rabies yang telah dilakukan oleh Dinkes


Peternakan adalah vaksinasi secara rutin dengan menetapkan bulan
vaksinasi pada bulan Oktober-November.
Pengendalian rabies yang belum maksimal dilakukan adalah (1)
pelaksanaan vaksinasi pada anjing yang dilepasliarkan karena sulit ditangkap
untuk divaksinasi.

Oleh sebab itu diperlukan vaksin yang memiliki durasi

kekebalan yang relatif lama (idealnya jika kekebalan yang ditimbulkan dapat
bertahan selama 3 tahun) sesuai perkiraan umur anjing antara 3-4 tahun,
sehingga anjing yang dilepasliarkan selama hidupnya memerlukan vaksinasi 1 2 kali, (2) pemberian

vaksinasi pada 70% HPR yang baru mencapai (3)

penyuluhan cara pemeliharaan anjing yang benar belum secara kontinu


sehingga masih banyak ditemukan anjing yang dilepasliarkan tanpa ada tanda
sudah divaksinasi (penning), dan (4) Kegiatan yang melibatkan peran lintas
sektor seperti Dinas Pertanian, Peternakan, Pekerjaan Umum, Kehutanan, dan
lainnya juga masih terbatas.

Disamping itu, rekomendasi WHO untuk

memasukkan materi tentang rabies dalam pendidikan kesehatan anak sekolah


di daerah endemis yang banyak terdapat hospes reservoir seperti Bali belum
dilaksanakan.

13.4. ANALISIS GAP


Dalam program pengendalian rabies, ada beberapa yang perlu dianalisis,
antara lain ;

13.4.1. Tertularnya Daerah yang Secara Historis Dinyatakan Bebas Rabies


Secara kronologis kejadian rabies mulai di Jawa Barat (1948), lalu
menyebar ke daerah lainnya. Sampai dengan tahun 1999 hanya 5 propinsi di
Indonesia yang masih dinyatakan bebas historis rabies, yaitu Propinsi Bali,
NusaTenggara Barat, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Disamping itu

322

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

berdasarkan SK Mentri Pertanian No. 892/KPTS/TN.560/9/97, terdapat 3


propinsi yang dinyatakan bebas rabies yaitu DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Pada akhir tahun 1997, KLB (Kejadian Luar Biasa) rabies muncul di
Kab. Flores Timur-NTT sebagai akibat pemasukan secara ilegal anjing dari pulau
Buton, Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemik rabies. Pada akhir
2008 Bali mulai tertular dan Maluku pada tahun 2010. Penularan rabies di
lapangan (rural rabies) berawal dari kurang terkontrolnya mobilitas hewan
penular rabies dari daerah tertular serta adanya suatu kondisi anjing yang tidak
dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di
perdesaan yang berkembang dan sulit dikendalikan. Sampai dengan saat ini
selain beberapa provinsi di kawasan Timur Indonesia yang tersebut diatas pulau
pulau kecil di sekeliling Pulau Sumatera masih dinyatakan bebas rabies.1

13.4.2. KLB dengan Angka Kesakitan dan Kematian Cenderung Meningkat


Kejadian luar biasa yang terjadi di Bali pada November 2008, dengan
kasus yang sangat tinggi sehingga pada November 2010 dilaporkan 70.477
kasus GHPR dan 107 kasus kematian. Tingginya GHPR dan kematian akibat
rabies di Bali disebabkan karena tingginya populasi Hewan Penular Rabies
(HPR), keterbatasan dana operasional menyebabkan vaksinasi dan eliminasi
HPR belum optimal, dan pelaksanaan respon cepat juga terhambat. Tantangan
dalam pelaksanaan pengendalian rabies di Bali adalah pengaruh faktor sosial
budaya, pola pemeliharaan anjing yang dilepasliarkan, dan lemahnya
pengawasan lalu lintas anjing yang dibawa oleh masyarakat

(8)

. Berdasarkan

fokus kegiatan pada program pengendalian hewan penular rabies di Bali,


makakeberhasilan program telah dicapai dengan melakukan vaksinasi masal hal
ini menjadi salah satu model pengendalian dan penanggulangan Rabies di
Regional Asia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Fluoresent Antibody (FAT) pada saat KLB
rabies di Bali didapatkan rabies positif dari spesimen otak anjing, kucing, sapi,

323

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

kambing, dan babi. Dari seluruh otak anjing yang positif, ternyata 81% adalah
otak anjing yang dilepasliarkan, 17% otak anak anjing, 2% otak anjing rumahan
yg tidak divaksinasi.7 Tingginya kasus rabies pada anjing lepasan diduga karena
tingkat kontak antar anjing cukup intensif dibandingkan dengan anjing
rumahan. Disamping itu, upaya vaksinasi melalui suntikan pada kelompok
tersebut sulit dilakukan sehingga proses penularan rabies sulit diputus.
Kejadian rabies pada anak anjing diduga karena kelompok anak anjing ini
kebanyakan luput dari program vaksinasi (tingkat imunitas yang relatif rendah).
Selain di Bali, KLB juga terjadi di Gunung Sitoli, Nias-Sumatera Utara dan
Pulau Larat Kecamatan Tanibar Utara, Maluku. Upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah adalah melakukan surveilans dan investigasi kasus, penyediaan VAR
untuk hewan dan manusia.

13.4.3. Pengobatan dan Pemberian PET


Pada kasus gigitan hewan terangka rabies, lamanya pemberian VAR atau
kombinasi VAR dan SAR menunggu konfirmasi hasil observasi hewan yang
menggigit. Oleh karena pemberian SAR dapat menimbulkan anaphylaktic shock
dan serumsickness maka pemberiannya harus didahului dengan skin test. Hal
ini terutama pada penggunaan SAR heterolog produksi lokal dari serum kuda,
dan jika didapatkan hasil positif maka serum tidak dapat diberikan, sedangkan
serum homolog merupakan produksi dari luar.
Mengingat belum ada obat untuk penderita rabies, maka pertolongan
yang diberikan hanya merupakan pengobatan simptomatis. Penderita rabies
biasanya akan meninggal dalam 4-6 hari setelah timbul gejala. Untuk
meringankan penderitaan, pasien dirawat di ruang khusus yang tenang, gelap
dan tidak tidak terkena langsung aliran angin. Pertolongan pengobatan yang
dapat diberikan adalah obat penenang, muscle relaxan, preparat digitalis, infus
ringer lactat dan obat diureticum.

324

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Keterbatasan anggaran menuntut untuk melakukan efisiensi dalam


segala bidang. Dalam pengobatan dan pemberian PET, efisiensi dilakukan pada
kasus gigitan yang ringan atau berisiko rendah dengan pemberian vaksinasi
diberikan setelah hasil observasi hewan dan adanya indikasi rabies.

13.4.4. Pencegahan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies


a. Pencegahan Primer. Untuk daerah tertular, pemberian vaksinasi secara
berkesinambungan terhadap sumber infeksi yaitu hewan penular rabies.
Sedangkan di daerah bebas rabies perlu pengawasan ketat terhadap
mobilitas hewan penular, dan pencatatan serta pelaporan jika terjadi kasus
gigitan oleh hewan penular rabies. Untuk itu dibutuhkan komitmen yang
kuat baik dari pemerintah maupun masyarakat.
b. Pencegahan Sekunder. Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk
meminimalkan resiko tertularnya rabies adalah mencuci luka gigitan dengan
sabun atau dengan deterjen selama 5-10 menit dibawah air
mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium tincture.
Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang terdekat untuk
mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu hasil dari rumah
observasi hewan. Resiko yang dihadapi oleh orang yang mengidap rabies
sangat besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit oleh hewan tersangka
rabies atau digigit oleh anjing di daerah endemis rabies harus sedini mungkin
mendapat pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai dapat dibuktikan
bahwa tidak benar adanya infeksi rabies. Kepada para petugas kesehatan
yang menangani pasien rabies, diwajibkan menggunakan alat pelindung diri /
APD seperti kaca mata, sarung tangan, masker mulut dan hidung. Petugas
juga sudah diberikan kekebalan terhadap rabies.

325

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

13.4.5. Kebijakan
Kebijakan dalam pemberantasan dan penanggulangan rabies di Indonesia
menjadi tanggungjawab tiga kementerian. Kerjasama atau kemitraan dalam
pelaksanaan penanggulangan rabies dibentuk dalam suatu wadah yang disebut
Tikor (Tim koordinasi pemberantasan rabies) yang berada di tingkat pusat,
provinsi dan kabupaten/kota. Dalam pelaksanaannya terlihat masih bersifat t
sektoral dan belum terintegrasi dalam suatu sistem. Walapun koordinasi antar
sektor sudah berjalan, namun koordinasi tersebut belum optimal dan
memerlukan sistem terpadu yang dapat mengikat berbagai sektor dalam
penanggulangan Rabies.

13.4.6. Sistem Survailans (pencatatan dan pelaporan)


Pelaksanaan pencatatan dan pelaporan pada kasus rabies merupakan
dasar dari semua program dalam rangka pengendalian penyakit tersebut. Data
epidemiologi diharapkan dapat dikumpulkan sebaik mungkin, dianalisis,
dipetakan, dan bila mungkin segera didistribusikan kepada pemegang program.
Informasi ini juga penting untuk dasar perencanaan, pengorganisasian, dan
pelaksanaan program pengendalian.

Tingginya populasi hewan penularar

rabies liar atau dilepasliarkan, menuntut tindakan yang cepat dan


berkesinambungan dalam sistem pentatan dan pelaporan.

13.4.7. Laporan Kegiatan/Pencapaian Program


Program Pengendalian dan Penanggulangan Rabies di Bali dengan
melakukan vaksinasi masal dijadikan salah satu model pengendalian dan
penanggulangan Rabies di Regional Asia. Sejak dimulainya vaksinasi massal
anjing di Bali tahun 2010, setiap tahun sekitar 250.000 anjing telah divaksinasi
bahkan sekitar 300.000 ekor telah divaksinasi pada tahun 2013. Pendekatan
pengendalian rabies ini telah menyebabkan turunnya kematian akibat rabies

326

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

pada manusia dari 11 orang perbulan di tahun 2010 menjadi tidak ada kasus di
tahun 2013. Walaupun demikian , sistem pencatatan dan pelaporan tetap
dijalankan secara serius oleh tim kesehatan dan peternakan.
Pemerintah telah membuat sebuah peta jalan (road map) tentang
berbagai kegiatan untuk mengendalikan rabies dan menempatkan kegiatan ini
diagenda utama untuk tahun-tahun ke depan. Pemerintah Pusat berkomitmen
untuk melakukan pengendalian rabies secara progresif dimulai dari pulau per
pulau atau provinsi per provinsi; komitmen yang sama juga diharapkan dari
pemerintah daerah dengan pendanaan bersama berdasarkan strategi
penganggaran yang jelas. Pendekatan One Health akan digunakan dengan
melibatkan kesehatan Manusia dan Kesehatan Hewan dengan fokus utama
pada vaksinasi massal anjing, respon cepat terhadap kasus gigitan oleh sektor
kesehatan manusia dan kesehatan hewan dan juga vaksinasi pasca-gigitan
untuk korban. Dinas kesehatan mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada
apabila digigit anjing. Seluruh gigitan anjing harus dicuci dengan sabun dan air
mengalir selama 15 menit dan kemudian korban harus segera dibawa ke
Puskesmas untuk mendapatkan pengobatan. Dinas Peternakan meminta
masyarakat untukmmelaporkan semua gigitan anjing dan anjing yang
menunjukkan perubahan perilaku kepada Dinas Peternakan setempat.
Pemerintah Indonesia mengumumkan akan bergabung dengan negaranegara lain di kawasan Asia Tenggara untuk membebaskan Indonesia dari
rabies pada 2020. Untuk mencapai target ini, Pemerintah telah membuat
sebuah peta jalan (road map ) tentang berbagai kegiatan untuk mengendalikan
rabies dan menempatkan kegiatan ini di agenda utama untuk tahun-tahun ke
depan. Saat ini Provinsi Riau dan Sumatera Barat telah bergabung dengan
Provinsi Bali dalam pengendalian rabies melalui vaksinasi massal anjing dan
segera diikuti dengan Nias dan Flores. Peta Jalan pemberantasan rabies di
Indonesia ini berisi strategi teknis, kebutuhan logistik dan operasional, serta
anggaran yang diperlukan, dan bagaimana pembagian kewajiban dalam
pelaksanaan program.

327

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Kendala yang dihadapai dalam pengendalian rabies di beberapa daerah


endemis antara lain adalah : (1) Keterbatasan SDM terutama dokter hewan,
sehingga capaian vaksinasi HPR masih jauh dari yang ditargetkan, (2) masih
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang rabies, (3) Masih kurangnya
koordinasi pengendalian rabies antar wilayah, dan (4) Keterbatasan sarana
prasarana dan dana operasional.
Namun berdasarkan laporan studi kasus, pemberian midozolam selama 7
hari dibarengi dengan pemberian phenobarbital, ketamine dan antiviral
(ribavirin dan amantadine) yang bertujuan mengurangi kelainan yang
diakibatkan perubahan pathogenesis rabies.(3)

13.4.8. Penelitian Kesehatan Masyarakat


Penelitian Kesehatan Masyarakat di Indonesia :
1. Bidang Epidemiologi:
Proporsi kasus rabies tahun 2008-2010 meningkat secara signifikan,
kemungkinan karena HPR sulit dilaksanakan terutama adanya penolakan dari
kelompok penyayang Eliminasi binatang. Dilaporkan di negara eropa (Swiss)
telah dilakukan uji coba dengan pemberian umpan yang mengandung vaksin
dan memberikan kesuksesan.
2. Bidang Peran serta masyarakat:
a. Perlunya peningkatan peran serta masyarakat (termasuk tokoh
masyarakat) dalam pengendalian rabies sesuai dengan yang disepakati
pada komnas zoonosis.
b. Perlu pengaktifan kader dalam mengidentifikasi keberadaan HPR liar.
c. Penyuluhan rabies sangat perlu diperlukan terutama di daerah nonendemis.
d. Perlunya peningkatan peran lintas sektor dalam pengendalian rabies.

328

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

13.4.9. Penelitian IPTEK


Penelitian IPTEK Indonesia:
1. Bidang Pengobatan:
Diperlukan monitoring tatalaksana penanganan kasus gigitan rabies karena
penanganan kasus masih menjadi masalah setelah diagnosis ditegakan.
2. Bidang diagnosa:
Pengembangan metode pengambilan sampel pada penderita gigitan hewan
penular rabies. Selama ini sampel yang diperiksa adalah air liur, upaya
dilakukan percobaan mengambilan sampel urin dari luka gigitan dengan
menggunakan hewan coba.
3. Bidang molekuler:
Teknik polymerase chain reaction (PCR) untuk diagnosa awal rabies sebagai
antisipasi tindakan selanjutnya
4. Bidang Pengendalian:
Ujicoba pemberian umpan berisi vaksi pada anjing yang dilepasliarkan dan
dilakukan monitoring dengan mengukur titer antibodi pasca vaksinasi
tersebut.
Penelitian IPTEK Luar Negeri:
1. Pengobatan: Uji efik samping dari pemberian serum anti rabies yang berasal
dari kuda.
2. Penelitian pengembangan vaksin lokal Indonesia dengan masa efektif yang
lebih panjang.
3. Diagnosa: pengambilan sampel usap atau darah disekitar luka segera
mungkin dan dilakukan pemeriksaan dengan teknik PCR.
4. Molekuler Epidemiolog rabies di daerah fokus yang sering terjad KLB :
Tingginya kasus gigitan dengan kejadian rabies positif.
5. Penelitian antibodi pada penderita rabies: titer antibodi dikaitkan dengan
frekuensi vaksinasi.

329

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 13.4.1. Analisis Gap Rabies


No
1

Temuan

Program

Saran

Pemberantasan
Rabies

Komitmen global
eliminasi.
Kerjasama Lintas sektor

Strategi pencapaian eliminasi secara


bertahap:
- Perlindungan ketat daerah bebas
rabies
- Program Komnas terwujud di semua
segi

Mayoritas
masyarakat
memelihara anjing
dilepasliarkan

Belum ada Perda


mengenai cara
pemeliharaan ajning
yang baik.

- Pengendalian Rabies dijadikan


prioritas utama pada Komnas
Zoonosis.
- Peningkatan surveilan di daerah
fokus (NTT, Sulut)
- Upaya peningkatan anggaran utk
pengendalian di aderah wisata
Bali, Nias, Manado

Eliminasi anjing tidak


bertuan

- Kemenhan Pelibatan Kesehatan


Kemenhan dan TNI dalam
pengendalian zoonosis
terwujudnya
- Peran, arah kebijakan, strategi dan
upaya pelaksanaan tindakan
preventif dan promotif.
2

330

Penanganan kasus
Gigitan HPR /
tersangka rabies

1. Semua kasus GHPR


dilakukan pencucian
luka gigitan dengan
sabun/detergen dan
air mengalir selama
10-15 menit dan
segera dibawa ke Pkm

Peningkatan Pengetahuan
masyarakat akan cara pemeliharaan
anjing, risiko rabies dan cara
pertolongan dini.

2. Bila kasus
membahayakan
segera dibawa ke RS
atau Rabies Center

Peningkatan Sarana dan Prasarana


laboratorium diagnostik

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

13.5. POLICY OPTION DAN PENELITIAN


Dalam menuju eliminasi rabies, masalah utama dalam kebijakan program
adalah permasalahan yang berkaitan dengan managemen kasus.
Kebijakan penanganan kasus rabies saat ini
Penanganan rabies saat ini lebih banyak dilakukan oleh Dinas
peternakan dan Kesehatan sebagai leading sector pengendalian rabies.
Pengendalian

juga

dilakukan

dengan

pemberantasan

pengendalian

keberadaan anjing liar di daerah endemis rabies secara mekanik dan kimia.
Kebijakan pengendalian atau eliminasi
Program eliminasi rabies merupakan kesepakatan nasional dan
merupakan kerjasama kegiatan tiga kementerian Kebijakan pengendalian
rabies memerlukan peran lintas sektor lain dan berbagai tokoh masyarakat.
Dalam hal peningkatan cakupan vaksinasi hewan penular rabies di daerah
endemis.
Program pengendalian rabies yang ditegakan oleh Kementrian
Pertanian adalah meningkatkan cakupan vaksinasi dengan mengadakan
bulan vaksinasi anjing. Disamping itu juga dilakukan Pengendalian zoonosis
terpadu yang dilaksanakan berdasarkan 6 (enam) prinsip, yaitu : (1)
Mengutamakan keselamatan manusia dari ancaman zoonosis, (2) Mencegah
penularan kepada manusia dengan melakukan upaya pengendalian zoonosis
pada hewan penular, (3) Mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial, politik,
budaya, dan keamanan, (4) Menekankan upaya terintegrasi seluruh
komponen bangsa: pemerintah, dunia usaha, masyarakat, organisasi profesi,
lembaga internasional, (5) Mengacu pada kebijakan nasional dan
standar/kesepakatan internasional, (6) Berbasis pemberdayaan masyarakat,
(7) Di tingkat regional ASEAN telah tercapai.

331

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

Tabel 13.5.1. Policy Option Rabies

Masalah

Penanganan

Peran lintas
sektor belum
maksimal
dalam
pengendalian
rabies

Sektor kesehatan
sebagai leading
sector melakukan
pengobatan.

Managemen
kasus

Penegakan diagnosa
yang cepat dan tepat

Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi

Maintenance

Penelitian

- Menjaga lalu lintas - Pengaktifan kembali - Penelitian


HPR dari daerah
lintas sektor dalam
Operasional
endemis ke daerah pengendalian rabies
dalam menilai
bebas.
sesuai SK bersama 3
pelaksanaan
menteri tentang Tim
program di
- Tidak melakukan
Terpadu Pengendalian tingkat pusat,
vaksinasi anjing di
rabies.
daerah (provinsi,
daerah yang telah
dan
dinyatakan bebas. - Perlu dukungan Dinas kabupaten/kota)
Kesehatan dan stake
holder untuk
penganggaran yang
lebih besar bagi
program
pengendalian rabies
Kesiagaan dalam
SDM dengan

Pelatihan penyegaran
petugas secara
berkesinambungan

Pengetahuan,
sikap dan
perilaku petugas
dalam
penatalaksanaan
kasus rabies.

Komitmen untuk mewujudkan ASEAN bebas Rabies 2020, salah satu


upaya tersebut adalah dengan membentuk pusat koordinasi pengendalian
dan pemberantasan penyakit zoonosis tingkat regional yang dikenal dengan
Regional Coordination Mechanism (RCM). Indonesia sebagai anggota ASEAN
juga sejalan dengan visi ASEAN bebas Rabies tahun 2020 tersebut.
Pada saat ini pengendalian dan pemberantasan Rabies di Indonesia
masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi dalam suatu sistem. Walapun
koordinasi antar sektor sudah berjalan, namun koordinasi tersebut belum
optimal dan memerlukan sistem terpadu yang dapat mengikat berbagai

332

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

sektor dalam penanggulangan Rabies. Dengan adanya Perpres nomor 30


tahun 2011 tentang pengendalian zoonosis, maka diharapkan sistem
pengendalian Rabies dapat dilaksanakan dalam suatu sistem yang
terintegratif dengan keterlibatan multi sektor.

Penyusunan renstra ini

sebagai salah satu bentuk dokumen terpadu nasional yang pada tujuan
globalnya adalah untuk mencegah dan mengurangi dampak negatif akibat
bencana/wabah zoonosis.
Kebijakan pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian/eliminasi/
eradikasi rabies.
Kebijakan

pemantauan

pengendalian

rabies

adalah

perlunya

pengaktifan kembali peran lintas sektor sesuai SK Bersama Tiga Menteri


dalam Pengendalian rabies secara nasional. Selain itu khusus di daerah
fokus, selain SK Gubernur juga perlu dukungan Dinas Kesehatan dan stake
holder untuk penganggaran yang lebih besar bagi program pengendalian
rabies. Untuk peningkatan cakupan vaksinasi hewan, diperlukan peningkatan
peran masyarakat, terutama tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat,
guru, kader dalam mendapatkan hewan yang perlu divaksinasi. Penyuluhan
yang tepat tentang pentingnya vaksinasi sesuai prosedur juga diperlukan
agar hewan disekitar tidak menbahayakan. Sedangkan untuk menekan
kematian karena rabies, pelaporan dan penanganan luka secara benar
sangat diperlukan. Apabila diperlukan, dapat juga diberlakukan penetapan
pemerintah daerah tentang kewajiban penggunaan peening bagi anjing yang
berpemilik di daerah endemis.
Tantangan dalam pelaksanaan di lapangan.
Untuk mencapai tujuan eliminasi diharapkan seluruh daerah di
Indonesia sudah bebas rabies. Daerah bebas rabies (Depkes, 2000) adalah
daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies, atau
dearah yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus
secara

klinis

dan

epidemiologis

serta

sudah

dikonfirmasi

secara

333

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

laboratorium. Untuk menciptakan daerah bebas rabies diperlukan suatu


sistem yang berjalan dengan baik dengan kemitraan lintas sektor,
masyarakat, LSM, juga lembaga internasional.
Kebijakan pemeliharaan hasil eliminasi.
Agar hasil eliminasi dapat terpelihara, upaya yang dapat dilakukan
adalah mempertahankan daerah tetap bebas rabies dengan tetap
memperkuat sistem survailans, mempertahankan kemitraan dengan
masyarakat, menjaga mobilitas hewan penular rabies, menjaga kemampuan
SDM dalam penanganan kasus.

Daftar Pustaka
1.

2.

3.

4.

5.
6.

7.
8.

9.

334

Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Perencanaan


dan Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan
Tersangka/ Rabies di Indonesia.
Dirjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan,
2013

10. Lihong Tao, Jinying Ge, Xijun Wang, Hongyue Zhai,


Tao Hua, Bolin Zhao, Dongni Kong, Chinglai Yang,
Hualan Chen, and Zhigao Bu. 2010. Molecular Basis
of Neurovirulence of Flury Rabies Virus Vaccine
Strains: Importance of the Polymerase and the
Glycoprotein R333Q Mutation. Journal of Virology :
Kemeterian Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan
p.8926-8936
Program Penanggulangan rabies di Indonesia. Dirjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan, 11. Jackson AC. 2010. Rabies Pathogenesis update.
2011.
Rev Pan-Amaz Saude 1(1):167-172.
Wunner, W.H., 2002. Rabies Virus. In: Jackson, A.C., 12. Susilawathi NM. , AE Darwinata, I BNP Dwija, NS
Wunner, W.H. (Eds.), RABIES. Elsevier Science (USA),
Budayanti, GAK Wirasandhi, K. Subrata, NK
London, UK, pp. 23-61.
Susilarini, RAA Sudewi, FS Wignall, and GNK
Mahardika. Epidemiological and clinical features of
Vaughn J.B., Gerhardt P., and Newell K.W., 1965.
human rabies cases in Bali 2008-2010.
Excretion of street rabies virus in the saliva of dog. J.
Am. Vet. Med. Ass. 193: 363- 368.
13. Post exposure Treatment with the Live-Attenuated
Rabies Virus (RV) Vaccine TriGAS Triggers the
World Health Organization. WHO expert consultation
Clearance of Wild-Type RV from the Central
on rabies: first report. Geneva; 2005. p. 1-88.
Nervous System (CNS) through the Rapid Induction
of Genes Relevant to Adaptive Immunity in CNS
Jackson AC. Human disease. In: Jackson AC, Wunner
Tissue. Jianwei Li Adam Ertel Carla Portocarrero
WH, editors. Rabies. 2nd ed. London: Elsevier.
Darryll A. Barkhouse Bernhard Dietzschold D. Craig
Academic Press; 2007. p. 309-40.
Hooper and Milosz Faber Department of Cancer
http://www.coursehero.com/file/6698646/Zoonosis/Vi
Biology and Department of Microbiology and
ral Zoonosis/An Overview
Immunology, Thomas Jefferson University,
Philadelphia, Pennsylvania, USA
Gde Putra AA. 2011. Epidemiologi Rabies di Bali :
Analisis Kasus rabies pada Semi Free-ranging Dog
14. Putra, AAG., K. Hampson, J. Girardi, E. Hiby, D.
dan Signifikansinya dalam siklus Penularan rabies
Knobel, I.W. Mardiana, S.Townsend, dan H. Scottdengan Pendekatan Ekosistem. Buletin Veteriner
Orr. 2013. Response to a Rabies Epidemic, Bali,
23(78):45-55.
Indonesia, 20082011. Emerging Infectious
Alan C. Jackson. Rabies pathogenesis update. 2010.
Rev Pan-Amaz Saude 1 (1): 167-172.

Diseases, Vol. 19, No. 4.


15. Jackson, AC. 2010. Rabies pathogenesis update.
Rev Pan-Amaz Saude; 1(1): 167-172

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

16. Tao, L., J. Ge., X. Wang,


2010. Molecular Basic
of Neurovirulence of Flury Rabies Virus Vaccine
Strains: Importance of the Polymerase and the
Glycoprotein R333Q Mutation. Published Ahead of
Print 10 June 2010. J. Virol. 2010, 84(17):8926. DOI:
10.1128/JVI.00787-10.
17. Jean S. Smith, Pamela A. Yager, & George M. Baer.
A rapid reproducible test for determining rabies
neutralizing antibody. Bull. Wid Hith Org. 1973, 48,
535-541.
18. Matthias J.Schnell, Teshome Mebatsion and KarlKlaus Conzelmann. Infectious rabies viruses from
cloned cDNA. The EMBO Journal vol.13 no.18
pp.4195-4203, 1994.
19. Naoto Ito, Gregory W. Moseley, Danielle Blondel
Kenta Shimizu, Caitlin L. Rowe, Yuki Ito, Tatsunori
Masatani, Keisuke Nakagawa, David A. Jans, and
Makoto Sugiyama. Role of Interferon Antagonist
Activity of Rabies Virus Phosphoprotein in Viral
Pathogenicity.

22. Wunner, W.H., 2002. Rabies Virus. In: Jackson, A.C.,


Wunner, W.H. (Eds.), RABIES. Elsevier Science
(USA), London, UK, pp. 23-61.
23. Lentz TL, Burrage TG, Smith AL, Crick J, Tignor GH. Is
the acetylcholine receptor a rabies virus receptor.
Science. 1982 Jan; 215(4529): 182-4.
24. Vaughn J.B., Gerhardt P., Newell K.W. 1965
Excretion of street rabies virus in the saliva of dogs,
J. Am. Vet. Med. Assoc.,193, 363 368.
25. Role of Interferon Antagonist Activity of Rabies
Virus Phosphoprotein in Viral Pathogenicity. Journal
og Virplogy: p.6699-6710.
26. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk
Pemberantasan rabies di Indonesia. Dirjen
PPM&PLP. 2000.
27. Surat Keputusan Kementerian Pertanian No.
363/Kpts/Um/5/1982 tentang Pedoman Khusus
Pencegahan dan Pemberantasan Rabies.

20. Journal Of Virology, July 2010, P. 66996710.


21. Division of Viral and Rickettsial Diseases, N.C.f.Z.,
Vector-borne, and Enteric Diseases, Center for
Disease Control and Prevention (CDC), USA, 2010.
The Rabies Virus. http://www.cdc.gov, Atlanta, GA
30333, USA.

335

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

336

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAGIAN

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


1.

KESIMPULAN
Dari 13 PMN yang dikaji program pengendalian dan penelitiannya dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Penyakit menular neglected di Indonesia belum tersosialisasikan dengan baik
dan belum menyadarkan semua pihak yang bertanggungjawab termasuk
masyarakat. Penyakit menular neglected juga belum serius dikendalikan karena
dianggap merupakan masalah lokal sehingga tidak tersedia data yang sahih
sebagai dasar dan titik tolak upaya pengendalian. Dana operasional yang
ditanggung

oleh

Kabupaten/Kota

sering

membebani

APBD,

sehingga

Kabupaten/Kota kurang bersemangat dalam melakukan kegiatan untuk


eliminasi PMN. Kebijakan pengendalian PMN kurang jelas karena inkonsistensi
dan ketidakjelasan dasar struktur organisasi dan kebijakan serta kegiatan
program, tidak tersedianya SDM yang kompeten atau terlatih, dan tidak
tersedianyan sarana pemeriksaan laboratorium yang layak dan baku untuk
penentuan atau diagnosis kasus PMN. Masalah ini menjadi lebih kompleks
karena sebagian besar PMN merupakan zoonosis dimana pengendaliannya
melibatkan atau sebagai dampak dari kinerja program atau sektor lain, serta
berkaitan dengan perilaku masyarakat dan kemiskinan.
Penelitian PMN belum banyak dilakukan, sifatnya insidental dan tidak
mengarah membebaskan PMN di Indonesia. Sampai saat ini belum jelas
kebijakan prioritas penelitian dan pengembangan PMN.

337

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

2.

REKOMENDASI
Penyakit menular neglected umumnya merupakan PM yang kasusnya ter
batas, terlokalisir pada daerah atau fokus tertentu atau terisolir di daerah dengan
sanitasi tidak baik dan miskin. Rekomendasi yang dapat dipertimbangkan untuk
pengendalian PMN adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban dan kemauan semua satker Kementerian Kesehatan bersama mitra
kerja (termasuk lintas sektor), Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk
mengendalikan, mengeliminasi atau membebaskan PMN dari Indonesia.
b. Penanggungjawab, kebijakan, sasaran, program, SDM kompeten dan petunjuk
teknis pengendalian PMN yang jelas dan praktis, dengan agenda dan target
yang terintegrasi, fisibel dan rasional.
c. Pilihan kebijakan dengan pendekatan budaya setempat dengan manajemen
kesehatan masyarakat bukan individu atau kasus.
d. Kebijakan yang berbasis bukti sahih dengan kejelasan definisi kasus atau
penyakit yang ditunjang ketersediaan fasilitas pemeriksaan, alat diagnostik
baku PMN dan obat yang efektif dan aman diseluruh tempat pelayanan
kesehatan terutama di daerah PMN.
e. Pemetaan untuk data dasar, evaluasi program atau konfirmasi daerah
bermasalah atau sudah bebas PMN dengan Riset Kesehatan Nasional berbasis
PMN.
f. Pengembangan atau penelitian terobosan yang terpadu untuk mendukung
upaya percepatan pengendalian, eliminasi dan eradikasi PMN.
g. Pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan PMN yang terpadu dengan
penyakit lainnya, sistem surveilans, monitoring dan evaluasi yang ketat dan
berkesinambungan, serta jejaring kemitraan nasional dan internasional
menggunakan kemajuan teknologi informasi yang praktis.
h. PHBS dijadikan budaya kehidupan sehari-hari bagi semua kelompok
masyarakat.

338

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAGIAN

UCAPAN TERIMA KASIH


Kajian Penyakit Menular Neglected mengucapan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berpartisipasi dan berkontribusi selama penyusunan buku ini, terutama
ditujukan kepada:

Kepala Badan Litbangkes

Sekretaris Badan Litbangkes

Kepala Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan

Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik

Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang

Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung

Prof . dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.P.H

Prof. dr. Agnes Kurniawan, PhD, Sp Park

Prof. DR. dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD.KAI

Dr. Kie Chen Lee, Sp.PD

Kasubdit Pengendalian Diare dan Infeksi Saluran Cerna

Kasubdit Pengendalian Tuberkolosis

Kasubdit pengendalian Kusta dan Frambusia

Kasubdit pengendalian ISPA

Kasubdit Pengendalian AIDS dan PMS

Kasubdit Pengendalian Vector

Kasubdit Pengendalian Zoonosis

Kasubdit Filariasis dan Kecacingan

Kasubdit Pengendalian Arbovirus

Kasubdit Pengendalian Malaria


Tak lupa apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh tim Kajian Penyakit

Menular Neglected, atas kerja kerasnya dalam mendukung tersusunnya buku


Kajian Penyakit Menular Neglected ini.

339

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

340

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

BAGIAN

TIM KAJIAN

Prof. dr. Emiliana Tjitra, M.Sc, PhD

dr. Hadjar Siswantoro, M.Sc

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan


Epidemiologi Klinik

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan


Epidemiologi Klinik

dr. Armedy R Hasugian, M.Biomed

Anis Nur Widayati, S.Si, M.Sc

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan


Epidemiologi Klinik

Balai LItbang Pengendalian Penyakit


Bersumber Binatang, Donggala

341

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

342

Jastal, SKM, M.Si

Hayani Anastasia Siahaan, SKM, MPH

Balai LItbang Pengendalian Penyakit


Bersumber Binatang, Donggala

Balai LItbang Pengendalian Penyakit Bersumber


Binatang, Donggala

Made Agus Nurjana, SKM, M.Epid

Annida

Balai LItbang Pengendalian Penyakit


Bersumber Binatang, Donggala

Balai LItbang Pengendalian Penyakit


Bersumber Binatang, Tanah Bumbu

dr. Lidwina Salim, M.Si

B. Sandjaja

Balai Penelitian dan Pengembangan Biomedis,


Papua

Balai Penelitian dan Pengembangan Biomedis,


Papua

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

dr. Armaji Kamaludi Syarif

dr. Retna Mustika Indah

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan


Epidemiologi Klinik

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan


Epidemiologi Klinik

dr. Dona Arlinda

dr. M. Karyana, M.Kes

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan


Epidemiologi Klinik

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan


Epidemiologi Klinik

drh. Basundari Sri Utami, M.Kes

Drs. Ristiyanto, M.Kes

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan


Epidemiologi Klinik

Balai Besar Penelitian Vektor & Reservoir


Penyakit

343

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013

drh. Sahat Ompusunggu, M.Sc

Drh. Rita Marleta Dewi, M.Kes

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan


Epidemiologi Klinik

Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar


Kesehatan

Eni Yuwarni, SKM


Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan

344

Agus Dwi Harso, S.Si


Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa seijin penulis,


sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun.

Anda mungkin juga menyukai