Editor:
Emiliana Tjitra
Mohammad Sudomo
Muhammad Karyana
SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karuniaNya, Buku Seri Kajian Litbangkes mengenai Kajian Program dan Penelitian Penyakit
Menular Neglected dan Non-Neglected Tahun 2013 ini berhasil diterbitkan.
Kita ketahui bersama, penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia sampai saat ini. Kajian ini menjadi salah satu sumbangsih Badan Litbangkes
untuk mengatasi masalah kesehatan Indonesia. Kajian program merupakan suatu bentuk
kajian sistematik terhadap program kesehatan spesifik yang memerlukan penguasaan
dalam mengaitkan substansi dasar kelimuan penyakit tersebut dengan program
pengendaliannya. Kajian penelitian merupakan evaluasi hasil-hasil penelitian nasional
maupun internasional yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan yang ditemukan
dalam kajian program tersebut.
Sebanyak 13 penyakit menular neglected dan 8 penyakit menular non neglected
dibahas mendalam. Penyakit-penyakit tersebut adalah penyakit yang memiliki dampak
pada kesehatan masyarakat, sejalan dengan Renstra dan rekomendasi internasional.
Dikaji guna mendapat opsi kebijakan spesifik berbasis bukti sebagai masukan upaya
pengendalian penyakit tersebut.
Harapan saya agar seluruh pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan
memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan kajian ini, terutama dalam
merumuskan kebijakan dan mengembangkan program pengendalian penyakit, demi
terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Serta untuk para peneliti
khususnya, dapat terinspirasi melakukan penelitian yang lebih terarah untuk menjawab
permasalahan program.
Selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada tim peneliti Badan Litbang, para
narasumber dari program maupun universitas, serta semua pihak yang terlibat dalam
kajian ini. Kerja keras dan karya Anda selalu ditunggu demi Indonesia yang lebih baik.
Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta,
Desember 2013
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas bimbingan,
kekuatan dan ketekunan yang diberikan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan
buku Kajian Penyakit Menular Neglected.
Buku ini merupakan hasil kajian ilmiah program pengendalian dan hasil penelitian
beberapa penyakit menular neglected dari peneliti-peneliti Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Kajian
bertujuan untuk mendukung dan memberi masukan kepada pemerhati program dan
peneliti supaya upaya pengendalian penyakit neglected
tercapai.
Sebanyak 13 penyakit menular neglected yang tersebar di Indonesia (filariasis, soil
transmitted helmints/kecacingan, schistosomiasis, fasciolopsiasis, taeniasis cysticercosis,
skabies, kusta/lepra, frambusia, antraks, pes, leptospirosis, Japanese encephalitis dan
rabies) telah dikaji melalui proses atau tahapan yang cukup panjang untuk menyamakan
persepsi substansi kajian, termasuk masukan dari penanggung jawab program, pakar
dan akademisi.
Kami menyadari buku kajian ini masih belum sempurna dan memerlukan saran
konstruktif untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat untuk membebaskan Indonesia
dari penyakit menular neglected.
Kepada Bapak dan Ibu yang telah berpartisipasi, mendukung dan membantu
keberhasilan dicetaknya buku ini kami mengucapkan banyak terima kasih.
Tim kajian
ii
Ringkasan
Penyakit menular belum maksimal dikendalikan di Indonesia karena beberapa
penyakit masih terabaikan (neglected). Keberadaan penyakit menular neglected (PMN)
merupakan indikator kemiskinan Negara. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan mempunyai fungsi dan peran untuk dapat merekomendasi kebijakan dan
mendukung upaya pengendalian berbasis bukti, serta mengagendakan penelitian
terobosan melalui kajian mendalam upaya program dan hasil penelitian PMN.
Kajian dilakukan sesuai kaidah ilmiah yang meliputi beberapa tahapan. Kajian
diawali dengan penguasaan substansi bahan kajian terkini yang menjadi masalah di
Indonesia
antara
lain
keragaman
penyebab
(mikroorganisme),
epidemiologi,
adalah
cacing
(filariasis,
soil
transmitted
helmints/kecacingan,
iii
Walaupun tata laksana pengobatan PMN sudah diketahui jelas, bila tidak segera diobati
akan mengakibatkan kematian atau fatalitasnya tinggi pada beberapa penyakit antara
lain: rabies, antraks, pes, leptospirosis, dan Japanese encephalitis. Beberapa PMN juga
mengakibatkan kecacatan yaitu filariasis, cysticercosis, kusta, frambusia dan Japanese
encephalitis. Perjalanan penyakit yang kronik dapat menurunkan kualitas hidup dan
kecacatan yang mengakibatkan beban ekonomi kesehatan cukup besar. Sampai saat in
upaya pencegahan dengan vaksinasi belum tersedia kecuali untuk rabies. Upaya
pencegahan yang dapat dilakukan hanya diagnosis dini dan pengobatan cepat, serta
hidup sehat.
Sehubungan sebagian besar PMN merupakan zoonosis, tugas program
pengendalian zoonosis menjadi tumpang tindih dan rancu dengan program lain yaitu
program pengendalian kecacingan (schistosomiasis, soil transmitted helmints), tular
vektor (filariasis dan Japanese encephalitis), surveilens (Japanese encephalitis), menular
langsung (antraks, pes dan leptospirosis). Sampai saat ini belum ada kejelasan program
pengendalian fasciolopsiasis, taeniasis cysticercosis dan skabies. Sebanyak 5 PMN yang
telah mengarah ke program eliminasi yaitu kusta pada tahun 2000, pes pada tahun
2004, filariasis pada tahun 2020, dan rabies pada tahun 2020; dan program eradikasi
yaitu frambusia pada tahun 2009. Disamping itu SDM kompeten untuk program
iv
pengendalian PMN terbatas dan tumpang tindih tanggung jawabnya untuk program
pengendalian PMN lainnya. Disamping itu program pengendalian atau eliminasi tidak
optimal karena tidak ada kejelasan petunjuk teknis antara lain definisi kasus, fasilitas
untuk menegakkan diagnosi, obat yang ketersediannya terbatas atau tidak
berkesinambungan, data kesakitan dan kematian yang akurat dan sahih, kejelasan unit
jangkauan atau daerah atau fokus endemis yang perlu dikendalikan atau dieliminasi,
alokasi dana yang terbatas dan tergantung kemampuan dan komitmen daerah, serta
kerjasama lintas sektor terkait dan partisipasi masyarakat.
Laporan kegiatan pencapaian program masih terbatas dan belum ada sistem
pencatatan dan pelaporan baku yang terintegrasi dengan program penyakit lainnya.
Umumnya laporan yang tersedia adalah kejadian luar biasa (KLB). Demikian pula
penelitian yang dilakukan bersifat insidental dan belum sejalan dengan upaya
pengendalian, eliminasi atau eradikasi PMN.
vi
Daftar Isi
Hal
Kata pengantar ................................................................................................................ i
Ringkasan ....................................................................................................................... iii
Daftar Isi ........................................................................................................................ vii
Daftar Tabel .................................................................................................................... ix
Daftar Gambar................................................................................................................ xi
Daftar Singkatan ........................................................................................................... xiii
A. Sekilas Kajian Penyakit Menular Neglected ............................................................... 1
B. Kajian Penyakit Menular Neglected ........................................................................ 21
1.
Filariasis .......................................................................................................... 23
2. Kecacingan ..................................................................................................... 43
3. Schistosomiasis .............................................................................................. 67
4. Fasciolopsiasis ................................................................................................ 89
5. Taeniasis dan Cysticercosis .......................................................................... 111
6. Skabies .......................................................................................................... 133
7.
8.
9.
vii
viii
Daftar Tabel
Hal
Tabel 1.4.1.
Tabel 1.5.1.
Tabel 2.4.1.
Tabel 2.5.1.
Tabel 3.4.1.
Tabel 3.5.1.
Tabel 4.4.1.1.
Tabel 4.4.1.
Tabel 4.5.1.
Tabel 5.4.1.
Tabel 5.5.1.
Tabel 6.4.1.
Tabel 6.5.1.
Tabel 7.3.1.
Tabel 7.3.2.
Tabel 7.3.3.
Tabel 7.3.4.
Tabel 7.3.5.
Tabel 7.3.6.
Tabel 7.4.1.
Tabel 7.5.1.
Tabel 8.4.1.1.
Tabel 8.4.1.
Tabel 8.5.1.
ix
Tabel 9.2.5.1.
Tabel 9.5.1.
Tabel 9.6.1.
Tabel 10.4.1.
Tabel 10.5.1.
Tabel 11.2.5.1.
Tabel 11.4.1.
Tabel 11.5.1.
Tabel 12.4.1.1.
Tabel 12.4.1.2.
Tabel 12.4.1.
Tabel 12.5.1.
Tabel 13.4.1.
Tabel 13.5.1.
Daftar Gambar
Hal
Gambar 1.
Gambar 1.4.1.1.
Gambar 3.2.1.1.
Gambar 3.2.2.1.
Gambar 3.2.2.2.
Gambar 3.2.2.3.
Gambar 3.2.2.4.
Gambar 3.2.6.1.
Gambar 3.4.1.1.
Gambar 3.4.1.2.
Gambar 4.2.1.1.
Gambar 4.2.2.1.
Gambar 4.2.2.2.
Gambar 4.2.2.3.
Gambar 4.2.2.4.
Gambar 5.1.1.
Gambar 5.2.1.1.
Gambar 5.2.1.2.
Gambar 5.2.1.3.
Gambar 5.2.1.4.
Gambar 5.2.1.5.
xi
Gambar 5.2.1.6.
Gambar 5.2.1.7.
Gambar 5.2.1.8.
Gambar 5.2.1.9.
Gambar 5.2.4.1.
Gambar 5.2.4.2.
Gambar 7.2.2.1.
Gambar 7.2.2.2.
Gambar 7.2.4.1.
Gambar 8.4.1.1.
Distribusi kasus baru frambusia klinis di Indonesia tahun 2011 ....... 181
Gambar 10.2.1.1.
Gambar 10.2.2.1.
Gambar 10.2.2.2.
Gambar 10.4.1.
Gambar 10.4.2.
xii
Gambar 11.2.2.1.
Gambar 11.4.1.
Gambar 13.2.1.1.
Gambar 13.2.2.1.
Gambar 13.2.6.1.
Daftar Singkatan
Ab.
Antibodi
ADB
Ag.
Antigen
AI
Acrupustulosis Infantil
APBD
APBN-P
BAB
Balitvet
BBVet
BCG
Bacillus CalmetteGurin
BI
Bacterial Indeks
BLN
BSL
Biosafety Levels
BTA
cAMP
cATP
CDC
CDR
CFA
CFR
CSF
Cerebrospinal Fluid
CSIADCP
CSR
DAK
DALY
DEC
Diethylcarbamazine citrate
Dekon
Dekonsentrasi
Depkes RI
xiii
xiv
Dinkes
Dinas Kesehatan
Dirjen
Direktur Jenderal
Ditjen
Direktorat Jenderal
Ditnak
Direktorat Peternakan
DNA
Deoxyribonucleic acid
DPRD
EF
Edema Factor
EHF score
EITP
ELISA
ENL
Erythemanodosum Leprosum
ES
ExcretorySecretoryproducts
FDT
FL
Filariasis Limfatik
GLP
HSU
ICF
ICT
Immunochromatographic Test
Ig.
Imunoglobulin
ILEP
IM
Intramuscular
IR
Infection Rate
IV
Intravenous
JE
Japanese encephalitis
JMT
Kab.
Kabupaten
kb
kDa
Kemenkes
Kementerian Kesehatan
Kemkes
Kementerian Kesehatan
kg
Kg BB
KIA
KIE
KLB
KSDAI
LEC
LF
Lethal Factor
Litbang
LL
LSM
MB
MCK
MDA
MDT
Multidrug Therapy
mg
MLCwA
MLSA LAM
mm
Monev
mU
Mili Unit
NADPH
Nakes
Tenaga Kesehatan
NTD
Neglected Disease
NTT
NZDs
OYPMK
P2B2
P2PL
PA
protective antigen
PAM
PB
PCR
Perdoski
xv
xvi
PGA
Poly-D-glutamyl Acid
PHBS
PKK
PM
Penyakit Menular
PMN
PMT-AS
PNPM
PO
Peroral
POD
Prevention of Disability
POMP
PPM & PL
Promkes
Promosi Kesehatan
PSP
PU
Pekerjaan Umum
Puskesmas
QoL
Quality of Life
RDT
RFT
RNA
Ribonucleic acid
ROM
Rifampisin-Ofloksasin-Minoksiklin
rPA
RPJMN
RPR
RVS
SAPEL
SDM
SDN
SEM
SK
Surat Keputusan
SMT
SOP
STH
Subdit
Sub Direktorat
TCP
TCPS
TCT
TEM
TGD
TPE
TPPA
TRUST
TT
TTT
TTT
UKS
UPF
USD
USG
Ultrasonografi
WB
Whole Blood
WHO
xvii
xviii
BAGIAN
I.
PENDAHULUAN
Kajian kebijakan program merupakan proses sistimatik yang memerlukan
penguasaan substansi dan program,1 sedangkan kajian penelitian merupakan
evaluasi hasil penelitian yang dilakukan sesuai kebutuhan untuk menjawab
permasalahan. Kajian penelitian dapat digunakan untuk mengarahkan dan
mengidentifikasi jenis penelitian yang dibutuhkan dan tepat sasaran. Kajian
kebijakan program dan penelitian saling terkait dan harus terintegrasi. Luaran
kajian diharapkan dapat menjawab permasalahan atau mengisi gap untuk
perbaikan dan pengembangan program dan penelitian.
Penyakit
menular
(PM)
adalah
penyakit
yang
disebabkan
oleh
Kesehatan
Dunia
(World
Health
Organization/WHO)
mendukung
ketidak-berdayaan
jangka
panjang,
kecacatan,
gangguan
multidisiplin
termasuk
lingkungan,
diagnosis,
pengobatan,
ulcer,
Chagas
disease,
African
trypanosomiasis,
onchocersiasis,
melalui
vektor
atau
reservoir
(filariasis
limfatik,
Japanese
Filariasis
2.
Kecacingan
3.
Schistosomiasis
4.
Fasciolopsiasis
5.
Taeniasis Cysticercosis
6.
Skabies
7.
Kusta
8.
Frambusia
9.
Antraks
10. Pes
11. Leptospirosis
12. Japanese Encephalitis
13. Rabies
III. TUJUAN
Utama: Merekomendasi kebijakan pengendalian penyakit berbasis bukti dan
agenda penelitian PMN.
Khusus:
- Mereview masalah PMN;
- Mereview kebijakan, strategi dan program pengendalian PMN;
- Mereview laporan, data dan pencapaian program pengendalian PMN dalam
3 tahun terakhir;
- Mereview hasil penelitian PMN;
- Menganalisis gap antara kondisi faktual dan upaya program pengendalian
PMN;
- Mengidentifikasi perkembangan ilmu dan temuan baru komponen-komponen
penunjang pengendalian PMN;
- Merumuskan policy option pengendalian PMN;
- Menilai besaran beban PMN;
- Menentukan faktor atau komponen yang berperan dalam pengendalian PMN;
- Menentukan atau mengembangkan model atau teknik intervensi
IV.
METODE
IV.2. Kegiatan
Kajian ini melalui beberapa tahapan kegiatan sebagai berikut:
IV.2.1 Mereview masalah PMN dari beberapa aspek penyakit
Epidemiologi
Epidemiologi adalah pola, penyebab dan akibat dari kondisi
kesehatan dan penyakit dimasyarakat.6 Epidemiologi meliputi sebaran
penyakit dan faktor penentu yang berhubungan dengan kesehatan atau
penyakit termasuk jenis dan tingkat endemisitas atau keparahannya serta
fatalitasnya, reservoir atau hospes perantara dan vektor penular, dan
faktor risiko yang beperan atau potensial menimbulkan penyakit.
Epidemiologi PMN umumnya sebarannya terbatas, bersifat kompleks dan
sebagian besar merupakan zoonosis. Informasi atau data epidemiologi
bermanfaat untuk penentuan sasaran atau target pengendalian dan
pencegahan penyakit berbasis bukti.
Masalah
1. Epidemiologi (pemetaan
penyakit, reservoir dan
faktor risiko)
2. Patogenesis
3. Diagnosis
4. Pengobatan
5. Prognosis/prediksi/
estimasi
6. Pencegahan
PMNeglected
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Filariasis
Kecacingan
Schistosomiasis
Fasciolopliasis
Taeniasis
Cysticercosis
Skabies
Kusta/Lepra
Frambusia
Antraks
Pes
Leptospirosis
Japanese
encephalitis
Rabies
Program
1. SDM
2. Panduan/SOP/Kebijakan
(diagnosis, pengobatan,
pengendalian, monitoring)
3. Anggaran
Efisiensi
Ekonomi Kesehatan
(diagnosis, pengobatan
dan pengendalian)
Luaran
1. Policy Paper/
Kebijakan
pengendalian/
eliminasi/eradikasi
2. Prioritas penelitian
3. 1 buku/
14 manuskrip
1. Data/laporan program
2. Hasil penelitian kesmas,
klinis danteknologi
Patogenesis
Patogenesis PMN adalah mekanisme penyebab penyakit yang
merupakan keseluruhan proses perkembangan penyakit, termasuk setiap
tahap perkembangan, rantai kejadian yang menuju kepada terjadinya
penyakit dan serangkaian perubahan struktur dan fungsi setiap
komponen yang terlibat di dalamnya, seperti sel, jaringan tubuh, organ,
oleh stimulasi faktor-faktor eksternal seperti faktor mikrobial, kimiawi
dan fisis. Umumnya patogenesis PMN kompleks karena proses atau
sumbernya tidak saja di manusia tetapi juga di hospes lain atau vektor
sebagai perantara atau hospes sementara. Pengetahuan patogenesis
sebagai dasar atau kunci memecahkan, memutuskan, mengendalikan,
dan mencegah rantai proses penyakit PMN supaya dapat dieradikasi,
dieliminasi, atau dikendalikan.
Diagnosis
Diagnosis
adalah
proses
atau
kegiatan
menentukan
atau
Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan menghentikan sebelum terjadi
atau timbul penyakit. Upaya pencegahan PMN sebenarnya sangat
sederhana, murah dan dapat dilakukan yaitu pola hidup bersih dan sehat
(PHBS).
anggaran
yang
rasional
dan
berkesinambungan
untuk
Angka kesakitan
Penyakit menular neglected selalu berhubungan dengan angka
kesakitan atau morbiditas atau kejadian penyakit. Angka kesakitan yang
baik adalah dalam bentuk insidens atau prevalens, dapat juga dalam
bentuk proporsi apabila data yang tersedia terbatas diketahui, atau dalam
jumlah absolut apabila jumlah kasusnya jarang atau sulit ditemukan.
Angka kesakitan merupakan indikator utama untuk menilai besaran
masalah pengendalian penyakit dan beban penyakit, serta keberhasilan
upaya pengendalian PMN.
Angka rujukan
Penyakit menular neglected tidak jarang memerlukan rujukan
karena kasus terlupakan dan terbatas. Angka rujukan merupakan
indikator pelengkap cakupan dan angka kesakitan untuk menilai sistem,
mutu dan kemampuan tata laksana kasus program pengendalian
penyakit. Angka ini merupakan indikator proses yang cukup penting untuk
kepastian penyebab atau diagnosis penyakit, mencegah kecacatan dan
memberikan pelayanan terbaik.
Angka kesembuhan
Angka
kesembuhan
merupakan
indikator
keberhasilan
10
Angka kematian
Angka kematian biasanya berhubungan dengan tingkat keseriusan
masalah dan kinerja penanganan kasus PMN. Angka kematian juga
sebagai indikator keganasan penyakit. Umumnya angka ini digunakan
dalam bentuk angka kefatalan kasus (case fatality rate/ CFR)..
Pola/kecenderungan
Pola atau kecenderungan penyakit merupakan bagian dari data
epidemiologi. Beberapa PMN mempunyai pola atau cenderung musiman.
Oleh sebab itu penentuan pola atau kecenderungan penyakit sebaiknya
dinilai dari data minimal 3 tahun terakhir.
11
Penelitian dasar/laboratoris
Penelitian dasar PMN digunakan untuk meningkatkan pengertian
mengenai prinsip dasar penyakit, dan umumnya berhubungan dengan
laboratorium.
Penelitian sosial budaya
Penelitian sosial budaya digunakan untuk memahami karakteristik
masyarakat berisiko dan kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan pada
pengendalian PMN.
Penelitian ekonomi kesehatan
Penelitian ekonomi kesehatan digunakan untuk mencapai nilai
pengendalian PMN maksimal termasuk efektifnes klinis dan costeffectiveness
12
IV.2.6 Mengidentifikasi perkembangan ilmu dan temuan baru komponenkomponen penunjang pengendalian penyakit menular
Modeling intervensi, dan estimasi/prediksi besaran penyakit atau
keberhasilan progam.
Program pengendalian penyakit memerlukan terobosan-terobosan
inovatif yang terbukti dapat mendukung dan mempercepat pencapaian
target pengendalian, eliminasi dan eradikasi PMN.
Teknologi inovasi pemetaan, deteksi, diagnostik dan pengobatan
Perkembangan teknologi untuk menentukan besaran masalah,
penemuan kasus, dan pengobatan diperlukan untuk pelaksanakan
program pengendalian PMN yang efisien dan akurat.
Indikator, petanda/marker, dan faktor risiko penyakit
Pelaksanaan dan penilaian hasil pengendalian penyakit PMN
mengacu pada sasaran indikator baku atau terpilih atau indikator yang
dikembangkan.
13
adalah
komponen
pengendalian
PMN
yang
pengetahuan
dan
teknologi
memungkinkan
indikator-indikator
yang
sudah
teriidentifikasi
14
Saran/rekomendasi
SOP,
pedoman,
program/strategi/kebijakan
Hasil akhir kajian tidak saja berupa policy option yang dapat
diimplementasikan langsung, tetapi juga rekomendasi penelitian untuk
melengkapi data penting yang kurang atau tidak tersedia. Oleh sebab itu hasil
lain kajian adalah agenda penelitian PMN yang melalui tahapan lanjutan sebagai
berikut:
IV.2.8 Menilai besaran beban PMN
Morbiditas
Umumnya
makin
tinggi
angka
morbiditas
dan/atau
sulit
15
Mutu/kualitas hidup
Beberapa
PMN
bersifat
kronik, berulang,
komplikasi
atau
kecacatan
atau
stigma.
Penyakit
ini
seringkali
16
dan penelitian
pengendalian
PMN
melalui
penelitian
dapat
merupakan
penelitian
17
IV.3. Bahan
Bahan kajian berasal dari dokumen (peraturan, kesepakatan, kebijakan),
buku (buku ilmiah, pedoman/panduan), jurnal atau artikel ilmiah, laporan
pencapaian pengendalian PMN dari program Kementerian Kesehatan dan WHO.
Sebagai data pendukung dan pembanding adalah data hasil penelitian terkini
baik yang bersumber dari Indonesia maupun luar negeri.
IV.4 Cara
Kajian dilakukan dengan mereview dan menganalisis bahan atau sumber
data kajian yang relevan.
V.
PRODUK KAJIAN
18
PMN. Pilihan kebijakan meliputi kebijakan penanganan kasus PMN saat ini,
kebijakan pengendalian atau eliminasi atau eradikasi PMN, dan kebijakan
pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian/eliminasi/eradikasi PMN.
No
Penyakit
Goal
Filariasis
Eliminasi
Kecacingan
Eliminasi
Schistosomiasis
Eliminasi
Fasciolopsiasis
Eliminasi
Taeniasis Cysticercosis
Eliminasi
Scabies
Eradikasi
Kusta/Lepra
Eradikasi
Frambusia
Eradikasi
Anthraks
Eliminasi
10
Pes
Eradikasi
11
Leptospirosis
12
Japanese encephalitis
13
Rabies
Eliminasi
19
Produk atau luaran penelitian pengendalian PMN dapat berupa teori baru,
model pengendalian penyakit, alat dan teknik diagnostik, obat baru program,
atau vaksin.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
20
4.
5.
6.
BAGIAN
Filariasis
2.
Kecacingan
3.
Schistosomiasis
4.
Fasciolopsiasis
5.
Taeniasis Cysticercosis
6.
Skabies
7.
Kusta
8.
Frambusia
9.
Antraks
10. Pes
11. Leptospirosis
12. Japanese Encephalitis
13. Rabies
21
22
BAB
FILARIASIS
Hadjar Siswantoro
1.1.
PENDAHULUAN
Filariasis di Indonesia merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan
oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan B. timori yang ditularkan oleh
nyamuk sebagai vektor.
Di Indonesia,
ditemukan oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889 di Jakarta.1 Sejak tahun 1975
program pengendalian filariasis nasional didirikan dan mulai melakukan strategi
kontrol filariasis dengan pemberian pengobatan massal diethylcarbamazine citrate
(DEC).2
Walaupun penyakit ini telah dikenal dan dilakukan upaya penanggulangan
sejak lama namun hingga kini masih merupakan masalah kesehatan di masyarakat.
Filariasis tidak menimbulkan kematian, namun Badan Kesehatan Dunia menyatakan
bahwa penyakit tersebut merupakan penyebab kedua kecacatan permanen di
dunia. Filariasis juga menimbulkan stigma sosial di masyarakat dan berdampak
pada tingginya kasus perceraian dan sulitnya mendapatkan pasangan hidup.3 Di
Indonesia, akibat seringnya serangan akut menyebabkan penderita mengalami
kerugian ekonomi hingga 17,8% dari biaya rumah tangga atau 32,3% dari biaya
makan keluarga.4
23
1.2.
1.2.1. Etiologi
Di Indonesia ditemukan enam tipe cacing filaria pada manusia berdasarkan
sifat periodisitasnya dalam peredaran darah tepi, yaitu: Wuchereria bancrofti tipe
perkotaan, W. bancrofti tipe pedesaan, Brugia malayi tipe periodik nokturna,
B. malayi tipe subperiodik nokturna, B. malayi tipe non periodik dan B. timori tipe
periodik nokturna.4
1.2.2. Epidemiologi
Di Indonesia parasit W.bancrofti tersebar di wilayah Jambi dan Papua,
B. malayi tersebar diwilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan di kepulauan
sekitarnya. Sedangkan B.timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan
Sumba.4 Saat ini telah teridentifikasi lima genus vektor filariasis yaitu: Mansonia,
Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang terdiri atas 23 spesies nyamuk vektor
filariasis.4
Selain manusia, hewan lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis)
dan kucing (Felis catus) dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis
(B.malayi tipe subperiodik nokturna dan B. malayi tipe non periodik).5
Penularan filariasis dikaitkan dengan mobilitas penduduk dari suatu wilayah
endemis ke wilayah non endemis atau sebaliknya (transmigrasi). Pembangunan
proyek irigasi, bisa menjadi sarana perindukan vektor nyamuk yang memungkinkan
terjadinya
penularan.
Pertumbuhan
ekonomi
tanpa
diikuti
peningkatan
24
1.2.3. Patogenesis
Infeksi filariasis diawali pada saat nyamuk infektif menggigit manusia. Larva
L3 akan keluar dari probosis nyamuk dan melalui bekas luka gigitan nyamuk masuk
menembus dermis dan bergerak menuju sistem limfe. Sistem limfe berfungsi
antara lain untuk menyaring dan menghancurkan mikroorganisme untuk
menghindarkan penyebaran serta menghasilkan zat kekebalan tubuh. Larva L3 akan
berubah menjadi larva L4 pada hari 9-14 setelah infeksi dan akan mengalami
perkembangan menjadi cacing dewasa dalam 6-12 bulan.
Setelah proses inseminasi/reproduksi, zigot menjadi telur, telur menjadi
mikrofilaria. Cacing betina dewasa akan melepaskan ribuan mikrofilaria yang
mempunyai
selubung
(kulit
telur
yang
memanjang
dan
menyelubungi
25
1.2.4. Diagnosis
Alat diagnostik filariasis ideal adalah yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas
tinggi di berbagai tingkat prevalensi dan beban parasit, mudah ketersediaannya,
mudah digunakan, efektif dan biaya terjangkau6. Filariasis didiagnosis dengan cara
sebagai berikut:
1. Deteksi mikrofilaria secara mikroskopis
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku program untuk mendeteksi
keberadaan mikrofilaria dalam darah. Selain untuk menegakkan diagnosis
penyakit, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan status dan evaluasi
endemisitas suatu wilayah setelah pengobatan massal selesai. Permasalahannya
adalah pengambilan darah dilakukan pada malam hari karena munculnya
mikrofilaria antara pukul 22.00 02.00. Selain itu proses pembuatan serta
pewarnaan sediaan darah juga memakan waktu (tidak praktis) sehingga
berdampak tidak nyaman bagi pemeriksa maupun masyarakat. Pemeriksaan ini
juga kurang sensitif (insensitive) karena tidak mampu mendeteksi infeksi ringan
(infeksi prepaten).8 Selain itu saat proses, menggunakan zat antikougulan darah
dapat menyebabkan berkurangnya jumlah mikrofilaria dalam sediaan sehingga
sulit terdeteksi.
2. Deteksi antigen yang beredar dalam sirkulasi
Pemeriksaan pengenalan antigen filaria dalam darah (CFA/circulating
filarial antigen) dengan pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent tes (ELISA)9
dan tes
diagnosis filariasis Bancroftian. Tes CFA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
sangat baik, tidak terpengaruh oleh periodisitas, dan dapat mendeteksi kedua
kasus microfilaraemic dan amicrofilaraemic.9
26
1.2.5. Pengobatan
Saat ini terdapat dua cara pengobatan filariasis, yaitu: pemberian obat masal
pencegahan (POMP), dan selektif/individu. Pengobatan selektif berperan untuk
mencegah bertambah parahnya penyakit dengan membunuh cacing dalam tubuh
penderita. Pengobatan ini diberikan pada individu dengan parasit filaria dalam
tubuh atau penderita filariasis klinis kronis tanpa mikrofilaria. Tatalaksana kasus
individu terdiri dari: pengobatan dan perawatan yang dilakukan secara bersamaan
untuk hasil yang baik. Obat yang dianjurkan adalah DEC dengan dosis
5mg/kbBB/hari selama 10 hari.13 Jika disertai serangan akut/filariasis akut, maka
harus diobati dulu gejala akutnya dengan obat simptomatik dan antibiotik bila ada
infeksi sekunder. Perawatan kasus dengan gejala klinis akut selain diberikan obat
simptomatis/antibiotik, juga dilakukan perawatan pembersihan luka/lesi (bila ada
abses diinsisi). Sedangkan perawatan kasus dengan gejala klinis kronis adalah
27
(mikrofilaria rate > 1%), setelah sebelumnya dipastikan melalui survei darah jari
filariasis di wilayah tersebut. Kegiatan ini dilakukan untuk memutus penularan
filariasis di masyarakat. Penularan akan menurun atau tidak ada penularan jika
jumlah mikrofilaria yang beredar dalam masyarakat sangat rendah sehingga
meskipun ada vektor nyamuk namun gigitannya tidak bisa menularkan karena
rendahnya mikrofilaria dalam darah penderita.14 Pengobatan dilakukan dengan
menggunakan kombinasi: Dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kgBB dan albendazol dosis
sesuai dengan berat badan, diberikan dalam dosis tunggal sekali setahun berturutturut selama minimal 5 tahun. Sasaran pengobatan massal adalah seluruh
penduduk yang tinggal di daerah endemis secara blanket approach, kecuali anakanak berusia < 2 tahun, ibu hamil dan menyusui, orang yang sedang sakit, orang tua
yang lemah, penderita serangan epilepsi.
15
diberikan tanpa memeriksa satu persatu lebih dahulu apakah seseorang menderita
filariasis atau tidak.15
Permasalahan yang biasa timbul akibat pemberian obat massal adalah
timbulnya kejadian ikutan obatseperti: demam, gatal, myalgia, sakit kepala dan
adenolimfangitis.16
1.2.6. Prognosis
Prognosis penyakit filariasis menjadi tidak baik apabila penderita terlambat
didiagnosis dan menjadi klinis kronis sehingga sulit disembuhkan karena sudah
banyak terjadi kerusakan jaringan.
28
1.2.7. Pencegahan
Beberapa upaya dilakukan untuk pencegahan filariasis, seperti: pengendalian
vektor, menghindari gigitan nyamuk menggunakan kelambu dan anti nyamuk.
Walaupun beberapa upaya pengembangan vaksin dilakukan, hingga kini belum
menjadi kenyataan. Pengendalian vektor nyamuk akan berperan jika dilakukan
terintegrasi dengan program malaria, mengingat kesamaan spesies vektornya
(Anopheles sp.).
1.3.
29
POMP,
evaluasi
1.4.
ANALISIS GAP
30
2012 menunjukkan masih terdapat 60,3% (181/300) kab/kota endemis yang belum
dilakukan POMP; 73,1% (87/119) kab/kota masih berproses POMP (minimal 5
tahun); dan
(lihat gambar
39,6% (197)
Kab/Kota non-endemis
60,3% (181)
Kab/Kota belum POMP
26,9% (32)
Kab/Kota lengkap
POMP
21,9% (7)
Kab/Kota belum TAS
48% (12)
Kab/Kota mf > 1%
Gambar 1.4.1.1. Hasil Kegiatan program filariasis dalam rangka eliminasi tahun 2012
31
32
25
33
10
34
rate-nya < 1% maka tidak dilakukan kegiatan POMP. Sebaliknya jika hasil
mikrofilaria rate-nya > 1%, maka dilakukan kegiatan POMP. POMP adalah kegiatan
pemberian obat DEC kombinasi Albendazol dengan dosis sekali minum per tahun
selama minimal 5 putaran (5 tahun). Hal ini dilakukan untuk menurunkan risiko
penularan mikrofilaria oleh nyamuk vektor dalam wilayah tersebut. DEC berperan
dalam membunuh mikrofilaria, sedangkan albendazol
membunuh cacing
35
rencana POMP, seleksi yang bisa minum obat, sebagai pengawas minum obat dan
lain-lain.
Kendala selanjutnya adalah berdasarkan laporan subdit. filariasis pada tahun
2011, cakupan penatalaksanaan terhadap kasus klinis kronis di Indonesia hanya
45,6% dan
belum seperti yang diharapkan yaitu 90%. Hal ini terkait dengan
36
1.4.2. Penelitian
1.4.2.1. Penelitian Kesehatan Masyarakat
Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 melaporkan angka prevalensi klinis
filariasis (berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan dan keluhan responden
dalam 12 bulan terakhir) adalah sebesar 1.1 permil. Hasil sensus penduduk 2007,
jumlah penduduk Indonesia adalah 234.693.997 orang, sehingga jumlah penderita
klinis filariasi adalah 258.000 orang. Hal ini menunjukkkan tingginya kasus klinis
filariasis di masyarakat dibangdinkan yang berobat ke puskesmas.
Hasil laporan Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011 oleh Badan Litbangkes,
menunjukkan bahwa persentase Puskesmas yang melakukan kegiatan program
filariasis adalah 42%. Persentase Puskesmas yang mengikuti pelatihan filariasis dan
yang memiliki buku pedoman penanggulangan filariasis adalah 9,2% dan 32,2%.
Hasil penelitian terhadap faktor risiko kejadian filariasis di Bone Bolango,
Gorontalo pada tahun 2008, menunjukkan bahwa faktor perilaku/kebiasaan (tidak
memakai baju lengan panjang) dan faktor lingkungan (rawa/tempat perindukan
37
38
Temuan
Program
Saran
Penemuan kasus
klinis kronis
Sulitnya pengendalian
vektor nyamuk
Integrasi program
malaria
Rendahnya PSP
kesehatan terkait FL
Promkes
Peningkatan promkes
Diagnosis dini FL
Meningkatkan
kompetensi
mikroskopis
Pelatihan penyegaran
Luasnya cakupan
wilayah POMP adalah
kab/kota
Partial tingkat
kecamatan/Desa
diperluas
kabupaten/kota
Rendahnya komitmen
para stakeholder di
daerah utk MDA
Sosialisasi dan
advokasi
Sosialisasi dan
advokasi
5 th)
39
1.5.
peningkatan
penanganan
kasus
filariasis
memerlukan
eliminasi
pengobatan massal).
40
melalui
multiintervensi
(kualitas
diagnostik
dan
Masalah
Penanganan
Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi
Maintenance
Penelitian
Tingginya
Wilayah
endemis dan
belum
dilakukan MDA
Sosialisasi &
advokasi
Peningkatan
Surveilans & Peran
Serta Aktif
Masyarakat dalam
penemuan kasus
pengobatan selektif
Surveilans
Operasional Riset
Diagnostik
kurang akurat
Pelatihan
mikroskopis
Peningkatkan
kompetensi
pemeriksaan
mikroskopis
Refresh Training
Alat diagnostik
alternative (Uji
RDT)
Rendahnya
cakupan
Pengobatan
kasus dini
Surveilans aktif
& pengobatan
selektif
Peningkatkan
kompetensi
diagnostik &
pengobatan petugas
kesehatan
Refresh Training
Operasional Riset
Rendahnya
cakupan MDA
Cakupan
Kab/kota
endemis
Cakupan wilayah
Kecamatan/ Desa
(kantong) endemis
Surveilans
Operasional Riset
Target Eliminasi
tahun 2020
MDA dan
pengobatan
klinis kronis
Percepatan eliminasi
melalui kegiatan
multiintervensi
Surveilans
Operasional Riset
(multi intervensi)
Daftar Pustaka
1. Haga J Ev. Elephantiasis scroti et penis. I. Operatie. II.
Mikroskopisch onderzoek. . Geneesk Tijdschr Nederl
Indie 1889; 29 102 -13.
41
10. Weil GJ, Lammie PJ, Weiss N. The ICT Filariasis Test:
A rapid-format antigen test for diagnosis of
bancroftian filariasis. Parasitol Today.
1997;13(10):401-4. Epub 2004/07/28.
11. Supali T, Rahmah N, Djuardi Y, Sartono E, Ruckert P,
Fischer P. Detection of filaria-specific IgG4 antibodies
using Brugia Rapid test in individuals from an area
highly endemic for Brugia timori. Acta Trop.
2004;90(3):255-61. Epub 2004/04/22.
12. Rahmah N, Lim BH, Khairul Anuar A, Shenoy RK,
Kumaraswami V, Lokman Hakim S, et al. A
recombinant antigen-based IgG4 ELISA for the
specific and sensitive detection of Brugia malayi
infection. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2001;95(3):2804. Epub 2001/08/09.
13. Jamail M, Andrew K, Junaidi D, Krishnan AK, Faizal M,
Rahmah N. Field validation of sensitivity and
specificity of rapid test for detection of Brugia malayi
infection. Trop Med Int Health. 2005;10(1):99-104.
Epub 2005/01/19.
42
BAB
KECACINGAN
Armedy Ronny Hasugian
2.1.
PENDAHULUAN
Kecacingan adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing yang
hidup dalam usus manusia. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan,
kecacingan
Indonesia
dikaitkan
dengan
infeksi
Soil
Transmitted
endemis.1,3
Program
pengendalian
dengan
deworming
telah
dilaksanakan sejak tahun 2000 tidak berhasil baik termasuk di Indonesia. Angka
cakupan program pengendalian dari tahun 2003 2011 masih rendah.6 Oleh
43
2.2.
2.2.1. Etiologi
Penyebab infeksi Kecacingan adalah telur cacing infektif dari Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura dan larva Cacing Tambang (Necator americanus
dan Ancylostoma duodenale).
2.2.2. Epidemiologi
Pemetaan Penyakit
Setiap individu dapat terinfeksi cacing, Kecacingan berhubungan
dengan gaya atau pola hidup, kemiskinan, dan sanitasi lingkungan.
Keragaman tingkat sosial dan perilaku masyarakat, memungkinkan
kecacingan tersebar di Indonesia.
Reservoir
Infeksi KECACINGAN dapat juga terjadi pada hewan seperti babi yang
diinfeksi A. suum, babi dan lemur diinfeksi T. trichiura, anjing serta kucing
diinfeksi cacing tambang (A. braziliense dan A. caninum).7,8 Hewanhewan
tersebut diatas juga merupakan hewan yang hidup dan berkembang biak
dekat dengan manusia. Walaupun infeksi melalui telur dan larva dari hewan
ke manusia sangat jarang, namun kemungkinan penularan dapat terjadi
karena spesies cacing pada hewan mirip dengan manusia.7,9
44
Faktor Risiko
Anakanak pra dan sekolah merupakan kelompok berisiko kecacingan.3
Anak-anak menjadi sasaran utama dari program pengendalian kecacingan
karena infeksi kronis akibat infeksi KECACINGAN akan mengganggu
pertumbuhan dan kecerdasan karena kehilangan nutrisi terus menerus yang
akhirnya menyebabkan malnutrisi. Kelompok risiko lainnya yang mudah
terinfeksi STH adalah wanita hamil dan menyusui yang hidup di wilayah
dengan sanitasi buruk serta kelompok pekerja di pertanian dan
pertambangan.3,4,10
Faktor risiko lain adalah perilaku hidup yang tidak sehat. Lingkungan
rumah yang tidak bersih dan sanitasi lingkungan rumah yang tidak sehat
dapat disebabkan oleh pola perilaku penghuninya. Selain itu perilaku
defekasi yang tidak pada tempatnya atau penggunaan sumber air yang tidak
bersih yang menyebabkan individu dan masyarakat mudah terinfeksi STH.3,11
Secara umum sumber air minum di Indonesia berasal dari sumur dan
PAM. Air sungai masih digunakan di beberapa daerah sebagai sumber air
yang sangat berisiko. Penelitian terhadap air sungai di Jakarta Utara
didapatkan lebih 50% air sungai mengandung telur Ascaris lumbricoides.
Sumber air yang tidak bersih ini menjadi tempat berkembangnya telur cacing
STH sehingga menjadi faktor risiko bagi infeksi KECACINGAN.
Kemiskinan meningkatkan kejadian penyakit akibat hidup dan tinggal di
lingkungan tidak layak.12
45
2.2.3. Patogenesis
Infeksi A. lumbricoides dan T. trichiura terjadi melalui masuknya telur ke
tubuh manusia sementara Cacing tambang menginfeksi melalui infasi larva
infektif ke kulit manusia. Gejala klinis yang muncul terjadi setelah telur menetas
menjadi larva dan melewati organ tubuh manusia termasuk melintasi paru
paru (lung migration).15,16 Manifestasi yang muncul pada Ascaris lumbricoides
diantaranya syndrome Loeffler17-19, gangguan nutrisi seperti Stunting20-22.
Kemudian pada cacing tambang memicu syndrome Wakana, ground Itch dan
creeping eruption, dan anemia yang dapat menyebabkan gangguan jantung,
paru, dan hambatan pertumbuhan fisik serta mental.16,21,23 Sementara pada T.
trichiura manifestasi yang muncul adalah rectal prolepsusanemia, diare
(Trichiuris Dysentri Syndrome), gangguan nutrisi dan clubbing finger.23,24
Malnutrisi terjadi karena peradangan usus yang kronis akibat infeksi
kecacingan.
Malnutrisi
menyebabkan
gangguan
pertumbuhan
seperti
2.2.4. Diagnosis
Diagnosis pasti dari pemeriksaan infeksi STH adalah ditemukannya cacing
dewasa atau telur pada feses terduga terinfeksi.
46
2.2.5. Pengobatan
Obat yang direkomendasikan WHO untuk pengobatan kecacingan adalah
dosis tunggal albendazole 400 mg dan mebendazol 500 mg.3,28 Albendazol
adalah obat antihelmintes yang bersprektum luas bersifat vermisidal, ovisidal
dan larvasidal, bekerja dengan menghambat polimerase tubulin sehingga
mengganggu pembelahan sel, dan menganggu penyerapan glukosa sehingga
cacing mati kekurangan energi. Mebendazol juga mempunyai kerja yang sama
dengan albendazol, namun cure rate nya pada T.trichiura dan cacing tambang
dibawah albendazol. Obat lainnya yang dapat diguanakan adalah Pirantel
pamoat, walaupun cure ratenya terbatas hanya pada ascariasis dan cacing
tambang. Pirantel pamoatmenyebabkan paralisis spastic pada cacing.
Program Pengendalian KECACINGAN di Indonesia telah menggariskan
bahwa kedua obat tersebut digunakan untuk pengobatan KECACINGAN.
Penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan yaitu untuk pengobatan spesifik
dan preventif. Untuk pengobatan spesifik sangat bergantung pada kesadaran
seseorang dalam memeriksakan diri atau saat muncul gejala klinis. Sementara
untuk pengobatan preventif ditujukan pada kelompok anak pra dan sekolah.
Metode pengobatan preventif telah tertuang pada program Pengendalian
KECACINGAN.
2.2.6. Prognosis/prediksi/estimasi
Prognosis infeksi KECACINGAN sangat tergantung dengan intensitas
infeksi dan manifestasi klinis.Walaupun kematian sangat jarang namun dapat
47
2.2.7. Pencegahan
Sanitasi dan lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi kecacingan,
masalahnya pembangunan infrastrukur sanitasi dan memelihara lingkungan
yang bersih memerlukan biaya besar dan dukungan kebijakan yang kuat.37
Selain itu rendahnya kebiasaan hidup sehat yang berkaitan dengan kemiskinan
dan prilaku juga mempermudah infeksi KECACINGAN.10
2.3.
48
49
masih
ada
yaitu
memastikan
semua
pemerintah
39
daerah
Namun proses
Pengendalian
kecacingan
di
Indonesia
menggunakan
pada
program
pengendalian
kecacingan.
Namun
hasil
50
Untuk tahap kedua yaitu tahun 2011 sampai dengan 2020 target yang
ditetapkan tidak berubah dan rekomendasi WHO tersebut telah dilakukan
dan masuk dalam Program Pengendalian KECACINGAN. Berbagai macam
kendala yang terjadi pada periode sebelumnya telah dievaluasi dan
diupayakan jalan keluar yang dapat dilakukan.
Kendala yang dihadapi sehingga target tersebut tidak tercapai
diantaranya adalah orang yang mempunyai kapasitas untuk mobilisasi
kegiatan deworming STH masih kurang, dukungan teknis dari pemerintah
termasuk akademisi serta peneliti belum memadai,
pemetaan
kesulitan dalam
target, yang hasilnya terjadi bias data dari aktivitas deworming, kesulitan
dalam mengeluarkan rekomendasi walaupun manual sudah dikeluarkan
WHO,
program
dilakukan
tidak
dapat
diprediksi,
sistem
pelaporan
yan
51
swasta seperti LSM dalam hal transformasi data sehingga data akurat
tentang capaian target tidak jelas. 3
2.4.
ANALISIS GAP
Dalam upaya menurunkan infeksi KECACINGAN berbagai upaya telah
dilakukan sebelumnya.Namun hingga saat ini program pengendalian masih
belum menjawab permasalahan infeksi kecacingan (tabel 2.4.1).
Data kecacingan
Salah satu penyebab pencapaian program pengendalian kecacingan
belum tercapai karena data prevalensi dan pemetaan kasus infeksi
kecacingan belum tersedia sehingga capaian tidak dapat dinilai. Proses
pendataan yang tidak periodik dan bervariasi antara setiap daerah
menyebabkan data belum bisa menjadi angka prevalensi mewakili Indonesia
termasuk
di Indonesia.
program yang
berlangsung saat ini untuk tahun 2011 hingga 2020 belum diketahui
52
53
dapat berjalan dengan baik kerjasama lintas program dan sektoral serta
masyarakat sebaiknya berjalan dengan harmonis.
Reservoir
Kemungkinan adanya reservoir pada infeksi kecacingan perlu diteliti
lebih lanjut karena kedekatan manusia dengan ternak dan belum ada
program pengendaliannya. Kerjasama lintas sektoral dengan Dinas
Peternakan dan Hewan diperlukan untuk mengembangkan dan menentukan
mekanisme pencegahan infeksi kecacingan dari binatang ke manusia.
Diagnostik
Penggunaan teknik diagnostik baku Kato Katz masih belum dapat
dilaksanakan di pelayanan primer, dan hanya dilakukan di penelitian.
Metode ini membutuhkan SDM dan laboratorium yang layak karena
tekniknya lebih kompleks jika dibandingkan dengan metode konvensional
yaitu pemeriksaan langsung ataupun dengan pewarnaan Lugol. Pada
umumnya metode konvensional yang digunakan secara luas pada pelayanan
primer di Indonesia. Cara atau teknik ini dapat membantu diagnosis untuk
pengobatan
infeksi
kecacingan
walaupun
akurasinya
lebih
rendah
54
55
Pencegahan
Pencegahan infeksi kecacingan memerlukan perilaku, sanitasi dan
lingkungan bersih. Perbaikan sanitasi dan pola hidup bersih merupakan
strategi utama untuk mencegah infeksi kecacingan.3,12,26,39 Penelitian kohort
program Blue Bay di Brazil terhadap daerah sebelum dan sesudah di
intervensi didapatkan terjadi penurunan infeksi kecacingan yang bermakna.
Program tersebut merupakan jejaring sistem penanganan limbah dan sistem
sanitasi.50,51 Di Bali, infeksi kecacingan sangat bergantung pada lingkungan
tanah di lokasi kerja atau tempat tinggal individu penderita. 52 Sanitasi yang
bersih saja tidak cukup untuk menghadapi infeksi cacingan tetapi harus
diperkuat dengan upaya perilaku higenitas perorangan.53 Sikap dan tindakan
individu berperan dalam upaya pengendalian kecacingan di Sumatera. 54
Berbagai program promotif, preventif sudah ada misalnya program cuci
tangan, pakai alas sepatu, buang sampah pada tempatnya, tetapi lingkungan
dan perilaku masyarakat tidak banyak berubah dan belum menjadi bagian
dari hidup warga Indonesia. Program PHBS dan pembangunan infrastruktur
yang dilakukan pemerintah ternyata belum mampu mengatasi permasalahan
ini. Pendekatan filosofi yang menjadikan kebersihan menjadi bagian hidup,
pengembangan kembali wilayah percontohan serta meningkatkan kerjasama
lintas sektoral serta peningkatan peran serta masyarakat dapat menjadi jalan
untuk tercapainya upaya pencegahan masalah kecacingan. Imunisasi
merupakan salah satu cara pencegahan terhadap penyakit. Pengembangan
vaksin memerlukan dana yang besar dan pengembangan masih sebatas pada
hewan
coba,
sehingga
masih
memerlukan
waktu
untuk
dapat
56
Temuan
Program
Saran
Pengembangan sistem
pencatatan dan pelaporan
terpadu penyakit negcleted
termasuk Kecacingan
2.a
2.b
Pengembangan sistem
pencegahan terpadu pada
kelompok berisiko dan
peningkatan kerjasama lintas
program dan sektoral
2.c
Pendekatan sosio-kultural.
Kerjasama lintas program dan
sektoral ditingkatkan.
2.d
57
No
Temuan
Program
Saran
Penelitian/uji diagnostik
kecacingan (akurasi, konversi,
modifikasi dari tehnik) antara
teknik konvensional versus
Kato Katz. Penetapan metode
Kato Katz untuk konfirmasi di
pusat, penelitian atau
laboratorium sentral
Program preventif,
promotif melalui PHBS,
2.5.
58
dan diselesaikan (tabel 3.5.1) yaiu belum adanya sistem pencatatan dan
pelaporan yang valid dan terpadu untuk penyakit neglected termasuk
kecacingan, program deworming yang belum optimal, dan pengendalian faktor
risiko infeksi kecacingan.
a. Sistem pencatatan dan pelaporan yang valid dan terpadu untuk penyakit
neglected termasuk kecacingan
Penentuan besaran masalah memerlukan data pendukung yang valid
untuk mengambil suatu kebijakan. Prevalensi kecacingan hingga saat ini
belum diketahui dengan pasti karena tidak adanya sistem pencatatan dan
pelaporan terpadu penyakit neglected termasuk kecacingan. Komitmen
pemerintah sangat penting untuk mendapatkan data prevalensi yang
dibutuhkan. Komitmen akan mempengaruhi dampak kebijakan yang
dikeluarkan. Komitmen pemerintah mengendalikan kecacingan belum
optimal dan membutuhkan alokasi dana dan regulasi yang jelas untuk
pengendalian.59
Di era desentralisasi
dan
pelaporan
bekerjasama
dengan
bidang
program
59
Pengendalian
kecacingan
melalui
program
deworming
60
perlu dilakukan dari 75% menjadi 50% ataupun jumlah lainnya yang
61
terlibat akan membuat program ini berjalan dengan baik dan terus menerus
sehingga upaya untuk memfalsafakan kebersihan menjadi budaya hidup
berhasil.
Penanganan
Pengendalian
/Eliminasi/
Eradikasi
Sistem
pencatatan dan
pelaporan
terpadu
penyakit
neglected
termasuk
kecacingan
belum ada
Komitmen pemerintah
dalam pengembangan
dan pelaksanaan
sistem pencatatan dan
pelaporan terpadu
Pengendalian
infeksi
kecacingan
berbasis bukti
Regulasi , petunjuk
teknis untuk
pelaksanaan dan
pengembangan sistem
pencatatan tugas dan
tanggungjawab setiap
pihak yang terlibat
Penelitian
operasional
surveilans
berbasis
penyakit
neglected dan
pengembangan
sistem
pencatatan
Program
deworming
belum tercapai
Komitmen pemerintah
dengan diterbitkannya
petunjuk teknis
termasuk dana
operasional kegiatan
dan keterlibatan lintas
program dan sektoral
Pengendalian
berupa
Ketersediaan
obat cacing
dan SDM
trampil/komp
eten
Penelitian
berbasis
monitoring dan
evaluasi uji
obat
deworming dan
uji diagnostik
Pengendalian
faktor risiko
termasuk
pencegahan
infeksi
kecacingan
belum
memberikan
hasil yang
bermakna
Didukung peraturan
pemerintah tentang
kebijakan pengobatan
kelompok berisiko dan
pengembangan
wilayah percontohan
Pengendalian
melalui
diterbitkannya
petunjuk
teknis
pelaksanaan
PHBS, UKS dan
wilayah
percontohan
Komitmen pemerintah,
pembagian tugas dan
tanggung jawab yang
jelas dalam
pelaksanaannya antara
semua pihak yang
terlibat. Upaya untuk
memacu kebersihan diri
dan lingkungan dengan
melakukan perlombaan
kesehatan dan lainnya.
Penelitian
sosial-budaya
serta ekonomi
kesehatan dan
faktor risiko
untuk
menentukan
luasnya besaran
62
Maintenance
Penelitian
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
http://www.who.int/neglected_diseases/diseases/e
n/ tanggal 21 januari 2013.
5.
6.
7.
8.
9.
63
17. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/
000628.htm. 4 Desember 2012.
18. Materaa G, Giancottia A, Scalisea S, Pulicaria MC,
Masellib R, Piizzib C, et al. Ascaris lumbricoidesinduced suppression of total and specific IgE
responses in atopic subjects is interleukin 10independent and associated with an increase of
CD25+ cells. Diagnostic Microbiology and Infectious
Disease 2008;62:280 - 6.
19. Sarinas P, Chitkara R. Ascariasis and hookworm.
Semin Respir Infect. Jun 1997;12(2):130 - 7.
20. Larocque R, Casapia M, Gotuzzo E, Gyorkos TW.
Relationship Between Intensity Of Soil-Transmitted
Helminth Infections And Anemia During Pregnancy.
Am J Trop Med Hyg. 2005;73(4):783 - 9.
21. Ngui R, Lim YAL, Kin LC, Chuen3 CS, Jaffar S.
Association between Anaemia, Iron Deficiency
Anaemia, Neglected Parasitic Infections and
Socioeconomic Factors in Rural Children of West
Malaysia.
PLoS
Negl
Trop
Dis
March
2012;6(3):e1550.
22. Phathammavong O, Moazzam A, Xaysomphoo D,
Phengsavanh A, Kuroiwa C. Parasitic infestation and
nutritional status among schoolchildren in
Vientiane, Lao PDR. Journal of paediatrics and child
health. 2007;43(10):689-94. Epub 2007/09/15.
23. Hotez PJ, Brooker S, Bethony JM, Bottazzi ME,
Loukas A, Xiao S. Current concepts : Hookworm
Infection. N Engl J Med 2004;351:799 - 807.
24. Hotez P, Pritchard D. Hookworm infection. Sci Am.
1995;272:68 - 74.
25. Stephenson LS, Latham MC, Ottesen EA.
Malnutrition and parasitic helminth infections.
Parasitology.
2000;121
Suppl:S23-38.
Epub
2001/06/02.
26. http://pppl.depkes.go.id/focus?id=781. 31 Januari
2013.
27. Soedarto. Pengobatan Penyakit Parasit. Penyakit
Cacing, Obat Cacing. Jakarta: Sagung Seto; 2009. p.
60 - 9, 137 - 48.
28. Steinmann P, Utzinger J, Du ZW, Jiang JY, Chen JX,
Hattendorf J, et al. Efficacy of single-dose and tripledose albendazole and mebendazole against soiltransmitted helminths and Taenia spp.: a
randomized
controlled
trial.
PloS
one.
2011;6(9):e25003. Epub 2011/10/08.
29. Wani I, Rather M, Naikoo G, Amin A, Mushtaq S,
Nazir M. Intestinal ascariasis in children. World
journal of surgery. 2010;34(5):963-8. Epub
2010/02/10.
64
30. Sangkhathat
S,
Patrapinyokul
S,
Wudhisuthimethawee P, Chedphaopan J, Mitamun
W. Massive gastrointestinal bleeding in infants with
ascariasis.
Journal
of
pediatric
surgery.
2003;38(11):1696-8. Epub 2003/11/14.
31. Nikolic H, Palcevski G, Saina G, Persic M. Chronic
intussusception in children caused by Ascaris
lumbricoides. Wiener klinische Wochenschrift.
2011;123(9-10):294-6. Epub 2011/04/19.
32. Chawla A, Patwardhan V, Maheshwari M, Wasnik A.
Primary ascaridial perforation of the small intestine:
sonographic diagnosis. Journal of clinical ultrasound
: JCU. 2003;31(4):211-3. Epub 2003/04/15.
33. Sforza M, Andjelkov K, Zaccheddu R, Ivanov D, Krstic
S, Paganelli A. An unusual case of ascariasis of the
appendix. Srpski arhiv za celokupno lekarstvo.
2011;139(11-12):809-11. Epub 2012/02/18.
34. Slesak G, Phanthavong P, Rasphone O, Luangxay K,
Anoulakkham P, Pahatsalang V, et al. Obstructive
biliary ascariasis with cholangitis and hepatic
abscesses in Laos: a case report with gall bladder
ultrasound video. The Journal of infection.
2007;54(4):e233-5. Epub 2007/02/24.
35. Bari S, Sheikh KA, Ashraf M, Hussain Z, Hamid A,
Mufti GN. Ascaris liver abscess in children. Journal
of gastroenterology. 2007;42(3):236-40. Epub
2007/03/24.
36. Bailey JK, Warner P. Respiratory arrest from Ascaris
lumbricoides. Pediatrics. 2010;126(3):e712-5. Epub
2010/08/04.
37. Ziegelbauer K, Speich B, Mausezahl D, Bos R, Keiser
J, Utzinger Jr. Effect of Sanitation on SoilTransmitted Helminth Infection: Systematic Review
and
Meta-Analysis.
PLoS
Med
January
2012;9(1):e1001162. doi:10.1371/journal.pmed.
38. Soil Transmitted Survey Year 2002 - 2011. Unpublish
Data. Data SubDit Filariasis dan Kecacingan, Ditjen
PPdan PL, Kementerian Kesehatan Republim
Indonesia2012.
39. Pedoman Pengendalian Kecacingan Direktorat
Jenderal PP dan PL, Kementerian Kesehatan. 2012.
40. Steketee RW. Pregnancy, nutrition and parasitic
diseases. J Nutr. 2003;133(5 Suppl 2):1661S-7S.
Epub 2003/05/06.
41. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012.
42. Knopp S, Mgeni AF, Khamis IS, Steinmann P,
Stothard JR, Rollinson D, et al. Diagnosis of SoilTransmitted Helminths in the Era of Preventive
Chemotherapy: Effect of Multiple Stool Sampling
and Use of Different Diagnostic Techniques. PLoS
Negl
Trop
Dis
2008;2(11):e331.
doi:10.1371/journal.pntd.0000331.
52. Widjana DP, Sutisna P. Prevalence Of SoilTransmitted Helminth Infections In The Rural
Population Of Bali, Indonesia. STH Infection in
Indonesia. September 2000;31(3):454 - 9.
53. Friscasari Kundaian* JMLU, Billy J. Kepel*.
Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan
Infestasi Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa
Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa.
http://ejournalunsratacid 26 Februari 2013. 2012.
54. Baharuddin. Pengaruh Perilaku Higienitas Terhadap
Kejadian Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar
Negeri Di Kecamatan Meurebo Kabupaten Aceh
Barat (Tesis): Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Medan; 2010.
55. Bethony J, Loukas A, Smout M, Brooker S, Mendez
S, Plieskatt J, et al. Antibodies against a secreted
protein from hookworm larvae reduce the intensity
of hookworm infection in humans and vaccinated
laboratory animals. Faseb Journal. 2005;19(2):1743
- 5.
56. Loukas A, Bethony JM, Mendez S, Fujiwara RT, Goud
GN, Ranjit N, et al. Vaccination with Recombinant
Aspartic Hemoglobinase Reduces Parasite Load and
Blood Loss after Hookworm Infection in Dogs. PLoS
Med October 2005;2(10):1008 - 17.
57. Chen N, Yuan Z, Xu M, Zhou D, Zhang X, Zhang Y, et
al. Ascaris suum enolase is a potential vaccine
candidate against ascariasis. Vaccine. May
2012;30(23):3478 - 82.
58. Dixon H, Johnston C, Else K. Antigen selection for
future anti-Trichuris vaccines: a comparison of
cytokine and antibody responses to larval and adult
antigen in a primary infection. Parasite
Immunology. 2008;30:454 - 61.
59. http://kebijakankesehatanindonesia.net/componen
t/content/article/73-berita/1302-komitmenpemerintah-terhadap-kesehatan-dinilai-masihlemah.html, 19 September 2013
60. Kumar D, Mishra S, Tandan S, Tripathi H.
Mechanism of antihelmintic action of benzyl
isothiocyanate. Fitoterapia. 1991;62(5):403 - 10.
65
66
BAB
SCHISTOSOMIASIS
Anis Nur Widayati, Jastal,Hayani Anastasia Siahaan, Made Agus Nurjana
3.1.
PENDAHULUAN
Schistosomiasis menginfeksi 230 juta orang di 77 negara dengan 600 juta
orang berisiko terinfeksi. Penyakit ini tersebar di negara-negara berkembang
baik tropik maupun subtropik yaitu China, Jepang, Philipina, Indonesia,
Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja.1
Schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis yang
disebabkan cacing trematoda darah Schistosoma japonicum dengan hospes
perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis.
Schistosomiasis sering disebut juga sebagai demam keong di daerah
endemis di Indonesia. Daerah endemis pertama ditemukan oleh Dr. Btrug dan
Dr. Tesch di desa Tomado, dataran tinggi Lindu pada tahun 1937. Pada tahun
1972 daerah endemis kedua ditemukan oleh Carney, dkk di dataran tinggi
Napu.2 Pengendalian secara intensif mulai dilakukan pada tahun 1982 dengan
kegiatan berupa pengobatan massal dan survei tinja dan tikus tiap 6 bulan.
Pada tahun 1995-2005 berlangsung proyek pinjaman ADB Central Sulawesi
Integrated Area Development and Corservation Project (ADBCSIADCP) yang
melibatkan lintas sektor dalam pengendalian schistosomiasis.3 Daerah endemis
schistosomiasis baru di dataran tinggi Bada ditemukan oleh Jastal, dkk pada
tahun 2008.4
67
3.2.
3.2.1. Etiologi
Penyebab schistosomiasis japonica adalah cacing trematoda Schistosoma
japonica. Telur S.japonicum dikeluarkan bersama dengan tinja penderita,
kemudian dalam air menetas menjadi mirasidium yang akan menembus tubuh
keong Oncomelania hupensis lindoensis. Dalam tubuh keong mirasidium akan
mengalami perkembangan menjadi sporokista, kemudian menjadi serkaria yang
akan keluar dari tubuh keong. Infeksi terjadi melalui serkaria yang menembus
kulit manusia dan atau mamalia. S.japonicum dewasa hidup di vena hepatika
dan vena mesenterika.
68
3.2.2. Epidemiologi
Schistosomiasis japonica di Indonesia hanya ditemukan di Propinsi
Sulawesi Tengah yaitu di dataran tinggi Lindu, Kabupaten Sigi dan dataran tinggi
Napu dan dataran tinggi Bada, Kabupaten Poso.
perantara
schistosomiasis
adalah
keong
O.h.lindoensis
69
Gambar 3.2.2.3. Daerah habitat alami keong (sumber foto: Anis NW)
2. Habitat yang terjamah manusia : kebun coklat, bekas sawah yang lama
ditinggalkan, padang rumput bekas ladang penduduk, tepi saluran air, di pinggir
kolam yang ditumbuhi rumput.
70
Gambar 3.2.2.4. Daerah Habitat yang terjamah manusia (sumber foto: Balai Litbang
P2B2 Donggala)
71
3.2.3. Patogenesis2
Perkembangan schistosomiasis pada manusia melalui beberapa stadium, yaitu:
1. Stadium I : dimulai sejak masuknya serkaria menembus kulit sampai cacing
menjadi dewasa, termasuk perpindahan schistosomula (cacing Schistosoma
muda) melalui paru paru ke sistem vena portal. Gejala klinis pada stadium
ini adalah sebagai berikut:
a. Gejala alergi yaitu ruam pada kulit, kemerahan dengan rasa gatal dan
panas di tempat serkaria masuk. Gejala ini timbul beberapa jam setelah
serkaria menembus kulit. Gejala ini akan hilang dalam waktu 2-3 hari.
Setelah itu gejala alergi akan muncul kembali disertai dengan
pembengkakan di sekitar tempat serkaria masuk.
b. Gejala paruparu berupa batuk yang disertai dahak dan sedikit bercampur
darah timbul karena serkaria masuk ke paru yang dalam beberapa hari
akan menjadi schistosomula.6
c. Gejala toksemia yaitu muncul antara minggu ke dua sampai minggu ke
delapan setelah infeksi. Gejalanya berupa demam tinggi, lemah, malaise,
anoreksi, mual, muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh, diare, sakit perut.
2. Stadium II : Gejala utama berupa disentri (diare disertai darah). Gejala lain
dapat berupa lemas, malaise, demam, berat badan menurun, mulai terjadi
pembengkakan hepar (hepatomegali), pembengkakan limpa (spleenomegali)
yang timbul pada 6-8 bulan setelah infeksi.
3. Stadium III : merupakan stadium lanjut, lebih dari 8 bulan setelah infeksi.
Kelainan berupa jaringan ikat di hati yang menetap akibat terperangkapnya
telur di jaringan hati. Gejala berupa anemia, ikterus, sakit perut, disentri,
pelebaran pembuluh darah perut, asites dan hepatomegali dan kemudian
splenomegali (hepatosplenomegali).
72
3.2.4. Diagnosis
Diagnosis
schistosmiasis
ditegakkan
dengan
menemukan
telur
hari).
3.2.5. Pengobatan
Strategi WHO untuk pengendalian schistosomiasis fokus pada mengurangi
penyakit melalui pengobatan periodik pada kelompok target dengan
73
74
3.2.6. Prognosis
Angka kesembuhan schistosomiasis yang disebabkan S.
japonicum
75
3.2.7. Pencegahan
Schistosomiasis dapat dicegah dengan cara sebagai berikut:
Buang air besar dijamban yang saniter (bersih dan sehat).
Memakai alat pelindung diri (sepatu boot) saat bekerja di kebun yang
merupakan fokus keong perantara.
Mengambil air bersih dari sumber yang bebas serkaria
Mengobati penderita di daerah endemis dengan praziquantel untuk
mencegah penyakit berlanjut dan mengurangi penularan
Menghindari menambatkan ternak atau mengembala ternak peliharaan
pada area fokus
Sosialisasi tentang letak fokus, risiko penularan dan cara pencegahan
schistosomiasis kepada para wisatawan yang mengunjungi daerah endemis.
Permasalahan dalam pencegahan schistosomiasis adalah kurangnya
kesadaran masyarakat menggunakan sepatu boot di daerah fokus, masih ada
masyarakat buang air besar di daerah fokus, dan masih menambatkan ternak
mamalia di daerah fokus keong O.h.lindoensis.
3.3.
76
dengan
SK
443.2/201/DISKESDA-G.ST/2012
Gubernur Sulawesi
tentang
Tim
Tengah
Terpadu
Nomor:
Pengendalian
77
3.4.
ANALISIS GAP
78
3,5
3,21
3
2,67
Persen
2,5
2,32
2
1,5
1,26
semester 1
1,4
semester 2
0,8
0,76
0,5
0
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
6
4,78
5
3,8
Persen
semester1
2,44
2,12 2,15
1,84
1,21
semester 2
1,44
0,9
0,31
0
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
79
(termasuk tokoh
80
schistosomiasis.
Hasil
penelitian
menunjukkan
prevalensi
infeksi
(terendah sampai
tertinggi).13
81
Pengamatan dilakukan
memudahkan
proses
penegakan
diagnosis
schistosomiasis.15
membutuhkan
sampel
darah.
Sehingga
diharapkan
target
keong
perantara
dengan
schistosomiasis,
moluskisida
kimia
yang
keong
O.h.lindoensis
digunakan
program
82
65%
sampai
97%
untuk
mencegah
schistosomiasis,
dan
83
Program
Saran
Cakupan
pemeriksaan
penduduk <80%
(karena penduduk
sudah bosan untuk
mengumpulkan
tinja, data 2012:
74,6%)
Data penduduk
tidak update (ada
yang sudah pindah,
sudah meninggal,
masih tercatat;
penduduk baru
belum tercatat)
Pengisian pot tinja
tidak sesuai
prosedur
Minimal cakupan
pemeriksaan
penduduk 80%
Prevalensi 5 tahun
terakhir > 1%
(tahun 2012: 1,3%)
Target < 1%
- Cakupan
pengobatan
penduduk <100%
- Stok obat
terbatas dan
sering habis
- Target
pengobatan 100%
84
Temuan
No
Temuan
Program
Saran
Manajemen
lingkungan yang
parsial dan tidak
kontinyu
Pemberantasan
daerah fokus
dilakukan secara
menyeluruh, baik
secara mekanik
maupun kimia
(bayluscide)
SDM petugas
laboratorium
schistosomiasis
sudah pensiun
(regenerasi/
kaderisasi kurang)
Hewan mamalia
ternak
digembalakan di
daerah fokus keong
Hewan mamalia
ternak tidak
digembalakan di
daerah fokus keong
Infection rate
keong dan tikus >
1%
3.5.
85
Masalah
Peran lintas
sektor belum
maksimal
dalam
pengendalian
schistosomiasis
Penanganan
Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi
Maintenance
Sektor
- Pemanfaatan daerah - Pengaktifan kembali
kesehatan
fokus keong menjadi lintas sektor dalam
sebagai leading
lahan pertanian
pengendalian
sector
intensif.
schistosomiasis
melakukan
- Pemanfaatan data
sesuai SK Gubernur
pengobatan dan fokus yang lengkap
Sulteng tentang Tim
pemberantasan di Balai Litbang P2B2 Terpadu
fokus keong
Donggala untuk
Pengendalian
secara
mendukung
Schistosomiasis.
menyeluruh dan program
- Perlu dukungan
kontinyu.
pemberantasan
Dinas Kesehatan dan
fokus keong.
stake holder untuk
penganggaran yang
lebih besar bagi
program
pengendalian
schistosomiasis.
Penelitian
- Modifikasi
lingkungan untuk
pemberantasan
keong.
- Penelitian
mikrohabitat fokus
keong.
- Alternatif
moluskisida
erbahan tanaman
yang efektif.
- Analisis kebijakan
pengendalian
schistosomiasis
Sosial budaya
- Petugas lab dan - Petugas dan kader
- Perlu peningkatan
- Metode
(masyarakat
kader
lebih proaktif dalam peran PKK, tokoh
penyuluhan yang
jenuh
menerapkan
pengumpulan tinja.
masyarakat, kader
tepat untuk
mengumpulkan sistemjemput - Bekerjasama dengan dalam pengumpulan meningkatkan
tinja)
bola untuk
puskesmas, pasien
tinja.
kesadaran
pengumpulan
yang berobat
- Penyuluhan yang
masyarakat
tinja.
diwajibkan
tepat tentang
- Metode diagnosis
membawa sampel
pentingnya
selain pemeriksaan
tinjanya untuk
pengumpulan tinja
tinja: ELISA, RDT,
diperiksa
sesuai prosedur.
USG, PCR
schistosomiasis.
- Penetapan perda
- Penelitian lebih
- Pemanfaatan kader
tentang kewajiban
lanjut faktor risiko
untuk membantu
pengumpulan tinja
schistosomiasisdi
update data
bagi penduduk di
Bada
daerah endemis.
86
Daftar Pustaka
1. WHO. Schistosomiasis Fact Sheet. 2010. Available at:
http://www.who.int.
2. Hadidjaja P. Schistosomiasis di Sulawesi Tengah,
Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1985.
87
88
BAB
FASCIOLOPSIASIS
Annida
4.1.
PENDAHULUAN
Fasciolopsiasis merupakan penyakit kecacingan usus yang disebabkan
oleh infeksi cacing Fasciolopsis buski.
Fasciolopsiasis pertama kali diperkenalkan oleh Busk pada tahun 1843
ketika cacing ini ditemukan di dalam duodenum pelaut India Timur yang telah
meninggal.1 Di Indonesia fasciolopsiasis hanya ditemukan di kabupaten Hulu
Sungai Utara (HSU) provinsi Kalimantan Selatan sejak tahun 1982. Kasus
pertama tersebut terjadi pada seorang anak kecil di desa Sungai Papuyu yang
mengalami muntah-muntah dan mengeluarkan banyak cacing yang berbentuk
seperti daun lewat tinjanya.
Penyakit menular ini termasuk sebagai food borne disease. Pencegahan
terhadap fasciolopsiasis cukup mudah yaitu dengan menghentikan kebiasaan
makan tumbuhan air secara mentah dan tidak buang air besar di air rawa.
Fasciolopsiasis cenderung tanpa gejala dan tidak berdampak langsung pada
kematian, sehingga penyakit ini termasuk dalam golongan neglected disease.
Komitmen pengendalian yang lemah dan karakteristik lingkungan yang khas
berupa daerah rawa yang luas menyebabkan fasciolopsiasis masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di wilayah kabupaten HSU dan tidak menjadi
prioritas utama dalam penanggulangannya.
89
4.2.
4.2.1. Etiologi
Cacing Fasciolopsis buski dinamakan juga Giant Intestinal Fluke of Man
atau Ginger worm, karena bentuknya seperti akar jahe. Oleh karena itu cacing
ini sering disebut dengan fluke. Cacing ini merupakan cacing trematoda usus
terbesar yang melekat pada dinding duodenum dan jejunum manusia.1,2,3
4.2.2. Epidemiologi
Sampai saat ini sekitar 10 juta orang di dunia terinfeksi Fasciolopsis buski
yang menyebar di wilayah tertentu yaitu di negara Cina bagian Selatan dan
Tengah, Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Bengal, Pakistan, Laos, Kamboja,
Bangladesh, Jepang, India, dan Indonesia, sebagaimana pada gambar 4.2.2.1.1,2
90
91
92
tidak menunjukkan
kecenderungan memilih
tumbuh-
93
akar tumbuhan air, dan kadang menempel pada daun dan rerumputan di tepi
air rawa, atau tiang-tiang pondasi rumah penduduk yang terendam air rawa.
Tumbuhan air sebagian besar mengapung di air rawa mengikuti arus pasang
surut, dan sebagian lagi tumbuh dengan batang yang kuat dan menancap pada
tanah di dasar rawa. Arus air rawa cenderung tenang, mengikuti aliran pasang
surut air sungai karena rawa berada di sepanjang bantaran sungai Negara.
Aktivitas penduduk sehari-hari hampir seluruhnya tergantung pada air
rawa, antara lain sebagai sumber mata pencaharian bagi penangkap
ikan/nelayan, tempat buang air, mandi, menggosok gigi, dan mencuci bahan
makanan. Penduduk buang air besar di jamban ceplung atau di atas lantai kayu
berlubang di bagian belakang rumah, dekat kandang ternak, atau di pijakan
kayu yang dipasang di atas air rawa (gambar 4.2.2.4).
4.2.3. Patogenesis
Masa inkubasi F.buski diperkirakan antara 2-3 bulan setelah pemaparan
dengan metaserkaria.9 Manusia atau hospes reservoir dapat terinfeksi F.buski
karena memakan tumbuhan air mentah atau dimasak kurang matang yang
mengandung kista metaserkaria. Kista metaserkaria akan mengalami eksistasi di
94
dalam duodenum dalam waktu 25-30 hari, melekat pada dinding usus dan
berkembang menjadi cacing dewasa dalam waktu kurang lebih 3 bulan hingga
akhirnya ditemukan telurnya bersama tinja. Kemampuan dan masa hidup
cacing F.buski dewasa dalam tubuh hospesnya kurang lebih selama 6-12
bulan.1,2,6
Umumnya fasciolopsiasis tanpa gejala. Pada infeksi ringan dapat terjadi
gejala berupa sakit perut, nausea dan muntah. Gejala klinis awal adalah diare
dan nyeri ulu hati (epigastrium). Diare mulanya diselingi konstipasi, kemudian
menjadi persisten. Warna tinja menjadi hijau kuning, berbau busuk dan berisi
makanan yang tidak dicerna. Pada beberapa penderita, nafsu makan cukup baik
atau berlebihan, walaupun ada yang mengalami mual, muntah, atau tidak
mempunyai selera, semua ini tergantung berat ringannya penyakit.
Perlekatan cacing pada dinding mukosa usus mengakibatkan peradangan
lokal dengan hipersekresi mukus, perdarahan, dan ulserasi. Apabila terjadi erosi
kapiler pada tempat perlekatan cacing tersebut, maka timbul perdarahan
(hemorrhage), kemungkinan terbentuk abses dan jaringan fibrosis pada proses
penyembuhan.8
Pada infeksi berat, cacing dewasa ditemukan di lambung dan bagian usus
lainnya (pilorus, ileum dan kolon), jumlah tinja sangat banyak, berwarna kuning
kehijauan dan berisi banyak makanan yang belum dicerna, yang menunjukkan
terjadinya proses malabsorbsi. Cacing-cacing pada infeksi berat dapat
menimbulkan obstruksi usus, ileus akut, dan absorbsi dari metabolit cacing yang
toksik atau alergik menimbulkan gejala intestinal, toksemia sistemik,
manifestasi alergi, edema umum dan asites. Manifestasi sistemik akibat
absorpsi bahan toksik dari sisa metabolisme cacing, menimbulkan leukositosis,
hipereosinofilia dan alergi.2,8
Kasus berat pada anak-anak ditandai dengan gejala intoksikasi dan
sensitisasi karena absorpsi sisa metabolisme cacing yang lebih menonjol, seperti
edema pada muka, dinding perut dan tungkai bawah. Edema muka dan
95
4.2.4. Diagnosis
Diagnosis fasciolopsiasis ditetapkan melalui pemeriksaan telur secara
mikroskopik pada tinja hospes untuk menemukan telur F.buski. Bentuk telur
F.buski spesifik yaitu mempunyai operkulum. Metode pemeriksaan tinja yang
sesuai adalah centrifugalitation method, yang merupakan kombinasi dari
floatation method dan sedimentation method.6 Umumnya pemeriksaan
fasciolopsiasis masih menggunakan metode pewarnaan lugol dan eosin yang
jauh lebih murah dan tidak menggunakan media khusus untuk pemeriksaan
tinja.
4.2.5. Pengobatan
Pengobatan umumnya bertujuan untuk mengurangi/menghilangkan
akibat penyakit, dan mengurangi sumber penular sehingga dapat menekan
prevalensi pada manusia serendah mungkin. Pengobatan tuntas merupakan
upaya yang diandalkan dalam penanggulangan fasciolopsiasis. Praziquantel
merupakan drug of choice karena angka penyembuhannya mencapai 90100%.2,8 Obat ini merupakan derivat isokuinolon yang pemberiannya dilakukan
secara oral, dengan dosis 40mg/kg BB. Toleransi manusia terhadap obat ini baik
dengan beberapa efek samping yaitu nyeri perut, pusing, dan perasaan
mengantuk, namun biasanya akan hilang setelah 48 jam, dan cacing dapat
dikeluarkan pada hari berikutnya. Obat lain dengan angka penyembuhan sekitar
75%
pada
fasciolopsiasis
hexylresorcinol.1,2,6
96
adalah
niclosamide,
tetrachlorethylene
dan
4.2.6. Prognosis
Fasciolopsiasis umumnya tidak menimbulkan gejala klinis (asimtomatis),
sehingga cenderung untuk diabaikan (neglected disease). Gejala klinis yang
ditimbulkan bervariasi tergantung jumlah, tipe kelainan organ atau jaringan dan
kerusakan bersifat sementara atau permanen (irreversible) dan dapat berakibat
fatal, tergantung pada jumlah cacing. Cacing F.buski dewasa pada infeksi ringan
hidup dalam duodenum dan jejunum, tetapi pada infeksi berat dapat
ditemukan dalam lambung dan bagian usus lainnya. Infeksi berat dengan
jumlah cacing yang banyak dapat menyebabkan sumbatan pada usus hingga
dapat menyebabkan kematian namun jarang.1,2
4.2.7. Pencegahan
Pencegahan fasciolopsiasis dilakukan dengan pengobatan terhadap
penderita sebagai sumber infeksi, kemudian memperbaiki lingkungan dengan
tidak membuang kotoran (manusia, ternak) di air rawa, serta memasak
tumbuhan air hingga benar-benar matang sebelum dimakan, termasuk
memasak air rawa yang dijadikan sumber air minum hingga mendidih.
4.3.
97
4.4.
ANALISIS GAP
98
Infection Rate
(persen)
Keterangan
1985 1990
5,18 27 %
6 desa
1991 2001
3,8%
8 desa
2001
2,28%
3 desa
2001 2002
7,8%
7 desa
2005
1,28%
4.853 penduduk
2006
0,58%
5.825 penduduk
2006
0,39%
227 penduduk
2007
0,29%
2.067 penduduk
2008
0,42%
1.680 penduduk
2008
2%
161 penduduk
2009
0,42%
1.680 penduduk
2010
0,64%
314 penduduk
2011
6,87%
83 penduduk
2012
1,00%
700 penduduk
2012
1,46%
137 penduduk
2012
6,92%
130 penduduk
(Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten HSU)
99
bahkan
dilaporkan
di
Indonesia
terjadi
di
Borneo
dan
100
101
penurunan
aktivitas.
Oxyclozanide
dan
heksaklorofen
102
103
104
Temuan
Program
Saran
Kasus
fasciolopsiasis
masih terus
menerus
berlangsung
Kurangnya data
fasciolopsiasis
- Keterbatasan alokasi
anggaran dan
program
penanggulangan
fasciolopsiasis;
- Surveilans
fasciolopsiasis
kurang berjalan.
- Pengobatan
hanya diberikan
pada penderita
yang ditemukan
pada survei tinja
atau ditemukan
secara
insidentil/pasif;
- Stok obat
praziquantel
sebanyak 7.840
kadaluarsa pada
Juli 2013.
4.5.
dan
terhadap
pengobatan
fasciolopsiasis
fasciolopsiasis,
berupa
serta
optimalisasi
penetapan
endemisitas
material melalui penyuluhan sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) di masyarakat, serta pengaktifan program usaha kesehatan sekolah
(UKS) di sekolah-sekolah wilayah kecamatan endemis fasciolopsiasis.
105
Masalah
Penanganan
Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi
Maintenance
- Budaya
- Strategi
- Penyuluhan;
- Revitalisasi lintas
masyarakat
pengendalian
- Sosialisasi dan
sektor dalam
dalam
fasciolopsiasis
advokasi
pengendalian
mengkonsumsi spektrum luas,
fasciolopsiasis lintas fasciolopsiasis;
tumbuhan air
melibatkan
sektor;
- Pengalokasian
mentah;
kerjasama lintas - Bantuan air bersih di anggaran dan
- Karakteristik
sektor yang
lokasi tertentu.
program
wilayah rawa
terintegrasi dan
penanggulangan
dan cenderung berkesinambun
secara rutin.
terisolir
gan;
sehingga
- Surveilans
menggunakan
fasciolopsiasis;
air rawa
- Mass Drug
sebagai sumber Assesment
air minum/
(MDA).
rumah tangga
dan MCK.
106
Penelitian
- Penelitian
biomolekuler;
- Transmisi
fasciolopsiasis;
- Pencarian hospes
perantara;
- Sosial budaya.
Masalah
Penanganan
Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi
- Kasus
- Dukungan dan - Alokasi anggaran
fasciolopsiasis
komitmen
dalam
cenderung
pemerintah dan penanggulangan
diabaikan;
para stake
fasciolopsiasis;
- Data kurang;
holder;
- Program eliminasi
- Penemuan
- Surveilans
fasciolopsiasis;
kasus
fasciolopsiasis; - Surveilans
umumnya
- Regenerasi
fasciolopsiasis;
bersifat insiden sumber daya
- Pemutusan mata
(melalui survei
manusia (SDM)
rantai penularan
penelitian).
pengelola
dengan cara
program,
pengobatan
tenaga promosi terhadap penderita,
kesehatan, dan
pemberantasan
tenaga
hospes perantara,
mikroskopis
pencegahan makan
kecacingan.
tumbuhan air
mentah dan BAB di
air rawa.
Maintenance
Penelitian
- Pengobatan
- Inisiasis
- Tidak ada pedoman - Komitmen
hanya
pedoman dan
pengobatan khusus
pemerintah dan
diberikan pada
petunjuk teknis untuk
para stoke holder;
penderita yang pengobatan
fasciolopsiasis;
- Pedoman dan
ditemukan
dan
- Stok obat
petunjuk teknis
pada survei
penanggulanga
Praziquantel
penanggulangan
tinja atau
n
terbatas dan
fasciolopsiasis.
ditemukan
fasciolopsiasis;
merupakan drop
secara
- Manajemen
obat dari WHO;
insidentil/pasif; data dan
- Tidak ada pedoman
- Tidak ada
pelaporan
upaya pengobatan
pedoman dan
terstandar.
yang spesifik
petunjuk teknis
terhadap
pengendalian
fasciolopsiasis
dan
menyebabkan
pengobatan
ancaman kadaluarsa
fasciolopsiasis.
pada 7.840 tablet
praziquantel
(@400mg) di bulan
Juli 2013.
- Penelitian
kesehatan
masyarakat;
- Pemetaan kasus
fasciolopsiasis.
107
Daftar Pustaka
1. Garcia LS, dan Bruckner, David A. Diagnostik
Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC; 1996.
2. Ideham B, dan Pusarawati, Suhintam, editor.
Helminthologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga
University Press; 2002.
3. Oemijati S. The Current Situation of Parasitic
Infections in Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan.
1989;17(2):12-21.
4. Weng, Y.L., Zhuang, Z.L., Jiang, H.P., Lin, G.R., Lin, J.J.
Studies on ecology of Fasciolopsis buski and control
strategy of fasciolopsiasis. 1989, Vol. 7(2), PP:108-11.
5. Tjitra E. Penelitian-penelitian fasciolopsiasis di
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 1994;97:22-5.
6. Sandjaja, Bernardus. Parasitologi Kedokteran: Buku
2, Helminthologi Kedokteran. Prestasi Pustaka,
Jakarta. 2007.
7. Ichhpujani, R.L., dan Bhatia, Rajesh. Medical
Parasitology, Second Edition. Jaypee Brothers
Medical Publishers, New Delhi. 1998.
8. Handojo, Imam, dan Gandahusada, Srisasi.
Fasciolidae. Dalam Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran, Edisi Keempat, Eds: Inge Sutanto, dkk.
PP. 55-8. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. 2008.
9. Purnomo, Gunawan, W.J., Magdalena L.J., Ayda, R.,
Harijani, A.M. Atlas Helminthologi Kedokteran. PT
Gramedia, Jakarta. 2003.
10. Muller, Ralph. Worms and Human Disease, 2nd
Edition. CABI Publishing, New York. 2002.
11. Anorital, Dewi, R.M., Purnomo, Ompusunggu, S., dan
Harijani. Studi Epidemiologi Fasciolopsis buski di
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol 4 nomor 1 April 2005.
Puslitbang Ekologi Kesehatan Balitbangkes Depkes
RI, Jakarta. 2005.
12. Anorital, Dewi, R.M., Pancawati, O., Ompusunggu, S.,
Harijani, dan Purnomo. Media Litbangkes. Studi
Prevalensi fasciolopsiasis di Kabupaten Hulu Sungai
Utara Kalimantan Selatan Tahun 2001 dan 2003.
2006.
13. Annida. Epidemiologi Fasciolopsiasis di Desa
Kalumpang Dalam Kecamatan Babirik Kabupaten
Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. 2010.
14. Annida.
Studi
Epidemiologi
Komprehensif
Fasciolopsiasis dan Pemetaannya di Kabupaten Hulu
Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Balai Litbang P2B2
Tanah Bumbu, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2012.
108
109
110
BAB
TAENIASIS-CYSTICERCOSIS
Lidwina Salim, B. Sandjaja
5.1.
PENDAHULUAN
Taeniasis solium adalah keadaan dimana terdapat Taenia solium di usus
penderita, yang juga dinamakan cacing pita babi, karena bentuknya yang
seperti pita dan terdapat pada babi,1 sedangkan cysticercosis (cysticercosis
cellulose) merupakan penyakit pada manusia dan babi yang disebabkan oleh
stadium larva atau kista T. solium. Ditularkan melalui jalur fecal-oral dengan
menelan telur T. solium.
Cacing ini terdapat di seluruh dunia. Tahun 1955 dilaporkan adanya 1
orang penderita cerebral cysticercosis dari hasil pembedahan di Jakarta. Tahun
1960-1978, dari 3 studi terhadap 80.000 jaringan histopatologi di Jawa Timur
ditemukan 9 kasus. Pada 1962-1970 ditemukan 7 kasus di Jakarta: 1 kasus dari
Bali, 1 kasus dari Jawa Timur, 2 kasus dari Sumut dan 3 kasus dari Jakarta.2
Di Papua, laporan pertama berasal dari Rumah Sakit Enarotali, daerah
pedalaman Papua sebagai epidemic combustio, yang ternyata kemudian
diakibatkan karena serangan epilepsi pada malam hari. Enarotali merupakan
daerah pegunungan yang dingin dan penduduk biasa tidur malam hari di
sekeliling api unggun. Serangan epilepsi pada malam hari menyebabkan terjadi
combustio yang tidak jarang sampai perlu diamputasi. Epilepsi yang diderita
penduduk Enarotali disebabkan karena cysticercosis di daerah otak. Kasus
pertama pada tahun 1969 diduga dibawa oleh transmigran dari Bali. 3,4 Selama
tahun 1972 sampai 1973 dirawat 13 orang penderita cysticercosis. Selama
111
12 bulan diperiksa tinja dari 170 pasien, dan 9% dari pasien tersebut
mengeluarkan telur Taenia sp. Cacing dewasa yang diperiksa diidentifikasi
sebagai T. solium. Selanjutnya sampai tahun 1975 dilaporkan adanya
cysticercosis di daerah Paniai. Setiap bulan 60 - 100 pasien dengan cysticercosis
mengunjungi Rumah Sakit Eanarotali. Pada tahun 1979 dilaporkan penyakit ini
sudah menyebar ke kabupaten tetangga, yaitu Kabupaten Jayawijaya.
Penyebaran berlanjut kearah barat yaitu Kabupaten Manokwari.
Tahun 1975 di Bali dilaporkan 4 kasus yang diperkirakan menderita
neurocysticercosis yaitu adanya gejala sistem syaraf pusat dan ditemukannya
kista di otot dan jaringan subkutan.
Penyakit taeniasis-cysticercosis merupakan penyakit yang berkaitan
dengan higiene dan sanitasi lingkungan yang tidak baik, budaya dan adat
istiadat, kurangnya pengawasan kesehatan daging, kebiasaan untuk melepas
ternak, dan konsumsi daging kurang masak. Penyakit ini seringkali disebut
penyakit rumah tangga dengan karakteristik sebagai berikut: sering dijumpai
lebih dari satu anggota keluarga di suatu rumah tangga yang terinfeksi penyakit
tersebut.7
112
5.2.
5.2.1. Etiologi 1
Cacing T. solium hidup di dalam tubuh hospes definitif, yaitu manusia,
sedangkan larvanya hidup di babi yang merupakan hospes perantara.
Siklus hidup terjadinya taeniasis dimulai dengan manusia terinfeksi cacing
T. solium dengan mengkonsumsi daging babi mentah yang mengandung
larva/kista. Larva yang masuk ke usus manusia segera keluar dari kistanya dan
melekatkan diri di permukaan usus halus dengan scolexnya. Larva menjadi
cacing dewasa 8-10 minggu kemudian. Cacing dewasa mencapai panjang 5-15
meter dan mampu hidup bertahun-tahun dalam tubuh manusia. Cacing dewasa
menghasilkan proglotid yang hamil, kemudian terlepas dari stobilanya yang
bergerak aktif maupun pasif menuju anus. Lebih sering proglotid yang hamil
pecah dan telurnya keluar bersama faeces.
Babi merupakan hospes perantara, yang terinfeksi saat memakan rumput
atau tumbuhan lain yang terkontaminasi proglotid atau telur T. solium.
Proglotid cacing mempunyai sifat geotrophic dan bermigrasi dari feces naik ke
rumput atau daun, sehingga siap untuk dimakan oleh babi. Tumbuh-tumbuhan
113
114
115
116
117
5.2.2. Epidemiologi
Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang dan prevalen di Mexico, Amerika Latin, Afrika dan Asia Tenggara,
India, China, termasuk Indonesia. Sekitar 3 juta orang terinfeksi cacing ini
diseluruh dunia.3 Di Indonesia terutama ditemukan di tiga provinsi yaitu: Bali,
Papua, dan Sumatra Utara. Prevalensi tertinggi ditemukan di provinsi Papua. 1
118
119
5.2.3. Patogenesis 1
Taenia solium dinamakan juga cacing pita babi, sangat berbahaya karena
manusia dapat menjadi hospes definitif atau menjadi hospes perantara-nya.
Bila manusia bertindak sebagai hospes definitif, penyakit yang ditimbulkan
dinamakan taeniasis solium. Sebagai hospes perantara, tubuh manusia
mengandung larva cacing ini yang dinamakan Cysticercus cellulose, penyakitnya
dinamakan cysticercosis cellulose. Habitat cacing dewasa di usus halus
manusia, sedangkan larvanya di tubuh babi dan manusia.
Manifestasi klinis taeniasis berupa: 1
1. Gangguan nutrisi
2. Gangguan fungsi saluran pencernaan tidak spesifik berupa muntah atau
diare
3. Reaksi alergi
4. Appendicitis
5. Obstruksi usus
120
myositis,
disertai
demam,
eosinophilia,
dan
121
5.2.4. Diagnosis11
Penegakkan diagnosa yang penting adalah melalui anamnesa. Diagnosa
taeniasis definitif dilakukan dengan ditemukannya telur Taenia spp melalui anal
swab pada daerah perianal atau di tinja penderita, atau ditemukannya
proglotid hamil yang memiliki uterus dengan percabangan sebanyak 7-13 buah.
Di samping itu menemukan scolex dengan rostellum dan kait-kait yang
ditemukan dalam tinja penderita. Diagnosa definitif cysticercosis dengan
ditemukannya Cysticercus cellulose. Diagnose dapat juga ditegakkan dengan
melakukan biopsi nodul-nodul subkutan, pemeriksaan radiologis pada cerebral
cysticercosis dan adanya kalsifikasi berbentuk elips dalam jumlah yang banyak.
Pemeriksaan ophthalmoscopy dapat digunakan untuk melihat ophthalmic
cysticercosis. CT Scan dapat menunjukkan baik kalsifikasi kista (calcified cyst)
dan uncalcified cyst, serta membedakan kista aktif dan tidak aktif. Magnetic
Resonance Imaging (MRI) lebih sensitif untuk mendeteksi adanya kista
intraventrikular.
122
5.2.5. Pengobatan1, 9, 10
Obat taeniasis pilihan adalah niclosamide dan praziquantel. Praziquantel
dapat menembus sawar otak dan mampu membunuh cysticercus di otak, juga
dapat membunuh cysticercus di otot. Autoinfeksi dan muntah yang berakibat
penyebaran telur ke berbagai tempat di tubuh pasien dapat mengakibatkan
terjadinya cysticercosis cellulose. Oleh sebab itu sebaiknya pengobatan pasien
dengan rawat inap di rumah sakit dan diberi pencahar 2 jam setelah pemberian
obat cacing.
Pengobataan cysticercosis tergantung dari banyak faktor, yaitu gejala
individu, lokasi dan jumlah cysticerci, dan tahap perkembangan kista. Rejimen
yang diperlukan selain obat cacing adalah kostikosteroid, antikonvulsan,
dan/atau pembedahan untuk mengangkat daerah yang terinfeksi. Cysticercus
yang mati karena pengobatan dapat menimbulkan reaksi imunologis dan
pembengkakan,
oleh
karena
itu
pemberian
kortikosteroid
perlu
123
diberikan lebih dulu beberapa hari sebelum pemberian obat antiparasitik untuk
mencegah
masalah
yang
disebabkan
karena
pembengkakan
selama
5.2.6. Prognosis
Umumnya prognosis cysticercosis baik, kecuali lesinya menyebabkan
kebutaan, gagal jantung atau kerusakan otak. Komplikasi ini sangat jarang
terjadi.
Kejang
tampaknya
meningkat
setelah
pengobatan
dengan
5.2.7. Pencegahan8, 9, 10
Pencegahan yang paling baik adalah edukasi mengenai parasite dan rute
transmisinya terhadap masyarakat yang kontak dengan hewan piaraan babi.
Selain itu menghindari makanan yang tidak bersih, makan makanan yang tidak
124
5.3.
125
Kabupaten lain belum tersedia tenaga khusus untuk menangani penyakit ini.
Oleh sebab itu perlu dilakukan integrasi penanganan penyakit ini dengan
penanganan penyakit lain yang berhubungan dengan higiene perorangan dan
sanitasi lingkungan. Anggaran untuk penyakit ini didapat dari dana Otsus dari
Pemda Provinsi Papua. Sementara di Provinsi Papua Barat belum ada program
untuk menanggulangi penyakit ini, data juga belum bisa didapatkan.
5.4.
ANALISIS GAP
126
dan
penganganan/pengobatan
target
atau
secara
masal
127
128
Temuan
Program
Tidak ada
program
pengendalian
Saran
Kejelasan program di salah satu
subdit penyakit menular
1.
2.
Pedoman/juknis program
pengendalian
3.
4.
5.
Alat diagnosis
129
5.5.
Masalah
Program
pengendalian
Data
Nilai ekonomi
hewan
peliharaan
Manajemen
terpadu
Rantai
penularan
penyakit
Sosio
kultural
(cara
memasak)
Kerjasama
lintas sektor
PHBS
130
Penanganan
Integrasi
dengan program
kecacingan
lainnya
Pengembangan
sistem
pencatatan dan
pelaporan
Alat diagnostik
dan obat
tersedia di
daerah endemik
Komitmen
Pemerintah
Daerah
Koordinasi lintas
sektor
Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi
Maintenance
Program dengan
status dan juknis
yang jelas
Program terpadu
eradikasi kecacingan
Sistem pencatatan
dan pelaporan baku
Alat diagnostik baku
dan obat tersedia di
seluruh Indonesia
Surveilans
Monev
Peraturan Daerah
untuk inspeksi
daging sebelum
dikonsumsi
Program lintas
sektor:
Pengobatan
simultan manusia
dan hewan
peliharaan
Ketersediaan
obat
Laporan rutin
perkembangan
penyakit
Jejaring dan
komitmen lintas
sektor
Peyuluhan dan
edukasi
kelompok
berisiko
Rapat koordinasi
berkala dan
terjadwal lintas
sektor (Dinas
Kesehatan, Dinas
Peternakan, Dinas
Pertanian, Dinas
Pendidikan)
mengevaluasi
program lintas
sektor
Penelitian
Riskesdas berbasis
penyakit
Riset alat/
metode edukasi
Riset budaya
Daftar Pustaka
1. Sandjaja B. Parasitologi Kedokteran, Helmintologi
Kedokteran, Buku 2. Prestasi Pustaka, Cetakan
Pertama, 2007.
2. Margono SS, Subahar R, Hamid A, Wandra T, Sudewi
SSR, Sutisna P, Ito A. Cysticercosis in Indonesia:
Epidemiological aspects. Southeast Asian J. Trop Med
Public Health, Vol 32 (Suppl 2), 2001.
3. Wandra T, Ito A, Yamasaki H, Suroso T, Margono SS.
Emerging Infecious Diseases. Vol.9, No.7, July 2003.
4. Soejoedono RR. Status Zoonosis di Indonesia.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.
5. Suhabar R, Hamid A, Purba W, Widarso, Ito A,
Margono SS. Taeniasis/Sistiserkosis Di Antara
Anggota Keluarga Di Beberapa Desa, Kabupaten
Jayawijaya, Papua.
6. Estuningsih SE. Taeniasis dan Sistiserkosis
Merupakan Penyakit Zoonosis Parasiter. Wartazoa
Vol.19 No 2, 2009.
7. Salim L, Ang A, Handali S, et al. Seroepidemiologic
Survey of Cysticercosis-Taeniasis in Four Central
Highland
Districts
of
Papua,
Indonesia.
AmJ.Trop.Med.Hyg., 80(3), 2009, pp.384-388
131
132
BAB
SKABIES
6.1.
PENDAHULUAN
Skabies adalah penyakit pada epidermis kulit yang disebabkan oleh
tungau sarcoptes scabei var hominis.1 Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan
umumnya kejadian tertinggi ditemukan di negara-negara dengan cuaca tropis.2
Sekitar 300 juta orang di dunia terinfeksi tungau skabies yang tersebar di
berbagai level status ekonomi.1, 3, 4 Di Indonesia penyakit ini dikenal sejak lama,
namun data prevalensi paling awal penyakit ini di puskesmas baru tercatat
pada tahun 1986.5,6 Penyakit ini dapat menyerang dimana saja dan
menghabiskan dana yang tidak sedikit.7 Walaupun skabies tidak berakibat fatal
tetapi bisa mengakibatkan komplikasi ke jantung dan ginjal serta pandemi.
Penyakit ini tidak termasuk dalam kategori penyakit kulit alergi.5
Kejadian penyakit ini berhubungan dengan tingkat kebersihan dan kondisi
sanitasi yang buruk, serta lebih cenderung terjadi di daerah dengan kepadatan
penduduk tinggi.8 Stigma sosial terjadi pada beberapa tempat sehingga
membuat pasien ragu-ragu untuk mencari pengobatan.3 Kadang-kadang
skabies juga dianggap bukan penyakit yang harus dilaporkan oleh pihak
berwenang, sehingga data-data tentang penyakit ini sulit didapatkan.3
133
6.2.
6.2.1. Etiologi
Tungau skabies berukuran diameter 0,3 mm serta memiiki empat pasang
kaki, sehingga sulit terlihat dengan mata telanjang. Tungau tidak dapat terbang
atau melompat, hidup dengan siklus 30 hari di epidermis. Tungau betina
membuat terowongan ke dalam stratum corneum dalam waktu 20 menit dan
meletakkan 3 telur perhari. Telur-telur menetas dalam jangka waktu 4 hari,
dan larva bermigrasi ke permukaan kulit kemudian menjadi dewasa. Setelah
2 minggu, tungau jantan dan betina melakukan kopulasi, setelah itu tungau
betina yang mempunyai telur membuat terowongan kembali ke stratum
corneum, bersamaan dengan itu tungau jantan jatuh dari kulit dan mati.
Jumlah rata-rata tungau di inang/host rata-rata kurang dari 20, kecuali pada
crusted scabies (sebelumnya dikenal sebagai norwegian scabies), dimana
inang dapat menampung lebih dari 1 juta tungau. Orang dengan human
immunodeficiency virus, orang lanjut usia, dan orang dengan pengobatan yang
menekan sistem imun berisiko terkena crusted scabies, walaupun penyakit
jenis ini juga pernah dilaporkan pada penduduk asli australia dengan sistem
imun yang baik.1
6.2.2. Pemetaan
Kejadian skabies di Indonesia masih ada hingga saat ini, dan jumlahnya
sulit diperkirakan.
Data
yang
dikumpulkan
di
fasilitas
kesehatan
menunjukkan bahwa penyakit ini masih menjadi salah satu sebab yang
membawa seorang penderita mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan.
Beberapa fasilitas kesehatan yang menjadi sumber data berada di kota besar.
Adanya penyakit ini di kota besar dapat dicermati sebagai risiko penyebaran
yang potensial karena kota besar mempunyai kecenderungan padat
populasi.9,10
134
6.2.3. Penularan
Penyebaran infeksi skabies dapat terjadi karena kontak erat dengan
penderita maupun dengan barang tempat menempelnya tungau skabies
seperti pada selimut, sarung bantal, pakaian, karpet, sofa dan tempat-tempat
yang sering bersentuhan langsung dengan kulit.1, 7, 11-13
Jumlah anggota keluarga dewasa yang mengalami buta huruf adalah
prediktor yang cukup baik untuk memperkirakan adanya skabies, dan menjadi
faktor risiko yang signifikan. Buta huruf biasanya sejalan dengan status sosial
ekonomi yang rendah dan kondisi kehidupan yang buruk.14
Tungau ektoparasit mampu bertahan jauh dari tuan rumah selama 24-36
jam pada suhu 21,80 C dengan kelembaban 40-80% dan tetap infektif. Pada
suhu yang lebih rendah dan kelembaban lebih tinggi, tungau dapat tetap
infektif selama 1 minggu walaupun sudah diluar tubuh manusia dan mampu
menembus kulit pada suhu di atas 200C.
6.2.4. Diagnosis
Diagnosis skabies secara cepat dan tepat tidak mudah untuk dilakukan.
Gejala timbul 3-4 minggu setelah infeksi.15 Gejala skabies dapat menyerupai
banyak penyakit lain, sehingga membuat diagnosis sulit ditegakkan.15 Tekhnik
diagnosis yang bervariasi membuat keakuratan nya juga bervariasi, serta sulit
untuk membuat teknik baku.14, 16, 17
135
136
6.2.5. Pengobatan
Obat skabies yang tersedia di sarana kesehatan di Indonesia adalah salep
2-4. Obat ini aman untuk anak kurang dari 2 bulan namun salep ini harus
dioleskan di seluruh badan dan tidak boleh dicuci selama 3x24 jam.1 Cara
pengobatan ini sangat tidak nyaman dan berpotensi untuk tidak tuntas.
Permethrin adalah obat pilihan untuk penyakit ini, aman digunakan untuk
anak berusia lebih dari 2 bulan. Apabila ada kecurigaan resistensi, pengobatan
diganti dengan menggunakan benzyl benzoate. Obat ini masih relatif mahal
harganya sehingga kurang menjangkau daerah-daerah dengan ekonomi sulit.
137
6.2.6. Prognosis
Penyakit ini tidak mengancam nyawa namun memiliki potensi membuat
keadaan tidak nyaman bahkan depresi. Pada anak-anak dapat menjadi awal
bagi komplikasi yang lebih serius seperti glomerulonefritis paska streptokokus
dan demam rematik akut. Bakteri streptokokus group A adalah yang paling
sering menjadi penyebab komplikasi, diikuti oleh Staphylococus aureus.4, 13
Pada anak berumur kurang dari dua tahun, wajah dan kulit kepala dapat
terkena, sedangkan pada orang dewasa hal ini jarang terjadi. Kemerahan
sampai nodul dengan gatal hebat di ketiak dan area di samping perut dan pada
skrotum sering terjadi pada anak anak. Kejadian ini diduga karena reaksi
hipersensitifitas oleh tungau. Nodul-nodul ini dapat bertahan sampai beberapa
minggu setelah eradikasi yang sukses terhadap infeksi tungau. Vesikel dan bulla
dapat terjadi, khusunya pada telapak tangan dan jari-jari.1
Sering sekali penderita skabies anak terjangkit Acrupustulosis Infantil (AI),
yaitu gangguan vesicopustular berulang dan sembuh sendiri yang menjangkiti
anak-anak. AI umumnya terjadi pada anak-anak yang diadopsi dari panti
asuhan di luar negeri.20
Pada skabies dengan krusta, plak hiperkeratotik terjadi secara difus pada
daerah telapak tangan dan telapak kaki, dengan penebalan dan distrophy dari
kuku. Kulit biasanya terlihat kering. Rasa gatal bervariasi dan bisa tidak gatal
pada bentuk penyakit ini. Lebih dari satu juta tungau hidup di kulit dan pasien
yang sangat terpapar ini dapat menjadi sumber wabah pada fasilitas
kesehatan.1
6.2.7. Pencegahan
Individu dengan kontak erat harus diobati dengan skabisid topikal.
Pengobatan diarahkan untuk mencegah penyebaran dari skabies, karena
138
139
6.3.
PROGRAM
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mempunyai salah satu unsur
pelaksana pegendalian yaitu Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL) yang bertugas merumuskan serta melaksanakan
kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pengendalian penyakit dan
penyehatan
lingkungan.
P2PL
belum
mempunyai
program
untuk
6.4.
ANALISIS GAP
Besaran masalah tentang skabies di Indonesia tidak dapat diketahui
dengan tepat karena terbatasnya data tentang penyakit ini. Data-data yang ada
diperoleh dari beberapa fasilitas kesehatan dan dari studi yang dilakukan di
tepat-tempat dengan sanitasi yang buruk.
140
141
Gejala yang baru timbul setelah 3-4 minggu paska infeksi menyulitkan
identifikasi dini penyakit ini. Penegakan diagnosis dengan gejala klinis di
lapangan kurang ketepatannya.
Pemberian terapi yang tidak nyaman (salep 2-4 yang tidak boleh dicuci
dari kulit selama 3x24 jam) membuat sulit untuk mencapai kesembuhan yang
optimal.
Program dan panduan untuk menanggulangi skabies tidak ada. Buku
pedoman, pelatihan, budget, dan logistik juga tidak ada. Buku pedoman
pengobatan di puskesmas yang direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang juga mencantumkan pedoman
pengobatan skabies membantu pengendalian penyakit ini. Bagian buku yang
membahas penyakit tersebut kemungkinan luput diperhatikan oleh petugas
pelaksana di Puskesmas.
Kendala lain di lapangan adalah masih belum imbangnya beban kerja
dengan ketersediaan tenaga petugas yang kompeten melaksanakan pekerjaan.
Program yang banyak sering hanya dikerjakan oleh satu orang petugas di
puskesmas. Keadaan ini mengakibatkan tidak maksimalnya hasil dari program
tersebut.
Penerapan otonomi daerah yang belum mengakomodasi neglected
disease, berimbas pada sulitnya kerjasama di tempat yang membutuhkan.
Kewenangan daerah yang sangat luas membuat kebijakan kesehatan di daerah
disesuaikan dengan program kerja pemerintah daerah. Kebijakan baru ini
dimaksudkan untuk kemajuan daerah. Kebijakan tersebut masih perlu
diperbaiki dan ditingkatkan. Saat ini, petugas pelaksana kegiatan menjadi sulit
untuk dimonitor oleh P2PL dengan adanya penerapan kebijakan tersebut.
Prioritas yang kurang juga membawa dampak alokasi dana untuk
program pengendalian neglected disease. Dana yang terbatas harus
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan kesehatan masyarakat.
142
Oleh sebab itu, penyakit-penyakit yang lebih berat dan dapat dicegah mungkin
menjadi lebih prioritas sebagian besar daerah.
Pada masa-masa yang akan datang, penyakit-penyakit yang termasuk
dalam neglected disease ini harus menjadi perhatian. Penyakit-penyakit ini
berpotensi membuat ketidaknyamanan, kecacatan, dan bahkan dampak sosial
ekonomi yang besar.
Temuan
Program
Saran
1.
Tidak ada
Diadakan/diintegrasikan program
pengendalian penyakit Skabies &
Pemberdayaan Masyarakat untuk
mengendalikan penyakit ini
2.
Terapi dengan
obat yang tersedia
dengan harga
murah (salep 2-4)
tidak nyaman
Tidak ada
3.
Diagnosis yang
kurang akurat
Tidak ada
4.
Tidak ada
6.5.
POLICY OPTION
Tidak adanya kebijakan dari lembaga pembuat program, prioritas yang
kurang, serta dana yang tidak memadai membuat pilihan semakin terbatas.
Ketiadaan sarana dan prasarana, rendahnya pendidikan, dan sulitnya akses ke
tempat-tempat dengan kemungkinan tinggi menderita penyakit ini membuat
kebijakan yang sudah baik pun menjadi sulit diwujudkan. Otonomi daerah
dapat menjadi kendala dalam monitoring dan advokasi di lapangan.
143
144
145
Masalah
Penanganan
Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi
Maintenance
Penelitian
Data
epidemiologi
dan penyakit
terbatas
Pendataan
Peningkatan
Surveilans & Peran
Serta Aktif
Masyarakat dalam
penemuan kasus
pengobatan selektif
Surveilans
Operasional Riset
Diagnosis
kurang akurat
Pelatihan
mikroskopis
Peningkatan
kompetensi
pemeriksaan
mikroskopis
Refresh Training
Alat diagnostik
alternatiif (Uji RDT)
Terapi dengan
obat yang
tersedia dengan
harga murah
(salep 2-4) tidak
nyaman
Surveilans aktif
& pengobatan
selektif
Peningkatan
kompetensi
diagnostik &
pengobatan petugas
kesehatan
Refresh Training
Tidak tersedia
buku pedoman
Pengadaan
buku pedoman
Peningkatan
pemahaman buku
pedoman
Penyediaan dan
pengembangan buku
pedoman secara
berkala (bisa dengan
softcopy)
Operasional Riset
146
Daftar Pustaka
1. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies, Other
Mites, and Pediculosis. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
Seventh ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 2029.
147
148
BAB
KUSTA
7.1.
PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit infeksi yang berlangsung kronis, penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae. Kusta dapat menyerang saraf tepi, kulit dan saluran
pernapasan bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Nama lainnya adalah Lepra atau Morbus Hansen. Di bagian tenggara Amerika
Serikat, armadillo dapat membawa M. leprae, dan kontak dengan armadillo diyakini
sebagai sumber infeksi pada daerah ini. Namun di daerah lain, termasuk Indonesia
hal ini belum ditemukan
Kusta atau lepra telah dikenal sejak zaman peradaban kuno Cina, Mesir dan
India. Catatan pertama mengenai kusta ini ditemukan pada tahun 600 sebelum
masehi. Pada masa itu penderita kusta dikucilkan oleh komunitas maupun
keluarganya. Pencatatan kasus kusta di Indonesia dimulai sejak tahun 1970.
Walaupun pencatatan kasus kusta telah dimulai lebih dari 40 tahun yang lalu,
namun masalah kusta ini tidak pernah hilang dari Indonesia. Setiap tahunnya selalu
ditemukan adanya kasus baru. Pada tahun 2000, Indonesia sudah mencapai
eliminasi dengan prevalensi kusta menurun sekitar 90 persen. Hal ini disebabkan
pasien yang menyelesaikan pengobatan berhasil disembuhkan, tetapi hingga saat
ini kusta masih mejadi masalah kesehatan, ekonomi, maupun sosial. Prevalensi
kusta cenderung meningkat dari tahun ke tahunnya. Begitu juga dengan angka
kecacatan tingkat 2. Sementara pada tahun 2015, ditargetkan penurunan angka
cacat tingkat 2 sebanyak 35% dari baseline pada tahun 2010.1,2
149
7.2.
7.2.1. Etiologi
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang merupakan bakteri gram
positif, tahan asam, obligat, intraseluler, dan tidak bisa dikembangbiakan. 2
7.2.2. Epidemiologi
Di Indonesia, dalam 13 tahun terakhir (2000 2012), situasi penyakit kusta
tidak banyak mengalami perubahan. Penemuan kasus baru (case detection
rate/CDR) penyakit ini masih terus berlanjut, statis dan cenderung terlihat adanya
peningkatan prevalensi. Prevalensi merupakan jumlah kasus kusta terdaftar per
10.000 penduduk.
8,99
8,27
9,5
8,5
7,76
7,22 7,21
7,51
7,84
7,8
8,3
7,6 7,49
7,76
7,22
7,5
6,5
5,5
CDR
4,5
PREVALENSI
3,5
2,5
1,5
0,86 0,87 0,95 0,87 0,93 0,98 1,03 0,95 0,94 0,91 0,84 0,96 0,91
150
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0,5
11,20
10,11
10,71
9,56
8,62
8,61
8,74
8,63
8,01
7,70
8,83
8,38
10
10,50
12
Cacat
Tingkat 2
(%)
2
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
7.2.3. Patogenesis
Mycobacterium leprae ditularkan melalui saluran pernafasan atau melalui
kontak fisik pada jaringan kulit yang rusak atau luka. Setelah masuk ke dalam
tubuh, bakteri tersebut akan bermigrasi ke jaringan saraf dan memasuki sel
schwan. Bakteri tersebut juga dapat ditemukan pada sel-sel makrofag, sel otot dan
endotel pembuluh darah. Setelah masuk ke dalam sel schwan/makrofag, bakteri
mulai memperbanyak diri secara perlahan di dalam sel. Kira-kira diperlukan waktu
sekitar 12-14 hari oleh 1 bakteri untuk membelah diri menjadi 2. Kemudian bakteri
tersebut akan keluar dari sel yang rusak dan mulai memasuki sel-sel yang masih
sehat. Sampai pada fase ini, sesorang yang terinfeksi masih belum menunjukkan
151
gejala dan tanda penyakit kusta. Patogenesitas bakteri ini rendah, sehingga hanya
pada sebagian kecil orang yang terinfeksi bakteri tersebut dapat berkembang
menjadi penyakit.4
Seiring dengan berkembangbiaknya bakteri, maka terjadi peningkatan
bacterial load di dalam tubuh, dan sistem imunologis akan mendeteksi adanya
infeksi. Pada fase ini manifestasi klinis dapat timbul gangguan saraf berupa
gangguan sensasi pada kulit. Jika hal ini tidak terdiagnosis atau diterapi sejak awal,
maka perkembangan selanjutnya tergantung dari daya tahan tubuh seseorang. Jika
sel imunitas pada tubuh manusia efektif dalam mengendalikan
infeksi dalam
tubuh, maka lesi yang timbul akan sembuh secara spontan atau menghasilkan jenis
kusta pauci-bacillary (PB). Jika sel imunitas tidak efektif dalam mengatasi infeksi,
maka akan terjadi penyebaran dan menghasilkan kusta multi-bacilary (MB) dengan
keterlibatan multi organ.2
152
7.2.5. Pengobatan
Perkembangan dalam pengobatan kusta menemukan babak baru dengan
ditemukannya dapson yang merupakan suatu terobosan dalam kusta, pada tahun
1940. Pengobatan kusta dengan menggunakan dapson memerlukan waktu
bertahun-tahun atau mungkin seumur hidup. Pada tahun 60-an dilaporkan kasuskasus resistensi terhadap dapson, dan kemudian pada tahun 1981 WHO
merekomendasikan Multi Drug Therapy (MDT) untuk pengobatan kusta. Pada
tahun 1995, MDT ini disediakan gratis untuk pasien kusta di seluruh dunia. MDT
yang merupakan lini pertama pengobatan terdiri dari rifampisisn, klofazimin, dan
153
7.2.6. Prognosis/prediksi/estimasi
Prognosis penyakit akan baik dan kecacatan dapat dihindari bila penemuan
kasus lebih awal, patuh terhadap terapi, dan manajemen terhadap reaksi kusta
secara benar. Masih banyak stigma berkembang di masyarakat, terutama pada
penderita kusta yang cacat dan tidak di rehabilitasi dengan baik. Hal ini dapat
berakibat pengasingan atau pengucilan penderita kusta di masyarakat. dan
prognosis untuk mengembalikan fungsi sosial penderita kusta di masyarakat juga
menjadi sulit.
7.2.7. Pencegahan
Belum ada data mengenai efektivitas BCG sebagai pencegahan terhadap
kusta di Indonesia. Sedangkan pemberian kemoprofilaksis baru dimulai sebagai
pilot project di Indonesia. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan
salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Bakteri kusta diluar tubuh
manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini
tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca
makin cepat kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk
ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.
154
7.3.
dan
manajerial.
Kegiatan
program
kusta
menurut
beban
155
daerah lesi tersebut; penebalan saraf perifer disertai gangguan fungsi saraf yang
dapat berupa gangguan fungsi sensoris, motoris maupun otonom; dan adanya
basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (skin smears).4,9
Beban Rendah
Kegiatan
Beban Tinggi
Puskesmas
Non PRK
PRK/RSUD
Wasor
Semua
Puskesmas
Pelayanan Pasien
1.
Penemuan suspek
2.
Diagnosis
3.
4.
5.
Pemeriksaan kontak
6.
Konfirmasi kontak
+/-
15. Pelaporan
7.
156
Kegiatan
Propinsi
+
-
Beban
Rendah
+
+
+
+
+
+
Beban Tinggi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Pusat
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
157
Distribusi
PB
Unilateral/bilateral
asimetris
MB
Bilateral simetris
Permukaan bercak
Kering, kasar
Halus, mengkilap
Batas bercak
Tegas
Kurang tegas
Jelas
Deformitas
Ciri-ciri khas
Pausibasiler
Rifampisin 600mg
Dapson 100mg
Multibasiler
Rifampisin 600mg,
Clofazimine 50mg,
clofazimine 300mg
Dapson 100mg
Pausibasiler dengan
lesi tunggal
158
Durasi
pengobatan
6-9 bln
12-18 bln
Dosis
tunggal
penanganan khusus. Selain itu dikenal juga relaps. Pasien dinyatakan relaps bila
setelah RFT timbul lesi baru. Untuk kasus MB, dinyatakan relaps jika setelah RFT
dilakukan pemeriksaan ulang BTA terjadi peningkatan Indeks Bakteri 2+ atau
lebih dibandingkan saat diagnosis awal.4
Selain pengobatan kusta diperlukan penanganan reaksi kusta yang baik.
Terapi reaksi kusta bertujuan untuk meredakan inflamasi akut, mengurangi rasa
sakit, mengembalikan kerusakan saraf dan mata. Sebelum memulai penanganan
reaksi, terlebih dahulu dilakukan identifikasi tipe reaksi yang dialami serta
derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada
formulir pencatatan pencegahan cacat, seperti: adanya lagoftalmos yang terjadi
pada 6 bulan terakhir, nyeri raba saraf tepi, kekuatan otot berkurang dalam 6
bulan terakhir, rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir, bercak pecah atau
nodul pecah, dan bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi. Bila terdapat
salah satu dari gejala diatas berarti terjadi reaksi berat dan perlu diberikan obat
anti reaksi dan MDT juga tetap diberikan. Neuritis atau inflamasi sedang pada
daerah lesi kulit dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid yang digunakan
159
22222
Skema pemberian
prednison yang masih digunakan oleh program dapat dilihat pada tabel 7.3.5
Pada reaksi tipe 2 (ENL) diberikan klofazimin sebagai anti inflamasi.
Program menggunakan klofazimin yang disebut lampren pada penderita ENL
berat, berulang (setelah terjadi 2 episode), dimana terdapat ketergantungan
steroid.4 Skema pemberian lampren dapat dilihat pada tabel 7.3 6.
160
Foot sum of Impairment (EHF score) didapat dari penjumlahan angka cacat pada
mata, tangan dan kaki.
Kecacatan dan Rehabilitasi
Kecacatan menurut International Classification of Function Disability and
Health (ICF) mencakup 3 aspek yaitu kerusakan struktur dan fungsi (impairment),
keterbatasan aktivitas (activity limitation) dan masalah partisipasi (participation
problem). United Nation Standard Rules for Equalization of Opportunities for
People with Disability menyatakan rehabilitasi meliputi semua upaya yang
bertujuan untuk mengurangi dampak kecacatan pada individu agar mereka
mampu mencapai kemandirian integrasi sosial, kualitas hidup yang lebih baik
serta aktualisasi diri. Strategi yang ditetapkan adalah dengan membangun
network dengan berbagai pihak untuk bidang atau tugas diluar tupoksi subdit
kusta/ Kemenkes/ Dinkes, menghilangkan berbagai hambatan agar klien bisa
mengakses program pembangunan yang ada di masyarakat (inklusi), mendukung
(pemberdayaan) klien untuk bisa berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi,
mengendalikan hidup agar bisa lebih mandiri. Kegiatan yang dilakukan
disesuaikan dengan matriks WHO mengenai rehabilitasi berbasis masyarakat.
Kegiatan tersebut meliputi kesehatan dan rebilitasi medis, pendidikan,
kehidupan sosial ekonomi dan pemberdayaan. Kegiatan sosial ekonomi dan
pemberdayaan yang dilakukan antara lain adalah membentuk kelompok
ekonomi mandiri, memfasilitasi klien untuk mendapatkan bantuan dari program
pemberdayaan sosial ekonomi yang ada di masyarakat, misalnya bantuan mikro
kredit pelatihan ketrampilan, dan program pemberdayaan masyarakat yang lain
(PNPM mandiri, dll), menyediakan dan memfasilitasi klien yang memerlukan
konseling untuk mendapat pelayanan, mendukung organisasi yang pernah
mengalami kusta dan kegiatannya, mendukung pemenuhan hak klien untuk
mendapatkan haknya , misalnya bekerjasama dengan dinas pendidikan, dinas ,
dinas koperasi, program pemberdayaan masyarakat yang ada di daerah,
pemerintah daerah, LSM.
161
7.4.
ANALISIS GAP
Dalam upaya untuk menurunkan angka KUSTA dan mengurangi beban akibat
KUSTA maka berbagai upaya telah dilakukan sebelumnya. Permasalahan yang telah
tersebut diatas seharusnya telah terjawab dan diselesaikan pada program
Pemberantasan Kusta.
Sebuah penelitian pernah dilakukan di lima pulau yang terisolasi di Sulawesi
Selatan, dari 4140 orang yang di skrining, 96 orang teridentifikasi menderita
penyakit lepra, angka ini mewakili CDR 205/10.000 dan prevalence rate
195/10.000.Pada penelitian tersebut dilakukan skin smears dari 90 pasien, dan
didapatkan 16 positif dan 74 negatif. Proporsi skin smear yang positif diantara
kasus baru yang terdeteksi adalah 13%. Sepuluh dari 31 pasien baru MB (32%) dan
6 dari 10 pasien lama (60%) menunjukkan hasil smear yang positif.12 Penggunaan
tanda kardinal sebagai diagnosis mempunyai sensitivitas 97% dengan positive
predictive value 98%.13 Sementara skin smears mempunyai spesifisitas yang tinggi,
tetapi dengan sensitivitas rendah, karena sekitar 70% pasien kusta menampakan
hasil smear negatif.14 Diagnosis kusta dapat ditegakkan secara histologis, dimana
gambaran inflamasi sel saraf dapat membedakan kelainan kusta dengan kelainan
granulomatosa lainnya.15
Secara imunologis, tes yang dikenal untuk membantu penegakkan diagnostik
kusta adalah menggunakan lepromin test. Test ini bukan untuk secara khusus
mendiagnosis penyakit kusta, melainkan untuk menilai respon imun seluler
162
penderita. Pada tipe Pausibasiler didapatkan hsail positif kuat, sedang tipe
Multibasiler hasilnya negatif.16 Berbagai alat immunodiagnostik yang ideal untuk
mendeteksi kusta telah dikembangkan melalui berbagai tahapan selama bertahuntahun dan.Diantaranya adalah modifikasi dari tes terhadap anti bodi PGL-1 yang
lebih cepat dan lebih murah, seperti dipstick, ELISA, ML flow test. Antibody pada
M.leprae spesifik untuk PGL-I tampak pada 90% pasien dengan penyakit kusta yang
belum mendapatkan terapi, tetapi hanya 40 50 % pada pasien dengan tipe
paucibacillary, dan 1 5 % pada Kontrol yang sehat.17,18 Metode Skin test terhadap
antigen seperti M. leprae soluble antigens dan lipoarabinomannan (MLSA LAM),
wall-associated protein sof M. leprae (MLCwA) dan fraksinya juga telah
dikembangkan sebagai alat diagnostik untuk kusta.19
Namun demikian pendekatan secara imunologis maupun histologis
mempunyai keterbatasan. Terutama dalam mendiagnosis kasus-kasus baru, fase
awal dari kusta dan untuk monitoring terapi. Adanya bakteri tahan asam pada skin
smears juga tidak cukup sensitif. Pada pemeriksaan histopatologis, beberapa
karakteristik granuloma dapat menyerupai dermatitis non spesifik.20 Saat ini
informasi yang luas mengenai struktur molekular kuman lepra telah banyak
tesedia.21,22 Kini dikembangkan teknologi molekuler untuk mendiagnosis lepra
dengan PCR, berdasarkan DNA maupun RNA. PCR mempunyai sensitivitas maupun
spesifisitas yang tinggi, karena dapat mendeteksi DNA M. leprae pada 95% pasien
multibasiler dan 55% pada pasien pausibasiler.23,24 Akan tetapi teknologi PCR
berdasarkan DNA mempunyai keterbatasan dalam penerapan di bidang monitoring
terapi.20 Selanjutnya teknologi PCR ini mengalami perkembangan dengan adanya
PCR berdasarkan RNA, dimana PCR dapat meningkatkan level RNA. Pendekatan ini
dapat membantu dalam membedakan kondisi seperti reaksi lambat dan terjadinya
relaps.20 Namun hingga saat ini PCR ini belum digunakan secara rutin untuk
kepentingan klinis mengingat biaya dan infrastruktur yang mahal.
Keterlambatan dalam menegakkan diagnosis kusta dapat berakibat
meningkatnya penularan dan meningkatnya risiko kecacatan.25 Faktor yang
berhubungan dalam keterlambatan penegakkan diagnosis datang dari pasien yang
163
33333
pilihan yang menarik, karena dengan regimen yang sama, durasi yang berbeda, dan
dapat digunakan pada tipe kusta pausibasiler maupun multibasiler. Masalah yang
diperdebatkan atas keterbatasan MDT pada kasus pausibasiler kusta adalah belum
jelas bagaimana kasus dengan lesi tunggal harus diterapi.Walaupun WHO telah
merekomendasikan dosis tunggal ROM untuk kasus tersebut, beberapa penelitian
menunjukkan hasil yang bervariasi.Hasil yang bervariasi ini menunjukkan bahwa
164
terlalu awal untuk menyimpulkan bahwa pengobatan ini efektif untuk lesi tunggal,
dimana lesi tunggal ini sangat heterogen dan mudah berevolusi.20
Respon pengobatan dengan menggunakan FDT selama 24-36 bulan pada
kasus kusta multibasiler, dinilai baik.35
44444
beberapa tahun dan laporan selama ini hanya menunjukkan kasus relaps kurang
dari 1%.36 Namun beberapa hal yang menjadi perdebatan antara lain. Gejala sisa
masih dilaporkan pada 9-16% pasien dengan
55555
pentingnya adalah, pada kasus yang diterapi dengan FDT, reaksi kusta timbul
secara berulang dan juga dapat menyebabkan kematian setelah terapi selesai. 20
Masalah yang terakhir adalah rekomendasi WHO mengenai terapi kusta
multibasiler yang dapat dihentikan setelah 12 dosis (1 tahun) dengan regimen
standar WHO. Mengingat gejala sisa maupun relaps yang timbul walaupun dengan
pengobatan selama 24 bulan, sebaiknya kewaspadaan pada durasi pengobatan
selama 12 bulan, ditingkatkan. Untuk mendeteksi kasus-kasus relaps, surveilans
secara intensif sekurangnya pada area yang dipilih selama 8-10 tahun diperlukan.20
Pada Januari tahun 1995 sampai dengan Mei 2000, diadakan sebuah
penelitian mengenai adverse effect yang disebabkan MDT di Health Center of The
Federal University of Uberlandia.Dari 187 pasien dilaporkan adverse events
sebanyak 113.Sebanyak 37,9% efek samping dilaporkan. Efek samping ditemukan
pada terkait dengan dapson 70,7%, 6,2% disebabkan oleh rifampisin dan 20,5%
disebabkan oleh klofazimin. Efek samping yang terjadi ini menyebabkan perubahan
rejimen terapeutik pada 28 (14,9%) dari 187 pasien atau 39,4% dari 71 dengan efek
samping.40
Efek samping dari dapson dapat berupa gastritis, anemia hemolitik, sakit
kepala, asthenia, methemoglobinemia, insomnia, agranulositosis, hepatitis, sulfon
sindrom , neuropati perifer, sindrom nefrotik, dan dermatitis eksfoliatif.40,41 Efek
165
samping yang paling banyak ditemukan adalah gastritis dan anemia hemolitik. 40
Efek samping tercatat dengan penggunaan klofazimin adalah ichthyosis sebanyak
69,2% kasus, dan rasa panas atau terbakar pada mata. Rifampisin dapat
menyebabkan demam dan kolik renal. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah
mual, diare dan dermatitis alergi.40
Obat alternatif lain untuk pengobatan kusta telah banyak dipelajari, beberapa
obat diantaranya adalah fluorokuinolon, minoksiklin dan clarithromycin. Berikut
akan diuraikan secara singkat mengenai obat-obat tersebut.
Fluorokuinolon. Obat-obat pada golongan ini yang dipakai untuk pengobatan
kusta adalah moksifloksasin dan ofloksasin, terutama digunakan pada pasien
dengan
intoleransi,
resistensi,
atau
gagal
klinis
terhadap
terapi
pada bakteri.46 Berguna sebagai terapi alternatif terapi maupun terapi utama pada
kasus dengan resistensi maupun intoleransi dan sudah berhasil digunakan untuk
pengobatan kusta lepromatosa sebagai monoterapi.47 Clarithromycin 500 mg/hari
berhasil dipasangkan dengan minoksiklin.48
166
66666
167
168
Temuan
Program
Saran
Penemuan kasus
statis
Pengobatan lama
Stigma Masyarakat
ketersediaan &
kemampuan petugas
untuk mendeteksi reaksi
kusta secara dini?
Kampanye kusta,
pemberdayaan Orang
Yang Pernah Menderita
Kusta (OYPMK)
Meningkatkan kampanye di
media dan meningkatkan
pemberdayaan OYPMK
7.5.
Masalah
Penanganan
Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi
Maintenance
Penelitian
Diagnostik dini
sulit
Diagnosis
berdasarkan
klinis
Meningkatkan
ketrampilan SDM
Uji RDT/PCR
sebagai
pemeriksaan
rujukan
Pengobatan
lama
Menggunakan
obat program
yang ada
Merancang strategi
dalam meningkatkan
kepatuhan
Sosisalisasi, edukasi
pasien, supervisi
pada pengobatan
Monitoring efikasi
obat
Sisitem pencatatan
dan pelaporan yang
jelas mengenai
resistensi /pemetaan
resistensi pelacakan
Pelacakan kontak &
pemberian
profilaksis
Penelitian
mengenai
intervensi yang
sesuai untuk
meningkatkan
kepatuhan
Uji klinik obat
alternatif
Resistensi Obat
transmisi
Edukasi pasien
& keluarga
Pemberian
profilaksis pada
kontak erat
Target
menurunkan
kecacatan
Penemuan
kasus sejak dini
Percepatan melalui
kegiatan
multiintervensi
Surveilans
Penelitian
mengenai
profilaksis
Operasional Riset
(multi intervensi)
dalam
kepatuhan,
sebaiknya
perlu
merancang
strategi
untuk
169
Daftar Pustaka
1. Global
leprosy
situation,
2012.
Releve
epidemiologique hebdomadaire / Section d'hygiene
du Secretariat de la Societe des Nations = Weekly
epidemiological record / Health Section of the
Secretariat
of
the
League
of
Nations.
2012;87(34):317-28. Epub 2012/08/28.
2. Fitzpatrick_Dermatology_in_General_Medicine__2_
Volumes__7th_Edition.pdf>.
3. Ridley DS, Jopling WH. A classification of leprosy for
research purposes. Leprosy review. 1962;33:119-28.
Epub 1962/04/01.
4. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan; 2012. 172 p.
5. Eichelmann K, Gonzalez Gonzalez SE, Salas-Alanis JC,
Ocampo-Candiani J. Leprosy. An Update: Definition,
Pathogenesis,
Classification,
Diagnosis,
and
Treatment. Actas dermo-sifiliograficas. 2012. Epub
2012/05/29. Lepra: puesta al dia. Definicion,
patogenesis, clasificacion, diagnostico y tratamiento.
6. Moet FJ, Meima A, Oskam L, Richardus JH. Risk
faktors for the development of clinical leprosy
among contacts, and their relevance for targeted
interventions. Leprosy review. 2004;75(4):310-26.
Epub 2005/02/03.
7. Rodrigues LC, Lockwood DNJ. Leprosy now:
epidemiology, progress, challenges, and research
gaps. The Lancet infectious diseases. 2011;11(6):46470.
8. Legendre DP, Muzny CA, Swiatlo E. Hansen's disease
(Leprosy): current and future pharmacotherapy and
treatment of disease-related immunologic reactions.
Pharmacotherapy.
2012;32(1):27-37.
Epub
2012/03/07.
9. WHO Expert Committee on Leprosy. World Health
Organization technical report series. 2012(968):1-61,
1 p following Epub 2012/09/14.
10. WHO Expert Committee on Leprosy. World Health
Organization technical report series. 1998;874:1-43.
Epub 1998/06/17.
170
virtual
BMJ.
24. Williams DL, Gillis TP, Booth RJ, Looker D, Watson JD.
The use of a specific DNA probe and polymerase
chain reaction for the detection of Mycobacterium
leprae. The Journal of infectious diseases.
1990;162(1):193-200. Epub 1990/07/01.
171
172
BAB
FRAMBUSIA
Dona Arlinda, M. Karyana
8.1.
PENDAHULUAN
Frambusia merupakan penyakit treponematosis non venereal dan
endemis yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pertenue.1
Frambusia ditularkan melalui kontak langsung non-seksual, erat dan lama
dengan eksudat atau serum pada lesi kulit penderita (skin-to-skin).2 Umumnya
pada tempat inokulasi infeksi terdapat luka minor karena abrasi kulit, laserasi,
atau gigitan serangga. Sekitar 75% penderita frambusia adalah anak-anak
berusia kurang dari 15 tahun dan terbanyak pada kelompok 2-10 tahun.3
Penyakit ini banyak ditemui di wilayah tropis beriklim hangat dan
lembab.4 Daerah endemis umumnya adalah daerah kantong di wilayah
pedalaman yang sulit diakses. Penyebaran penyakit dipermudah oleh
lingkungan padat dengan sanitasi dan higiene buruk.5
Frambusia pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1624 di
wilayah barat Pulau Seram, Maluku. Pada saat itu penyakit ini dinamakan cacar
Ambon (Amboinese pox). Kemudian antara tahun 1700-1775, frambusia
ditemukan di Pulau Jawa dan dinamakan cacar Jawa (Javanese pox) atau
pathek.6 Indonesia termasuk negara endemis frambusia sejak lama. Walaupun
kegiatan pemberantasan telah dilakukan sejak tahun 1912, sampai sekarang
belum berhasil mencapai eradikasi. Tahun 2012 WHO menetapkan frambusia
sebagai salah satu penyakit neglected dengan target eradikasi global tahun
2020.
173
8.2.
8.2.1. Etiologi
T. pallidum subspesies pertenue berasal dari famili Spirochaetaceae dan
bersifat gram negatif. Organisme ini berbentuk spiral dengan dimensi sangat
kecil (panjang 10-20 m dan diameter 0,2 m). T. pallidum subspesies pertenue
membelah diri dengan lambat setiap 30-33 jam, tidak dapat ditumbuhkan invitro, mati dengan pengeringan, pemanasan dan paparan oksigen.1, 2
Secara morfologis dan serologis, T. pallidum ssp. pertenue identik dengan
T. pallidum ssp. penyebab sifilis venereal, dan penyebab penyakit
treponematosis non venereal lain yaitu T. pallidum ssp. endemicum (sifilis
endemis) dan T. carateum (penyakit pinta).2 Dari 11 strain T. pallidum ssp.
pertenue yang berhasil diidentifikasi, di Indonesia terutama strain CDC-2575
dan Pariaman.7
8.2.2. Epidemiologi
Frambusia endemis dan tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat
dan Afrika.8 Di Indonesia, kasus frambusia terutama ditemukan di wilayah
Indonesia timur, antara lain di NTT, Papua, Sulawesi Tenggara, Papua Barat,
Maluku, dan Sulawesi Tengah.
Upaya pemetaan kasus frambusia dikoordinasikan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat Pengendalian Penyakit
Menular Langsung, Sub Direktorat Kusta dan Frambusia. Penemuan kasus
frambusia dilakukan secara aktif dan pasif, penemuan kasus aktif hanya di NTT
dan wilayah lain secara pasif. Data merupakan gabungan lesi menular (lesi
primer atau sekunder) dan tidak menular (lesi tersier), dari kasus tidak menular
belum diketahui angka kecacatan akibat frambusia.
174
8.2.3. Patogenesis
Masa inkubasi penyakit ini panjang selama 9-90 hari (rata-rata 21 hari).
Kemudian penyakit memasuki stadium dini yang sangat infeksius yaitu muncul
lesi inisial/primer (mother yaw) berupa papul tunggal yang berkembang
menjadi papiloma atau ulkus basah pada tempat inokulasi. Pada 65-85% kasus,
lesi inisial ditemukan pada tungkai dan pergelangan kaki.2 Setelah 3-6 bulan, lesi
inisial menyembuh dengan meninggalkan bekas atrofi, hipopigmentasi, atau
jaringan parut.
Diantara lesi primer dan sekunder terdapat masa laten pertama selama
beberapa minggu sampai dua tahun. Lesi sekunder timbul di sekitar lesi inisial
atau di tempat lain termasuk tulang dan tulang rawan. Karakteristik lesi
sekunder menyerupai lesi inisial, tersebar luas dan polimorfik. Pada telapak
tangan dan kaki dapat timbul hiperkeratosis kadang disertai fissura dan nyeri.
Pada
tulang
dan
sendi
berupa
osteoperiostitis
dengan
nyeri
dan
Stadium ini ditandai dengan lesi tersier yang bersifat destruktif (gumma) dan
menimbulkan cacat namun tidak infeksius. Lesi tersier berupa gangosa, gondou,
nodul juxta artikular, sabre tibia, dan lesi hiperkeratotik pada telapak tangan
dan kaki.
8.2.4. Diagnosis
Diagnosis frambusia di Indonesia ditegakkan secara klinis tanpa
konfirmasi sehingga kemungkinan terjadi over- maupun under-diagnosis yang
merancukan gambaran beban penyakit. Identifikasi frambusia berdasarkan
gejala klinis tidak mudah dilakukan karena manifestasi klinis tidak selalu khas. Di
175
8.2.5. Pengobatan
Terapi frambusia merupakan salah satu cara memutus rantai penularan
dan memberantas penyakit. Sampai tahun 2013, terapi frambusia di Indonesia
masih menggunakan injeksi tunggal penisilin benzatin terhadap semua kasus
aktif, anggota keluarga dan kontaknya. Pemberian injeksi penisilin benzatin
membutuhkan tenaga kesehatan terlatih, efek nyeri di lokasi penyuntikan,
risiko transmisi penyakit melalui jarum suntik tidak steril dan risiko reaksi alergi
obat atau anafilaksis. Selain itu penisilin benzatin perlu disimpan dalam
refrigerator untuk menjaga kualitas preparat.
176
8.2.6. Prognosis/prediksi/estimasi
Frambusia tidak lagi menular dalam 24 jam pasca pengobatan.
Penyembuhan sempurna lesi primer dan sekunder dicapai dalam 2-4 minggu
paska pengobatan. Destruksi tulang yang terjadi pada stadium lanjut bersifat
irreversible dan mengakibatkan kecacatan.2
8.2.7. Pencegahan
Penyebaran frambusia berhubungan dengan higiene dan sanitasi buruk,
oleh karena itu penyakit ini dapat dicegah dengan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS).
Imunitas terhadap infeksi T. pallidum ssp. pertenue tidak bertahan
seumur hidup dan bersifat strain-spesifik. Sampai saat ini belum ada vaksin
terhadap frambusia, sehingga tidak menutup kemungkinan reinfeksi pada
penderita yang sebelumnya telah dinyatakan sembuh.2
8.3.
177
0,45% pada tahun 1980. Pada tahun 1982 dilakukan crash program dengan
tujuan eradikasi frambusia namun program ini belum berhasil mencapai target.
Pada tahun 2007, program pemberantasan frambusia di Indonesia dimulai
kembali melalui Pedoman Eradikasi Frambusia 2007.11 Target yang ingin dicapai
adalah eradikasi frambusia tahun 2009 dengan unit terkecil desa/dusun.
Diagnosis ditegakkan secara klinis tanpa konfirmasi serologis.
Berdasarkan data epidemiologi, wilayah Indonesia dibagi menurut
endemisitas yaitu wilayah endemis, wilayah pengawasan, dan wilayah bebas.
Pada wilayah endemis dilakukan penemuan penderita secara aktif melalui
survey kantong, rapid village survey atau school survey. Pada wilayah
pengawasan dan bebas dilakukan penemuan penderita secara pasif. Selain itu
dilakukan pelacakan terhadap kontak penderita.
Pengobatan menggunakan injeksi penisilin benzatin dengan strategi
pemberian ditentukan menurut besarnya prevalensi penderita di desa/dusun
endemis. Bila prevalensi diatas 5% diberikan total mass treatment (TMT), bila
prevalensi 2-5% diberikan juvenile mass treatment (JMT), dan bila dibawah 2%
diberikan selective mass treatment (SMT). Follow up minimal dua kali paska
pengobatan untuk memantau hasil pengobatan sebelumnya dan mencari
penderita dan kontak yang lolos (missed cases).
Pada wilayah dengan laporan klinis frambusia negatif selama tiga tahun
berturut-turut akan dilanjutkan dengan serosurvei terhadap anak berusia
dibawah lima tahun. Jika serosurvei memberi hasil negatif selama tiga tahun
berturut-turut, wilayah tersebut akan mendapat sertifikasi bebas frambusia.
Kegiatan pendukung program meliputi pelatihan terhadap tenaga
kesehatan dan kader menggunakan modul pelatihan frambusia, promosi
kegiatan eradikasi terhadap sasaran primer, sekunder dan tersier dengan tema
bebas frambusia, tinggalkan keterbelakangan dan kemiskinan, serta kegiatan
pencatatan dan pelaporan.
178
179
8.4.
ANALISIS GAP
180
30 orang.
Gambar 8,4,1.1. Distribusi kasus baru frambusia klinis di Indonesia tahun 2011
(Sumber: Summary report of a consultation on the eradication of yaws:
5-7 March 2012, Morges, Switzerland)
Propinsi
Jawa Timur
Kab./Kota
Sampang
2.
Riau
Inhil
3.
Sumatera Utara
Labuhan Batu
4.
Bengkulu
Seluma
Desa
Moktesareh
Klinis
-
RDT (+)
1
RPR (+)
-
Sei Penggantungan
Talang Kabu
Tanah Abang
Penago Baru
5.
Jambi
Tanjab Timur
Parit culum 2
6.
Sumatera Barat
Padang Pariaman
Pasir Baru
7.
Sulawesi Tengah
Parimo
Palasa Lambori
Bambasian
Pebounang
Matabaho
8.
Sulawesi Tenggara
Konawe
Jumlah
30
Rapid Diagnostic Test (RDT) treponemal; Rapid Plasma Reagin (RPR) non-treponemal;
*Tidak ada keterangan
15
181
182
18
183
kromosom
DNA
treponema
menggunakan
teknik
184
Attenuated yaws
Attenuated yaws merupakan perubahan manifestasi klinis frambusia
tampak dilemahkan. Survei membandingkan gejala klinis frambusia tahun
1987 dibandingkan dengan hasil survei di pulau yang sama pada tahun
1953.22,
23
185
186
Temuan
Program
Saran
Pemetaan
penyakit belum
akurat
Pembiayaan
program belum
mencukupi
Pelaksanaan
program belum
efektif
- Estimasi pembiayaan
2011-2015 sebesar
US$ 8 500 000
- Kekurangan
US$ 3 500 000
- SDM merangkap dan
kurang koordinasi
- Pelaksanaan kegiatan
dan pelatihan kusta/
frambusia di wilayah
endemis rendah
- Belum semua propinsi
melapor ke Pusat
Kendala teknis
injeksi penisilin
- Terapi menggunakan
injeksi penisilin
benzatin menurut
prevalensi
PHBS belum
menjadi
kebiasaan
masyarakat
- Rumah tangga
termasuk kriteria
PHBS baik di wilayah
endemis rendah
Komitmen
politis belum
mendukung
- Eradikasi frambusia
bukan program
prioritas di Pusat dan
Daerah
8.5.
187
Masalah
Penanganan
Maintenance
Penelitian
Manajemen
kasus
- Menetapkan cara
diagnosis terbaik:
klinis diperkuat
serologis
(treponemal dan
non treponemal)
- Penemuan kasus
secara aktif
- Menetapkan terapi
terbaik: azitromisin
atau penisilin
benzatin
- Serosurvei berkala
dengan cara
diagnosis terbaik
- Pelatihan untuk
nakes dan kader
- Sosialisasi kepada
masyarakat
- Peran serta
masyarakat
Manajemen
program
Melanjutkan
program
- Revisi pedoman
- Roadmap menuju
eradikasi global
2020
Pengawasan
pelaksanaan dan
evaluasi ketat
Analisis costeffectiveness
pengobatan
frambusia di
Indonesia
Komitmen
politis
Melanjutkan
program
Menetapkan eradikasi
frambusia sebagai
prioritas
Advokasi dan
sosialisasi
bersinambungan
Analisis kebijakan
Survei untuk
pemetaan atau
validasi eliminasi
Daftar Pustaka
1. Perine PL, Hopkins DR, John RKS, Niemel PLA, Causse
G, Antal GM. Handbook of endemic treponematoses
yaws, endemic syphilis and pinta. Geneva: World
Health Organization; 1984.
188
189
190
BAB
ANTRAKS
Basundari Sri Utami
9.1.
PENDAHULUAN
Antraks, adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Bacillus
anthracis. Antraks menurut WHO termasuk salah satu penyakit Neglected
Zoonotic Diseases (NZDs) atau penyakit zoonosis yang terabaikan.
NZDs
terutama terjadi pada penduduk miskin dan tinggal didaerah marginal, dimana
bisa terjadi penularan antara manusia dengan hewan domestik atau hewan liar
oleh karena adanya peran lingkungan yang mendukung untuk terjadinya
penularan.
Kasus Antraks telah dilaporkan sejak tahun 1832, pertama kali dilaporkan
di kecamatan Tirawuta dan Monewe, kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Kemudian kasus antraks dilaporkan terjadi di Pulau Sumatera (1884), Bali
(1885), Jawa Tengah (1990), Nusa Tenggara Timur (1976), Nusa Tenggara Barat
(1977), Irian Jaya (1985),Jawa Barat (2000), Jakarta Selatan (2008), Sulawesi
Selatan (2009).
Penyakit antraks menjadi penting karena kejadian KLB antraks
mempunyai konotasi dengan kemiskinan. Disamping itu B. anthracis termasuk
dalam urutan pertama dalam klasifikasi agen biologi yang digunakan sebagai
senjata biologi, oleh karena mudah disebarkan secara luas dan gejala yang
ditimbulkan non spesifik sehingga menyulitkan diagnosis. 1,2
191
9.2.
9.2.1. Etiologi
Bacillus anthracis
9.2.2. Epidemiologi
Kejadian kasus antraks di Indonesia bersifat sporadik, terlokalisir dalam
satu wilayah tertentu dan cenderung berulang. Infeksi penyakit antraks dimulai
ketika spora B. anthracis memasuki tubuh inang (manusia atau hewan
memamah biak). Spora akan berkembang didalam tubuh inang hingga
menimbulkan gejala klinis, jika terjadi kematian pada inang B. anthracis akan
keluar bersama cairan tubuh membentuk spora dan mencemari tanah sekitar.
Permasalahan untuk penyakit antraks adalah jika sudah terjadi penularan dapat
dipastikan bahwa telah terjadi pencemaran tanah dilingkungan kejadian
penyakit. Spora antrak dapat mencemari lingkungan ditanah kering selama
60 tahun. Daya tahan spora antraks akan meningkat
192
9.2.3. Patogenesis
Bacillus anthracis mempunyai dua bentuk pertahanan, yaitu kapsul dan
spora. Bacillus anthracis dalam bentuk aktif (vegetative) bisa keluar dari dalam
tubuh setelah inang mati (ternak atau hewan lain), melalui pendarahan dari
193
hidung, mulut, anus, atau dengan cara lain, dan akan mencemari lingkungan.
Jika keadaan lingkungan tidak kondusif untuk berkembang (kondisi nutrisi
esensial tidak terpenuhi dan aerob), maka bentuk vegetatif akan membentuk
spora. Bentuk spora merupakan fase dormant/ tidak aktif. Kapsul B. anthracis
berperan dalam menghambat proses fagositosis makrofag, karena adanya
asam Poly-D-glutamyl (PGA) dan 3 komponen eksotoksin pada kapsulnya.
Protein eksotoksin tersebut adalah protective antigen (PA, 83 kDa), lethal faktor
(LF, 90 kDa), dan edema faktor (EF, 89 kDa). LF dan EF secara individu bersifat
non toksik, tetapi bila bergabung dengan PA menjadi bersifat toksik dan
menyebabkan respon patogenik pada hewan dan manusia. Gabungan PA + LF
adalah toksin penyebab kematian jaringan, gabungan PA + EF merupakan toksin
penyebab edema, sedangkan gabungan PA + LF + EF menyebabkan edema,
nekrosis dan kematian.9,
10
makrofag sehingga bakteri bisa bebas dalam aliran darah atau limfe. EF dapat
merubah cyclic ATP (cATP) menjadi cyclic AMP (cAMP), sehingga konsentrasi EF
yang tinggi menyebabkan resistensi air dalam sel tidak bisa dipertahankan,
terjadi penumpukan air (edema). PA berfungsi sebagai sarana jalan masuknya
komponen toksin dalam sel pertahanan, melalui mekanisme khusus. 11
9.2.4. Diagnosis
Ada 3 bentuk klinis Antraks, yaitu tipe kulit, tipe gastro intestinal dan tipe
inhalasi tergantung tempat masuk spora. Antraks tipe kulit ditunjukkan dengan
adanya vesikula atau ulser yang karakteristik dengan adanya eschar hitam. Tipe
gastrointestinal terjadi karena memakan daging hewan terinfeksi B anthracis,
dengan diare yang tidak spesifik. Tipe inhalasi terjadi karena terhirupnya spora
dalam pernafasan, dengan gejala awal menyerupai influenza, demam ringan,
pusing, lemah, mialgia dan batuk non produktif. Setelah 48 jam gejala menjadi
berat seperti dyspnoea, stridor, demam, dan cyanosis.
Antraks inhalasi
194
sangat cepat. Pada antraks inhalasi, infeksi tidak terjadi pada paru-paru, tetapi
pada
kelenjar
mediastinum,
dan
tidak
terlihat
gambaran
bronchopneumonia.12,13,14
Uji
9.2.5. Pengobatan
Umumnya penyakit-penyakit NZDs under diagnosis atau under reported
oleh karena sering tidak mendapat prioritas dan perhatian penuh dalam
penanggulangannya.16 Antraks dapat menginfeksi binatang peliharaan, ternak
(kambing, domba, sapi, kuda, babi) binatang liar
17
Pengobatan yang dilakukan sedini mungkin akan menunjukkan hasil yang baik.
Obat-obatan yang diajurkan atau direkomendasikan saat ini seperti yang
dianjurkan WHO pada tabel 9.2.5.1.
9.2.6. Prognosis/prediksi/estimasi
Penyakit-penyakit NZDs dapat meluas ke daerah lain meskipun tidak
cepat tetapi dapat berdampak fatal (kematian) atau mengakibatkan disability
permanent (kecacatan permanen). Pengobatan NZDs relatif mudah dan tidak
mahal, sehingga penanggulangan atau eliminasi NZDs sangat mungkin
dilakukan.
Antraks tipe kulit paling sering terjadi di Indonesia, namun demikian
adanya kejadian antraks di Indonesia seringkali dikategorikan sebagai Kejadian
Luar Biasa, (KLB), oleh karena kebiasaan penduduk untuk menyegerakan
195
Dosis
Dewasa
Penicillin V
Penicillin G,
procaine
Penicillin G, sodium
atau potassium
Ampicillin
Amoxicillin
Ciprofloxacin (a)
Clarithromycin (b)
Clindamycin (b)
500 mg PO or IV every 12 h
150300 mg PO tiap 6 jam
600900 mg IV tiap 68 jam
100 mg tiap 12 jam
Doxycycline
Erythromycin
Rifampicinc
12 g IV tiap 46 jam
Anak-anak
2550 mg/kg/hari PO dibagi dalam 4 dosis
25 00050 000 U/kg/hari IM
300 000400 000 U/kg/hari dosis dibagi untuk pemberian
tiap 46 jam
50200 mg/kg/hari IV dibagi untuk pemberian tiap 46
jam
Berat > 20 kg: 500 mg PO tiap 8 jam
Berat < 20 kg: 40 mg/kg PO dibagi dalam 3 dosis tiap 8 jam
Tidak dianjurkan untuk anak-anak.
Pada keadaan darurat, 1015 mg/kg 2 kali/ hari, tidak
diberikan lebih dari 1 g/ hari.
Tidak dianjurkan
(oral) 825 mg/kg/hari tiap 68 jam
(IV) 1540 mg/kg/hari dibagi dalam 34 dosis
Tidak direkomendasikan untuk < 8 tahun.
Pada keadaan darurat,
8 tahun, 2.2 mg/kg dua kali/ hari
> 8 tahun dan berat > 45 kg: 100 mg dua kali per hari
> 8 tahun dan berat < 45 kg: 2.2 mg/kg dua kali per hari
3050 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis
1020 mg/kg/hari tiap 1224 jam
196
mudah
ditularkan,
menimbulkan
sakit
berkepanjangan
yang
membutuhkan perawatan intensif dan gejala yang ditimbulkan bersifat nonspesifik sehingga menyulitkan diagnosis. Pada umumnya, senjata biologi juga
memiliki waktu inkubasi yang cukup panjang di dalam tubuh penderita sehingga
penyakit dapat ditularkan dan menyebar secara luas sebelum dapat terdeteksi.
Bacillus antracis termasuk dalam urutan pertama agen biologi. Bentuk sporanya
tahan lama bahkan sampai puluhan tahun.20, 21
9.2.8. Pencegahan
Pencegahan terulangnya kejadian KLB antraks seperti yang dianjurkan
WHO adalah sebagai berikut :
Memutus siklus penularan dan setiap langkah harus dilakukan secara serius
dan secara lintas sektor antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Pertanian.
197
9.3.
198
pedoman
pengobatan
Antraks
PEDOMAN
PENGOBATAN
DASAR
DI
9.4.
PENELITIAN
terjadi kesalahan
199
hanya pada saat kejadian KLB dan tidak pernah dilaksanakan rutin berkala,
desinfeksi dilaksanakan tidak menyeluruh pada area tercemar. Pengetahuan
masyarakat tentang penyakit antraks masih sangat kurang, penduduk masih
sering melakukan tradisi-tradisi yang dapat memperluas penularan, misalnya
memotong hewan sakit dan membagikan ke penduduk lain, mengkonsumsi dan
mengawetkan daging sapi yang mati, keengganan untuk melakukan tindakan
medis untuk dirinya, enggan menerima petugas untuk vaksinasi ternaknya dan
enggan melaporkan ternak sakit.
11
cenderung terjadi. Di Kabupaten Sabu Raijua pada tahun 1987 tercatat terjadi
KLB antraks hanya di 1 kecamatan (desa Jiwuwu kecamatan Sabu Timur),
namun pada tahun 2011 meluas di 4 kecamatan (Sabu Timur, Sabu Tengah,
Sabu Barat dan Hawu Mehara). 7,23,26
sebagai imunogen, aplikasi vaksin ini dapat secara aerosol atau parenteral.
Vaksin rekombinan protektif antigen (rPA) dikembangkan untuk vaksinasi
secara oral dan dapat menginduksi kekebalan humoral dan kekebalan
mukosal.3,18 Disamping pengembangan vaksin penelitian juga dilakukan untuk
mengatasi
200
9.5.
ANALISIS GAP
pada
tingkat propinsi.
Posisi
201
202
ini
untuk
mencegah
masyarakat
melakukan
bercocok
tanam,
Temuan
Program
1
2
Saran
203
9.6.
Kementerian Kesehatan.
Hal yang perlu dilakukan adalah :
1. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kementerian
Pertanian:
Vaksinasi ternak di daerah endemis secara berkala, penguatan pengetahuan
SDM Ditnak di daerah endemis, menyusun laporan dan pencatatan data
vaksinasi ternak lokasi serta lingkungan kasus.
2. Kementerian Kesehatan:
Penguatan pengetahuan SDM puskesmas di daerah endemis, melakukan
pelatihan biosafety dan biosecurity penanganan & pengiriman spesimen,
menyusun pelaporan kasus, lokasi serta lingkungan kasus.
Penelitian: identifikasi KAP (Knowledge Attitude Practice) pengetahuan
penyakit antraks dari petugas kesehatan puskesmas, pemuka masyarakat
di daerah endemis.
Mengembangkan laboratorium nasional sebagai rujukan pemeriksaan
antraks dan untuk pengembangan sistem pertahanan nasional dalam
mengantisipasi antraks sebagai senjata biologi. BSL3 adalah laboratorium
yang tepat untuk pemeriksaan antraks, kualitas laboratorium perlu
dipertahankan dengan melakukan akreditasi laboratorium secara berkala
dan mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi untuk laboratorium
di tingkat propinsi.
Penelitian: dalam antisipasi antraks sebagai senjata biologi, perlu
204
bersama
Ditnak secara
205
Masalah
Penanganan
Pengendalian/Elimi
nasi/Eradikasi
Maintenance
Penelitian
Penguatan SDM
puskesmas :
- Penanganan kasus,
- Penanganan &
pengiriman spesimen
(biosafety dan
biosecurity)
- Pelaporan,
- Pengatahuan penyakit
Mengembangkan
laboratorium nasional
(BSL3) sebagai rujukan
pemeriksaan antrak dan
untuk ketahanan negara
(senjata biologis)
Kegiatan vaksinasi
ternak oleh Dit Nak
Pelatihan berkala
- Identifikasi
SDM nakes dan SDM KAP tentang
Ditnak
penyakit
antraks dari
petugas
kesehatan
puskesmas
dan pemuka
masyarakat
Tidak ada
Akreditasi
- Mendapatkan
laboratorium
laboratorium,
primer spesifik
pemeriksaan
mengembangkan
spora
spesimen
sistem monev
B.anthracis
antraks
isolat lokal,
membandingk
an dengan
strain luar
negeri
Pengetahuan
Sosialisasi dan edukasi
Dilakukan berkala
- Mengembangk
masyarakat
dilakukan bersama Ditnak
pada saat lalu lintas
an peraga
rendah
ternak tinggi
edukasi
masyarakat
2. Kebijakan pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian/eliminasi/eradikasi
Tidak ada data Pemetaan daerah
daerah
endemis bersama Dit nak
endemis
terkini
Kegiatan vaksinasi
ternak oleh Dit nak
untuk daerah
endemis
Rambu
peringatan
tidak sesuai
dengan situasi
terkini
206
Membuat rambu
permanen dilakukan
bersama : Kemkes,
Ditnak, aparat desa,
kepolisian setempat
Pemutakiran data
dilakukan berkala
bersama Ditnak
Larangan keras
menggali
Untuk menguatkan
dibuatkan undang undang
- Melakukan
survai untuk
cemaran spora
antraks di
daerah
endemis dan
daerah
terdekat
Daftar Pustaka
1. SF Dept. Public Health-Infectious Disease
Emergencies.2005. Anthrax. Tersedia pada:
www.sfcdcp.com/document.html
2. Senjata Biologi. Tersedia pada:
http://id.wikipedia.org/wiki/Enjata_biologi
3. Todars Online Textbook Of Bacteriology. Tersedia
pada :
http://textbookofbacteriology.net/Anthrax.html
4. Bacillus anthracis. Tersedia pada:
http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Bacillus
_anthracis
5. Penyakit Menular Dari Hewan Ke Manusia.
Zoonosis (1). Tersedia pada:
http://books.google.co.id/books?id=BaV3U0vkTto
C&pg=PA19&lpg=PA19&dq=siklus+anthrax&source
=bl&ots=9BU59OhPm&sig=ULN1Sc7HDdDImEAWB
b2VE6lX7Uk&hl=id&sa=X&ei=sQiwUO7gBNDHrQe
b24DwBw&ved=0CFkQ6AEwCQ#v=onepage&q=sik
lus%20anthrax&f=false
6. Dragon DC, Rennie RP. 1995. The Ecology Of
Anthrax Spores: Tough But Not Invincible. Can Vet.
J. 1995. (36): 295-301
7. Tri Satya Putri Naipospos, Blog Veteriner Ku. 2011.
Pertanian, Trdisi Dan Antraks. Tersedia pada:
http://tatavetblog.blogspot.com/2011/08/pertani
an-tradisi-dan-antraks.html
8. Edwin M. Anthrax. Tersedia pada:
http://www.history-magazine.com/anthrax.html
9. Bhatnagar R, Batra S. 2001. Antharx Toxin. Crit Rev
Micribiol. 27 (3): 167-200. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11596878
10. Agent And Pathogenesis. Tersedia pada:
http://www.cidrap.umn.edu/cidrap/content/bt/an
thrax/biofacts/anthrax_agent.html
11. Jeremy Mogridge. 2007. Defensive strategies of
Bacillus anthracis that promote a fatal disease;
Drug Discovery Today: Disease Mechanisms . (4):
253-258. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC25
97864/
12. Bacillus anthracis. 2003. J Clin Pathol. (56) 182187. Tersedia pada :
http://jcp.bmjjournals.com/content/56/3/182.full
13. Burke A Cunha, MD; Michael Stuart Bronze, MD.
Anthrax. Tersedia pada :
http://emedicine.medscape.com/article/212127overview Updated: Dec 24, 2012
14. N. A. Twenhafel. 2010. Pathology of Inhalational
Anthrax Animal Models; Vet Pathol. ( 47): 819
originally published online 23 July 2010. Tersedia
pada:
http://vet.sagepub.com/content/47/5/819.full
207
208
BAB
10
PES
Ristiyanto
10.1. PENDAHULUAN
Pes adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri Yersinia
pestis. Penyakit ini termasuk zoonosis yang ditularkan dari binatang pengerat
(khususnya tikus) kepada manusia melalui gigitan pinjal1. Sinonim penyakit ini
adalah pasteurellosis, yersiniosis, bubonic plague, pneumonic plague, black
death atau plague1, sampar, dan panas mringkil (bhs.Jawa)2.
Pada abad pertengahan, sekitar tahun 13471351, pes pernah menjadi
epidemi di Eropa dan daerah lainnya, serta menewaskan dua pertiga populasi
Eropa3. Peristiwa wabah pes tersebut dikenal dengan nama The Black Death,
karena bercak-bercak hitam yang terdapat di kulit penderita pada awal
kejangkitannya. Pada abad tersebut, pandemi pes di dunia menyebabkan
kematian kurang lebih 75 juta penduduk1
Pes, pertama kali masuk di Indonesia melalui pelabuhan Surabaya, pada
tahun 1910. Selain di Surabaya, pes juga masuk melalui pelabuhan Semarang
tahun 1916, Cirebon tahun 1923 dan Tegal, tahun 1927. Epidemi pertama
diketahui di provinsi Jawa Timur, akan tetapi wabah pes terus meluas ke Jawa
Tengah (Surakarta pada tahun 1915 dan Yogyakarta pada tahun 1916). Tahun
1910 sampai tahun 1960, pes menyebabkan banyak kematian pada penduduk
di pulau Jawa. Pes pernah dilaporkan terjadi di Makasar dan Deli pada tahun
1922, akan tetapi penyakit ini tidak pernah lagi ditemukan di kedua daerah
209
tersebut sampai saat ini. Tahun 1934-1950, kasus pes hanya ditemukan di
kabupaten Boyolali dan kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah2.
Sejak tahun 1960 tidak pernah ada laporan tentang adanya kasus pes
pada manusia, tetapi tiba-tiba pada tahun 1968 dilaporkan oleh Dinas
Kesehatan Rakyat Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah adanya banyak kematian
penduduk kecamatan Selo dan Cepogo. Kematian pada penduduk di kedua
kecamatan tersebut terkonfirmasi disebabkan karena pes. Dari tahun 19691985 tidak ada laporan kasus pes, baik di pulau Jawa maupun di pulau lain di
Indonesia. Pada akhir tahun 1986, pes kembali mewabah di dusun Sulorowo,
desa Kayukebek, kecamatan Nongkojajar, kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Sejak saat itu sampai sekarang hanya daerah terjadinya wabah pes tersebut
dilakukan pengamatan pes secara intensif, baik pada manusia, tikus dan
pinjalnya.1
Walaupun jumlah kasus pes tidak sebanyak malaria, HIV / AIDS, dan
tuberkulosis (global commitment)4,5, tetapi penyebaran pes cepat, serta
berpotensi menjadi pandemi di bawah kondisi yang tepat. Oleh karena itu pes
tidak boleh diabaikan. Pes dapat menjadi ancaman kesehatan bagi manusia,
selama pes tidak dikenal dan dipahami oleh masyarakat.
210
pada mamalia dan burung. Yersinia pestis mempunyai tiga varietas yaitu Y.
pestis var. Antiqua ditemukan di Afrika dan Asia Tengah, var Medievalis
ditemukan terbatas ke Asia Tengah, dan var. Orientalis tersebar hampir seluruh
dunia5.
10.2.2. Epidemiologi
Sejak tahun 1910, Sub Direktorat Zoonosis, melaporkan bahwa distribusi
pes hanya dari pulau Jawa, dan pada ahun 1922 ditemukan di Makasar,
Sulawesi Selatan dan Deli, Sumatera Utara. 2 (Gambar 10.2.2.1)
211
Kabupaten Boyolali
Banten
Jawa Barat
N
W
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kabupaten Pasuruan
Kabupaten Sleman
D.I. Yogyakarta
Keterangan;
= Daerah enzootik Pes
= Daerah bebas Pes
11.
Gambar 10.2.2.2. Pinjal tikus rumah Xenopsylla cheopis infektif Y. pestis1 dan
tikus rumah (R. tanezumi)2
212
Faktor risiko kejadian pes adalah gigitan pinjal tikus, kontak dengan
penderita pes atau kontak dengan hewan atau binatang pengerat terinfeksi pes,
tinggal di daerah endemik pes/enzootik pes,
10.2.3. Patogenesis
Pes merupakan penyakit tular vektor yaitu, penyakit yang ditularkan dari
binatang (terutama tikus) ke manusia melalui gigitan pinjal infektif bakteri Y.
pestis dan apabila terlambat pengobatannya dapat berkembang menjadi
penyakit tular udara (air borne disease) yaitu, penularan pes dari manusia
penderita pes ke manusia sehat lewat pernafasan7,8. Terdapat 3 tahap
perkembangan pes pada manusia yaitu, bubonik, pneumonik dan septikemik.
Ketiga tahapan tersebut dapat menyebabkan kematian, yaitu 30-75% bagi
penderita bubonik, 90-95% bagi penderita pes pneumonik dan 100% bagi
penderita pes septikemik.9,1 Menurut World Health Organization penyakit ini
merupakan salah satu penyakit menular yang paling mematikan, penderita
dapat meninggal dunia 24 jam setelah infeksi (pes pneumonik). Tingkat
kematian tergantung pada seberapa cepat pengobatan dimulai.2
Pada tempat gigitan pinjal akan timbul gelembung kecil yang berisi cairan
yang hemoragis. Sebanyak 5% dari gigitan pinjal yang infektif Y. pestis
menimbulkan pes kulit.1 Y. pestis mempunyai endotoksin yang merupakan
faktor utama dalam patogenesis pes. Patogenesis akibat infeksi Y. pestis pada
inang mamalia disebabkan kemampuan bakteri Y. pestis untuk masuk dalam
kulit dan menghindari respon imun tubuh seperti, fagositosis dan antibodi.1
Bakteri ini menghasilkan koagulase pada suhu 280C (suhu normal pinjal) tetapi
tidak pada suhu 350C. Pada suhu tinggi penularan lewat pinjal relatif rendah
atau penularan pes tidak terjadi dalam cuaca panas.13
213
limfadenitis. Kemampuan
214
melalui pes bubo dan pes-septikemi. Penderita ini dapat mengeluarkan bakteri
pes ke udara melalui dahaknya atau batuk/bersin. Bakteri pes akan masuk ke
pernafasan orang sehat dengan cara langsung dan akan timbul pes paru primer.
Pes paru adalah penyakit yang berat dan dapat mengakibatkan kematian dalam
beberapa jam atau hari. Penderita sangat lemah sehingga tidak mampu batuk
dengan keras. Jika batuk, dahaknya bercampur dengan darah.12
(peradangan
dan
pembengkakan
kelenjar
getah
bening)
berdasarkan
gejala
klinis,
juga
diperlukan
pemeriksaan
215
yaitu tampak sel batang gram negatif (coccobacilli), dan Giemsa atau Wayson
untuk pewarnaan organisme bipolar
Leukositosis dengan dominasi neutrofil dapat dijumpai, dan tingkat
leukositosis sebanding dengan tingkat keparahan penyakit. Angka leukosit
darah tepi antara 10.000-20.000 per mm3 dan pada kasus-kasus yang berat
tidak jarang terjadi Koagulasi Intravaskular Disseminata (KID). Trombositopenia
menyebabkan
bilirubin juga meningkat. Apusan darah tepi menunjukkan granulasi toksik dan
badan Dohle. Analisis cairan cerebrospinal (CSF) pada sampar tipe meningeal
menunjukkan pleositosis dengan dominasi leukosit polimorfonuklear 8.
Uji serologi secara klinis tidak berguna dalam mendiagnosis penyakit akut.
Secara serologis mengukur titer antibody akut dan konvelensi 2-4 minggu
kemudian, walaupun tetap harus dipertimbangkan kemungkinnan adanya
reaksi silang dengan salmonella, brucella dan Escheria coli. Di Indonesia, titer
antibodi yang kurang dari 1:128 dianggap tidak bermakna. Tes imunofluoresensi
direct dapat dapat membantu dalam diagnosis cepat. Tes diagnostik cepat
dikembangkan dan mampu mendeteksi bakteri Y.pestis dalam waktu 15 menit
dengan sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk spesies Yersenia8.
Radiografi thoraks menunjukkan adanya infiltrat, konsolidasi, atau rongga
persisten pada pasien dengan wabah pneumonia. EKG menunjukkan takikardia
sinus dan perubahan ST-T. Pencitraan nuklir dapat membantu melokalisasi
daerah peradangan limfadenitis dan meningeal.
10.2.5. Pengobatan
Pengobatan pes ditujukan untuk penyembuhan dan menghindari
kematian. Pemilihan antibiotik bergantung pada gambaran klinis yang
ditunjukan penderita.
216
Pengobatan kasus pes berat seperti pada tipe septikemia dan pneumonik
adalah sebagai berikut
Pada dewasa
217
intravena terbagi dalam 4 kali pemberian selama 10 hari. Secara oral juga
dapat diberikan dengan dosis yang sama.
Anak-Anak
dapat
dilakukan
intamuskular
dengan
dosis
20-
30mg/kgBB/hari dibagi setiap 12 jam untuk sampar tipe bubo. Untuk tipe
septikemia dan meningitis biasanya diobati dengan kloramfenikol
intravena (100mg/kgBB/hari) dibagi setiap 6 jam. Penyakit ringan dapat
diobati dengan kloramfenikol atau terasiklin oral tapi pada anak yang
berusia diatas 10 tahun. Doksisiklin atau gentamisin dan fluoroquinolones
(siprofloksasin) dilaporkan juga efektif untuk pes anak
Pasien dengan gejala fisik tipe pes pneumonia harus ditempatkan dalam
ruang isolasi yang ketat selama 48-72 jam dan diberikan terapi antibiotik
sampai gejala pneumonia telah disembuhkan atau sampai kultur sputum
negatif. Terapi suportif seperti pemantauan hemodinamik dan dukungan
ventilasi dilakukan sesuai dengan keadaan klinis. Cairan infus, epinefrin,
dan dopa min diperlukan untuk koreksi dehidrasi dan hipotensi. Diazepam
diberikan untuk mengurangi kegelisahan. Heparin biasanya diberikan
apabila
218
terdapat
gejala
pembekuan
darah.
Pembesaran
bubos
10.2.6. Prognosis8,9
Pengobatan dengan antibiotik dapat menyembuhkan 100%. Angka
kematian tipe bubonik mencapai 50-90%; sedangkan tipe pneumonik, dan
septikemik hampir seluruhnya berakhir dengan kematian. Kejadian luar biasa
(KLB) pes di kabupaten Boyolali, Jawa Tengah tahun 1968-1970 mempunyai
angka kematian 42- 20%; sedangkan KLB pes di kabupaten Pasuruan, Jawa
Timur tahun 1986-1987, angka kematian mencapai 83%. Persentase kematian
akibat pes tergantung pada kecepatan mendapatkan pertolongan atau
pengobatan.
10.2.7. Pencegahan
Upaya pencegahan pes berdasarkan sasaran komponen penting, yaitu
patogen pada manusia, jenis tikus sumber patogen, dan jenis pinjal vektor pes.
Pencegahan penularan pes pada manusia sebagai berikut:
Pencegahan pes yang ditujukan ke masyarakat, dilakukan dengan
penemuan dan diagnosis dini, diikuti dengan tindakan pengobatan segera
sebagai upaya pencegahan penyakit dalam masa laten sehingga tidak melanjut
ke tahap yang lebih berat. Pencegahan juga dapat dilakukan agar tidak terjadi
penularan dengan cara vaksinasi (inactivated vaccine; Haffkines vaccine), isolasi
penderita pes pneumotik, post-exposure prophylaxis (PEP) untuk orang -orang
yang memiliki resiko terpapar7,10.
Tindakan penanggulangan pes
bumbung
219
kepada
masyarakat.
Eliminasi
pes
saat
ini
bertujuan
220
ditemukan positif Y. pestis di kabupaten Pasuruan, Jawa Timur pada tahun 1987
yang diikuti dengan kejadian luar biasa pes pada manusia. Pada tahun 1992 dan
1997, ditemukan rat fall di kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Pada tahun 1997,
ditemukan pes bubo pada manusia di kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Saat ini
kabupaten Boyolali (Selo dan Cepogo), Jawa Tengah dan kabupaten Pasuruan
(Nongkojajar, Tosari, Pasrepan), Jawa Timur masih berstatus sebagai daerah
fokus pes
900
775
800
700
600
500
400
300
329
254
166
200
100
242
207
82
11
2004
2005
2006
151
147
40
14
2009
2010
2011
2012
2013
0
2007
2008
Tahun
Diperiksa
Positif
Gambar 10.4.1. Proporsi positif serologi pes dan darah manusia diperiksa,
tahun 2004 - 2013
221
5540
6000
4762
5000
4000
3000
2151
2147
2000
3329
3242
3157
1214 1140
1190
1000
3
16
12
28
16
18
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
Diperiksa
Positif
Gambar 10.4.2. Proporsi positif serologi pes dan darah tikus diperiksa,
tahun 2004 2013
222
promosi
223
224
225
Temuan
Program
Saran
Kurangnya
parstisipasi
masyarakat
terhadap kegiatan
surv.pes , banyak
perangkap
hilang/dirusak
Penyuluhan kepada
masyarakat
Belum optimalnya
jejaring komunikasi
& koordinasi lintas
sektoral terkait
Integrasi program
pemberantasan pes
Terbatasnya sarana
& pra sarana untuk
menunjang
kegiatan surveilans
pes
Pengadaan sarana
dan prasarana
surveilans pes
Ketrampilan
petugas kurang
Pelatihan
entomologi dan
rodentologi
Belum ada
226
227
pemberantasan
penyakit,
kesehatan
lingkungan,
promosi
228
229
8. Jika ternyata konfirmasi positif diberi tindakan seperti kasus, bila tidak
maka pengobatan dihentikan.
9. Kepada keluarga dimana rumahnya terdapat tikus mati tanpa sebabsebab yang jelas (rat fall) dengan pemeriksaan laboratorium positif,
diberikan pengobatan pencegahan selama 5 hari, dan jika tidak timbul
gejala pes, keluarga tersebut tetap dipantau setiap hari.
230
turut sampai tidak ditemukan lagi kasus atau spesimen positif pada manusia.
Apabila daerah terancam terjadi kejadian luar biasa pes statusnya dapat naik
menjadi daerah fokus, dan tindakan pengendalian dan pemberantasan pes
dilakukan seperti di daerah fokus pes.
c. Untuk daerah bekas fokus pes
Surveilans dilakukan 1 (satu) tahun sekali atau 2 (dua) tahun sekali
selama 5 hari berturut-turut atau bila ditemukan jejak tikus (rat fall) dan
dilakukan secara spot survei.
Berdasarkan hasil pertemuan evaluasi pes di Ciloto pada tahun 1997, yang
dilanjutkan dan ditinjau kembali pada pertemuan evaluasi tahun 2004, maka
kebijaksanaan pencegahan dan pemberantasan/eliminasi pes dititikberatkan
kepada;
1. Kegiatan pengamatan aktif dan pasif terhadap manusia dan rodensia serta
pinjalnya, pengobatan terhadap penderita/tersangka, pemberantasan vektor
dan tindakan perbaikan lingkungan
2. Sasaran prioritas adalah daerah fokus pes yaitu, desa, tempat ditemukan Y.
pestis baik pada pinjal, rodent, tanah, bahan organik lain ataupun manusia
dan/atau serologi positif manusia (titer 1: 128) atau serokonversi terdapat
kenaikan titer 4 kali lipat (2 x pengambilan) serta serologi positif rodent (titer
1 : 128). Daerah terancam yaitu, desa yang berbatasan dengan daerah
fokus oleh perhubungan (darat, laut dan udara) dan ditemukan serologi
positif binatang pengerat dan manusia dengan titer < 1: 128, dan daerah
bekas fokus yaitu,desa yang masih dianggap potensial sebagai daerah
enzootik dan wabah pes atau pernah ada riwayat pes.
3. Kegiatan pemberantasan dan status daerah pes sesuai kesepakatan, maka
setiap 10 tahun diadakan penilaian dengan melibatkan pelaksana program
pemberantasan pes dan para ahli pes, baik dari dalam dan luar negeri.
231
232
Masalah
Penanganan
Maintenance
Penelitian
Pemberdayaan
masyarakat
dalam eliminasi
pes belum
optimal
Mengintensifkan
sosialisasi/
penyuluhan
pentingnya
surveilans pes
Penyuluhan kepada
masyarakat dalam
eliminasi pes
Studi Partisipasi
masyarakat dalam
eliminasi pes
Belum
optimalnya
jejaring
komunikasi &
koordinasi linsek
terkait
Memantapkan
jejaring
komunikasi &
koordinasi dg
linsek terkait
(pertanian,pemda
)
Integrasi program
pemberantasan pes
Jejaring kerjasama
lintas sektoral dalam
eliminasi pes
Implementasi
advokasi lintas sektor
dalam eliminasi pes
di Indonesia
Kebijakan
eliminasi
pes
diintensifkan
Mengalokasikan
anggaran
eliminasi
pes
pada area luas
dan
kerjasama
dengan instansi
terkait
Surveilans pes
dan
pengendalian vektor
dan
faktor
risiko
lingkungan
Kompetensi petugas
Studi
dinamika
penularan pes dalam
rangka eliminasi pes
Pemberdayaan
masyarakat
dalam eliminasi
pes belum
optimal
Mengintensifkan
sosialisasi/
penyuluhan
pentingnya
surveilans pes
Penyuluhan kepada
masyarakat dalam
eliminasi pes
Studi Partisipasi
masyarakat dalam
eliminasi pes
Daftar Pustaka
1.
2.
Sub
Direktorat
Zoonosis,
Pedoman
Penanggulangan Pes di Indonesia. Dep. Kes. RI.,
Dirjen. P2M & PLP. Jakarta. 1999.
3.
4.
5.
6.
233
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Perry, R. D. and Fetherston, J. D. Yersinia pestis-etiologic agent of plague. Clin. Microbiol. Rev. 10,
35-66 (1997)
13.
14.
15.
Sub
Direktorat
Zoonosis.
Pedoman
Penanggulangan Pes di Indoensia. Dep. Kes. R.I.
Dirjen. P2M dan Pl. Jakarta. 1999.
16.
234
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
BAB
11
LEPTOSPIROSIS
Ristiyanto
11.1. PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah zoonosis, disebabkan oleh bakteri patogenik dari
genus Leptospira. Sampai saat ini dikenal dua jenis Leptospira yaitu Leptospira
interogans dan Leptospira biflexa. Jenis pertama dikenal patogen terhadap
manusia dan hewan, sedangkan spesies kedua merupakan safrofit yang hidup
bebas di perairan dangkal dan jarang dihuhungkan dengan infeksi pada
manusia. 1,2
Di Indonesia, leptospirosis telah dikenal sejak tahun 1892 di Jakarta.
Serovar Leptospira di Indonesia pertama kali teridentifikasi dari pekerja kebun
karet di Ambarawa Jawa Tengah pada tahun 1922. Tahun 1938, Wolf
mengisolasi serovar Hardjo. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya telah
diisolasi berbagai serovar Leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan
peliharaan. Sejak itu leptospirosis jarang dilaporkan1.
Di negara berkembang leptospirosis sering diabaikan keberadaannya,
karena kurang informasi, ketidak tahuan insidensi leptospirosis, tidak ada alat
diagnostik
yang
berkelanjutan
sesuai
untuk
dan
kesulitan
pencegahan
dan
dalam
merencanakan
pengendalian
strategi
leptospirosis.
penularannya2.
235
11.2.2. Epidemiologi
Awal tahun 1970-an, kasus leptospirosis pada
manusia dilaporka di
236
dapat melalui hidung atau farinks dan melalui kunjunktiva saat menggosok
mata dengan jari kotor infektif Leptospira patogenik3. Bakteri Leptospira yang
ditularkan oleh tikus berpotensi menyebabkan sakit pada manusia daripada
semua jenis Leptospira yang ada pada hewan domestik4.
Host (inang) bakteri Leptospira dapat dibedakan sebagai maintenance
host dan incidental host. Inang tempat bakteri Leptospira menetap sebagai
infeksi kronik di dalam tubulus ginjal disebut maintenance host. Contohnya
tikus. Sedangkan incidental host adalah inang yang terinfeksi Leptospira tanpa
menimbulkan manifestasi kronis, tetapi akut. Contohnya manusia dan hewan
ternak/piaraan seperti sapi,anjing dan lain-lain2,5
Infeksi biasanya ditularkan dari hewan ke hewan melalui kontak langsung.
Biasanya, infeksi didapat pada usia dini. Frekuensi ekskresi kronik melalui urin
meningkat dengan bertambahnya umur hewan. Pada manusia, penularan
melalui kontak tidak langsung dengan maintenance host. Luasnya penularan
tergantung dari banyak faktor yang meliputi iklim, kepadatan populasi, dan
derajat kontak antara maintenance host dan incidental host.
Kalimantan
Papua
Maluku
Sumatera
Jawa
Keterangan;
Sulawesi
NTB
= Daerah leptospirosis
NTT
237
238
11.2.3. Patogenesis
Leptospira masuk ke dalam tubuh inang melalui luka iris/luka abrasi pada
kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus,
bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan
minum air yang terkontaminasi8. Walaupun jarang ditemukan, namun
dilaporkan kasus leptospirosis yang terjadi karena penetrasi kuman Leptospira
melalui kulit utuh yang lama terendam air pada saat banjir. Infeksi melalui
selaput lendir lambung jarang terjadi karena asam lambung yang mematikan
bakteri Leptospira dan Leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi akan
dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari
infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan. Pada
keadaan ini bakteri Leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit9.
Leptospira
merusak
dinding
pembuluh
darah
kecil
sehingga
239
dan toksisitas selluler. Organ utama yang terinfeksi bakteri Leptospira adalah
ginjal dan hati. Di dalam ginjal bakteri Leptospira bermigrasi ke interstisium
(ruang kecil diantara sel) tubulus ginjal dan lumen tubulus9,11.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro
dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran
cairan dan hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati,
pelepasan bilirubin darah dari jaringan
di
aqueous
humor
difagosit
oleh
kadang
menimbulkan
uveitis
kronik
berulang13,14.
Leptospira
sel-sel
sistem
retikuloendotelial
serta
11.2.4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis di berbagai rumah sakit
tidak sama, tergantung dari : jenis bakteri leptospirosis, kekebalan seseorang,
kondisi lingkungan dan lain-lain. Diagnosis banding leptosipirosis ialah dengan
influenza yang sporadik, meningitis aseptic viral, ricketsiosis, segala macam
penyakit dengan ikterus, glandular fever, brucellosis, pneumonia atipic, DHF,
240
fever unknown origin (FUO). Selain itu diagnosis banding lain adalah
hemorrhagic fever yang lain, dan arthropod-borne disease dan rodent-borne
dsiease15,16,17.
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data
epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan faktor
risiko18,19,20. Keluhan khasnya yaitu, demam mendadak, keadaan umum lemah
tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata semakin
lama semakin bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis
dan paha21.
Manifestasi klinis leptospirosis bervariasi dari ringan hingga ikterohemoragik yaitu seluruh tubuh berwarna kuning seperti hepatitis, dan timbul
manifestasi perdarahan misalnya: mimisan, batuk darah, muntah darah, berak
darah, perdarahan di otak). Leptospirosis ringan (90% kasus Leptospirosis)
ditandai dengan gejala demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri perut, mual dan
muntah. Semua pasien Leptospirosis berat menunjukkan gejala demam yang
tinggi (lebih dari 390C) pada dua hari pertama, dan bisa berlangsung sampai 8
hari. Selanjutnya muncul gejala kuning (ikterus) di mata, kulit, dan air kencing
yang berwarna kuning tua seperti air teh, sehingga sering diduga sebagai
hepatitis akut. Gejala lainnya adalah kelainan ginjal, perdarahan di paru, dan
kadang miokarditis mengakibatkan kematian mendadak19,22.
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terbagi atas pemeriksaan
laboratorium umum dan pemeriksaan laboratorium khusus23.
1. Pemeriksaan laboratorium umum
Pemeriksaan laboratorium umum meliputi pemeriksaan darah,
pemeriksaan fungsi ginjal dan hati. Pemeriksaan darah rutin biasanya
terdapat leukositosis, trombositopeni dan peningkatan laju endap darah/
LED.
241
242
243
11.2.5.Pengobatan
Pengobatan leptospirosis pada dasarnya dibagi menjadi leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik (leptospirosis berat)23, seperti tertera pada
tabel dibawah ini;
Tabel 11.2.5.1. Pengobatan leptospirosis an-ikterik dan ikterik23
An-Ikterik
Pilihan
Ikterik
pertama
Pilihan ke dua
Alergi pinisilin
G,100,000
U/kg/hari,
intravena, diberikan setiap 6 jam
oral, tiap 6 jam, selama 7
selama 7 hari
hari.
2. Amoksisilin 50 mg/kg/hari, 2. Ampisilin 200 mg/kg/hari, intravena,
tiap 6 jam
,oral, tiap 6-8 jam, selama 7
3. Amoksisilin 200 mg/kg/hari, intravena,
hari.
tiap 6 jam
Doksisiklin 40 mg/kg/hari, oral, Eritromisin 50 mg/kg/hari, intravena (data
dua kali sehari selama 7 hari penelitian in-vitro)
(tidak direkomendasikan untuk
umur di bawah 8 tahun).
Doksisiklin 40 mg/kg/hari, oral, Eritromisin 50 mg/kg/hari, intravena (data
dua kali sehari selama 7 hari penelitian in-vitro)
(tidak direkomendasikan untuk
umur dibawah 8 tahun
antibiotik
seperti
penisilin,
streptomisin,
tetrasiklin
atau
erithromisin. Penisilin atau tetrasiklin dosis tinggi dapat memberikan hasil yang
sangat baik. Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dapat juga melindungi
terpapar leptospirosis.
244
11.2.6. Prognosis
Umumnya pasien leptospirosis non ikterus akan sembuh dalam 2-6
minggu. Pada leptospirosis berat didapatkan kegagalan multi organ yang dapat
menyebabkan kematian yang ditandai dengan dyspneu, oliguri, lekositosis,
kelainan EKG, foto thoraks adanya infiltrate. Persentase kematian akibat
leptospirosis 1 20%. Jika pengobatan dengan pinisilin diberikan lebih awal
maka angka kematian pada pasien ikterus mungkin sangat rendah dan gagal
ginjal maupun gangguan fungsi hati dapat diobati dengan sempurna. Sepuluh
persen atau lebih dari pasien mengeluh kambuh, sakit kepala terus-menerus
dan uveitis selama beberapa tahun.
11.2.7. Pencegahan
Pencegahan leptospirosis ditargetkan pada: (a) sumber infeksi; (b)
pemutusan alur transmisi antara sumber infeksi dan manusia; atau (c) infeksi
atau penyakit pada manusia24,25.
a. Pengendalian sumber infeksi
1. Pemberian Vaksinasi.
Pencegahan leptospirosis dengan vaksinasi diberikan untuk para pekerja
tertentu, seperti pekerja rumah potong hewan, peternak sapi perah,
dokter hewan, pekerja sampah/selokan, tukang pipa, dan penambang.
Efek samping vaksinasi antara lain nyeri di tempat suntikan dan demam25.
2. Pengendalian inang reservoir
Pengendalian sumber infeksi adalah sebagai pencegahan primer yaitu
menurunkan populasi reservoir misalnya tikus. Tikus diduga paling
berpotensi dalam penularan leptospirosis ke manusia. Menurut WHO 26,
pengendalian tikus ada 2 cara yaitu eliminasi sumber pakan tikus dan
perlindungan terhadap intervensi tikus (rodent proof). Eliminasi sumber
245
manusia
1. Pengelolaan tanah terkontaminasi bakteri Leptospira patogen.
Tanah yang basah (becek) berpotensi terpapar terhadap bakteri
Leptospira dapat sebagai sumber penular leptospirosis. Pemberian
sodium hipokhlorit dengan pengenceran 1 : 4000 atau dengan deterjen
dapat mengendalikan bakteri Leptospira di tanah basah tersebut. Para
pekerja yang selalu kontak dengan tanah basah dianjurkan memakai alat
khusus misal : sepatu bot, masker dan sarung tangan untuk mencegah
penularan leptospirosis25.
2. Pengelolaan air minum penduduk sesuai standar kesehatan
Pencegahan kontaminasi air minum terhadap bakteri leptospira patogen
dengan cara filtrasi dan dekhlorinasi24. Hasil penelitian Maria27
menunjukkan bahwa densitas bakteri Leptospira dapat menurun hingga
90% pada pemberian kaporit 0,03 ppm/lt. Air minum sebaiknya didihkan
terlebih dahulu sebelum diminum.
3. Pengelolaan genangan air alami
Genangan air alami seperti, genangan air hujan, selokan, kolam, sawah,
genangan
air
setelah
banjir
dan
sebagainya
perlu
dilakukan
sawah
246
2. Promosi kesehatan
Usaha promotif untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan
penyuluhan. Satu daerah dengan daerah lain mempunyai serovar dan
epidemiologi leptospirosis yang relatif berbeda, oleh karena itu setiap
program penyuluhan haruslah melibatkan profesi kesehatan/kedokteran,
dokter hewan dan kelompok lembaga sosial masyarakat28.
umumnya
melakukan
pemantauan
leptospirosis,
dan
belum
ditetapkan
komponen
pengumpulan
data
kegiatan
surveilans
leptospirosis.
247
dan
dan
pemahaman
masyarakat
tentang
pemberantasan
248
berbahaya. Mereka baru akan membawa penderita ke rumah sakit jika yang
bersangkutan telah mencapai stadium lanjut, bahkan, ada yang sudah
kehilangan kesadaran. Selain itu ketidaktuan masyarakat dapat berperan
atas kejadian luar biasa leptospirosis, dapat berperan dalam meluasnya
sebaran leptospirosis, karena terlambat dan kekurantahuan dalam
mengantisipasinya28.Leptospirosis telah menyebar luas di beberapa propinsi,
tetapi hasil spot survei tersebut belum dapat memberikan informasi
sebenarnya tentang insidensi dan prevalensi leptospirosis di Indonesia1.
Leptospirosis ditemukan di beberapa propinsi di Indonesia yaitu, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sulawesi selatan, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu, dan
Kepulauan Riau7
bagian Timur seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (Gambar 1). Tahun
2004- 2011, Case Fatality Rate/angka kematian relatif berfluktuatif
cenderung menurun, yaitu, masing-masing berturut-turut 15%, 12,2%, 9,5%,
8,0%, 2,0%, 5,2%, 5,2%, 11,0% dan 9,1%7
Informasi faktor risiko kejadian leptospirosis pada masyarakat masih
sangat terbatas dan jarang dipublikasikan di media masa dan elektronik. Saat
ini, masyarakat menganggap bahwa bencana alam banjir merupakan faktor
risiko kejadian leptospirosis utama, sedangkan faktor risiko lainnya belum
banyak merekaketahui31. Hasil penelitian Soeharyo (1996)24 di Semarang
menunjukkan beberapa faktor yang merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis adalah riwayat adanya luka (OR=5,71, p:0,018), perawatan luka
yang tidak baik (OR=2,68, p:0,037) dan keberadaan selokan dengan aliran air
yang tidak baik (OR=3,00; p:0,018).9 Penelitian yang dilakukan oleh
Wiharyadi (2004)23 pada penderita leptospirosis berat dan dirawat di Rumah
Sakit di Semarang menunjukkan bahwa riwayat adanya luka mempunyai
risiko 44 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis, aktivitas di tempat
berair mempunyai risiko 18 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis.Studi
yang dilakukan oleh Agus (2008)25 di Kabupaten Demak menunjukkan
beberapa faktor risiko kejadian leptospirosis yaitu pekerjaan yang
249
pemberantasan
leptospirosis,
terutama
penyuluhan
600
500
400
300
200
100
0
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
16
Jakarta
138
65
78
62
51
470
37
15
Jabar
12
Jateng
12
40
34
35
70
205
120
135
78
Sulsel
18
16
DIY
20
125
95
215
558
16
Jatim
65
28
10
17
Bengkulu
Kepri
250
251
memberikan
informasi
tentang
kasus
leptospirosis
berat.
dengan
perkembangan
leptospirosis
adalah
sistem
252
Zoonosis Direktorat
Jendral
Pengendalian
Penyakit dan
253
Temuan
Program
Saran
Pengetahuan dan
pemahaman
masyarakat tentang
leptospirosis belum
optimal
Kurangnya deteksi
dini di lapangan
Penyuluhan kepada
masyarakat
Mengintensifkan sosialisasi/
penyuluhan ttg pentingnya
perlindungan diri terhadap
penularan leptospirosis
Tatalaksana kasus
leptospirosis
Surveilans berbasis
Puskesmas belum
dilaksanakan
Surveilans leptospiosis
berbasis rumah sakit
Kurangnya
ketrampilan
petugas
Belum adanya
pedoman yang
baku yang terbaru
Belum menjadi
program prioritas
sehingga
berdampak pada
anggaran
Kurangnya
pengendalian tikus
bersama-sama oleh
masyarakat
Pencegahan Terjadinya
penularan leptospirosis ke
manusia
254
dengan
memberikan
pelatihan
epidemiologi
leptospirosis,
penentuan
kebijakan
upaya
penanganan
dan
pencegahan
255
lebih efektif dan sasaran diagnosis yang lebih luas dapat menjangkau dan
menangkap kasus lebih banyak. Pengembangan diagnostik cepat dan akurat
berdasarkan hasil penelitian, yang praktis, mudah dikerjakan, murah, dengan
sensivitas dan spesifisitasnya tetap terjaga, akan mendukung perluasan
cakupan penemuan kasus leptospirosis dalam kondisi keterbatasan
anggaran. Sementara tes diagnostik dengan kemampuan lebih baik dalam
mendeteksi leptospirosis anukterik akan membantu menangkap kasus pada
stadium lebih dini.
cepat
mendeteksi
antibodi
leptospirosis
pada
manusia
menggunakan Leptotek Dri Dot atau Lateeral Flow. Namun deteksi antibodi
ini memiliki beberapa kelemahan, yakni tidak dapat mendeteksi di awal
infeksi karena tubuh memerlukan waktu untuk membentuk antibodi setelah
terinfeksi bakteri Leptospira. Kelemahan lainnya adalah kemungkinan
terjadinya reaksi silang (cross reaction) dengan agen penyakit lain, karena
antibodi yang terbentuk di dalam tubuh bersifat poliklonal. Alat deteksi yang
masih terbatas dan sulit didapat makin menambah sulit pelaksanaan deteksi
antibodi ini. Sedangkan standar baku metode pemeriksaan laboratorium
untuk leptospirosis saat ini adalah microscopic agglutination test (MAT),
yaitu untuk mengidentifikasi serovar Leptospira. Tetapi metode tersebut
memerlukan waktu lama dan biaya relatif mahal, serta sangat jarang
pelayanan kesehatan, baik rumah sakit maupun Puskesmas yang dapat
melakukan cara diagnosis baku ini. oleh karena itu perlu pengembangan dan
peningkatan jumlah pelayanan kesehatan yang dapat melakukan MAT
melalui pelatihan dan ketersediaan sarana diagonsis baku leptospirosis
tersebut.
Pengembangan dan penguatan berbagai teknik laboratorium lain yang
256
layanan
257
leptospirosis
Masalah
Penanganan
Surveilans
leptospirosis
berbasis rumah
sakit belum
dapat
menununjukkan
masalah
leptospirosis di
masyarakat yang
sebeanrnya
Sarana dan
Prasarana
lengkap dan
terstandar untuk
surveilans
manusia, hewan
domestik/liar
(tikus) dan
lingkungan.
Pengendalian
faktor risiko yang
belum optimal
Penyuluhan
pencegahan
penularan
leptospirosis
Belum
optimalnya
diagnosis cepat
dan tepat untuk
leptospirosis di
masyarakat
258
Ketersediaan dlm
pengadaan saana
diagnosis cepat
dan akurat
Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi
Maintenance
Penelitian
Meningkatkan
surveilans
leptospirosis
berbasis Puskesmas
dalam strategi
penemuan kasus ,
dilakukan lebih aktif
dengan sasaran yang
diperluas.
Sistem pencatatan
dan pelaporan yang
berjalan teratur dan
konsisten.
Meningkatkan upaya
promosi,
penyebarluasan
informasi pada
sasaran populasi dan
cakupan program
yang diperluas.
Memperkuat
komitmen pemerintah
monitoring evaluasi,
kerjasama lintas sektor
dan kemitraan.
Memperkuat
komitmen , monitoring
evaluasi, kerjasama
multi sektoral dengan
dukungan anggaran,
sarana dan sumber
daya yang mencukupi.
Penelitian
pengembangan
diagnosis cepat,
vaksin, dan
profilaksis.
Pengembangan
dan
peningkatan
jumlah
pelayanan kesehatan
(rumah sakit) yang
dapat
melakukan
diagnosis baku (MAT)
ensi
Pengembangan
dan
penguatan
berbagai
teknik diagnosis cepat
dan akurat.
Penelitian berbagai
kit untuk diganosis
cepat leptospirosis
baik berbasis serologi
maupun molekuler.
Daftar Pustaka
1. Widarso HS, M.H. Gasem, Wilfried Purba, Tato
Suharto dan Siti Ganefa. Pedoman Diagnosa dan
Penatalaksanaan
Kasus
Penanggulangan
Leptosprosis di Indonesia. Sub. Dit. Zoonosis.
Dir.Jend. P2 & PL Depp. Kes. R.I., Jakarta. 2008
2. Bharti, A.R., Nally, J.E., Ricaldi, J.N., Matthias,
M.A., Diaz, M.M., Lovett, M.A., Levett, P.N.,
Gilman, R.H., Willig, M.R., Gotuzzo, E. and Vinetz,
J.M. Leptospirosis: a zoonotic disease of global
importance. The Lancet Infectious Diseases, 3,
Iss.12, 757-771. 2003
3. Bahaman, A.R. Leptosspiral infection in domestic
animals in Malaysia : its importance, epidemiology
and control. Proceedings of the 6th International
Symposium on Veterinary Epidemiology and
Economics. 1991 www.sciquest.org.nz. 2012
4. Athanazio, D.A. Everton F. Silva, Cleiton S. Santos,
Gustavo M. Rocha, Marcos A. Vannier-Santos,
Alan J.A. McBride, Albert I. Ko, Mitermayer G.
Reis.2004. Rattus norvegicus as a model for
persistent renal colonization by pathogenic
Leptospira interrogan.Acta Tropica 105 (2008)
176180.
5. Bovet. P., Yersin, C., Merien, F., Davis, C.E., dan
Perolat, P., 1999, Factor associated with clinical
leptospirosis : a population based-control study in
Seychelles ( indian Ocean), Int. Epid. Ass
6. Kusriastuti, R. Situasi dan Kebijakan Nasional
Pengendalian
Leptospirosis.
Direktur
Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang.
Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI. Jakarta. 2012
7. Rocha, MTRB Equine Leptospirosis in Portugal;
Serological, Immunological and Microbiological
Studies. Unversidade de Ttras-Os-Montes E Alto
Douro, Vila Real. Purtugal. 2004.
8. Leptonet:
[http://www.leptonet.net].
Royal
Tropical Institute, Amsterdam, The Netherlands
9. Fraga, T. R., A. S. Barbosa and
L. Isaac.
Leptospirosis: Aspects of Innate Immunity,
Leptonet:
[http://www.leptonet.net].
Royal
Tropical Institute, Amsterdam, The Netherlands
10. World
Health
Organization.
Leptospirosis
worldwide. Wkly Epidemiol. Rec;74:23742.
Levett, P. N. Leptospirosis. Clin. Microbiol. Rev. 14,
296326. 2001. 1999
11. World Health Organization. Report of The Second
Meeting
of
The
Leptospirosis
Burden
Epidemiologic Reference Group. WHO.ISBN
9789241501521.NLM
classification:WC
420.
Geneva, Switzerland. 2011.
259
260
BAB
12
JAPANESE ENCEPHALITIS
Sahat Ompusunggu
12.1. PENDAHULUAN
Japanese Encephalitis (JE) adalah radang otak yang disebabkan oleh virus
JE anggota keluarga Flaviviridae dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.
Penyakit ini telah dikenal pada kuda dan manusia di awal 1871. Pada tahun
1924 epidemi penyakit yang berat dilaporkan dari Jepang dan agen penyakit
dapat diekstraksi dari otak manusia dan diinjeksikan ke tubuh marmut, namun
agen tersebut belum dapat dikenali. Tiap 10 tahun dilaporkan terjadi epidemi di
Jepang dengan jumlah kasus ribuan orang. Pada tahun 1937 virus ini berhasil
diisolasi dari otak seekor kuda yang mati. Isolasi virus dari nyamuk dilakukan
pada awal tahun 1930-an dan peranan babi dan burung bangau sebagai
reservoir diketahui pada tahun 1959. Penyakit ini semula disebut sebagai
Japanese B Encephalitis untuk membedakannya dengan ensefalitis tipe A yang
sudah dikenal sebelumnya namun nama tersebut kemudian ditinggalkan dan
sekarang dikenal sebagai Japanese Encephalitis.1
Penyakit ini menyebar mulai dari sebelah Timur hingga sebelah Tenggara
Asia termasuk Kepulauan Pasifiik dan mengancam sekitar 3 milyard penduduk.
Diperkirakan jumlah kasusnya setiap tahun sekitar 50 ribu orang, terutama
pada anak-anak umur < 15 tahun, dengan 15 ribu kematian setiap tahun.2
Sampai saat ini isolasi virus JE dari manusia di Indonesia belum pernah
dilaporkan, tetapi kasus-kasus JE telah dilaporkan dari beberapa daerah di
Indonesia selama beberapa dekade terakhir. Dugaan adanya kasus JE pertama
261
pada manusia dilaporkan pada tahun 1971 di Jakarta.3 Sejak itu berbagai
laporan kasus JE dilaporkan dari berbagai provinsi. Surveilans JE di Indonesia
belum spesifik menyebutkan JE dalam daftar penyakit yang masuk dalam
pelaporan surveilans terpadu penyakit.4 Sub Direktorat Pengendalian Penyakit
Arbovirosis (Subdit P2 Arbovirosis) Direktorat
Pengendalian Penyakit
262
12.2.2. Epidemiologi
Di Indonesia, berdasarkan laporan resmi oleh Ditjen PP & PL, sampai
tahun 2000 kasus-kasus JE telah tersebar di 13 provinsi.5 Kasus JE juga sudah
dilaporkan dari
atau
penemuan
kasus.
Penyebaran
kasus
JE
menurut
263
karena berperan ganda sebagai vektor malaria, tetapi vektor yang anggota
Culex dan Armigeres belum diketahui dengan jelas.
Pengendalian vektor
memang bukan pilihan utama dalam pengendalian JE, tetapi informasi tentang
vektor tetap diperlukan untuk pengendalian JE yang komprehensif atau
terpadu.
Sebagai penyakit tular vektor dan bersifat zoonotik, musim penularan JE
sangat dipengaruhi oleh sifat vektornya, kondisi reservoir, cuaca dan
lingkungan. Umumnya penularan JE di negara lain berlangsung pada musimmusim tertentu, tetapi di Indonesia pernah dilaporkan bahwa penularan
berlangsung sepanjang tahun.8 Ini berarti, di Indonesia JE bukan penyakit
musiman sehingga pengendaliannya juga harus dengan cara tersendiri atau
mungkin tidak bisa diintegrasikan dengan pengendalian penyakit tular vektor
lainnya.
264
12.2.5. Diagnosis
WHO telah membuat pedoman cara diagnosis JE yang merupakan bagian
dari sistim surveilans JE dan hal itu telah diadopsi oleh banyak negara. Di
Indonesia hal itu belum sepenuhnya diadopsi karena berbagai hambatan dan
keterbatasan fasilitas. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pedoman
surveilans JE yang ada masih terbatas hanya di rumah sakit sehingga dinasdinas kesehatan dan Puskesmas masih menggunakan diagnosis umum
ensefalitis dalam sistim surveilans terpadu penyakit.
265
di Indonesia belum diketahui dengan jelas di seluruh wilayah hingga awal tahun
1990-an. Baru pada tahun 1993 ada dokumentasi kasus JE sebagaimana
tercatat dalam buku Pedoman Tatatalaksana Kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Japanese Encephalitis di Rumah Sakit.5 Sekitar pertengahan
tahun 2000-an, pengendalian JE sempat berada di bawah wewenang Subdit
Imunisasi, Dit Surveilans, Imunisasi, Karantina dan Kesehatan Matra dan diduga
hal itu berkaitan dengan adanya rencana dilakukannya imunisasi JE di Bali yang
kemudian ditangguhkan. Setelah itu, dalam beberapa tahun terakhir wewenang
itu dialihkan ke Subdit P2 Arbovirosis.
WHO telah merekomendasikan, bilamana vaksinasi belum siap dilakukan
secara berkesinambungan, tujuan utama surveilans adalah mengidentifikasi
populasi berisiko tinggi atau wilayah geografis yang membutuhkan peningkatan
cakupan vaksinasi dan wilayah penularan baru serta mendokumentasikan
dampak pengendalian. Surveilans JE sangat perlu dilakukan untuk mengenal
epidemiologi dan beban penyakit dan mengidentifikasi wilayah berisiko tinggi.
Dalam kegiatan surveilans JE, standar pemeriksaan laboratoris terhadap JE
adalah: 1) Menentukan adanya antibodi spesifik terhadap virus JE pada sampel
tunggal CSF atau serum dengan pemeriksaan IgM-capture ELISA yang spesifik
terhadap virus JE; 2) Deteksi antigen virus JE pada jaringan secara
imunohistokemis; atau 3) Deteksi genom virus JE dalam serum, plasma, CSF,
atau jaringan dengan cara RT-PCR atau tes amplifikasi asam nukleat; 4) Isolasi
virus dalam serum, plasma, CSF, atau jaringan; 5) Deteksi antibodi spesifik virus
JE dengan HI atau plaque reduction neutralization assay (PRNT). Dalam keadaan
kejadian luar biasa (KLB), cukup 5-10 kasus pertama saja yang perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium dan selama periode penularan,
sedangkan konfirmasi laboratoris terhadap setiap kasus tidak perlu.11
Rekomendasi WHO ini belum terlaksana sepenuhnya karena berbagai
hambatan dan keterbatasan fasilitas sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya.
266
dan
infeksi
encephalomyelitis,
virus
dengue
lain
penyebab
ensefalopati
dan
ensefalitis,
infeksi
demyelinating
parasit,
misalnya
267
sebagai
hasil
surveilans
berbasis
rumah
sakit
adalah
268
1993/1994
Bali
Riau
RS
RS
HI
HI
122
250
Jumlah dan
persentase
positif
71 (58,2)
141 (56,4)
1994/1995
Jawa Barat
Jawa Tengah
Lampung
Bali
NTB
RS
RS
RS
RS
RS
HI
HI
HI
HI
HI
121
176
171
153
176
78 (64,5)
154 (87,5)
152 (88,9)
142 (92,8)
125 (71)
1995/1996
Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
NTT
Papua
RS
RS
RS
RS
RS
RS
ELISA
ELISA
ELISA
ELISA
ELISA
ELISA
68
62
66
65
60
87
40 (58,8)
45 (72,6)
20 (30,3)
34 (52,3)
9 (15)
47 (54)
1996/1997
Lampung
Riau
Sumatera Utara
Bali
Jawa Timur
RS
RS
RS
RS
RS
HI
HI
HI
HI
HI
47
19
25
15
20
22 (46,8)
11 (57,9)
16 (64)
9 (60)
12 (60)
1999 (Juli)
Bali
Kalimantan Barat
RS
RS
ELISA
ELISA
25
42
3 (12)
1 (2,4)
2000 (Des)
NTT
NTB
RS
RS
ELISA
ELISA
68
60
5 (7,4)
5 (8,3)
2001
Bali
RS
ELISA
18
12 (66,7)
2002
Bali
RS
ELISA
35
12 (34,3)
2003
Bali
RS
ELISA
114
48 (42,1)
2004
Bali
RS
ELISA
95
40 (42,1)
Tahun
Lokasi
Sasaran
pemeriksaan
Teknik
pemeriksaan
Jumlah yang
diperiksa
Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatanh Lingkungan, Depertemen Kesehatah RI, 2007
(kepustakaan no 5); RS = rumah sakit; HI = Haemagglutination Inhibition; ELISA = Enzyme linked imunosorbent
assay.
269
Positif antibodi
Jumlah
%
155
28,3
211
40,3
150
38,4
158
67,2
69
41,8
117
41,8
61
39,9
Tahun
Provinsi
1993-1994
Bali
Riau
Jawa Barat
Jawa Tengah
Lampung
Bali
Nusa Tenggara Barat
1995-1996
Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
ELISA
ELISA
ELISA
121
176
171
78
154
152
64,5
87,5
88,9
1996-1997
Lampung
Riau
Bali
Jawa Timur
ELISA
ELISA
ELISA
ELISA
53
19
15
20
6
8
7
0
11,3
42,1
46,7
0
ELISA
125
50
40
2000 (Desember)
Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatanh Lingkungan, Depertemen Kesehatah RI, 2007
(kepustakaan no 5);*meliputi: babi, sapi, kuda, kambing, unggas; HI = Haemagglutination Inhibition; ELISA =
270
Kesehatan, Kementerian
Pertanian, Kementerian
yang
Dasar
Kesehatan,
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
271
272
sakit32 dan 9,4 % (9/96) pada penduduk.33 Tahun 1999 di antara 12 kasus
ensefalitis viral yang diperiksa di Bali, 1 kasus mengandung antibodi JE. 34
Tanpa menyebutkan lokasi penelitian, laporan lain menyebutkan bahwa
24 % (73/298) penduduk di berbagai tempat di Indonesia mengandung
antibodi JE.35
1,3:118
sedangkan
di
Anurachal
Paradesh,
India,
273
adalah umur 1-4 tahun (53 %), 5-9 tahun (24 %), < 1 tahun (18%) dan 1015 tahun (5%) dengan rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 1,3:1.10
Lokasi
Tahun
Teknik
pemeriksaan
Jumlah yang
diperiksa
Jumlah dan
persentase positif
28
Lampung
Transmigran
HI
352
160 (45,5)
28
Lampung
Transmigran
HI
146
124 (84,9)
29
Pontianak
Samarinda
Balikpapan
Bali
Lombok
Kupang
Ujung Pandang
Pomalaa
Ambon
Jayapura
Penduduk asli
HI
HI
HI
HI
HI
HI
HI
HI
HI
HI
121
172
50
94
115
98
174
116
125
170
31 (27)
37 (22)
1 (0,02)
48 (52)
18 (16)
2 (2)
3 (2)
3 (3)
6 (5)
4 (3)
30
Jakarta
Rumah Sakit
HI & IAHA
118
30 (25,4)
Bali
Rumah Sakit
HI
HI
363
224
109 (30)
5 (2,2)
32
Irian Jaya
Rumah Sakit
EIA
33
Irian Jaya
Masyarakat
EIA
96
9 (9,4)
34
Bali
Rumah Sakit
Mac ELISA
12
1 (8,3)
35
Indonesia
ELISA
298
73 (24)
Rumah Sakit
MAC ELISA
MAC ELISA
MAC ELISA
MAC ELISA
MAC ELISA
MAC ELISA
MAC ELISA
114
173
172
546
164
227
95
2 (1,8)
31 (17,9)
8 (4,7)
24 (4,4)
11 (6,7)
4 (1,8)
2 (3,2)
1976
1978
1979
1981
1982/1983
31
1997
1997
1999
2005
2005-2006
274
Sasaran
pemeriksaan
10
Sumatera Barat
Kalbar
Jawa Timur
NTB
NTT
Papua
a
NTB
275
276
Pulo Mas (Jakarta) dan Pamulang (Jawa Barat) tahun 1995, ternyata 52 %
(58 ekor) mengandung antibodi JE dan proporsi yang positif di Jawa Barat
(Pamulang) lebih tinggi daripada yang di Jakarta (Pulo Mas); di antara 58
ekor tersebut, 52 (90 %) mengandung antibodi netralisasi yang spesifik
terhadap JE.57 Pemeriksaan yang dilakukan Balai Penelitian Veteriner di
berbagai daerah di Indonesia terhadap berbagai jenis hewan seperti sapi,
kambing, babi, ayam, bebek, kuda dan anjing menunjukkan hasil positif
antibodi JE pada semua jenis hewan tersebut dengan prevalensi berkisar
antara 11 % pada babi hingga 51 % pada sapi.35 Di Riau, 94 % babi
mengandung antibodi JE, demikian juga Sumatera Utara dengan
persentase 70 %; prevalensi tertinggi di kedua provinsi itu adalah pada
babi berumur lebih dari empat bulan.58 Laporan survei dari Kalimantan
Barat menyebutkan bahwa 84 % dari 610 ekor babi yang berasal dari 6
kabupaten (Pontianak, Landak, Sanggau, Sambas, Bengkayang and
Singkawang) mengandung antibodi JE, demikian juga 12 % di antara 84
ekor kelelawar Cynopterus vampyrus di Kabupaten Pontianak, sedangkan
di antara 15 kelelawar Cynopterus brachyotis dari Kabupaten Singkawang
tidak ada yang mengandung antibodi JE.59 Penularan virus JE di Bali telah
dibuktikan lebih tinggi daripada di Jawa Timur yang didasarkan atas
penemuan babi yang mengandung antibodi JE di Mengwi, Bali sebanyak
49 % dan di Tulung Agung, Jawa Timur sebanyak 6 %.55 Hasil penelitian
lain di Bali menyebutkan bahwa kasus JE pada manusia berkorelasi
signifikan dengan kepemilikan babi.40 Di Kapuk, Jakarta juga telah
dibuktikan bahwa makin tinggi umur babi makin tinggi proporsi yang
terinfeksi JE dan persentase seluruhang positif sebesar 53,6 %.60 Hasil
pemeriksaan kera di Asia, termasuk di Indonesia, juga positif antibodi JE.46
277
197355
Babi
Jumlah yang
diperiksa
?
197456
Sapi
391
158
40,4
198730
Jakarta
Babi
250
134
53,6
198331
Bali
Babi
Babi
?
?
?
?
64
80
199557
Kuda
112
58
52
199835
Indonesia
Sapi
Kambing
Babi
Ayam
Bebek
Kuda
Anjing
126
84
273
110
32
14
16
64
23
30
47
14
2
2
51
27
11
43
44
14
12
200358
Riau
Sumatera Utara
Babi
Babi
190
164
179
115
94
70
200859
Kalimantan Barat
Babi
Kelelawar
610
84
512
10
84
12
200955
Bali
Jawa Timur
Babi
Babi
123
96
60
6
49
6
Tahun
Jenis
Hewan
Lokasi
Positif antibodi
Jumlah
%
?
88-97
278
sapi tidak berperan sebagai hewan amplifier virus JE. Keadaan yang
berbeda ditunjukkan di Sri Lanka, dimana seroprevalensi pada sapi dan
kambing lebih berkorelasi dengan infeksi pada manusia, sedangkan babi
yang mengandung antibodi JE berlokasi di daerah yang tidak ada
infeksinya pada manusia.63
Di Indonesia penelitian tentang peranan hewan-hewan sebagai
sumber infeksi ke manusia dan mekanisme penularannya masih terbatas.
Hanya di Bali yang sudah pernah dibuktikan secara eksperimen di suatu
kawasan yang endemis JE bahwa babi lebih peka terinfeksi virus JE
dibandingkan dengan sapi.64 .
Yang berperan dalam penyebaran virus dari satu kawasan ke
kawasan lain adalah burung migran. Penyebaran virus JE ke Selat Torres
di Australia dilakukan oleh burung bangau yang bermigrasi dari Indonesia
ke Papua Nugini dan mencapai Selat Torres. Strain virus yang beredar di
Australia tersebut juga sama dengan yang ada di Papua Niugini.22 Keadaan
yang berbeda ditemukan di Thailand dimana pada pemeriksaan terhadap
14 spesies nyamuk yang bersumber dari sarang burung bangau ternyata
semua negatif.65
d. Musim Penularan
Penyebaran JE sekarang ini dapat dibagi menjadi 3 kawasan sebagai
berikut: 1) Kawasan endemis, 2) Kawasan subtropis perantara, dan
3) Kawasan epidemis menengah. Indonesia masuk dalam kawasan
endemis, dimana di kawasan ini nyamuk lebih atraktif terhadap burung
dan babi dan kasus pada manusia jarang.1
Tergantung luasnya suatu negara, dalam satu negara bisa terjadi
keragaman musim penularan. Di China musim penularan utama JE dimulai
pada Juni hingga September dengan puncak pada Agustus. 18 Di sebelah
Selatan kawasan subtropis, penularan dimulai di awal Maret dan
berlangsung hingga Oktober.1
279
vektor
utama.
Ke-32
spesies
tersebut
adalah:
Culex
280
lebih dari satu hospes bila ada gangguan waktu mengisap darah; 3) ada
korelasi positif antara dosis virus yang terisap nyamuk dengan tingkat
penularan, dan 4) makin tinggi konsentrasi virus yang diisap nyamuk
makin rendah masa inkubasi ekstrinsiknya.70
Spesies vektor yang sama bisa saja berbeda tipe. Di Thailand,
ternyata Cx. tritaeniorhynchus merupakan spesies kompleks dan memiliki
dua tipe, eurygamy dan stenogamy yang moderat.71 Di dataran tinggi, Cx.
tritaeniorhynchus dan Cx. gelidus lebih senang menggigit sapi daripada
babi bila hanya diberi pilihan satu jenis hospes saja, namun bila diberi
kebebasan mengisap, kedua spesies itu cenderung mengisap darah
hospes yang pertama kali dijumpainya.72 Di Vietnam dibuktikan bahwa
kehadiran babi di suatu lokasi berpengaruh terhadap peningkatan jumlah
Cx. tritaeniorhynchus, demikian juga jumlah anggota keluarga dalam suatu
keluarga juga menentukan kepadatan Cx. quinquefasciatus.73 Ketinggian
tempat juga mempengaruhi kepadatan vektor, seperti yang ditemukan di
Sri Lanka, dimana makin tinggi tempat, makin rendah kepadatan vektor
JE.62
Korelasi infeksi di antara ketiga jenis hospes JE (babi-vektormanusia) telah diamati di India., dimana serokonversi babi berkorelasi
dengan kasus manusia,
Transmisi
vertikal
ini
telah
dibuktikan
pada
Cx.
281
Indonesia
virus
JE
pertama
kali
diisolasi
dari
Cx.
Cx.
fuscocephalus,
Cx.
bitaeniorhynchus,
Cx.
quinquefasciatus, An. vagus, An. kocki dan Ar. subalbatus, dan di antara
ketujuh spesies tersebut, virus JE yang paling sering diisolasi adalah dari
Cx. quinquefasciatus.77 Dengan demikian sudah 11 spesies nyamuk yang
dibuktikan sebagai vektor JE di Indonesia. Di antara keseluruhan vektor
itu, spesies yang kepadatannya sudah dibuktikan berkorelasi positif
dengan aktifitas virus JE adalah Cx. tritaeniorrhynchus.78
Bionomik vektor JE di Indonesia, meskipun masih terbatas, telah
dilaporkan dari beberapa daerah. Di Kepulauan Indonesia bagian Timur,
Cx. tritaeniorhynchus bertelur di persawahan, sungai yang tidak deras,
selokan irigasi, kolam, mata air, lekukan tanah bekas jejak kaki hewan,
kubangan dan rawa-rawa, baik di tempat teduh maupun tidak. Jenis
nyamuk ini umum ditemukan dan mulai rumah pada senja namun
gigitannya tidak begitu mengganggu.79 Di Jakarta ditunjukkan bahwa
kenaikan populasi Cx. tritaeniorhynchus terjadi selama musim hujan dan
pertengahan musim kemarau.80 Kepadatannya berkorelasi positif dengan
insidensi JE pada babi di Cengkareng, sehingga dianggap sebagai vektor
paling potensial di antara beberapa jenis vektor lainnya.81 Di Jawa Timur,
makin tinggi tempat, makin jarang kepadatannya.82 Adapun larva Cx.
gelidus biasanya ditemukan di air tawar segar, sungai kecil, genangan,
terusan tertahan, cabang sungai, kubangan dan rawa-rawa, juga di tong
282
berisi air, pot bunga berbahan tanah dan tangki air.83 Di Jakarta dan
Culex
283
ternak dan serokonversi manusia. Kasus JE sangat sedikit atau tanpa kasus
di daerah berketinggian > 1.200 meter di atas permukaan laut. Di dua
daerah dataran rendah, infeksi JE pada babi terjadi serentak pada musim
hujan dan berkorelasi signifikan dengan seroprevalensi pada sapi,
kambing dan manusia.20 Lain lagi di Cina, virus JE bisa ditemukan di tubuh
vektor masih hingga 2.000 meter di atas permukaan laut.39
Patogenesis
Japanese Encephalitis merupakan penyakit yang unik sebab
gambaran klinisnya sangat beragam mulai dari kasus tanpa gejala hingga
kasus yang berakhir dengan kematian. Faktor yang berpengaruh terhadap
keragaman klinis tersebut belum sepenuhnya jelas.
Setelah virus masuk tubuh, virus JE memperbanyak diri pada nodus
limfatikus. Akibatnya terjadi viremia dan peradangan pada jantung, paruparu, hati dan sistim retikuoendotel. Kebanyakan infeksi sembuh sebelum
virus mencapai sistim syaraf pusat. Serangan neurologis bisa timbul,
kemungkinan disebabkan oleh terjadinya perkembangan virus melalui sel-sel
endotel pembuluh darah sehingga terjadi infeksi otak di area yang luas. 87
Infeksi yang luas memberi kesan bahwa terjadi mekanisme hematogen.
Faktor lain yang menyebabkan penerobosan barier darah-otak dapat
meningkatkan risiko neuroinvasi virus JE. Pada penderita neurosistiserkosis
yang terinfeksi JE, jumlah virus JE jauh lebih banyak dan kasus JE-nya juga
lebih berat. Secara histopatologi tidak terbukti adanya peradangan, tetapi
secara imunohistopatologi ditemukan antigen virus pada neuron yang
morfologinya normal. Kenyataan ini menjelaskan CSF yang normal pada
penderita JE yang berat. Juga ditemukan adanya hipertropi retikulum
endoplasmik dan degenerasi pada struktur
meluas.1
Pada otopsi ditunjukkan bahwa meningens bisa normal atau kabur dan
parenkim otak mengalami kongesti dengan ptekie atau hemoragi terfokus.
284
Lesi hanya terbatas pada bagian materi kelabu (grey matter) saja. Thalamus,
ganglia basalis, otak tengah, korteks serebrum, serebelum dan sel-sel tanduk
anterior korda spinalis umum terkena. Pada beberapa spesimen, materi
kelabu korda spinalis kehilangan warna. Pada fase akut infeksi JE, perubahan
histopatologi yang terjadi meliputi: kongesti, degenerasi, hemoragi kecil,
pembentukan trombus, kerusakan neuron dan neurofagia. Perubahanperubahan tersebut menyebabkan area nekrosis yang terbatas dan
pelunakan parenkim otak. Keseluruhan perubahan itu menyolok pada bagian
diensefalon dan mesensefalon sehingga pada infeksi JE timbul istilah
diencephalo-mesencephalitis. Pada fase subakut, perubahan peradangan
kurang menonjol, tetapi degenerasi, hilangnya neuron dan proliferasi sel-sel
glia menjadi lebih jelas. Pada fase kronis terjadi degenerasi atau hilangnya
neron, penebalan fibrosa dinding pembuluh darah dan pengorganisasian
peradangan. Pada fase lanjut, timbul endapan kalsium di ganglia basalis,
thalamus dan korteks serebrum.1
Pada pemeriksaan imunositokemis tampak adanya lokalisasi antigen
virus JE pada neuron dengan keterlibatan yang besar pada talamus dan
batang otak. Meskipun di serebelum terjadi lokalisasi antigen pada neuron
granuler dan molekuler, tetapi keadaan seperti itu tidak terjadi pada sel-sel
Purkinji. Pada
285
Immunologi
Pada infeksi JE timbul imunrespon, baik humoral maupun seluler.
Hanya dalam beberapa hari setelah infeksi primer, timbul respon IgM yang
cepat dan poten di dalam serum dan CSF. Pada hari ketujuh, semua
penderita JE menunjukkan peningkatan titer IgM. Pada kasus yang virusnya
berhasil diisolasi dan kasus fatal, ada kaitan kematian dengan kegagalan
peningkatan respon IgM. Antibodi antivirus JE dapat melindungi hospes
melalui pembatasan replikasi virus selama fase viremia sebelum virus
melewati barier darah-otak. Antibodi dapat membatasi kerusakan selama
proses ensefalitis dengan cara netralisasi virus yang ekstraseluler dan
memudahkan lisisnya sel-sel terinfeksi oleh antibodi, tergantung pada sifat
sitotoksisitasnya. Pada penderita yang bertahan hidup, jenis imunoglobulin
berganti; IgM berkurang dan IgG meningkat, dan dalam 30 hari kebanyakan
penderita telah memiliki IgG antivirus JE di dalam serum. Infeksi JE
asimtomatis juga dikait-kaitkan dengan munculnya IgM di dalam serum,
tetapi tidak di dalam CSF. Pada penderita infeksi sekunder atau terinfeksi
flavivirus berbeda, timbul respon anamnestik terhadap antigen umum
kelompok flavivirus. Pola aktivasi antibodi sekunder ini ditandai dengan
timbulnya IgG dini yang diikuti dengan pembentukan IgM yang lambat.
Respon imunseluler kelihatannya berperan dalam pencegahan penyakit
selama infeksi akut melalui pembatasan replikasi virus sebelum memasuki
sistim saraf pusat.1
Gejala Klinis
Gejala klinis sangat beragam mulai dari gejala demam tidak spesifik
hingga meningitis aseptik dan ensefalitis berat. Kebanyakan
penderita
mengalami sakit jangka pendek akut yang diikuti dengan masa pemulihan.
Dalam 2-4 hari setelah mengalami gejala non spesifik, penderita mengalami
sakit kepala, demam dan kaku (rigor). Dalam beberapa hari kemudian
muncul gejala gastrointestinal seperti: mual, anoreksia, muntah dan nyeri
perut berkepanjangan. Selanjutnya timbul sindroma ensefalitis yang berupa
286
287
umur.89
Laporan
dari
Vietnam
memperlihatkan
bahwa
immuno-
suppression sel-T yang dirangsang oleh virus JE dapat terpicu oleh infeksi
Toxocara canis.91
288
289
Assay
(IFA),
mampu
mendeteksi
antibodi
IgM
290
antibodi netralisasi yang tinggi (> 80), terdapat korelasi antara berat tidaknya
gejala klinis ensefalitis dengan titer antibodi.96
Teknik molekuler yang dikembangkan belakangan adalah reversetranscriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Pada awal infeksi JE, lebih
baik menggunakan RT-PCR terhadap spesimen yang pada pemeriksaan MACELISA menunjukkan hasil negatif, baik spesimen CSF maupun serum.97
Prognosis
Prognosis kasus JE sebagian tidak menggembirakan. Di Cina besarnya
case fatality rate tiap tahun berkisar antara 2,5 % - 6,1 %.39 Di tempattempat yang kemampuan penanganan kasus JE intensif dan bagus, besarnya
mortalitas adalah 5-10 %. Di negara-negara kurang berkembang,
mortalitasnya melebihi 35 %. Di seluruh dunia, lebih dari 10 ribu kasus
kematian tiap tahun dan 3-50 % penderita yang hidup, mengalami sekuele.
Infeksi oleh dengue sebelumnya, bisa menurunkan morbiditas dan tingkat
kematian, yang kemungkinan karena ada perlindungan silang oleh antibodi
sesama flavivirus.35
Di Bali ditunjukkan bahwa menunjukkan case fatality rate sebesar 7,3
% dan hanya 43,6 % yang sembuh total dan sisanya hidup cacat dan hidup
sakit.40 Pada penelitian lain di provinsi yang sama disebutkan bahwa case
fatality rate sebesar 11 % dan hanya 50 % yang sembuh total sedangkan
sisanya hidup cacat (36 %) dan hidup masih sakit (3 %).9 Pada surveilans di
enam provinsi di luar Bali, case fatality rate adalah 17 %, sembuh total 39 %
dan sisanya hidup cacat (32 %) dan hidup sakit (13 %).10
Pengendalian
Pengendalian vektor JE bukan pilihan utama dalam pengendalian JE.
Namun demikian, dari India dilaporkan bahwa pengasapan (fogging) dengan
malation di dua desa dalam rangka pengendalian KLB JE berhasil
menurunkan kepadatan Cx. tritaeniorhynchus di dalam rumah di kedua
desa.98
291
Telah
dilaporkan
bahwa
beberapa
jenis
tanaman
terbukti
pengendalian
JE
melalui
pemakaian
kelambu
292
Menurut WHO, sekarang ini imunisasi rutin pada anak sekolah telah
dilaksanakan di Korea, Jepang, China, Thailand and Taiwan. Pemberian
vaksin melalui program Expanded Program of Immunization telah mampu
membantu pengendalian penyakit itu di negara-negara seperti Thailand,
Vietnam, Sri Lanka dan China.105
Ada bermacam-macam vaksin yang sudah dikembangkan sekarang ini,
baik vaksin dari virus mati maupun vaksin dari virus hidup yang
dilemahkan.106
1. Vaksin dari virus mati: vaksin ini berasal dari virus strain Nakayama hasil
biakan pada otak ginjal yang dibunuh dengan formalin. Vaksin ini relatif
mahal dan membutuhkan 3 dosis, yaitu pada hari ke-0, 7 dan 30, lalu
diikuti dengan booster 1 tahun kemudian dan selanjutnya booster 3
293
294
295
296
Temuan
Program
Buku pedoman
pengendalian JE yang
lengkap belum
tersedia.
Definisi kasus JE
menurut WHO belum
diadopsi dalam buku
Surveilans Epidemilogi
dan Penanggulangan
KLB.
Belum menyediakan
Buku Pedoman
Pengendalian JE yang
lengkap.
Dalam sistim surveilans
RS, sudah diadopsi,
tetapi untuk Puskesmas
dan klinik belum.
Saran
Buku pedoman yang lengkap perlu
disusun segera.
No
3
Temuan
Program
Saran
Laboratorium
kesehatan yang
mampu memeriksa
spesimen JE sangat
terbatas, terutama di
daerah.
Kerjasama dgn
laboratorium sektor
lain, terutama
laboratorium
kesehatan hewan dan
perguruan tinggi
tentang pemeriksaan
spesimen JE masih
terbatas.
Peta geografis genotip
virus JE masih
terbatas.
Peta geografis kasus JE
sangat terbatas, baik
untuk wilayah
provinsi, kabupaten
maupun
kecamatan/Puskesmas
Belum
mengembangkan
kapasitas laboratorium
daerah
Hewan amplifier JE
selain babi belum
diketahui.
Peta vektor JE
menurut ekosistim
masih terbatas
Mekanisme dan
dinamika penularan JE
belum diketahui.
Teknik diagnosis JE
yang sederhana dan
murah belum tersedia.
10
297
No
Temuan
11
12
Hubungan sistiserkosis
dan parasit lain
dengan infeksi JE
belum diketahui.
Pengaruh
kelambunisasi malaria
terhadap JE belum
diketahui
13
Program
Pedoman tatalaksana
kasus JE di RS sudah
ada, demikian juga
aturan sistim rujukan;
yang belum diatur
adalah tatalaksana
kasus di Puskesmas
perawatan dan klinik
pengobatan.
Belum ada aturan
tentang hubungan
sistiserkosis dan parasit
lain dengan infeksi JE.
Belum ada aturan
unrtuk mengetahui
pengaruh
kelambunisasi malaria
terhadap JE.
Saran
1. Sistim rujukan disertai jaminan
asuransi perlu dipertajam dan
kapasitas RS perifer dan Puskesmas
perawatan perlu ditingkatkan.
2. Perlu dukungan penelitian klinik
tentang pengobatan dan inovasi
penemuan obat baru JE.
belum ada.
298
Karena
Masalah
Penanganan
Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi
Maintenance
Saran
Buku pedoman
pengendalian JE yang
lengkap belum
tersedia.
Penyusunan buku
pedoman
pengendalian
Definisi kasus JE
menurut WHO belum
diadopsi dalam buku
Surveilans
Epidemilogi dan
Penanggulangan KLB.
Definisi ka-sus
disesu-aikan
de-ngan perkembangan
teknologi
diagnosis
Laboratorium
kesehatan yang
mampu memeriksa
spesimen JE sangat
terbatas, terutama di
daerah.
Peningkatan kapasitas
labkes di daerah
Kapasitas laborato-rium
disesuaikan dengan
perkembangan ke-butuhan
diagnostilk
Kapasitas
laboratori-um
disesuaikan
dengan
kebutuhan
diagnostik
Kerjasama dgn
laboratorium sektor
lain masih terbatas.
Membangun jejaring
laboratorium dan alih
teknologi
Jejaring an-tar
labora-torium
diperkokoh
Peta geografis
genotip virus JE
masih terbatas.
Penyediaan
data/informasi genotip virus JE
Monitoring periodik
terhadap kemung-kinan
mutasi genotip virus
Monitoring
terhadap
mutasi vi-rus
diper-ketat
299
Masalah
Penanganan
Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi
Maintenance
Saran
Penyediaan data/
informasi tentang
peta geografis kasus
JE
Klasifikasi endemi-sitas JE
diperjelas di tiap satuan
wilayah administrasi
Klasifikasi
endemi-sitas
JE diperketat
Program: perluasan
surveilans berbasis RS dan
Puskesmas dan sistim
pengirim-an spesimen..
Informasi tentang
hewan amplifier JE
selain babi belum
diketahui.
Penyediaan data/
informasi tentang
hewan amplifier. JE
Kerjasama
dengan sektor
kehewanan
dipelihara
1. Program: penyu-sunan
pedoman surveilans hewan
amplifier JE.
Peta vektor JE
menurut ekosistim
masih terbatas
Penyediaan data/
informasi tentang
vektor JE.
Surveilans
vektor
digiatkan
Mekanisme dan
dinamika penularan
JE belum diketahui.
Penyediaan data/
informasi tentang
mekanisme dan
dinamika penularan
JE.
Monitoring peru-bahan
pola penularan
Monitoring
perubahan
pola penularan
Teknik diagnosis JE
yang sederhana dan
murah belum
tersedia.
Penyediaan teknologi
diagnostik yang
praktis dan murah
Mencari
inovasi teknologi diagnostik
Perbaikan penemuan
kasus, diagnosis,
tatalaksana, asuransi
dan rujukan.
-Penemuan
kasus diperketat.
-Diagnosis
dipercepat
- Tatalaksa-na
kasus
diperketat
- Jaminan
rujukan
diperbaiki
Kaitan sistiserkosis
dan parasit lain
dengan infeksi JE
belum diketahui.
Monitoring
koin-feksi
kedua penyakit diperketat
Monitoring
koinfeksi
kedua penyakit diperketat
Pengaruh
kelambunisasi
malaria terhadap JE
belum diketahui
Monitoring
ketat kedua
penyakit di
wilayah
kelambunisasi
300
Daftar Pustaka
1. Misra UK and Kalita J. Overview: Japanese
encephalitis. Prog. Neurobiol, 2010, 91:108-120.
2. Ferguson M, Kurane I, Wimalaratne O, and Wood.
Meeting report WHO informal consultation on the
scientific basis of specifications for production and
control of inactivated Japanese encephalitis vaccines
for human use, Geneva, Switzerland, 12 June 2006.
doi:10.1016. Vaccine. 2007. 25: 52335243.
3. Kho LK, Wulur H, Ramalean L dan Thaib S. Japanese
Encephalitis di Jakarta (Laporan Sementara). Maj.
Kedok. Indon, 1971, 21(9): 435-448.
4. Ditjen PPM-PL, Departemen Kesehatan. Surveilans
Epidemiologi dan Penanggulangan KLB. Jakarta:
Ditjen PPM-PL, Departemen Kesehatan, 2003: 41.
5. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan.
Pedoman Tatalaksana kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Japanese Encephalitis di Rumah Sakit..
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan,
2007.
6. Saxena SK, Tiwari S, Saxena R, Mathur A and. Nair
MPN. 15. Japanese Encephalitis: An Emerging and
Spreading Arbovirosis. In: Ruzek D (Ed). Flavivirus
Encephalitis. Sep. 2011: 295-317. ISBN: 978-953-307669-0,
InTech,
Available
from:
http://www.intechopen.com/books/
flavivirusencephalitis/japanese-encephalitis-anemerging-and-spreading-arbovirosis.
7. Van Peenen PFD, Joseph PL, Atmosoedjono S, Irsiana
R. Saroso JS. Japanese Encephalitis virus from Pigs
and Mosquitoes in Jakarta, Indonesia. Trans.
Roy.Soc. Trop. Med. Hyg., 1975a. 69(5&6): 477-479.
8. Sedyaningsih ER, Ompusunggu SM, Tresnaningsih E
dan Suwandono A. Laporan Akhir Surveilans
Japanese Encephalitis di enam provinsi di Indonesia.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Ditjen Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI dan Program for Appropriate
Technology in Health (PATH), 2007.
9. Kari K, Liu W, Gautama K, Mammen Jr MP, Clemens
JD, Nisalak A, et al. A hospital-based surveillance for
Japanese encephalitis in Bali, Indonesia. BMC
Medicine 2006, 4:8 doi:10.1186/1741-7015-4-8.
10. Ompusunggu S, Hills SL, Maha MS, Moniaga VA,
Susilarini NK, Widjaja A et al. Confirmation of
Japanese Encephalitis as an Endemic Human Disease
Through Sentinel Surveillance in Indonesia. Am. J.
Trop. Med. Hyg., 2008, 79(6): 963-970.
301
302
48. Cross, JH, Lien JC, Huang WC, Lien SC, Chiu SF.
Japanese Encephalitis virus surveillance in Taiwan. II.
Isolations from mosquitoes and bats in Taipei Area. J.
Formosan Med. Assoc, December 1971, 70(12): 680683.
61. Okuno T, Mitchell JC, Chen PS, Wang JS, and Lin SY.
Seasonal infection of Culex mosquitoes and swine
with Japanese Encephalitis virus. Bull. Wld. Hlth. Org.
1973, 49: 347-352.
62. Ilkal MA, Dbanda V, Rae BU, George S, Mishra AC,
Prasanna Y, Gopall& lma S. and Pavri KM. Absence of
viraemia in cattle after experimental infection with
Japanese encephalitis virus. Trans. Roy. Trop. Med.
Hyg. 1988, 82: 628-631.
63. Peiris JSM, Amerasinghe FP,. Arunagiri CK, Perera LP,
Karunaratne SHPP. Ratnayake CB, Kulatilaka TA and
Abeysinghe MRNM. Japanese encephalitis in Sri
Lanka: comparisan of vector and virus ecology in
different agro-climatic areas. Trans. Roy. Soc. Trop.
Med. Hyg., 1993, 87: 541-548.
64. Santia KAP, Putra AAG, Dibia N, Mastra K dan Lunt R.
Surveilans terhadap Japanese Encephalitis pada
hewan sentinel (Surveillance Against of Japanese
Encephalitis in Animals Sentinel). Tersedia di
http://209.85.175.132/diunduh tanggal 19 Mar
2009.
66. Liu, H, Lu HJ, Liu ZJ, Jing J, Ren JQ, Liu YY, Lu F and
Jin NY. Japanese Encephalitis Virus in Mosquitoes
and Swine in Yunnan Province, China 20092010.
Vector-Borne and Zoon. Dis., 2013, 13(1): 41-49.
Mary Ann Liebert, Inc. DOI: 10.1089/vbz.2012.1016.
68. Johansen CA, Van Den Hurk AF, Ritchie SA, Zborowski
P, Nisbet DJ, Paru R, et al. Isolation of Japanese
Encephalitis Virus from Mosquitoes (Diptera:
Culicidae) Collected in the Western Province of
Papua New Guinea, 1997-1998. Am. J. Trop. Med.
Hyg., 631-638. c. 2000, Am. Soc. Trop. Med. Hyg.
303
304
305
306
BAB
13
RABIES
Rita Marleta Dewi
13.1. PENDAHULUAN
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan vertebrata yang
lazim menyerang satwa liar. Penyakit ini bersifat akut dan menyerang susunan
saraf pusat hewan berdarah panas dan manusia. Hewan yang menderita rabies
akan menjadi ganas dan menyerang atau menggigit manusia atau hewan lain di
sekitarnya. Secara alamiah rabies menunjukan gejala severe neurologic dan
berakibat fatal baik pada hewan maupun manusia. Penularan dari hewan ke
manusia (zoonosis) terjadi secara langsung serta menyebabkan kematian.
Rabies sudah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi.
Hal ini
terpampang dalam Prasasti rabies yang berisikan aturan denda bagi pemilik
anjing yang positif rabies atau menggigit manusia hingga mati. Rabies pada
anjing dan kucing telah digambarkan oleh Democritus (500 SM) dan Aristoteles
(322 SM), sedangkan Celcus (100 tahun sesudah masehi) yang pertama kali
melaporkan adanya hubungan antara gejala takut air (hidrofobia) pada manusia
dengan rabies pada hewan.
Di Indonesia kasus Rabies pertama kali dilaporkan oleh Esser di Jawa Barat
pada seekor kerbau pada tahun 1884, Penning (1889) melaporkan kasus pada
anjing, dan E.V.de Haan (1894) melaporkan kasus pada manusia. Setelah tahun
1953 kasus rabies dilaporkan dilaporkan menyebar ke daerah lain di
Indonesia.1,2
307
seperti peluru dengan salah satu ujung berbentuk kerucut dan pada potongan
melintang berbentuk bulat atau lonjong. Semua virus family Rhabdoviridae
mempunyai
dua
komponen
utama
yaitu
inti
dari
rantai
heliks
308
pelarut yang bersifat alkalis seperti sabun, desinfektan, alcohol, dll. Penularan
dari hewan ke hewan umumnya melalui gigitan karena virus rabies biasanya
dapat diakselerasikan melalui saliva dalam jumlah yang sangat banyak terutama
pada saat hewan mengalami viremia.4
13.2.2. Epidemiologi
Rabies masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan
sekurangnya menyebabkan 50 ribu kematian tiap tahun.5 Sebagian besar kasus
terjadi di negara berkembang, khususnya di Afrika dan Asia.
Walaupun
pencegahan rabies pada manusia dilakukan secara efektif namun tetap bersifat
fatal.6 Di Indonesia, hospes reservoir utama adalah anjing, kucing, dan kera,
walaupun di negara lain dilaporkan selain kera dan kelelawar juga reservoir liar
lainnya seperti rubah, serigala, luwak, antelop, sigung, dan rakun.7 Masih
banyak daerah di Indonesia yang berstatus endemis rabies yang menjadi
tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas rabies pada 2020. Dari 34
povinsi di Indonesia hanya 9 provinsi yang dinyatakan masih bebas rabies yaitu :
Provinsi Bangka Belitung, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, Papua Barat dan Papua.1
Selama tahun 2008-2010 telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) rabies di
tiga daerah baru yaitu : Bali (2008), Pulau Nias-Sumatera Utara (2010) dan
309
Desember 2011, dari 21 Provinsi dilaporkan 78,578 kasus GHPR dengan 150
Lyssa yang tersebar 13 Provinsi. Secara nasional rata-rata kasus kematian
(Lyssa) adalah 145 kasus/tahun.8
Berbagai upaya telah dilaksanakan guna pengendalian, pemberantasan
dan pembebasan rabies seperti: Sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat,
vaksinasi, eliminasi, surveilans, pengawasan lalu lintas dan perdagangan hewan
penular rabies, dan lain sebagainya. Evaluasi dan analisa dampak dari seluruh
kegiatan dilapangan juga dilakukan guna mendapatkan strategi yang lebih baik
dalam pengendalian dan pemberantasan rabies. Meskipun demikian kajian dan
penelitian yang terarah dan terencana masih diperlukan untuk penanggulangan
rabies guna mencapai target Indonesia bebas rabies tahun 2020 .
Adanya rabies positif di suatu daerah mengidentifikasikan cara
pemeliharaan anjing di daerah tersebut tidak baik atau dilepasliarkan, atau
keberadaan anjing liar yang sulit dikendalikan.
310
13.2.3. Patogenesis
Masa inkubasi virus rabies pada manusia beragam tergantung pada latar
belakang genetik inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus
pada sel inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak yang harus
ditempuh virus untuk bergerak dari titik masuk / lokasi gigitan HPR ke SSP ,
biasanya antara 20 sampai 90 hari, dan pada manusia tidak pernah lebih dari 1
311
tahun.3 Periode inkubasi yang lebih pendek biasanya berkaitan dengan gigitan
yang parah atau gigitan di kepala atau wajah. Virus rabies dikeluarkan bersama
air liur dan masuk ke dalam tubuh melalui luka gigitan hewan yang terinfeksi
rabies. Selama 2 minggu virus masih dapat ditemukan di daerah sekitar luka
gigitan, namun sebagian besar sudah mencapai ujung-ujung serabut syaraf
posterior tanpa menunjukan perubahan fungsi.1 Kemudian virus masuk ke sel
otot melalui reseptor yang sama pada ujung syaraf motorik dimana virus
tersebut akan memulai replikasi awal pada jaringan lurik atau ikat.9 Virus akan
bergerak menuju susunan syaraf pusat melalui ikatan dengan reseptor nicotinic
acetylcholine yang terdapat pada neuromuscular junction.9 Virus menyebar ke
susunan syaraf pusat (medulla oblongata) di endoneurium dari sel Schwann dan
menyebabkan kelainan struktural yang diikuti dengan kegagalan fungsi dari ionion seperti ion natrium dan potasium.
Di dalam otak, virus kembali memperbanyak diri dan menyebar ke seluruh
bagian neuron terutama bagian yang mempunyai prediksi khusus terhadap selsel limbik, hipotalamus dan batang otak. Virus yang telah memasuki sistem
imun saraf, akan terbebaskan dari sistem imun maka imunisasi menjadi tidak
efektif.
kemudian keluar dari SSP melalui motor saraf sensorik, saraf autonom,
kemudian akan bereplikasi secara lokal di kelenjar ludah dan lacrimal glands
untuk kemudian ditransmisikan ke host berikutnya.9
Sesuai dengan perjalanan virus, gejala klinis yang ditimbulkan rabies
terdiri dari 4 stadium1 yaitu:
a. Stadium prodromal, terjadi setelah virus sampai di SSP, dengan gejala gelisah
disertai demam, malaise, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar namun
juga kedinginan, lemah, rasa nyeri di tenggorokan.
b. Stadium sensoris, yaitu nyeri, panas disertai kesemutan di tempat luka,
cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensoris.
312
c. Stadium eksitasi yang ditandai dengan tonus otot meningkat, ketakutan yang
berlebihan, haus, takut akan cahaya, tiupan angin dan suara keras, merintih
dan sebelum kesadaran hilang, bingung, gelisah tidak nyaman, bingung
berlebihan sehingga agresif, gemetar, kaku kejang, dan akhirnya meninggal.
d. Stadium paralisis, yaitu paresis otot termasuk otot pernapasan karena
gagangguan sumsum tulang.
Banyak aspek patofisiologi rabies yang sampai sekarang belum diketahui,
salah satunya adalah belum jelas bagaimana rabies dapat menyebabkan
kelumpuhan.
encephalitik dan paralytik dari rabies. Penyebab kematian pada kasus rabies
masih belum diketahui karena virus rabies wild-type tidak memberikan efek
sitopatik, apoptosis, atau menyebabkan inflamasi.
13.2.4. Diagnosis
Virus Rabies dapat diisolasi dari air liur, cairan cerebrospinal, dan urin
penderita, namun isolasi virus dari isolat tersebut kadang tidak berhasil karena
adanya reaksi neutralizing antibodies. Berdasarkan pemeriksaan Fluorescent
Antibody Test / FAT dari jaringan otak, air liur, kerokan mukosa, cairan
cerebrospinal, urin, kulit, dan usap kornea kadang negatif bila antibodi sudah
terbentuk. Dalam mendiagnosa rabies beberapa pemeriksaan laboratorium
dapat dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan Histopatologi dengan mengidentifikasi adanya badan Negri
yang patognomonik rabies. Namun, badan Negri hanya dapat ditemukan
dalam 71% kasus.
313
314
dan
sabun
atau
detergen
selama
10-15
menit
untuk
315
atau tidak), keberadaan hewan (hilang atau lari atau mati atau dibunuh),
status penderita gigitan (pernah mendapat VAR atau tidak).
2. Pemeriksaan fisik untuk menentukan identifikasi luka (risiko rendah atau
tinggi). Pada pasien risiko rendah cukup diberikan VAR saja, sedangkan pada
pasien risiko tinggi harus diberikan VAR dan SAR.
13.2.6. Prognosis/prediksi/estimasi
Setelah diagnosis rabies ditegakan, tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali perawatan suportif intensif. Bila gejala klinis timbul biasanya diakhiri
dengan kematian. Penderita rabies dapat mengalami kematian dalam 3-5 hari
setelah timbul gejala, sehingga pemeriksaan serologis terlambat dilakukan
walaupun gejala cukup jelas.
.
Gambar 13.2.6.1. Penderita rabies dengan gejala
https://www.google.com/search?q=rabies+in+human+image
316
rabies
dilaksanakan
dengan
intensif
dan
merupakan
317
Akan tetapi
318
yang
ditempuh
oleh
sektor
peternakan
adalah:
(1)
319
secara bertahap.
dilakukan adalah:
1. Pencegahan meliputi: (1) Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau
menurunkan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas
rabies, (2) Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang
masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies, (3) Melarang dilakukannya
vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah bebas rabies, (4)
Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70%
populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus, (5)
Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang
telah divaksinasi, (6) Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak
bertuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan, (7)
Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan
ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat,
(8) Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari
2 meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan
rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan
berangus (beronsong), (9) Menangkap dan melaksanakan observasi hewan
tersangka menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang
mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen
untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa, (10) Pengawasan
ketat terhadap lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya yang
bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies, (11) Membakar dan
menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya 1
meter.
2. Pemberantasan di daerah tertular secara bertahap dengan prioritas pada
daerah dengan angka kejadian tinggi.
320
321
kekebalan yang relatif lama (idealnya jika kekebalan yang ditimbulkan dapat
bertahan selama 3 tahun) sesuai perkiraan umur anjing antara 3-4 tahun,
sehingga anjing yang dilepasliarkan selama hidupnya memerlukan vaksinasi 1 2 kali, (2) pemberian
322
(8)
. Berdasarkan
323
kambing, dan babi. Dari seluruh otak anjing yang positif, ternyata 81% adalah
otak anjing yang dilepasliarkan, 17% otak anak anjing, 2% otak anjing rumahan
yg tidak divaksinasi.7 Tingginya kasus rabies pada anjing lepasan diduga karena
tingkat kontak antar anjing cukup intensif dibandingkan dengan anjing
rumahan. Disamping itu, upaya vaksinasi melalui suntikan pada kelompok
tersebut sulit dilakukan sehingga proses penularan rabies sulit diputus.
Kejadian rabies pada anak anjing diduga karena kelompok anak anjing ini
kebanyakan luput dari program vaksinasi (tingkat imunitas yang relatif rendah).
Selain di Bali, KLB juga terjadi di Gunung Sitoli, Nias-Sumatera Utara dan
Pulau Larat Kecamatan Tanibar Utara, Maluku. Upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah adalah melakukan surveilans dan investigasi kasus, penyediaan VAR
untuk hewan dan manusia.
324
325
13.4.5. Kebijakan
Kebijakan dalam pemberantasan dan penanggulangan rabies di Indonesia
menjadi tanggungjawab tiga kementerian. Kerjasama atau kemitraan dalam
pelaksanaan penanggulangan rabies dibentuk dalam suatu wadah yang disebut
Tikor (Tim koordinasi pemberantasan rabies) yang berada di tingkat pusat,
provinsi dan kabupaten/kota. Dalam pelaksanaannya terlihat masih bersifat t
sektoral dan belum terintegrasi dalam suatu sistem. Walapun koordinasi antar
sektor sudah berjalan, namun koordinasi tersebut belum optimal dan
memerlukan sistem terpadu yang dapat mengikat berbagai sektor dalam
penanggulangan Rabies.
326
pada manusia dari 11 orang perbulan di tahun 2010 menjadi tidak ada kasus di
tahun 2013. Walaupun demikian , sistem pencatatan dan pelaporan tetap
dijalankan secara serius oleh tim kesehatan dan peternakan.
Pemerintah telah membuat sebuah peta jalan (road map) tentang
berbagai kegiatan untuk mengendalikan rabies dan menempatkan kegiatan ini
diagenda utama untuk tahun-tahun ke depan. Pemerintah Pusat berkomitmen
untuk melakukan pengendalian rabies secara progresif dimulai dari pulau per
pulau atau provinsi per provinsi; komitmen yang sama juga diharapkan dari
pemerintah daerah dengan pendanaan bersama berdasarkan strategi
penganggaran yang jelas. Pendekatan One Health akan digunakan dengan
melibatkan kesehatan Manusia dan Kesehatan Hewan dengan fokus utama
pada vaksinasi massal anjing, respon cepat terhadap kasus gigitan oleh sektor
kesehatan manusia dan kesehatan hewan dan juga vaksinasi pasca-gigitan
untuk korban. Dinas kesehatan mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada
apabila digigit anjing. Seluruh gigitan anjing harus dicuci dengan sabun dan air
mengalir selama 15 menit dan kemudian korban harus segera dibawa ke
Puskesmas untuk mendapatkan pengobatan. Dinas Peternakan meminta
masyarakat untukmmelaporkan semua gigitan anjing dan anjing yang
menunjukkan perubahan perilaku kepada Dinas Peternakan setempat.
Pemerintah Indonesia mengumumkan akan bergabung dengan negaranegara lain di kawasan Asia Tenggara untuk membebaskan Indonesia dari
rabies pada 2020. Untuk mencapai target ini, Pemerintah telah membuat
sebuah peta jalan (road map ) tentang berbagai kegiatan untuk mengendalikan
rabies dan menempatkan kegiatan ini di agenda utama untuk tahun-tahun ke
depan. Saat ini Provinsi Riau dan Sumatera Barat telah bergabung dengan
Provinsi Bali dalam pengendalian rabies melalui vaksinasi massal anjing dan
segera diikuti dengan Nias dan Flores. Peta Jalan pemberantasan rabies di
Indonesia ini berisi strategi teknis, kebutuhan logistik dan operasional, serta
anggaran yang diperlukan, dan bagaimana pembagian kewajiban dalam
pelaksanaan program.
327
328
329
Temuan
Program
Saran
Pemberantasan
Rabies
Komitmen global
eliminasi.
Kerjasama Lintas sektor
Mayoritas
masyarakat
memelihara anjing
dilepasliarkan
330
Penanganan kasus
Gigitan HPR /
tersangka rabies
Peningkatan Pengetahuan
masyarakat akan cara pemeliharaan
anjing, risiko rabies dan cara
pertolongan dini.
2. Bila kasus
membahayakan
segera dibawa ke RS
atau Rabies Center
juga
dilakukan
dengan
pemberantasan
pengendalian
keberadaan anjing liar di daerah endemis rabies secara mekanik dan kimia.
Kebijakan pengendalian atau eliminasi
Program eliminasi rabies merupakan kesepakatan nasional dan
merupakan kerjasama kegiatan tiga kementerian Kebijakan pengendalian
rabies memerlukan peran lintas sektor lain dan berbagai tokoh masyarakat.
Dalam hal peningkatan cakupan vaksinasi hewan penular rabies di daerah
endemis.
Program pengendalian rabies yang ditegakan oleh Kementrian
Pertanian adalah meningkatkan cakupan vaksinasi dengan mengadakan
bulan vaksinasi anjing. Disamping itu juga dilakukan Pengendalian zoonosis
terpadu yang dilaksanakan berdasarkan 6 (enam) prinsip, yaitu : (1)
Mengutamakan keselamatan manusia dari ancaman zoonosis, (2) Mencegah
penularan kepada manusia dengan melakukan upaya pengendalian zoonosis
pada hewan penular, (3) Mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial, politik,
budaya, dan keamanan, (4) Menekankan upaya terintegrasi seluruh
komponen bangsa: pemerintah, dunia usaha, masyarakat, organisasi profesi,
lembaga internasional, (5) Mengacu pada kebijakan nasional dan
standar/kesepakatan internasional, (6) Berbasis pemberdayaan masyarakat,
(7) Di tingkat regional ASEAN telah tercapai.
331
Masalah
Penanganan
Peran lintas
sektor belum
maksimal
dalam
pengendalian
rabies
Sektor kesehatan
sebagai leading
sector melakukan
pengobatan.
Managemen
kasus
Penegakan diagnosa
yang cepat dan tepat
Pengendalian/
Eliminasi/
Eradikasi
Maintenance
Penelitian
Pelatihan penyegaran
petugas secara
berkesinambungan
Pengetahuan,
sikap dan
perilaku petugas
dalam
penatalaksanaan
kasus rabies.
332
sebagai salah satu bentuk dokumen terpadu nasional yang pada tujuan
globalnya adalah untuk mencegah dan mengurangi dampak negatif akibat
bencana/wabah zoonosis.
Kebijakan pemantauan atau pelestarian hasil pengendalian/eliminasi/
eradikasi rabies.
Kebijakan
pemantauan
pengendalian
rabies
adalah
perlunya
klinis
dan
epidemiologis
serta
sudah
dikonfirmasi
secara
333
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
334
335
336
BAGIAN
KESIMPULAN
Dari 13 PMN yang dikaji program pengendalian dan penelitiannya dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Penyakit menular neglected di Indonesia belum tersosialisasikan dengan baik
dan belum menyadarkan semua pihak yang bertanggungjawab termasuk
masyarakat. Penyakit menular neglected juga belum serius dikendalikan karena
dianggap merupakan masalah lokal sehingga tidak tersedia data yang sahih
sebagai dasar dan titik tolak upaya pengendalian. Dana operasional yang
ditanggung
oleh
Kabupaten/Kota
sering
membebani
APBD,
sehingga
337
2.
REKOMENDASI
Penyakit menular neglected umumnya merupakan PM yang kasusnya ter
batas, terlokalisir pada daerah atau fokus tertentu atau terisolir di daerah dengan
sanitasi tidak baik dan miskin. Rekomendasi yang dapat dipertimbangkan untuk
pengendalian PMN adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban dan kemauan semua satker Kementerian Kesehatan bersama mitra
kerja (termasuk lintas sektor), Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk
mengendalikan, mengeliminasi atau membebaskan PMN dari Indonesia.
b. Penanggungjawab, kebijakan, sasaran, program, SDM kompeten dan petunjuk
teknis pengendalian PMN yang jelas dan praktis, dengan agenda dan target
yang terintegrasi, fisibel dan rasional.
c. Pilihan kebijakan dengan pendekatan budaya setempat dengan manajemen
kesehatan masyarakat bukan individu atau kasus.
d. Kebijakan yang berbasis bukti sahih dengan kejelasan definisi kasus atau
penyakit yang ditunjang ketersediaan fasilitas pemeriksaan, alat diagnostik
baku PMN dan obat yang efektif dan aman diseluruh tempat pelayanan
kesehatan terutama di daerah PMN.
e. Pemetaan untuk data dasar, evaluasi program atau konfirmasi daerah
bermasalah atau sudah bebas PMN dengan Riset Kesehatan Nasional berbasis
PMN.
f. Pengembangan atau penelitian terobosan yang terpadu untuk mendukung
upaya percepatan pengendalian, eliminasi dan eradikasi PMN.
g. Pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan PMN yang terpadu dengan
penyakit lainnya, sistem surveilans, monitoring dan evaluasi yang ketat dan
berkesinambungan, serta jejaring kemitraan nasional dan internasional
menggunakan kemajuan teknologi informasi yang praktis.
h. PHBS dijadikan budaya kehidupan sehari-hari bagi semua kelompok
masyarakat.
338
BAGIAN
339
340
BAGIAN
TIM KAJIAN
341
342
Annida
B. Sandjaja
343
344