Anda di halaman 1dari 18

MARHABAN YA RAMADHAN

Oleh : K. Hasan Badri


P.P. SABILIL MUTTAQIN
Pakusari
PUASA DAN PEMBANGUNAN KARAKTER
Bulan Ramadan tiba. Sebulan penuh, umat Islam di seluruh dunia, khususnya di
Indonesia, menjalankan ibadah puasa di siang hari dan ibadah-ibadah lainnya, baik di siang
maupun malam harinya. Tujuannya, seperti dikatakan Allah dalam Al-Qur'an, adalah menjadikan
orang-orang yang berpuasa sebagai orang-orang bertakwa; saleh secara individual dan saleh
secara personal. Dengan kata lain, puasa adalah medium pembangunan karakter manusia.
Menahan Diri
Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum dari pagi hingga sore. Puasa
yang dalam bahasa Arabnya dari kata shiyam atau shaum memang berarti menahan diri. Secara
spesifik, menahan diri dari memakan makanan atau meminum minuman. Tetapi, dalam
pengertian yang lebih luas adalah menahan dari perbuatan-perbuatan buruk dan tercela. Nabi
Muhammad menegaskan dalam ungkapannya, "Puasa itu adalah junah (perisai)."
Dalam perang tradisional zaman dahulu, perisai adalah pelindung dari serangan musuh
agar tidak terkena senjata musuh. Maka puasa adalah pelindung dari "serangan" orang lain yang
mengajak pada perbuatan buruk atau menjerumuskan pada kehancuran. Itulah yang ditegaskan
oleh Nabi Muhammad sebagaimana dalam sabdanya, "Siapa saja yang sedang berpuasa,
kemudian ada orang yang mengajak untuk berkelahi (berbuat kekerasan) atau mencaci-imikinya,
maka katakanlah dua kali: 'Saya sedang berpuasa!'" (HR. Al-Bukhari)
Itu adalah "serangan" dari pihak luar atau eksternal. Adapun dari pihak dalam (internal),
adalah dorongan dari hasrat-hasrat negatif yang dalam bahasa agama disebut hawa nafsu. Hawa
nafsu men-dorong seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan kotor dan tercela. Ini yang
dimaksud Nabi Muhammad dalam ungkapannya, "Siapa saja yang berpuasa, maka janganlah dia
berkata-kata buruk atau mengajak pada perbuatan buruk (baik dengan kata-kata maupun
tindakan." (HR. Muslim)
Dengan kata lain, orangyang berpuasa didorong untuk mengatakan dan bertindak yang
baik-baik. Ada hal yang menarik ketika Nabi saw., menyatakan, "Bau mulut orang berpuasa lebih
harum di sisi Allah daripada minyak kesturi." (HR. An-Nasa'i). Ini tentu tidak bisa dimaknai
secara literal semata. Makna sesungguhnya adalah dorongan agar yang keluar dari mulut orang
berpuasa adalah ucapan-ucapan yang baik, sehingga di sisi Allah menjadi begitu harum. Di
kalangan manusia pun ucapan yang baik akan punya efek positif, tidak hanya bagi diri sendiri
tetapi juga orang lain. Al-Qur'an dengan cukup indah mempermis.ilk.in antara ucapan-ucapan

yang baik dan yang sebaliknya: "Perumpamaan ucapan yang baik itu seperti pohon yang baik,
akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Pohon) itu menghasilkan buahnya pada
setiap waktu dengan seizin Tuhannya." (QS. Ibrahim [14]: 24-25) dan "Kalimat yang buruk itu
seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya daripermukaan bumi, tidak dapat
tetap(tegak) sedikitpun."(Q.S. Ibrahim [14]: 26)
Pembangunan Karakter
Tujuan puasa adalah membangun karakter bertakwa. Ada yang berhasil, ada yang gagal.
Yang gagal seperti digambarkan Nabi Muhammad dalam ungkapannya, "Bisa saja orang yang
berpuasa tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan haus," Artinya, puasa sekadar pemenuhan
ritual ibadah wajib, tidak memberi makna dalam kehidupan. Al-Ghazali dalam karyanya, Ihya
Ulumuddin, menyebut puasa yang seperti ini adalah puasa orang awam, puasa level terendah;
sekadar menahan lapar dan haus.
Mestinya, kata Al-Ghazali, orang berpuasa naik ke level kedua, yakni puasa anggota
badan, puasa seluruh indra dari hal-hal buruk. Lebih tinggi lagi, puasa level ketiga, yakni puasa
hati dan pikiran dari segala keinginan atau hasrat-hasrat buruk. Bahkan, hasrat-hasrat yang
bersifat duniawi, meskipun itu tidak terkategori hasrat-hasrat buruk. Puasa pada tingkat ini
adalah puasa yang menciptakan pribadi-pribadi berhati jernih, berpikiran bersih, yang
terejawantah dalam perilaku kehidupan. Puasa yang menumbuhkan perasaan kasih sayang,
empati, dan kepedulian terhadap orang lain.
Di tengah krisis karakter yang terjadi pada bangsa ini, terutama pada sebagian besar para
elite di pelbagai lembaga negara dan pemerintahan, puasa dapat menjadi momentum pendorong
pada upaya-upaya perbaikan dan pembangunan karakter ke arah yang lebih maju. Korupsi,
misalnya, sesungguhnya lahir dari hasrat-hasrat hati dan pikiran kotor untuk memperkaya diri
sendiri tanpa peduli dengan orang lain yang menderita akibatnya. Puasa menjadi alat pengerem,
meski tidak selamanya berhasil, karena orang bersangkutan hanya berpuasa lahiriah atau puasa
model orang awam, seperti dikatakan Al-Ghazali.
Karakter kekerasan, misalnya, juga coba direm dengan puasa, diganti dengan perasaan
kasih sayang, empati, dan peduli terhadap sesama, tanpa melihat agama atau aliran. Ironisnya,
berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kekerasan masih saja terjadi, dengan pelbagai
alasan, padahal Ramadan adalah bulan berkah dan rahmat atau kasih sayang. Selain itu, seperti
disabdakan Nabi Muhammad saw., "Apabila ada orang yang mengajak berkelahi (melakukan
kekerasan) atau mencaci-makinya, maka katakanlah, 'Aku sedang berpuasa.'" Akan jauh lebih
produktif untuk menge-rahkan energi pada hal-hal positif yang bermanfaat bagi sesama.
Ramadan adalah bulan pembangunan karakter dengan lebih banyak introspeksi diri
sendiri dan banyak menebarkan kebaikan, baik melalui ucapan maupun tindakan. Banyakbanyak mendekatkan diri kepada Allah, beribadah, beramal saleh, membantu orang lain, bersikap
empati, dan seterusnya. Bukan diisi dengan kemarahan, kebencian, kekerasan, kebohongan, dan
seterusnya. Dengan puasa, semua diimbau untuk menahan diri dari pelbagai keburukan selama
sebulan penuh. Tidak mustahil bangsa ini akan keluar dari keterpu-rukan jika banyak muncul
karakter-karakter kuat yang dibangun dari puasa ini.

PUASA DAN SEMANGAT MEMBERI


"Barangsiapa memberi makanan berbuka bagi orang
yang berpuasa, maka baginya pahala yang semisal orang
yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa
tersebut sedikit pun."
(HR. At-Tirmidzi)
Salah satu pesan penting yang diajarkan puasa bagi pelakunya adalah semangat memberi
terhadap sesama. Pada hadis di atas, Rasulullah menggambarkan bahwa orang yang memberi
makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, ia akan diberi pahala seperti pahala orang yang
diberi tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang yang diberi itu. Di sini, beliau mengajarkan
arti penting memberi. Beliau tidak menspesifikasi orang yang diberi makanan itu, apakah ia
termasuk orang yang memiliki makanan berbuka atau pun tidak. Intinya adalah memberi.
Semangat memberi.
Dalam konteks kaum muslimin di negeri ini, hal seperti itu sudah membudaya. Kita
bersyukur karenanya. Kita bisa melihat banyak sekali masjid yang menyediakan makanan atau
minuman untuk berbuka puasa dari para dermawan. Di antara tetangga kita juga sudah
membudayakan hal ini. Bulan puasa memang bulan berkah. Dengan memberi orang, Allah
memberi kita. Dengan memberi, kepekaan sosial kita dipicu dan dibangkitkan. Dalam memberi
ada interaksi sosial yang hidup, yakni silaturahmi dan kasih sayang. Kita memberi, berarti kita
menyambung tali silaturahmi. Kita memberi, berarti kita mengasihi dan menyayangi orang lain.
Ini kapital sosial yang sangat berharga.
Selain silaturahmi, ada juga silaturahim. Dua kata ini dalam bahasa Arab memiliki
pengertian yang berbeda. Silaturahmi berarti lebih pada kekerabatan, keluarga, yang ada
hubungan darah. Sementara silaturahim berarti lebih dari kerabat atau keluarga yang memiliki
hubungan darah, namun lebih luas daripada itu, yakni umat manu-sia. Intinya sama, yakni
menyambung hubungan dengan orang lain, di luar diri kita, dengan penuh kasih sayang. Dengan
ini, kita meng-anggap yang liyan sebagai bagian dari diri kita yang harus diperlaku-kan sama
seperti kita memperlakukan diri kita sendiri.
Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa kita belumlah dianggap beriman sebelum kita
mencintai saudara kita seperti kita mencintai diri kita sendiri (HR. Muslim dari Anas bin Malik).
Semua manusia hakikatnya adalah bersaudara. Garis keturunan manusia sama, yakni dari Adam
dan Hawa. Secara kemanusiaan, kita memiliki perasaan kasih sayang sebagai pemberian Allah
yang tidak terhingga. Kasih sayang yang dalam sebuah hadis dikatakan merupakan satu bagian
yang Allah turunkan ke bumi dari seratus bagian yang ada pada-Nya, sedang 99 lainnya
disimpan di akhirat.
Rasulullah adalah orang yang paling semangat dalam memberi. Semangat ini bahkan,
seperti dikatakan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari, lebih meningkat pada bulan Ramadan
bahkan seperti angin yang berembus. Jika Rasulullah saja, orang yang paling mulia sedunia
sudah seperti itu, bagaimana dengan kita? Allah sendiri di bulan Ramadan membuka lebar-lebar
pintu rahmat yang berarti Dia 'mengobral' rahmat kepada para hamba-Nya, kenapa kita tidak
'mengobral' pemberian kepada orang lain? Dengan memberi orang, Allah memberi balasan yang
jauh lebih besar untuk kita. Itu janji-Nya, dan janji-Nya pasti ditepati.

Keutamaan Memberi
Nabi disebutkan tidak pernah dimintai sesuatu sementara beliau memilikinya kecuali
beliau pasti akan memberinya. Jabir menuturkan, "Tiada pernah sama sekali Rasulullah dimintai
sesuatu, kemu-dian beliau menolaknya." (Muttafaq 'alaih) Dalam hadis lain disebutkan bahwa
memberi sedekah termasuk salah satu elemen yang menyempurnakan iman seseorang. Abu
Umamah berkata, Rasulullah saw., bersabda :
Dari Abi Umama bahwasannya Rasulullah saw., bersabda: "Barang-siapa yang mencintai
karena Allah, membenci karena Allah, memberi (bersedekah) karena Allah, dan menahan (tidak
memberi) karena Allah, maka ia telah menyempumakan imannya." (HR. Abu Dawud)
Bahkan dikatakan bahwa orang yang tidak memberi makan kepada tetangganya yang
kelaparan sementara ia mengetahuinya, orang tersebut dikatakan tidak memiliki iman kepada
Rasulullah. Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda, "Tidaklah beriman kepadaku orang
yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia mengetahuinya."
(HR. Ath-Thabrani).
Memberi sedekah disebutkan juga dapat mendinginkan api neraka. Adi bin Hatim
mendengar Nabi bersabda, "Siapa saja di antara kalian yang sanggup mendinginkan api neraka
walaupun dengan bersedekah separuh buah kurma maka hendaklah ia segera bersedekah." (HR.
Muslim)
Sedekah disebutkan pula dapat menghindarkan orang yang melakukannya dari siksa
kubur, serta menjadi penaung bagi orangyang bersedekah. Uqbah bin Amir berkata, Rasulullah
bersabda, "Sesungguhnya sedekah dapat memadamkan panas api siksaan di dalam kubur bagi
orang yang melakukannya. Dan pada hari kiamat, seorang mukmin akan bernaung di bawah
harta yang disedekahkannya." (HR. Ath-Thabrani)
Sedekah juga dapat menghindarkan kemurkaan Allah dan mati dalam kondisi buruk (su'ul
khatimah). Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya sedekah itu
menghindarkan dari murka Allah dan menghindarkan seseorang dari meninggal dalam keadaan
yang buruk (su'ul khatimah)." (HR. At-Tirmidzi)
Sedekah juga dapat membersihkan dosa-dosa seseorang. Anas berkata bahwa Rasulullah
bersabda, "Sedekah bisa menghapuskan ke-salahan (dosa) sebagaimana air memadamkan api."
(HR. At-Tirmidzi)
Sedekah juga dapat melunakkan hati yang keras. Abu Hurairah berkata, seorang laki-laki
mengeluhkan perihal hatinya yang keras, kepada Rasulullah. Maka beliau memberi petuah, "ilka
engkau ingin melunakkan hatimu maka berilah makan pada orang miskin dan usaplah kepala
anak yatim." (HR. Ahmad)
Sedekah disebutkan pula dapat menjadi obat penyembuh bagi orangyang sakit. Abdullah
berkata, Rasulullah bersabda, "Obatilah orang-orang yang sakit di antaramu dengan sedekah.
Bersihkanlah harta kalian dengan zakat. Dan persiapkanlah doa untuk menghadapi musibah."
(HR. Al-Baihaqi)
Disebutkan pula bahwa orang yang bersedekah kelak di akhirat akan mendapat naungan
saat tidak ada satu pun naungan. Abu Hurairah berkata, Nabi saw., bersabda, "Tujuh golongan
manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya; pemimpin yang adil, seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada
Tuhannya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang laki-laki yang saling
mencintai karena Allah; mereka tidak bertemu kecuali karena Allah dan berpisah karena Allah,

seorang laki-laki yang diajak berbuat maksiat oleh seorang wanita kaya dan cantik namun dia
berkata, 'Aku takut kepada Allah', dan seorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi
hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan tangan kanannya, serta seorang
laki-laki yang berzikir kepada Allah dengan mengasingkan diri hingga kedua matanya basah
karena menangis." (HR. Al-Bukhari)
Disebutkan pula bahwa orang yang bersedekah akan didoakan malaikat. Abu Hurairah
berkata bahwa Rasulullah bersabda :
Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah saw., bersabda "Ti-daklah datang suatu
hari kepada seorang hamba kecuali akan turun dua malaikat yang salah satunya berdoa, 'Ya
Allah, berilah orang-orang yang bersedekah itu balasan (pahala)/Malaikat yang satunya lagi
mengatakan, 'Ya Allah, berilah pada orang yang bakhil itu kebinasaan (hartanya).' (HR. AlBukhari)
Disebutkan pula bahwa Allah tidak akan menahan rezeki seseorang sepanjang orang itu
juga tidak menahan rezekinya untuk disedekahkan kepada orang lain. Asma binti Abu Bakar
berkata, Nabi bersabda kepadanya, "Jangan engkau menyimpan apa-apa yang ada di tanganmu,
sebab kalau demikian maka Allah akan menyimpan karuniaNya terhadap dirimu (rezeki ditahan
Allah)." (HR. Al-Bukhari)
Disebutkan bahwa di surga ada yang dinamakan dengan "Pintu Sedekah". Dari pintu
itulah orang-orang yang gemar bersedekah dipanggil untuk memasukinya. Abu Hurairah berkata
bahwa Rasulullah bersabda, "Siapa saja yang menginfakkan dua jenis (berpasangan) hartanya di
jalan Allah, maka dia akan dipanqtiil dun pintu pintu surga, 'Hai hamba Allah, inilah kebaikan.'
Maka siapa saja yang ahli shalat dia akan dipanggil dari pintu shalat. Siapa yang ahli jihad dia
akan dipanggil dari pintu jihad. Siapa saja yanq ahli puasa dia akan dipanggil dari pintu Rayyan.
Dan siapa saja yaiui ahli sedekah dia akan dipanggil dari pintu sedekah." (HR. Al-Bukharl)
Disebutkan pula bahwa sedekah sama sekali tidak mengurangi harta orang yang
bersedekah. Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda, "Harta tidaklah berkurang karena
disedekahkan." (HR. Muslim)
Bahkan, dengan sedekah itu, harta seseorang akan bertambah. Aisyah berkata bahwa
Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah akan mengembangkan sedekah kurma atau sepotong
makanan dari seorang di antara kalian, sebagaimana seorang di antara kalian memelihara anak
kuda atau anak untanya, sehingga sedekah tersebut menjadi besar seperti bukit Uhud."(HR.
Ahmad)
Dalam Al-Qur'an, Allah menjanjikan akan mengganti harta yang disedekahkan. Allah berfirman:
Apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang
terbaik." (QS. Saba' [34]: 39)
Dalam ayat lain, Allah menyatakan:
"Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang
menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap
lungkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
Mahaluas, Maha Mengetahui." (QS. Al-Itqarah [2]: 261)
Dalam ayat lain juga, Allah berfirman, "Dan perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya
untuk mencari rida Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang
terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahbuahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun (pun memadai). Allah

Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah [2]: 265)
Orang yang bersedekah akan dilapangkan rezekinya oleh Allah. Abu Hurairah berkata
bahwasanya Rasulullah bersabda dalam hadis Qudsi, Allah berfirman "Belanjakanlah hartamu,
pasti engkau diberi nafkah oleh Tuhan." (Muttafaq 'alaih)
Allah menjanjikan kepada orang yang bersedekah bahwa mereka tidak akan merasa takut dan
bersedih hati. Allah berfirman,
"Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang ban (secara) sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takutpada
mereka dan mereka tidakbersedih hati." [QS. Al-Baqarah [2]: 274)
Sedekah disebutkan termasuk amal dalam Islam yang terbaik. Abdullah bin Amr bin AlAsh berkata bahwasanya ada seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah, "Manakah di
dalam Islam amal yang terbaik?" Beliau menjawab, "Engkau memberikan makanan serta
mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal."
(Muttafaq 'alaih).
Sedekah itu lebih utama dibandingkan dengan meminta-minta, dan orang yang paling
berhak untuk diberi sedekah adalah kerabat terdekatnya yang membutuhkan. Hakim bin Hizam
berkata, Nabi bersabda, "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di ba-wah. Mulailah
(bersedekah) untuk orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Adapun sedekah yang paling baik
adalah dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya). Maka siapa saja yang berusaha
memelihara dirinya, Allah akan memeliharanya. Dan siapa saja yang berusaha mencukupkan
dirinya maka Allah akan mencukupkannya." (HR. Al-Bukhari)

PUASA PEMENANG NON FISIK DAN NON FISIK


Puasa di bulan Ramadan tidak sekadar upaya menahan lapar dan dahaga serta hal-hal
yang dapat membatalkannya seperti yang telah ditentukan oleh syariat dari mulai terbit fajar
hingga terbenam matahari. Puasa juga merupakan upaya pengendalian diri dari nafsu-nafsu diri
yang kerap kali menimbulkan maksiat lahir dan batin terhadap Allah Swt., baik sadar maupun
tidak. Tidak hanya itu, puasa juga menjadi kunci kemenangan dalam setiap perjuangan, termasuk
perjuangan mengalahkan hawa nafsu dan musuh-musuh Allah dalam peperangan.
Kemenangan Fisik
Di dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Yakinlah, jika kalian bersabar dan bertakwa, lalu
mereka datang menyerang kalian dengan cepat, maka ketika itu pulalah Tuhan kalian pasti akan
menolong dengan menurunkan lima ribu malaikatyang datang dengan menggunakan tanda."
(Q.S. Ali 'Imran [3J: 125)
Atau, dalam ayat lain yang hampir senada, Allah berfirman, "Ketika kalian meminta
pertolongan kepada Tuhan kalian, la pasti mengabulkannya dengan menurunkan bantuan
berupa malaikat yang datang berturut-turut." (QS. Al-Anfal [8]: 9)
Dua ayat Al-Qur'an ini turun ketika sedang berkecamuknya perang hebat antara kaum
muslimin dengan kaum kafir Quraisy Mekah di satu lembah dekat sumur Badar. Perang pertama
yang Rasulullah dan para sahabatnya lakukan ini terjadi pada tahun ke-2 H. Perang yang secara
kuantitas prajurit tidak berimbang, di mana kaum muslimin hanya berjumlah 313 prajurit,
sementara kaum kafir Quraisy Mekah berjumlah 1000 prajurit, lengkap dengan kendaraan
perangnya, seperti unta dan kuda perang terlatih.
Yang menarik adalah bahwa perang ini terjadi pada bulan Ramadan, bulan di mana kaum
muslimin sedang melaksanakan ibadah puasa, menahan lapar dan dahaga kehausan. Ujian fisik
yang dihadapi oleh kaum muslimin kala itu teramat berat, untuk pertama kalinya.
Namun ternyata, justru dengan itulah, orang-orang kafir Quraisy Mekah tidak mampu
mengalahkan kaum muslimin, bahkan di antara pembesar-pembesar dan tokoh-tokoh terkemuka
Quraisy te-was pada pertempuran itu. Padahal, jika dihitung secara matematis,
seharusnya kaum muslim yang kalah. Namun kenyataan di lapangan berbicara lain.
Faktor apa saja sesungguhnya yang dapat memberikan dorongan semangat kaum
muslimin, sehingga mampu mengalahkan orang-orang kafir Quraisy Mekah? Pada ayat itu
dengan tegas Allah me-nyatakan bahwa ada dua faktor, yakni kesabaran dan ketakwaan yang
menjadi benteng dan kunci kemenangan, keduanya kemudian menjadi sumbu yang menyalakan
api semangat menyala-nyala. Di-tambah lagi bahwa itu terjadi di bulan Ramadan, saat kaum
muslim berpuasa yang dituntut untuk bersabar. Pada saat itu, bukan sema-ta sabar dalam
menahan lapar dan haus, melainkan juga bersabar dalam menghadapi musuh.
Kaum muslimin sama sekali tidak gentar, apalagi merasa takut dengan jumlahnya yang
teramat sedikit. Semangat mereka malah ter-pecut demi untuk mempertahankan kebenaran yang
disampaikan Rasulullah. Mereka rela menghadapi pasukan terlatih orang-orang kafir Quraisy

Mekah, demi keyakinan bahwa di mana pun adanya, kebenaran pasti akan tetap menang, dan
kebatilan pasti akan kalah.
Kesabaran orang-orang muslimin telah memberikan satu keyakinan bahwa Allah tidak
akan membiarkan hamba-hamba-Nya yang taat menjalankan perintah-perintah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya sendirian berperang. Mereka yakin, kesabaran dan ketakwaan-lah yang
menjadikan Allah akan selalu menyertainya, melindungi-nya, hingga membantunya. Kesabaran
dan ketakwaan, dua senjata nonfisik yang berkekuatan dahsyat dimiliki oleh kaum muslimin.
Takwa dalam arti kata keyakinan bahwa hanya Allah-lah semata yang Mahakuat,
sedangkan yang selain-Nya hanyalah makhluk-makhluk lemah yang dapat dikalahkan. Ketika
berpadu antara kesabaran dan ketakwaan maka keduanya menjadi bara api yang menji-lat-jilat di
dalam dada dan pelecut semangat berjuang.
Akhir perang Badar ditandai dengan kemenangan dramatis kaum muslimin atas orangorang kafir Quraisy Mekah. Kemenangan yang sama sekali tidak diduga-duga oleh orang-orang
kafir Quraisy Mekah sebelumnya. Kekalahan yang paling memalukan kata mereka. Sementara
itu, di seberang Madinah sana, dengan mengumandang-kan takbir kemenangan dan rasa syukur
yang tiada tara, kaum muslimin di bawah komando Rasulullah saw., kembali dengan kepercayaan tinggi. Kemenangan pertama dalam sejarah umat Islam atas orang-orang kafir Quraisy
Mekah.
Sejarah Islam telah mencatat, bahwa perjuangan mempertahankan keyakinan akan
kebenaran tauhid, akan selalu dihadapkan dengan berbagai rintangan, aral, atau halangan.
Kemenangan akan dapat diraih jika kesabaran dan ketakwaan menjadi landasan paling utama.
Perjuangan tanpa didasari oleh keduanya, sama halnya mengantar-kan diri pada kematian
dan kehancuran yang sia-sia tak bernilai. Bulan Ramadan pada hakikatnya adalah bulan
perjuangan mengha-dapi musuh yang jauh lebih kuat, yaitu hawa nafsu negatif. Tanpa kesabaran
dan ketakwaan, puasa ini tidak akan berarti apa-apa. Sabar dan takwa, itulah kunci meraih
kemenangan dalam setiap perjuangan.
Kemenangan Nonfisik
Tidak semata kemenangan fisik seperti terjadi dalam Perang Badar, puasa juga menjadi
kemenangan nonfisik manakala kita berhasil mengekang dan mengendalikan hawa nafsu kita
sehingga ia tidak diumbar sembarangan. Melalui Ramadan, umat Islam diwajibkan untuk
berpuasa, menahan makan dan minum, sejak fajar terbit hingga magrib sore hari. Upaya untuk
tidak melakukan kegiatan makan dan minum pada bulan Ramadan ini sejatinya memiliki maksud
dan tujuan mulia, yaitu memperoleh predikat muttaqin.

Predikat ini bukanlah predikat yang bisa diraih oleh siapa saja dengan mudah. la hanya
akan diraih oleh orang-orang yang selama Ramadan menjalankan ibadah puasa dengan benar.
Benar di sini tidak hanya sesuai dengan ketentuan syariat, yaitu sukses menahan lapar dan
dahaga hingga azan Magrib, tapi lebih dari itu, ia berhasil menekan segala keinginan nafsunya.
Dorongan nafsu sering menjurus pada hal-hal negatif. Demikian yang Nabi Yusuf
katakan ketika dituduh berbuat serong dengan istri pejabat Mesir yang mengasuhnya,

"Aku sekali-kali tidak akan pernah mengumbar nafsuku, karena se-sungguhnya nafsu itu
selalu mendorong seseorang untuk melaku-kan keburukan, kecuali yang Tuhanku kasihi.
Sesungguhnya, Tu-hanku maha pengampun lagi maha penyayang." (QS. Yusuf [12]: 53}
Kekuatan nafsu sering mengalahkan hati nurani dan akal sehat seseorang. Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari bisa terjadi orang diper-budak oleh hawa nafsunya. Dalam Al-Qur'an,
Allah menggambarkan hal ini sebagai bentuk penyembahan terhadap hawa nafsu, "Apakah
engkau sudah melihat perilaku orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya? Ataukah justru engkaulah yang malah menjadipembantunya?" (QS. Al-Furqan [25]:
43) Dalam ayat lain yang senada, Allah pertegas lagi, "Apakah engkau sudah melihat orangorang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Lalu Allah, Zat Yang Maha
mengetahui kebenaran dan kebatilan, menjadikannya tersesat, menutup telinga dan mata hatinya,
dan menjadikan penghalang pada pandangannya. Kalau sudah demikian, siapa lagi yang dapat
membehkan petunjuknya selain Allah? Apakah kalian tidak menyadarinya?" (QS. Al-Jatsiyah
[54]: 23)
Ketika mata hati nurani, pandangan mata, dan pendengaran telinga-nya sudah tidak mau
mendengarkan dan memperhatikan segala petunjuk kebaikan yang datang dari Allah dan RasulNya, maka itu berarti ia telah menjadikan nafsunya sebagai tuhannya, mengesam-pingkan Allah,
Tuhan sejati.
Maka sebetulnya, orang model ini telah merugikan dirinya sendiri, ia sejatinya telah
menggiring dirinya sendiri ke jalan kesesatan. Kalau sudah demikian, maka Allah Swt.,
menyindir, siapa lagi yang mampu mengembalikannya lagi ke jalan hidayah? Hanya Allah-lah
yang dapat melakukan itu, tapi dengan syarat, ia menghilangkan penyembahan terhadap hawa
nafsunya itu.
Puasa adalah perjuangan untuk mengontrol kebebasan dan kese-rakahan nafsu. Karena
dengan puasa, seseorang sejatinya sedang dibimbing untuk dapat menempatkan kembali hati
nurani dan akal sehatnya di atas nafsu. Jika ini yang menjadi tujuan, bisa dipas-tikan puasa
sukses, dan mendapat label muttaqin. Namun perlu diingatkan, perjuangan melawan hawa nafsu
tidak semudah yang dibayangkan.
Dorongan nafsu bahkan lebih besar lagi. Itulah perjuangan paling besar dibandingkan
dengan yang lainnya. Ketika Rasulullah selesai dari perang Badar, beliau mengatakan, "Kita
selesai dan perang yang besar untuk berperang dengan yang lebih besar lagi, yaitu memerangi
hawa nafsu kita." (HR. Al-Bukhari)

Puasa di bulan Ramadan tiada lain adalah media untuk menak-lukkan hawa nafsu. Jika
sukses, ia pantas untuk menerima pangkat muttaqin, orang yang bertakwa. Dalam ayat
disebutkan balas-an bagi orang yang bertakwa, antara lain, "Sungguh, orang-orang yang
bertakwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis montok
yang sebaya, dan gelas-ge-las yang penuh (berisi minuman). Di sana mereka tidak mendengar
percakapan yang sia-sia maupun (perkataan) dusta. Sebaga, balas-an dan pemberian yang cukup
banyak dari Tuhanmu." (QS. An-Na-ba' [78]: 31-36).

MENGENDALIKAN HAWA NAFSU SAAT BERPUASA


Umat Islam tahun ini kembali kedatangan tamu agung dan mulia, yaitu bulan Ramadan,
bulan yang penuh rahmat dan pahala. Pada bulan ini, kita diwajibkan untuk berpuasa, menahan
diri tidak hanya dari kesenangan ragawi (badani), seperti makan dan minum, tetapi jugabahkan
ini yang tidak kalah pentingnyadari kesenangan nafsu yang sebelumnya diumbar sebebasbebasnya tanpa kendali.
Nafsu adalah keinginan di dalam diri kita yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu.
Secara garis besar, nafsu ada dua. Nafsu yang buruk dan nafsu yang baik. Nafsu yang buruk
dalam ungkapan yang biasa kita gunakan adalah hawa nafsu. Nafsu ini mendorong kita untuk
melakukan hal-hal buruk, semata-mata demi kepuasan dan kesenangan badaniah, dan
menjauhkan kita dari Allah. Sedang-kan nafsu yang baik adalah nafsu yang tenang, yang
mendorong kita untuk berbuat baik, menjauhi hal-hal buruk dan tercela, dan mendekatkan diri
kita kepada Allah.
Para ulama ahli tasawuf membagi nafsu ke dalam tujuh tingkatan. rri lama, nafsu amarah.
Orang yang memiliki nafsu tingkat ini senang melakukan perbuatan yang dilarang asalkan
dirinya bisa MH'iasa senang dengan perbuatannya itu. Inilah nafsu yang selalu menentang
kebenaran dan menyetujui kesalahan. Nafsu yang selalu membangkang, tidak menurut.
Kedua, nafsu lawwamah. Orang yang memiliki nafsu tingkat ini sudah mengetahui
perbuatan yang dilarang dan amal kebajikan. Di satu sisi, saat melakukan perbuatan buruk atau
jahat, dia masih merasa senang dengan itu, namun di sisi lain ia menyesali perbuatannya itu.
Orang yang nafsunya di tingkat ini kadang berbuat baik, dan setelah itu akan kembali melakukan
perbuatan buruk lagi.
Ketiga, nafsu mulhamah. Orang yang memiliki nafsu tingkat ini apabila hendak
melakukan amal kebajikan merasa berat. Namun, ketika ia sungguh-sungguh ingin melakukan
kebaikan, dia melaku-kannya, karena ia sudah mulai takut pada kemurkaan Allah dan pe-dihnya
api neraka. Apabila berhadapan dengan keburukan, hatinya masih rindu untuk melakukannya.
Namun, dalam tingkat nafsu ini, ia masih dapat melawan dengan membayangkan nikmatnya
berada di surga. Dia sudah mengenal penyakit-penyakit yang ada di hatinya, seperti iri hati,
dengki, syirik, dan seterusnya. Tetapi, dia masih belum bisa sepenuhnya melawan.

Keempat, nafsu muthmainah. Orang yang memiliki nafsu ting-kat ini akan merasakan
kenikmatan ketika di dalam hatinya segala penyakit hati hilang. Dengan hilangnya penyakitpenyakit itu, ia ke-mudian membenci perbuatan buruk. la menghindarinya dan tidak
melakukannya. Orang ini akan senantiasa dijauhkan dari kecemasan dan kegelisahan atas semua
yang Allah tetapkan dan hatinya selalu merasa sejuk, jiwanya tenteram, jika dia bisa melakukan
suatu amal kebajikan. Hatinya senantiasa merindukan Allah.
Kelima, nafsu radhiah. Orang yang memiliki nafsu tingkat ini selalu menganggap bahwa
hal-hal yang makruh sebagai haram, dan hal-hal yang sunah sebagai wajib. Jika ia tidak
melaksanakan apa yang disunahkan, ia merasa berdosa. Baginya, takdir baik atau buruk sama
saja. la tidak peduli dengan urusan yang berbau duniawi. Karena hatinya sudah terpaut dengan
Allah dan rida atas segala keputusan yang Allah berikan kepadanya.
Keenam, nafsu mardhiah. Orang yang memiliki nafsu tingkat ini sa-ngat mencintai Allah,
dan Allah sangat mencintainya. Dia berhasil membuat Allah mencintainya dengan melaksanakan
apa yang Allah sunnahkan dan tidak melaksanakan satu pun dosa, sekecil apa pun. Palam sebuah
hadis qudsi disebutkan, Allah berkata, "Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku
dengan mengerjakan iba-d.ih-ibadah sunah sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku sudah
mencintainya, Aku pun menjadi pendengarannya yang dengannya la mendengar, penglihatannya
yang dengannya ia melihat, menjadi i.mgannya yang dengannya ia berbuat, menjadi kakinya
yang dengannya ia melangkah. Jika ia meminta-Ku, maka Aku memberinya. Jika ia memohon
perlindungan-Ku, maka Aku melindunginya." (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah)
Ketujuh, nafsu kamilah. Ini adalah nafsu tingkatan para Nabi dan Rasul, manusia yang
suci dan sempurna, yang terpelihara dari perbuatan tercela dan Allah selalu mengawasi dan
membimbingnya. Kita memang tidak bisa menjadi Nabi atau Rasul, karena pintu kenabian dan
kerasulan sudah tertutup dengan wafatnya Rasu-lullah. Tetapi, itu tidak berarti kita tidak bisa
berupaya untuk menjadi manusia sempurna seperti mereka. Dengan mengikuti ajaran-ajaran
mereka dan meneladani mereka, kita berarti tengah berupaya menuju kepada kesempurnaan kita
sebagai makhluk.
Sebelas bulan lamanya, hawa nafsu kita bergerak bebas mengen^ dalikan kita, menguasai
kita, dan menjerumuskan kita pada hal-hal yang kotor, buruk, dan tercela, serta menjauhkan kita
dari Allah. Dan, selama itu pula, kita berjuang dengan sekuat tenaga untuk melawannya. Namun,
kita sering kali kalah. Datangnya bulan Ramadan menjadi momentum yang sangat baik untuk
mengendalikan hawa nafsu kita melalui media puasa. Dengan puasa, kita paksa hawa nafsu kita
untuk tunduk. Kita tahan hawa nafsu kita untuk ti-dak makan dan minum dari pagi hingga sore.
Karena, menurut para ulama, makanan dan minuman itulah sumber kekuatan hawa nafsu.
Semakin banyak makan dan minum, semakin besar juga kekuatan hawa nafsu.
Hawa nafsu harus kita lawan sekuat tenaga, seperti kita melawan gempuran musuh dalam
peperangan. Hal ini tidak mudah kita laku-kan, terutama bagi kita yang hawa nafsunya sudah
begitu kuat dan lama menguasai kita. Kita mesti bersungguh-sungguh berjuang (mujahadah)
menahan hawa nafsu. Menahan hawa nafsu dalam sebuah hadis bahkan dikatakan sebagai jihad
yang paling besar. Di-sebutkan, sepulangdari suatu peperangan, Rasulullah mengatakan kepada
para sahabatnya, "Telah datang kepadamu berita yang baik; kamu datang dari jihad yang kecil

kepada jihad yang lebih besar yaitu seorang hamba Allah yang berjuang melawan hawa nafsunya. (Khatib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad)
melawan hawa nafsu lebih sulit daripada melawan serangan mu-, karena hawa nafsu ada
di dalam diri kita, tidak terlihat, hanya Kita rasakan dorongannya. Sementara musuh bisa kita
lihat, ada wu-judnya, dan kita bisa melawannya. Ibnul Qayyim dalam karyanya, Raudhatul
Muhibbin, mengatakan bahwa melawan hawa nafsu bagi seorang hamba melahirkan suatu
kekuatan di badan, hati, dan lisan-nya. Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa orang yang bisa
me-ngalahkan nafsunya lebih kuat daripada orang yang menaklukkan sebuah kota seorang diri.
Usman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Al-Khubari dalam karyanya, Durratun
Nashihin, menyebutkan bahwa setelah Allah menciptakan akal, Dia menciptakan nafsu,
kemudian menyuruhnya untuk meng-hadap, namun nafsu tidak menjawab. Allah pun bertanya,
"Sia-pakah engkau dan siapakah Aku?" Nafsu menjawab, "Aku adalah aku, Engkau adalah
Engkau." Mendengar itu, Allah menyiksanya di dalam neraka Jahim selama seratus tahun,
kemudian mengeluar-kannya. Allah kemudian bertanya, "Siapakah engkau dan siapakah Aku?"
Nafsu menjawab, "Aku adalah aku, Engkau adalah Engkau." Allah pun menyiksanya lagi, dan
kali ini di dalam neraka Ju' {Ju' arti-nya lapar) selama seratus tahun. Setelah Allah
mengeluarkannya, Dia bertanya, "Siapakah engkau dan siapakah Aku?" Nafsu akhirnya
menjawab, "Aku adalah hamba-Mu, dan Engkau adalah Tuhanku."
Hawa nafsu bisa kita lawan dan kendalikan dengan berpuasa secara baik dan sungguhsungguh karena Allah, di bulan Ramadan. Jika kita ingin melawan hawa nafsu, mengalahkan,
dan menundukkannya, Ramadan adalah waktu yang tepat. Selamat berpuasa.*

RAMADHAN BULAN ALQURAN


Bulan Ramadan adalah bulan istimewa. Salah satu alasannya, pada bulan ini Allah
menurunkan Al-Qur'an ke langit dunia secara keselu-ruhan dari lauh mahfudz. Allah berfirman,
"Inilah bulan Ramadan, di mana Al-Qur'an untuk pertama kali diturunkan. Kitab ini menjadi
petunjuk bagi umat manusia, dan berbagai penjelasan tentang pe-tunjuk itu, sekaligus pembeda
antara yang hak dan batil. Barang-siapa yang melihat bulan, maka berpuasalah." (QS. AlBaqarah [2]: 185)
Imam Ibnu Katsir, salah seorang pakar tafsir terkemuka, dalam karyanya, Tafsir AlQur'an AI-'Azhim, ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan, "Allah memuji dan memilih
bulan ini di antara sekian banyak bulan yang lain, karena pada bulan ini, Al-Qur'an untuk
pertama kalinya diturunkan Allah kepada RasulNya, Muhammad."
Bahkan, kitab-kitab Allah yang lainnya pun diturunkan pada awal-awal dan pertengahan
bulan Ramadan. Dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, Rasulullah bersabda,
"Sukhuf Nabi Ibrahim diturunkan oleh Allah pada permulaan bulan Ramadan.
Kitab Taurat diturunkan Allah kepada Nabi Musa pada hari keenam di bulan Ramadan.
Kitab Injil diturunkan Allah kepada Nabi Isa pada hari ketiga belas bulan Ramadan. Dan, AlQur'an diturunkan Allah pada hari kedua puluh empat dari bulan Ramadan." (HR. Ahmad bin
Hanbal)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah juga mengatakan, "Kitab Zabur diturunkan Allah
kepada Nabi Dawud pada hari ke dua belas di bulan Ramadan." (HR. Ahmad bin Hanbal)
Al-Qur'an sebagai Kitab Suci Alia h yang terakhir, diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw., secara keseluruhan di bulan Ramadan, te-patnya pada malam Lailatul Qadar. Sejatinya,
tidak ada keterangan yang pasti kapan Lailatul Qadar itu terjadi. Namun yang jelas, Al-Qur'an
dan Lailatul Qadar memili ki keterkaitan yang erat.
Dalam keterangan lain, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau menegaskan, "AlQur'an itu diturunkan pada malam Lailatul Qadar secara keseluruhan (total) ke langit dunia di
bulan Ramadan. Se-telah itu, Nabi Muhammad menyampaikan Al-Qur'an kepada umat manusia
sesuai dengan persoalan yang dihadapi Nabi."

Turunnya Al-Qur'an secara bertahap ini memiliki maksuddantujuan iindiri, di antaranya


agar ayat-ayat itu benar-benar meresap di hati Rasulullah dan disampaikan kepada umat manusia
dengan i' I.is. Allah menggambarkan hal ini, ketika orang-orang kafir Quraisy MHiicibir AlQur'an yang diturunkan secara bertahap, "Orang-orang kafir bertanya tentang Al-Qur'an yang
tidak disampaikan secara luruhan. Kami menjawab, bahwa demikianlah sengaja kami htkukan
agarhatimu (Muhammad) kokoh, dan kau membacakannya dengan tertib. Sehingga mereka
(kaum kafir) ketika berupaya mcndatangkan yang seperti Al-Qur'an, Kami datangkan yang lebih
benar dan bagus penjelasannya." (QS. Al-Furqan [25]: 32-33)

Bulan Ramadan dengan demikian juga identik dengan bulan Al-Qur'an. Maka tidak
heran, pada setiap bulan Ramadan ini, Rasulullah selalu berpesan kepada segenap kaum mukmin
yang sedang berpuasa untuk selalu memperbanyak membaca Al-Qur'an. Karena, dengan
memperbanyak membacanya, pengetahuan kita akan nilai-nilai "lain" yang terkandung di
dalamnya semakin bertambah. Sehingga, pada akhirnya, kita akan mampu merasakan nikmatnya
Ramadan secara hakiki.
Al-Qur'an adalah sumber tertinggi petunjuk Allah. Al-Qur'an me-nunjukkan jalan yang
lurus dari jalan-jalan yang lain. Selain itu juga, ia menjadi sumber utama yang membedakan
mana yang benar (hak) dan yang salah (batil). Orang yang mengetahui istimewanya Ramadan,
tidak akan melewatkan bulan itu, tanpa membaca Al-Qur'an.
Selain itu, banyak sekali keutamaan membaca Al-Qur'an seperti dikatakan Nabi, di
antaranya:
Pertama, Al-Qur'an akan menjadi pemberi syafaat atau pertolongan kelak di akhirat bagi
pembacanya. Abu Umamah Al-Bahili pernah mendengar Rasulullah bersabda, "Bacalah oleh
kalian akan Al-Qur'an itu, sebab Al-Qur'an itu akan datang pada hari kiamat se-bagai sesuatu
yang dapat memberikan syafaat (pertolongan) ke-pada orang-orang yang membacanya." (HR.
Muslim)
Kedua, Al-Qur'an akan didatangkan pada hari kiamat kepada pembacanya, untuk
membantu menyelamatkannya dari siksa akhirat dengan argumen-argumen atau hujah yang
disampaikan. An-Naw-was bin Sam'an pernah mendengar Rasulullah bersabda, "Al-Qur'an itu
akan didatangkan pada hari kiamat nanti, demikian pula ahli-ahli Al-Qur'an, yaitu orang-orang
yang mengamalkan Al-Qur'an itu di dunia. Didahului oleh surah Al-Baqarah dan surah AH
'Imran. Kedua surah ini menjadi hujah untuk keselamatan orang yang membacanya." (HR.
Muslim)
Ketika orang yang membaca, mempelajari dan mengajarkan Al-Quran disebut sebagai
orang yang paling baik. Utsman bin Affan berkata Rasulullah bersabda, "Sebaik-baik kalian
ialah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya pula kepada orang lain. (HR. AlBukhari)
Keempat, orang yang mahir membaca Al-Qur'an akan bersama dengan para malaikat.
Adapun orang yang terbata-bata dan tidak lancar membacanya mendapatkan pahala. Aisyah
berkata, Rasulullah bersabda, "Orang yang membaca Al-Qur'an dan ia mahir dengan
membacannya itu, maka ia beserta para malaikat utusan Allah yang mulia lagi sangat berbakti.
Sedangkan orang yang membaca Al-Qurr'an dan ia berbolak-balik dalam bacaannya (tidak
lancar, terba-bata juga merasa kesukaran di waktu membacanya itu, maka ia dapat memperoleh
dua pahala." (Muttafaq 'alaih).

Kelima, orang mukmin yang membaca Al-Qur'an diumpamakan dengan buah jeruk yang
wangi baunya dan manis rasanya. Abu Musa Al-Asy'ari berkata, Rasulullah bersabda,
"Perumpamaan orang mukmin yang suka membaca Al-Qur'an ialah seperti buah eruk utrujah;
baunya enak dan rasanya pun enak. Adapun perumpamaan orang mukmin yang tidak suka
membaca Al-Qur'an ialah seperti buah kurma; tidak ada baunya, tetapi rasanya manis.
Sedangkan perumpamaan orang munafik yang suka membaca Al-Qur'an ialah seperti
minyak harum; baunya enak tetapi rasanya pa-hit. Sementara perumpamaan orang munafik yang
tidak suka membaca Al-Qur'an ialah seperti rumput hanzalah; tidak ada baunya dan rasanya pun
pahit." (Muttafaq 'alaih).
Keenam, melalui Al-Qur'an, Allah mengangkat derajat kaum beriman dan merendahkan
kaum yang tidak beriman. Umar bin Al-Khathab berkata bahwasanya Nabi bersabda,
"Sesungguhnya Allah mengangkat derajat beberapa kaum dengan adanya kitab Al-Qur'an ini
(orang-orang yang beriman) dan menurunkan derajat kaum yang lainnya dengan sebab Al-Qur'an
itu pula (orang-orang yang menghalang-halangi pesatnya Islam dan tersebarnya ajaran-ajaran AlQur'an itu)." (HR. Muslim).
Ketujuh, kita dilarang untuk iri hati terhadap seseorang. Tetapi, dalam hal Al-Qur'an, kita
boleh iri hati. Kita boleh iri hati kepada orang yang membaca Al-Qur'an, bukan karena orangnya,
tetapi karena dia gemar dan rajin membaca Al-Qur'an, sehingga dengan iri hati ini kita
termotivasi untuk juga membaca Al-Qur'an dan mengamalkannya. Ibnu Umar berkata, Nabi
bersabda, "Tidak diha-lalkanlah iri hati itu, melainkan terhadap dua macam orang, yaitu: orang
yang diberi kepandaian oleh Allah dalam hal Al-Qur'an, lalu ia membaca sambil memikirkan dan
juga mengamalkannya di wak-lu malam dan slang; juga seorang yang dikaruniai oleh Allah akan
hmta lalu ia menafkahkannya di waktu malam dan siang (untuk ke-imikan)." (Muttafaq 'alaih)
knlelapan, setiap huruf Al-Qur'an memiliki nilai satu kebaikan yang mana satu kebaikan
itu dibalas dengan sepuluh kali lipat pahala yang Wtara. Ibnu Mas'ud berkata, Rasulullah
bersabda, "Barangsiapa yang membaca sebuah huruf dari Kitabullah (Al-Qur'an), maka ia
memperoleh satu kebaikan, sedang satu kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang
seperti itu. Saya tidak mengatakan hohwa aliflam mim itu satu huruf, tetapi alifadalah satu huruf,
lam satu huruf dan mim juga satu huruf." (HR. At-Tirmidzi).
Kesembilan, orang yang dalam dirinya tidak punya satu pun ha-falan ayat Al-Qur'an
diumpamakan dengan rumah yang sunyi tak berpenghuni atau tak ada isinya. Ibnu Abbas
berkata, Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya orang yang dalam hatinya tidak ada sesuatu pun
dari Al-Qur'an (tak ada sedikit pun dari ayat-ayat Al-Qur'an yang dihafalnya), maka ia seperti
rumah yang musnah (sunyi dari perkakas)." (HR. At-Tirmidzi).
Kesepuluh, orang yang membaca Al-Qur'an kelak di surga derajatnya dinaikkan, dan
kedudukan akhirnya adalah sesuai dengan akhii dia membaca Al-Qur'an di dunia. Abdullah bin
Amr bin Al-Ash ber kata, Nabi bersabda, "Ketika akan masuksurga, kepada orang yanq gemar
membaca Al-Qur'an dikatakan, Bacalah dan naikilah derajatmu (dalam surga) serta tartilkanlah
(membaca perlahan-lahan) sebagaimana engkau menartilkannya dulu ketika di dunia. Sebab
sesungguhnya tempat kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.'" (HR. Abu
Dawud dan At-Tirmidzi).

Kese belas, Al-Qur'an merupakan kitab petunjuk bagi manusia agar tidak tersesat jalan,
dan oleh karena itu mutlak harus dibaca dan dipahami lalu diamalkan dalam kehidupan seharihari. Nabi bersabda, "Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama
berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al-Qur'an) dansunah Rasulullah." (HR. Muslim).
Kedua belas, Al-Qur'an merupakan medium seorang beriman ber-dialog dengan Allah,
karena ia adalah kalam-Nya. Nabi bersabda, "Apabila seseorang ingin berdialog dengan
Tuhannya, maka hendak-lah dia membaca Al-Qur'an." (HR. Ad-Dailami dan Al-Baihaqi).
Keutamaan Beberapa Surah dan Ayat Al-Qur'an
Pertama, surah Al-Fatihah. Abu Sa'id, yaitu Rafi' bin Al-Mu'alla, ita bahwa Rasulullah
bersabda kepadanya, "Tidakkah engkau suka jikalau saya mengajarkan padamu surah dalam AlQur'an yang paling agung, sebelum engkau keluar dari masjid?" Kemudian, beliau mengambil
tangannya. Setelah mereka hendak keluar, Abu Sa'id pun berkata, "Rasulullah, sesungguhnya
Anda tadi akan mengajarkan kepadaku surah dalam Al-Qur'an yang paling agung." Beliau lalu
bersabda, "Surah yang paling agung ialah Alhamdulillahi rabbil 'alamin (dan seterusnya sampai
akhir). Itulah yang disebut As-Sab'ul Matsani (tujuh ayat banyaknya dan diulang-ulangi dua kali,
atau surah Al-Fatihah). Itulah juga yang disebut Al-Qur'an Al-'Azhim, yang diberikan padaku."
(HR. Al-Bukhari).
Dalam hadis lain disebutkan, Ibnu Abbas berkata, tatkala Jibril duduk di sisi Nabi, maka
ia mendengarkan suara seperti suara pin-tu saat terbuka dari atasnya. Maka Jibril mengangkat
kepalanya seraya berkata, "Ini adalah pintu di langit yang baru dibuka pada hari ini; belum
pernah terbuka sama sekali, kecuali pada hari ini." Lalu turunlah dari pintu itu satu malaikat.
Jibril berkata, "Ini adalah malaikat yang turun ke bumi; ia sama sekali belum pernah turun,
kecuali pada hari ini." Malaikat itu pun memberi salam seraya berkata, "Bergembiralah dengan
dua cahaya yang diberikan kepada-mu; yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi
sebelum-mu, yaitu Fatihatul Kitab (surah Al-Fatihah), dan ayat-ayat penutup surah Al-Baqarah.
Tidaklah engkau membaca sebuah huruf dari keduanya, kecuali engkau akan diberi." (HR.
Muslim dan An-Nasa'i).
Kedua, surah Al-Baqarah. Abu Mas'ud Al-Badri berkata, Rasulullah bersabda,
"Barangsiapa membaca dua ayat terakhir surah Al-Baqarah di waktu malam, maka kedua ayat itu
sudah mencukupinya." (Muttafaq 'alaih).
Dalam hadis lain, Abu Hurairah berkata bahwasanya Rasulullah bersabda, "Janganlah
kalian menjadikan rumah-rumah kalian itu se-bagai kuburan (tidak pernah shalatsunah atau
membaca Al-Qur'an di dalamnya), sehingga sepi dari ibadah. Sesungguhnya setan itu lari dari
rumah yang di dalamnya dibacakan surah Al-Baqarah." (HR. Muslim).
Disebutkan pula, Usaid bin Hudhair pernah membaca surah Al-Baqarah di waktu malam,
sementara kudanya ditambat di sam-pingnya. Tiba-tiba kudanya melompat-lompat. Maka Usaid

pun ber-henti membaca, dan kudanya pun diam. Lalu, ia membaca kembali maka kudanya
melompat-lompat kembali. Lalu, berhenti lagi dan kudanya pun diam kembali. Lalu ia membaca
kembali, maka kudanya melompat-lompat kembali. Akhirnya, ia pun menghentikan bacaannya
karena anaknya, Yahya, berada di sisinya dan ia takut anaknya cedera terdepak kuda tersebut.
Saat kudanya telah tenang, ia mendongak ke langit dan ia melihat seperti naungan dengan pelita-pelita kecil yang makin jauh sampai tak tampak lagi. Lalu, saat Subuh, ia menceritakan hal
tersebut kepada Nabi, maka beliau berkata, "Bacalah terus, Ibnu Hudhair! Bacalah terus, Ibnu
Hudhair!" Maka ia pun menjelaskan bahwa ia takut kudanya menendang anaknya yang ada di
dekat situ, sehingga ia tidak meneruskan bacaannya. Lalu beliau bertanya, "Apakah kamu tahu
apa yang kamu lihat di langit itu?" la menjawab, "Tidak." Nabi bersabda, "Ituadalah ma-laikat
yang mendekat karena indahnya suaramu. Seandainya kamu terus membaca, maka saat Subuh
orang-orang akan bisa melihatnya juga." (HR. Al-Bukhari).
Di dalam surah Al-Baqarah terdapat satu ayat yang disebut dengan ayat Kursi yang punya
keistimewaan khusus. Ubay bin Ka'ab berkata, Rasulullah bersabda, "Hai Abul Mundzir (Ubay),
adakah engkau inengetahui ayat manakah dari Kitabullah (Al-Qur'an ) yang kamu hafal, dan itu
yang teragung?" Ubay menjawab, "Ayat Kursi." Beliau lalu menepuk-nepuk dada Ubay, dan
bersabda, "Semoga engkau mudah memperoleh ilmu, Abul Mundzir." (HR. Muslim).

Anda mungkin juga menyukai