Anda di halaman 1dari 53

BAB I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan
perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda.
Sorotan perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang
berbeda dan untuk menganalisis ruang yang sama. Jakarta sebagai daerah perkotaan
dengan status Ibukota Negara (Undang-undang No. 10 tahun 1964), mempunyai fungsi
yang bersifat lokal, Regional, Nasional dan Internasional, dengan masyarakatnya yang
terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang bermacam-macam dengan jenis kehidupan
yang berbeda-beda. Demikian pula kualitas hidup manusia sebagian besar ditentukan oleh
tingkat pendapatannya dan kondisi pemukimannya, termasuk lingkungan hidupnya.
Jakarta yang dewasa ini mengalami degradasi dalam hal kenyamanan dan
ketertiban, seperti banjir, kemacetan, kepadatan penduduk. Hal ini ditunjang dengan data
ada penambahan lahan terbangun seluas 5.486,79 Ha atau 50% lebih luas dari
periode pertama, dan lahan permukiman 1.632 Ha. Ada penurunan luasan
penggunaan lahan pertanian 600,82 Ha dan lahan basah 4.885,96 Ha menjadi
lahan terbangun penyebab banjir. Provinsi DKI Jakarta proporsi penggunaan lahan

basah kurang dari 10 % dari seluruh luasan provinsinya pada periode banjir yang
tersebar di 261 kelurahan. Penurunan luasan penggunaan lahan basah karena
pembangunan dalam 10 tahun terakhir, yaitu 893,84 Ha (1996-2002), 2755,7 Ha
(2002-2007), dan 3649,54 Ha (1996-2007). Hal ini jika dibiarkan terus menerus,
bisa membuat jakarta menjadi stuck dan tidak dapat berfungsi sebagai kota
megapolitan, karena mengesampingkan aspek kenyamanan dan bisa menggangu
perekonomian secara makro.
Di samping itu, dalam menjalani kehidupannya, manusia juga tidak pernah
lepas dari hal-hal yang berhubungan dengan tempat di mana ia tinggal dalam
kehidupan sehari-hari.Perlu adanya perbaikan tata ruang yang dapat menunjang,
seperti

Kus Hadinoto (1970-an) mengadaptasinya menjadi 5 unsur pokok,

yaitu :wisma (perumahan), Karya (tempat bekerja), Marga (jaringan pergerakan),


Suka (tempat rekreasi, Penyempurna (sarana-prasarana). Yang terintegrasi dengan
baik.
Namun, dalam prosesnya, pengembangan tata ruang Jakarta tentu dapat
membuat kehidupan lingkungan menjadi terganggu. Oleh karena itu, makalah ini
akan membahas bagaimana perbandingan tata ruang Jakarta dari masa ke masa
sehingga di dapat tata ruang Jakarta yang dinamis dan fleksibel.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
perumusan masalah pada pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Apakah perkembangan DKI Jakarta berpengaruh terhadap lingkungan?
2. Apakah perkembangan DKI Jakarta berpengaruh terhadap lingkungan
sosial

3. Bagaimana hubungan perkembangan tata ruang kota Jakarta dengan


daerah penunjang di sekitar ?
4. Bagaimana penerapan tata ruang Jakarta di masa depan?
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui apakah pengertian tata ruang kota
2. Mengetahui bagaimana hubungan antara tata ruang kota dengan terjadinya
perubahan sosial.
3. Mengetahui tata ruang jaman dahulu
4. Mengetahui bagaimana tata ruang Jakarta di masa depan.

BAB II.
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN STRUKTUR RUANG


Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat

manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan serta meliharan


kelangsungan hidupnya. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman,
sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana. Semua hal itu berfungsi
sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan
fungsional. Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang
baik yang direncanakan ataupun tidak. Wujud struktural pemanfaatan ruang
adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial,
dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural berhubungan satu
dengan yang lainnya membentuk tata ruang.
Struktur ruang wilayah kota merupakan gambaran sistem pusat pelayanan
kegiatan internal kota dan jaringan infrastruktur kota sampai akhir masa
perencanaan, yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kota dan
melayani fungsi kegiatan yang ada/direncanakan dalam wilayah kota pada skala
kota, yang merupakan satu kesatuan dari sistem regional, provinsi, nasional
bahkan internasional. Rencana sturktur ruang kota mencakup: rencana
pengembangan pusat pelayanan kegiatan kota, dan rencana sistem prasarana kota.
Rencana pengembangan pusat pelayanan kegiatan kegiatan kota menggambarkan
lokasi pusat-pusat pelayanan kegiatan kota, hirarkinya, cakupan/skala layanannya,
serta dominasi fungsi kegiatan yang diarahkan pada pusat pelayanan kegiatan
tersebut. Sedangkan rencana sistem prasarana kota mencakup sistem prasarana
yang

mengintegrasikan

kota dalam lingkup

yang lebih luas

maupun

mengitegrasikan bagian wilayah kota serta memberikan layanan bagi fungsi


kegiatan yang ada/direncakan dalam wilayah kota, sehingga kota dapat

menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan tujuan penataan ruang kota yang
ditetapkan.
Menurut Nia K. Pontoh & Iwan Setiawan (2008), unsur pembentuk
struktur tata ruang kota terdiri dari pusat kegiatan, kawasan fungsional, dan
jaringan jalan. Kota atau kawasan perkotaan pada dasarnya dapat dipandang
sebagai suatu sistem spasial, yang secara internal mempunyai unsur-unsur yang
menjadi pembentuknya serta keterkaitannya satu sama lain. Kota sebagai suatu
sistem/tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak, yang mencirikan kawasan dengan kegiatan utama
bukan pertanian. Wujud struktural pemanfaatan ruang kota adalah unsur-unsur
pembentuk kawasan perkotaan secara hierarkis dan struktural berhubungan satu
dengan yang lainnya membentuk tata ruang kota. Wujud struktural pemanfaatan
ruang kota di antaranya meliputi hierarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan,
seperti pusat kota, pusat bagian wilayah kota, dan pusat lingkungan; yang
ditunjang dengan sistem prasarana jalan seperti jalan arteri, kolektor, dan lokal.
Selain pusat-pusat pelayanan kegiatan perkotaan dan kawasan fungsional
perkotaan, unsur pembentuk struktur tata ruang kota adalah sistem prasarana dan
sarana. Prasarana perkotaan adalah kelengkapan dasar fisik yang memungkinkan
kawasan permukiman perkotaan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Jenis
prasarana : Transportasi, Air bersih, Air limbah, Drainase, Persampahan, Listrik,
dan Telekomunikasi. Sarana perkotaan adalah kelengkapan kawasan permukiman
perkotaan, yaitu : Pendidikan, Kesehatan, Peribadatan, Pemerintahan dan

Pelayanan umum, Perdagangan dan Industri, dan sarana olahraga serta ruang
terbuka hijau.
Menurut Doxiadis (1968), permukiman atau perkotaan merupakan totalitas
lingkungan yang terbentuk oleh 5 unsur :
a. Alam (nature)
Keadaan permukiman perkotaan berbeda dengan permukiman perdesaan.
Lansekap yang ada biasanya lebih luas, dan biasanya berlokasi di dataran, dekat
dengan danau, sungai atau laut, dan dekat dengan rute transportasi. Hal ini cukup
penting untuk perumahan lebih dari 20.000 penduduk, dan menjadi prasyarat
utama untuk perumahan 100.000 penduduk atau lebih. Rumah-rumah kecil
perkotaan, seperti yang dibuat di masa lalu dengan alasan keamanan, mungkin
terdapat di lembah, puncak bukit atau gunung. Akan tetapi, perumahan yang
dibangun sekarang, atau perumahan-perumahan besar di masa lalu, membutuhkan
dataran yang luas dan kedekatan dengan jalur utama komunikasi untuk tetap
bertahan.
b. Individu manusia (Antropos) dan Masyarakat (Society)
Perumahan perkotaan berbeda dengan perumahan perdesaan, dan sebagian
besar dikarenakan perbedaan karakteristik dan perilaku. Semakin besar perubahan
perumahan dari desa ke kota, dan semakin besar kepadatan dan ukuran dari
perumahan perkotaan, semakin besar perbedaan di antara orang-orang. Dimensi
dan karakteristik baru dalam pola hidup perkotaan membutuhkan suatu
mekanisme adaptasi dalam usaha untuk mencapai atau melakukan penyesuaian
terhadap sumberdaya baru dan kondisi tempat tinggal. Di kota besar dengan

kepadatan tinggi, terdapat perbedaan komposisi umur dan jenis kelamin, dala
struktur pekerjaan, dalam pembagian tenaga buruh dan struktur sosial. Hal ini
memaksa manusia untuk mengembangkan karakteristik yang berbeda sebagai
individual, kelompok, unt, dan komunitas. Manusia di perumahan perkotaan
adalah anggota dari komunitas yang lebih besar, masyarakat luas, dan jangkauan
interaksi sosialnya meningkat. Anggota keluarganya mendapat dampak dari
institusi sosial yang berbeda pada akhirnya mengambil alih fungsi tertentu dari
keluarga.
c. Ruang Kehidupan (Shells)
Ruang kehidupan dari perumahan perkotaan memiliki banyak karakteristik
meskipun ukurannya bervariasi. Semakin besar ukuran perumahan, semakin
internasional karakteristiknya; sementara semakin kecil ukurannya, semakin
dipengaruhi oleh faktor lokal. Hal ini terjadi karena sebagian besar perumahan
kecil masih dipengaruhi oleh budaya lokal di masa lalu, dan sebagian lagi karena
intervensi ekonomi yang ada lebih kecil bila dibandingkan dengan perumahan
skala besar dan hal ini memperkuat kekuatan lokal.
d. Jaringan (Network)
Salah satu cara paling mendasar untuk menggambarkan struktur permukiman
adalah berhubungan dengan jaringan dan terutama sistem sirkulasi jalur
transportasi dan titik-titik pertemuan (nodal point). Tempat ini biasanya adalah
suatu pusat dengan ruang terbuka yang bisa mempunyai beragam bentuk mulai
dari yang alami hingga geometrik. Jika populasi telah tumbuh lebih dar beberapa
ribu jiwa, sebuah titik pertemuan bisa tumbuh mengikuti sepanjang jalan utama

atau terpecah menjadi dua atau lebih titik pertemuan lainnya. Pecahan titk
pertemuan ini lebih kecil bila dibandingkan titik pertemuan utama. Bila titik
pertemuan semacam ini terbentuk, hal ini agak mengurangi kepentingan nodal
utama.
Dalam perspektif yang berbeda, menurut Patrick Geddes, karakteristik
permukiman sebagai suatu kawasan memiliki unsur: Place (tempat tinggal); Work
(tempat kerja); Folk (tempat bermasyarakat). Di Indonesia, Kus Hadinoto (1970an) mengadaptasinya menjadi 5 unsur pokok, yaitu :
Wisma : tempat tinggal (perumahan)
Karya : Tempat bekerja (kegiatan usaha)
Marga : Jaringan pergerakan, jalan
Suka : Tempat rekreasi/hiburan
Penyempurna : Prasarana sarana
Menurut Kevin Lynch dalam The image of the city (1960) ada lima unsur dalam
gambaran mengenai kota yaitu :
1. Path, Jalur yang biasa, sering atau potensial dilalui oleh pengamat, misalnya:
jalan, lintasan angkutan umum, kanal, rel kereta api. Manusia mengamati kota
ketika bergerak dalam path.
2. Edge, Batas antara dua kawasan yang memisahkan kesinambungan, elemen
linier yang tidak dianggap/digunakan sebagai path oleh pengamat. Misalnya :
pantai, lintasan rel kereta api, dinding, sungai.

3. District, Bagian kota berukuran sedang sampai besar, tersusun sampai dua
dimensi yang dapat dimasuki pengamat (secara mental), dan dapat diknali dari
karakter umumnya.
4. Node/core, Titik/lokasi strategis yang dapat dimasuki pengamat. Dapat berupa
konsentrasi pengguanaan/cirri fisik yang penting. Misalnya : persimpangan,
tempat perhentian, ruang terbuka, penggantian moda angkutan, dan lain-lain.
5. Landmark, Titik acuan bersifat eksternal yang tidak dapat dimasuki pengamat,
biasanya berupa struktur fisik yang menonjol. Apabila dilihat dari jauh, dari
berbagai sudut pandang dan jarak, di atas elemen lainnya, dijadikan acuan.
Menurut Eko Budiharjo, Kota merupakan hasil cipta, rasa, karsa dan karya
manusia yang paling rumit dan muskil sepanjang peradaban. Struktur merupakan
bentuk dan wajah serta penampilan kota, merupakan hasil dari penyelesaian
konflik perkotaan yang selalu terjadi, dan mencerminkan perkembangan
peradaban warga kota maupun pengelolanya.
Adapun elemen-elemen yang membentuk struktur ruang kota (Sinulingga, 2005:
97, yaitu:
Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan,
pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok dalam
pusat pelayanan.
Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur) pergudangan dan perdagangan
grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat. Lingkungan
permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.
Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.

Struktur ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran sistem perkotaan


wilayah kabupaten dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan
untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala
kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan
kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air,
termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai.
(UU Penataan Ruang, 2007)
Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan disebutkan
bahwa Struktur dan pola pemanfaatan ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan
berisi :
a. Arahan pengembangan dan distribusi penduduk;
b. Arahan pengembangan sistem pusat-pusat permukiman, termasuk sistem pusat
jasa koleksi dan distribusi;
c. Arahan pengembangan kawasan permukiman, perindustrian, pariwisata, jasa
perniagaan, dan kawasan lainnya;
d. Arahan pengembangan sistem prasarana dan sarana primer yang meliputi
prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana
pengelolaan lingkungan.
B. PERKEMBANGAN KOTA DAN STRUKTUR RUANG
Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan
perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda.
Sorotan perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang
berbeda dan untuk menganalisis ruang yang sama. Menurut J.H.Goode dalam

10

Daldjoeni (1996: 87), perkembangan kota dipandang sebagai fungsi dari pada
faktor-faktor jumlah penduduk, penguasaan alat atau lingkungan, kemajuan
teknologi dan kemajuan dalam organisasi sosial.
Sedangkan menurut Bintarto (1989), perkembangan kota dapat dilihat dari
aspek zone-zone yang berada di dalam wilayah perkotaan. Dalam konsep ini
Bintarto menjelaskan perkembangan kota tersebut terlihat dari penggunaan lahan
yang membentuk zone-zone tertentu di dalam ruang perkotaaan sedangkan
menurut Branch (1995), bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya
secara geografis dan karakteristik tempatnya. Branch juga mengemukakan contoh
pola-pola perkembangan kota pada medan datar dalam bentuk ilustrasi seperti :
a) topografi,
b) bangunan,
c) jalur transportasi,
d) ruang terbuka,
e) kepadatan bangunan,
f) iklim lokal,
g) vegetasi tutupan dan
h) kualitas estetika.
Secara skematik Branch,menggambarkan 6 pola perkembangan kota, sebagai
berikut:

11

Berdasarkan pada penampakan morfologi kota serta jenis penyebaran areal


perkotaan yang ada, Hudson dalam Yunus (1999), mengemukakan beberapa
alternatif model bentuk kota. Secara garis besar ada 7 (tujuh) buah model bentuk
kota yang disarankan, yaitu;
(a) bentuk satelit dan pusat-pusat baru (satelite and neighbourhood plans), kota
utama dengan kota-kota kecil akan dijalin hubungan pertalian fungsional yang
efektif dan efisien;
(b) bentuk stellar atau radial (stellar or radial plans), tiap lidah dibentuk pusat
kegiatan kedua yang berfungsi memberi pelayanan pada areal perkotaan dan yang

12

menjorok ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau dan berfungsi sebagai paruparu kota, tempat rekreasi dan tempat olah raga bagi penduduk kota;
(c) bentuk cincin (circuit linier or ring plans), kota berkembang di sepanjang jalan
utama yang melingkar, di bagian tengah wilayah dipertahankan sebagai daerah
hijau terbuka;
(d) bentuk linier bermanik (bealded linier plans), pusat perkotaan yang lebih kecil
tumbuh di kanan-kiri pusat perkotaan utamanya, pertumbuhan perkotaan hanya
terbatas di sepanjang jalan utama maka pola umumnya linier, dipinggir jalan
biasanya ditempati bangunan komersial dan dibelakangnya ditempati permukiman
penduduk
(e) bentuk inti/kompak (the core or compact plans), perkembangan kota biasanya
lebih

didominasi

oleh

perkembangan

vertikal

sehingga

memungkinkan

terciptanya konsentrasi banyak bangunan pada areal kecil;


(f) bentuk memencar (dispersed city plans), dalam kesatuan morfologi yang besar
dan kompak terdapat beberapa urban center , dimana masing-masing pusat
mempunyai grup fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain; dan
(g) bentuk kota bawah tanah (under ground city plans), struktur perkotaannya
dibangun di bawah permukaan bumi sehingga kenampakan morfologinya tidak
dapat diamati pada permukaan bumi, di daerah atasnya berfungsi sebagai jalur
hijau atau daerah pertanian yang tetap hijau. bentuk kota: satelit, kota bintang,
cincin, linear, memancar, kompak dan bawah tanah

13

Dalam perencanaan fungsional yang dikemukakan Anthony J. Catanese


bahwa bentuk kota terbentuk dari (1) tata guna lahan, (2) pembangunan
perumahan (real estate), (3) infrastruktur, (4) lingkungan, (5) transportasi, (6)
perumahan, (7) pelestarian benda-benda bersejarah, (8) teknologi.
Melville mengemukakan bahwa secara fisik unsur-unsur perkotaan
terbentuk dari bangunan-bangunan, bangunan yang lain yang bukan berupa
bangunan gedung, jalur-jalur tranportasi dan utilitas kota, ruang terbuka,
kepadatan perkotaan, pengaruh iklim, vegetasi, kulaitas estetika, dan perancangan
perkotaan. Sedangkan secara sosial unsur perkotaan dipengaruhi oleh besaran
jumlah penduduk, komposisi penduduk, dan penduduk lanjut usia.

14

C. WILAYAH DKI JAKARTA


1. Gambaran Umum
Jakarta sebagai daerah perkotaan dengan status Ibukota Negara (Undang-undang No.
10 tahun 1964), mempunyai fungsi yang bersifat lokal, Regional, Nasional dan
Internasional, dengan masyarakatnya yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang
bermacam-macam dengan jenis kehidupan yang berbeda-beda. Demikian pula kualitas
hidup manusia sebagian besar ditentukan oleh tingkat pendapatannya dan kondisi
pemukimannya, termasuk lingkungan hidupnya.
Wilayah Jakarta adalah seluas + 656,34 km2, termasuk Kepulauan Seribu,
mempunyai iklim tropis dengan suhu rata-rata sepanjang tahun 27 C dan kelembaban
80% sampai dengan 90%.Arah angin di kota ini dipengaruhi oleh angin muson. Dari bulan
Nopember sampai dengan bulan April bertiup angin Muson Barat, dan dari bulan Mei
sampai dengan bulan Oktober bertiup angin Muson Timur. Keadaan sehari-hari
dipengaruhi oleh angin laut. Curah hujan sepanjang tahun adalah rata-rata 2.000 mm.
Curah hujan tertinggi terjadi di sekitar bulan Januari dan yang terendah sekitar bulan
September.
Wilayah DKI Jakarta letaknya landai dengan ketinggian kurang dari 7 meter dari
permukaan laut, bahkan di daerah bagi-an pantai rata-rata merupakan daerah rawa-rawa
atau daerah yang selalu tergenang air pada musim hujan. Di tengah kota mengalir sungai
Ciliwung yang membagi wilayah DKI Jakartamenjadi bagian Timur dan Barat.
Letak yang landai ini kurang menguntungkan terhadap pembangunan drainase dan
saluran air buangan sehingga sering terjadi banjir di musim hujan.

15

Daerah khusus Ibukota Jakarta secara administratif adalah setingkat dengan


Propinsi/Daerah Tingkat I. Berbeda dengan Propinsi/Daerah Tingkat I yang lain, DKI
Jakarta tidak terbagi atas daerah Otonom Tk. II, melainkan hanya terbagi atas 5 Wilayah
Kota yang masing-masing dipimpin oleh seorang Walikota yang bertanggung jawab
kepada Gubernur dan terdiri dari 30 kecamatan dan 236 kelurahan.
Pada tahun 1980 jumlah penduduk DKI Jakarta adalah seki-tar 6.503.449 jiwa,
dengan pertambahan penduduknya selama periode 9 tahun terakhir sebesar 4% per tahun
(2,3% kenaikan alami dan 1,7% kenaikan migrasi). Kepadatan penduduk rata-ra-ta
adalah 9.909 jiwa per km2; kepadatan yang tertinggi adalah di wilayah Jakarta Pusat,
yaitu sebesar 22.682 jiwa per km2, sedang kepadatan yang paling rendah terdapat di
wilayah Ja-karta Utara, yaitu sebesar 7.011 jiwa per km2.
Jumlah penduduk Kota Jakarta yang terus mengalami penambahan, yang
terlihat dari rata-rata pertumbuhan sebesar 1,11% dalam 4 tahun terakhir
menunjukkan bahwa Kota Jakarta juga menghadapi problem permukiman
penduduknya.

Pertumbuhan jumlah penduduk tersebut harus diikuti dengan

pembangunan permukiman. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah


berkurangnya area resapan air ataupun ruang terbuka hijau di wilayah DKI
Jakarta. Padahal di sisi lain, pemerintah DKI Jakarta juga telah mencanangkan
akan mengupayakan terbentuknya penambahan 50 ha Ruang Terbuka Hijau
(RTH), yang dilakukan dalam rangka untuk memenuhi target 30% RTH sesuai
dengan Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW).

16

Permasalahan ini dapat diatasi tentunya dengan memperbanyak

bangunan rumah susun yang mengoptimalkan bangunan yang ada untuk


menampung jumlah penduduk sebagai kawasan hunian.
Secara lebih jelas, jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Provinsi
DKI Jakarta, pertumbuhan penduduk, atau kepadatan penduduk untuk
menampilkan grafik dapat dilihat pada tabel berikut:

17

Berdasarkan sensus 1980 jumlah angkatan kerja di DKI Jakarta adalah sebesar
1.952.988 orang, yaitu sebanyak 1.781.160 orang bekerja dan 171.828 orang pencari
kerja, berarti tingkat pengangguran adalah 8,8%. Sedangkan di bandingkan dengan
jumlah pengangguran sekarang ini :

18

Pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan indikator Produk Domestik Regional


Bruto, selama 5 tahun terakhir (1975-1980) adalah menggembirakan, yaitu hampir 10%
rata-rata per tahun-nya. Tingkat pertumbuhan tersebut berada di atas rata-rata
pertumbuhan tingkat nasional. Disadari bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi, antara lain kebijaksanaan ekonomi dan moneter Pemerintah,
baik secara nasional maupun daerah, situasi ekonomi internasional dan sebagainya.
Berdasarkan prospek perekonomian nasional untuk waktu mendatang laju pertumbuhan
ekonomi DKI Jakarta dalam Repelita IV direncanakan sebesar 5,5% per tahun.
Terlepas dari tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, sektor
Perdagangan dan Jasa tetap paling besar sumbangannya kepada perekonomian kota ini.
Tingginya

tingkat pertumbuhan dan besarnya peranan sektor tersebut dalam tata

ekonomi kota, akan dipadukan dan dibarengi dengan peningkatan kemampuan


penyerapan tenaga kerja.

19

D. TATA RUANG JAKARTA TEMPO DULU


Dari seluruh pemimpin-pemimpin Indonesia sepanjang negeri ini berdiri.
Mungkin yang paling terobsesi dengan Jakarta adalah Sukarno, Dia-lah yang
mengubah wajah Jakarta yang tadinya hanya berpusat sebagai tempat kongkow
sosialita Hindia Belanda yang berpusar di Harmoni Societet, menjadi skup Jakarta
yang meluas, sebuah Jakarta yang tidak terbatas hanya Harmoni Societet, tetapi
Jakarta yang hidup di jantung degup rakyat banyak, sebuah etalase bagi panggung
kerakyatan. Bila di masa De Jonge, Batavia adalah role model keberhasilan
kolonial dalam pemerintahan tata kota dengan pembangunan perumahan elite bagi
juragan-juragan perkebunan, jenderal-jenderal Hindia Belanda dan pejabat tinggi
Gubernemen, maka bagi Sukarno : Jakarta bukan saja kemenangan rakyat untuk
berdaulat, tapi juga menceritakan pada dunia bagaimana rakyat hidup di tengah
kota, budaya urban rakyat kecil tidak digusur oleh pemodalSukarno, sendiri
secara terus terang berkata Aku menyukai orang-orang mencuci di sepanjang
kanal Gadjah Mada-Hayam Wuruk
Bagi Sukarno, Jakarta adalah sebuah penceritaan kemenangan, sebuah titik
nol kilometer nyawa yang dibangun untuk menghidupkan sebuah bangsa. Bila di
akhir masa kekuasaannya, ia diledek oleh para mahasiswa KAMI sebagai orang
tua pikun Patung dikira celana. Maka sesungguhnya, Bung Karno menangis
melihat tingkah anak muda Indonesia yang gagap memahami seni, gagal
mencintai kebudayaan.

20

Ada satu sisi yang menarik dalam konsep penceritaan tata ruang kota
Sukarno untuk Jakarta, terutama sekali soal monumen. -Sukarno memang pada
awalnya adalah seorang Arsitek, ketika menjadi mahasiswa ia memiliki nilai
sempurna untuk menggambar. Imajinasinya hidup, bila ia menggambar sesuatu ia
tidak sekedar menggambar objek tapi menggambar bagaimana objek itu bergerak
dan bekerja, penafsiran bukanlah sekedar suatu yang beku dan mati, ia
menafsirkan dengan amat lugas, ia paham ruang dialektik suatu karya.
Kekaguman Sukarno dengan monumen adalah ketika ia mengunjungi
Rusia pada medio tahun 1950-an, Ia melihat sendiri bagaimana patung-patung
dan monumen menjadi gambaran cita-cita sebuah bangsa. Tapi puncak
kekaguman Sukarno bukanlah di Moskow, namun ketika ia mengunjungi Amerika
Serikat pada tahun 1956 saat ia melihat Monumen Kemerdekaan Amerika Serikat,
sebuah patung obelisk dengan julangannya yang meninju langit, disitu Sukarno
terdiam bahkan hatinya bergetar, dia berpikir dari patung inilah Jefferson
memulai pemikirannya, seluruh bangsa bergerak menuju pembebasannya.
Sukarno juga mengunjungi Mesir, ia berdiri di depan Piramida, lalu ia
mengunjungi sungai Nil bersama Gamal Abdel Nasser, Sukarno paham bangsa
Mesir baru tak perlu bikin monumen karena sejarahnya sendiri adalah Monumen.
Di Jakarta Sukarno kemudian gandrung membangun jiwa dari sebuah
bangsa ini. Pertama kali yang ia bangun adalah Monumen Nasional. Konsep
Monumen Nasional (Monas) sebenarnya diinginkan Sukarno karena ia terobsesi
dengan Menara Eiffel, kepada beberapa orang Sukarno mengeluh karena Presiden

21

De Gaulle memusuhinya dan tak mengundangnya ke Paris, padahal ia amat ingin


ke Paris dan melihat Eiffel, Sukarno pernah membaca satu cerita yang ditulis pada
sebuah koran tentang bagaimana berkebudayaannya kota Paris, sehingga ketika
pasukan NAZI Jerman masuk, salah seorang komandan pasukannya menangis
karena harus mengebom sisi-sisi kota. -Bagaimana bisa saya menghancurkan
kebudayaan. Kata komandan Pasukan NAZI Jerman itu, seorang Kolonel
Angkatan Darat-. Sukarno menceritakannya ini pada satu pagi di tahun 1953,
dengan seorang arsitek ternama bernama Silaban. Tapi rencana ini ditunda karena
kisruh politik, soal Parlemen yang melebar ke pengusiran warga Belanda sampai
pada pemberontakan daerah.

22

Di akhir pemerintahannya ketika pasukan tak dikenal mengepung Istana


Negara, Gubernur DKI yang juga teman ngobrol Bung Karno, Henk Ngantung
ditangkap tentara Pro Suharto karena ia bagian dari Lekra, seluruh kawan-kawan
Bung Karno satu persatu diciduk. Bung Karno sendirian dalam ruang sunyi-nya.
Ia memilih Ali Sadikin sebagai ganti Sudiro, Sukarno tak begitu suka dengan
Sudiro yang terlalu birokratis, ia ingin Ali paham bagaimana cara pikir Sukarno.
Soeharto tahu bahwa pengangkatan Ali Sadikin adalah bargain diamdiam dengan Sukarno bahwa Angkatan Darat akan berhadapan head to head
dengan Angkatan Laut, apalagi di Surabaya Panglima KKo Hartono sudah siap
perang dengan Soeharto. Tinggal tunggu perintah Bung Karno. Tapi Soeharto
tak terpancing untuk mendongkel Ali, bahkan Ali didiamkan sampai tahun 1977.
Justru Jakarta di Jaman Ali Sadikin inilah, mengalami lompatan luar biasa.
Ali Sadikin dijadikan barometer untuk mengukur tingkat keberhasilan memimpin
Jakarta. Ali bukanlah pemimpin DKI yang sekedar nge boss, tapi ia benar-benar
membawa Jakarta melompati sejarah, dari sekedar The Big Village menjadi kota
modern yang berkebudayaan sesuai dengan apa yang diinginkan Sukarno.
Di tangan Ali, Jakarta dibawa sebagai kota dengan warganya bergerak. Ia
membangun gelanggang-gelanggang kesenian, ia membangun pasar-pasar rakyat,
ia membangun jalan-jalan. Di tengah masa kekuasaan Suharto yang tak begitu
menyukainya dan Ali disuruh nyari duit sendiri untuk pembangunan DKI padahal
Pemerintah Pusat baru saja dapat bantuan besar dari negara maju. Ali Jalan
terus,Ia pakai dana judi untuk bangun Jakarta dan ini ia bertarung dengan banyak

23

orang. Sikap keras Ali dikenang banyak orang sebagai tonggak nol kilometer
kepemimpinan DKI.

Tugu Tani, Landmark terbesar DKI setelah Monas Pernah terancam digusur
karena dangkalnya penafsiran sejarah atas tata ruang kota (Sumber Photo :
LIFE)

E. DAMPAK PEMBANGUNAN TATA RUANG JAKARTA


1.. Banjir di Jakarta dalam Perspektif Tata Ruang
Banjir dan permasalahannya sangat terkait erat dengan sumberdaya tanah
dimana tanah sebagai sumberdaya mempunyai makna satuan dan ukuran yang
nyata dan konkrit di dalam hal ini dapat berupa kesuburan, volume (ton), dan
luasan (hektar). Keberadaan luasan tanah sebagai sumberdaya di wilayah Jakarta
mempunyai nilai luasan yang tetap (fixed land area value) yakni 650 km2,
sedangkan jumlah penduduk yang mendiami dan menetap di wilayah ini setiap

24

tahunnya bertambah berdasarkan deret ukur, di mana pertambahan penduduk ratarata 2,85 % per tahunnya (BPS, 2010).
Perkembangan penggunaan lahan perkotaan di Provinsi DKI Jakarta yang
selalu diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk, aktifitas dan kebutuhan
lahan, baik untuk permukiman maupun kegiatan ekonomi. Karena keterbatasan
lahan di perkotaan, terjadi intervensi kegiatan perkotaan pada lahan yang
seharusnya berfungsi sebagai daerah konservasi dan ruang terbuka hijau.
Akibatnya, daerah resapan air semakin sempit sehingga terjadi peningkatan aliran
permukaan dan erosi. Hal ini berdampak pada pendangkalan (penyempitan)
sungai, sehingga air meluap dan memicu terjadinya bencana banjir, khususnya
pada daerah hilir
Dalam Keputusan Presiden (KepPres) No.114 tahun 1999 dijelaskan
bahwa

fungsi kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur) merupakan

kawasan konservasi air dan tanah, yang memberikan perlindungan bagi kawasan
dibawahnya untuk menjamin ketersediaan air tanah, air permukaan dan
penanggulangan banjir bagi kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya . Dimana
penggunaan lahan di kawasan Bopunjur yang secara geografis merupakan daerah
hulu, penyimpangan tersebut tercermin dari adanya pertambahan

daerah

terbangun secara signifikan.


Adapun penyimpangan pemanfaatan lahan untuk kawasan Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sebagai daerah hilir, antara lain
ditunjukan dengan perubahan pemanfaatan menjadi daerah terbangun pada lahan
yang

25

seharusnya

berfungsi

sebagai

ruang

terbuka

hijau

dan

tempat

resapan/penyimpanan/ penampungan air. Terjadinya penyimpangan pemanfaatan


lahan, baik pada daerah hulu maupun hilir Jabodetabek Punjur, tentunya tidak
terlepas dari adanya tuntutan kepentingan sektor ekonomi yang mengabaikan
faktor lingkungan. Selain itu, masalah permukiman liar di sepanjang sungai dan
budaya masyarakat yang memposisikan sungai sebagai tempat pembuangan
(limbah dan sampah) juga menyebabkan kondisi sungai tidak terpelihara. Hal ini
menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan banjir.
Pertumbuhan wilayah kota Jakarta sangat pesat yang kurang sesuai dengan
perencanaan semula dimana diarahkan perkembangan ke arah Timur-Barat,
perkembangan mengarah ke selatan. Perkembangan ke arah Selatan akan merubah
rasio antara daerah konservasi dan daerah perkotaan yang kedap air di hulu daerah
tangkapan air sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta. Perbangunan ini akan
secara langsung menciptakan aliran banjir lebih tinggi yang akan menimbulkan
permasalahan banjir pada kota Jakarta.
Akibat pertambahan luas dan persebaran penggunaan lahan terbangun
yang kedap air misal permukiman dan fasilitasnya, pada saat hujan intensitas
lebat, maka air hujan sebagai air limpasan permukaan tidak dapat masuk
(perkolasi) ke dalam tanah karena tanah telah diperkeras oleh semen dan aspal di
bentuklahan aluvial. Sehingga air sungai meluap melewati tanggulnya dan
mengalir ke bagian topografi rendah dan datar di dataran banjir, rawabelakang,
dan dataran aluvial sebagai bentuklahan banjir. Permukiman masyarakat yang
menetap pada permukiman kumuh, dan gubuk-gubuk liar pada di sepanjang
dataran banjir di 14 aliran sungai. Daratan sungai sebagai dataran banjir untuk

26

bangunan rumah yang mengurangi daerah resapan air dan penahan air, dan
penyempitan bantaran sungai. Keberadaan bangunan rumah dan fasilitasnya bila
hujan besar bisa menyebabkan aliran airnya pada permukaan tanah terhambat ke
saluran air, dan meluap sungai yang bisa menjadi banjir lebih meluas dan lama di
Provinsi DKI Jakarta.
Provinsi DKI Jakarta 65.363,46 Ha dengan penggunaan lahan berupa
lahan terbangun, lahan basah, dan lahan pertanian yang beragam keruangan dan
temporal baik jenis, luasan dan penyebarannya adalah sebagai berikut:

Pada tahun 1996, penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta yang


dominan

berupa lahan terbangun 42.108,09 Ha ( 64,5%)

dimana jenis

penggunaan lahan terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan lahan

27

permukimam 34.521 Ha atau 82% dari total luasan lahan terbangunnya.


Kemudian penggunaan lahan pertanian 18.535,73 Ha atau 28,4% dan terakhir
berupa luasan terkecil pada penggunaan lahan basah 4.679,27 Ha atau 7,2% dari
total luasan provinsinya.
Pada tahun 2002, memiliki pola sama dengan penggunaan penggunaan
lahan di Provinsi DKI Jakarta 1996. Penggunaan lahan. yang dominan berupa
lahan terbangun 44.160,98 Ha ( 67,6%)

dimana jenis penggunaan lahan

terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan lahan permukimam


40.063 Ha atau 90,7% dari total luasan lahan terbangunnya. Diikuti oleh
penggunaan lahan pertanian 15.246,81 Ha (23,3%) dan terakhir berupa luasan
terkecil pada penggunaan lahan basah 5.915,21 Ha atau 9,1% dari total luasan
provinsinya.
Pada tahun 2007, memiliki pola sama dengan penggunaan penggunaan
lahan di Provinsi DKI Jakarta 1996 dan 2002. Penggunaan lahan. yang dominan
berupa lahan terbangun 49.647,77Ha ( 76%) dimana jenis penggunaan lahan
terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan lahan permukimam
41.695 Ha atau 84% dari total luasan lahan terbangunnya. Diikuti oleh
penggunaan lahan pertanian 14.645,99 Ha (22,4%) dan terakhir berupa luasan
terkecil pada penggunaan lahan basah 1.029,25 Ha atau 1,58% dari total luasan
provinsinya.
Dalam periode lima tahun pertama (1996-2002) di Provinsi DKI Jakarta,
terjadi perubahan penggunaan lahannya secara kuantitas. Ada penambahan lahan
terbangun seluas 2.052,89 Ha, lahan permukiman 5.542 Ha, dan lahan basah

28

1.235,94 Ha. Ada penurunan luasan penggunaan lahan pertanian 3.288,92 Ha


menjadi lahan terbangun dan lahan basah sebagai parkir air pada saat hujan.
Periode lima tahun kedua (2002-2007) di Provinsi DKI Jakarta, terjadi
perubahan penggunaan lahannya secara kuantitas. Ada penambahan lahan
terbangun seluas 5.486,79 Ha atau 50% lebih luas dari periode pertama, dan lahan
permukiman 1.632 Ha. Ada penurunan luasan penggunaan lahan pertanian 600,82
Ha dan lahan basah 4.885,96 Ha menjadi lahan terbangun penyebab banjir. Satu
dasawarsa terakhir (1996-2007) di Provinsi DKI Jakarta mengalami dinamika
perubahan penggunaan lahan secara kuantitas, yaitu perubaha positif terjadi pada
penggunaan lahan terbangun seluas 7539,68 Ha atau 11,5% dari luas provinsi.
Dimana rata-rata penambahan luasan lahan terbangun mencapai 750 hektar per
tahunnya, dominan berupa lahan permukiman seluas 7.174 Ha. Sedangkan
penggunaan lahan pertanian dan lahan basah kecenderungan mengalami
penurunan sebesar 3500 hektar atau 350 hektar setiap tahunnya yang digunakan
sebagai lahan terbangun, seperti lahan permukiman.

Grafik Penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta pada periode banjir besar

29

Sumber: Pengolahan Data Penggunaan Lahan (Dinas Pertanahan DKI Jakarta,


2009).
Ada kesamaan persebaran pola penggunaan lahan pertanian atas dasar
rata-rata luasan. Dimana lahan pertanian terluas di Jakarta Utara mencapai 5330,6
Ha, kemudian diikuti oleh Jakarta Timur 4565,3 Ha, Jakarta Barat 2869,9 Ha,
Jakarta Selatan 2509.467 Ha, dan luasan tersempit di Jakarta Pusat 867,6 Ha
selama 10 tahun terakhir.Terjadi penurunan luasan penggunaan lahan pertaniannya
dalam 10 tahun terakhir, yaitu Jakarta Utara 997,9 Ha, Jakarta Barat 868,5 Ha,
Jakarta Timur 811,5 Ha, dan Jakarta Pusat 501,8 Ha.

Grafik Penggunaan Lahan Pertanian di Provinsi DKI Jakarta, periode banjir besar
Sumber: Pengolahan Data Penggunaan Lahan (Dinas Pertanahan DKI Jakarta,
2009).
Penggunaan lahan pertanian pada masing-masing kelurahan mencapai
rasio 50, artinya dalam 1 hektar luasan kelurahan terdapat 0,5 hektar penggunaan
lahan pertaniannya. Adapun kelurahan yang memiliki rasio 50 penggunaan lahan
pertanian pada tahun 1996 terdapat Kedaung Kaliangke, Kamal, Gambir, Gunung

30

Sahari Selatan, Gelora, Karet Tengsin, Cipedak, Halim Perdana Kusuma, Pinang
Ranti, Rorotan, Koja, Kamal Muara, Kapuk Muara, Penjaringan, Papanggo, dan
Tanjungpriok. Pada tahun 2002, di Kelurahan Kamal, dan Gelora. Sedangkan
tahun 2007 terdapat di Gelora, Halim Perdana Kusuma, Semper Timur, Kelapa
Gading Barat, Kamal Muara, dan Kapuk Muara. Proporsi penggunaan lahan DKI
Jakarta yang berupa lahan pertanian pada tahun 1996 adalah 22,10% kemudian
menurun 18,92% (2002), dan berkurang lagi 18,31% (2007) dari seluruh luasan
provinsinya.
Penggunaan lahan basah di DKI Jakarta 4679,27 Ha atau 7,16% (1996),
3785,43 Ha atau 5,8% (2002), dan 1029,73 Ha atau 1,58% dari luasan provinsinya
yang tersebar di lima kota administratif. Persebaran penggunaan lahan basah
dalam 10 tahun terakhir memiliki keragaman ruang dalam ukuran luasan dan
urutannya. Dimana keberadaan lahan basah terluas terdapat

Jakarta Timur

1520,54 Ha atau 8,06% (1996), di Jakarta Utara 1533,06 Ha atau 10,97% (2002)
dan 513,62 Ha atau 3,67%. Selanjutnya lahan basah di Jakarta Utara seluas
1089,11 Ha atau 7,79% (1996) dan 513,62 Ha atau 3,67% (2007), Kemudian, di
Jakarta Selatan 977,21 Ha atau 6,74% (1996), 107,1 Ha atau 0,74% (2002) dan
134,23 Ha atau 0,93% (2007). Terakhir, pada lahan basah yang tersempit terdapat
di Jakarta Pusat 168,28 Ha atau 3,49% (1996), 87,83 Ha atau 1,82% (2002), dan
Jakarta Barat 121,8 Ha atau 0,93% (2007).
Provinsi DKI Jakarta proporsi penggunaan lahan basah kurang dari 10 %
dari seluruh luasan provinsinya pada periode banjir yang tersebar di 261
kelurahan. Penurunan luasan penggunaan lahan basah karena pembangunan dalam

31

10 tahun terakhir, yaitu 893,84 Ha (1996-2002), 2755,7 Ha (2002-2007), dan


3649,54 Ha (1996-2007). Periode lima tahun pertama yakni pada tahun 19962002, persebaran penurunan terbesar untuk lahan basah terjadi di Jakarta Selatan
870,11 Ha, dan penurunannya kategori luasan terkecil di Jakarta Pusat 80,45 Ha
kecual di Jakarta Utara dan Jakarta Barat tidak ada penurunan luasan lahan basah.
Pada tahun 2007-2002, penurunan luasan lahan basah terdapat di Jakarta Utara
1019,44 Ha, Jakarta Barat 900 Ha, dan Jakarta Timur 898,87 Ha. Di Jakarta Pusat
dan Jakarta Selatan tidak terjadi penurunan luasan lahan basah. Periode 19962007, penurunan luasan lahan basah di lima kota administratif nya dimana yang
terbesar di Jakarta Timur 1383,77 Ha atau 7,37%, lahan basah dengan penurunan
luasannya terkecil di Jakarta Pusat 44,97 Ha atau 0,9% dari luasan kota
administratifnya.
Akibat dari penurunan luasan lahan basah (misal rawabelakang berubah
menjadi lahan-lahan permukiman) di permukaan bentuk lahan aluvial dataran
rendah Jakarta maka pada saat hujan besar dan lama aliran air permukaan tidak
dapat tertampung lagi di bentuk lahannya dan berubah menjadi limpasan
permukaan. Kondisi penggunaan lahan basah untuk lahan-lahan permukiman di
Bentuk lahan rawabelakang sebagai sasaran daerah banjirnya. Penyebaran sasaran
daerah banjir misalnya terdapat di Kelurahan Rawamangun,dan Rawa Bunga.

32

Grafik Penggunaan Lahan Basah di Provinsi DKI Jakarta, Periode banjir


besar
Sumber: Pengolahan Data Penggunaan Lahan (Dinas Pertanahan DKI Jakarta,
2009).
Penggunaan lahan terbangun berfungsi sebagai penyebab besaran aliran
permukan pada saat hujan di 14 DAS, sehingga mempengaruhi karakteristik
banjir baik secara spasial dan temporal di Provinsi DKI Jakarta. Penggunaan lahan
terbangun di Provinsi DKI seluas 42108,1 Ha atau 64,5% (1996), 46932,7 Ha atau
71,9% (2002) dan 49647,8 Ha atau 76% (2007) dari luas provinsinya. Rata-rata
penambahan setiap tahun dalam 10 tahun terakhir penggunaan lahan terbangun
seluas 4.623 Ha per tahun atau 7,08% dari luasan provinsi DKI Jakarta.
Persebaran lahan terbangun pada 5 kota administratif di Provinsi DKI
Jakarta memiliki pola ruang yang sama dengan luasan berbeda selama 10 tahun
terakhir adalah sebagai berikut pada tahun 1996, luasan penggunaan lahan
terbangun yang terluas terdapat di Jakarta Timur 12164,8 Ha. Selanjutnya di
Jakarta Selatan 10629,4 Ha, Jakarta Barat 8846,9 Ha, dan Jakarta Utara 6942,1
Ha. Sedangkan luasan penggunaan lahan terbangun yang tersempit terdapat di
Jakarta Pusat 3524,9 Ha.
33

Pada tahun 2002, luasan penggunaan lahan terbangun yang terluas terdapat
di Jakarta Timur 13656,4 Ha. Selanjutnya di Jakarta Selatan 11938,2 Ha, Jakarta
Barat 9458,9 Ha, dan Jakarta Utara 8014,9 Ha. Sedangkan luasan penggunaan
lahan terbangun yang tersempit terdapat di Jakarta Pusat 3864,3 Ha. Pada tahun
2007, luasan penggunaan lahan terbangun yang terluas terdapat di Jakarta Timur
14360,5 Ha. Selanjutnya di Jakarta Selatan 12182,5 Ha, Jakarta Barat 10517,7 Ha,
dan Jakarta Utara 8515,5 Ha. Sedangkan luasan penggunaan lahan terbangun yang
tersempit terdapat di Jakarta Pusat 4071,6 Ha.
Ada peningkatan luasan lahan terbangun pada lima tahun pertama (19962002) sebesar 4824,61 Ha atau 964,92 Ha tiap tahunnya atau 7,38% dari luasan
provinsi. Pada lima tahun kedua (2002-2007) di Provinsi DKI Jakarta
penambahan luasan lahan terbangun seluas 2715,07 Ha atau 543,01 Ha tiap
tahunnya atau 4,16%. Dalam 10 tahun, total peningkatan lahan terbangun seluas
7539,68 Ha atau 11,54% (1996-2007). Terjadi peningkatan luasan penggunaan
lahan terbangun pada 5 kota administratif di DKI Jakarta periode banjir besar
yakni 1996-2002, 2002-2007, dan 1996-2007 adalah sebagai berikut periode
1996-2002, peningkatan luasan lahan terbangun terluas terdapat di Kota
administratif Jakarta Timur 1491,64 Ha. Kemudian, di Jakarta Selatan 1308,74
Ha, Jakarta Utara 1072,81 Ha, dan Jakarta Barat 612,01 Ha. Pada peningkatan
luasan terbangun dengan kategori tersempit terdapat di Kota administratif Jakarta
Pusat 339,41 Ha atau 67,9 Ha per tahunnya.
Periode 2002-2007, peningkatan luasan lahan terbangun terluas terdapat di
Kota administratif Jakarta Barat 1058,8 Ha. Kemudian, di Jakarta Timur 704,06

34

Ha, Jakarta Utara 500,6 Ha, dan Jakarta Selatan 244,3 Ha. Pada peningkatan
luasan terbangun dengan kategori tersempit terdapat di Kota administratif Jakarta
Pusat 207,31 Ha atau 41,5 Ha per tahunnya. Periode 1996-2007, dalam 10 tahun
terakhir ada peningkatan luasan lahan terbangun dimana terluas terdapat di Kota
administratif Jakarta Timur 2195,7 Ha. Kemudian, di Jakarta Barat 1670,78 Ha,
Jakarta Utara 1573,41 Ha, dan Jakarta Selatan 1553,07 Ha. Pada peningkatan
luasan terbangun tersempit terdapat di Kota administratif Jakarta Pusat 546,72 Ha
atau 0.08% per tahunnya .

Grafik Penggunaan Lahan Terbangun di Provinsi DKI Jakarta, Periode banjir


besar
Sumber: Pengolahan Data Penggunaan Lahan (Dinas Pertanahan DKI Jakarta,
2009).
Ada kesamaan letak dari pola persebaran proporsi penggunaan lahan
terbangun pada tahun 1996, 2002, dan 2007 dimana proporsi penggunaan lahan
terbangun kategori tertinggi terdapat di kelurahan Galur yakni 49.79%, Duri Utara
dan Kayu Manis yang masing-masing 49,95%. Proporsi penggunaan lahan
terbangun dengan kategori terkecil di kelurahan Kamal Muara 5,54% dan
meningkat 15% (2007) dari keseluruhan luasan penggunaan lahan Provinsi DKI

35

Jakarta. Provinsi DKI Jakarta sebagian besar (> 50%) luasan penggunaan lahan
terbangun berupa bangunan rumah dengan kategori penggunaan lahan
permukiman 38.658 Ha sebagai potensi banjir.
Persebaran wilayah permukiman penduduk yang bentuklahan aluvial yang
selalu terendam oleh air banjir mencakup semua tempat di :
1. Kota administrasi Jakarta Barat meliputi Kelurahan Kapuk, Cengkareng,
Daan

Mogot,

Kedoya,

Meruya,

Kebun

Jeruk,

Tomang,

Joglo,

Kemanggisan, Grogol, Pal Merah, Petamburan, dan Puri Kembangan;


2. Kota administrasi Jakarta Selatan meliputi Kelurahan Mampang, Tegal
Parang, Pejaten, Tebet, Bukit Duri, Kebun Baru, Pesanggrahan, Pondok
Jaya, Blok S, Prapanca, Blok A, Pakubowono, Cipulir, Bintaro IKPN, STO
Semanggi II, Gatot Subroto dan Sangrila Indah;
3. Kota administrasi Jakarta Timur meliputi Kelurahan Kampung Melayu,
Bidara Cina, Jatinegara, Cipinang Muara dan Durensawit;
4. Kota administrasi Jakarta Utara meliputi wilayah Pluit, Penjaringan Kota,
Cilincing, Kelapa Gading, Cakung, Martadinata, dan Sunter; dan
5. Kota administrasi Jakarta Pusat meliputi wilayah Agus Salim, Tanah
Abang, Cideng, Thamrim Dukuh Atas, dan Jati Baru.

36

2. Kemacetan di Jakarta dalam Perspektif Tata Ruang


Sebagai ibukota Republik Indonesia, Jakarta memiliki beragam fungsi;
sebagai pusat pemerintahan nasional, perdagangan dan industri, jasa, pendidikan,
dan budaya yang disertai fasilitas pariwisata atau rekreasi, serta prasarana
pelayanan perkotaan bertaraf nasional, bahkan internasional. Sebagai kota
metropolitan,

Jakarta

dan

sekitarnya

perlu

terus

melakukan

penataan

pembangunan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan


memastikan

keberkelanjutannya.

Kompleksitas

permasalahan

membawa dampak pada berbagai aspek, salah satunya transportasi.

37

di

Jakarta

Tahun 2010, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 6,7 juta unit,
dengan komposisi kendaraan roda dua mencapai 4,3 juta unit dan roda empat
mencapai 2,4 juta unit. Angka pertumbuhan kendaraan bermotor mencapai 0,7% 0,8% per bulan atau 11% per tahun. Setiap hari Dirlantas Polda Metro Jaya ratarata mengeluarkan 138 STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) baru. Artinya, ada
tambahan 138 kendaraan per hari di atas jalanan Jakarta! Dengan jarak satu
kendaraan dengan kendaraan lain masing-masing setengah meter saja ke muka
dan belakang, maka dibutuhkan ruang (jalan) enam meter per unit. Total per hari
harusnya dibutuhkan tambahan jalan baru sepanjang 828 meter. Saat ini, total
panjang jalan dan total area Jakarta hanya 4%, sementara idealnya sekitar 10% 15%. Karena total panjang jalan masih jauh dari ideal, apakah lantas Jakarta perlu
memperlebar dan menambah jalan baru terus supaya agar tidak macet? Persoalan
transportasi Jakarta makin rumit ketika dihadapkan pada data bahwa rasio jumlah

38

kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 98% berbanding 2%.


Jumlah kendaraan pribadi yang hampir mencapai 100% tersebut mengangkut
49,7% perpindahan manusia per hari. Sama sekali tidak berbeda jauh dengan
kapasitas manusia yang diangkut kendaraan umum (50,3% perpindahan manusia
per hari).
Ketimpangan efektifitas pelayanan ini memperlihatkan betapa kondisi
kendaraan umum sudah sangat memprihatinkan. Dan, dari tahun ke tahun jumlah
kendaraan umum malah makin berkurang. Kemampuan menambah ruas jalan pun
makin sulit. Sebaliknya, penambahan kendaraan pribadi justru semakin pesat.
Dengan pertumbuhan kendaraan bermotor yang sedemikian tinggi, kecepatan ratarata lalu lintas di Jakarta hanya 20 km/jam. Itupun, 60% total waktu perjalanan
dihabiskan di tengah kemacetan, dan hanya 40% total waktu tersebut yang
digunakan untuk bergerak. Bila dihitung, kerugian ekonomi akibat kemacetan
mencapai Rp 27,76 trilyun (USAID, 2008).
Dari survei yang dilakukan Swisscontact Foundation tahun 2007, lebih
dari 90% warga Jakarta menyebutkan kemacetan sebagai masalah utama
transportasi di Jakarta. Persepsi masyarakat tersebut didukung pernyataan Forum
Transportasi Perkotaan Masyarakat Transportasi Indonesia, yaitu setiap tahun
terjadi penurunan kecepatan kendaraan di Jakarta sebesar 1 km/jam. Jadi, jika
tahun 2008 kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta adalah 20 km/jam, maka
tahun 2012 diperkirakan angka itu akan menurun menjadi 16 km/jam. Meskipun
begitu, ternyata persepsi masyarakat tadi tidak diikuti dengan pemahaman kritis

39

penyebab kemacetan dan upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi


kemacetan.
Selama ini, penyelengaraan transportasi masih menggunakan pendekatan
predict & supply (perkiraan dan penyediaan), atau menitikberatkan pada
penyediaan infrastruktur untuk mengantisipasi volume kendaraan di masa depan.
Anda pasti juga familiar dengan paradigma ini, kan? Sebab, membangun jalan
(pelebaran atau penambahan jalan baru) adalah cara paling mudah untuk secara
langsung mengurangi kepadatan lalu lintas dengan menambah ruang jalan
Belajar dari pengalaman negara-negara maju, paradigma ini tidak menyelesaikan
masalah. Malah menyebabkan masalah baru yang lebih besar di masa datang,
yaitu memicu arus lalu lintas baru yang makin besar dan makin sulit dikelola.
Paradigma baru yang sekarang berkembang adalah pendekatan predict & manage
(perkiraan dan pengendalian) yang menitikberatkan pada upaya pengendalian lalu
lintas, terutama kendaraan pribadi. Pendekatan ini dilakukan dengan 2 cara, yaitu
push & pull (tekan dan tarik). Pendekatan Tekan adalah upaya mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi untuk mengurangi volume lalu lintas. Sedangkan,
pendekatan Tarik adalah upaya menambah daya tarik moda transportasi yang
lebih efisien sebagai alternatif selain kendaraan pribadi. Pada kasus kemacetan
Jakarta, meski sudah ada sistem 3-in-1 yang diterapkan sejak 1992, efektifitasnya
sistem ini dalam mengatasi kemacet-an sayangnya memicu persoalan baru, yaitu
menjamurnya joki.

40

Data di atas menunjukkan: 1. Jumlah kendaraan roda dua meningkat 5 kali


lipat dalam 10 tahun terakhir. Terlebih dengan semakin mudah pula masyarakat
mengajukan kredit pemilikan kendaraan 2. Kondisi layanan bus dan kereta sangat
tidak memadai, sehingga pilihan moda transportasi bagi masyarakat selain
kendaraan pribadi semakin minim. Pembangunan 56 fly-over dan underpass yang
selesai dikerjakan dalam 10 tahun terakhir juga menunjukkan hasil sama.
Kemacetan yang terjadi semakin hari tidak semakin berkurang, malah menjadijadi. Skalanya tidak hanya Jakarta, tetapi mengganggu efektivitas bisnis secara
nasional.
3. Perekonomian di Jakarta dalam Perspektif Tata Ruang
Perekonomian Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009 tumbuh sebesar
10,51 persen, angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan tahun yang lalu
dengan tingkat pertumbuhan mencapai 6,22 persen. Sektor-sektor yang
menunjukan

pertumbuhan

tinggi

pada

periode

tersebut

adalah

sector

pengangkutan dan komunikasi (15,90 persen), sector listrik dan gas (15,29 persen,
dan sektor bangunan dan konstruksi(14,38 persen).

41

Angka PDRB per kapita secara tidak langsung dapat dijadikan indicator
untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu wilayah. Angka yang dihasilkan disini
sifatnya makro karena hanya tergantung dari nilai PDRP dan penduduk
pertengahan tahun tanpa memperhitungkan kepemilikan dari nilai tambah setip
sector ekonomi yang tercipta.

Gambaran kemajuan perekonomian suatu daerah juga dapat dilakukan


dengan mengelompokkan kegiatan perekonomiannya berdasarkan lapangan usaha.
Berdasarkan lapangan usaha, terdapat tiga kelompok lapangan usaha, yaitu :
a. Sektor Primer, yaitu sektor yang tidak mengolah bahan mentah atau bahan
baku melainkan hanya mendayagunakan sumber-sumber alam, seperti tanah dan

42

kandungan deposit di dalamnya. Yang termasuk kelompok ini adalah sector


pertanian serta sektor pertambangan dan penggalian.
b. Sektor Sekunder, yaitu sektor yang mengolah bahan mentah atau bahan Baku,
baik yang berasal dari sektor primer maupun dari sektor sekunder menjadi barang
yang lebih tinggi nilai tambahnya. Sektor ini mencakup sector industri
pengolahan, sektor listrik gas dan air minum, dan sektor konstruksi.
c. Sektor Tersier atau Sektor Jasa, yaitu sektor yang tidak memproduksi barang
dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk jasa. Sektor ini adalah sector
perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor bank
dan lembaga keuangan lainnya, serta sektor jasa-jasa.

43

Dari data di atas terlihat, setiap tahun Jakarta jika dilihat dari segi inflasi
cukup stabil tetapi sangat berbeda jika dilihat dari angka penduduk miskin dan
penduduk yang masuk dalam garis kemiskinan yang setiap tahun selalu
bertambah. Ini menandakan adanya ketimpangan ekonomi antara golongan atas,
menengah, dan bawah yang terpaut sangat jauh. Sehingga diperlukannya
perbaikan-perbaikan tidak hanya makro tapi juga perbaikan mikro agar dapat
menyentuk semua lapis masyarakat. Karena pada dasarnya jika masyarakat bawah
sudah kuat kemandirian ekonominya, Jakarta pada umumnya akan dapat menekan
laju inflasi dan gejolak/gesekan social di masyarakat

F. RENCANA TATA RUANG JAKARTA 2010-2030


Terciptanya ruang wilayah menyediakan kualitas kehidupan kota yang
produktif dan inovatif. Kedudukan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyebabkan ruang

44

wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berfungsi sebagai ruang ibukota
negara.
Oleh karena itu pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan
berhasil guna sesuai kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta terjaga keberlanjutannya untuk masa kini
dan masa datang.
Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan bagian
kawasan strategis nasional, maka perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara terpadu dengan kawasan
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur).
Sebagaimana kota-kota besar lain di dunia menghadapi tantangan global,
khususnya pemanasanglobal (global warming) dan perubahan iklim(climate
change) yang membutuhkan aksi perubahan iklim (climate action), baik aksi
adaptasi maupun aksi mitigasi yang perlu dituangkan dalam penataan ruang.
Jakarta berada dalam daerah kotadelta (delta city)sehingga pengaruh
utama tantangan dan kendala daerahdeltamelalui pengelolaan tata air, analisa
resiko bencana, dan perbaikan ekosistem, harus menjadi perhatian utama dalam
penataan ruang.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 habis masa
berlakunya pada tahun 2010, perlu menetapkan kembali Rencana Tata Ruang
Wilayah untuk jangka waktu sampai dengan tahun 2030.

45

Maka berdasarkan hal tersebut untuk melaksanakan Undang-undang


Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2011-2030.
Dimana tujuan penataan ruang Provinsi DKI Jakarta adalah untuk
terciptanya ruang wilayah yang menyediakan kualitas kehidupan kota yang
produktif

dan

inovatif.

Selain itu juga demi terwujudnya pemanfaatan kawasan budi daya secara optimal
dalam rangka memenuhi kebutuhan 12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu)
jiwa penduduk yang persebarannya diarahkan sebanyak 9,2% di Kota
Administrasi Jakarta Pusat, 18,6% di Kota Administrasi Jakarta Utara, 24,1% di
Kota Administrasi Jakarta Timur, 22,6% di Kota Administrasi Jakarta Selatan,
25,3% di Kota Administrasi Jakarta Barat, 0,2.% di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu serta meningkatkan produktivitas dan nilai tambah perkotaan.
Untuk rencana struktur ruang sendiri terdiri atas, sistem pusat kegiatan,
sistem dan jaringan transportasi, sistem prasarana sumber daya air dan sistem
serta jaringan utilitas perkotaan. Rencana struktur ruang Provinsi DKI Jakarta
merupakan perwujudan dan penjabaran dari rencana struktur ruang kawasan
perkotaan Jabodetabek punjur.
Mengenai

mitigasi

bencana

yang

meliputi

pemanfaatan

dan

pendayagunaan kawasan evakuasi bencana, pemanfaatan dan pengelolaan ruang


pada kawasan rawan banjir, serta pengembangan sistem peringatan dini juga
diatur dalam materi tersebut.

46

Perda itu juga memuat Peraturan Zonasi yang mengatur struktur ruang dan
pola ruang sistem pusat kegiatan, sistem dan jaringan transportasi, sistem
prasarana sumber daya air, sistem dan jaringan utilitas perkotaan, kawasan
lindung dan kawasan budidaya.
Sebagaimana sebuah perda, maka juga diatur lima kawasan dalam wilayah
DKI Jakarta.Pertamaadalah Kawasan Sektor Informal, meliputi pengembangan
dan pemeliharaan kawasan pusat pedagang kaki lima dan usaha kecil menengah
serta penyediaan ruang bagi sektor informal dalam pengembangan pusat
perniagaan dan perkantoran.
Kedua, kawasan permukiman meliputi pengembangan berdasarkan
karakteristik kawasan, disesuaikan dengan pengembangan kawasanTOD serta
pemanfaatan ruang di kawasan strategis campuran pemukiman dapat berbentuk
pita dansuperblockdengan proporsi 30-65 persen terkait resapan air.
Ketiga,kawasan

strategis

kepentingan

ekonomi,

meliputi

kegiatan

perdagangan, jasa dan campuran berintensitas tinggi untuk skala pelayanan


nasional dan internasional. Lalu, mengendalikan, membatasi dan mengurangi
pembangunan berpola pita seperti ruko sepanjang jalan kecuali di kawasan
ekonomi berintensitas tinggi atau berlantai banyak.
Keempat,kawasan strategis kepentingan lingkungan, terdiri atas kawasan
di sepanjang Kanal Banjir Timur, Kanal Banjir Barat, dan Sungai Ciliwung.
Kelima,kawasan strategis kepentingan sosial budaya, meliputi, revitalisasi
kawasan kota tua sebagai pusat kegiatan pariwisata sejarah dan budaya, serta
fokus kawasan di kota tua, Taman Ismail Marzuki dan Menteng.

47

Untuk sanksi administrasi terhadap pelanggaran di bidang penataan ruang,


dilakukan secara berjenjang dalam bentuk peringatan tertulis, penghentian
sementara kegiatan, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi,
pencabutan izin, pembatalan izin, pembongkaran bangunan, pemulihan fungsi
ruang hingga sanksi administrasi.
Sedangkan sanksi pidana, meliputi pidana penjara dan dena terhadap
pengurus atau direksi atau penanggungjawab korporasi serta pidana dan
pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya bagi setiap pejabat pemerintah
daerah yang diberi wewenang menerbitkan izin tidak sesuai dengan RTRW.

48

BAB III.
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Jakarta sebagai daerah perkotaan dengan status Ibukota Negara (Undang-undang No.
10 tahun 1964), mempunyai fungsi yang bersifat lokal, Regional, Nasional dan
Internasional, dengan masyarakatnya yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang
bermacam-macam dengan jenis kehidupan yang berbeda-beda. Demikian pula kualitas
hidup manusia sebagian besar ditentukan oleh tingkat pendapatannya dan kondisi
pemukimannya, termasuk lingkungan hidupnya.
Struktur ruang wilayah kota merupakan gambaran sistem pusat pelayanan
kegiatan internal kota dan jaringan infrastruktur kota sampai akhir masa
perencanaan, yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kota dan
melayani fungsi kegiatan yang ada/direncanakan dalam wilayah kota pada skala
kota, yang merupakan satu kesatuan dari sistem regional, provinsi, nasional
bahkan internasional. Rencana sturktur ruang kota mencakup: rencana
pengembangan pusat pelayanan kegiatan kota, dan rencana sistem prasarana kota.
Rencana pengembangan pusat pelayanan kegiatan kegiatan kota menggambarkan
lokasi pusat-pusat pelayanan kegiatan kota, hirarkinya, cakupan/skala layanannya,
49

serta dominasi fungsi kegiatan yang diarahkan pada pusat pelayanan kegiatan
tersebut. Sedangkan rencana sistem prasarana kota mencakup sistem prasarana
yang

mengintegrasikan

kota dalam lingkup

yang lebih luas

maupun

mengitegrasikan bagian wilayah kota serta memberikan layanan bagi fungsi


kegiatan yang ada/direncakan dalam wilayah kota, sehingga kota dapat
menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan tujuan penataan ruang kota yang
ditetapkan.
Dampak dari struktur/ tata ruang Jakarta yang tidak sesuai aturan keseimbangan
perkembangan suatu wilayah (ekonomi, lingkungan dan social). Sehingga Jakarta
mengalami macam-macam permasalahan, seperti kemacetan, pembangunan yang tidak
sesuai aturan, bencana alam, perekonomian dan gejolak social dalam masyarakat.
Penggunaan lahan terbangun di Provinsi DKI seluas 42108,1 Ha atau 64,5%
(1996), 46932,7 Ha atau 71,9% (2002) dan 49647,8 Ha atau 76% (2007) dari luas
provinsinya. Rata-rata penambahan setiap tahun dalam 10 tahun terakhir
penggunaan lahan terbangun seluas 4.623 Ha per tahun atau 7,08% dari luasan
provinsi DKI Jakarta.
Penggunaan lahan basah di DKI Jakarta 4679,27 Ha atau 7,16% (1996),
3785,43 Ha atau 5,8% (2002), dan 1029,73 Ha atau 1,58% dari luasan provinsinya
yang tersebar di lima kota administratif. Persebaran penggunaan lahan basah
dalam 10 tahun terakhir memiliki keragaman ruang dalam ukuran luasan dan
urutannya. Dimana keberadaan lahan basah terluas terdapat

Jakarta Timur

1520,54 Ha atau 8,06% (1996), di Jakarta Utara 1533,06 Ha atau 10,97% (2002)
dan 513,62 Ha atau 3,67%. Selanjutnya lahan basah di Jakarta Utara seluas

50

1089,11 Ha atau 7,79% (1996) dan 513,62 Ha atau 3,67% (2007), Kemudian, di
Jakarta Selatan 977,21 Ha atau 6,74% (1996), 107,1 Ha atau 0,74% (2002) dan
134,23 Ha atau 0,93% (2007). Terakhir, pada lahan basah yang tersempit terdapat
di Jakarta Pusat 168,28 Ha atau 3,49% (1996), 87,83 Ha atau 1,82% (2002), dan
Jakarta Barat 121,8 Ha atau 0,93% (2007).
Karena seringnya penyalah gunaan lahan, sehingga merubah kegunaan
lahan itu sendiri yang menyebabkan masalah-masalah yang terjadi sekarang ini.

B. SARAN
Guna menjamin kelangsungan hidup kita dan generasi mendatang
diharapkan agar tetap memiliki kehidupan dan lingkungan dalam suasana
yang baik dan menyenangkan, banyak hal yang dilakukan untuk menjamin
kelangsungan hidup alam semesta, setidaknya kita harus merubah sikap dalam
memandang

dan

memperlakukan

alam

sebagai

hal

bukan

sebagai

sumber kekayaan yang siap dieksploitasi, kapan, dan dimana saja.


Selain itu, dalam pembangunan pengembangan tata ruang sepatutnya
tetap memperhatikan aturan lingkungan hidup serta penerapan pembangunan
yang berwawasan lingkungan, agar keseimbangan alam tetap terjaga
seiring perkembangan teknologi, pertambahan penduduk, dan pertambahan
jumlah pemenuhan kebutuhan.

51

DAFTAR PUSTAKA
Atlas DKI Jakarta Raya. 1982. Tanah dan Kegiatan Pembangunan. Publikasi
No.214. Direktorat Tata Guna Tanah. Departemen Dalam Negeri.
http://bappedajakarta.go.id/
BPS. 2010. Jakarta Dalam Angka. BPS. Provinsi DKI Jakarta.
Dinas Pertanahan dan Pemetaan Provinsi DKI Jakarta. 2004. GeoInformasi dalam
Penanganan Banjir DKI Jakarta. Pemda DKI Jakarta.

Notohadiprawiro T., 1989. Pola Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Lahan


basah,

Rawa,

dan

Pantai.

http://www.soil.faperta.ugm.ac.id/tj/1981/1989%20pola.pdf.pkl.
Sandy I.M., 1989. Esensi Pembangunan Wilayah dan Penggunaan Tanah
Berencana. Jurusan Geografi FMIPA-Universitas Indonesia, Jakarta.
Sutikno. 2007. Perpindahan Ibu Kota, Suatu Keharusan atau Wacana?, dalam
http://www.sutikno.org/index.php.
Verstappen, H.Th., 1953. Djakarta Bay, a Geomorphological Study on Shoreline
Development. Doctoral Thesis, Univ. Utrecht, Drukkerij Trios Gravenhage, The
Netherlands

52

53

Anda mungkin juga menyukai