PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan
perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda.
Sorotan perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang
berbeda dan untuk menganalisis ruang yang sama. Jakarta sebagai daerah perkotaan
dengan status Ibukota Negara (Undang-undang No. 10 tahun 1964), mempunyai fungsi
yang bersifat lokal, Regional, Nasional dan Internasional, dengan masyarakatnya yang
terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang bermacam-macam dengan jenis kehidupan
yang berbeda-beda. Demikian pula kualitas hidup manusia sebagian besar ditentukan oleh
tingkat pendapatannya dan kondisi pemukimannya, termasuk lingkungan hidupnya.
Jakarta yang dewasa ini mengalami degradasi dalam hal kenyamanan dan
ketertiban, seperti banjir, kemacetan, kepadatan penduduk. Hal ini ditunjang dengan data
ada penambahan lahan terbangun seluas 5.486,79 Ha atau 50% lebih luas dari
periode pertama, dan lahan permukiman 1.632 Ha. Ada penurunan luasan
penggunaan lahan pertanian 600,82 Ha dan lahan basah 4.885,96 Ha menjadi
lahan terbangun penyebab banjir. Provinsi DKI Jakarta proporsi penggunaan lahan
basah kurang dari 10 % dari seluruh luasan provinsinya pada periode banjir yang
tersebar di 261 kelurahan. Penurunan luasan penggunaan lahan basah karena
pembangunan dalam 10 tahun terakhir, yaitu 893,84 Ha (1996-2002), 2755,7 Ha
(2002-2007), dan 3649,54 Ha (1996-2007). Hal ini jika dibiarkan terus menerus,
bisa membuat jakarta menjadi stuck dan tidak dapat berfungsi sebagai kota
megapolitan, karena mengesampingkan aspek kenyamanan dan bisa menggangu
perekonomian secara makro.
Di samping itu, dalam menjalani kehidupannya, manusia juga tidak pernah
lepas dari hal-hal yang berhubungan dengan tempat di mana ia tinggal dalam
kehidupan sehari-hari.Perlu adanya perbaikan tata ruang yang dapat menunjang,
seperti
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
perumusan masalah pada pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Apakah perkembangan DKI Jakarta berpengaruh terhadap lingkungan?
2. Apakah perkembangan DKI Jakarta berpengaruh terhadap lingkungan
sosial
BAB II.
PEMBAHASAN
mengintegrasikan
maupun
menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan tujuan penataan ruang kota yang
ditetapkan.
Menurut Nia K. Pontoh & Iwan Setiawan (2008), unsur pembentuk
struktur tata ruang kota terdiri dari pusat kegiatan, kawasan fungsional, dan
jaringan jalan. Kota atau kawasan perkotaan pada dasarnya dapat dipandang
sebagai suatu sistem spasial, yang secara internal mempunyai unsur-unsur yang
menjadi pembentuknya serta keterkaitannya satu sama lain. Kota sebagai suatu
sistem/tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak, yang mencirikan kawasan dengan kegiatan utama
bukan pertanian. Wujud struktural pemanfaatan ruang kota adalah unsur-unsur
pembentuk kawasan perkotaan secara hierarkis dan struktural berhubungan satu
dengan yang lainnya membentuk tata ruang kota. Wujud struktural pemanfaatan
ruang kota di antaranya meliputi hierarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan,
seperti pusat kota, pusat bagian wilayah kota, dan pusat lingkungan; yang
ditunjang dengan sistem prasarana jalan seperti jalan arteri, kolektor, dan lokal.
Selain pusat-pusat pelayanan kegiatan perkotaan dan kawasan fungsional
perkotaan, unsur pembentuk struktur tata ruang kota adalah sistem prasarana dan
sarana. Prasarana perkotaan adalah kelengkapan dasar fisik yang memungkinkan
kawasan permukiman perkotaan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Jenis
prasarana : Transportasi, Air bersih, Air limbah, Drainase, Persampahan, Listrik,
dan Telekomunikasi. Sarana perkotaan adalah kelengkapan kawasan permukiman
perkotaan, yaitu : Pendidikan, Kesehatan, Peribadatan, Pemerintahan dan
Pelayanan umum, Perdagangan dan Industri, dan sarana olahraga serta ruang
terbuka hijau.
Menurut Doxiadis (1968), permukiman atau perkotaan merupakan totalitas
lingkungan yang terbentuk oleh 5 unsur :
a. Alam (nature)
Keadaan permukiman perkotaan berbeda dengan permukiman perdesaan.
Lansekap yang ada biasanya lebih luas, dan biasanya berlokasi di dataran, dekat
dengan danau, sungai atau laut, dan dekat dengan rute transportasi. Hal ini cukup
penting untuk perumahan lebih dari 20.000 penduduk, dan menjadi prasyarat
utama untuk perumahan 100.000 penduduk atau lebih. Rumah-rumah kecil
perkotaan, seperti yang dibuat di masa lalu dengan alasan keamanan, mungkin
terdapat di lembah, puncak bukit atau gunung. Akan tetapi, perumahan yang
dibangun sekarang, atau perumahan-perumahan besar di masa lalu, membutuhkan
dataran yang luas dan kedekatan dengan jalur utama komunikasi untuk tetap
bertahan.
b. Individu manusia (Antropos) dan Masyarakat (Society)
Perumahan perkotaan berbeda dengan perumahan perdesaan, dan sebagian
besar dikarenakan perbedaan karakteristik dan perilaku. Semakin besar perubahan
perumahan dari desa ke kota, dan semakin besar kepadatan dan ukuran dari
perumahan perkotaan, semakin besar perbedaan di antara orang-orang. Dimensi
dan karakteristik baru dalam pola hidup perkotaan membutuhkan suatu
mekanisme adaptasi dalam usaha untuk mencapai atau melakukan penyesuaian
terhadap sumberdaya baru dan kondisi tempat tinggal. Di kota besar dengan
kepadatan tinggi, terdapat perbedaan komposisi umur dan jenis kelamin, dala
struktur pekerjaan, dalam pembagian tenaga buruh dan struktur sosial. Hal ini
memaksa manusia untuk mengembangkan karakteristik yang berbeda sebagai
individual, kelompok, unt, dan komunitas. Manusia di perumahan perkotaan
adalah anggota dari komunitas yang lebih besar, masyarakat luas, dan jangkauan
interaksi sosialnya meningkat. Anggota keluarganya mendapat dampak dari
institusi sosial yang berbeda pada akhirnya mengambil alih fungsi tertentu dari
keluarga.
c. Ruang Kehidupan (Shells)
Ruang kehidupan dari perumahan perkotaan memiliki banyak karakteristik
meskipun ukurannya bervariasi. Semakin besar ukuran perumahan, semakin
internasional karakteristiknya; sementara semakin kecil ukurannya, semakin
dipengaruhi oleh faktor lokal. Hal ini terjadi karena sebagian besar perumahan
kecil masih dipengaruhi oleh budaya lokal di masa lalu, dan sebagian lagi karena
intervensi ekonomi yang ada lebih kecil bila dibandingkan dengan perumahan
skala besar dan hal ini memperkuat kekuatan lokal.
d. Jaringan (Network)
Salah satu cara paling mendasar untuk menggambarkan struktur permukiman
adalah berhubungan dengan jaringan dan terutama sistem sirkulasi jalur
transportasi dan titik-titik pertemuan (nodal point). Tempat ini biasanya adalah
suatu pusat dengan ruang terbuka yang bisa mempunyai beragam bentuk mulai
dari yang alami hingga geometrik. Jika populasi telah tumbuh lebih dar beberapa
ribu jiwa, sebuah titik pertemuan bisa tumbuh mengikuti sepanjang jalan utama
atau terpecah menjadi dua atau lebih titik pertemuan lainnya. Pecahan titk
pertemuan ini lebih kecil bila dibandingkan titik pertemuan utama. Bila titik
pertemuan semacam ini terbentuk, hal ini agak mengurangi kepentingan nodal
utama.
Dalam perspektif yang berbeda, menurut Patrick Geddes, karakteristik
permukiman sebagai suatu kawasan memiliki unsur: Place (tempat tinggal); Work
(tempat kerja); Folk (tempat bermasyarakat). Di Indonesia, Kus Hadinoto (1970an) mengadaptasinya menjadi 5 unsur pokok, yaitu :
Wisma : tempat tinggal (perumahan)
Karya : Tempat bekerja (kegiatan usaha)
Marga : Jaringan pergerakan, jalan
Suka : Tempat rekreasi/hiburan
Penyempurna : Prasarana sarana
Menurut Kevin Lynch dalam The image of the city (1960) ada lima unsur dalam
gambaran mengenai kota yaitu :
1. Path, Jalur yang biasa, sering atau potensial dilalui oleh pengamat, misalnya:
jalan, lintasan angkutan umum, kanal, rel kereta api. Manusia mengamati kota
ketika bergerak dalam path.
2. Edge, Batas antara dua kawasan yang memisahkan kesinambungan, elemen
linier yang tidak dianggap/digunakan sebagai path oleh pengamat. Misalnya :
pantai, lintasan rel kereta api, dinding, sungai.
3. District, Bagian kota berukuran sedang sampai besar, tersusun sampai dua
dimensi yang dapat dimasuki pengamat (secara mental), dan dapat diknali dari
karakter umumnya.
4. Node/core, Titik/lokasi strategis yang dapat dimasuki pengamat. Dapat berupa
konsentrasi pengguanaan/cirri fisik yang penting. Misalnya : persimpangan,
tempat perhentian, ruang terbuka, penggantian moda angkutan, dan lain-lain.
5. Landmark, Titik acuan bersifat eksternal yang tidak dapat dimasuki pengamat,
biasanya berupa struktur fisik yang menonjol. Apabila dilihat dari jauh, dari
berbagai sudut pandang dan jarak, di atas elemen lainnya, dijadikan acuan.
Menurut Eko Budiharjo, Kota merupakan hasil cipta, rasa, karsa dan karya
manusia yang paling rumit dan muskil sepanjang peradaban. Struktur merupakan
bentuk dan wajah serta penampilan kota, merupakan hasil dari penyelesaian
konflik perkotaan yang selalu terjadi, dan mencerminkan perkembangan
peradaban warga kota maupun pengelolanya.
Adapun elemen-elemen yang membentuk struktur ruang kota (Sinulingga, 2005:
97, yaitu:
Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan,
pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok dalam
pusat pelayanan.
Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur) pergudangan dan perdagangan
grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat. Lingkungan
permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.
Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.
10
Daldjoeni (1996: 87), perkembangan kota dipandang sebagai fungsi dari pada
faktor-faktor jumlah penduduk, penguasaan alat atau lingkungan, kemajuan
teknologi dan kemajuan dalam organisasi sosial.
Sedangkan menurut Bintarto (1989), perkembangan kota dapat dilihat dari
aspek zone-zone yang berada di dalam wilayah perkotaan. Dalam konsep ini
Bintarto menjelaskan perkembangan kota tersebut terlihat dari penggunaan lahan
yang membentuk zone-zone tertentu di dalam ruang perkotaaan sedangkan
menurut Branch (1995), bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya
secara geografis dan karakteristik tempatnya. Branch juga mengemukakan contoh
pola-pola perkembangan kota pada medan datar dalam bentuk ilustrasi seperti :
a) topografi,
b) bangunan,
c) jalur transportasi,
d) ruang terbuka,
e) kepadatan bangunan,
f) iklim lokal,
g) vegetasi tutupan dan
h) kualitas estetika.
Secara skematik Branch,menggambarkan 6 pola perkembangan kota, sebagai
berikut:
11
12
menjorok ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau dan berfungsi sebagai paruparu kota, tempat rekreasi dan tempat olah raga bagi penduduk kota;
(c) bentuk cincin (circuit linier or ring plans), kota berkembang di sepanjang jalan
utama yang melingkar, di bagian tengah wilayah dipertahankan sebagai daerah
hijau terbuka;
(d) bentuk linier bermanik (bealded linier plans), pusat perkotaan yang lebih kecil
tumbuh di kanan-kiri pusat perkotaan utamanya, pertumbuhan perkotaan hanya
terbatas di sepanjang jalan utama maka pola umumnya linier, dipinggir jalan
biasanya ditempati bangunan komersial dan dibelakangnya ditempati permukiman
penduduk
(e) bentuk inti/kompak (the core or compact plans), perkembangan kota biasanya
lebih
didominasi
oleh
perkembangan
vertikal
sehingga
memungkinkan
13
14
15
16
17
Berdasarkan sensus 1980 jumlah angkatan kerja di DKI Jakarta adalah sebesar
1.952.988 orang, yaitu sebanyak 1.781.160 orang bekerja dan 171.828 orang pencari
kerja, berarti tingkat pengangguran adalah 8,8%. Sedangkan di bandingkan dengan
jumlah pengangguran sekarang ini :
18
19
20
Ada satu sisi yang menarik dalam konsep penceritaan tata ruang kota
Sukarno untuk Jakarta, terutama sekali soal monumen. -Sukarno memang pada
awalnya adalah seorang Arsitek, ketika menjadi mahasiswa ia memiliki nilai
sempurna untuk menggambar. Imajinasinya hidup, bila ia menggambar sesuatu ia
tidak sekedar menggambar objek tapi menggambar bagaimana objek itu bergerak
dan bekerja, penafsiran bukanlah sekedar suatu yang beku dan mati, ia
menafsirkan dengan amat lugas, ia paham ruang dialektik suatu karya.
Kekaguman Sukarno dengan monumen adalah ketika ia mengunjungi
Rusia pada medio tahun 1950-an, Ia melihat sendiri bagaimana patung-patung
dan monumen menjadi gambaran cita-cita sebuah bangsa. Tapi puncak
kekaguman Sukarno bukanlah di Moskow, namun ketika ia mengunjungi Amerika
Serikat pada tahun 1956 saat ia melihat Monumen Kemerdekaan Amerika Serikat,
sebuah patung obelisk dengan julangannya yang meninju langit, disitu Sukarno
terdiam bahkan hatinya bergetar, dia berpikir dari patung inilah Jefferson
memulai pemikirannya, seluruh bangsa bergerak menuju pembebasannya.
Sukarno juga mengunjungi Mesir, ia berdiri di depan Piramida, lalu ia
mengunjungi sungai Nil bersama Gamal Abdel Nasser, Sukarno paham bangsa
Mesir baru tak perlu bikin monumen karena sejarahnya sendiri adalah Monumen.
Di Jakarta Sukarno kemudian gandrung membangun jiwa dari sebuah
bangsa ini. Pertama kali yang ia bangun adalah Monumen Nasional. Konsep
Monumen Nasional (Monas) sebenarnya diinginkan Sukarno karena ia terobsesi
dengan Menara Eiffel, kepada beberapa orang Sukarno mengeluh karena Presiden
21
22
23
orang. Sikap keras Ali dikenang banyak orang sebagai tonggak nol kilometer
kepemimpinan DKI.
Tugu Tani, Landmark terbesar DKI setelah Monas Pernah terancam digusur
karena dangkalnya penafsiran sejarah atas tata ruang kota (Sumber Photo :
LIFE)
24
tahunnya bertambah berdasarkan deret ukur, di mana pertambahan penduduk ratarata 2,85 % per tahunnya (BPS, 2010).
Perkembangan penggunaan lahan perkotaan di Provinsi DKI Jakarta yang
selalu diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk, aktifitas dan kebutuhan
lahan, baik untuk permukiman maupun kegiatan ekonomi. Karena keterbatasan
lahan di perkotaan, terjadi intervensi kegiatan perkotaan pada lahan yang
seharusnya berfungsi sebagai daerah konservasi dan ruang terbuka hijau.
Akibatnya, daerah resapan air semakin sempit sehingga terjadi peningkatan aliran
permukaan dan erosi. Hal ini berdampak pada pendangkalan (penyempitan)
sungai, sehingga air meluap dan memicu terjadinya bencana banjir, khususnya
pada daerah hilir
Dalam Keputusan Presiden (KepPres) No.114 tahun 1999 dijelaskan
bahwa
kawasan konservasi air dan tanah, yang memberikan perlindungan bagi kawasan
dibawahnya untuk menjamin ketersediaan air tanah, air permukaan dan
penanggulangan banjir bagi kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya . Dimana
penggunaan lahan di kawasan Bopunjur yang secara geografis merupakan daerah
hulu, penyimpangan tersebut tercermin dari adanya pertambahan
daerah
25
seharusnya
berfungsi
sebagai
ruang
terbuka
hijau
dan
tempat
26
bangunan rumah yang mengurangi daerah resapan air dan penahan air, dan
penyempitan bantaran sungai. Keberadaan bangunan rumah dan fasilitasnya bila
hujan besar bisa menyebabkan aliran airnya pada permukaan tanah terhambat ke
saluran air, dan meluap sungai yang bisa menjadi banjir lebih meluas dan lama di
Provinsi DKI Jakarta.
Provinsi DKI Jakarta 65.363,46 Ha dengan penggunaan lahan berupa
lahan terbangun, lahan basah, dan lahan pertanian yang beragam keruangan dan
temporal baik jenis, luasan dan penyebarannya adalah sebagai berikut:
dimana jenis
penggunaan lahan terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan lahan
27
28
Grafik Penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta pada periode banjir besar
29
Grafik Penggunaan Lahan Pertanian di Provinsi DKI Jakarta, periode banjir besar
Sumber: Pengolahan Data Penggunaan Lahan (Dinas Pertanahan DKI Jakarta,
2009).
Penggunaan lahan pertanian pada masing-masing kelurahan mencapai
rasio 50, artinya dalam 1 hektar luasan kelurahan terdapat 0,5 hektar penggunaan
lahan pertaniannya. Adapun kelurahan yang memiliki rasio 50 penggunaan lahan
pertanian pada tahun 1996 terdapat Kedaung Kaliangke, Kamal, Gambir, Gunung
30
Sahari Selatan, Gelora, Karet Tengsin, Cipedak, Halim Perdana Kusuma, Pinang
Ranti, Rorotan, Koja, Kamal Muara, Kapuk Muara, Penjaringan, Papanggo, dan
Tanjungpriok. Pada tahun 2002, di Kelurahan Kamal, dan Gelora. Sedangkan
tahun 2007 terdapat di Gelora, Halim Perdana Kusuma, Semper Timur, Kelapa
Gading Barat, Kamal Muara, dan Kapuk Muara. Proporsi penggunaan lahan DKI
Jakarta yang berupa lahan pertanian pada tahun 1996 adalah 22,10% kemudian
menurun 18,92% (2002), dan berkurang lagi 18,31% (2007) dari seluruh luasan
provinsinya.
Penggunaan lahan basah di DKI Jakarta 4679,27 Ha atau 7,16% (1996),
3785,43 Ha atau 5,8% (2002), dan 1029,73 Ha atau 1,58% dari luasan provinsinya
yang tersebar di lima kota administratif. Persebaran penggunaan lahan basah
dalam 10 tahun terakhir memiliki keragaman ruang dalam ukuran luasan dan
urutannya. Dimana keberadaan lahan basah terluas terdapat
Jakarta Timur
1520,54 Ha atau 8,06% (1996), di Jakarta Utara 1533,06 Ha atau 10,97% (2002)
dan 513,62 Ha atau 3,67%. Selanjutnya lahan basah di Jakarta Utara seluas
1089,11 Ha atau 7,79% (1996) dan 513,62 Ha atau 3,67% (2007), Kemudian, di
Jakarta Selatan 977,21 Ha atau 6,74% (1996), 107,1 Ha atau 0,74% (2002) dan
134,23 Ha atau 0,93% (2007). Terakhir, pada lahan basah yang tersempit terdapat
di Jakarta Pusat 168,28 Ha atau 3,49% (1996), 87,83 Ha atau 1,82% (2002), dan
Jakarta Barat 121,8 Ha atau 0,93% (2007).
Provinsi DKI Jakarta proporsi penggunaan lahan basah kurang dari 10 %
dari seluruh luasan provinsinya pada periode banjir yang tersebar di 261
kelurahan. Penurunan luasan penggunaan lahan basah karena pembangunan dalam
31
32
Pada tahun 2002, luasan penggunaan lahan terbangun yang terluas terdapat
di Jakarta Timur 13656,4 Ha. Selanjutnya di Jakarta Selatan 11938,2 Ha, Jakarta
Barat 9458,9 Ha, dan Jakarta Utara 8014,9 Ha. Sedangkan luasan penggunaan
lahan terbangun yang tersempit terdapat di Jakarta Pusat 3864,3 Ha. Pada tahun
2007, luasan penggunaan lahan terbangun yang terluas terdapat di Jakarta Timur
14360,5 Ha. Selanjutnya di Jakarta Selatan 12182,5 Ha, Jakarta Barat 10517,7 Ha,
dan Jakarta Utara 8515,5 Ha. Sedangkan luasan penggunaan lahan terbangun yang
tersempit terdapat di Jakarta Pusat 4071,6 Ha.
Ada peningkatan luasan lahan terbangun pada lima tahun pertama (19962002) sebesar 4824,61 Ha atau 964,92 Ha tiap tahunnya atau 7,38% dari luasan
provinsi. Pada lima tahun kedua (2002-2007) di Provinsi DKI Jakarta
penambahan luasan lahan terbangun seluas 2715,07 Ha atau 543,01 Ha tiap
tahunnya atau 4,16%. Dalam 10 tahun, total peningkatan lahan terbangun seluas
7539,68 Ha atau 11,54% (1996-2007). Terjadi peningkatan luasan penggunaan
lahan terbangun pada 5 kota administratif di DKI Jakarta periode banjir besar
yakni 1996-2002, 2002-2007, dan 1996-2007 adalah sebagai berikut periode
1996-2002, peningkatan luasan lahan terbangun terluas terdapat di Kota
administratif Jakarta Timur 1491,64 Ha. Kemudian, di Jakarta Selatan 1308,74
Ha, Jakarta Utara 1072,81 Ha, dan Jakarta Barat 612,01 Ha. Pada peningkatan
luasan terbangun dengan kategori tersempit terdapat di Kota administratif Jakarta
Pusat 339,41 Ha atau 67,9 Ha per tahunnya.
Periode 2002-2007, peningkatan luasan lahan terbangun terluas terdapat di
Kota administratif Jakarta Barat 1058,8 Ha. Kemudian, di Jakarta Timur 704,06
34
Ha, Jakarta Utara 500,6 Ha, dan Jakarta Selatan 244,3 Ha. Pada peningkatan
luasan terbangun dengan kategori tersempit terdapat di Kota administratif Jakarta
Pusat 207,31 Ha atau 41,5 Ha per tahunnya. Periode 1996-2007, dalam 10 tahun
terakhir ada peningkatan luasan lahan terbangun dimana terluas terdapat di Kota
administratif Jakarta Timur 2195,7 Ha. Kemudian, di Jakarta Barat 1670,78 Ha,
Jakarta Utara 1573,41 Ha, dan Jakarta Selatan 1553,07 Ha. Pada peningkatan
luasan terbangun tersempit terdapat di Kota administratif Jakarta Pusat 546,72 Ha
atau 0.08% per tahunnya .
35
Jakarta. Provinsi DKI Jakarta sebagian besar (> 50%) luasan penggunaan lahan
terbangun berupa bangunan rumah dengan kategori penggunaan lahan
permukiman 38.658 Ha sebagai potensi banjir.
Persebaran wilayah permukiman penduduk yang bentuklahan aluvial yang
selalu terendam oleh air banjir mencakup semua tempat di :
1. Kota administrasi Jakarta Barat meliputi Kelurahan Kapuk, Cengkareng,
Daan
Mogot,
Kedoya,
Meruya,
Kebun
Jeruk,
Tomang,
Joglo,
36
Jakarta
dan
sekitarnya
perlu
terus
melakukan
penataan
keberkelanjutannya.
Kompleksitas
permasalahan
37
di
Jakarta
Tahun 2010, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 6,7 juta unit,
dengan komposisi kendaraan roda dua mencapai 4,3 juta unit dan roda empat
mencapai 2,4 juta unit. Angka pertumbuhan kendaraan bermotor mencapai 0,7% 0,8% per bulan atau 11% per tahun. Setiap hari Dirlantas Polda Metro Jaya ratarata mengeluarkan 138 STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) baru. Artinya, ada
tambahan 138 kendaraan per hari di atas jalanan Jakarta! Dengan jarak satu
kendaraan dengan kendaraan lain masing-masing setengah meter saja ke muka
dan belakang, maka dibutuhkan ruang (jalan) enam meter per unit. Total per hari
harusnya dibutuhkan tambahan jalan baru sepanjang 828 meter. Saat ini, total
panjang jalan dan total area Jakarta hanya 4%, sementara idealnya sekitar 10% 15%. Karena total panjang jalan masih jauh dari ideal, apakah lantas Jakarta perlu
memperlebar dan menambah jalan baru terus supaya agar tidak macet? Persoalan
transportasi Jakarta makin rumit ketika dihadapkan pada data bahwa rasio jumlah
38
39
40
pertumbuhan
tinggi
pada
periode
tersebut
adalah
sector
pengangkutan dan komunikasi (15,90 persen), sector listrik dan gas (15,29 persen,
dan sektor bangunan dan konstruksi(14,38 persen).
41
Angka PDRB per kapita secara tidak langsung dapat dijadikan indicator
untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu wilayah. Angka yang dihasilkan disini
sifatnya makro karena hanya tergantung dari nilai PDRP dan penduduk
pertengahan tahun tanpa memperhitungkan kepemilikan dari nilai tambah setip
sector ekonomi yang tercipta.
42
43
Dari data di atas terlihat, setiap tahun Jakarta jika dilihat dari segi inflasi
cukup stabil tetapi sangat berbeda jika dilihat dari angka penduduk miskin dan
penduduk yang masuk dalam garis kemiskinan yang setiap tahun selalu
bertambah. Ini menandakan adanya ketimpangan ekonomi antara golongan atas,
menengah, dan bawah yang terpaut sangat jauh. Sehingga diperlukannya
perbaikan-perbaikan tidak hanya makro tapi juga perbaikan mikro agar dapat
menyentuk semua lapis masyarakat. Karena pada dasarnya jika masyarakat bawah
sudah kuat kemandirian ekonominya, Jakarta pada umumnya akan dapat menekan
laju inflasi dan gejolak/gesekan social di masyarakat
44
wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berfungsi sebagai ruang ibukota
negara.
Oleh karena itu pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan
berhasil guna sesuai kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta terjaga keberlanjutannya untuk masa kini
dan masa datang.
Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan bagian
kawasan strategis nasional, maka perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara terpadu dengan kawasan
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur).
Sebagaimana kota-kota besar lain di dunia menghadapi tantangan global,
khususnya pemanasanglobal (global warming) dan perubahan iklim(climate
change) yang membutuhkan aksi perubahan iklim (climate action), baik aksi
adaptasi maupun aksi mitigasi yang perlu dituangkan dalam penataan ruang.
Jakarta berada dalam daerah kotadelta (delta city)sehingga pengaruh
utama tantangan dan kendala daerahdeltamelalui pengelolaan tata air, analisa
resiko bencana, dan perbaikan ekosistem, harus menjadi perhatian utama dalam
penataan ruang.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 habis masa
berlakunya pada tahun 2010, perlu menetapkan kembali Rencana Tata Ruang
Wilayah untuk jangka waktu sampai dengan tahun 2030.
45
dan
inovatif.
Selain itu juga demi terwujudnya pemanfaatan kawasan budi daya secara optimal
dalam rangka memenuhi kebutuhan 12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu)
jiwa penduduk yang persebarannya diarahkan sebanyak 9,2% di Kota
Administrasi Jakarta Pusat, 18,6% di Kota Administrasi Jakarta Utara, 24,1% di
Kota Administrasi Jakarta Timur, 22,6% di Kota Administrasi Jakarta Selatan,
25,3% di Kota Administrasi Jakarta Barat, 0,2.% di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu serta meningkatkan produktivitas dan nilai tambah perkotaan.
Untuk rencana struktur ruang sendiri terdiri atas, sistem pusat kegiatan,
sistem dan jaringan transportasi, sistem prasarana sumber daya air dan sistem
serta jaringan utilitas perkotaan. Rencana struktur ruang Provinsi DKI Jakarta
merupakan perwujudan dan penjabaran dari rencana struktur ruang kawasan
perkotaan Jabodetabek punjur.
Mengenai
mitigasi
bencana
yang
meliputi
pemanfaatan
dan
46
Perda itu juga memuat Peraturan Zonasi yang mengatur struktur ruang dan
pola ruang sistem pusat kegiatan, sistem dan jaringan transportasi, sistem
prasarana sumber daya air, sistem dan jaringan utilitas perkotaan, kawasan
lindung dan kawasan budidaya.
Sebagaimana sebuah perda, maka juga diatur lima kawasan dalam wilayah
DKI Jakarta.Pertamaadalah Kawasan Sektor Informal, meliputi pengembangan
dan pemeliharaan kawasan pusat pedagang kaki lima dan usaha kecil menengah
serta penyediaan ruang bagi sektor informal dalam pengembangan pusat
perniagaan dan perkantoran.
Kedua, kawasan permukiman meliputi pengembangan berdasarkan
karakteristik kawasan, disesuaikan dengan pengembangan kawasanTOD serta
pemanfaatan ruang di kawasan strategis campuran pemukiman dapat berbentuk
pita dansuperblockdengan proporsi 30-65 persen terkait resapan air.
Ketiga,kawasan
strategis
kepentingan
ekonomi,
meliputi
kegiatan
47
48
BAB III.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jakarta sebagai daerah perkotaan dengan status Ibukota Negara (Undang-undang No.
10 tahun 1964), mempunyai fungsi yang bersifat lokal, Regional, Nasional dan
Internasional, dengan masyarakatnya yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang
bermacam-macam dengan jenis kehidupan yang berbeda-beda. Demikian pula kualitas
hidup manusia sebagian besar ditentukan oleh tingkat pendapatannya dan kondisi
pemukimannya, termasuk lingkungan hidupnya.
Struktur ruang wilayah kota merupakan gambaran sistem pusat pelayanan
kegiatan internal kota dan jaringan infrastruktur kota sampai akhir masa
perencanaan, yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kota dan
melayani fungsi kegiatan yang ada/direncanakan dalam wilayah kota pada skala
kota, yang merupakan satu kesatuan dari sistem regional, provinsi, nasional
bahkan internasional. Rencana sturktur ruang kota mencakup: rencana
pengembangan pusat pelayanan kegiatan kota, dan rencana sistem prasarana kota.
Rencana pengembangan pusat pelayanan kegiatan kegiatan kota menggambarkan
lokasi pusat-pusat pelayanan kegiatan kota, hirarkinya, cakupan/skala layanannya,
49
serta dominasi fungsi kegiatan yang diarahkan pada pusat pelayanan kegiatan
tersebut. Sedangkan rencana sistem prasarana kota mencakup sistem prasarana
yang
mengintegrasikan
maupun
Jakarta Timur
1520,54 Ha atau 8,06% (1996), di Jakarta Utara 1533,06 Ha atau 10,97% (2002)
dan 513,62 Ha atau 3,67%. Selanjutnya lahan basah di Jakarta Utara seluas
50
1089,11 Ha atau 7,79% (1996) dan 513,62 Ha atau 3,67% (2007), Kemudian, di
Jakarta Selatan 977,21 Ha atau 6,74% (1996), 107,1 Ha atau 0,74% (2002) dan
134,23 Ha atau 0,93% (2007). Terakhir, pada lahan basah yang tersempit terdapat
di Jakarta Pusat 168,28 Ha atau 3,49% (1996), 87,83 Ha atau 1,82% (2002), dan
Jakarta Barat 121,8 Ha atau 0,93% (2007).
Karena seringnya penyalah gunaan lahan, sehingga merubah kegunaan
lahan itu sendiri yang menyebabkan masalah-masalah yang terjadi sekarang ini.
B. SARAN
Guna menjamin kelangsungan hidup kita dan generasi mendatang
diharapkan agar tetap memiliki kehidupan dan lingkungan dalam suasana
yang baik dan menyenangkan, banyak hal yang dilakukan untuk menjamin
kelangsungan hidup alam semesta, setidaknya kita harus merubah sikap dalam
memandang
dan
memperlakukan
alam
sebagai
hal
bukan
sebagai
51
DAFTAR PUSTAKA
Atlas DKI Jakarta Raya. 1982. Tanah dan Kegiatan Pembangunan. Publikasi
No.214. Direktorat Tata Guna Tanah. Departemen Dalam Negeri.
http://bappedajakarta.go.id/
BPS. 2010. Jakarta Dalam Angka. BPS. Provinsi DKI Jakarta.
Dinas Pertanahan dan Pemetaan Provinsi DKI Jakarta. 2004. GeoInformasi dalam
Penanganan Banjir DKI Jakarta. Pemda DKI Jakarta.
Rawa,
dan
Pantai.
http://www.soil.faperta.ugm.ac.id/tj/1981/1989%20pola.pdf.pkl.
Sandy I.M., 1989. Esensi Pembangunan Wilayah dan Penggunaan Tanah
Berencana. Jurusan Geografi FMIPA-Universitas Indonesia, Jakarta.
Sutikno. 2007. Perpindahan Ibu Kota, Suatu Keharusan atau Wacana?, dalam
http://www.sutikno.org/index.php.
Verstappen, H.Th., 1953. Djakarta Bay, a Geomorphological Study on Shoreline
Development. Doctoral Thesis, Univ. Utrecht, Drukkerij Trios Gravenhage, The
Netherlands
52
53