Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN.

EDEMA PARU NON KARDIOGENIK


OLEH : HANING WAHYU BRAMANTI

A. TINJAUAN TEORI
1. DEFINISI
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paruparu. cairan ini terkumpul dalam kantung-kantung udara di paru-paru banyak,
sehingga sulit untuk bernapas.
Edema paru nonkardiogenik adalah penimbunan cairan pada jaringan interstisial
paru dan alveolus paru yang disebabkan selain oleh kelainan jantung.
2. ETIOLOGI
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh
hal berikut:
a.

Acute respiratory distress syndrome (ARDS)


Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang
bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.

b.

kondisi yang berpotensi serius


disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka paru, penghirupan
racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paruparu.

c.

Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh


Menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah,
berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal

yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan


cairan tubuh.
d.

High altitude pulmonary edema,


yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke ketinggian yang
tinggi lebih dari 10,000 feet.

e.

Trauma otak,
perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang
parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di
paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.

f.

Paru yang mengembang secara cepat


dapat adakalanya menyebabkan re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin
terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah
yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat
pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary
edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).

g.

Penyebab yang jarang terjadi,


overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis
dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang
mungkin menyebabkan pulmonary edema.

3. PATOFISIOLOGI
Secara harafiah pernapasan berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju
ke sel-sel dan keluarnya karbon dioksida dari sel-sel ke udara bebas. Proses
pernapasan terdiri dari beberapa langkah di mana sistem pernapasan, sistem saraf
pusat dan sistem kardiovaskuler memegang peranan yang sangat penting. Pada
dasarnya, sistem pernapasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang

menghantarkan udara luar agar bersentuhan dengan membran kapiler alveoli, yang
merupakan pemisah antara sistem pernapasan dengan sistem kardiovaskuler.
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring,
trakea, bronkus, dan bronkiolus atau bronkiolus terminalis. Saluran pernapasan
dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia.
Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan
dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi
yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet.
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
paru-paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari (1) bronkiolus
respiratorius, yang terkadang memiliki kantung udara kecil atau alveoli pada
dindingnya, (2) duktus alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveoli, dan
(3) sakus alveolaris terminalis, merupakan struktur akhir paru-paru.
Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh
suatu jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas membentuk suatu tegangan
permukaan yang cenderung mencegah suatu pengembangan pada waktu inspirasi
dan cenderung kolaps pada waktu ekspirasi. Tetapi, untunglah alveolus dilapisi
oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan
permukaan dan mengurangi resistensi terhadap pengembangan pada waktu
inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi.
Ruang alveolus dipisahkan dari interstisium paru oleh sel epitel alveoli tipe I, yang
dalam kondisi normal membentuk suatu barrier yang relatif non-permeabel
terhadap aliran cairan dari interstisium ke rongga-rongga udara. Fraksi yang besar
ruang interstisial dibentuk oleh kapiler paru yang dindingnya terdiri dari satu lapis
sel endotel di atas membran basal, sedang sisanya merupakan jaringan ikat yang
terdiri dari jalinan kolagen dan jaringan elastik, fibroblas, sel fagositik, dan
beberapa sel lain. Faktor penentu yang penting dalam pembentukan cairan

ekstravaskular adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen


kapiler dan ruang interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, solut,
dan molekul besar seperti protein plasma. Faktor-faktor penentu ini dijabarkan
dalam hukum starling.

4. MANIFESTASI KLINIS
Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas
CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat
bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin
adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup
pada saat inspirasi.
Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering
terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel
kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.
Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita

hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati
(Ingram and Braunwald, 1988).
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Kadang kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema
paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan
lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler
paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi
peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
5. PENATALAKSANAAN
Posisi duduk.
Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak
bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi
CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara
adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg tiap
5 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 5 ug/kgBB.
Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV
dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis
dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah
sistolik 85 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah
normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ
vital.

Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg


(sebaiknya dihindari).
Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi
urine 1 ml/kgBB/jam.
Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.

Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan


oksigen.

Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan
ruptur dinding ventrikel / corda tendinae.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Fisik
1.

Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.

2.

Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh


lapangan paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang
akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.

3.

Takikardia dengan S3 gallop.

4.

Murmur bila ada kelainan katup.

Elektrokardiografi.
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri
atau aritmia bisa ditemukan.
Laboratorium

1. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
2.

Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.

3.

Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG,

enzim jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.


Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang
menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulangtulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan
sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh
struktur-struktur tulang dari dinding dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan
lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada
biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat
menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan
visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini
mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun
ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang
mungkin mendasarinya.
Gambaran Radiologi yang ditemukan :
1.

Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)

2.

Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)

3.

Kranialisasi vaskuler

4.

Hilus suram (batas tidak jelas)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan b/d edema
KRITERIA HASIL :

1. Terbebas dari edema , efusi

2. Bunyi nafas bersih , tidak ada dyspnew


INTERVENSI :

1. Monitor tanda tanda vital


2. Monitor indikasi retensi/ kelebihan cairan
3. Batasi masukan cairan
4. Pertahankan catatan intake dan output
5. kolaborasi dengan tim dokteR

DAFTAR PUSTAKA
1. Moss M, Ingram RH. Acute Respiratory Distress Syndrome. In:
Harrison, Fauci, Logos, et al. Harrisons Principle of Internal
Medicine 15th Edition on CD-ROM. McGraw-Hill Companies.
Copyright 2001.
2. MMc. Oedema, Noncardiogenic. The Encyclopaedia of Medical
Imaging Volume VII. Update: 2002. Available from:
URL: http://www.amershamhealth.com/medcyclopaedia/Volume%20VII/OEDEMA%20NONCARDIOGENIC.asp.

Anda mungkin juga menyukai