Anda di halaman 1dari 4

Pemanasan Global dan Iktikad Abal-Abal

Sembari meletakkan tubuh di hamparan lantai, seorang kawan mengeluhkan panasnya udara
yang tertangkap oleh badan setibanya di kontarkan dari perjalanan di sekitar Kota Semarang. Hal
senada diungkapkan beberapa orang di sekitar mendapati dua hari ini udara terasa semakin panas
terutama memasuki siang hari. Pun dengan malam hari yang memaksa beberapa dari kita
memilih untuk beristirahat ditemani tiupan angin dari mesin kipas. Sebenarnya, di luar dua hari
ini mesin kipas atau kipas angin sendiri memang sudah lazim ada di hampir setiap ruang kamar
kos atau kontrakan di Kota Semarang dan setidaknya menjadi salah satu di antara banyak
pertanda kualitas udara di Semarang yang kian panas.
Dalam konteks yang sama, Kompas edisi Kamis, 12 Mei 2011 menyajikan berita terkait bencana
banjir akibat guyuran hujan deras yang mengakibatkan Sungai Mississippi meluap hingga
mencapai kedalaman 14,6 meter dan merendam wilayah dataran rendah di sekitar daerah aliran
sungai besar tersebut. Tercatat, banjir menggenangi lebih dari 1 juta hektar tanah pertanian dan
kawasan perumahan di Memphis, Tennessee, membuat ribuan warga mengungsi juga mulai
mengancam sedikitnya dua kilang minyak serta ratusan sumur minyak dan gas di Negara Bagian
Loisinia. Untuk memastikan ancaman banjir ini serius, Gubernur Louisiana Bobby Jindal, selasa
(10/5) menyebutkan belum melihat banjir semacam ini sejak tahun 1927
Tidak hanya itu, konsekwensi logis yang muncul kemudian, banjir Mississippi kali ini
menyebabkan ruang perdebatan ikhwal pemanasan global (global warming) kembali mencuat ke
permukaan terutama dalam lingkup domestik AS, bahkan terakhir telah menjadi isu seksi yang
menarik perhatian internasional. Nampaknya, banjir Mississipi berposisi sebagai faktor pemicu
yang memungkinkan babak baru bagi perbincangan komitmen internasional dalam mengurangi
emisi karbon dalam negeri di bawah kendali organisasi internasional PBB (United Nations).
Sekalipun demikian, harapan berlebihan publik atas iktikad baik negara-negara untuk
menghasilkan komitmen yang lebih serius hanya akan berakhir dalam kadar wacana atau purapura.
Pandangan skeptis ini bukan tanpa dasar bila merunut sejarah panjang perjalanan pembahasan
isu pemanasan global antarnegara dalam unit internasional. Sebagaimana diangkat oleh Aeng
Anwar Sanusi dalam artikelnya, Pemanasan Global Vs Protokol kyoto (2010) yang dikutip
dari berbagai sumber, bahwa cikal-bakal popularitas isu pemanasan global sehingga menjadi isu
internasional dan menarik perhatian (United Nations) bermula dari konferensi di Villach, Austria
tahun 1985 yang dimotori oleh kalangan ilmuwan, cendekiawan dan aktivis lingkungan menyoal
potensi serius kerusakan lingkungan sebagai dampak perubahan iklim yang ekstrim akibat
pemanasan global.

Melalui mekanisme sidang umum PBB dibentuklah INC (Intergovernmental Negotiating


Committee) yang mempunyai tugas menegosiasikan draft materi untuk keperluan konvensi
perubahan iklim. Untuk menghasilkan draft yang kemudian dibawa pada United Nations
Confrence on Enviroment and Development di Rio de Jeneiro, Brasil pada tahun 1992, terlebih
dahulu INC mengadakan pertemuan sebanyak enam kali. Adapun pertemuan yang juga dikenal
dengan nama Earth Summit atau KTT Bumi ini menghasilkan dua keputusan penting, yakni
konvensi PBB tentang keanekaragaman hayati dan konvensi kerangka kerja PBB terkait
perubahan iklim. Dengan hasil ini, tercatat 155 negara turut ambil bagian dalam komitmen
politik untuk menjaga kesehatan lingkungan bumi.
Lebih jauh, di bawah naungan program lingkungan PBB, United Nations Environment Program
(UNEP), UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) mengadakan
konferensi internasional untuk membahas masalah-masalah lingkungan khususnya pemanasan
global yang dihelat setahun sekali sejak tahun 1995. Mulai diberlakukan sejak 21 Maret 1994,
sampai pada 2010 UNFCCC telah mempunyai anggota tetap sebanyak 189 negara, termasuk
Indonesia yang secara resmi meratifikasinya pada tahun 1994 sebagaimana tertuang dalam UU
No.6 tahun 1994. Secara rutin, negara anggota UNFCC mengadakan pertemuan tahunan
Conference of Parties (COP) dan pertemuan dua kali setahun Subsidiary Body for
Implementation (SBI) juga Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA).
Hingga saat ini, secara keseluruhan, terdapat tiga produk utama perjanjian internasional yang
mewarnai perbincangan isu pemanasan global. Pertama, Protokol Montreal. Seperti dijelaskan di
Wikipedia, protokol montreal merupakan sebuah traktat atau perjanjian internasional yang
dirancang untuk melindungi lapisan ozon dengan mencegah segala bentuk kegiatan produksi
yang menghasilkan sejumlah zat yang diyakini bertanggungjawab atas berkurangnya lapisan
ozon. Fenomena menipisnya lapisan ozon inilah yang ditengarai menjadi sebab terjadinya
pemanasan global di bumi yang berujung pada intensitas bencana alam global. Ditandatangani
pada 16 September 1987, traktat ini berlaku sejak 1 Januari 1989. Dan Sejak itu pula, traktat ini
telah mengalami lima kali revisi yaitu pada 1990 di London, 1992 di Kopenhagen, 1995 di
Vienna, 1997 di Montreal dan 1999 di Beijing.
Kedua, Protokol Kyoto (Wikipedia). Merupakan produk dari perjanjian internasional berbentuk
protokol sebagai hasil dari pertemuan Confrence of Parties (CoP) ke-3 yang diadakan di Kyoto,
Jepang pada Desember 1997 oleh negara-negara yang tergabung dalam UNFCCC. Protokol
Kyoto menghasilkan keputusan utama berupa penekanan komitmen negara-negara yang
terkalsifikasi ke dalam kelompok Annex I dan non-Annex I (negara-negara berkembang) untuk
bersama-sama mengurangi emisi gas rumah kaca dalam negeri setidaknya sebesar rata-rata 5% di
bawah level emisi tahun 1990 untuk kurun waktu 2008-2012 (artikel 3 protokol kyoto).
Terhitung, sejumlah 38 negara industri maju yang tergabung dalam kelompok Annex I di Eropa,
Amerika Utara, termasuk Australi dan Jepang meratifikasi protokol ini, minus Amerika Serikat.

Ketiga, Bali Road Map (Peta perjalanan Bali). Sama seperti Protokol Kyoto, merupakan
kelanjutan agenda pertemuan tahunan yang digagas UNFCCC di Nusa Dua, Bali pada tahun
2007. Selain dimaksudkan untuk menetapkan gambaran kesepakatan lanjutan paska-selesai
berlakunya komitmen yang termaktub dalam Protokol Kyoto, Bali Road Map ini juga berhasil
memutuskan beberapa poin kesepakatan baru bagi negara-negara untuk lebih serius dalam
menjalankan langkah-langkah pencegahan pemanasan global. Di antaranya, aksi untuk
melakukan kegiatan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, cara mengurangi emisi
gas rumah kaca, cara mengembangkan dan memanfaatkan teknologi alternatif yang lebih
bersahabat dengan iklim, dan penjelasan pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi.
Faktanya, beragam rumusan konsep yang dihasilkan berbentuk aneka produk perjanjian
internasional dan terus diperbarui dari tahun ke tahun, tidak lantas menyuguhkan langkah nyata
aksi penghambatan pemanasan global oleh neagara. Justru, dewasa ini kita lebih sering
mendapati iktikad tersebut diusung oleh himpunan komunitas sipil internasional di luar negara
(Non-State Actor). Fenomena ini dapat dijelaskan melalui beberapa pertimbangan antara lain;
pertama, lemahnya kekuatan produk perjanjian internasional yang dihasilkan. Dalam studi ilmu
hubungan internasional dijelaskan, perjanjian internasional (multilateral) bersamaan dengan
segala ragam produknya mengikuti pola non-compulsory jurisdiction.
Artinya, tidak ada kewajiban terikat bagi masing-masing negara untuk melaksanakan segala
bentuk hasil konsensus, begitupula dengan nihilnya sanksi bagi negara pembangkang, terlebih
bagi negara yang tidak turut melakukan ratifikasi (pengesahan oleh lembaga eksekutif-legislatif
dalam negeri) terhadap produk perjanjian internasional tersebut. Dengan demikian, sekalipun di
bawah kendali langusung PBB, produk perjanjian internasional tentang pemanasan global secara
de facto lebih bers ifat persuasif. Kedua, kelemahan ini semakin diperkuat dengan fakta sejarah
politik luar negeri suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain, baik dalam konstelasi
bilateral ataupun multilateral, dijalankan sebagai seni dalam mengedepankan kepentingan
nasional (National Interest).
Dan prinsip kepentingan nasional suatu negara akan terus sejalan dengan pertimbangan untungrugi sebagaimana konsep rational-choice (pilihan rasional). Dalam kondisi yang normal (posisi
yang sama), setiap negara baru dan hanya akan melaksanakan aktivitas politik luar negerinya
ketika kuantitas keuntungan yang akan dicapai lebih banyak memihak pada kepentingan
domestiknya. Kondisi ini dapat menerangkan keengganan Amerika Serikat yang notabene
terkategori sebagai salah satu negara industri maju untuk sepenuhnya berserah diri pada beberapa
konvensi terkait pemanasan global dalam rangka pengurangan emisi karbon dalam negeri.
Sementara, kuantitas emisi karbon seruang dengan pemahaman geliat aktifitas produksi industri
suatu negara.
Hal ini sekaligus menjadi alasan yang sama bagi negara industri maju yang telah meratifikasi
untuk bersikap setengah hati dan semakin menegaskan alasan negara-negara berkembang di

tengah geliat peralihan menuju negara industri untuk mengejar ketertinggalan. Terakhir,
pemanasan global akan tetap menjadi isu laten yang siap muncul dan tenggelam beberapa saat
serta tidak lebih dari salah satu bagian perbendaharaan manuver politis internasional sebagai
manifestasi dari iktikad abal-abal suatu negara. Hanya, kecuali setiap negara baik negara maju
maupun negara berkembang sebagai aktor beriktikad baik dalam tataran aplikasi dibarengi
dengan penyempurnaan rumusan konsep yang memuat kelengkapan pendukung sehingga tidak
lagi bersifat idealis-utopis yang menempatkan negara dalam posisi dilematis. Salam.

Anda mungkin juga menyukai