Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku
2.1.1. Pengertian Perilaku
Perilaku adalah sesuatu yang berasal dari dorongan yang ada dalam diri
manusia, sedang dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada
dalam diri manusia. Perilaku merupakan perwujudan dari adanya kebutuhan
(Purwanto, 1999).
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan
manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing.
Sehingga yang dimaksud perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau
aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara
lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan
sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku
(manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. (Notoatmojo, 2003)
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan
respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena
itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan
kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut teori S-O-R
atau Stimulus-Organisme-Respons. Skiner membedakan adanya dua respons :

Universitas Sumatera Utara

1. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh


rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting
stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Misalnya:
makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang
menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons ini juga
mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih
atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan mengadakan pesta,
dan sebagainya.
2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang
ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respons.
Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik
(respons terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh
penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan
lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua : (Notoatmojo, 2003)
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup
(covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima
stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

Universitas Sumatera Utara

2. Perilaku terbuka (overt behavior)


Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau
praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktek (practice) misal,
seorang ibu memeriksa kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk
diimunisasi, penderita TB. paru minum obat secara teratur, dan sebagainya.
Seperti telah disebutkan di atas, sebagian besar perilaku manusia adalah
operant response. Oleh sebab itu untuk membentuk jenis respon atau perilaku perlu
diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur
pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut Skiner adalah sebagai
berikut.
a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer
berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.
b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut
disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang
dimaksud.
c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan
sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing
komponen tersebut.
d. Melakukan pembentukan perilaku dengan mengunakan urutan komponen yang
telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya

Universitas Sumatera Utara

diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut
cenderung akan sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan
komponen (perilaku) yang kedua yang kemudian diberi hadiah (komponen
pertama tidak memerlukan hadiah lagi). Demikian berulang-ulang sampai
komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga,
keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.
2.1.2. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
(Notoatmojo, 2003)
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
a. Proses Adopsi Perilaku
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Penelitian Rongers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi
proses yang berurutan, yakni. (Notoatmojo, 2003)
1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.

Universitas Sumatera Utara

3. Evaluation (menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi


dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.
5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti
ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang posistif, maka perilaku
tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak
didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
b. Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan.
(Notoatmojo, 2003)
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangangan yang
telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling
rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
Contoh: dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak
balita.

Universitas Sumatera Utara

2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan
makanan yang bergizi.
3. Aplikasi (aplication)
diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan
sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus
statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsipprinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam pemecahan
masalah kesehatan dari kasus yang diberukan.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-koponen, tetapi masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, memngelompokkan,
dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada sesuatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sitesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasiformulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat
meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau
rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang
kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya diare di suatu tempat, dapat
menafsirkan sebab-sebab ibu-ibu tidak mau ikut KB, dan sebagainya.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.
2.1.3. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut salah seorang ahli psikologis sosial,
Newcomb, yang dikutip oleh Notoatmodjo, menyatakan bahwa sikap itu merupakan
kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap

Universitas Sumatera Utara

belum merupakan tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi


tindakan atau perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan
reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka.
Menurut Allport (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo, menjelaskan bahwa
sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yaitu :
1). Kepercayaan (keyakinan), ide,dan konsep terhadap suatu objek.
2). Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek.
3). Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri atas empat tingkatan, yaitu :
1). Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2). Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu
usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,
terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang
menerima ide tersebut.
3). Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi dari sikap menghargai.

Universitas Sumatera Utara

4). Bertanggung jawab (Responsible)


Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.1.4. Praktek atau Tindakan (action)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap
ibu yang positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya, dan
ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasikan
anaknya. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan dukungan (support) dari pihak
lain, misalnya dari suami atau istri, orangtua atau mertua, dan lain-lain. (Notoatmojo,
2003)
Praktek ini mempunyai beberapa tingkatan.
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu dapat
memilih makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya.
2. Respons terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua. Misalnya, seseorang ibu
dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotongmotongnya, lamanya memasak, menutup pancinya, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

3. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek
tingkat tiga. Misalnya, seorang ibu yang sudah mengimunisasikan bayinya pada
umur-umur tertentu, tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.
4. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan
tersebut. Misalnya, ibu dapat memilih dan memasak makanan yang bergizi tinggi
bedasarkan bahan-bahan yang murah dan sederhana.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung,
yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
Sebuah penelitian terhadap perilaku ibu tentang makanan jajanan yang
mengandung pemanis buatan (sintetik) yang dilakukan oleh Sari (2010) yang
menemukan bahwa perilaku ibu tentang makanan jajanan yang mengandung pemanis
buatan di TK AL-UMMI di Aceh Utara berada pada kategori sedang, hal ini
dikarenakan ibu masih menuruti keinginan anak dalam memilih dan mengonsumsi
makanan jajanan, meskipun makanan jajanan tersebut mengandung pemanis buatan.
Dari penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perlu dilakukan peningkatan
penyuluhan oleh petugas puskesmas mengenai bahan tambahan pangan yang

Universitas Sumatera Utara

berbahaya bagi kesehatan anak kepada ibu, agar ibu mampu memilih makanan yang
baik dikonsumsi oleh anaknya.
Hasil penelitian lainnya oleh Daniaty (2009) mengenai pengetahuan, sikap
dan tindakan siswa SMP 3 dan SMA Negeri 1 Binjai tentang makanan dan minuman
jajanan

yang

mengandung

bahan tambahan

pangan,

menunjukkan

bahwa

pengetahuan responden SMP Negeri 3 Binjai lebih banyak pada kategori sedang
(50,79%) sedangkan responden SMA Negeri 1 Binjai lebih banyak pada kategori baik
(59,38%). Sikap responden SMP Negeri 3 Binjai lebih banyak pada kategori sedang
(53,57%) sedangkan responden SMA Negeri 1 Binjai lebih banyak pada kategori baik
(72,73%). Sementara itu, tindakan responden dari kedua sekolah berada pada kategori
sedang masing-masing sebanyak 63,49% dan 62,50%.
2.2. Pangan
Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia. Termasuk di dalamnya adalah bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan atau pembuatan makanan dan minuman. (Saparinto dkk, 2006)
Berdasarkan cara perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi 3 yakni
(Saparinto dkk,2006) :
1. Pangan segar, adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan segar
dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung, yakni dijadikan bahan baku
pengolahan pangan.

Universitas Sumatera Utara

2. Pangan olahan, adalah makanan atau minuman hasil proses pegolahan dengan cara
atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Contoh: teh manis, nasi,
pisang goreng, dan sebagainya. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi pangan
olahan siap saji dan tidak siap saji.
a. Pangan olahan siap saji adalah makanan dan minuman yang sudah diolah dan
siap disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.
b. Pangan olahan tidak siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah
mengalami proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan
pengolahan lanjutan untuk dapat dimakan atau diminum.
3. Pangan olahan tertentu, adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok
tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan. Contoh:
ekstrak tanaman stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untuk orang
yang menjalani diet rendah lemak, dan sebagainya.
2.3. Makanan
Menurut Depkes RI (2004) yang dikutip oleh Sari (2010), makanan
merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia untuk dapat melangsungkan
kehidupan selain kebutuhan sandang dan perumahan. Makanan selain mengandung
nilai gizi juga merupakan media untuk dapat berkembang biaknya mikroba atau
kuman, terutama makanan yang mudah membusuk yaitu makanan yang mengandung
kadar air serta nilai protein yang tinggi. Kemungkinan lain masuknya atau beradanya
bahan-bahan berbahaya seperti bahan kimia, residu pestisida serta bahan lainnya
antara lain debu, tanah, rambut manusia dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan
manusia.

Universitas Sumatera Utara

Makanan yang dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan


tersebut layak untuk dimakan dan tidak menimbulkan penyakit, diantaranya : (Prabu,
2008)
1. Berada dalam derajat kematangan yang dikehendaki
2. Bebas dari pencemaran di setiap tahap produksi dan penanganan selanjutnya.
3. Bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari
pengaruh enzym, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, parasit dan
kerusakan-kerusakan karena tekanan, pemasakan dan pengeringan.
4. Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit yang
dihantarkan oleh makanan (food borne illness).
2.4. Bahan Tambahan Pangan (BTP)
2.4.1. Pengertian Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Pengertian bahan tambahan pangan (makanan), menurut Permenkes 722, 1988
(Hariyadi dkk, 2009) adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan
dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak
mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk
maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan,
perlakuan, pegepakan, pengemasan, penyimpanan, atau pengangkutan makanan untuk
menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu
komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut.
Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi
pangan pada bab I pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan bahan tambahan

Universitas Sumatera Utara

pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi


sifat atau bentuk pangan atau produk makanan. (Saparinto dkk, 2006).
Menurut FAO (1980), bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja
ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat
dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan. Bahan ini berfungsi
untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa
simpan, dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama. Menurut codex, bahan
tambahan pangan adalah bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan , yang
dicampurkan secara sengaja pada proses pengolahan makanan. Bahan ini ada yang
memiliki nilai gizi dan ada yang tidak. (Saparinto dkk, 2006)
Pemakaian bahan tambahan pangan (BTP) di Indonesia diatur oleh
Departemen Kesehatan. Sementara, pengawasannya dilakukakan oleh Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM). (Saparinto dkk, 2006)
2.4.2. Tujuan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau
mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih
mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya
bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut
(Cahyadi, 2008) :
1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan,
dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat
mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu bpengolahan, sebagai contoh
pengawet, pewarna dan pengeras.

Universitas Sumatera Utara

2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak
mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat tidak sengaja, baik dalam
jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi,
pengolahan, dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau
kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan
mentah atau penangannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan
dikonsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu
pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dan rodentia), antibiotik, dan
hidrokarbon aromatik polisiklis.
2.4.3. Sumber-sumber Bahan Tambahan Pangan
Berdasarkan sumbernya, bahan tambahan pangan dapat digolongkan menjadi
dua golongan, yakni bahan tambahan pangan alami dan buatan.(Saparinto dkk, 2006)
1. Bahan tambahan pangan alami
Bahan tambahan pangan alami hingga saat ini masih mendapat tempat di hati
masyarakat. Bahan ini dipandang lebih aman bagi kesehatan dan mudah didapat.
Namun di sisi lain, bahan tambahan pangan alami mempunyai kelemahan, yaitu
relatif kurang stabil kepekatannya karena mudah terpengaruh oleh panas. Selain itu,
dalam peggunaannya dibutuhkan jumlah yang cukup banyak.
2. Bahan tambahan pangan sintetis
Bahan tambahan pangan sintetis merupakan hasil sintetis secara kimia.
Keuntungan menggunakan bahan tambahan pangan sintetis adalah lebih stabil, lebih
pekat, dan penggunaannya hanya dalam jumlah sedikit. Namun kelemahannya, bahan
ini dikhawatirkan dapat menimbulkan efek samping terhadap kesehatan, bahkan ada

Universitas Sumatera Utara

beberapa bahan tambahan pangan yang bersifat karsinogenik (dapat memicu


timbulnya kanker).
2.4.4. Jenis-jenis Bahan Tambahan Pangan
Ada beberapa jenis bahan tambahan pangan : (Cahyadi, 2008)
1. Bahan Pengawet
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang
mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat
proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba.
Akan tetapi, tidak jarang produsen menggunakannya pada pangan yang relatif awet
dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur.
Pengawet yang banyak dijual di pasaran dan digunakan untuk mengawetkan
berbagai bahan pangan adalah benzoat, yang umumnya terdapat dalam bentuk
natrium benzoat atau kalium benzoat yang bersifat lebih mudah larut. Benzoat sering
dugunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman seperti sari buah,
minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap, dan lain-lain.
Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya.
Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi
tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat
yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertubuhannya
juga berbeda. Pada saat ini, masih banyak ditemukan penggunaan bahan-bahan
pengawet yang dilarang untuk digunakan dalam pangan dan berbahaya bagi
kesehatan, seperti boraks dan formalin.

Universitas Sumatera Utara

a. Boraks
Salah satu bahan tambahan pangan yang dilarang penggunaannya oleh
pemerintah adalah asam borat dan garam natrium tetrabonat (boraks). Akhir-akhir ini
produsen makanan sering menggunakan boraks sebagai bahan pengawet, khususnya
pada bakso, kerupuk, pempek, pisang molen, pangsit, tahu, dan bakmi. Hal ini bisa
terjadi karena minimnya pengetahuan, lemahnya pengawasan dari lembaga
pemerintah, dan alasan ekonomi. Tujuan penambahan boraks pada proses pengolahan
makanan adalah untuk meningkatkan kekenyalan, kerenyahan, serta memberikan rasa
gurih dan kepadatan terutama pada jenis makanan yang mengandung pati.
Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap organ tubuh
tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Gejala awal keracunan
boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu setelah mengonsumsi atau
kontak dalam dosis toksis. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan
hal-hal berikut :
-

Sakit perut sebelah atas , muntah, dan mencret.

Sakit kepala, gelisah.

Penyakit kulit berat (dermatitis).

Muka pucat dan kadang-kadang kulit kebiruan (cyanotis).

Sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah.

Hilangnya cairan dalam tubuh (dehidrasi), ditandai dengan kulit kering dan
koma (pingsan).

Degenerasi lemak hati dan ginjal.

Otot-otot muka dan anggota badan bergetar diikuti dengan kejang-kejang.

Universitas Sumatera Utara

Kadang-kadang tidak kencing dan sakit kuning.

Tidak memiliki nafsu makan (anoreksia), diare ringan, dan sakit kepala.
Boraks biasanya digunakan dalam industri gelas, pelicin porselin, alat

pembersih, dan antiseptik. Kegunaan boraks yang sebenarnya adalah sebagai zat
antiseptik, obat pencuci mata, salep untuk menyembuhkan penyakit kulit, salep untuk
mengobati penyakit bibir., dan pembasmi semut. (Saparinto dkk, 2006)
Menurut penelitian Tarigan (2010), hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
66 sampel sayur yang diperiksa, terdapat 22 sayur yang mengandung boraks.
Pemeriksaan secara kuatitatif diperoleh pada sayur daun singkong kadar terendah
sebesar 1,731 gr/kg dan tertinggi 3, 709 gr/kg.
b. Formalin
Formalin merupakan gas formadehid yang tersedia dalam bentuk larutan
40%. Bahan ini bisa diperoleh dengan mudah di toko-toko media. Formalin bisa
berbentuk cairan jernih, tidak berwarna, dan berbau menusuk, atau berbentuk tablet
dengan berat masing-masing 5g.
Formalin sebenarnya adalah bahan pengawet yang digunakan di dalam dunia
kedokteran, misalnya sebagai bahan pengawet mayat. Bahan ini juga biasa digunakan
untuk mengawetkan hewan-hewan untuk keperluan penelitian. Selain sebagai bahan
pengawet, formalin juga memiliki fungsi lain sebagai berikut :
- Zat antiseptik untuk membunuh mikroorganisme.
- Desinfektan pada kandang ayam.
- Bahan pembuat deodoran
- Bahan campuran dalam pembuatan kertas tisu untuk toilet

Universitas Sumatera Utara

- Bahan baku industri pembuatan lem.


Kesalahan fatal yang dilakukan oleh para produsen makanan adalah
menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanan. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya informasi tentang formalin dan bahayanya, tingkat kesadaran kesehatan
masyarakat yang masih rendah, harga formalin yang sangat murah, dan
kemudahannya didapat.
Efek samping penggunaan formalin tidak secara langsung akan terlihat. Efek ini
hanya terlihat secara kumulatif, kecuali jika seseorang mengalami keracunan formalin
dengan dosis tinggi. Keracunan formalin bisa mengakibatkan iritasi lambung dan
alergi. Formalin juga bersifat karsinogen (menyebabkan kanker) dan menyebabkan
mutagen (menyebabkan perubahan funsi sel). Dalam kadar yang sangat tinggi
formalin bisa menyebabkan kegagalan peredaran darah yang bermuara pada
kematian. (Saparinto dkk, 2006)
2. Bahan Pewarna
Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat
digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara
pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang
seragam dan merata. Zat warna yang sudah sejak lama dikenal dan digunakan,
misalnya daun pandan atau daun suji dan kunyit untuk warna kuning. Kini dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi telah ditemukan zat warna sintetis,
karena penggunaannya lebih praktis dan harganya lebih murah.
Rhodamin B adalah salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada
industri tekstil dan kertas . Zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang

Universitas Sumatera Utara

penggunaannya pada makanan (Peraturan Menkes No.1168/Menkes/ PER/ X/ 1999).


Namun penggunaan Rhodamine dalam makanan masih terdapat di lapangan.
Rhodamin B sering disalahgunakan untuk pewarna pangan (kerupuk,makanan
ringan,es-es dan minuman yang sering dijual di sekolahan) serta kosmetik dengan
tujuan menarik perhatian konsumen. (Hamdani, 2011)
Kita dapat mengenali ciri makanan yang menggunakan Rhodamin B, yaitu
biasanya makanan yang diberi zat pewarna ini lebih terang atau mencolok warnanya,
memiliki rasa agak pahit, muncul rasa gatal di tenggorokan setelah mengonsumsinya,
baunya tidak alami sesuai makanannya, harganya murah seperti saus yang cuma
dijual Rp. 800 rupiah per botol.
Menurut penelitian Nasution 2009, ditemukan Rhodamin B dalam cabe merah
giling pada salah satu pedagang dari pusat pasar. Adapun kadar Rhodamin B yang
terkandung dalam cabe merah giling adalah 0,419 dalam setiap 100 gr cabe merah
giling.
Menurut penelitian Al Kautsar (2010), hasil pemeriksaan laboratorium
terhadap syrup menunjukkan bahwa dari 10 sampel yang diperiksa seluruhnya
menggunakan zat pewarna buatan. 2 sampel menggunakan zat pewarna yang dilarang
, 8 sampel menggunakan zat pewarna buatan yang diizinkan yaitu Sunset Yellow,
Tartrazine, dan Karmoisin, dengan kadar yang bervariasi yaitu 41,44 mg/lt, 17, 04
mg/lt, 46,72 mg/lt, 32,64 mg/lt, 36, 84 mg/lt, 17 mg/lt, 4,36 mg/ lt, 36,36 mg/lt.
Berdasarkan Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 batas kadar maksimum zat
pewarna di atas 70 mg/lt.

Universitas Sumatera Utara

3. Bahan Pemanis
Zat pemanis sintetis merupakan zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau
dapat membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis tersebut. Sedangkan
kalori yang dihasilkannya jauh lebih rendah daripada gula.
Pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan dan digunakan
untuk keperluan produk olahan pangan, industri, serta minuman dan makanan
kesehatan.
Perkembangan industri pangan dan minuman akan kebutuhan pemanis dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Industri pangan dan minuman lebih menyukai
menggunakan pemanis sintetis karena selain harganya realtif murah, tingkat
kemanisan pemanis sintetis jauh lebih tinggi dari pemanis alami. Hal tersebut
mengakibatkan terus meningkatnya penggunaan pemanis sintetis terutama sakarin
dan siklamat.
Penggunaan pemanis buatan yang melampaui batas maksimal yang
diperbolehkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Misalnya: kanker kandung
kemih akibat mengonsumsi siklamat dan terputusnya plasenta akibat mengonsumsi
sakarin.
4. Penyedap Rasa dan Aroma
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang
Bahan Tambahan Pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa didefenisikan
sebagai bahan tambahan pangan yang dapat memberikan, menambah atau
mempertegas rasa dan aroma. Bahan penyedap mempunyai beberapa fungsi dalam
bahan pangan sehingga dapat memperbaiki, membuat lebih bernilai atau diterima,

Universitas Sumatera Utara

dan lebih menarik. Sifat utama pada penyedap adalah memberi ciri khusus suatu
pangan, seperti flavor jeruk manis, jeruk nipis, lemon, dan sebagainya.
Zat penyedap rasa sintetis berasal dari hasil sintetis zat-zat kimia, misalnya
vetsin atau MSG (monosodium glutamat). Tahun 1987 WHO menghapus batasan
penggunaan zat penyedap rasa, khususnya asam glutamat yang semula dibatasi 120
mg/kg berat badan/hari. Dengan kata lain, WHO menyatakan bahwa MSG aman
untuk dikonsumsi. Dengan dihapusnya batasan penggunaan MSG, banyak orang lupa
dengan daya toleransi tubuh terhadap MSG, yang bisa berakibat fatal bagi kesehatan.
Penggunaan MSG yang berlebihan lebih banyak mengandung resiko daripada
manfaat.
5. Antikempal
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88
tentang Bahan Tambahan Pangan, yang dimaksud antikempal adalah bahan tambahan
pangan yang dapat mencegah mengempalnya pangan berupa serbuk juga mencegah
mengempalnya pangan yang berupa tepung. Bahan tambahan ini biasanya
ditambahkan pada makanan yang berbentuk serbuk, misalnya garam meja atau merica
bubuk dan bumbu lainnya agar pangan tersebut tidak mengempal dan mudah dituang
dari wadahnya.
6. Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat oksidasi di dalam
bahan. Penggunaan meliputi bahan, antara lain lemak hewani, minyak nabati, produk
pangan dengan kadar lemak tinggi, produk pangan berkadar lemak rendah, produk
daging, produk ikan, dan produk lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

7. Pengemulsi, Pemantap, dan Pengental


Pegemulsi adalah suatu bahan yang dapat mengurangi kecepatan tegangan
permukaan dan tegagnan antara dua fase yang dalam keadaan normal tidak saling
melarutkan, menjadi dapat bercampur dan selanjutnya membentuk emulsi.
8. Pengatur Keasaman
Pengatur keasaman (asidulan) merupakan senyawa kimia yang bersifat asam
dan merupakan salah satu dari bahan tambahan pangan yang sengaja ditambahkan ke
dalam pangan dengan tujuan mencegah pertumbuhan mikroba dan bertindak sebagai
pengawet.
9. Pemutih, Pematang Tepung, dan Pengeras
Pemutih, pematang tepung, serta pengeras adalah beberapa diantara jenis
kelompok bahan tambahan pangan yang digunakan. Pemutih dan pematang tepung
merupakan bahan tambahan pangan yang seringkali digunakan pada bahan tepung
dan produk olahannya, dengan maksud karakteristik warna putih yang merupakan ciri
khas tepung yang bermutu baik tetap terjaga, begitu halnya dimaksudkan untuk
memperbaiki mutu selama proses pengolahannya, seperti dalam hal pengembangan
adonannya selama pemanggangan. Sedangkan pengeras sering digunakan untuk
memperkeras atau mencegah melunaknya pangan. Contoh penggunaan adalah
senyawa kapur dalam upaya memperkeras produk keripik atau dalam pembuatan
pikel atau buah kalengan. Penggunaan bahan-bahan tersebut harus sesuai dengan
peraturan pemakaian dan dosis penggunaannya, hal itu berkaitan dengan efek
beberapa bahan tersebut terhadap kesehatan yang dapat membahayakan jika melebihi
dosis yang diperbolehkan.

Universitas Sumatera Utara

2.4.5. Persyaratan Bahan Tambahan Pangan


Menurut Depkes RI (2004) yang dikutip oleh Sari (2010), pada dasarnya
pesyaratan bahan tambahan pangan yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Harus telah mengalami pengujian dan evaluasi toksikologi
2. Harus tidak membahayakan kesehatan konsumen pada kadar yang diperlukan
dalam penggunaanya.
3. Harus selalu dipantau terus-menerus dan dilakukan evaluasi kembali jika
perlu sesuai dengan perkembangan teknologi dan hasil evaluasi toksikologi.
4. Harus selalu memenuhi persyaratan spesifikasi dan kemurnian yang telah
ditetapkan.
5. Harus dibatasi penggunaannya hanya untuk tujuan tertentu dan hanya jika
maksud penggunaan tersebut tidak dapat dicapai dengan cara lain secara
ekonomis dan teknis.
6. Sedapat mungkin penggunaannya dibatasi agar makanan tertentu dengan
maksud tertentu dan kondisi tertentu serta dengan kadar serendah mungkin
tetapi masi berfungi seperti yang dikehendaki.

Universitas Sumatera Utara

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

Karakteristik Guru
- Umur
- Jenis Kelamin
- Pendidikan
- Masa Kerja

Pengetahuan Guru

Sumber Informasi mengenai


makanan yang mengandung
bahan tambahan pangan :
Media Cetak
Media Elektronik
Petugas Kesehatan
Keluarga/ kerabat

Sikap Guru

Tindakan Guru

Dari kerangka konsep di atas dijelaskan bahwa pengetahuan guru tentang


makanan yang mengandung bahan tambahan pangan dapat dilihat dari karakteristik
guru (umur, jenis kelamin, pendidikan dan masa kerja) dan sumber informasi
mengenai makanan yang mengandung bahan tambahan pangan (media cetak, media
elektronik, petugas kesehatan, keluarga/ kerabat), sedangkan tindakan guru tentang
makanan yang mengandung bahan tambahan pangan dapat dapat dilihat dari
pengetahuan dan sikap guru tentang makanan yang mengandung bahan tambahan
pangan dan juga pengetahuan langsung berhubungan dengan tindakan guru.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai