Anda di halaman 1dari 7

ARA

Memang sebuah kebetulan jika aku menemuimu malam ini. Sama


seperti aku menemui dirinya dulu. Dulu sekali. Apakah dirimu percaya
akan sebuah kebetulan?
Kebetulan itu tak ada. Keajaibanlah yang ada, katanya mendebat
pernyataanku.
Bukankah keajaiban itu juga sama dengan kebetulan? Ajaib memang
kalau kamu katakan kebetulan itu tak ada, sedangkan kesalahan itu
ada. Hahaha..., ejekku sambil tertawa puas.
Jelas berbedalah. Tuhan tak menciptakan kebetulan, semuanya sudah
diatur. Dan semua keteraturan yang tak bisa manusia perkirakan,
itulah keajaiban. Jadi, ini bukan masalah betul atau salah! bantahnya
sedikit marah.
Hahaha..., tawaku tambah puas.
Kenapa kamu tertawa? Apa yang lucu? Oh iya, aku lupa kalau kamu
tak percaya Tuhan, tanyanya sambil menggerutu.
Hahaha...bukan begitu. Aku hanya suka lihat caramu marah padaku.
Kamu mengingatkan aku pada ibuku, kataku tersenyum.
Oh, jadi kamu sengaja buat aku marah? Puas sekarang? gerutunya
semakin tak jelas.
Kamu
keliru
menangkap
menenangkannya.

maksudku,

jawabku

mencoba

Memangnya apa maksudmu? tanyanya sambil mengeryitkan kedua


alisnya yang berkosmetik.
Aku hanya tersenyum menatap kedua bola matanya yang cerah. Aku
merasa bahagia bisa bersama dirimu sekarang, kataku membatin.
Kebetulan memang, jika malam ini aku merasa bahagia bersamamu.
Sama bahagianya seperti aku bersama dia dulu. Tak bahagiakah dirimu
malam ini, sama bahagianya seperti aku malam ini?
Kamu kalo diem aja, aku jadi ngantuk loh. Cerita dong...., pintamu
memanja.
Emangnya kamu mau aku ceritain apa? tanyaku sambil tersenyum
melihat wajahmu yang manis.
Coba ceritain tentang dirimu aja,

Hmm....hehehe. Gimana ya, aku selalu bingung kalo cerita tentang


diriku sendiri,
Ayolah. Masa sudah hidup lama, kamu belum menemukan dirimu
sendiri?
Aku hanya bisa tersenyum melihatmu, tapi dalam hati aku berkata,
Aku memang belum menemukan diriku sendiri, dan mungkin karena
itulah aku menemuimu malam ini. Secara kebetulan atau secara ajaib
semesta mendukung?
Semesta mendukung?
Ya, mungkin semesta mendukung. Selama ini aku meminta-minta
untuk bisa menemukan diriku, yang selalu aku dapat adalah
menemukan diriku dalam diri selain aku. Entah dalam bentuk apapun.
Dan malam ini sekali lagiaku menemukannya dalam bentuk dirimu.
Percayakah dirimu pada semesta yang mendukung ini? Aku percaya.
Memangnya orang se-ateis kamu bisa percaya? tanya dirinya dulu.
Dulu sekali lagi.
Menurutmu aku ateis? tanyaku balik.
Kalo kamu bukan ateis, lalu kamu apa? Kristen? Buddha? Islam? Atau
Hindu?
Hahaha...aku bukan semua yang kamu sebutkan tadi,
Lalu? tanyanya ketus.
Aku manusia biasa. Tanpa embel-embel tadi. Aku manusia biasa yang
hanya butuh makanan, air, udara, tanah, kebebasan, pengetahuan,
dan cinta, serta manusia lain seperti kamuuntuk saling berbagi.
Berarti kamu gak butuh Tuhan kan?
Justru butuh banget,
Lalu, kenapa kamu gak percaya adanya Tuhan?
Tuhan itu apa? Apa yang kamu maksud sebagai Tuhan itu berbeda
dengan Tuhan yang aku maksud,
Dan kamu akan bilang, kamu keliru menangkap maksudku lagi
bukan?

Hahaha....kenapa kamu jadi sensitif sekali malam ini? Lagi dapet ya?
Bukannya kita sudah pernah membicarakan soal Tuhan menurutku dan
menurutmu?
Kapan? Aku tidak merasa kalau kita sudah pernah membicarakan itu,
Sudahlah. Masa kita harus berdebat setiap hari?
Hanya kamu yang merasa kalau ini suatu perdebatan,
Hahaha...ya, ya, ya. Oke. Asal kamu tahu saja, justru karena aku
butuh Tuhan, aku juga butuh kamu,
Kok bisa? Kenapa bisa begitu? celetuknya
Ya, bisa. Karena dengan melihatmu, aku melihat Tuhan. Karena
dengan mendengarmu, aku mendengar Tuhan. Karena setiap
pertemuanku denganmu, itulah setiap pertemuanku dengan Tuhan.
Bukankah dalam kitab sucimu ada tertulis, Aku ada dalam kamu, dan
kamu ada dalam Aku? Kamu mengerti maksudku sekarang?
Ya, aku sudah mengerti itu. Tapi aku belum bisa menerimanya,
Hahaha...jadi pertanyaan mudahnya begini, kalau manusia diciptakan
segambar dan serupa dengan Tuhan, kenapa kita tidak (boleh) bisa
melihat Tuhan itu dalam ciptaanNya sendiri seperti kamu?
Hmm......,
Oke. Begini saja, kamu gak perlu menerimanya sekarang. Yang perlu
kamu terima sekarang cukup cintaku saja. Karena aku sedang jatuh
cinta, dan itu jatuh di kamu. Di kamu, ARA. Maukah kamu menerima
itu?
Belum selesai aku memutar ulang ingatanku itu, kamu sudah
membuyarkannya. Tapi, itu tak penting. Yang terpenting sekarang aku
ada bersamamu. Malam ini. Ditemani rintik hujan yang mulai mereda,
dengan lagu-lagu indie barat kesukaanmu dan sisa dua batang rokok
yang kita hisap bersama.
Ya sudah, kalo kamu gak bisa ceritakan dirimu, coba ceritakan
perempuan-perempuan yang kamu taksir. Aku habisin rokokmu ya,
tinggal satu, katamu melanjutkan pembicaraan kita. Malam ini.
Aku sodorkan batang rokok terakhir. Hahaha...kenapa kamu mau tahu
tentang perempuan-perempuan itu?
Ya karena mungkin topik itu gak bakal membosankan untuk
dibicarakan. Jadi, kenapa kamu gak sama perempuan-perempuan itu?

Mereka pada gak mau sama aku, jawabku sambil mengebulkan asap
rokok lewat hidung dan mulutku.
Huahahahaha....., tawamu terpingkal-pingkal.
Kenapa tertawa?
Kamu jawabnya
Hahahaha....,

enteng

banget,

pake

tampang

polos

lagi.

Loh, memang mereka gak ada yang mau sama aku kok. Ya, aku mau
gimana lagi. Cuma bisa pasrah,
Hehehe...terus, perempuan yang mirip sama ibumu itu gimana?
tanyamu yang mulai mengingatkanku pada dirinya.
Aku mencoba mengingat dan memutar kembali kenangan itu. Cukup
terekam jelas, karena aku paling ingat dengan kenangan yang memiliki
muatan emosi tinggi.
Aku sudah gak bisa sama dia lagi, jawabku singkat.
Memangnya kenapa?
Aku dan dia sudah putus komunikasi dua tahun. Biarpun dia dan aku
masih satu fakultas dan terkadang satu kelaskita sudah putus
komunikasi. Sama sekali,
Kok bisa?
Waktu itu karena kebodohanku sendiri. Ceritanya panjang,
Aku ceritakan itu semua pada dirimu. Aku ceritakan tentang dirinya.
Aku ceritakan tentang perdebatan-perdebatan itu. Aku ceritakan
kenangan itu semua pada dirimu.
Kenapa kamu selalu membawa-bawa masalahmu pakai tulisan yang
bisa orang banyak baca?!
Memangnya kenapa? Apa masalahnya buatmu?
Sekarang jelas masalah buatku. Kamu menyerang sahabatku pakai
tulisanmu, itu sama saja menyerang aku!
Sahabatmu? Hah! Sahabat dalam ranjangmu ya?
Jaga mulutmu!

Kamu yang harusnya jaga jarak dengan dia! Dia itu gak pantas kamu
anggap sahabat. Dia itu laki-laki bajingan yang hanya mau menikmati
tubuhmu!
Cukup! Aku gak mau dengar kamu bicara lagi!
Belum cukup aku bicara. Kamu pikir aku gak tahu isi otaknya itu?
Bagaimanapun aku lebih dulu bersahabat dengan dia, daripada kamu.
Jadi aku tahu semua itu, karena dia sendiri yang bilang. Dan sekarang,
aku lebih memilih kamu daripada harus bersahabat dengan laki-laki
bajingan macam dia!
Sudah! Mulai sekarang aku gak mau bicara, mendengar, bahkan
melihatmu lagi! Sekarang silahkan pergi dari kosku. Aku bisa jaga
diriku sendiri!
Kata-katanya itu membuatku langsung terdiam. Seketika jantungku
berhenti berdetak beberapa detik. Ketakutan menyelimuti tubuhku.
Saat itu aku sangat takut untuk kehilangan dia.
Tapi aku sudah gak bisa sama dia lagi, kataku ulang. Aku paling
sakit hati waktu aku kecelakaan dan selama 6 bulan harus berbaring di
rumah. Dan selama 6 bulan itu aku mencoba menghubungi dia. Tapi
dia gak ada respon sama sekali. Itu yang paling bikin aku sakit hati. Ya
sudah, sekarang aku mengalir saja. Kalo kamu sendiri gimana?
tambahku.
Gimana apanya?
Sudah pernah punya pacar kan?
Hmm...sudah-sudah,
Berapa kali?
4 kali. Memangnya kenapa?
Yah, coba ceritalah. Masa aku terus yang cerita,
Hehehe...yah, aku sama kayak kamu juga sih, mengalir aja. Jadi
pacaran itu pernah ada yang sebentar cuma beberapa bulanada
yang lama banget dan yang paling itu sama mantanku yang terakhir,
Oh ya? Terus kenapa bisa putus sama mantanmu itu?
Ya begitulah. Aku dan dia berbeda pandangan,
Beda pandangan gimana maksudmu?

Aku sama dia punya banyak banget perbedaan dalam pemikiran. Aku
dan dia sering berdebat. Padahal dia itu mantanku yang paling
mendekati sempurna untuk ukuran seorang pasangan. Tapi, yah
bagaimana ya. Aku terpaksa harus mutusin dia karena buat aku dia ini
kurang laki-laki,
Hah? Maksudmu kurang laki-laki?
Ya, dia itu gak tahu ke depannya mau gimana, atau bagaimana.
Sedangkan laki-laki itu seharusnya punya rencana jangka panjang. Jadi,
ya aku putusin. Dan aku sering menunggu dia, ingatkan dia, tapi
dianya gak sadar-sadar. Hah! Eh, terus kalo kamu ke depannya mau
apa? Apakah mau jadi penulis atau bagaimana?
Hmm...aku juga belum tahu. Rencanaku yang paling jauh, aku mau ke
Sumba,
Hehehe...kenapa mau ke Sumba?
Entahlah, aku merasa kalau suatu saat aku harus ke sana. Mungkin
karena aku punya banyak teman Sumba. Mendengar cerita-cerita
mereka aku jadi merasa harus ke sana. Aku mau naik kuda Sumba di
padang savana. Aku mau melihat upacara-upacara adat mereka. Dan
yang paling penting, aku mau makan daging setiap hari. Hahaha,
Hahaha...aku paling gak bisa makan daging loh,
Kenapa?
Gak tahu. Aku paling merasa kasihan aja melihat binatang-binatang
itu. Mereka terlalu lucu untuk aku makan,
Hahaha..., tawaku sedikit tertahan. Sialan. Kenapa sama kayak
perempuanku dulu yang gak suka makan daging? kataku membatin.
Aku sudah lihat fotomu yang lagi masak RW (rica-rica waung). Kamu
kok sadis banget sih? tanyanya dulu dulu lagi dan lagi.
Sadis gimana? Aku kan suka makan RW. Memangnya kamu gak
pernah makan itu? tanyaku balik.
Gak pernah. Kasihan mereka tahu. Kamu itu sadis, katanya
memojokanku.
Aku diam saja mengalihkan perhatianku ke tempat lain. Tak kutanggapi
lagi perkataannya. Aku terdiam waktu itu, sama seperti malam ini.
Entah ini sudah malam ke berapa aku tak bertemu dengan dirimu,
bahkan komunikasi-pun kita juga putus. Tanpa alasan yang jelas kamu
putuskan hubunganmu denganku.

Kamu hanya bilang, kalau kamu sedang sibuk kerja. Kamu hanya
bilang, kalau kamu sedang menghindari sosialisasi dengan orang lain.
Kamu hanya bilang, kalau kamu sedang mati hati.
Dan semua yang kamu bilang itu, membuatku tak tahu harus bilang
apa. Yang aku tahu sekarang hanyalah, aku sedang jatuh cinta. Dan itu
jatuh di kamu. Di kamu, ARA.
Tunggu-tunggu. ARA? Kenapa inisial nama kalian berdua bisa sama?
Inikah yang dinamakan dengan semesta yang mendukung tadi?
Sebegitu menginginkannyakah aku dengan ARA yang dulu, sehingga
aku bertemu denganmu, ARA-ku?
Tak mungkin. Aku sudah tak menginginkan ARA yang dulu. Aku
menginginkan ARA-ku yang sekarang, yaitu kamu.

Anda mungkin juga menyukai