Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1.

Konsep Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal yang

bersifat (berciri) keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau
barang orang lain.
Rumah tangga, menurut KBBI adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan
urusan kehidupan dalam rumah dan berkenaan dengan keluarga. Keluarga adalah
bapak dan ibu beserta anak-anaknya dan merupakan satuan kekerabatan yang sangat
mendasar dalam masyarakat.
Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 adalah
meliputi: suami, isteri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan orang sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat
sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama
berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah:
a. Suami istri atau mantan suami istri.
b. Orangtua dan anak-anak.
c. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah.

Universitas Sumatera Utara

d. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang-orang lain


yang menetap di sebuah rumah tangga.
e. Orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau
pernah tinggal bersama (yang dimaksud dengan orang yang hidup bersama
adalah pasangan hidup bersama atau beberapa orang tinggal bersama
dalam satu rumah untuk jangka waktu tertentu).
Pengertian dari istri atau suami atau mantan istri/ suami adalah meliputi istri
atau suami atau mantan istri/ suami de jure yakni seseorang yang telah melakukan
perkawinan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta
meliputi istri atau suami atau mantan istri/ suami de facto yaitu, seseorang yang telah
melakukan perkawinan sesuai dengan agama atau adat istiadat pihak-pihak yang
berkaitan, walaupun perkawinan itu tidak didaftarkan atau tidak dapat didaftarkan di
bawah undang-undang tertulis.
Defenisi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada
pengertian kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam Deklarasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan (PBB, 1993).
Pasal 1 dari Deklarasi menyatakan:
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara
fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang,
baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.

Pasal 2 dari Deklarasi menyatakan :


Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi
tidak hanya terbatas pada: tindak kekerasan secara fisik, seksual dan
psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk
pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak,
kekerasa yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam
perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan dan

Universitas Sumatera Utara

praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan,


kekerasan diluar hubungan suami istri dan kekerasan yang
berhubungan
dengan
eksploitasi
perempuan,
perkosaan,
penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat
kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya,
perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa. Serta termasuk
kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun
terjadinya.

Dengan demikian, ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam


rumah tangga (keluarga), di masyarakat luas (tempat publik) serta yang di wilayah
negara. Landasan hukum perumusan ini adalah Konvensi Penghapusan Segala bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan dikuatkan oleh Rekomendasi Umum
CEDAW (Convention on the Elimination of all Discrimination Againts Women) No.
19/1992 tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender
dan merupakan suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam usulan rancangan undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
yang disusun oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat, dengan mengacu pada
Deklarasi di atas, pengertian kekerasan dalam rumah tangga dirumuskan sebagai:
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan yang dilakukan
seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain yang berakibat atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan
atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara
ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.
Menurut Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Universitas Sumatera Utara

Kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan berbagai bentuk kekerasan


yang terjadi didalam hubungan keluarga, antara pelaku dan korbannya memiliki
kedekatan tertentu. Tercakup disini penganiayaan terhadap istri, bekas istri, tunangan,
anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orangtua, serangan seksual, atau
perkosaan oleh anggota keluarga.
Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan
kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan
bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak
kebebasannya yang setara dengan laki-laki. Jenis tindak kekerasan yang dialami
perempuan karena pertalian hubungan dengan seorang laki-laki, tindak kekerasan ini
dapat berupa kekerasan domestik dan kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan
kategori ini muncul akibat pemposisisan perempuan sebagai pihak yang menjadi
tanggungan dan mendapat perlindungan dari seorang pelindung laki-laki, pertama
ayahnya kemudian suaminya.
Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk
sekaligus dilembagakan secara sosial. Dalam hal ini, masyarakat menentukan batasbatas kepantasan dan melabelkan peran-peran streotip bagi laki-laki dan perempuan.
Apa yang ditentukan oleh masyarakat ini sudah berjalan berabad-abad lamanya, dan
dianggap kodrat yang tidak bisa berubah, oleh sebab itu seseorang hanya bisa eksis
dan dianggap benar apabila mengikuti batas-batas dan label-label sosial yang berlaku.
Sebaliknya, seseorang akan merasa bersalah dan dipersalahkan apabila keluar dari
batas-batas dan label-label sosial tersebut.
Salah satu bukti adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender adalah
banyaknya perempuan yang mengalami tindakan kekerasan. Kenyataan ini
disebabkan oleh kurangnya penghargaan dan adanya batas-batas kepantasan yang

Universitas Sumatera Utara

diperlakukan secara diskriminatif terhadap perempuan sehingga perempuan


dipandang tidak lebih dari sekedar objek yang pantas diperlakukan sewenang-wenang.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan-kekerasan fisik, psikologis,
seksual, ekonomi, dan perampasan kemerdekaan dirumuskan sebagai berikut:
1. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit,
cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau menyebabkan
kematian.
2. Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada seseorang.
3. Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan
seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan
seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki,
dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar
atau tidak disukai korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari
kebutuhan seksualnya.
4. Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang
untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan
atau barang, dan atau membiarkan korban bekerja untuk dingeksploitasi,
atau menelantarkan anggota keluarga.
5. Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang adalah semua
perbuatan yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan
sosialnya

(seperti

diantaranya:

larangan

keluar

rumah,

larangan

berkomunikasi dengan orang lain).

Universitas Sumatera Utara

2. 2.

Pelaku dan Korban Kekerasan


Perempuan sering dilukai dan mengalami kekerasan dalam lingkup personal,

baik dalam kaitannya dengan perannya sebagai istri atau anggota keluarga lain
(misal:anak, adik ipar). Meskipun demikian, kekerasan jenis ini merupakan satu
kekerasan yang sangat sulit diungkap antara lain karena:
1. Cukup banyak pihak yang menganggap hal demikian lumrah saja (bahkan
menjadi bagian dari pendidikan yang dilakukan suami pada istri).
2. Konflik dalam rumah tangga sangat sering dilihat sebagai masalah intern
keluarga yang tidak boleh dicampuri orang lain. Pandangan ini diyakini
baik oleh orang-orang luar maupun orang-orang di dalam keluarga itu
sendiri.
3. Pelaku maupun korban sangat sering menutup-nutupi kejadian yang
sesungguhnya dari orang lain dengan alasan-alasan yang berbeda.
Pelaku menganggap apa yang terjadi dalam urusan keluarga dan hak
pribadinya, orang lain tidak perlu tahu dan tidak berhak campur tangan sementara
korban merasa sangat malu dengan hal yang terjadi, akan kehilangan kehormatannya
bila aib sampai terbuka. (Masa saya harus menceritakan kejadian suami saya
memukuli saya?) karena itu, korban berusaha sekuat tenaga menutupi. Bahkan,
terkesan membela orang yang telah melakukan kekerasan padanya. Bila kekerasan
seksual atau perkosaan oleh orang yang telah dikenal atau berhubungan dekat dengan
korban lebih mungkin terjadi berulang, demikian pula tindak kekerasan fisik dan
psikologis dalam keluarga dan hubungan intim.
Kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan intim mencakup usaha-usaha
dari pasangan untuk mengintimidasi, baik dengan ancaman atau melalui penggunaan
kekuatan fisik pada tubuh perempuan atau barang-barang miliknya. Tujuan dari

Universitas Sumatera Utara

serangan tersebut adalah untuk mengendalikan tingkah laku si perempuan, atau untuk
memunculkan

rasa

takut.

Mendasari

semua

bentuk

kekerasan

adalah

ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan antara pelaku kekerasan dan korbannya


(Luhulima, 2000 : 21).

2.2.1. Pelaku Kekerasan


Pelaku adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan rumah tangga (dalam berbagai
bentuk kekerasannya) ternyata tidak terbatas pada usia, tingkat pendidikan, agama,
status sosial-ekonomi, suku, kondisi psikopatologi, maupun hal-hal lain.
Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga sering memiliki
persamaan dalam hal latar belakang kehidupan pelaku dan kepribadian yang berkaitan
dengan tingkah laku agresif. Banyak pelaku kekerasan dalam rumah tangga berasal
dari keluarga yang biasa terjadi kekerasan dalam kehidupan sehari-harinya, karenanya
pelaku belajar dari keluarganya itu menjadi menganggap bahwa kekerasan sebagai
bentuk pengkambinghitaman, atau sekedar sebagai tumpahan frustasi, merupakan
bentuk penyelesaian konflik yang biasa dan dapat diterima.
Salah satu karakteristik penting pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah
rendahnya harga diri. Seorang suami atau laki-laki sering memiliki anggapan bahwa
laki-laki harus menjadi penguasa, pengambil keputusan, orang nomor satu, mungkin
(diakui atau tidak) merasa ia tidak dapat mencapai tuntutan itu atau sulit
menggapainya, sehingga merasa tidak kompeten, tidak cukup hebat, tidak cukup kuat,
tidak cukup berhasil. Ia kemudian melakukan penganiayaan pada pihak yang lebih
lemah sebagai bentuk mekanisme pertahanan dirinya, untuk mengatasi perasaan tidak
berdayanya.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Perempuan (Istri) Sebagai Korban Kekerasan


Korban adalah orang yang mengalami tindak kekerasan dalam lingkup rumah
tangga. Perempuan korban kekerasan, seperti juga pelaku kekerasannya, dapat berasal
dari berbagai latar belakang usia, pendidikan, tingkat sosial ekonomi, agama dan suku
bangsa. Khusus untuk kekerasan dalam rumah tangga, korban kekerasan yang dapat
teridentifikasi adalah mereka yang mencari pertolongan dan datang ke lembagalembaga yang mereka anggap dapat membantu mereka. Perempuan demikian tidak
jarang tampil sebagai perempuan yang sangat pasif, menunjukkan ketakutan dan
kekhawatiran berlebihan, terkesan sangat emosional (labil, banyak menangis, histeris)
atau sebaliknya terkesan sulit diajak berkomunikasi dan terpaku pada pemikiranpemikirannya sendiri.
Menanggapi hal ini, orang-orang yang tidak menekuni isu kekerasan terhadap
perempuan akan cenderung mengambil sikap blaming the victim dengan menyatakan
bahwa perempuan tersebut memang aneh, memiliki banyak masalah pribadi atau
mungkin sedikit terganggu sehingga pasangan hidupnya kehilangan kesabaran
menghadapinya. Sementara itu, konselor yang memahami isu kekerasan terhadap
perempuan, atau berpandangan feministik akan mengajukan atau memandang
gangguan atau patologi yang ditampilkan korban sebagai hal yang mungkin muncul
sebagai akibat kekerasan yang dialami bukan sebagai penyebab.
Studi terhadap perempuan-perempuan korban kekerasan domestik memang
menunjukkan bahwa perempuan dengan sejarah kekerasan yang panjang memang
cenderung menjadi sangat membatasi diri dan terisolasi. Mereka sering menarik diri
dari teman-teman dan keluarga karena merasa malu dan bersalah. Dapat dipahami bila
perempuan demikian akan menunjukkan respon penyesuaian sosial yang canggung.

Universitas Sumatera Utara

Bahkan aneh dimata orang luar yang tidak memahami permasalahannya secara
mendalam.
Banyak sekali pertanyaan dan keheranan : mengapa banyak perempuan tetap
tinggal dalam hubungan yang penuh kekerasan? Mengapa mereka tidak meninggalkan
suaminya? Beberapa alasannya adalah:
a. Ketiadaan dukungan sosial yang sungguh memahami kompleksitas situasi
yang dihadapi perempuan.
Orang luar sering enggan bahkan dipersalahkan bila mencampuri urusan
keluarga orang lain, karena itu sulit menemukan dukungan yang dapat
membantu. Dilain pihak, perempuan itu sendiri juga menganggap apa yang
terjadi padanya adalah urusan keluarga atau pribadinya sendiri. Karena
isunya sangat memalukan, perempuan akan menutupi kejadian yang
sesungguhnya,

sehingga

tidak

dapat

memperoleh

akses

yang

dibutuhkannya.
b. Citra diri yang negatif.
Cukup banyak korban, karena pengalaman dimasa kecilnya, yang
diperkuat dengan pengalaman kekerasan yang diterimanya, merasa kecil
dan tidak berharga, tidak akan dapat memberikan manfaat apapun bagi
orang lain. Citra dirinya akan terbantu bila ia dapat mengikat laki-laki
karena kesendirian sebagai perempuan dirasakan sebagai situasi yang
menunjukkan dirinya tidak berharga.
c. Keyakinan bahwa suami akan berubah
Cukup banyak perempuan yang terus mempercayai suaminya pada
dasarnya baik, bahwa kekasarannya merupakan respon terhadap stress dan

Universitas Sumatera Utara

tekanan hidup, dan bahwa waktu akan mengubah semuanya menjadi lebih
baik.
d. Kesulitan ekonomi.
Banyak perempuan yang sepenuhnya bergantung kepada orang lain
(suami) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk menghidupi anakanak.
e. Kekhawatiran tidak dapat membesarkan anak dengan baik tanpa kehadiran
pasangan; atau keyakinan bahwa apapun yang terjadi, keluarga dengan
orangtua lengkap masih lebih baik daripada keluarga dengan orangtua
tunggal.
f. Keraguan bahwa mereka akan dapat bertahan dalam dunia yang kejam,
karena merasa suami yang selama ini baik padanya saja bisa berbuat jahat
terhadapnya, apalagi lingkungan sosial yang tidak terlalu dikenalnya.
g. Akhirnya perempuan dapat terus bertahan dalam kondisi kekerasan, karena
kekhawatiran adanya pembalasan dan kekerasan yang lebih hebat yang
akan diterimanya (dan dialami orang-orang yang dekat dan dicintainya)
bila ia berusaha meninggalkan pasangannya (Luhulima, 2000 : 33).

2.2.3. Anak Sebagai Korban Kekerasan.


Dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal
1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
Seorang anak haruslah dipandang sebagai mahluk yang harus dilindungi,
dikembangkan dan dijamin kelangsungan hidupnya. Bukan sebaliknya memandang
anak sebagai sasaran empuk tindak kekerasan. Perlindungan yang dapat dilakukan

Universitas Sumatera Utara

yaitu kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar anak dapat tumbuh dan berkembang
secara wajar sehingga dapat melakukan cita-cita bangsa.
Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa.menyatakan bahwa anak membutuhkan orang
lain dalam perkembangannya. Dan orang lain yang paling utama dan pertama
bertanggungjawab adalah orangtua sendiri. Orangtualah yang bertanggungjawab
memperkembangkan keseluruhan eksistensi si anak. (Gunarsa, 1995:28)
Menurut Convention on the right of the child (konvensi hak anak) pada
tanggal 20 November 1989 yang telah diratifikasikan oleh Indonesia, disebutkan
dalam pasal 1 pengertian anak adalah semua orang yang dibawah umur 18 tahun.
Kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal.
Anak yang hidup dalam keluarga yang diwarnai kekerasan adalah anak yang
rentan, yang dalam bahaya karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
1. Laki-laki yang menganiaya istri dapat pula menganiaya anaknya.
2. Istri atau perempuan yang mengalami penganiayaan dari pasangan hidupnya
dapat mengarahkan kemarahan dan frustasinya pada anak-anaknya.
3. Anak-anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan
kekerasan dan melindungi ibunya.
4. Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan
adalah cara penyelesaian masalah yang wajar, dibolehkan. Anak laki-laki
dapat berkembang menjadi laki-laki dewasa yang juga menganiaya istri dan
anak, dan anak perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang
kembali terjebak menjadi korban kekerasan.

Universitas Sumatera Utara

Anak-anak dari keluarga yang diwarnai kekerasan dapat mengembangkan


pemikiran bahwa:
a. Seorang suami boleh memukul istrinya.
b. Kekerasan merupakan cara untuk menenangkan perbedaan pendapat.
c. Perempuan adalah lemah, memiliki posisi lebih rendah, tidak mampu
menjaga dirinya sendiri dan tidak mampu menjaga anak-anaknya.
d. Laki-laki dewasa adalah pengganggu dan berbahaya.
Anak-anak dari keluarga demikian akan cenderung kurang mampu
menyatakan perasaan-perasaannya secara verbal, dan lebih terbiasa menunjukkan
kegelisahan, ketakutan dan kemarahan melalui perilakunya. Bila sikap diam karena
takut adalah hal lumrah pada keluarga yang diwarnai kekerasan dapat dimengerti
bahwa cara adaptasi seperti ini juga dipelajari oleh anak. Anak akan menekan
perasaan-perasaannya sendiri. Emosi-emosi negatif yang tidak dapat diberinya nama
dirasakan campur aduk; takut, marah, bingung, merasa bersalah, sedih, khawatir,
kecewa, ambivalen (bercampur aduk antara perasaan ingin mendekat, memerlukan
orangtua, sayang dan menggantungkan diri pada orangtua, tetapi juga marah, tidak
mengerti, kecewa takut dll.).

2. 3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan

dalam Rumah

Tangga
2.3.1. Secara Teoritis.
Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara
teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam
lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli.

Universitas Sumatera Utara

Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola


perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa, yang menciptakan ancaman atau
mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya,
secara khusus Neil Alan dkk. membatasi ruang lingkup kekerasan dalam rumah
tangga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse (kekerasan
kepada isteri) sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap
anak maupun isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan dalam
rumah tangga masih belum diketahui secara pasti karena kompleksnya permasalahan,
tapi beberapa ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya
menjadi faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga.

2.3.2. Secara Empiris


Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga
secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari
penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang
baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan
memperlihatkan kecenderungan peningkatan. untuk mengungkap kasus kekerasan
dalam rumah tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih
banyak kasus yang sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal
tindak

kekerasan

yang

dilakukan

sudah

tergolong

tindak

pidana.

Malu

mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau
persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban
kekerasan dalam rumah tangga di negara kita.

Universitas Sumatera Utara

2. 4. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga


2. 4.1. Dampak Pada Perempuan/ istri.
Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban. Rasa takut
tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala tindak tanduknya bahkan
ketakutan dapat mengganggu tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi
buruk. Gangguan tidur dapat memunculkan kebergantungan kepada obat-obat tidur
dan obat penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan dirinya. Bahkan
akan mengancam jiwanya, kalau sampai ia berusaha membuka mulut, atau bila ia
berusaha meninggalkan lelaki itu. Dengan dasar dominasi perasaan takut, respon dan
pengalaman psikologis yang sering muncul dari korban kekerasan domestik maka
muncul sikap seperti:
1. Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, karena beberapa alasan:

Ketakutannya

bahwa

membicarakan

kekerasan

tersebut

akan

membuatnya berada dalam situasi lebih buruk.

Kurangnya informasi akurat mengenai apa yang sesungguhnya terjadi


padanya, siapa yang sesungguhnya bermasalah dan menjadi korban.

Kebutuhannya untuk meyakini itu tidak seberat yang dibayangkan


adalah cara beradaptasi terhadap kekerasan yang dialami, sampai ia
siap menghadapi realitas dan mampu mengambil tindakan-tindakan
pengamanan.

Perasaan malu dan kebingungannya menghadapi kekerasan.

Keyakinannya bahwa ia bertanggungjawab atas kejadian tersebut.

2. Terisolasi
Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan jaringan dan
dukungan personal. Ketakutannya bahwa orang-orang yang disayanginya akan

Universitas Sumatera Utara

menjadi sasaran dan berada dalam bahaya, membuatnya menutup mulutnya.


Rasa

malu

dan

kebingungannya

menghadapi

pemukulan-pemukulan

membuatnya menjaga jarak dari orang lain. Sedikit kenalan dan teman yang
mengenalnya jarang tahu teror yang dihadapinya di rumahnya sendiri.
Jika ia berupaya berhubungan dengan orang lain, pasangannya akan
mematahkan usahanya dengan mengendalikan aktivitasnya dan membatasi
kontaknya dengan orang-orang di luar perkawinan. Ia mungkin secara sengaja
bersikap kasar pada keluarga dan teman-teman perempuan tersebut.
Perempuan korban jarang punya hubungan positif dengan tempat-tempat yang
dapat menyediakan pekerjaan yang baik, tempat penitipan anak, ataupun
aktivitas-aktivitas terapetik, rekreasi dan pendidikan yang dapat meningkatkan
harga dirinya. Isolasi sosialnya juga menyebabkan sangat sedikit memperoleh
umpan balik mengenai kondisinya, suatu hal yang sesungguhnya dapat
mengubah persepsinya.
3. Perasaan tidak berdaya.
Perempuan korban kekerasan sering berada dalam situasi learned helplessness
fenomena yang dideskripsikan secara detil oleh Lenore Walker (1979). Yang
dimaksud adalah mereka belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk
mengendalikan, menghindari atau melarikan diri dari situasinya ternyata tidak
berhasil.

Akhirnya,

yang

muncul

adalah

perasaan

tidak

berdaya

(powerlessness) dan keyakinan bahwa tiada suatupun dapat dilakukannya


untuk mengubah keadaannya.
4. Menyalahkan diri (internalizes blame)
Perempuan korban kekerasan, sama seperti kita dan orang-orang lain, sering
mempercayai mitos-mitos tentang kekerasan dalam hubungan intim dan dalam

Universitas Sumatera Utara

rumah tangga. Ia berpikir dialah yang menyebabkan kekerasan terjadi karena


pasangannya tidak jarang bertanya: Mengapa kamu membuat saya terpaksa
memukuli kamu? Kalau kamu melakukan apa yang saya inginkan, yang
seperti ini tidak akan terjadi. Sementara itu orang luar juga mungkin
bertanya: Suamimu lelaki yang baik, apa sih yang kamu lakukan sampai ia
memukul kamu?. Ia berusaha untuk menjadi makin sempurna, tidak
menyadari bahwa kekerasan tersebut sesungguhnya lekat dan menjadi
tanggung jawab pelaku.
5. Ambivalensi
Pasangan yang melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan kekerasan.
Kadang kala ada saat bahwa ia merasa pasangannya adalah laki-laki yang baik
dan mencintainya. Inilah yang menjadi ambivalensi dan kebingungan korban.
Ia ingin kekerasan itu berakhir, tetapi tidak perkawinannya. Ia sangat berharap
pasangannya akan berubah, ia ingin mempercayai janji-janji pasangannya. Ia
berpikir bahwa ia mencintai laki-laki itu. Ia juga sangat takut membayangkan
hidup sendiri. Perpisahan dengan pasangan mungkin akan menyebabkan
banyak sekali perubahan hidup. Bila sebelumnya tinggal di rumah sepanjang
hari mengurus anak, mungkin ia harus bekerja, menitip anak, atau malahan
harus meminta bantuan. Untuk perempuan dari kelas menengah atas, menurun
drastisnya tingkat kehidupan memerlukan banyak sekali penyesuaian.
6. Harga diri rendah.
Akhir dari kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri. Perasaan
berharga dan keyakinan diri, kepercayaan akan kemampuan diri dirusakkan.
Yang sangat merendahkan adalah bahwa ia mendapat kekerasan dari orang
yang dipilih menjadi pasangan, orang yang seharusnya menyayangi,

Universitas Sumatera Utara

menghormati

dan

menyenangkannya.

Perempuan

korban

kekerasan

merasakannya sebagai pukulan yang paling parah, pengkhianatan paling besar.


Semakin parah kekerasan yang dialami, dan semakin lama berlangsung,
semakin buruklah citra diri yang dimiliki korban. Ia mempercayai panggilanpanggilan yang ditujukan pasangannya padanya: buruk, tidak mampu, bodoh,
tidak menarik, dst.
7. Harapan.
Perempuan yang menjadi korban berharap suaminya akan berubah, akan
menjadi pasangan seperti yang diimpikannya. Adalah penting bahwa konselor
menghormati mimpi-mimpinya akan kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Mimpinya tidak aneh, mimpi tersebut umum diimpikan orang. Sering kita
menyalahkan perempuan dengan pertanyaan: Kenapa sih dia masih terus
bertahan dalam situasi demikian?, kembali mempersalahkannya. Kita perlu
melihatnya secara lebih positif, lebih bermanfaat untuk menganggapnya
sebagai perempuan pemberani, yang dapat bertahan meskipun adanya banyak
permasalahan. Dengan kata lain, seharusnya kita bertanya: Bagaimana ia
dapat memperoleh kekuatan untuk terus bertahan dalam hubungan penuh
kekerasan demikian? (Luhulima, 2000 : 37)
Berdasarkan kenyataan di seluruh dunia, istri yang menjadi korban kekerasan
dalam rumah tangga berasal dari semua golongan masyarakat, dari berbagai lapisan
sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama, maupun tentang usia telah
tertimpa musibah kekerasan.

Universitas Sumatera Utara

Perlakuan kejam yang dialami para korban itu mengakibatkan timbulnya


berbagai macam penderitaan seperti:
a. Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut, dll.
b. Menderita kecemasan, depresi, dan sakit jiwa akut.
c. Berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku.
d. Kemampuan menyelesaikan masalah rendah.
e. Kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi korban yang hamil.
f. Bagi yang menyusui, ASI sering kali terhenti akibat tekanan jiwa.
g. Lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak, karena tidak dapat
menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tidak
menemukan jalan keluar (Ciciek, 1999)

2.4.2. Dampak Pada Anak-anak.


Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas kepada
istri saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan
secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang
dialami ibunya. Paling tidak, setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah
tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan, juga mengalami perlakuan kejam.
Sebagian besar tidak diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional
maupun seksual. Kehadiran anak di rumah tidak membuat suami tidak menganiaya
istrinya. Bahkan dalam banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya
menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara
tambahan untuk menyiksa dan menghina pasangannya.
Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi
anak-anak. Mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat

Universitas Sumatera Utara

sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha menghentikan
tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul
dari seluruh dunia, ada anak-anak yang sudah besar yang akhirnya membunuh
ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan
kejam.
Akibat kekerasan tidak sama pada semua anak. Diantara ciri-ciri anak yang
menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah:
1. Sering gugup
2. Suka menyendiri
3. Cemas
4. Sering ngompol
5. Gelisah
6. Gagap
7. Sering menderita gangguan perut
8. Sakit kepala dan asma
9. Kejam pada binatang
10. Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam
11. Suka memukul teman
Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran kepada anak
bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah
kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan
melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan
adalah sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. Kekerasan dalam rumah tangga
memberi pelajaran kepada anak lelaki untuk tidak menghormati kaum perempuan
(Ciciek, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Mengingat

bahwa

orangtua

lebih

sibuk

dengan

permasalahan

dan

ketegangannya sendiri, sering terjadi bahwa orangtua tidak memberikan perhatian


pada kebutuhan anak, khususnya kebutuhan psikologisnya untuk merasa aman,
dicintai, didengarkan. Karena itu, banyak hal dapat muncul, seperti:
1. Usia pra sekolah
a. Keluhan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut.
b. Adanya gangguan tidur seperti insomnia, takut gelap, ngompol.
c. Kecemasan berlebihan bila berpisah dari orangtua.
2. Usia sekolah
a. Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak perempuan:
keluhan-keluhan somatik, perilaku menarik diri, pasif, tidak
dapat mandiri, sangat bergantung kepada ingin diterima orang
lain, toleransi frustasi rendah, atau justru kesabaran berlebihan,
sikap penolong, khususnya perhatian untuk dapat membantu
ibu.
b. Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak laki-laki:
toleransi frustasi rendah, perilaku agresif, mengganggu,
menggertak, berlagak jagoan, tempertantrums (mudah sekali
marah

dengan

ekspresi

fisik

yang

berlebihan,

seperti

menendang-nendang, berteriak-teriak, dan berguling-guling,


dsb.)
c. Sebagian anak mengalami gangguan konsentrasi dan belajar,
sering membolos, kikuk, sering celaka, dianggap lambat, atau
mengalami masalah belajar.

Universitas Sumatera Utara

d. Sebagian anak lain sebagai kompensasi justru menampilkan


prestasi menonjol, perfeksionis dan rasa tanggungjawab
berlebihan.
3. Remaja
Remaja sangat mungkin menampilkan perilaku melarikan diri
dan merusak diri sendiri. Beberapa hal yang mungkin dilakukan
adalah: lari dari kenyataan dengan mengkonsumsi obat-obat adiktif dan
alkohol, kabur dari rumah, perilaku seksual bebas, agresivitas dan
aktivitas kriminal.
4. Dewasa
Anak yang menyaksikan kejadian kekerasan berulang-ulang di
rumahnya, dan menyaksikan ibu (perempuan) menjadi korban dapat
mengembangkan pola hubungan yang sama dimasa dewasanya. Cukup
banyak laki-laki pelaku kekerasan terhadap pasangan berasal dari
keluarga abusive dimasa kanaknya, biasa menyaksikan kekerasan yang
dilakukan ayah pada ibu, tidak jarang ia sendiri juga menjadi korban
kekerasan ayah. Sementara itu, perempuan yang dimasa kanaknya
berada dalam suasana keluarga demikian juga akan melihat dan belajar
untuk meyakini bahwa laki-laki adalah makhluk yang memang harus
menang, keras kepala dan egois, harus serba dilayani, sementara
perempuan adalah makhluk yang harus melayani, menyesuaikan diri,
mencoba menyenangkan laki-laki dengan berbagai cara. Dimasa
dewasa ia akan lebih mudah terjebak dalam pola hubungan yang sama,
karena pengalaman hidupnya tidak memberinya paparan mengenai
peran-peran orang dewasa dan hubungan laki-laki dan perempuan yang

Universitas Sumatera Utara

lebih sehat, lebih setara, dan lebih membahagiakan (Luhulima, 2000 :


40)

2.5. Kerangka Pemikiran


Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah kekerasan dalam keluarga
yang banyak terjadi menimpa rumah tangga-rumah tangga di Indonesia saat ini.
Kekerasan dalam rumah tangga kadang dikaitkan dengan istilah kekerasan terhadap
pasangan (spouse abuse). Adapun kekerasan pasangan didefenisikan sebagai
penggunaan kekerasan fisik oleh pasangannya yang terjadi pada hubungan yang telah
intim pada pasangannya. Kekerasan pasangan ini mencakup kekerasan secara
psikologis seperti intimidasi, ancaman, penghinaan dimuka umum, kata-kata kasar
yang dilakukan secara berulang-ulang. Perkembangan ruang lingkup kekerasan dalam
rumah tangga selanjutnya ialah bentuk kekerasan terhadap anak, yang sering ikut
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh berbagai faktor yang memicu
terjadinya kekerasan tersebut. Faktor-faktor pemicu ini menjadi alasan pelaku untuk
melakukan kekerasan terhadap istri atau anak yang menjadi korban kekerasan.
Korban menjadi tempat pelampiasan si pelaku dalam menyalurkan emosinya yang
dikeluarkan dalam bentuk kekerasan, sehingga menyebabkan korban merasa tersakiti.
Faktor pemicu KDRT dalam penelitian ini dapat dilihat dari 2 cara yaitu secara
teoritis dan secara empiris. Secara teoritis yaitu menyimpulkan faktor pemicu
terjadinya KDRT berdasarkan pendapat ahli sedangkan secara empiris yaitu
menyimpulkan faktor pemicu KDRT berdasarkan bagaimana kenyataan KDRT saat
ini di masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

KDRT menimbulkan berbagai dampak pada korban. Dampak yang paling


mendominasi korban adalah rasa takut. Rasa takut tersebut mengendalikan
perilakunya, dan mewarnai segala tindak tanduknya bahkan ketakutan dapat
mengganggu tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Juga masih
banyak dampak pada korban yang menyebabkan kondisi fisik dan kejiwaan korban
terganggu. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan kerangka pemikiran berikut:

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir.

Masalah KDRT

Korban KDRT
Istri
Anak

Faktor-faktor pemicu
Teoritis
Empiris

Dampak KDRT

Universitas Sumatera Utara

2.6. Defenisi Konsep


Dalam penelitian, seorang peneliti menggunakan istilah yang khusus
menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak ditelitinya. Inilah yang disebut
konsep, yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara
abstrak: kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian
ilmu sosial (Singarimbun, 1995 : 33).
Konsep sangat diperlukan dalam penelitian agar dapat menjaga fokus masalah
dan timbulnya kesalahpahaman yang dapat mengaburkan penelitian. Oleh karena itu
dalam menjelaskan penelitian ini, perlu dijelaskan beberapa defenisi konsep antara
lain:
1. Faktor-faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah
serangkaian indikator-indikator yang menyebabkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga yang merupakan setiap perbuatan yang dilakukan
seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain yang berakibat atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan
atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara
ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.
2. Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban adalah keseluruhan
akibat yang ditimbulkan oleh suatu kasus kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang yang mengalami penderitaan karena kekerasan dalam rumah
tangga tersebut, baik secara fisik maupun psikis.
3. Pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok
orang yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat

Universitas Sumatera Utara

penderitaan (baik fisik maupun psikis) pada seseorang atau sekelompok orang
dalam lingkup rumah tangga.
4. Istri adalah wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang sudah
bersuami.
5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai