TINJAUAN PUSTAKA
2. 1.
bersifat (berciri) keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau
barang orang lain.
Rumah tangga, menurut KBBI adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan
urusan kehidupan dalam rumah dan berkenaan dengan keluarga. Keluarga adalah
bapak dan ibu beserta anak-anaknya dan merupakan satuan kekerabatan yang sangat
mendasar dalam masyarakat.
Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 adalah
meliputi: suami, isteri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan orang sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat
sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama
berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah:
a. Suami istri atau mantan suami istri.
b. Orangtua dan anak-anak.
c. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah.
(seperti
diantaranya:
larangan
keluar
rumah,
larangan
2. 2.
baik dalam kaitannya dengan perannya sebagai istri atau anggota keluarga lain
(misal:anak, adik ipar). Meskipun demikian, kekerasan jenis ini merupakan satu
kekerasan yang sangat sulit diungkap antara lain karena:
1. Cukup banyak pihak yang menganggap hal demikian lumrah saja (bahkan
menjadi bagian dari pendidikan yang dilakukan suami pada istri).
2. Konflik dalam rumah tangga sangat sering dilihat sebagai masalah intern
keluarga yang tidak boleh dicampuri orang lain. Pandangan ini diyakini
baik oleh orang-orang luar maupun orang-orang di dalam keluarga itu
sendiri.
3. Pelaku maupun korban sangat sering menutup-nutupi kejadian yang
sesungguhnya dari orang lain dengan alasan-alasan yang berbeda.
Pelaku menganggap apa yang terjadi dalam urusan keluarga dan hak
pribadinya, orang lain tidak perlu tahu dan tidak berhak campur tangan sementara
korban merasa sangat malu dengan hal yang terjadi, akan kehilangan kehormatannya
bila aib sampai terbuka. (Masa saya harus menceritakan kejadian suami saya
memukuli saya?) karena itu, korban berusaha sekuat tenaga menutupi. Bahkan,
terkesan membela orang yang telah melakukan kekerasan padanya. Bila kekerasan
seksual atau perkosaan oleh orang yang telah dikenal atau berhubungan dekat dengan
korban lebih mungkin terjadi berulang, demikian pula tindak kekerasan fisik dan
psikologis dalam keluarga dan hubungan intim.
Kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan intim mencakup usaha-usaha
dari pasangan untuk mengintimidasi, baik dengan ancaman atau melalui penggunaan
kekuatan fisik pada tubuh perempuan atau barang-barang miliknya. Tujuan dari
serangan tersebut adalah untuk mengendalikan tingkah laku si perempuan, atau untuk
memunculkan
rasa
takut.
Mendasari
semua
bentuk
kekerasan
adalah
Bahkan aneh dimata orang luar yang tidak memahami permasalahannya secara
mendalam.
Banyak sekali pertanyaan dan keheranan : mengapa banyak perempuan tetap
tinggal dalam hubungan yang penuh kekerasan? Mengapa mereka tidak meninggalkan
suaminya? Beberapa alasannya adalah:
a. Ketiadaan dukungan sosial yang sungguh memahami kompleksitas situasi
yang dihadapi perempuan.
Orang luar sering enggan bahkan dipersalahkan bila mencampuri urusan
keluarga orang lain, karena itu sulit menemukan dukungan yang dapat
membantu. Dilain pihak, perempuan itu sendiri juga menganggap apa yang
terjadi padanya adalah urusan keluarga atau pribadinya sendiri. Karena
isunya sangat memalukan, perempuan akan menutupi kejadian yang
sesungguhnya,
sehingga
tidak
dapat
memperoleh
akses
yang
dibutuhkannya.
b. Citra diri yang negatif.
Cukup banyak korban, karena pengalaman dimasa kecilnya, yang
diperkuat dengan pengalaman kekerasan yang diterimanya, merasa kecil
dan tidak berharga, tidak akan dapat memberikan manfaat apapun bagi
orang lain. Citra dirinya akan terbantu bila ia dapat mengikat laki-laki
karena kesendirian sebagai perempuan dirasakan sebagai situasi yang
menunjukkan dirinya tidak berharga.
c. Keyakinan bahwa suami akan berubah
Cukup banyak perempuan yang terus mempercayai suaminya pada
dasarnya baik, bahwa kekasarannya merupakan respon terhadap stress dan
tekanan hidup, dan bahwa waktu akan mengubah semuanya menjadi lebih
baik.
d. Kesulitan ekonomi.
Banyak perempuan yang sepenuhnya bergantung kepada orang lain
(suami) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk menghidupi anakanak.
e. Kekhawatiran tidak dapat membesarkan anak dengan baik tanpa kehadiran
pasangan; atau keyakinan bahwa apapun yang terjadi, keluarga dengan
orangtua lengkap masih lebih baik daripada keluarga dengan orangtua
tunggal.
f. Keraguan bahwa mereka akan dapat bertahan dalam dunia yang kejam,
karena merasa suami yang selama ini baik padanya saja bisa berbuat jahat
terhadapnya, apalagi lingkungan sosial yang tidak terlalu dikenalnya.
g. Akhirnya perempuan dapat terus bertahan dalam kondisi kekerasan, karena
kekhawatiran adanya pembalasan dan kekerasan yang lebih hebat yang
akan diterimanya (dan dialami orang-orang yang dekat dan dicintainya)
bila ia berusaha meninggalkan pasangannya (Luhulima, 2000 : 33).
yaitu kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar anak dapat tumbuh dan berkembang
secara wajar sehingga dapat melakukan cita-cita bangsa.
Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa.menyatakan bahwa anak membutuhkan orang
lain dalam perkembangannya. Dan orang lain yang paling utama dan pertama
bertanggungjawab adalah orangtua sendiri. Orangtualah yang bertanggungjawab
memperkembangkan keseluruhan eksistensi si anak. (Gunarsa, 1995:28)
Menurut Convention on the right of the child (konvensi hak anak) pada
tanggal 20 November 1989 yang telah diratifikasikan oleh Indonesia, disebutkan
dalam pasal 1 pengertian anak adalah semua orang yang dibawah umur 18 tahun.
Kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal.
Anak yang hidup dalam keluarga yang diwarnai kekerasan adalah anak yang
rentan, yang dalam bahaya karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
1. Laki-laki yang menganiaya istri dapat pula menganiaya anaknya.
2. Istri atau perempuan yang mengalami penganiayaan dari pasangan hidupnya
dapat mengarahkan kemarahan dan frustasinya pada anak-anaknya.
3. Anak-anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan
kekerasan dan melindungi ibunya.
4. Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan
adalah cara penyelesaian masalah yang wajar, dibolehkan. Anak laki-laki
dapat berkembang menjadi laki-laki dewasa yang juga menganiaya istri dan
anak, dan anak perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang
kembali terjebak menjadi korban kekerasan.
dalam Rumah
Tangga
2.3.1. Secara Teoritis.
Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara
teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam
lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli.
kekerasan
yang
dilakukan
sudah
tergolong
tindak
pidana.
Malu
mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau
persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban
kekerasan dalam rumah tangga di negara kita.
Ketakutannya
bahwa
membicarakan
kekerasan
tersebut
akan
2. Terisolasi
Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan jaringan dan
dukungan personal. Ketakutannya bahwa orang-orang yang disayanginya akan
malu
dan
kebingungannya
menghadapi
pemukulan-pemukulan
membuatnya menjaga jarak dari orang lain. Sedikit kenalan dan teman yang
mengenalnya jarang tahu teror yang dihadapinya di rumahnya sendiri.
Jika ia berupaya berhubungan dengan orang lain, pasangannya akan
mematahkan usahanya dengan mengendalikan aktivitasnya dan membatasi
kontaknya dengan orang-orang di luar perkawinan. Ia mungkin secara sengaja
bersikap kasar pada keluarga dan teman-teman perempuan tersebut.
Perempuan korban jarang punya hubungan positif dengan tempat-tempat yang
dapat menyediakan pekerjaan yang baik, tempat penitipan anak, ataupun
aktivitas-aktivitas terapetik, rekreasi dan pendidikan yang dapat meningkatkan
harga dirinya. Isolasi sosialnya juga menyebabkan sangat sedikit memperoleh
umpan balik mengenai kondisinya, suatu hal yang sesungguhnya dapat
mengubah persepsinya.
3. Perasaan tidak berdaya.
Perempuan korban kekerasan sering berada dalam situasi learned helplessness
fenomena yang dideskripsikan secara detil oleh Lenore Walker (1979). Yang
dimaksud adalah mereka belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk
mengendalikan, menghindari atau melarikan diri dari situasinya ternyata tidak
berhasil.
Akhirnya,
yang
muncul
adalah
perasaan
tidak
berdaya
menghormati
dan
menyenangkannya.
Perempuan
korban
kekerasan
sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha menghentikan
tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul
dari seluruh dunia, ada anak-anak yang sudah besar yang akhirnya membunuh
ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan
kejam.
Akibat kekerasan tidak sama pada semua anak. Diantara ciri-ciri anak yang
menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah:
1. Sering gugup
2. Suka menyendiri
3. Cemas
4. Sering ngompol
5. Gelisah
6. Gagap
7. Sering menderita gangguan perut
8. Sakit kepala dan asma
9. Kejam pada binatang
10. Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam
11. Suka memukul teman
Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran kepada anak
bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah
kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan
melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan
adalah sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. Kekerasan dalam rumah tangga
memberi pelajaran kepada anak lelaki untuk tidak menghormati kaum perempuan
(Ciciek, 1999).
Mengingat
bahwa
orangtua
lebih
sibuk
dengan
permasalahan
dan
dengan
ekspresi
fisik
yang
berlebihan,
seperti
Masalah KDRT
Korban KDRT
Istri
Anak
Faktor-faktor pemicu
Teoritis
Empiris
Dampak KDRT
penderitaan (baik fisik maupun psikis) pada seseorang atau sekelompok orang
dalam lingkup rumah tangga.
4. Istri adalah wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang sudah
bersuami.
5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.