DAFTAR
PENYUSUN
Tim
Penyusun:
Sub
Direktorat
Tuberkulosis,
Ditjen
PP
PL
RSUP
Persahabatan
Jakarta
RSUD.
Dr.
Soetomo
Surabaya
DInas
Kesehatan
Propinsi
DKI
Jakarta
DInas
Kesehatan
Propinsi
Jawa
Timur
WHO
Indonesia
KNCV
Indonesia
Kontributor
:
Sub
Direktorat
RS
Khusus,
DItjen
Bina
Upaya
Kesehatan
Sub
Direktorat
Mikrobiologi
dan
imunologi,
DItjen
Bina
Upaya
Kesehatan
Sub
Direktorat
HIV/AIDS,
Ditjen
PP
PL
Departemen
Mikrobiologi
FK
UI
Balai
Besar
Laboratorium
Kesehatan
Surabaya
Tim
Ahli
Klinis
RS.
Persahabatan
Tim
Ahli
Klinis
RS.
Dr.
Soetomo
Tim
Ahli
Klinis
RS.
Dr.
Syaiful
Anwar
Tim
Ahli
Klinis
RS.
Dr.
Moewardi
Tim
Ahli
Klinis
RS.
Labuang
Baji
Tim
Ahli
Klinis
RS.
Adam
Malik
Tim
Ahli
Klinis
RS.
Hasan
Sadikin
Tim
Ahli
Klinis
RS.
Sanglah
Tim
Ahli
Klinis
RS
Sardjito
DInas
Kesehatan
Propinsi
DKI
Jakarta
Dinas
Kesehatan
Propinsi
Jawa
Timur
DInas
Kesehatan
Propinsi
Jawa
Tengah
Dinas
Kesehatan
Propinsi
Sulawesi
Selatan
Dinas
Kesehatan
Propinsi
Sumatera
Utara
Dinas
Kesehatan
Propinsi
Jawa
Barat
Dinas
Kesehatan
Propinsi
Bali
DInas
Kesehatan
Propinsi
DI
Yogyakarta
FHI
360
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
DAFTAR
ISI
DAFTAR
PENYUSUN
....................................................................................
2
DAFTAR
ISI
..................................................................................................
3
PERATURAN
MENTERI
KESEHATAN
RI
.........................................................
5
KATA
PENGANTAR
....................................................................................
11
DAFTAR
SINGKATAN
.................................................................................
12
BAB
I
PENDAHULUAN
................................................................................
14
A.
Latar
Belakang
...........................................................................................
14
B.
Pengertian
.................................................................................................
15
C.
Faktor
Yang
Mempengaruhi
Terjadinya
TB
Resistan
Obat
..........................
15
BAB
II
KEBIJAKAN
DAN
STRATEGI
..............................................................
17
A.
Tujuan
.......................................................................................................
17
B.
Kebijakan
..................................................................................................
17
C.
Strategi
......................................................................................................
18
BAB
III
PENGORGANISASIAN
DAN
JEJARING
..............................................
21
A.
Organisasi
Pelaksana
.................................................................................
21
B.
Jejaring
Penatalaksanaan
Pasien
TB
Resistan
Obat
....................................
23
BAB
IV
PENATALAKSANAAN
PASIEN
TB
RESISTAN
OBAT
...........................
27
A.
Penemuan
Pasien
TB
Resistan
Obat
...........................................................
27
B.
Penegakan
Diagnosis
TB
Resistan
Obat
......................................................
30
C.
Pemeriksaan
Laboratorium
Untuk
TB
Resistan
Obat
..................................
36
D.
Klasifikasi
dan
Tipe
Pasien
TB
Resistan
Obat.
.............................................
39
E.
Pengobatan
...............................................................................................
40
F.
Penanganan
Efek
Samping
.........................................................................
51
G.
Pengobatan
TB
MDR
Pada
Keadaan
Khusus
...............................................
65
H.
Pemantauan
Kemajuan
Pengobatan
..........................................................
67
I.
Evaluasi
Hasil
Akhir
Pengobatan
TB
MDR
....................................................
69
J.
Evaluasi
Lanjutan
Setelah
Pasien
Sembuh
atau
Pengobatan
Lengkap
..........
70
K.
Tatalaksana
Pasien
Putus
Berobat
dan
Gagal
.............................................
71
L.
Pengobatan
Pasien
Ko-infeksi
TB
MDR
dan
HIV
..........................................
77
M.
Pelacakan
Kasus
Mangkir
..........................................................................
91
N.
Manajemen
Kontak
Erat
Pasien
TB
Resistan
Obat
......................................
91
BAB
V
PENGELOLAAN
LOGISTIK
.................................................................
93
A.
Jenis
Logistik
.............................................................................................
93
B.
Pengelolaan
OAT
......................................................................................
93
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
PERATURAN
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR
1 3
T AHUN
2 013
TENTANG
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
DENGAN
RAHMAT
TUHAN
YANG
MAHA
ESA
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang
:
a.
bahwa
TuberkuIosis
Resistan
Obat
merupakan
penyakit
yang
berdampak,
pada
kesehatan
masyarakat
dengan
jumlah
kasus
yang
semakin
meningkat
sehingga
memerlukan
upaya
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat;
b.
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud
pada
huruf
perlu
menetapkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
tentang
Pedoman
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat;
Mengingat:
1 . Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
1984
tentang
Wabah
Penyakit
Menular
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1984
Nomor
20,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
3273);
2 . Undang-Undang
Nomor
29
Tahun
2004
tentang
Praktik
Kedokteran
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2004
Nomor
116,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
4431);
3 . Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan
Daerah
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2004
Nomor
125,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
4437)
sebagaimana
telah
beberapa
kali
diubah
terakhir
dengan
Undang-Undang.
Nomor
12
Tahun
2008
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2008
Nomor
59,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
4844)
Indonesia
Nomor
4844);
4.Undang
Undang
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
-2-
Undang-Undang
No
36
tahun
2009
tentang
Kesehatan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2009
Nomor
144,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
5063)
;
5 . Peraturan
Pemerintah
Nomor
40
Tahun
1991
tentang
Penanggulangan
Wabah
Penyakit
Menular
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1991
Nomor
3437,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
3447);
6 . Peraturan
Pemerintah
Nomor
32
tahun
1996
tentang
Tenaga
Kesehatan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1996
Nomor
49,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
3637);
7 . Peraturan
Pemerintah
Nomor
38
Tahun
2007
tentang
Pembagian
Urusan
Pemerintahan
Antara
Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten/Kota
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2007
Nomor
82,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
4737);
8 . Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1144/Menkes/PER/
VIII/2010
tentang
Organisasi
dan
Tata
Kerja
Kementerian
Kesehatan
(Berita
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2010
Tahun
585);
9 . Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
364/Menkes/
SK/V/2009
tentang
Pedoman
Penanggulangan
Tuberkulosis;
1 0 . Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
565/Menkes/Per/III/2011
tentang
Strategi
Nasional
Pengendalian
Tuberkulosis
Tahun
2011
2014
(Berita
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2011
Tahun
169);
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan
:
PERATURAN
MENTERI
KESEHATAN
TENTANG
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT.
Pasal
4.
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
-3-
Pasal
1
Pedoman
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat
harus
dijadikan
acuan
bagi
tenaga
kesehatan
daniatau
pelaksana
program
di
bidang
kesehatan
dalam
penyelenggaraan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat.
Pasal
2
(1 ) Pedoman
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat
meliputi
aspek
manajerial
dan
aspek
teknis
klinis
pengendalian
Tuberkulosis
resistan
obat.
(2 ) Pedoman
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
tercantum
dalam
Lampiran
yang
merupakan
bagian
tidak
terpisahkan
dari
Peraturan
Menteri
ini.
Pasal
3
Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
bertanggung
jawab
melaksanakan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat.
Pasa1
4
Dalam
melaksanakan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat,
Pemerintah
bertanggung
jawab
a. menetapkan
kebijakan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat;
b. merencanakan
program
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat;
c. menjamin
ketersediaan
obat,
alat
kesehatan,
dan
logistik
lain
yang
diperlukan;
d. mendorong
ketersediaan
dan
peningkatan
kemampuan
Sumber
Daya
Manusia;
e.
menjamin....
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
-4-
e. menjamin
mutu
laboratorium
rujukan
Tuberkulosis
Resistan
Obat;
f. mengoordinasikan
dan
melakukan
kemitraan
kegiatan
pengendalian
Tuberkulosis
resistan
obat
dengan
institusi
terkait;
dan
g. melakukan
monitoring,
evaluasi,
dan
bimbingan
teknis
kegiatan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat.
Pasal
5
Dalam
melaksanakan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat,
Pemerintah
Provinsi
bertugas:
a. Merencanakan
kegiatan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat
di
provinsi;
b . mengoordinasikan
pelaksanaan
kegiatan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat
di
provinsi;
c . mendorong
ketersediaan
dan
peningkatan
kemampuan
Sumber
Daya
Manusia;
d . memfasilitasi
berjalannya
fungsi
jejaring
pelaksanaan
kegiatan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat;
e . membantu
pengadaan
dan
distribusi
obat,
alat
kesehatan,
dan
logistik
lain
yang
diperlukan;
f . melaksanakan
mutu
laboratorium
rujukan
Tuberkulosis
Resistan
Obat;
g . melakukan
koordinasi
dan
melakukan
kemitraan
kegiatan
pengendalian
Tubekulosis
Resistan
Obat
dengan
institusi
terkait;
h . melaksanakan
monitoring,
evaluasi,
dan
bimbingan
teknis
kegiatan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat;
dan
i . melakukan
pencatatan
dan
pelaporan.
Pasal
6
Dalam
melaksanakan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat,
Pemerintah
Kabupaten/Kota
bertugas
:
a . merencanakan
kegiatan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat
di
kabupaten/
kota;
b.
menyediakan
.....
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
-5-
b . menyediakan
dan
meningkatkan
kemampuan
Sumber
Daya
Manusia;
c . membantu
pengadaan
dan
distribusi
obat,
alat
kesehatan,
dan
logistik
lain
yang
diperlukan;
d . menjamin
berjalannya
fungsi
jejaring
pelaksanaan
kegiatan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat;
e . memfasilitasi
pelacakan
kasus
mangkir;
f . melakukan
koordinasi
dan
kemitraan
kegiatan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat
dengan
lintas
program
dan
institusi
terkait,
g . melakukan
monitoring,
evaluasi,
dan
bimbingan
teknis
kegiatan
pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat;
dan
h . melakukan
pencatatan
dan
pelaporan.
Pasal
7
Pembiayaan
terkait
dengan
penyelenggaraan
Peraturan
Menteri
ini
dibebankan
kepada
APBN,
APBD,
serta
sumber
pendanaan
lain
yang
sah
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
Pasal
8
Pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
Peraturan
Menteri
ini
dilakukan
oleh
Kementerian
Kesehatan.
Dinas
Kesehatan
Provinsi,
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota
dan
Organisasi
Profesi
sesuai
dengan
tugas,
fungsi
dan
kewenangan
masing-masing.
Pasal
....
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
INDONESIA
-6-
Pasal
9
Peraturan
Menteri
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan.
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan
Peraturan
ini
dengan
penempatannya
dalam
Berita
Negara
Republik
Indonesia.
Ditetapkan
di
Jakarta
pada
tanggaI
1
Februari
2013
Diundangkan
di
Jakarta
Pada
tanggal
15
Februari
2013
MENTERI
HUKUM
DAN
HAK
ASASI
MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
BERITA
NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA
TAHUN
2013
NOMOR
225
10
KATA
PENGANTAR
Indonesia menempati urutan ke-9 di antara 27 negara yang mempunyai
beban tinggi untuk TB Multi Drug Resistance atau TB resistan OAT (WHO
Report of Global TB Control, 2011). TB MDR pada dasarnya adalah suatu
fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat
dan penularan dari pasien TB MDR. Penatalaksanaan TB MDR lebih rumit dan
memerlukan perhatian yang lebih banyak dibanding penatalaksanaan TB yang
tidak Resisten.
Penatalaksanaan TB MDR ini dikenal dengan Programmatic
Management of Drug Resistant TB (PMDT), atau Manajemen Terpadu
Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat (MTPTRO). Pada saat ini
penatalaksanaan TB MDR belum banyak diketahui oleh pemberi pelayanan
kesehatan, oleh karena itu perlu adanya pedoman yang dapat dijadikan acuan
bagi tenaga kesehatan dan pengelola program TB MDR.
Pedoman ini direkomendasikan untuk menjadi pegangan seluruh
pengelola program TB MDR dan tenaga kesehatan yang ada di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan baik Rumah Sakit Rujukan TB MDR, Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM), Balai Kesehatan Paru Masyarakat
(BKPM), Puskesmas Satelit, dan pihak-pihak terkait lainnya. Dengan buku
petunjuk ini diharapkan kasus TB MDR dapat ditangani dengan baik dan terarah
sehingga tidak menimbulkan penularan dan menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang berat nantinya.
Akhirnya kami sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada tim
penyusun dan narasumber serta semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan Pedoman ini. Semoga Pedoman ini bermanfaat bagi semua pihak
terkait, khususnya dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
11
DAFTAR
SINGKATAN
3TC
=
Lamivudine
ACH
=
Air
Change
Per
Hour
AKMS
=
Advokasi
Komunikasi
dan
Mobilisasi
Sosial
APD
=
Alat
Pelindung
Diri
ART
=
Anti
Retroviral
Therapy
ARV
=
Anti
Retroviral
(Obat)
AZT
=
Zidovudine
B/BLK
=
Balai
(Besar)
Laboratorium
Kesehatan
Binfar
&
Alkes
=
Bina
Kefarmasian
dan
Alat
Kesehatan
BTA
=
Basil
Tahan
Asam
CD4
=
Cluster
of
differentiation
4
Cm
=
Capreomycin
Cs
=
Sikloserin
DOT
=
Directly
Observed
Treatment
DOTS
=
Directly
Observed
Treatment,
Shortcourse
chemotherapy
E
=
Etambutol
EFV
=
Efavirenz
Eto
=
Etionamid
Fasyankes
=
Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan
FLD
=
First
Line
Drug
HEPA
=
High-efficiecy
Particulate
Absorption
HIV
=
Human
Immunodeficiency
Virus
IDA
=
International
Dispensary
Association
IRIS
=
Immune
Reconstitution
Inflamatory
Syndromes
ISTC
=
International
Standard
for
TB
Care
KIE
=
Konseling
Informasi
Edukasi
Km
=
Kanamisin
KTIPK
=
Konseling
Tes
atas
inisiasi
Petugas
Kesehatan
Lfx
=
Levofloksasin
LPA
=
Line
Probe
Assay
LPV/r
=
Lopinavir/
Ritonavir
LSM
=
Lembaga
Swadaya
Masyarakat
MDR
=
Multi
Drugs
Resistance
Mfx
=
Moksifloksasin
MGIT
=
Mycobacteria
Growth
Indicator
Tube
MTPTRO
=
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
NGO
=
Non
governmental
organization
ODHA
=
Orang
Dengan
HIV/AIDS
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
12
OAT
ORMAS
PAS
PMDT
PPI
PPK
RAN
SLD
TAK
TB
TDF
UV
WHO
XDR
Z
13
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada
tahun
2011,
Badan
kesehatan
dunia
(World
Health
Organization/
WHO)
memperkirakan
di
dunia
terdapat
sekitar
500.000
kasus
TB
yang
resistan
terhadap
INH
dan
Rifampisin
(TB
MDR)
setiap
tahunnya
dengan
angka
kematian
sekitar
150.000.
Dari
jumlah
tersebut
baru
sekitar
10%
yang
telah
ditemukan
dan
diobati.
World
Health
Organization
memperkenalkan
manajemen
terpadu
untuk
penanganan
pasien
TB
Resistan
obat
yang
disebut
sebagai
Programmatic
Management
of
Drug
Resistant
TB
(PMDT).
Dalam
Rencana
Global
Pengendalian
TB
(The
Global
Plan
to
Stop
TB)
2006-2015
yang
telah
direvisi,
secara
global
direncanakan
untuk
mengobati
sekitar
1,6
juta
pasien
TB
MDR
di
dunia
pada
tahun
2006
sampai
2015
dimana
60%
dari
jumlah
pasien
tersebut
berada
di
negara-negara
dengan
beban
TB
MDR
tinggi
(MDR
TB
high
burden
countries).
Prevalensi
TB
MDR
di
dunia
diperkirakan
2-3
kali
lipat
lebih
tinggi
dari
insidens.
Global
TB
report
dari
WHO
tahun
2011
mengenai
hasil
surveilans
resistansi
OAT
di
beberapa
negara
menunjukkan
terdapatnya
negara
atau
wilayah
yang
memiliki
angka
resistansi
terhadap
OAT
yang
sangat
tinggi
dan
bahkan
di
beberapa
wilayah
seperti
di
negara-negara
pecahan
Uni
Soviet
telah
menghadapi
ancaman
endemi
dan
epidemi
TB
MDR.
Indonesia
telah
melakukan
beberapa
survei
resistansi
OAT
untuk
mendapatkan
data
resistansi
OAT.
Survei
tersebut
diantaranya
dilakukan
di
Kabupaten
Timika
Papua
pada
tahun
2004,
menunjukkan
data
kasus
TB
MDR
diantara
kasus
baru
TB
adalah
sebesar
2
%;
di
Provinsi
Jawa
Tengah
pada
tahun
2006,
data
kasus
TB
MDR
di
antara
kasus
baru
TB
adalah
1,9
%
dan
kasus
TB
MDR
pada
TB
yang
pernah
diobati
sebelumnya
adalah
17,1
%;
di
Kota
Makasar
pada
tahun
2007,
data
kasus
TB
MDR
diantara
kasus
baru
TB
adalah
sebesar
4,1
%
dan
pada
TB
yang
pernah
diobati
sebelumnya
adalah
19,2
%.
Hasil
Survei
terbaru
yang
dilakukan
di
Provinsi
Jawa
Timur
pada
tahun
2010
menunjukkan
angka
2%
untuk
kasus
baru
dan
9,7%
untuk
kasus
pengobatan
ulang.
Secara
global,
WHO
pada
tahun
2011
menggunakan
angka
2%
untuk
kasus
baru
dan
12%
untuk
kasus
pengobatan
ulang
untuk
memperkirakan
jumlah
kasus
TB
MDR
di
Indonesia.
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
14
Kegiatan
Programmatic
Management
of
Drug
Resistant
TB
(PMDT)
atau
yang
kemudian
dialihbahasakan
menjadi
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
(MTPTRO)
sebagai
upaya
tatalaksana
pasien
TB
resistan
obat
mulai
dilaksanakan
di
Indonesia
sejak
pertengahan
tahun
2009
dengan
suatu
kegiatan
uji
pendahuluan
di
2
(dua)
wilayah
yaitu
Kota
Jakarta
Timur
dan
Kota
Surabaya.
Uji
pendahuluan
tersebut
bertujuan
untuk
mencari
dan
menguji
sistem
manajemen
yang
paling
tepat
untuk
digunakan
dalam
pelaksanaan
manajemen
penatalaksanaan
pasien
TB
MDR
di
Indonesia,
termasuk
diantaranya
adalah
untuk
menilai
jejaring
internal
maupun
eksternal,
aspek
manajemen
klinis
serta
manajemen
program
yang
terkait
dengan
pelaksanaannya
serta
hal-hal
yang
lainnya.
Uji
pendahuluan
untuk
pengobatan
100
pasien
telah
dilalui
dengan
hasil
cukup
baik,
dimana
angka
konversi
biakan
mencapai
75%
dan
angka
keberhasilan
pengobatan
mencapai
70%.
Hal
ini
menggambarkan
prediksi
awal
untuk
keberhasilan
pengobatan
pasien
TB
MDR
di
masa
mendatang.
Berdasarkan
hasil
tersebut
maka
pengobatan
TB
resistan
obat
ditetapkan
menjadi
bagian
dari
Program
Pengendalian
TB
Nasional
dengan
terbitnya
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
nomor
565/MENKES/PER/III/2011
perihal
Strategi
Nasional
Pengendalian
TB
tahun
2011-2014.
B. Pengertian
Resistansi
kuman
M.tuberculosis
terhadap
OAT
adalah
keadaan
di
mana
kuman
tersebut
sudah
tidak
dapat
lagi
dibunuh
dengan
OAT.
TB
resistan
OAT
pada
dasarnya
adalah
suatu
fenomena
buatan
manusia,
sebagai
akibat
dari
pengobatan
pasien
TB
yang
tidak
adekuat
maupun
penularan
dari
pasien
TB
resistan
OAT.
Penatalaksanaan
TB
resistan
obat
lebih
rumit
dan
memerlukan
perhatian
yang
lebih
banyak
daripada
penatalaksanaan
TB
yang
tidak
resistan.
Penerapan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
menggunakan
kerangka
kerja
yang
sama
dengan
strategi
DOTS
dengan
beberapa
penekanan
pada
setiap
komponennya.
15
16
BAB
II
KEBIJAKAN
DAN
STRATEGI
A. Tujuan
Mencegah
TB
resistan
obat
agar
tidak
menjadi
masalah
kesehatan
masyarakat
dengan
memutuskan
rantai
penularan,
serta
mencegah
terjadinya
extensively
drugs
resistant
TB
(TB
XDR).
B. Kebijakan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
17
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
C.
Strategi
18
tersedianya
OAT
lini
kedua
dan
sarana
pendukung
lainnya.
Selain
itu,
Program
Pengendalian
TB
Nasional
harus
diperkuat
untuk
mencegah
meningkatnya
kejadian
TB
MDR
dan
timbulnya
TB
XDR.
2. Strategi
penemuan
pasien
TB
resistan
obat
yang
rasional
melalui
pemeriksaan
biakan
dan
uji
kepekaan.
Diagnosis
yang
akurat
dan
tepat
waktu
adalah
landasan
utama
dalam
Program
Pengendalian
TB
Nasional,
termasuk
mempertimbangkan
perkembangan
teknologi
yang
sudah
ada
maupun
baru.
Resistansi
obat
harus
didiagnosis
secara
tepat
sebelum
dapat
diobati
secara
efektif.
Proses
penegakan
diagnosis
TB
resistan
obat
adalah
pemeriksaan
uji
kepekaan
dengan
tes
cepat
di
Fasyankes
Rujukan
TB
MDR,
dilanjutkan
dengan
apusan
dahak
secara
mikroskopis,
biakan,
serta
uji
kepekaan
konvensional
yang
dilakukan
di
laboratorium
rujukan
yang
sudah
tersertifikasi.
3. Pengelolaan
pasien
TB
Resistan
Obat
yang
baik
dengan
pengawasan
langsung
dan
menggunakan
strategi
pengobatan
yang
tepat
dengan
OAT
lini
kedua.
Untuk
mengobati
pasien
TB
resistan
obat,
diperlukan
paduan
OAT
lini
kedua
dan
lini
satu
yang
masih
sensitif
dan
berkualitas
dengan
paduan
pengobatan
yang
tepat.
OAT
lini
kedua
lebih
rumit
dalam
pengelolaannya
antara
lain
penentuan
paduan
obat,
dosis,
cara
pemberian,
lama
pemberian,
perhitungan
kebutuhan,
penyimpanan
dan
sebagainya.
Selain
itu,
harga
OAT
lini
dua
jauh
lebih
mahal,
potensi
yang
dimiliki
lebih
rendah
dibanding
OAT
lini
pertama
yang
telah
resistan,
efek
samping
lebih
banyak
dan
lebih
berat
daripada
OAT
lini
pertama.
Strategi
pengobatan
yang
tepat
adalah
pemakaian
OAT
secara
rasional,
pengobatan
didampingi
pengawas
menelan
obat
yang
terlatih
yaitu
petugas
kesehatan.
Pengobatan
didukung
oleh
pelayanan
TB
MDR
dengan
keberpihakan
kepada
pasien,
serta
adanya
prosedur
tetap
untuk
mengawasi
dan
mengatasi
kejadian
efek
samping
obat.
4.
Jaminan
ketersediaan
OAT
lini
kedua
berkualitas
yang
tidak
terputus.
Pengelolaan
OAT
lini
kedua
lebih
rumit
daripada
OAT
lini
pertama.
Hal
ini
disebabkan
oleh
beberapa
hal,
antara
lain:
waktu
kadaluarsa
yang
lebih
singkat,
cara
penghitungan
kebutuhan
pemakaian
yang
berdasar
kebutuhan
per
individual
pasien,
jangka
waktu
pemberian
yang
berbeda
sesuai
respons
pengobatan,
beberapa
obat
memerlukan
cara
penyimpanan
khusus
yang
tidak
memungkinkan
untuk
dikemas
dalam
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
19
20
BAB
III
PENGORGANISASIAN
DAN
JEJARING
A. Organisasi
Pelaksana
1. Tingkat
Pusat
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
(MTPTRO)
merupakan
bagian
dari
upaya
Pengendalian
TB
Nasional
yang
dilakukan
melalui
Gerakan
Terpadu
Nasional
Pengendalian
Tuberkulosis
(Gerdunas
TB);
yang
merupakan
forum
lintas
sektor
dibawah
koordinasi
Menteri
Koordinasi
Kesejahteraan
Rakyat
sedangkan
Menteri
Kesehatan
sebagai
penanggung
jawab
kegiatan
Pengendalian
TB
Nasional.
Pelaksanaan
MTPTRO
di
tingkat
Nasional
berada
di
bawah
tanggung
jawab
langsung
Direktorat
Jenderal
Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan
Lingkungan,
Direktorat
Jenderal
Bina
Upaya
Kesehatan,
serta
Direktorat
Jenderal
lain
yang
terkait.
Sebagai
unit
pelaksana
harian
dari
kegiatan
MTPTRO
adalah
Sub-
direktorat
TB,
Direktorat
Pengendalian
Penyakit
Menular
Langsung,
Direktorat
Jenderal
Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan
Lingkungan
yang
bekerjasama
dengan
Subdirektorat
-
Subdirektorat
terkait
lainnya.
Dalam
pelaksanaan
tugasnya,
Subdirektorat
TB
mendapatkan
bantuan
teknis
dari
kelompok
kerja
(POKJA)
MTPTRO
yang
merupakan
organisasi
fungsional
yang
bertugas
memberikan
input,
melakukan
analisis
situasi
dan
membantu
untuk
merumuskan
kebijakan
berkaitan
dengan
aspek
program
dan
klinis.
Pokja
MTPTRO
beranggotakan
perwakilan-perwakilan
dari
organisasi
profesi,
fasyankes,
Dinas
Kesehatan
Provinsi,
mitra
program
TB,
ahli
klinis
dan
ahli
kesehatan
lain
yang
ditunjuk
oleh
Direktur
Jenderal
Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan
Lingkungan
2. Tingkat
Provinsi
21
Di
tingkat
Provinsi
dibentuk
Gerdunas
TB
Provinsi
yang
terdiri
dari
Tim
Pengarah
dan
Tim
Teknis.
Bentuk
dan
struktur
organisasi
disesuaikan
dengan
kebutuhan
daerah.
Pelaksanaan
MTPTRO
merupakan
bagian
dari
pelaksanaan
program
TB
di
tingkat
Provinsi
dimana
Dinas
Kesehatan
Provinsi
berperan
sebagai
penanggung
jawab.
Untuk
pelaksanaan
kegiatan
perlu
dibentuk
Tim
MTPTRO
Provinsi
yang
akan
membantu
Dinas
Kesehatan
baik
untuk
aspek
program
maupun
klinis.
Bila
diperlukan
tim
ini
bisa
berkoordinasi
dengan
Pokja
MTPTRO
di
tingkat
Pusat.
3. Tingkat
Kabupaten/Kota
Di
tingkat
Kabupaten/Kota
dibentuk
Gerdunas
TB
Kabupaten/Kota
yang
terdiri
dari
tim
pengarah
dan
tim
teknis.
Bentuk
dan
struktur
organisasi
disesuaikan
dengan
kebutuhan
Kabupaten/Kota.
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota
bertanggung
jawab
terhadap
pelaksaanan
MTPTRO
di
wilayahnya.
Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan
(Fasyankes)
a.
b.
c.
Rujukan
TB
MDR
Fasyankes
Rujukan
TB
MDR
merupakan
fasyankes
yang
melaksanakan
MTPTRO
mulai
dari
penjaringan
suspek,
penegakan
diagnosis,
pengobatan
baik
rawat
inap
maupun
rawat
jalan,
evaluasi
kemajuan
pengobatan,
penatalaksanaan
efek
samping,
evaluasi
keberhasilan
pengobatan,
manajemen
logistik
dan
pencatatan
serta
pelaporannya.
Sub
Rujukan
TB
MDR
Sub
Rujukan
TB
MDR
merupakan
fasyankes
yang
melaksanakan
MTPTRO
yang
kegiatannya
mulai
dari
penjaringan
suspek,
penegakan
diagnosis,
pengobatan
baik
rawat
inap
maupun
rawat
jalan,
evaluasi
kemajuan
pengobatan,
penatalaksanaan
efek
samping,
pengelolaan
logistik
dan
pencatatannya.
Dalam
pelaksanaannya
fasyankes
ini
memerlukan
koordinasi
dan
pendampingan
fasyankes
Rujukan
TB
MDR,
karena
ada
beberapa
persyaratan
yang
belum
bisa
dipenuhi.
Fasyankes
Sub
Rujukan
dapat
ditingkatkan
statusnya
menjadi
fasyankes
Rujukan
bila
telah
memenuhi
persyaratan
yang
telah
ditetapkan.
Satelit
TB
MDR
22
Sub
Rujukan
+/-
-
+
+/-
+/-
+
+
+/-
Satelit
23
Untuk
keberhasilan
jejaring
internal,
perlu
didukung
oleh
tim
DOTS
rumah
sakit.
Tim
DOTS
rumah
sakit
mengkoordinasikan
seluruh
kegiatan
penatalaksanaan
semua
pasien
TB
termasuk
pasien
TB
resistan
obat.
Tim
ahli
klinis
(TAK)
merupakan
bagian
dari
struktur
tim
DOTS
rumah
sakit
yang
khusus
melaksanakan
penatalaksanaan
kasus
TB
resistan
obat
di
fasyankes
rujukan.
Bagan
di
bawah
ini
merupakan
model
generik
dari
TAK
di
fasyankes
rujukan
TB
MDR.
Pengorganisasian
Tim
Ahli
Klinis
di
Fasyankes
Rujukan
TB
MDR
Fasyankes
Rujukan
TB
MDR
Tim
DOTS
Tim
Ahli
Klinis
TAK
Ad
Hoc/
Tim
Terapeutik
Unit
Pelayanan
TB
MDR
Rawat
Inap
Rawat
Jalan
2. Jejaring
Eksternal
Jejaring
eksternal
adalah
jejaring
yang
dibangun
antara
fasyankes
rujukan
dengan
semua
fasyankes
dan
institusi
lain
yang
terkait
dalam
Pengendalian
TB,
termasuk
penatalaksanaan
pasien
TB
resistan
obat
dan
difasilitasi
oleh
Dinas
Kesehatan
setempat.
Tujuan
jejaring
eksternal
:
a. Semua
pasien
TB
Resistan
obat
mendapatkan
akses
pelayanan
MTPTRO
yang
bermutu,
mulai
dari
diagnosis,
pengobatan,
pemeriksaan
pemantauan
dan
tindak
lanjut
hasil
pengobatan
sampai
akhir
pengobatan.
24
pract
BP4 /RSP
Referal
RS
SUB RUJUKAN
TB MDR
PUSAT RUJUKAN
TB MDR
KAB / KOTA
LAB RUJUKAN
PROVINSI
25
Tabel
2.
Fungsi
Masing-masing
Institusi
Pada
Jejaring
Eksternal
Lab
Rujukan
TB
MDR
- Diagnostik:
biakan/uji
kepekaan
- Pemeriksaan
pemantauan
pengobatan
(follow
up):
biakan
- Pencatatan
dan
pelaporan
Rujukan
TB
MDR
- Penemuan
Suspek
- Penetapan
Suspek
- Inisiasi
pengobatan
- KIE,
inform
consent
- TAK
- Pemeriksaan
Penunjang
- Rawat
Inap
dan
jalan
- Manajemen
ESO
(menyeluruh)
- Evaluasi
Pengobatan
- Pencatatan
dan
pelaporan
Sub
Rujukan
TB
MDR
- Penemuan
Suspek
- Penetapan
Suspek
- Inisiasi
pengobatan
- KIE,
inform
consent
- TAK
- Pemeriksaan
Penunjang
- Rawat
Inap
dan
jalan
- Manajemen
ESO
(terbatas)
- Evaluasi
Pengobatan
- Pencatatan
dan
pelaporan
Satelit
TB
MDR
- Penemuan
Suspek
- Merujuk
Suspek
- Meneruskan
pengobatan
(rawat
jalan)
- Monitoring
ESO
- KIE
- PMO
- Pencatatan
Dinkes
Kab/Kota
- Verifikasi
- Pelacakan
pasien
- Logistik
- Pencatatan
dan
pelaporan
Dinkes
Provinsi
-
Monev
Koordinasi
Logistik
Pencatatan
dan
pelaporan
26
BAB
IV
PENATALAKSANAAN
PASIEN
TB
RESISTAN
OBAT
27
28
29
B. Penegakan
Diagnosis
TB
Resistan
Obat
30
a. Metode
konvensional
- Menggunakan
media
padat
(Lowenstein
Jensen/LJ)
atau
media
cair
(MGIT).
- Digunakan
untuk
uji
kepekaan
terhadap
OAT
lini
pertama
dan
OAT
lini
kedua
b. Tes
Cepat
(Rapid
Test).
- Menggunakan
Xpert
MTB/RIF
atau
lebih
dikenal
dengan
GeneXpert.
o Merupakan
tes
amplifikasi
asam
nukleat
secara
otomatis
sebagai
sarana
deteksi
TB
dan
uji
kepekaan
untuk
rifampisin.
o Hasil
pemeriksaan
dapat
diketahui
dalam
waktu
kurang
lebih
2
jam.
o Digunakan
untuk
uji
kepekaan
terhadap
Rifampisin
-
31
Mtb Negatif
Mtb tumbuh
32
33
34
Gambar
3:
Alur
Penemuan
TB
MDR
(pasien
terduga
TB
Resistan
obat
datang
langsung
ke
fasyankes
Rujukan
TB
MDR)
Suspek
TB
MDR
diperiksa
oleh
TAK
di
unit
TB
MDR
Fasyankes
Rujukan
TB
MDR
Mengisi
data
dasar
suspek
TB
MDR
dan
Mengisi
TB-06
Mengembalikan
lembar
jawaban
rujukan
ke
fasyankes
pengirim
Mengisi
formulir
TB-05
Mengirim
spesimen
dahak
/
suspek
ke
laboratorium
rujukan
TB
MDR
Menunggu
hasil
pemeriksaan
Umpan
balik
hasil
pemeriksaan
laboratorium
diterima
Formulir
yang
digunakan
Formulir
Data
Dasar
Suspek
TB
MDR
Penanggung
Jawab
Dokter
RS
Rujukan
TB
MDR
Petugas
RS
Rujukan
TB
MDR
TB
06
Lembar
Jawaban
Formulir
Rujukan
Suspek
TB
MDR
Dokter
RS
Rujukan
TB
MDR
TB
05
Dokter
RS
Rujukan
TB
MDR
Lembar
Hasil
Pemeriksaan
Laboratorium
TB
05
Laboratorium
Rujukan
TB
MDR
35
36
Pencatatan
4+
3+
2+
1+
Jumlah
koloni
Negatif
Pencatatan
hasil
biakan
dilakukan
sebagai
berikut:
- Bila
menggunakan
media
cair:
tulis
pos
bila
positif
dan
neg
bila
negatif
- Bila
menggunakan
media
padat:
tulis
gradasi
koloni
kuman
(negatif,
angka
1-19,
1+,
2+,
dst)
- Hasil
pemeriksaan
dicatat
di
formulir
TB.06,
TB.05,
TB.04,
TB.03
MDR
dan
TB.01
MDR.
- Pencatatan
ini
dapat
digunakan
oleh
TAK
sebagai
acuan
dalam
mendiagnosis
dan
menilai
kemajuan
pengobatan
pasien
TB
MDR.
3. Uji
kepekaan
M.
tuberculosis
terhadap
OAT:
Saat
ini
uji
kepekaan
terhadap
M.
tuberculosis
dapat
dilakukan
dengan
cara
konvensional
dan
tes
cepat.
Ketepatan
uji
kepekaan
M.
tuberculosis
yang
dilakukan
dalam
kondisi
optimum
bergantung
kepada
jenis
obat
yang
diuji.
Uji
kepekaan
untuk
OAT
lini
pertama
dilakukan
untuk
rifampisin
(R),
isoniazid
(H)
dan,
etambutol
(E).
Untuk
OAT
lini
kedua,
uji
kepekaan
dilakukan
untuk
Amikasin
(Am),
Kanamisin
(Km)
dan
Ofloksasin
(Ofl).
Data
tentang
tingkat
kepercayaan
dan
keterulangan
untuk
OAT
lini
kedua
yang
lain
masih
sangat
terbatas
bahkan
ada
yang
belum
dapat
dilakukan.
Kedepan
jenis
OAT
yang
dilakukan
uji
kepekaan
bisa
berubah
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
kemampuan
laboratorium
yang
tersedia.
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
37
38
39
c. Lain-lain:
E. Pengobatan
40
c. Paduan
OAT
tersebut
dapat
disesuaikan
bila
terjadi
perubahan
hasil
uji
kepekaan
M.
tuberculosis
dengan
paduan
baru
yang
ditetapkan
oleh
TAK.
Bila
diagnosis
TB
MDR
telah
ditegakkan,
maka
sebelum
memulai
pengobatan
harus
dilakukan
persiapan
awal
termasuk
melakukan
beberapa
pemeriksaan
penunjang.
41
Penetapan
pasien
TB
MDR
yang
akan
diobati
dilaksanakan
oleh
Tim
Ahli
Klinis
(TAK)
di
Fasyankes
Rujukan
TB
MDR.
Tabel
4
:
Kriteria
untuk
penetapan
pasien
TB
MDR
yang
akan
diobati.
Kriteria
Keterangan
1. Kasus
TB
RR/TB
MDR
Pasien
terbukti
TB
MDR
berdasarkan
hasil
pemeriksaan
uji
kepekaan
yang
dilakukan
oleh
laboratorium
yang
tersertifikasi.
Pasien
yang
terbukti
Resistan
terhadap
rifampisin
berdasarkan
pemeriksaan
genotipik
(tes
cepat)
atau
pemeriksaan
fenotipik
(uji
kepekaan
konvensional).
2. Penduduk
dengan
alamat
yang
Dinyatakan
dengan
Kartu
Tanda
Penduduk
(KTP)
jelas
atau
dokumen
pendukung
lain
dari
otoritas
setempat
3. Bersedia
menjalani
program
Pasien
dan
keluarga
menandatangani
informed
pengobatan
dengan
consent
setelah
mendapat
penjelasan
yang
cukup
menandatangani
informed
dari
TAK
consent
serta
bersedia
untuk
datang
setiap
hari
ke
fasyankes
TB
MDR
Pada
prinsipnya
semua
pasien
TB
RR/TB
MDR
harus
mendapatkan
pengobatan
dengan
mempertimbangkan
kondisi
klinis
awal.
Tidak
ada
kriteria
klinis
tertentu
yang
menyebabkan
pasien
TB
RR/TB
MDR
harus
dieksklusi
dari
pengobatan.
Kondisi
pada
tabel
5
adalah
kondisi
khusus
yang
harus
diperhatikan
oleh
TAK
sebelum
memulai
pengobatan
TB
RR/TB
MDR.
Penetapan
untuk
mulai
pengobatan
pada
pasien
TB
RR/TB
MDR
dengan
kondisi
khusus
tersebut
diputuskan
oleh
TAK
dengan
masukan
dari
tim
terapeutik.
Tabel
5
:
Pasien
TB
MDR
dengan
kondisi
khusus
1. Penyakit
penyerta
yang
berat
Kondisi
berat
karena
penyakit
utama
atas
dasar
(ginjal,
hati,
epilepsi
dan
riwayat
dan
pemeriksaan
laboratorium
psikosis)
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
42
4. Pengobatan
TB
MDR
a. Jenis
OAT
untuk
pengobatan
TB
MDR.
Pengobatan
pasien
TB
MDR
dan
TB
RR
menggunakan
paduan
OAT
MDR
yang
terdiri
dari
OAT
lini
kedua
dan
lini
pertama,
yang
dibagi
dalam
5
kelompok
berdasar
potensi
dan
efikasinya,
yaitu:
Tabel
6.
Pengelompokan
OAT
Golongan
Jenis
Obat
Golongan-1
Obat
Lini
Pertama
Isoniazid
(H)
Pirazinamid
(Z)
Rifampisin
(R)
Streptomisin
(S)
Etambutol
(E)
Golongan-2
Obat
suntik
lini
kedua
Kanamisin
(Km)
Amikasin
(Am)
Kapreomisin
(Cm)
Golongan-3
Golongan
Levofloksasin
(Lfx)
Florokuinolon
Moksifloksasin
(Mfx)
Ofloksasin
(Ofx)
Golongan-4
Obat
bakteriostatik
Etionamid
(Eto)
Terizidon
(Trd)
lini
kedua
Protionamid
(Pto)
Para
amino
salisilat
Sikloserin
(Cs)
(PAS)
Golongan-5
Obat
yang
belum
Clofazimin
(Cfz)
Klaritromisin
(Clr)
terbukti
efikasi-nya
Linezolid
(Lzd)
Imipenem
(Ipm).
dan
belum
Amoksilin/
Asam
direkomendasikan
Klavulanat
(Amx/Clv)
oleh
WHO
untuk
pengobatan
standar
TB
RR/TB
MDR
b. Paduan
pengobatan
TB
MDR
di
Indonesia
Pilihan
paduan
OAT
MDR
saat
ini
adalah
paduan
standar
(standardized
treatment),
yang
pada
permulaan
pengobatan
akan
diberikan
sama
kepada
semua
pasien
TB
MDR.
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
43
1)
2)
3)
4)
5)
Paduan
standar
OAT
MDR
yang
diberikan
adalah
:
Km Eto Lfx
Cs Z-(E) / Eto Lfx Cs Z-(E)
Paduan
OAT
MDR
standar
diberikan
pada
pasien
yang
sudah
terkonfirmasi
TB
RR/MDR
secara
laboratoris.
Bila
ada
riwayat
penggunaan
paduan
OAT
yang
dicurigai
telah
ada
resistensi,
misalnya
pasien
sudah
pernah
mendapat
fluorokuinolon
pada
pengobatan
TB
sebelumnya
maka
diberikan
levofloksasin
dosis
tinggi.
Paduan
OAT
MDR
standar
akan
disesuaikan
paduan
atau
dosisnya
jika:
Terdapat
tambahan
resistensi
terhadap
OAT
lainnya
berdasarkan
hasil
uji
kepekaan.
Contoh:
Etambutol
tidak
diberikan
jika
terbukti
sudah
resistan
Apabila
pasien
terbukti
resistan
terhadap
Kanamisin
maka
Kanamisin
diganti
dengan
Kapreomisin
Terjadi
efek
samping
berat
dan
obat
penyebab
sudah
diketahui,
maka
obat
bisa
diganti
bila
tersedia
obat
pengganti,
contoh:
Apabila
pasien
mengalami
efek
samping
gangguan
kejiwaan
karena
sikloserin
maka
sikloserin
dapat
diganti
dengan
PAS.
Apabila
pasien
mengalami
gangguan
pendengaran
karena
kanamisin,
maka
kanamisin
dapat
diganti
dengan
kapreomisin
Dosis
atau
frekuensi
disesuaikan
bila:
terjadi
perubahan
kelompok
berat
badan
terjadi
efek
samping
berat
dan
obat
pengganti
tidak
tersedia
Jika
sejak
awal
terbukti
resistan
terhadap
kanamisin,
maka
paduan
standar
adalah
sebagai
berikut:
Cm
L
fx
Eto
Cs
Z
(E)
/
Lfx
Eto
Cs
Z
(E)
44
6)
7)
8)
9)
Jika
sejak
awal
terbukti
resistan
terhadap
fluorokuinolon
maka
paduan
standar
adalah
sebagai
berikut:
Km
Mfx
Eto
Cs
PAS
Z
(E)
/
Mfx
Eto
Cs
PAS
Z
(E)
Jika
sejak
awal
terbukti
resistan
terhadap
kanamisin
dan
fluorokuinolon
(TB
XDR)
maka
paduan
standar
adalah
sebagai
berikut:
Cm
Mfx
Eto
Cs
PAS
Z
(E)
/
Mfx
Eto
Cs
PAS
Z
(E)
Status
HIV
pasien
TB
MDR
tidak
mempengaruhi
paduan
pengobatan
TB
MDR.
Penetapan
paduan
pengobatan
pasien
TB
MDR
merupakan
kewenangan
TAK.
45
< 33 kg
33-50 kg
51-70 kg
>70 kg
Pirazinamid
20-30 mg/kg/hari
750-1500 mg
1500-1750 mg
1750-2000 mg
Kanamisin
15-20 mg/kg/hari
500-750 mg
1000 mg
1000 mg
Etambutol
20-30 mg/kg/hari
800-1200 mg
1200-1600 mg
1600-2000 mg
Kapreomisin
15-20 mg/kg/hari
500-750 mg
1000 mg
1000 mg
Levofloksasin
(dosis
standar)
7,5-10 mg/kg/hari
750 mg
750 mg
750-1000mg
Levofloksasin
(dosis
tinggi)
1000 mg
1000 mg
1000 mg
1000 mg
Moksifloksasin
7,5-10 mg/kg/hari
400 mg
400 mg
400 mg
Sikloserin
15-20 mg/kg/hari
500 mg
750 mg
750-1000mg
Etionamid
15-20 mg/kg/hari
500 mg
750 mg
750-1000mg
PAS
150 mg/kg/hari
8 g
8 g
8 g
d. Lama
dan
cara
pemberian
pengobatan
TB
MDR
Lama
pengobatan
tahap
awal
dan
tahap
lanjutan
paling
sedikit
18
bulan
setelah
terjadi
konversi
biakan
Pengobatan
dibagi
menjadi
dua
tahap,
yaitu
tahap
awal
dan
tahap
lanjutan.
Tahap
awal
adalah
tahap
pengobatan
dengan
menggunakan
obat
suntikan
(kanamisin
atau
kapreomisin)
yang
diberikan
sekurang-kurangnya
selama
6
bulan
atau
4
bulan
setelah
terjadi
konversi
biakan.
Tahap
lanjutan
adalah
tahap
pengobatan
setelah
selesai
pengobatan
tahap
awal
dan
pemberian
suntikan
dihentikan.
Satuan
bulan
yang
dimaksud
adalah
bulan
sesuai
dosis
bukan
bulan
kalender.
Satu
bulan
pengobatan
adalah
bila
pasien
mendapatkan
28
dosis
pengobatan
(1
bulan
=
4
minggu
=
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
46
28
hari).
Pemberian
obat
oral
selama
periode
pengobatan
tahap
awal
dan
tahap
lanjutan
menganut
prinsip
DOT
=
Directly
Observed
Treatment
dengan
PMO
diutamakan
adalah
tenaga
kesehatan
atau
kader
kesehatan
terlatih.
Obat
suntikan
harus
diberikan
oleh
petugas
kesehatan.
Cara
pemberian
obat:
-
Tahap
awal:
suntikan
diberikan
5
hari
seminggu
(Senin-Jumat),
obat
per-oral
ditelan
7
hari
seminggu
(setiap
hari,
Senin-Minggu)
di
depan
PMO.
Jumlah
obat
oral
yang
diberikan
dan
ditelan
minimal
168
dosis
dan
suntikan
minimal
120
dosis.
Tahap
lanjutan:
Obat
per
oral
ditelan
selama
6
(enam)
hari
dalam
seminggu
(Senin-
Sabtu,
hari
Minggu
pasien
tidak
minum
obat)
di
depan
PMO.
Obat
suntikan
sudah
tidak
diberikan
pada
tahap
ini.
Tahap
lanjutan,
lama
pengobatan
tahap
lanjutan
adalah
total
lama
pengobatan
dikurangi
dengan
lama
pengobatan
tahap
awal,
dimana
total
lama
pengobatan
adalah:
a
+
18
bulan,
a
=
bulan
pertama
tercapai
konversi
biakan.
Contoh:
Hasil
pemeriksaan
dahak
dan
biakan
pasien
A
Bulan
ke
Hasil BTA
Hasil Biakan
1+
Mtb
Neg
Mtb
Neg
Mtb
F. 4
5
G. Neg
Neg
H. Neg
Neg
Tercapai
konversi
pada
bulan
ke-4
dan
ke-5
(selisih
30
hari
berturutan).
Jadi
Lama
tahap
awal
adalah
=
4
+
4
=
8
bulan,
dan
total
lama
pengobatan
diperkirakan
4+18
=
22
bulan.
Pasien
A
menjalani
tahap
awal
selama
8
bulan
dan
total
lama
pengobatan
adalah
22
bulan,
jadi
lama
tahap
lanjutan
adalah
22-8
=
14
bulan.
Pada
pengobatan
TB
MDR
dimungkinkan
terjadinya
pemberian
obat
dengan
dosis
naik
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
47
48
Pada
awal
memulai
pengobatan
TAK
akan
menetapkan
apakah
pasien
memerlukan
rawat
inap
atau
tidak.
Rawat
Inap:
Bila
diperlukan,
rawat
inap
dilakukan
selama
maksimal
2
minggu.
Kriteria
pasien
yang
memerlukan
rawat
inap:
Tanda
ada
gangguan
kejiwaan
Pneumonia
Pneumotoraks
Abses
paru
Efusi
pleura
Kelainan
hati
berat
Gangguan
hormon
tiroid
Insufisiensi
ginjal
Gangguan
elektrolit
Malnutrisi
berat
Diabetes
melitus
Gangguan
gastrointestinal
berat
yang
mempengaruhi
absorbsi
obat
Underlying
disease
lain
yang
memerlukan
rawat
inap.
Rawat
Jalan:
TAK
menentukan
kelayakan
pasien
menjalani
rawat
jalan
sejak
awal
berdasarkan:
Keadaan
umum
pasien
cukup
baik.
Tidak
dijumpai
kondisi
klinis
yang
memerlukan
rawat
inap
atau
kondisi
penyulit
telah
dapat
tertangani.
Pasien
sudah
mengetahui
cara
minum
obat
dan
jadual
suntikan
sesuai
dengan
pedoman
pengobatan
TB
MDR.
b. Inisiasi
pengobatan
di
Fasyankes
Satelit
Pasien
dapat
memulai
pengobatan
sejak
awal
di
fasyankes
satelit
jika
fasyankes
satelit
yang
ditunjuk
sudah
pernah
melakukan
tatalaksana
pengobatan
TB
MDR
sebelumnya
dan
mendapat
persetujuan
dari
TAK.
Hal-hal
yang
harus
diperhatikan
bila
pasien
diobati
di
fasyankes
satelit:
- Seminggu
sekali
pasien
diupayakan
bertemu
dokter
di
Fasyankes
Satelit
untuk
berkonsultasi
dan
pemeriksaan
fisis.
- Pasien
yang
diobati
di
Fasyankes
Satelit
berkonsultasi
dengan
dokter
di
Fasyankes
Rujukan/Sub
Rujukan
minimal
sekali
dalam
sebulan
(jadual
kedatangan
disesuaikan
dengan
jadual
pemeriksaan
dahak
atau
pemeriksaan
laboratorium
lain).
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
49
50
Kegiatan
pemberian
konseling,
edukasi
kesehatan,
dan
motivasi
kepada
pasien
TB
Resistan
obat
dan
anggota
keluarga
mereka
tentang
penyakit
dan
tentang
perlunya
pengobatan
secara
teratur
sampai
selesai
adalah
sangat
penting.
Kegiatan
ini
diberikan
kepada
semua
pasien
dan
anggota
keluarga
di
setiap
tingkat
fasyankes,
mulai
dari
fasyankes
satelit
sampai
kepada
fasyankes
Rujukan
dan
dimulai
sejak
awal
yaitu
sebelum
pasien
didiagnosis
sebagai
TB
MDR
dan
dilakukan
secara
terus
menerus
pada
setiap
kunjungan
pasien
ke
fasyankes.
Dukungan
psikososial
kepada
pasien
TB
Resistan
Obat
sangat
diperlukan
untuk
keberhasilan
pengobatan.
Dukungan
dapat
dilakukan
dalam
bentuk
pertemuan
pasien
secara
berkala
yang
difasilitasi
oleh
petugas
kesehatan,
baik
dalam
bentuk
pertemuan
kelompok
pasien
yang
bertujuan
untuk
menumbuhkan
ikatan
antara
sesama
pasien
sejak
tahap
awal
pengobatan
dan
pertemuan
umum
dengan
melibatkan
tokoh
agama,
psikolog
atau
kelompok
pendukung
pasien
lainnya
yang
dapat
berasal
dari
organisasi
masyarakat
atau
LSM
yang
dapat
menumbuhkan
semangat
dan
motivasi
pasien
untuk
menyelesaikan
pengobatannya.
Dukungan
psikososial
dapat
juga
berupa
pemberian
dukungan
untuk
mengatasi
masalah
transportasi
selama
masa
pengobatan
TB
MDR,
pengurangan
stigma
di
lingkungan
masyarakat
sekitarmya,
dsb.
I. Penanganan
Efek
Samping
Pemantauan
terjadinya
efek
samping
sangat
penting
pada
pengobatan
pasien
TB
MDR
I.
karena
dalam
paduan
OAT
MDR
terdapat
OAT
lini
kedua
yang
memiliki
efek
samping
yang
lebih
banyak
dibandingkan
dengan
OAT
lini
pertama.
Semua
OAT
yang
digunakan
untuk
pengobatan
pasien
TB
MDR
mempunyai
kemungkinan
untuk
timbul
efek
samping
baik
ringan,
sedang,
maupun
berat.
Bila
muncul
efek
samping
pengobatan,
kemungkinan
pasien
akan
menghentikan
pengobatan
tanpa
memberitahukan
TAK
atau
petugas
fasyankes
(default)
sehingga
KIE
mengenai
gejala
efek
samping
pengobatan
harus
dilakukan
sebelum
pasien
memulai
pengobatan
TB
MDR.
Selain
itu,
penanganan
efek
samping
yang
baik
dan
adekuat
adalah
kunci
keberhasilan
pengobatan
TB
MDR.
51
d. Semua
efek
samping
pengobatan
yang
dialami
pasien
harus
tercatat
dalam
formulir
efek
samping
pengobatan.
Z,
E,Eto,
PAS,
Km,
Cm
Neuropati
perifer
52
No
Efek samping
Kemungkinan
OAT
Penyebab
Tindakan
rendah
pada
malam
hari
dan
OAINS
(obat
anti
inflamasi
non
steroid).
Bila
gejala
neuropati
mereda
atau
hilang
OAT
dapat
dimulai
kembali
dengan
dosis
uji.
- Bila
gejalanya
berat
dan
tidak
membaik
bisa
dipertimbangkan
penghentian
sikloserin
dan
mengganti
dengan
PAS.
- Hindari
pemakaian
alkohol
dan
rokok
karena
akan
memperberat
gejala
neuropati.
Mual
muntah
ringan
Eto,
PAS,
Z,
E,
Lfx.
Mual
muntah
berat
Eto,
PAS,
Z,
E,
Lfx.
53
No
Efek samping
Kemungkinan
OAT
Penyebab
Tindakan
rendah
atau
muntah
berlanjut
beberapa
hari.
Bila
muntah
terjadi
bukan
diawal
terapi,
muntah
dapat
merupakan
tanda
kekurangan
kalium
pada
pasien
yang
mendapat
suntikan
kanamisin.
Anoreksia
Z, Eto, Lfx
Diare
PAS
Nyeri kepala
Eto, Cs
Vertigo
54
No
Efek samping
Kemungkinan
OAT
Penyebab
Tindakan
- Pemberian
OAT
suntik
1
jam
setelah
OAT
oral
dan
memberikan
etionamid
dalam
dosis
terbagi
bila
memungkinkan.
Artralgia
Z, Lfx
Gangguan Tidur
Lfx, Moxi
10
Gangguan
elektrolit
ringan
:
Hipokalemi
Km, Cm
55
No
Efek samping
Kemungkinan
OAT
Penyebab
Tindakan
Rujukan
TB
MDR.
- Hentikan
pemberian
kanamisin
selama
beberapa
hari
jika
kadar
kalium
kurang
dari
2.3
meq/L,
laporkan
kepada
TAK
ad
hoc.
- Berikan
infus
cairan
KCl:
paling
banyak
10
mmol/jam
Hati-hati
pemberian
bersamaan
dengan
levofloksasin
karena
dapat
saling
mempengaruhi.
11
Depresi
12
Perubahan
perilaku
Cs
13
Gastritis
PAS, Eto
56
No
Efek samping
Kemungkinan
OAT
Penyebab
Tindakan
- Antasida
golongan
Mg(OH)2
- H2
antagonis
(Ranitidin)
14
15
Nyeri
di
tempat
suntikan
Metalic taste
Km, Cm
Eto
Tabel
9.
Efek
samping
berat.
Kemungkinan
Efek
No
OAT
samping
Penyebab
1
Kelainan
Z,Eto,PAS,E,
fungsi
hati
Lfx
Tindakan
- Hentikan
semua
OAT,
rujuk
segera
pasien
ke
fasyankes
Rujukan
TB
MDR
- Pasien
dirawat
inapkan
untuk
penilaian
lanjutan
jika
gejala
menjadi
lebih
berat.
- Periksa
serum
darah
untuk
kadar
enzim
hati.
- Singkirkan
kemungkinan
penyebab
lain,
selain
hepatitis.
Lakukan
anamnesis
ulang
tentang
riwayat
hepatitis
sebelumnya.
- TAK
akan
mempertimbangkan
untuk
- menghentikan
obat
yang
paling
mungkin
menjadi
penyebab.
Mulai
kembali
dengan
obat
lainnya,
apabila
dimulai
dengan
OAT
yang
bersifat
hepatotoksik,
pantau
fungsi
hati.
Kelainan
fungsi
ginjal
Km, Cm
57
No
Efek
samping
Kemungkinan
OAT
Penyebab
Tindakan
ditemukan
gejala
yang
mengarah
ke
gangguan
ginjal.
- TAK
bersama
ahli
nefrologi
atau
ahli
penyakit
dalam
akan
menetapkan
penatalaksanaannya.
Jika
terdapat
gangguan
ringan
(kadar
kreatinin
1.5-
2.2
mg/dl),
hentikan
kanamisin
sampai
kadar
kreatinin
menurun.
TAK
dengan
rekomendasi
ahli
nefrologi
akan
menetapkan
kapan
suntikan
akan
kembali
diberikan.
- Untuk
kasus
sedang
dan
berat
(kadar
kreatinin
>
2.2
mg/dl),
hentikan
semua
obat
dan
lakukan
perhitungan
GFR
(Glomerular
filtration
rate).
- Jika
GFR
atau
klirens
kreatinin
(creatinin
clearance)
<
30
ml/menit
atau
pasien
mendapat
hemodialisa
maka
lakukan
penyesuaian
dosis
OAT
sesuai
tabel
penyesuaian
dosis.
- Bila
setelah
penyesuaian
dosis
kadar
kreatinin
tetap
tinggi
maka
hentikan
pemberian
kanamisin,
pemberian
kapreomisin
mungkin
membantu.
Perdarahan
lambung
PAS, Eto, Z
Gangguan
Elektrolit
berat
(Bartter
like
syndrome)
Cm, Km
Gangguan
Km, Cm
58
No
Efek
samping
Kemungkinan
OAT
Penyebab
pendengaran
Tindakan
gangguan
pendengaran
disebabkan
oleh
OAT
atau
sebagai
pemburukan
gangguan
pendengaran
yang
sudah
ada
sebelumnya.
- Rujuk
pasien
segera
ke
fasyankes
rujukan
TB
MDR
untuk
diperiksa
penyebabnya
dan
di
konsulkan
kepada
TAK.
- Apabila
penanganannya
terlambat
maka
gangguan
pendengaran
sampai
dengan
tuli
dapat
menetap.
- Evaluasi
kehilangan
pendengaran
dan
singkirkan
sebab
lain
seperti
infeksi
telinga,
sumbatan
dalam
telinga,
trauma,
dll.
- Periksa
kembali
pasien
setiap
minggu
atau
jika
pendengaran
semakin
buruk
selama
beberapa
minggu
berikutnya
hentikan
kanamisin.
Gangguan
penglihatan
59
No
7
Efek
samping
Gangguan
psikotik
(Suicidal
tendency)
Kemungkinan
OAT
Tindakan
Penyebab
Cs
Fasyankes
satelit/Sub
Rujukan
TB
MDR:
- Jangan
membiarkan
pasien
sendirian,
apabila
akan
dirujuk
ke
fasyankes
Rujukan
harus
didampingi.
- Hentikan
sementara
OAT
yang
dicurigai
sebagai
penyebab
gejala
psikotik,
sebelum
pasien
dirujuk
ke
fasyankes
Rujukan
TB
MDR.
Berikan
haloperidol
5
mg
p.o
Fasyankes
Rujukan
TB
MDR:
- Pasien
harus
ditangani
oleh
TAK
melibatkan
seorang
dokter
ahli
jiwa,
bila
ada
keinginan
untuk
bunuh
diri
atau
membunuh,
hentikan
sikloserin
selama
1-4
minggu
sampai
gejala
terkendali
dengan
obat-obat
anti-psikotik.
- Berikan
pengobatan
anti-psikotik
dan
konseling.
- Bila
gejala
psikotik
telah
mereda,
mulai
kembali
sikloserin
dalam
dosis
uji.
- Berikan
piridoksin
sampai
200
mg/
hari.
- Bila
kondisi
teratasi
lanjutkan
pengobatan
TB
MDR
bersamaan
dengan
obat
anti-psikotik.
Kejang
Cs,
Lfx
60
No
Efek
samping
Kemungkinan
OAT
Penyebab
Tindakan
pengobatan
TB
MDR
tanpa
pemberian
sikloserin
selama
1-2
minggu.
Setelah
itu
sikloserin
dapat
dberikan
kembali
dengan
dosis
uji
(lihat
tabel).
- Piridoksin
(vit
B6)
dapat
diberikan
sampai
dengan
200
mg
per
hari.
- Berikan
profilaksis
kejang
yaitu
fenitoin
3-5
mg/kg/hari.
Jika
menggunakan
fenitoin
dan
pirazinamid
bersama-sama,
pantau
fungsi
hati,
hentikan
pirazinamid
jika
hasil
faal
hati
abnormal.
- Pengobatan
profilaksis
kejang
dapat
dilanjutkan
sampai
pengobatan
TB
MDR
selesai
atau
lengkap.
Tendinitis
Lfx
dosis
tinggi
10
11
Syok
Anafilaktik
Km, Cm
Reaksi
alergi
toksik
menyeluruh
Semua
OAT
yang
digunakan
61
No
Efek
samping
Kemungkinan
OAT
Penyebab
dan SJS
Tindakan
Berikan
CTM
untuk
gatal-gatal
2. Berikan
parasetamol
bila
demam.
3. Berikan
prednisolon
60
mg
per
hari
atau
suntikan
deksametason
4
mg
3
kali
sehari
jika
tidak
ada
prednisolon
4. Ranitidin
150
mg
2x
sehari
atau
300
mg
pada
malam
hari
1.
Hipotiroid
PAS, Eto
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
62
Tabel
10.
Dosis
uji
dosis
untuk
memulai
kembali
pengobatan
OAT
MDR
Hari
Nama obat
Hari ke 1-3
Sikloserin
Hari ke 4-6
Levofloksasin
Hari ke 7-9
Kanamisin
Hari ke 10-12
Etionamid
Hari ke 13-15
Pirazinamid
500mg
Dosis penuh
400 mg
Dosis penuh
500 mg
Dosis penuh
500 mg
Dosis penuh
800 mg
Dosis penuh
63
Tabel
11
.
Perubahan
dan
penyesuaian
dosis
OAT
pada
gangguan
ginjal
Perubahan
Perubahan
Obat
Dosis
yang
dianjurkan
dan
frekuensi
frekuensi?
dosis?
Z
Ya
25-35
mg/kg/dosis,
3
x/minggu
Ya
E
Tidak
15-25
mg/kg/dosis,
3
x/minggu
Ya
Lfx
Tidak
750-1000
mg/dosis,
3x/minggu
Ya
Cs
Ya
250
mg
sekali
sehari,
atau
500
mg/dosis
3
x/minggu
Ya
Eto
Tidak
Ya
250
500
mg/dosis
harian
Km
Ya
12
15
mg/kg/dosis,
2
-
3x/
minggu
Ya
PAS
Tidak
2
x
4
gr
sehari
kalium
dan
penggantiannya
Tabel
12
.
Kadar
Kadar
Jumlah
KCL
Kalium
Banyaknya
KCL
Waktu
untuk
pemeriksaan
(meq/)
(meq/L)
>
4,0
Tidak
Tidak
1
bulan
(ketika
masih
mendapat
kanamisin)
3,7
4,0
Tidak
Tidak
1
bulan
(ketika
masih
mendapat
kanamisin)
3,4
3,6
20-
40
40
mmol
1
bulan
(ketika
masih
mendapat
kanamisin)
3,0
3,3
60
60
mmol
2
mingguan
2,7
2,9
80
60
mmol
+
400
mg/
1
mingguan
hari
selama
3
minggu
2,4
2,6
80
120
80
mmol
+
400
mg/
Teliti
selang
1
6
hari
hari
selama
3
minggu
2,0
2,3
60
meq
IV
+
80
mmol
+
400
mg/
Pertimbangkan
rawat
inap
setelah
80
meq
PO
hari
selama
3
minggu
pemantauan
24
jam
dengan
infus
<
2,0
60
meq
IV
+
100
mmol
+
400
mg/
80
meq
PO
hari
selama
3
minggu
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
64
65
d. Bila
pada
pasien
hamil
terjadi
morning
sickness
maka
diupayakan
pemberian
obat
pada
siang
hari.
e. Pada
wanita
hamil
dosis
vitamin
B6
maksimum
yang
bisa
diberikan
adalah
50-100mg
perhari.
Dosis
yang
lebih
tinggi
dari
150mg
akan
mengganggu
penyerapan
kuinolon
dan
menimbulkan
gangguan
kejang
dan
neurologis
pada
bayi
baru
lahir.
66
c. Bila
terjadi
gangguan
ginjal,
pemberian
obat,
dosis
dan
atau
interval
antar
dosis
harus
disesuaikan
dengan
tabel.
67
dini.
Gejala
TB
(batuk,
berdahak,
demam
dan
BB
menurun)
pada
umumnya
membaik
dalam
beberapa
bulan
pertama
pengobatan.
Pemeriksaan
apusan
dan
biakan
dahak
merupakan
pemantauan
utama
yang
wajib
dilakukan.
Pemeriksaan
apusan
dahak
dan
biakan
dilakukan
setiap
bulan
pada
tahap
awal
dan
setiap
2
bulan
sekali
pada
tahap
lanjutan.
Konversi
apusan
dahak
dan
biakan
merupakan
indikator
utama
untuk
menilai
kemajuan
pengobatan.
Definisi
terjadinya
konversi
biakan
adalah
jika
pemeriksaan
biakan
2
(dua)
kali
berurutan
dengan
jarak
pemeriksaan
30
hari
menunjukkan
hasil
negatif.
Dalam
hal
ini
tanggal
konversi
adalah
tanggal
pengambilan
dahak
pertama
untuk
biakan
yang
hasilnya
negatif.
Tanggal
ini
digunakan
untuk
menentukan
lamanya
pengobatan
tahap
awal
dan
lama
pengobatan
selanjutnya.
Selain
pemeriksaan
apusan
dan
biakan
dahak,
dilakukan
juga
beberapa
pemantauan
penunjang
lainnya
selama
pengobatan
TB
MDR,
antara
lain:
- Pemantauan
terhadap
munculnya
efek
samping
obat.
Pemantauan
efek
samping
obat
dilakukan
setiap
hari
oleh
PMO
selama
mendampingi
pasien
menelan
obat.
- Pemantauan
berat
badan
dan
keluhan
atau
gejala
klinis.
Pemantauan
dilakukan
setiap
bulan
oleh
dokter
di
fasyankes
TB
MDR.
- Foto
toraks
dilakukan
setiap
6
bulan
atau
bila
terjadi
komplikasi
(batuk
darah
masif,
kecurigaan
pneumotoraks,
dll).
- Kreatinin
serum
dan
kalium
serum
dilakukan
setiap
bulan
selama
mendapat
obat
suntikan.
- Thyroid
Stimulating
Hormon
(TSH)
dilakukan
pada
bulan
ke
6
pengobatan
dan
diulangi
setiap
6
bulan
atau
bila
muncul
gejala
hipotiroidisme.
- Enzim
hati
(SGOT,
SGPT)
dilakukan
setiap
3
bulan
atau
bila
timbul
gejala
drug
induced
hepatitis
(DIH).
- Tes
kehamilan
dilakukan
bila
ada
indikasi.
Secara
rinci
jenis-jenis
pemantauan
yang
perlu
dilakukan
pada
pasien
TB
MDR
terdapat
pada
tabel
13.
Pemantauan
pengobatan
TB
MDR.
68
0 1 2 3 4 5 6 8
1
0
1
2
1
4
1 1 2
6
8
0
22
2. Pengobatan
lengkap.
Pasien
yang
telah
menyelesaikan
pengobatan
sesuai
pedoman
pengobatan
TB
MDR
tetapi
tidak
memenuhi
definisi
sembuh
maupun
gagal.
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
69
3. Meninggal.
Pasien
meninggal
karena
sebab
apapun
selama
masa
pengobatan
TB
MDR.
4. Gagal.
Pengobatan
TB
MDR
dihentikan
atau
membutuhkan
perubahan
paduan
pengobatan
TB
MDR
secara
permanen
terhadap
2
(dua)
atau
lebih
OAT
MDR,
yang
disebabkan
oleh
salah
satu
dari
beberapa
kondisi
di
bawah
ini
yaitu:
- Tidak
terjadi
konversi
sampai
dengan
dengan
akhir
bulan
ke-8
pengobatan
tahap
awal
- Terjadi
reversi
pada
tahap
lanjutan,
yaitu
biakan
dahak
kembali
menjadi
positif
pada
2
(dua)
kali
pemeriksaan
berturut-turut
setelah
sebelumnya
tercapai
konversi
biakan
- Terbukti
terjadi
resistansi
tambahan
terhadap
obat
TB
MDR
golongan
fluorokuinolon
atau
obat
injeksi
lini
kedua
- Terjadi
efek
samping
obat
yang
berat
yang
mengharuskan
pengobatan
dihentikan
secara
permanen.
5. Lost
to
follow-up.
Pasien
terputus
pengobatannya
selama
dua
bulan
berturut-turut
atau
lebih.
6. Tidak
dievaluasi.
Pasien
yang
tidak
atau
belum
mempunyai
hasil
akhir
pengobatan
pada
saat
pelaporan
karena
pengobatan
masih
berlangsung
atau
pasien
tidak
diketahui
hasil
akhir
pengobatannya
karena
pindah
ke
fasyankes
di
daerah
lain.
70
71
>
8
minggu
< 4 minggu
> 8 minggu
> 4 minggu
72
73
74
75
Hasil
Pemeriksaan
Biakan
NEGATIF
POSITIF
Kemungkinan
Ulang
Uji
kepekaan
M.tuberculosis
(FLD
dan
SLD)
kontaminan
dan
Bila
hasil
berbeda
pola
resistensi
maka
pertimbangkan
kemungkinan
reinfeksi,
infeksi
silang
atau
transient
pengobatan
resistance
dilanjutkan
Lakukan
pemeriksaan
strain
kuman
bila
fasilitas
tersedia
Sesuaikan
paduan
OAT
dengan
pola
resistensi
baru
76
d.
e.
f.
g.
Obat
penghilang
rasa
nyeri
dapat
diberikan
parasetamol
atau
kombinasi
kodein
dengan
parasetamol.
Terapi
oksigen
untuk
pasien
dengan
sesak
napas.
Tambahan
nutrisi,
makanan
diberikan
dalam
porsi
kecil
dengan
frekuensi
sering.
Apabila
terjadi
mual-muntah
dapat
diberikan
obat-obatan
untuk
menghilangkan
gejala
tersebut.
Kunjungan
petugas
kesehatan
dilakukan
secara
teratur.
Meneruskan
pengobatan
tambahan
lainnya.
Rawat
inap
atau
klinik
perawatan
jika
diperlukan.
Pendidikan
kesehatan
terutama
untuk
melakukan
pengendalian
infeksi
di
lingkungannya.
77
78
Secara
umum
semua
kriteria
terduga
TB
Resistan
obat
(nomor
1
s/d
8)
berlaku
untuk
semua
pasien
yang
dicurigai
TB
Resistan
obat
tanpa
memandang
status
HIV-nya.
Kriteria
suspek
TB
Resistan
obat
nomor
9
lebih
diarahkan
kepada
pasien
ko-infeksi
TB
dan
HIV
dengan
salah
satu
kondisi:
- Pasien
tidak
memberikan
respons
pada
pengobatan
TB.
- Pasien
dengan
perburukan
klinis
yang
cepat.
- Pasien
mengalami
gangguan
malabsorbsi
atau
gangguan
gastrointestinal
yang
berat/kronik.
Catatan
:
Bila
fasilitas
tersedia
maka
ODHA
yang
dicurigai
menderita
TB
juga
akan
menjalani
pemeriksaan
tes
cepat
menggunakan
geneXpert.
Pemeriksaan
tersebut
selain
mendeteksi
terdapatnya
M.tb
juga
mengetahui
resistansi
terhadap
rifampisin.
Bila
hasilnya
M.tb
resistan
rifampisin
maka
pasien
akan
ditatalaksana
dengan
pengobatan
standar
TB
MDR.
79
80
kematian
pada
ODHA
terutama
pada
stadium
lanjut.
Rekomendasi
pemberian
ART
pada
pasien
TB
MDR
yaitu
setelah
OAT
MDR
telah
ditoleransi
yaitu
sekitar
2-8
minggu.
b. Pengobatan
ko-infeksi
TB
MDR
dan
HIV
yang
sudah
mendapatkan
ART.
Ada
dua
hal
yang
perlu
dipertimbangkan
bila
pengobatan
TB
MDR
akan
dimulai
sementara
pasien
tersebut
sudah
mendapatkan
ART
yaitu
:
1) Apakah
perlu
dilakukan
modifikasi
paduan
ART
yang
diberikan,
mengingat
interaksi
antar
obat
atau
mengurangi
kemungkinan
terjadinya
overlapping
toksisitas
obat.
2) Apakah
munculnya
TB
MDR
menunjukkan
kegagalan
pengobatan
ART
sebelumnya.
Bila
hasil
analisa
menunjukkan
terjadi
kegagalan
pengobatan
ART
maka
tidak
direkomendasikan
untuk
memulai
pengobatan
baru
menggunakan
ART
lini
kedua
pada
waktu
yang
bersamaan
dengan
dimulainya
pengobatan
TB
MDR.
Untuk
situasi
ini
direkomendasikan
untuk
meneruskan
paduan
ART
yang
telah
didapat
dan
melakukan
perubahan
paduan
menggunakan
ART
lini
kedua
sekitar
2-8
minggu
setelah
pengobatan
TB
MDR
dimulai.
TB
MDR
OAT
Tahap
Awal
OAT
Tahap
Lanjutan
ART
HIV
2-8
mgg
PPK
Kotrimoksasol
Sampai OAT
Sampai akhir
Tahap lanjutan
Setelah OAT
MDR dapat
tahap awal
sampai selesai
MDR selesai
ditoleransi
Pagi
CM : 1 vial
CM : 1 vial
Lfx : 4 tab
Lfx : 4 tab
Lfx : 4 tab
Eto : 1 tab
CXT : 1 tab
Eto : 1 tab
Eto : 1 tab
Cs : 1 tab
AZT-3TC : 1 tab
Cs : 1 tab
Cs
:
1
tab
Z
:
3,5
tab
Z : 3,5 tab
Z : 3,5 tab
PAS : 1 sac
PAS : 1 sac
PAS : 1 sac
CXT : 1 tab
CXT
:
1
tab
AZT-3TC : 1 tab
AZT-3TC : 1 tab
Selisih
12
Jam
Eto : 2 tab
Eto : 2 tab
Eto : 2 tab
AZT-3TC : 1 tab
Malam
Cs : 2 tab
Cs : 2 tab
Cs : 2 tab
EFZ : 1 tab
PAS : 1 sac
PAS : 1 sac
PAS : 1 sac
B6 : 3 tab
B6 : 3 tab
B6 : 3 tab
AZT-3TC : 1 tab
AZT-3TC : 1 tab
EFV : 1 tab
EFV : 1 tab
c. Potensi
interaksi
obat
antara
OAT
MDR
dan
ART
yang
dipakai
di
Indonesia.
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
81
82
Toksisitas
Neuropati
perifer
ART
d4T,
ddI
OAT
Cs,H,
Km,
Eto,
E
Toksisitas
pada
saraf
pusat
EFV
terjadinya depresi.
Depresi
EFV
Cs,
Fluorokui
no-lon,
H,
Eto
Keterangan
-
Cs
Mual
dan
Muntah
Eto,
PAS,
H,
E,
Z
RTV,
d4T,
NVP
83
Toksisitas
Nyeri
perut
Diare
Hepatotoksi
sitas
Skin rash
ART
Semua
pengobata
n
dengan
ART
menyebab
kan
nyeri
perut.
Semua
PI,
ddl
(dengan
bufer)
OAT
Eto,
PAS
NVP,EFV,
semua
PI,
semua
NRTI
(RTV>
dari
PI
yang
lain).
ABC,
NVP,
EFV,
d4T
dan
lainnya
Keterangan
-
Eto,
PAS,
Fluorokui
no-lon
E,
Z,
PAS,
Eto,
Fluorokui
no-lon
Z,
PAS,
Fluorokui
no-lon
TDF
Km, Cm
84
Toksisitas
ART
OAT
Keterangan
nefrotoksisitas
lebih
tinggi
bila
mendapatkan
Km
dan
Cm.
- Perlu
pemantauan
serum
kreatinin
dan
elektrolit
lebih
rutin
pada
pasien
HIV
yaitu
setiap
1-3
minggu
sekali
selama
tahap
intensif.
Dosis
ARV
dan
OAT
yang
nefrotoksik
harus
disesuaikan
bila
sudah
terjadi
insufisiensi
ginjal.
Gangguan
elektrolit
TDF
Cm, Km
Neuritis
optikal
Gangguan
regulasi
kadar
gula
darah
ddl
E,
Eto
(jarang)
Eto
Hipotiro-
idisme
d4T
PI
Eto, PAS
85
permasalahan
tambahan
karena
beban
jumlah
obat
yang
harus
diminum,
efek
samping
yang
semakin
banyak
dan
kompleksitas
yang
ditimbulkan
akibat
perbedaan
tata
cara
minum
obat.
Secara
klinis
pengobatan
TB
MDR
dan
ART
akan
menimbulkan
tantangan
karena
masing-
masing
obat
memiliki
profil
toksisitas
tersendiri
dan
terkadang
memiliki
interaksi
saling
melemahkan
atau
malah
saling
menguatkan
efek
bila
diberikan
secara
bersamaan.
Beberapa
hal
yang
disebutkan
di
atas
menjadi
alasan
mengapa
pengawasan
keteraturan
minum
obat
harus
dipadukan
dengan
pengawasan
efek
samping
dan
pemeriksaan
klinis
untuk
memantau
kemajuan
pengobatan.
Skema
jadual
konsultasi
klinis
dan
pemeriksaan
laboratorium
untuk
memantau
kemajuan
pengobatan
atau
memberikan
indikasi
kegagalan
pengobatan
TB
MDR,
pada
dasarnya
berlaku
juga
pada
ko-infeksi
TB
MDR
dan
HIV.
Evaluasi
tambahan
untuk
pasien
HIV
positif
meliputi
pemeriksaan
CD4,
viral
load,
siphilis,
pap
smear,
dan
pemeriksaan
serologis
untuk
Hepatitis
B
dan
C
(lihat
Tabel
16).
Tabel
16.
Jadual
Pemantauan
Pengobatan
Ko-infeksi
TB
MDR/HIV
Bulan
pengobatan
Pemantauan
Evaluasi
Utama
Pemeriksaan
dahak
dan
biakan
dahak
Evaluasi
Penunjang
Evaluasi
klinis
:
Pengobatan
konko-mitan,
BB,
gejala
klinis,
kepatuhan
berobat
Uji
kepekaan
obat
Foto
toraks
Ureum,
Kreatinin
Elektrolit
(Na,
Kalium,
Cl)
0 1 2 3 4 5 6 8
1
0
1
2
1
4
1 1
6
8
2 2
0
2
Berdasarkan
indikasi
1-3
minggu
sekali
selama
suntikan
EKG
Thyroid
Stimulating
Hormon
(TSH)
Enzim
hepar
(SGOT,
SGPT)
Tes kehamilan
Berdasarkan indikasi
86
Darah
Lengkap
Berdasarkan
indikasi
Audiometri
Berdasarkan
indikasi
Kadar
gula
darah
Berdasarkan
indikasi
Asam
Urat
Berdasarkan
indikasi
Test
HIV
dengan
atau
tanpa
faktor
risiko
Evaluasi
tambahan
untuk
pasien
HIV
positif
Sifilis
(VDRL)
Berdasarkan
indikasi
Pap
Smear
Berdasarkan
indikasi
Hepatitis
B
dan
C
Berdasarkan
indikasi
CD4
Viral
load
Berdasarkan
indikasi
87
Penanganan
efek
samping
yang
adekuat
merupakan
salah
satu
upaya
untuk
memastikan
kepatuhan
pasien
TB
MDR/HIV
terhadap
pengobatan
yang
diberikan.
Tabel
di
bawah
ini
menjelaskan
mengenai
beberapa
efek
samping
yang
mungkin
terjadi
dan
cara
penatalaksanaannya.
Tabel
18.
Penatalaksanaan
Efek
Samping
Pengobatan
OAT
MDR
dan
ART
Gejala
dan
Penatalaksanaan
Tanda
Nyeri
Perut
- Bisa
disebabkan
oleh
beberapa
obat
ART
dan
OAT.
Mual
dan
Muntah
Diare
Bila
pasien
mendapat
d4T
mengalami
mual,
muntah
dan
sesak
nafas
pertimbangkan
kemungkinan
terjadi
asidosis
laktat.
Periksa
kadar
laktat
pasien.
Bisa
disebabkan
oleh
ART
dan
OAT
(terutama
PAS).
Bila
disebabkan
PAS
biasanya
bersifat
persisten.
88
Gejala
dan
Tanda
Letih/ Lesu
Depresi,
kecemasan,
mimpi
buruk,
psikosis
Penatalaksanaan
-
Tingkatkan
asupan
cairan
dan
berikan
rehidrasi
(oral
atau
IV)
bila
dijumpai
tanda
dehidrasi.
Bila
disebabkan
EFV
biasanya
gejala
tidak
terlalu
berat
dan
akan
berkurang
setelah
tiga
minggu,
bisa
dipertimbangkan
penggantian
dengan
NVP.
89
Gejala
dan
Tanda
Ikterus
Anemia
Neuropati
perifer
Kejang otot
Nyeri kepala
Penatalaksanaan
-
Bisa
disebabkan
oleh
ART
(ddI,
d4T)
dan
OAT
(sikloserin
dan
obat
injeksi).
Berikan parasetamol.
90
Gejala
dan
Tanda
Penatalaksanaan
-
Gangguan
ginjal
(gagal
ginjal,
edema,
retensi
urin,
hipertensi)
Demam
Durasi
pengobatan
TB
MDR
yang
relatif
lama
dan
efek
samping
OAT
MDR
yang
cukup
banyak
kemungkinan
dapat
menyebabkan
pasien
mangkir
berobat.
Pada
awal
pengobatan,
sulit
ditentukan
kemungkinan
pasien
mengalami
kesulitan
dalam
menyelesaikan
pengobatannya,
namun
ada
beberapa
kondisi
yang
dapat
dinilai
pada
pasien
TB
Resistan
Obat.
Salah
satu
kondisi
yang
harus
diperhatikan
adalah
jika
pasien
memiliki
riwayat
sering
mangkir
pada
pengobatan
TB
terdahulu.
Kondisi
lain
yang
sering
menyebabkan
pasien
mangkir
antara
lain
adalah
pekerjaan
pasien,
kondisi
sosial
ekonomi
yang
rendah,
tempat
tinggal
yang
jauh
dari
fasyankes,
sulitnya
sarana
transportasi,
dan
permasalahan
lain
yang
diketahui
saat
dilakukan
kunjungan
rumah.
Upaya
untuk
mencegah
dan
meminimalkan
terjadinya
kasus
mangkir
perlu
dilakukan,
termasuk
melakukan
upaya
pelacakan
kasus
mangkir.
Dalam
hal
ini
perlu
adanya
koordinasi
antara
fasyankes
dan
Dinas
Kesehatan
setempat.
Mekanisme
pelacakan
kasus
mangkir
dapat
dilihat
pada
lampiran
8
tentang
langkah-langkah
pelacakan
pasien
mangkir.
91
ruangan
selama
beberapa
jam
sehari
dengan
pasien
TB
Resistan
obat,
misalnya
anggota
keluarga,
teman
kerja
seruangan
dll.
Berdasarkan
pengalaman,
kontak
erat
pasien
TB
MDR
yang
kemudian
sakit
TB
sebagian
besar
juga
sebagai
pasien
TB
MDR.
Pelacakan
Kontak
Erat
Pasien
TB
Resistan
obat
Setelah
seorang
didiagnosis
sebagai
TB
Resistan
obat
maka
harus
segera
dilakukan
pelacakan
kontak
erat
pasien.
Kontak
erat
dengan
gejala
TB
merupakan
kriteria
terduga
TB
Resistan
obat
nomor
8.
Kontak
erat
yang
mempunyai
gejala
TB
harus
dievaluasi
dan
ditegakkan
diagnosisnya
sesuai
dengan
alur
penegakan
diagnosis
TB
Resistan
obat.
Bila
hasil
menunjukkan
TB
RR/TB
MDR
maka
segera
mulai
pengobatan
TB
MDR.
Bila
hasil
tidak
menunjukkan
TB
RR/TB
MDR
maka
dilakukan
hal
di
bawah
ini:
Pemberian
antibiotika
non
OAT,
misalnya
trimetropin
atau
sulfametoksasol.
Bila
gejala
TB
masih
tetap
ada
meskipun
telah
diberikan
antibiotika
non
OAT
maka
pemeriksaan
fisik
dan
laboratorium
perlu
diulang
dengan
menggunan
spesimen
yang
berkualitas.
Pengambilan
spesimen
melalui
pemeriksaan
bronkoskopi
dapat
dilakukan
jika
diperlukan.
Bila
hasil
masih
tetap
negatif
dan
kontak
kasus
indeks
tetap
bergejala
TB
maka
dilakukan
pemeriksaan
apusan
BTA
dan
biakan
setiap
bulan
selama
minimal
3
(tiga)
bulan
ditambah
evaluasi
pemeriksaan
foto
toraks
jika
dianggap
perlu.
Kontak
erat
yang
mempunyai
gejala
TB
berusia
di
bawah
15
tahun,
disarankan
untuk
segera
konsultasi
ke
Spesialis
Anak.
Kontak
erat
TB
MDR
yang
tidak
menunjukkan
gejala
TB,
tetap
tetap
diawasi
sampai
dengan
dua
tahun.
92
BAB
V
PENGELOLAAN
LOGISTIK
A. Jenis
Logistik
Logistik
yang
dibutuhkan
untuk
tatalaksana
kasus
TB
MDR
pada
dasarnya
dibagi
menjadi
dua
jenis
yaitu
obat
dan
non
obat.
1.
2.
Obat
:
a. Obat
anti
TB
lini
pertama
:
Pirazinamid,
Etambutol
b. Obat
anti
TB
lini
kedua
:
Kanamisin,
Kapreomisin,
Levofloksasin,
Etionamid,
Sikloserin,
PAS,
Moksifloksasin.
c. Obat
pendukung:
Vitamin
B6
d. Obat
untuk
penanggulangan
efek
samping
pengobatan
Logistik
pendukung
lain/non
obat
a. Bahan
habis
pakai:
alat
suntik,
sarung
tangan,
masker,
respirator,
aqua
pro
injeksi,
pot
dahak,
kaca
sediaan,
reagen,
dan
sebagainya.
b. Formulir
pencatatan
dan
pelaporan.
B.
Pengelolaan
OAT
Sampai
dengan
saat
ini,
OAT
untuk
pasien
TB
MDR
sebagian
besar
belum
diproduksi
di
dalam
negeri,
untuk
pemenuhan
kebutuhan
OAT
tersebut
Pemerintah
dalam
hal
ini
Kementerian
Kesehatan
RI
masih
tergantung
pada
produk
luar
negeri.
Pengelolaan
OAT
untuk
pasien
TB
resistan
obat
berbeda
dengan
pengelolaan
OAT
lini
1.
Salah
satu
contoh
perbedaannya
adalah
pengemasan
OAT
untuk
pasien
resistan
obat
tidak
bisa
disediakan
dalam
bentuk
paket
seperti
pada
OAT
lini
1
sehingga
untuk
menjamin
ketersediaan
dan
jumlah
yang
cukup
untuk
pengobatan
pasien
TB
MDR
maka
petugas
kesehatan
harus
memiliki
keterampilan
dalam
mengelola
semua
logistik
dengan
baik.
1. Perencanaan
OAT
Untuk
saat
ini
perencanaan
OAT
untuk
MTPTRO
dilaksanakan
oleh
Dinas
Kesehatan
Provinsi
bersama
Kementerian
Kesehatan
RI.
Perencanaan
obat
menggunakan
metode
konsumsi
dan
target
penemuan
kasus
dan
sisa
stok
tahun
lalu.
Perencanaan
OAT
dilakukan
setiap
satu
tahun
sekali.
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
93
Perencanaan
di
tingkat
Provinsi
diperlukan
untuk
alokasi
OAT
untuk
MTPTRO
di
masing-
masing
Provinsi.
Perencanaan
di
tingkat
Provinsi
memperhitungkan
buffer
stock
sebesar
25%.
Sampai
saat
ini
beberapa
jenis
OAT
MDR
masih
diimpor
dan
tidak
dijual
di
pasaran.
Hal
ini
merupakan
tantangan
bagi
Program
Nasional
untuk
menjamin
ketersediaan
obat
bagi
pasien
TB
MDR
tidak
terputus.
Perencanan
kebutuhan
ini
harus
memperhitungkan
jumlah
pasien
yang
sedang
diobati,
pasien
yang
akan
diobati,
masa
tenggang
kedatangan
obat
(lead
time),
buffer
stock
dan
sisa
obat
yang
ada.
2. Pengadaan
OAT
Mekanisme
pegadaan
OAT
pada
MTPTRO
menggunakan
mekanisme
yang
sama
dengan
pengadaan
OAT
yang
lain.
Pengadaan
untuk
kebutuhan
OAT
untuk
MTPTRO
disuplai
dari
berbagai
negara
melalui
International
Dispensary
Association
(IDA).
Penyimpanan
OAT
lini
kedua
mengikuti
mekanisme
yang
sudah
ada
dalam
Program
Pengendalian
TB.
OAT
lini
kedua
disimpan
di
beberapa
jenjang
administrasi,
tingkat
pertama
Pusat
,
tingkat
dua
di
Provinsi,
tingkat
tiga
di
Fasyankes
Rujukan/Sub
Rujukan
TB
MDR
dan
tingkat
ke
empat
di
fasyankes
satelit
TB
MDR.
Apabila
sarana
di
tingkat
Provinsi
belum
sesuai
dengan
standar
penyimpanan
OAT
lini
kedua
maka
mekanisme
bisa
disesuaikan
sampai
sarana
tersebut
siap.
Dinas
Kesehatan
Provinsi
akan
memfasilitasi
Fasyankes
Rujukan/RS
Sub
Rujukan
TB
MDR
dan
fasyankes
satelit
TB
MDR
untuk
segala
urusan
pengelolaan
obat
dan
bahan
penunjang
lainnya.
Penunjukkan
instalasi
farmasi
sebagai
pengelola
OAT
lini
kedua
dan
sebagai
tempat
penyimpanannya
harus
mempertimbangkan
infrastruktur
dan
SDM
yang
tersedia.
b. Distribusi
OAT
Distribusi
OAT
pada
MTPTRO
dari
Kementerian
Kesehatan
RI
didistribusikan
ke
Dinkes
Provinsi
setiap
3
bulan
sekali
sesuai
permintaan.
Pengiriman
obat
dari
Dinkes
Provinsi
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
94
menuju
Fasyankes
Rujukan/Sub
Rujukan
dilakukan
setiap
3
bulan
sekali
dengan
tembusan
informasi
kepada
Dinas
Kesehatan
Kab/Kota.
Pendistribusian
obat
ke
Fasyankes
satelit
dilakukan
oleh
Fasyankes
Rujukan/Sub
Rujukan
TB
MDR.
Pendistribusian
ke
satelit
harus
sesuai
dengan
jumlah
pasien
yang
sedang
diobati
di
satelit
tersebut.
Pendistribusian
OAT
PAS
kepada
seluruh
unit
pelayanan
kesehatan
harus
mempertimbangkan
tempat
penyimpanan
OAT
tersebut.
Apabila
Fasyankes
Satelit
TB
MDR
akan
menyimpan
PAS
pastikan
Fasyankes
tersebut
mempunyai
Kulkas/Pendingin
untuk
menyimpan
PAS.
Gambar
6.
Alur
Distribusi
OAT
MDR
PUSAT
DINKES KAB
DINKES PROVINSI
/ KOTA
RS Rujukan TB
MDR
Fasyank
es Satelit
RS Rujukan TB MDR
Fasyank
es Satelit
Keterangan:
Alur
Distribusi
Informasi
distribusi
Realokasi
obat
dari
satu
daerah
ke
daerah
lainnya
diperbolehkan
selama
ada
alasan
yang
kuat
dan
proses
administrasi
realokasi
obat
telah
dilaksanakan.
Proses
realokasi
akan
difasilitasi
oleh
jenjang
pemerintahan
diatasnya,
apabila
realokasi
dilaksanakan
antar
Kabupaten/Kota
maka
akan
difasilitasi
oleh
Dinkes
Provinsi.
Realokasi
antar
Provinsi
akan
difasilitasi
oleh
Kementerian
Kesehatan
RI.
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
95
Bulan
96
Tabel
20.
Jadual
Permintaan
OAT
MDR
dari
Dinkes
Provinsi
ke
Kementerian
Kesehatan
cq
Subdit
TB
Kebutuhan
untuk
Jadwal
Permintaan
Perkiraan
OAT
dikirim
Triwulan
Bulan
Januari
s/d
Maret
Minggu
ke-4
bulan
Minggu
ke-2
bulan
Desember
1
November
April
s/d
Juni
Minggu
ke-4
bulan
Minggu
ke-2
bulan
Maret
2
Februari
Juli
s/d
Minggu
ke-4
bulan
Mei
Minggu
ke-2
bulan
Juni
3
September
Oktober
s/d
Minggu
ke-4
bulan
Minggu
ke-2
bulan
4
Desember
Agustus
September
Fasyankes
satelit
TB
MDR
meminta
kepada
Fasyankes
Rujukan/Sub
Rujukan
TB
MDR
menggunakan
Formulir
TB.13A
MDR.
Permintaan
obat
untuk
memenuhi
kebutuhan
3
bulan
ditambah
satu
bulan
buffer.
Gambar
7.
Alur
Permintaan
OAT
MDR
PUSAT
DINKES
PROVINSI
DINKES
KAB/ KOTA
Fasyankes Rujukan
TB MDR
Fasyankes Sub Rujukan
Fasyankes
Fasyankes
Satelit
Satelit
Keterangan:
Alur
Permintaan
Tembusan
surat
permintaan
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
97
6. Pengawasan
Mutu
Pengawasan
dan
pengujian
mutu
OAT
dilaksanakan
pada
saat
pengadaan
OAT.
Produsen
OAT
harus
melampirkan
sertifikat
analisis
dari
obat
yang
diproduksinya.
Setelah
obat
didistribusikan
ke
jenjang
Provinsidan
fasyankes
maka
pengawasan
dan
pengujian
mutu
dilakukan
secara
rutin
oleh
Badan/Balai
POM
dan
Ditjen
Binfar
dan
Alkes.
98
99
BAB
VI
PENCEGAHAN
DAN
PENGENDALIAN
INFEKSI
(PPI)
Tujuan
PPI
TB
MDR
adalah
untuk
mengurangi
penularan
TB
MDR
dan
melindungi
petugas
kesehatan,
pengunjung
dan
pasien
dari
penularan
TB
MDR.
Pencegahan
dan
Pengendalian
Infeksi
TB
MDR
merupakan
bagian
dari
kegiatan
PPI
secara
umum
di
fasyankes.
Pencegahan
dan
Pengendalian
Infeksi
TB
MDR
merupakan
keharusan
untuk
dilaksana-kan
di
fasyankes
TB
MDR.
Tidak
boleh
dilupakan
adalah
PPI
di
lingkungan
pasien
TB
MDR,
misalnya
lingkungan
kontak
erat
pasien
di
rumah
dan
tempat
kerja.
Pelaksanaan
PPI
TB
MDR
merupakan
bagian
dari
program
kerja
kegiatan
PPI
di
fasyankes.
Pengorganisasian
kegiatan
PPI
TB
MDR
di
Rumah
Sakit
dilakukan
oleh
Komite
PPI,
di
Puskesmas
dilakukan
oleh
koordinator
PPI
yang
ditunjuk
oleh
Kepala
Puskesmas.
Komite
PPI
di
RS
dan
koordinator
PPI
bertanggungjawab
untuk
menerapkan
PPI
yang
meliputi
perencanaan,
pembinaan,
pendidikan
dan
pelatihan
serta
monitoring
evaluasi
Tindakan
PPI
secara
umum
meliputi
:
a. Kewaspadaan
standar
Hand
hygiene
(kebersihan
pribadi,
termasuk
kebersihan
tangan),
pemakaian
alat
pelindung
diri
(APD),
etika
batuk
dan
higiene
respirasi,
pencegahan
tusukan
jarum
atau
benda
tajam,
pencucian
dan
disinfeksi
alat
medis,
penatalaksanaan
limbah,
penata
laksanaan
linen,
misalnya
sarung
bantal,
seprei,
jas
praktek
dll.
b. Kewaspadaan
berdasarkan
penularan
lewat
udara
atau
transmisi
airborne.
Untuk
PPI
TB,
difokuskan
kepada
kewaspadaan
ini.
Pilar
Pencegahan
dan
Pengendalian
Infeksi
adalah
:
a. Pengendalian
Manajerial.
b. Pengendalian
Administratif
c. Pengendalian
Lingkungan.
d. Pemakaian
Alat
Pelindung
Diri
(APD).
100
101
-
-
-
-
C. Pengendalian
Lingkungan
Tujuan
dari
pengendalian
lingkungan
adalah
untuk
mengurangi
konsentrasi
droplet
nuclei
di
udara
dan
mengurangi
keberadaan
benda-benda
yang
terkontaminasi
sesuai
dengan
epidemiologi
infeksi.
Lokasi
di
poli
rawat
jalan,
kamar
pasien
TB
MDR
dan
laboratorium.
Langkah
dari
pengendalian
lingkungan
adalah
:
1. Ruangan
untuk
kewaspadaan
berdasarkan
transmisi
airborne:
Ruangan
dengan
ventilasi
alami
atau
mekanis
dengan
pergantian
udara
(12
ACH)
dengan
sistem
pembuangan
udara
keluar
atau
penggunaan
penyaring
udara
(Hepa
Filter)
sebelum
masuk
ke
sirkulasi
udara
area
lain
di
RS.
2. Sinar
Ultra
Violet
(UV)
3. Kebersihan
dan
desinfektasi
(Cleaning
and
disinfection)
102
BAB
VII
MONITORING
DAN
EVALUASI
Pelaksanaan
kegiatan
MTPTRO
memerlukan
monitoring
secara
periodik
dan
evaluasi
secara
sistematis
pada
semua
tingkat.
Monitoring
berkala
kegiatan
MTPTRO
perlu
melibatkan
para
pemangku
kepentingan
yang
lebih
luas
selain
para
pengelola
program
TB.
Tujuan
monitoring
kegiatan
MTPTRO
adalah
:
1. Memantau
proses
dan
perkembangan
implementasi
MTPTRO
secara
berkala
dan
berkelanjutan
2. Mengidentifikasi
masalah
dan
kesenjangan
dalam
implementasi
MTPTRO
3. Mengatasi
masalah
dan
mengantisipasi
dampak
dari
permasalahan
tersebut.
Monitoring
dapat
dilakukan
dengan
cara:
1. Menelaah
data
pencatatan
pelaporan
dan
sistem
surveilans,
2. Pengamatan
langsung
(misalnya
observasi
pada
waktu
kunjungan
lapangan
atau
supervisi),
serta
3. Wawancara
dengan
petugas
pelaksana
maupun
dengan
masyarakat
sasaran.
Tujuan
evaluasi
kegiatan
MTPTRO
adalah
untuk
menganalisis
relevansi,
efisiensi,
efektivitas,
dampak
dan
keberlanjutan
penerapan
program
sebagai
masukan
terhadap
arah
kebijakan
jangka
panjang.
Dengan
evaluasi
dapat
dinilai
sejauh
mana
tujuan
yang
telah
ditetapkan
dapat
berhasil
dicapai.
Bilamana
belum
berhasil
dicapai,
apa
penyebabnya.
Hasil
evaluasi
sangat
berguna
untuk
kepentingan
perbaikan
kinerja
program
serta
perencanaan
ke
depan.
Kegiatan
evaluasi
dilakukan
secara
berkala
dalam
kurun
waktu
tertentu.
Evaluasi
program
MTPTRO
sesuai
dengan
Program
Pengendalian
TB
Nasional
dilakukan
sesuai
dengan
jenjang
unit
yang
bersangkutan.
Evaluasi
jenjang
fasyankes,
minimal
dilakukan
sekali
setiap
tiga
bulan.
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota
dan
Provinsi
melakukan
evaluasi
pelaksanaan
program
minimal
sekali
setiap
6
bulan.
Pertemuan
evaluasi
di
tingkat
Nasional
akan
diselenggarakan
sekurangnya
satu
tahun
sekali.
Berbagai
sumber
data
dapat
dimanfaatkan
untuk
kepentingan
monitoring
dan
evaluasi
kegiatan
MTPTRO.
Data
dapat
bersumber
dari
pencatatan
dan
pelaporan
serta
kegiatan
surveilans
rutin
MTPTRO
yang
menggunakan
kombinasi
sistem
informasi
TB
MDR
berbasis
web
(eTB
manager)
dan
sistem
manual
(paper-based).
Temuan
dari
berbagai
hasil
riset
103
operasional
dan
evaluasi
yang
terkait
dengan
kegiatan
MTPTRO
di
Indonesia
oleh
organisasi
internasional
dapat
memperkaya
evaluasi
MTPTRO.
Sistem
informasi
TB
MDR
merupakan
bagian
yang
terintegrasi
dalam
sistem
informasi
program
Pengendalian
TB
Nasional.
Tujuan
khusus
sistem
informasi
TB
MDR
adalah
:
1. Menyediakan
informasi
kepada
para
pemegang
kebijakan
program
di
semua
tingkatan
untuk
memonitor
kinerja
MTPTRO
secara
keseluruhan.
Informasi
tersebut
juga
bermanfaat
untuk
memperkirakan
trend
penemuan
kasus
TB
MDR
di
suatu
wilayah
kerja,
membantu
memperkirakan
kebutuhan
obat
dan
menyediakan
dasar
bagi
pengambilan
keputusan.
2. Menyediakan
informasi
kepada
klinisi
sehingga
mampu
melakukan
penatalaksanaan
kasus
TB
MDR
secara
tepat.
Sistem
dan
metode
monitoring
dan
evaluasi
yang
dipakai
dalam
MTPTRO
terstandarisasi
dan
berlaku
di
semua
fasyankes
TB
MDR
dan
tingkatan
administrasi.
Sistem
Informasi
TB
MDR
ini
akan
dikembangkan
sebagai
sistem
yang
dinamis
yang
mengikuti
perkembangan
kebijakan
dan
teknologi
dengan
tetap
mengacu
pada
sistem
yang
dipakai
oleh
Program
Pengendalian
TB
Nasional.
Untuk
meningkatkan
akuntabilitas
publik
dan
transparansi,
hasil
monitoring
dan
evaluasi
kegiatan
MTPTRO
akan
disebarluaskan
melalui
mekanisme
yang
sudah
ada
dan
berbagai
jalur
komunikasi
sesuai
dengan
peraturan
dan
kebutuhan.
Dengan
demikian
masyarakat
mendapatkan
haknya
untuk
mengakses
hasil
evaluasi
tersebut
secara
terbuka.
Diseminasi
informasi
kepada
para
pembuat
kebijakan,
pengelola
program
dan
masyarakat
dapat
dilakukan
melalui
berbagai
media
komunikasi
seperti
media
cetak,
elektronik
dan
jalur
komunikasi
lain
yang
mudah
diakses
oleh
masyarakat.
Informasi
dari
hasil
monitoring
dan
evaluasi
MTPTRO
akan
ditindaklanjuti
dan
digunakan
untuk
tujuan
perbaikan
yang
berkelanjutan
dalam
upaya
pengendalian
permasalahan
TB
MDR
di
Indonesia.
Informasi
ini
juga
digunakan
untuk
menilai
sinkronisasi
kebijakan
Pusat
dan
Daerah,
Pemerintah
dan
Swasta
serta
lintas
sektor.
104
diperoleh
dari
pencatatan
di
semua
fasyankes
pelaksana
TB
MDR,
yang
dilaksanakan
dengan
satu
sistem
baku.
Semua
petugas
yang
terlibat
dalam
MTPTRO
mempunyai
peran
dalam
pencatatan
dan
pelaporan.
Berdasarkan
kebijakan
desentralisasi
pengelolaan
program,
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota
sangat
berperan
dalam
pencatatan
data
akurat
dan
lengkap.
Formulir
pencatatan
dan
pelaporan
Program
Pengendalian
TB
Nasional.
Sistem
pencatatan
dan
pelaporan
TB
MDR
mengacu
kepada
sistem
yang
sudah
ada
sesuai
dengan
pencatatan
dan
pelaporan
strategi
DOTS.
1. Pencatatan
di
fasyankes
satelit
TB
MDR
Fasyankes
satelit
TB
MDR
menggunakan
formulir
pencatatan
dan
pelaporan
sebagai
berikut:
a. Buku
rujukan
pasien
terduga
TB
resistan
obat.
b. Formulir
rujukan
pasien
terduga
TB
resistan
obat
c. Foto
kopi
TB.01
MDR
(Kartu
pengobatan
pasien
TB
MDR)
bila
mengobati.
d. Foto
kopi
TB.02
MDR
(Kartu
identitas
pasien
TB
MDR)
bila
mengobati.
e. TB.13A
MDR
(Permintaan
obat
ke
fasyankes
Rujukan/Sub
rujukan
TB
MDR)
bila
mengobati.
2. Pencatatan
di
fasyankes
Rujukan/Sub
Rujukan
TB
MDR
Fasyankes
Rujukan/Sub
Rujukan
TB
MDR
menggunakan
formulir
pencatatan
dan
pelaporan
sebagai
berikut:
a. TB.06:
Register
pasien
terduga
TB
Resistan
obat
yang
diperiksa.
b. Formulir
data
dasar.
c. TB.05:
Formulir
permintaan
pemeriksaan
laboratorium
d. TB.01
MDR
:
Kartu
pengobatan
pasien
TB
MDR.
e. TB.02
MDR
:
Kartu
identitas
pasien
TB
MDR.
f. TB.03
MDR
UPK
:
Register
pasien
TB
MDR
di
UPK.
g. Formulir
rujukan/pindah
pasien
TB
MDR.
h. Formulir
Tim
Ahli
Klinis
(TAK).
i. TB
13.B
MDR
:
Lembar
Permintaan
dan
Pemakaian
OAT
TB
MDR
dari
Fasyankes
Rujukan/Sub
Rujukan
TB
MDR
ke
Dinkes
Provinsi.
Formulir
pencatatan
terdapat
pada
lampiran
12.
Formulir
Pencatatan
3. Pencatatan
dan
Pelaporan
di
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/kota
Dinas
kesehatan
Kabupaten/Kota
menggunakan
pencatatan
dan
pelaporan
sebagai
berikut:
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
105
a.
b.
c.
d.
e.
106
TB-RR/TB-MDR
ditemukan
atau
Enrollment
rate
Triwulan
Tahunan
Triwulan
Tahunan
Triwulan
Triwulan
Triwulan
Tahunan
Triwulan
Tahunan
Triwulan
Tahunan
107
12
Proporsi
pasien
TB
RR/
MDR
dengan
Register
TB
Kab/Kota
(TB.03
MDR)
Triwulan
status
HIV
diketahui
diantara
seluruh
Tahunan
pasien
TB
RR/MDR
yang
diobati
Analisis
Data
Data
yang
telah
dikumpulkan
dari
sistem
pencatatan
dan
pelaporan
kemudian
dianalisis
menggunakan
indikator
di
atas.
Analisis
data
dapat
dilakukan
dengan:
1. Membandingkan
antara
data
satu
dengan
yang
lain
untuk
melihat
kesamaan
maupun
perbedaan
serta
seberapa
besar
bedanya.
2. Melihat
kecenderungan
(trend)
dari
waktu
ke
waktu.
108
BAB
VII
PENGEMBANGAN
SUMBER
DAYA
MANUSIA
Pengembangan
Sumber
Daya
Manusia
(SDM)
adalah
suatu
proses
yang
sistematis
dalam
memenuhi
kebutuhan
ketenagaan
yang
cukup
dan
bermutu
sesuai
kebutuhan.
Proses
ini
meliputi
kegiatan
penyediaan
tenaga,
pembinaan
(pelatihan,
supervisi,
kalakarya/on
the
job
training),
dan
kesinambungan
(sustainability).
Tujuan
Pengembangan
SDM
dalam
program
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
adalah
tersedianya
tenaga
pelaksana
yang
kompeten
yaitu
memiliki
keterampilan,
pengetahuan
dan
sikap
yang
diperlukan
dalam
pelaksanaan
program
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat.
Pengembangan
SDM
merujuk
kepada
pengertian
yang
lebih
luas,
tidak
hanya
yang
berkaitan
dengan
pelatihan
tetapi
juga
keseluruhan
aspek
manajemen
terkait
kegiatan
pelatihan
dan
kegiatan
lain
yang
diperlukan
untuk
mencapai
tujuan
jangka
panjang
pengembangan
SDM
yaitu
tersedianya
tenaga
yang
kompeten
dan
profesional
dalam
Pengendalian
TB
MDR
dan
penerapan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat.
A. Standar
Ketenagaan
Ditinjau
dari
sisi
jumlah
kebutuhan
tenaga
pelaksana,
di
setiap
jenjang
unit
pelaksana
disusun
standar
kualifikasi
ketenagaan
sebagai
berikut
:
Tabel
22.
Standar
Kualifikasi
Ketenagaan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
Tingkat
Pusat
Provinsi
Kab/ Kota
Kualifikasi
Jumlah
1
1
1
109
1
3
2
2
4
2
1
2
1
1
1
1
1
1
110
NO
UNIT
1
Fasyankes
Satelit
TB
MDR
KOMPETENSI
Mampu:
1. Menjelaskan
program
nasional
penerapan
strategi
DOTS
dan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
2. Melakukan
kegiatan
menemukan
suspek
TB
MDR
3. Melakukan
kegiatan
merujuk
pasien
terduga
TB
Resistan
obat
ke
fasyankes
Rujukan/Sub
Rujukan
TB
MDR
(formulir
rujukan
suspek
TB
MDR)
4. Melakukan
kegiatan
mengobati
pasien
TB
MDR
5. Melakukan
kegiatan
penatalaksanaan
efek
samping
pasien
TB
MDR
sesuai
kemampuan
fasyankes
satelit
6. Melakukan
kegiatan
melacak
kontak
erat
pasien
TB
MDR
7. Melakukan
kegiatan
melacak
kasus
mangkir
pengobatan
pasien
TB
MDR
8. Melakukan
kegiatan
mencatat
pasien
terduga
TB
Resistan
obat
(Buku
rujukan
pasien
terduga
TB
Resistan
obat)
9. Melakukan
kegiatan
mencatat
pengobatan
pasien
TB
MDR
(TB.01
TB
MDR)
10. Melakukan
kegiatan
upaya
pencegahan
dan
pengendalian
infeksi
Fasyankes
Mampu:
Rujukan
dan
Sub
1. Menjelaskan
program
Nasional
penerapan
strategi
DOTS
Rujukan
TB
MDR
dan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat.
2. Melakukan
kegiatan
menemukan
pasien
terduga
TB
resistan
obat
3. Melakukan
kegiatan
merujuk
pasien
terduga
TB
Resistan
obat
ke
Laboratorium
rujukan
TB
MDR
(TB.05)
4. Melakukan
kegiatan
merujuk
pasien
TB
MDR
ke
TAK
Rumah
Sakit.
5. Melakukan
kegiatan
mengobati
pasien
TB
MDR
sesuai
protap/SPO
(TB.01
MDR)
6. Melakukan
kegiatan
penatalaksanaan
efek
samping
pasien
TB
MDR
7. Memberikan
informasi
kepada
fasyankes
satelit
dan
Wasor
untuk
melakukan
kegiatan
melacak
kontak
erat
dan
melacak
kasus
mangkir.
8. Melakukan
kegiatan
mencatat
penatalaksanaan
TB
MDR
(TB.01
MDR,
TB.02
MDR,
TB.05,
TB.06
dan
TB.09
MDR)
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
111
NO
UNIT
KOMPETENSI
9. Melakukan
kegiatan
mengelola
logistik
OAT
dan
non
OAT
(TB.13B
MDR)
10. Melakukan
kegiatan
upaya
pencegahan
dan
pengendalian
infeksi
Dinkes
Kab/Kota
Mampu:
1. Menjelaskan
program
nasional
penerapan
strategi
DOTS
dan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
2. Melakukan
kegiatan
mencatat
pasien
TB
MDR
yang
diobati
dalam
register
Kabupaten/Kota
untuk
pasien
TB
MDR
(Rekapitulasi
suspek
dan
TB.03
MDR)
3. Melaporkan
pasien
TB
MDR
yang
ditemukan,
hasil
pengobatan
dan
logistik
ke
tingkat
Provinsi
(TB.07,
08,
11
MDR)
4. Melakukan
kegiatan
fasilitasi
ketersediaan
sarana
dan
prasarana
yang
dibutuhkan
5. Memfasilitasi
rujukan
dan
pelacakan
pasien
TB
MDR
6. Melakukan
surveilans
TB
MDR
7. Melakukan
supervisi
8. Melakukan
monitoring
dan
evaluasi
9. Memberikan
umpan
balik
Dinkes
Provinsi
1. Menjelaskan
program
nasional
penerapan
strategi
DOTS
dan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
2. Merekap
register
Kabupaten/Kota
untuk
pasien
TB
MDR
(TB.07
MDR)
3. Melaporkan
pasien
TB
MDR
yang
ditemukan,
hasil
pengobatan
dan
logistik
ke
tingkat
Pusat.
(TB.07,
08
dan
LPPO
TB
MDR)
4. Memastikan
sarana
dan
prasarana
yang
dibutuhkan
tersedia
cukup.
5. Melaksanakan
pelatihan
untuk
tingkat
Kabupaten,
fasyankes
Sub
Rujukan
dan
fasyankes
satelit.
6. Memfasilitasi
rujukan
dan
pelacakan
pasien
TB
MDR
7. Melakukan
surveilans
TB
MDR
8. Melakukan
supervisi
9. Melakukan
monitoring
dan
evaluasi
10. Memberikan
umpan
balik
11. Melakukan
pelatihan
TB
MDR
bagi
petugas
fasyankes
12. Melakukan
koordinasi
unsur
terkait
dalam
pelaksanaan
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
112
NO
5
UNIT
KOMPETENSI
Kementerian
Kesehatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
TB
MDR
Membuat
kebijakan
pelaksanaan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
Menjelaskan
situasi
global
TB
MDR
Menjelaskan
program
nasional
penerapan
strategi
DOTS
dan
PMDT
Membuat
perencanaan
disemua
aspek
dalam
pelaksanaan
TB
MDR
Membuat
petunjuk
teknis,
petunjuk
pelaksanaan
dan
standarisasi
TB
MDR
Melakukan
koordinasi
unsur
terkait
dalam
pelaksanaan
TB
MDR
Melakukan
surveilans
TB
MDR
Melakukan
analisa
dan
memberikan
umpan
balik
hasil
pelaksanaan
TB
MDR
Menyusun
modul
dan
melakukan
pelatihan
TB
MDR
untuk
tenaga
pelaksana
di
tingkat
Provinsi
dan
RS
Rujukan
TB
MDR.
Melakukan
supervisi
Melakukan
monitoring
dan
evaluasi
Mengkaji
outcome
pelaksanaan
TB
MDR
Memfasilitasi
ketersediaan
logistik
OAT
dan
non
OAT
KOORDINASI
Koordinasi
adalah
upaya
untuk
menyelaraskan
kegiatan
dari
berbagai
unit
dan
tingkatan
manajemen
program.
Koordinasi
yang
baik
akan
berdampak
pada
kelancaran
pelaksanaan
program.
Koordinasi
dapat
dilakukan
dengan
beberapa
cara.
Cara
yang
terlembaga
dalam
melakukan
koordinasi
adalah
dengan
melakukan
pertemuan
yang
teratur.
Di
dalam
pertemuan
tersebut
dapat
disampaikan
umpan
balik
masing-masing
tingkatan
manajemen
program.
Pertemuan
koordinasi
minimal
dilakukan
setiap
1
(satu)
bulan
sekali
untuk
tingkat
fasyankes.
Untuk
tingkat
Kabupaten/Kota
pertemuan
koordinasi
dilakukan
paling
sedikit
3
(tiga)
bulan
sekali.
113
Supervisi
selain
sebagai
upaya
pembinaan
teknis,
juga
merupakan
suatu
pelatihan
kalakarya
(On
The
Job
Training).
Oleh
karena
itu,
seorang
supervisor
haruslah
dapat
memberikan
bantuan-teknis
dan
bimbingan
kepada
petugas
yang
dikunjungi
sehingga
mereka
dapat
melaksanakan
tugas
mereka
secara
tepat.
Supervisor
harus
dapat
mengenal
sedini
mungkin
kinerja
petugas
yang
kurang
baik
untuk
segera
memabantu
memperbaikinya
sebelum
hal
tersebut
menjadi
masalah
besar.
Dengan
demikian,
melalui
supervisi
diharapkan
kinerja
petugas
dapat
terjaga
dan
terjadi
perbaikan
secara
terus-menerus.
2. Evaluasi
Pasca
Pelatihan
(EPP)
Evaluasi
Pasca
Pelatihan
perlu
dilakukan
untuk
mengetahui:
a. Apakah
petugas
yang
dilatih
melaksanakan
tugas
dan
fungsi
sesuai
dengan
tujuan
pelatihan.
b. Pelatihan
yang
dilakukan
sudah
benar-benar
dapat
memenuhi
kebutuhan
pengetahuan,
keterampilan
serta
sikap
yang
diperlukan
untuk
melaksanakan
tugas
masing-masing.
c. Apakah
petugas
melaksanakan
tugas
sesuai
dengan
pengetahuan
dan
ketrampilan
yang
diperoleh
selama
pelatihan.
d. Evaluasi
Pasca
Pelatihan
sebaiknya
dilakukan
3
bulan
setelah
petugas
mendapatkan
pelatihan
atau
sesuai
kebutuhan.
Daftar
Tilik
Supervisi
Daftar
tilik
supervisi
merupakan
alat
bantu
dalam
melaksanakan
kunjungan
lapangan.
Tujuan
pembuatan
alat
bantu
adalah
memastikan
bahwa
pada
saat
kunjungan
lapangan
tidak
ada
hal-hal
yang
terlewatkan.
Pada
akhir
kunjungan,
daftar
tilik
dibicarakan
bersama
dengan
petugas
setempat
yang
dikunjungi,
bersama
dengan
atasan
langsung
yang
bersangkutan.
Tujuannya
agar
semua
pihak
dapat
mengetahui
kelebihan
dan
kekurangan
unit
yang
dikunjungi.
Masalah
yang
ditemukan
saat
kunjungan
diupayakan
agar
bisa
diselesaikan
saat
itu
juga.
Masalah
yang
berkaitan
dengan
kebijakan,
dapat
dibicarakan
dengan
atasan
langsung
petugas
supervisi.
Setiap
selesai
kunjungan
lapangan
petugas
supervisi
harus
memberikan
umpan
balik.
Daftar
tilik
untuk
kunjungan
ke
laboratorium
rujukan
biakan
dan
uji
resistansi
M.
tuberculosis
disesuaikan
kebutuhan.
Contoh
daftar
tilik
supervisi
dapat
dilihat
pada
lampiran
9
tentang
Daftar
tilik
supervisi.
114
BAB
IX
ADVOKASI,
KOMUNIKASI
DAN
MOBILISASI
SOSIAL
(AKMS)
B. Strategi
AKMS
Ada
tiga
strategi
dalam
AKMS
dan
sekaligus
merupakan
komponen
yaitu
Advokasi,
Komunikasi
dan
Mobilisasi
Sosial.
1. Advokasi
Advokasi
untuk
TB
MDR
adalah
upaya
secara
sistimatis
untuk
mempengaruhi
pimpinan,
pembuat/penentu
kebijakan
dan
keputusan
dalam
penerapan
strategi
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat.
Pendekatan
dapat
dilakukan
dengan
cara
bertatap
muka
langsung
(audiensi),
konsultasi,
memberikan
laporan,
pertemuan/rapat
kerja,
lokakarya
dan
sebagainya
sesuai
dengan
situasi
dan
kondisi
masing-masing
unit.
Pesan
advokasi:
Data
TB
di
daerah
tersebut,
kerugian
ekonomi,
kontribusi
PEMDA
yang
diperlukan
dalam
Pengendalian
TB.
Output
advokasi:
Dukungan
dana
untuk
pelaksanaan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
di
Kab/Kota.
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
115
2. Komunikasi
Komunikasi
merupakan
proses
penyampaian
pesan
atau
gagasan
(informasi)
yang
disampaikan
secara
lisan
dan
atau
tertulis
dari
sumber
pesan
kepada
penerima
pesan
melalui
media
dengan
harapan
adanya
pengaruh
timbal
balik.
Sumber
pesan
(pemberi
pesan)
dapat
berasal
dari
individu,
kelompok
(petugas,
masyarakat)
maupun
kelembagaan
(LSM).
Pesan-pesan
dalam
proses
komunikasi
disampaikan
melalui
bahasa
yang
sama
dengan
bahasa
penerima
pesan
agar
mudah
dimengerti
dan
dipahami
oleh
penerima.
Penerima
pesan
adalah
dapat
berupa
individu,
kelompok,
kelembagaan
maupun
massa.
Materi
pesan
dikemas
secara
berbeda
tergantung
kelompok
sasaran.
Output:
Peningkatan
pengetahuan
masyarakat
mengenai
TB
MDR.
3. Mobilisasi Sosial
Adalah
kegiatan
yang
melibatkan
semua
unsur
masyarakat
dengan
keterpaduaan
elemen
pemerintah
dan
non
pemerintah
sehingga
masyarakat
dapat
melakukan
kegiatan
secara
kolektif
menggunakan
sumber
daya
yang
ada
dan
membangun
solidaritas
untuk
mengatasi
masalah.
Output:
Partisipasi
Masyarakat
dalam
Pengendalian
TB.
Dalam
penerapan
strategi
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
kegiatan
tersebut
dapat
dilakukan
antara
lain
melalui
penyuluhan
kelompok,
diskusi
kelompok,
kunjungan
rumah
dan
konseling.
D. Kegiatan
AKMS
1. Pengorganisasian
Pelaksanaan
AKMS
TB
MDR
dilaksanakan
melalui
pola
struktur
organisasi
yang
sudah
ada
baik
di
tingkat
Kecamatan
yang
dilaksanakan
oleh
Puskesmas,
Rumah
Sakit,
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota,
Dinas
Kesehatan
Provinsi
dan
Kementerian
Kesehatan
RI.
Dalam
pelaksanaan
AKMS
yang
harus
dilibatkan:
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
116
a.
b.
c.
d.
e.
117
3. Kerja
sama
Lintas
Sektoral
(Organisasi
Profesi,
Dunia
Usaha,
Akademisi,
dsb)
Penerapan
strategi
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
jauh
lebih
rumit
daripada
penatalaksanaan
kasus
TB
non
MDR
sehingga
tidak
mungkin
hanya
dilakukan
oleh
sektor
kesehatan
tetapi
membutuhkan
kemitraan
dan
dukungan
yang
dilakukan
oleh
sektor
lainnya.
Untuk
itu,
perlu
diwujudkan
koordinasi,
integrasi
dan
sinkronisasi
berbagai
program
dan
kegiatan
baik
yang
berada
di
dalam
lingkup
kesehatan
maupun
dengan
sektor-sektor
lainnya.
Untuk
mewujudkan
koordinasi
yang
baik
perlu
diselengarakan
komunikasi
antar
unit
dan
antar
sektor
guna
membahas
perencanaan
dan
implementasi
serta
pembinaan
dan
pengawasan
penerapan
strategi
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat.
Penerapan
strategi
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
dapat
diperkuat
dengan:
Komitmen
politik
di
seluruh
tingkatan.
Kegiatan
advokasi
dan
komunikasi
penerapan
strategi
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
yang
disusun
dengan
baik,
direncanakan
bersama
untuk
memastikan
sasaran
dan
isi
pesan
tepat.
Pengembangan
bersama
strategi
komunikasi
dan
mobilisasi
sosial
strategi
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
ditujukan
pada
kebutuhan
individu
dan
pasien
serta
masyarakat
yang
terkena
dampak
TB
MDR.
118
BAB
X
PEMBIAYAAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TB
RESISTAN
OBAT
Pada
saat
ini
sebagian
besar
pendanaan
masih
menjadi
tanggung
jawab
dari
Kementrian
Kesehatan,
dalam
hal
ini
Program
Nasional
Pengendalian
TB.
Sumber
pendanaan
tersebut
diperoleh
dari
dana
Pemerintah
dan
bantuan
luar
negeri.
Meskipun
demikian,
diperkirakan
masih
akan
terjadi
kesenjangan
antara
total
biaya
yang
diperlukan
dengan
anggaran
yang
tersedia
selama
periode
tersebut.
Perlu
ada
upaya
sistematis
yang
mendorong
kemandirian
program
dari
sisi
pendanaan.
Kontribusi
pendanaan
dari
Pemerintah,
Provinsi,
Kabupaten/Kota
dan
berbagai
jaminan
sosial
diharapkan
dapat
mengatasi
kesenjangan
tersebut
secara
bertahap
dalam
kurun
waktu
tersebut.
Hal
ini
menunjukkan
peningkatan
komitmen
politis
terhadap
program
pengendalian
TB
pada
umumnya
dan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
pada
khususnya.
Advokasi
kepada
sektor
swasta,
seperti
PT
Askes,
Jamsostek
diharapkan
dapat
meningkatkan
kontribusi
sektor
swasta
dalam
mendukung
pendanaan
untuk
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat.
Gambar
berikut
menyajikan
alokasi
anggaran
untuk
strategi
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
tahun
2011-2014
dan
analisis
kesenjangan
pembiayaan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
tahun
2011-2014.
Gambar
8.
Terpadu
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
119
Pendanaan
secara
umum
dibagi
menjadi
2
kelompok,
yaitu
untuk
kegiatan
manajerial
dan
kegiatan
layanan.
Kegiatan
manajerial
diantaranya
untuk
penyiapan
SDM,
logistik
program
(OAT
dan
non
OAT),
penyediaan
sarana
prasarana
dan
kegiatan
manajemen
di
semua
tingkatan.
Pendanaan
kegiatan
layanan
berupa
dukungan
kepada
pasien
TB
MDR
dan
dukungan
operasional
bagi
fasyankes.
Tabel
24.
Matriks
Pendanaan
Kegiatan
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
Jenis Kegiatan
Pusat
Sumber
Pendanaan
Provinsi
Kab/Kota
Sumber
lain
Manajerial
Penyediaan
OAT
TB
MDR
+++
++
++
++
Pengembangan SDM
++
++
++
Monev
++
++
++
+++
+++
++
+++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
Layanan
Keterangan
:
+
:
diperlukan
upaya
untuk
penyediaan
dana
++
:
dibiayai
bersama
+++:
merupakan
penanggung
jawab
utama
120
BAB
XI
PENUTUP
Dengan
tersusunnya
Pedoman
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
Tuberkulosis
Resisten
Obat
maka
upaya
pengendalian
TB
dapat
dilaksanakan
secara
lebih
luas,
terpadu,
berkesinambungan
dan
sesuai
dengan
standar
yang
berlaku.
Diharapkan
tenaga
kesehatan
dapat
memberikan
pelayanan
TB
secara
bermutu
dan
semua
pasien
TB
resistan
obat
dapat
diberikan
pelayanan
sesuai
standar
sampai
tuntas.
Semua
tenaga
kesehatan
di
fasyankes,
Dinas
Kesehatan
Provinsi
dan
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota
mengikuti
pedoman
ini
secara
utuh.
121
DAFTAR
PUSTAKA
1. Depkes
RI,
Petunjuk
Teknis
Penatalaksanaan
Pasien
TB
MDR,
Jakarta,
2009.
2. Depkes
RI,
Pedoman
Penanggulangan
TB
Nasional,
Jakarta,
2008.
3. Tropical
Diseases
Foundation,
Module
B
Management
of
Drug
Resistant
Tuberculosis,
Philippines,
2008.
4. WHO,
Guidelines
for
Programmatic
Management
of
Drugs-Resistant
Tuberculosis:
Emergency
Update
2008:
Case
Finding
Strategy,
p
19-35.
5. SPO
pemeriksaan
mikroskopis,
Kemenkes
2012
6. WHO,
Definitions
and
Reporting
Framework
for
Tuberculosis
2013
Revision,
Switzerland,
2013.
7. Tropical
Diseases
Foundation,
Management
of
Drug
Resistant
Tuberculosis,
Training
for
Health
Staff
in
the
Philippines,
Module-C,
Treatment
Cases
of
MDR
TB,
PMDT
Training
for
Indonesian
Trainees,
Manila
23
November
15
December
2008.
8. WHO,
Guidelines
for
Programmatic
Management
of
Drugs-Resistant
Tuberculosis:
Emergency
Update
2008:
Case
Finding
Strategy,
p
19-35.
9. Pedoman
Pencegahan
dan
Pengendalian
Infeksi
Tuberkulsosi
di
Rumah
Sakit,
2010
10. World
Health
Organization.
Guidelines
for
prevention
of
tuberculosis
in
heatlh
care
facilities,
congregate
settings
and
households,
WHO
2009
11. World
Health
Organization.
Guidelines
for
prevention
of
tuberculosis
in
helathh
care
facilities
in
resources-limited
settings.
Gevena,
world
health
organization,
1999.
12. Natural
Ventilation
for
Infection
Control
in
Health-Care
Settings,
World
Health
Organization
2009
13. WHO
policy
on
TB
Infection
Control
in
Health
Care
Facilities,
Congregate
settings
and
Households,
Max
Meis,
TBCAP
Infection
Control
Program
Officer
KNCV,
Netherlands
14. Tuberculosis
Infection
Control
The
National
Performance
Review
(now
the
National
Partnership
for
Reinventing
15. Pedoman
Pencegahan
dan
pengendalian
Infeksi
di
Rumah
Sakit
dan
Fasilitas
Kesehatan
lainnya
16. Pedoman
manajerial
Pencegahan
dan
pengendalian
Infeksi
di
Rumah
Sakit
17. Instrumen
penilaian
Pencegahan
dan
Pengendalian
Infeksi
di
Rumah
Sakit
18. Natural
Ventilation
guideline,
SEARO
Regional
Publication
No.
41
WPRO
Regional
Publication
19. World
Health
Organization.
Global
Tuberculosis
Report
2012,
WHO
2012.
20. Kementerian
Kesehatan
RI,
Pedoman
Nasional
Penanggulangan
TB,
Jakarta,
2011.
21. Kementerian
Kesehatan
RI,
Pedoman
Manajemen
Terpadu
Pengendalian
Tuberkulosis
Resistan
Obat,
Jakarta,
2013.
22. Kementerian
Kesehatan
RI,
Rencana
Aksi
Nasional
Logistik,
Jakarta
2011.
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
122
123
LAMPIRAN
Lampiran
1.
Instruksi
Kerja
Pengumpulan
dan
Pengiriman
Dahak
ke
Laboratorium
Rujukan
TB
MDR
Pelaksana:
Petugas
laboratorium
fasyankes
Alat
yang
diperlukan:
a. Pot
dahak
steril
sesuai
standar
lab
TB
b. Stiker/spidol
c. Sabun
cuci
tangan
d. Parafilm
e. Prosedur
tetap
pengumpulan
dahak
f. Form
TB
05
MDR
Cara
Kerja:
1. Persiapan
pasien:
a. Beritahu
pasien
tentang
pentingnya
mendapatkan
dahak
yang
berkualitas
untuk
menentukan
penyakitnya
b. Anjurkan
pasien
untuk
berdahak
dalam
keadaan
perut
kosong,
dan
membersihkan
rongga
mulut
dengan
berkumur
dengan
air
bersih.
c. Dahak
adalah
bahan
infeksius,
anjurkan
pasien
untuk
berhati-hati
saat
berdahak
dan
mencuci
tangan
dengan
sabun
d. Anjurkan
pasien
untuk
membaca
prosedur
tetap
pengumpulan
dahak
yang
tersedia
di
lokasi
berdahak.
2. Persiapan
Alat.
a. Siapkan
pot
dahak
steril.
b. Beri
identitas
sesuai
NKI
pada
badan
pot
dahak.
tempelkan
identitas
pasien
sesuai
dengan
NKI
dan
tambahkan
tanda
A
untuk
pot
dahak
sewaktu
dan
B
untuk
pot
dahak
pagi
pada
dinding
badan
pot
jangan
pada
tutupnya.
Dahak
sewaktu
dikumpulkan
pada
waktu
pasien
baru
TB
BTA
positif
datang
untuk
mengambil
hasil
pemeriksaan
mikroskopis,
kemudian
pasien
diberikan
pot
untuk
dibawa
pulang
untuk
menampung
dahak
pagi.
3. Tulis
identitas
pasien
dan
tanggal
pengambilan
dahak
pada
formulir
TB
05
4. Cara
pengeluaran
dahak
yang
baik
a. Kumur-kumur
dengan
air
bersih
sebelum
mengeluarkan
dahak
b. Bila
memakai
gigi
palsu,
lepaskan
sebelum
berkumur
c. Tarik
nafas
dalam
(2-3
kali)
d. Buka
tutup
pot,
dekatkan
ke
mulut,
berdahak
dengan
kuat
dan
ludahkan
ke
dalam
pot
dahak
e. Tutup
pot
yang
berisi
dahak
dengan
rapat,segel
dengan
parafilm
disekeliling
tutup
pot
dahak
f. Cuci
tangan
dengan
air
dan
sabun
antiseptik
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
124
Pada
saat
mendampingi
pasien
berdahak,
petugas
harus
mendampingi
pasien
dengan
memperhatikan
arah
angin
sedemikian
rupa
agar
arah
angin
tidak
mengarah
kepada
petugas.
Apabila
ternyata
dahak
tidak
memenuhi
syarat
pemeriksaan
(
air
liur
atau
volumenya
kurang),
pasien
harus
diminta
berdahak
lagi.
Apabila
kesulitan
mengeluarkan
dahak
:
Berikan
obat
batuk
yang
mengandung
gliserol
guayacolas
sehari
sebelum
pengumpulan
dahak,
atau
Pasien
dianjurkan
berolah-raga
ringan
:
berlari-lari
kecil,atau
Petugas
melakukan
tepukan-tepukan
ringan
dengankedua
telapak
tangan
pada
punggung
pasien,
selama
kurang
lebih
3-5
menit
5. Cara
menilai
kualitas
dahak
secara
makroskopis
a. Lakukan
penilaian
terhadap
dahak
pasien
tanpa
membuka
tutup
pot
melalui
dinding
pot
yang
transparan.
b. Hal-hal
yang
harus
diamati
adalah
volume
3
5
ml,
dahak
kental
berwarna
hijau
kekuningan
(mukopurulen)
c. Setelah
memeriksa
kualitas
dahak
petugas
harus
mencuci
tangan
dengan
air
dan
sabun.
6. Mengemas
dahak
untuk
dirujuk
Masukkan
pot
ke
dalam
kantong
plastik
bersegel
(satu
kantong
berisi
satu
pot
dahak),tutup
segel
kantong
7. Simpan
pada
suhu
kamar
sampai
waktu
jadwal
pengiriman
(maksimal
48
jam
sudah
diterima
di
laboratorium
DST
dan
harus
diterima
pada
hari
Senin
-
Kamis)
Bila
waktu
pengiriman
dahak
ke
laboratorium
rujukan
biakan/uji
kepekaan
l
48
jam
72
jam,
kotak
styrofoam
harus
berisi
ice
pack
agar
suhu
terjaga
pada
4-80C
Bila
didaerah
terkait
telah
tersedia
laboratorium
yang
memiliki
kemampuan
biakan
TB
maka
rujukan
ke
laboratorium
uji
kepekaan
dikirim
dalam
bentuk
isolat.
8. Setelah
selesai
petugas
harus
cuci
tangan
dengan
sabun
dan
air.
125
126
127
128
g. Melakukan
manajemen
OAT
TB
MDR,
obat
tambahan
dan
alat
kesehatan
lain
yang
diperlukan
untuk
TB
MDR.
129
130
-
-
-
Catatan
:
Bagi
Fasyankes
yang
langsung
mengirim
sampel
ke
laboratorium
tanpa
tembusan
informasi
ke
fasyankes
rujukan
TB
MDR/tidak
melalui
program,
maka
perlu
disampaikan
informasi
(leaflet)
mengenai
TB
MDR
dan
layanan
pengobatan
yang
tersedia
bersama
dengan
penyampaian
hasil
pemeriksaan.
Pemeriksaan
metode
rapid
tidak
dilakukan
pada
prosedur
ini.
131
132
5. Alur
a. Alur
Jejaring
pengobatan
pasien
TB
MDR
di
Provinsi
yang
sudah
ada
Pusat
rujukan
termasuk
untuk
pemeriksaan
follow
up
nya.
RS
Rujukan
PMDT
Dinkes
Propinsi/Kota/
Kab
Fasyankes
Sub
Rujukan
PMDT
Fasyankes Satelit
Catatan
:
-.
Untuk
daerah
dengan
akses
yang
sulit,
mempertimbangkan
fasilitas
yang
tersedia.
-.
Sub
rujukan
dengan
fasilitas
yang
lengkap,
bisa
melakukan
pemeriksaan
baseline
Penentuan
Regimen
Menentukan
tempat
pengobatan
Inisiasi
pengobatan
FU
pengobatan
dan
tatalaksana
ESO
Menentukan
hasil
pengobatan
Catatan:
Untuk RS sub rujukan yang sudah ada dokter spesialis pasien tidak perlu datang
ke RS rujukan untuk konsultasi baseline
133
b. Jejaring Pasien/pengobatan berasal dari Provinsi yang belum ada fasyankes rujukan
TB MDR, termasuk untuk pemeriksaan follow up nya
Dinkes
Propinsi
RS
Rujukan
Dinkes
Propinsi
Wilayah
Pasien
Dinkes
Kota/Kab
Wilayah
Pasien
Fasyankes
Rujukan
TB
MDR
(luar
provinsi
)
Fasyankes Satelit
Catatan
:
Dinkes
menyiapkan
fasyankes
Sub
Rujukan
di
prioritaskan
RSU
untuk
mempermudah
tatalaksana
ESO
-
FU
pengobatan
dan
satelit
jika
wilayah
pasien
jauh
dari
fa//syankes
sub
rujukan
Penentuan
Regimen
Menentukan
tempat
pengobatan
Inisiasi
pengobatan
FU
pengobatan
dan
tatalaksana
ESO
Menentukan
Hasil
pengobatan
Inisiasi
/
melanjutkan
pengobatan
sesuai
dg
instruksi
dr
RS
Rujukan
FU
pengobatan
termasuk
penangan
ESO
berkoordinasi
dengan
RS
Rujukan
jika
sub
rujukan
memiliki
TAK,
bisa
menentukan
hasil
pengobatan
*
Untuk
pasien
yang
tidak
bisa
dikirim
ke
RS
rujukan
pemeriksaan
baseline
di
RS
setempat
yang
ditunjuk
dinkes
provinsi.
Koordinasi
antar
TAK
dan
Tim
dokter
di
RS
setempat
melanjutkan
pengobatan
sesuai
dg
instruksi
dr
Fasyankes
Sub
Rujukan
Penanganan
ESO
ringan
dan
sedang
berkoordinasi
dengan
Fasyankes
Sub
Rujukan
c. Alur Jejaring pengobatan pasien yang berasal dari daerah perbatasan antara 2
Provinsi yang sudah ada fasyankes rujukan TB MDR
- Fasyankes Rujukan/Fasyankes Sub Rujukan menentukan tempat pengobatan
pasien dengan mempertimbangkan keberlangsungan pengobatan sesuai
pendekatan tanpa batas wilayah (borderless approach).
- Koordinasi antar dinas kesehatan provinsi dilakukan secara intensif untuk
menjamin keberlangsungan pengobatan pasien.
Langkah-langkah inisiasi pengobatan pasien :
a. Pasien memilih pengobatan di luar wilayah provinsi.
- Fasyankes Rujukan memberi informasi ke dinkes provinsi fasyankes rujukan.
- Dinkes provinsi fasyankes Rujukan memberi informasi ke dinkes provinsi wilayah
pasien.
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
134
135
136
3. Jejaring
lanjutan
pengobatan
pasien
TB
MDR
di
wilayah
perbatasan
2
provinsi
yang
memiliki
fasyankes
rujukan
TB
MDR
- Sebelum
memulai
pengobatan,
pasien
di
minta
untuk
memilih
tempat
pengobatan.
- Jika
pasien
memilih
pengobatan
di
fasyankes
rujukan
di
luar
provinsi
tempat
tinggal
pasien,
maka
fasyankes
rujukan
harus
memberitahukan
ke
dinas
kesehatan
provinsi
wilayah
pasien.
- Dinas
kesehatan
provinsi
wilayah
pasien
akan
menunjuk
dan
mempersiapkan
fasyankes
satelit.
- Setelah
fasyankes
satelit
siap,
maka
pasien
bisa
dipindahkan
melalui
proses
serah
terima
di
fasyankes
rujukan
- Fasyankes
rujukan
mempersiapkan
perpindahan
pasien
(dokumen
dan
logistik
OAT
dan
non
OAT)
- Pemantauan
kemajuan
pengobatan
tetap
dilakukan
di
fasyankes
rujukan
awal.
- Koordinasi
antar
dinas
kesehatan
provinsi
dilakukan
secara
intensif
untuk
menjamin
keberlangsungan
pengobatan
pasien
137
138
Untuk kepentingan kesehatan masyarakat, petugas perlu menjadikan wilayah tempat tinggal pasien
sebagai prioritas sasaran penyuluhan tanpa perlu membuka identitas pasien.
139
Nama
fasyankes
/
Satus
:
..
Kabupaten
/
Kota
:
.
Tanggal
supervisi
:
Nama
Petugas
yang
disupervisi
:
1. ..
2. ...
3. .
Penemuan
pasien
Validasi
laporan
penemuan
pasien(
yang
ada)
Suspek
TB-
Jml
dan
%
MDR
dirujuk
utk
Kelompok
TB-MDR
C/DST
Kasus
kronik
Pasien
TB
pengobatan
kategori
2
yang
tidak
konversi
setelah
3
bulan
pengobatan
Pasien
TB
yang
mempunyai
riwayat
pengobatan
TB
yang
tidak
standar
serta
menggunakan
kuinolon
dan
obat
injeksi
lini
kedua
minimal
selama
1
bulan
Pasien
TB
pengobatan
kategori
1
yang
gagal
Pasien
TB
pengobatan
kategori
1
yang
tetap
positif
setelah
3
bulan
pengobatan
Pasien
TB
kasus
kambuh
(relaps),
kategori
1
dan
kategori
2
Pasien
TB
yg
kembali
setelah
lalai
berobat/
lost
to
follow
up
(setelah
pengobatan
kat
1
dan/atau
kat
2
)
Suspek
TB
yang
mempunyai
riwayat
kontak
erat
dengan
pasien
TB
MDR
termasuk
petugas
kesehatan
di
bangsal
MDR
Pasien
ko-infeksi
TB-HIV
yang
tidak
Jml
dan
%
dipastikan
TB-
MDR
140
Jumlah
Jumlah
%
Ya/tidak
%
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
141
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
alasan:
.
.
142
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
alasan
..
.
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
%
.
Ya/tidak
Ya/tidak
143
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
%
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
Ya/tidak
144
145
KEKUATAN/
No
LOGISTIK
SATUAN
OBAT
JUMLAH
KECUKUPAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Etambutol
kurang
/
cukup
Pirazinamid
kurang
/
cukup
Kanamisin
kurang
/
cukup
Kapreomisin
kurang
/
cukup
Levofloksasin
kurang
/
cukup
Etionamid
kurang
/
cukup
Sikloserin
kurang
/
cukup
PAS
kurang
/
cukup
Moksifloksasin
kurang
/
cukup
B6
kurang
/
cukup
Lain-lain,
sebutkan
a. ......................
b. ......................
c. ......................
5. Logistik
Dukungan
untuk
PMDT
No
LOGISTIK
JUMLAH
KECUKUPAN
1.
Media
KIE
untuk
TB
MDR
kurang
/
cukup
2.
Masker
N95
kurang
/
cukup
3.
Masker
Bedah
kurang
/
cukup
6. Penemuan
pasien/suspek
Validasi
laporan
penemuan
pasien
(dalam
tribulan
terakhir)
Jumlah
ditemukan
Kelompok TB-MDR
Kasus
kronik
Pasien
TB
pengobatan
kategori
2
yang
tidak
konversi
setelah
3
bulan
pengobatan
Pasien
TB
yang
mempunyai
riwayat
pengobatan
TB
yang
tidak
standar
serta
menggunakan
kuinolon
dan
obat
injeksi
lini
kedua
minimal
selama
1
bulan
Pasien
TB
pengobatan
kategori
1
yang
gagal
Pasien
TB
pengobatan
kategori
1
yang
tetap
positif
setelah
3
bulan
pengobatan
Pasien
TB
kasus
kambuh
(relaps),
kategori
1
dan
kategori
2
Pasien
TB
yg
kembali
setelah
lalai
146
147
Memburuk
Membaik/
Tetap/
Memburuk
Membaik/
Tetap/
Memburuk
Membaik/
Tetap/
Memburuk
Membaik/
Tetap/
Memburuk
Membaik/
Tetap/
Memburuk
10. Pengelolaan
masalah
psikososial
Masalah
psikososial
yang
dialami
sejak
memulai
pengobatan
di
satelit
No
Nama Pasien
11. Pencatatan
dan
pelaporan
No
Nama
Pasien
Tindakan
yang
dilakukan
Hasil tatalaksana
Terselesaikan/
Tidak
terselesaikan
Terselesaikan/
Tidak
terselesaikan
Terselesaikan/
Tidak
terselesaikan
Terselesaikan/
Tidak
terselesaikan
Terselesaikan/
Tidak
terselesaikan
Terselesaikan/
Tidak
terselesaikan
TB.01
MDR
TB.02
MDR
Kelengkapan
Kebenaran
Kelengkapan
Kebenaran
isi
isi
Lengkap/
Lengkap/
tidak
tidak
148
Lengkap/
tidak
Lengkap/
tidak
Lengkap/
tidak
Lengkap/
tidak
Lengkap/
tidak
Lengkap/
tidak
Lengkap/
tidak
Lengkap/
tidak
Lengkap/
tidak
Lengkap/
tidak
Ringkasan
masalah
yang
ditemukan
setiap
komponen
Rekomendasi
yang
disampaikan
Rencana
Tindak
Lanjut
..,
PEDOMAN
MANAJEMEN
TERPADU
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
RESISTAN
OBAT
|
KEMENTERIAN
KESEHATAN
RI
149
150
Nama
Generik
Asam
Mefenamat
Ibuprofen
Ketoprofen
Na
Diklofenak
Meloksikam
Piroksikam
Parasetamol
2.
Anti Pirai
3.
Anti Alergi
Tramadol
Allopurinol
Probenesid
Klorfeniramin
Maleat
Cetirizine
Deksametason
Prednison
Metilprednisolon
4.
5.
6.
Hidrokortison
Difenhidramin
Anti
Anafilaksis
Epinefrin
Anti
Epilepsi-Anti
Diazepam
konvulsi
Fenitoin
Antasida
Anti
ulkus
Fenobarbital
Asam
Valproat
Antisida
DOEN
I
Antasida
DOEN
II
Ranitidin
Hidroklorida
Omeprazol
Sediaan
Tab
250
mg
Tab
salut
500
mg
Tab
200
mg,
400
mg
Tab
100
mg
Inj
100
mg
Tab
25
mg,
50
mg
Tab
7,5
mg,
15
mg
Suppositoria
Tab
10
mg,
20
mg
Kap
20
mg
Cap
10
mg
Tab
100
mg,
500
mg
Syr
120
mg/
5
ml
Sup
120
mg/
240
mg
Tab
50
mg,
Cap
50
mg
Injeksi
50mg/ml
Tab
100
mg,
300
mg
Tab
500
mg
Tab
4
mg
Inj
5
mg
Tab
10
mg
Tab
0,5
mg
Inj.iv
5
mg/
ml
Tab
5
mg
Tab
4
mg,
8
mg,
16
mg
Inj
500
mg
Krim
1%;
2,5%
Inj.im
10
mg/ml
Inj.sk/im
0,1%
Tab
2
mg,
5
mg
Inj
5
mg
Tab
30
mg,
100
mg
Inj
50
mg
Tab
30
mg,
100
mg
Tab
150
mg,
300
mg
Tablet
kunyah
Susp
60
ml
Tab
150
mg
Inj
25
mg/
2
ml
Cap
20
mg
151
Lansoprazol
Sukralfat
7.
Anti emetik
Metoklopramid
Prometazin
Difenhidramin
Ondansetron
Domperidon
8.
Diare
9.
Anti spasmodik
10.
Katartik
11.
Anti tusif
Garam
oralit
Loperamide
Norit
Atropin
Ekstrak
Belladona
Bisacodil
Gliserin
Dekstrometorfan
12. Ekspektoran
Kodein
Gliseril
guaiakolat
13. Mukolitik
OBH
Ambroxol
17.
Gejala
Ekstrapiramidal
18.
Anti
Vertigo
19
Diuretik
Diazepam
Alprozolam
Amitriptilin
Fluoksetin
Haloperidol
Klorpromazin
Triheksifenidil
Betahistin
mesilat
Furosemid
Sprironolakton
HCT
Tab
30
mg
Tab
500
mg
Susp
500
mg/5
ml
Tab
5
mg,
10
mg
Syr
5
mg/ml
Inj
5
mg/ml
Tab
25
mg
Inj
10
mg/ml
Tab
4
mg
Tab
10
mg
Susp
5
mg/
5
ml
Sachet
Tab
2
mg
Tablet
Tab
1
mg
Inj
im/iv/sk
0,25
mg/
1
mg
Tab
10
mg
Sup
5
mg/
10
mg
Susp
100
ml
Tab
15
mg
Syrup
10
mg/
5
ml
Tab
10
mg
Syr
25
mg/
5
ml
Tab
100
mg
Cairan
100
ml,
200
ml
Tab
30
mg
Syr
15
mg/ml
Tab
2
mg,
5
mg
Inj
im
5
mg/ml
Tab
0,25
mg;
0,5
mg;
1
mg
Tab
25
mg
Cap
10
mg,
20
mg
Tab
0,5
mg,
1,5
mg,
2
mg,
5
mg
Tab
salut
25
mg,
100
mg
Inj
im
25
mg/
ml
Tab
2
mg
Tab
6
mg
Tab
40
mg
Inj
10
mg
Tab
25
mg,
100
mg
Tab
25
mg
152
Asam askorbat
Tab 50 mg
Kalsium
glukonas
Kalsium
laktat
Nikotinamid
Piridoksin
Retinol
Na
Tiroksin
153
154