Anda di halaman 1dari 99

UJIAN KASUS GERIATRI

Caryn Miranda- 406138032

LAPORAN KASUS UJIAN


OPA SS
KEPANITERAAN KLINIK GERIATRI
SASANA TRESNA WERDHA RIA PEMBANGUNAN CIBUBUR
PERIODE 11 Agustus 13 September 2014

PEMBIMBING :
Dr.Noer Saelan Tadjudin, Sp.KJ
Disusun oleh :
Caryn Miranda Saptari (406038032)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA


JAKARTA
2014

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
1

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkanNya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus Opa SS.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr.Nur Saelan Tadjudin, Sp. KJ, yang telah memberikan bimbingannya selama siklus
Kepaniteraan Klinik Geriatri periode 11 Agustus 13 September 2014.
Dalam menyusun karya tulis ini, penulis berdasarkan studi pustaka terhadap beberapa
literatur. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
yang ingin lebih memahami penyakit Parkinson, low vision, hipertensi, dan diabetes mellitus.

Jakarta, Agustus 2014

Penulis

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
2

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

KASUS GERIATRI
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Cibubur

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Opa S S (Sumartono Sumarsidik)

Tempat/tanggal lahir

: Surabaya, 23 Desember 1934

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Suku Bangsa

: Indonesia

Agama

: Islam

Pendidikan terakhir

: SMA

Pekerjaan terakhir

: Penerjemah bahasa asing KBRI

Status Perkawinan

: Tidak menikah

Alamat

: Jl. Cabe V Kav.32, Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang


Selatan

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
3

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
ANAMNESA ( AUTOANAMNESA )
TanggalPemeriksaan

: 15,18, 21 Agustus 2014

Keluhan Utama

: Gemetaran pada kedua tangan

Keluhan Tambahan

: Sulit berjalan
Gangguan penglihatan

Riwayat Penyakit Sekarang :


Gemetaran pada kedua tangan dirasakan pasien sejak pasien berumur 17 tahun yaitu
tahun 1971, awalnya ringan dan semakin lama semakin parah terutama akhir-akhir ini.
Gemetaran dirasakan saat pasien bergerak dan beristirahat.
Pasien saat ini merasa pandangan mata kanannya sangat tidak jelas hanya dapat melihat
bayangan, sedangkan pandangan mata kirinya hanya melihat bagian tengah sedangkan bagian
pinggirnya berkabut, penglihatannya juga berkurang. Pasien menderita glaukoma mata kanan
dan kiri sejak tahun 2010. Pasien sekarang memakai obat tetes mata Cendo Hyalub (sodium
hyaluronat) 4x1 tetes.
Pasien mengeluhkan kesulitan berjalan karena gangguan penglihatan dan keseimbangan.
Saat ini pasien berjalan dibantu dengan tongkat (standard cane).
Pasien pernah dirawat di RS Carolus pada tahun 1992 karena pingsan dan setelah
diperiksa, kadar gula darahnya 545mg/dL. Pasien teratur minum obat dan sekarang
mengkonsumsi Glucovance (metformin 500mg + glibenklamid 2,5 mg) 1x1 pagi hari dan
Glucophage (metformin 500 mg) 1x1 pada malam hari. Saat ini gula darah pasien tidak
terkontrol, walaupun sudah diberi obat. Karena pasien sulit mengatur pola makan.

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
4

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Pasien juga menderita hipertensi grade II, yang diketahui sejak masuk STW Karya Bakti
RIA Pembangunan awal Desember 2013 ini. Tekanan darah pasien pernah mencapai 170/100
mmHg,dan sudah diberi amlodipine 5mg tab 1x1 malam hari. Saat ini tekanan darah pasien
terkontrol.
Pasien juga megeluh gatal di bagian kepala, alis mata, sekitar hidung, dan di bagian
kantung mata. Pasien mengeluh gatal pada bagian tersebut sejak 15 Agustus 2014. Pasien
sekarang mengkonsumsi dexametason 0.5 mg tablet, 2xsehari pada malam hari, dan
menggunakan obat oles : cloderma 10mg + glycerin 100cc 3xsehari. Saat ini keluhan
gatalnya sudah berkurang, dan sudah membaik.

Riwayat makan
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien makan 3x sehari dengan mengurangi
konsumsi nasi dan meningkatkan konsumsi sayur dan buah. Terkadang pasien juga
mengkonsumsi roti sebagai selingan. Pasien menghindari konsumsi udang dan ikan laut
karena alergi. Selama ini pasien minum air putih sebanyak 4-5 gelas sehari (300cc).
Riwayat BAK
Pasien biasanya BAK lebih banyak pada siang hari, tergantung banyaknya air yang
diminum. Pasien biasanya BAK 2x pada malam hari.

Riwayat BAB
Pasien biasanya BAB lancar 2-3 hari sekali. Darah(-), lendir(-).

Riwayat Penyakit Dahulu


Post operasi HNP tahun 1981 di RS Carolus
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
5

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Post operasi glaukoma dan katarak mata kanan tahun 2010 di JEC, mata setelah
operasi tidak ada perbaikan.
Post operasi glaukoma dan katarak mata kiri akhir tahun 2010 di JEC, setelah operasi
membaik, namun 2 bulan setelah operasi penglihatannya kembali mengalami
kemunduran hingga sekarang.
Post herpes zoster oftalmika OD tahun 2010, keadaannya hingga sekarang baik.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Parkinsons Disease

: (+) ibu dan adik kembar

Glaukoma

: (+) ibu, 2 kakak perempuan dan adik kembar

Katarak

: (+) ibu, 2 kakak perempuan dan adik kembar

Diabetes Mellitus

: (+) ayah

Penyakit Jantung

: (+) ayah

Hipertensi

: (-)

Asma

: (-)

Alergi Obat dan makanan

: (-)/(+)

Obat rutin yang dikonsumsi


Obat rutin yang diminum :

Glucovance 2,5 mg/500 mg (glibenklamid 2,5 mg/metformin 500 mg) tab 1 x 1

Glucophage 500 mg (metformin 500mg) tab 1 x 1

Amlodipine tab 1x 5 mg tab

Luften 5mg

Riklona 0.5 mg

mf pulv da in caps

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
6

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

B complex tab

S 1 dd 1

Leparson 2x sehari tablet

Osteoflam 2x 1 tab

Neurobion 5000 1x 1 tab

Obat tetes mata:

Cendo hyalub (sodium hyaluronat) 4x1 tetes

RIWAYAT KEHIDUPAN
A. Riwayat Kehidupan Masa Lalu
Pasien lahir di Surabaya, 23 Desember 1934 sebagai anak ke 12 dari 13
bersaudara. Adik bungsu pasien merupakan kembarannya. Pendidikan dari SD sampai
SMA dilaksanakan di Surabaya. Pasien pernah bekerja di KLM dan bekerja di
beberapa tempat kedutaan seperti di Tunisia, Perancis, Rusia dan Belanda. Tahun
1981 pasien pernah bekerja di Hotel Borobudur, Jakarta dan terakhir bekerja di
American Lounge Training sampai tahun 2006. Semenjak itu pasien tidak ada
aktivitas. Pasien tinggal di kos dan pindah ke rumah Tn.Amid (anak angkat) di daerah
Ciputat Baru. Pasien tidak menikah dan tidak menyesali hal ini karena ia sudah
berhasil berkeliling ke negara-negara di dunia semasa hidupnya.

Riwayat Kehidupan Saat Ini


Saat ini pasien hidup bersama anak angkatnya dan semua kebutuhan hidupnya
ditanggung oleh keponakan dan saudara. Pasien masuk STW atas keinginan sendiri
karena merasa tidak mau merepotkan keluarganya dan karena pasien tidak menikah.

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
7

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
STATUS INTERNUS
KEADAAN UMUM (14 Mei 2014)
Tinggi badan

: 177cm

Berat badan

: 82 kg

IMT

: BB(kg) / (TB(m))282 / 1,772 = 26,17


Obesitas grade I

Tekanan Darah

: 140 / 70 mmHg

Nadi

: 80 x / menit

Pernafasan

: 18 x / menit

Suhu

: 36,5C

Status gizi

: overweight

Kesan umum

: Tampak baik

Usia klinik

: Sesuai

Kesadaran

: Compos Mentis

KEADAAN REGIONAL
Kulit

: Kulit keriput, warna kulit coklat, ikterus (-), sianosis (-), kering pada

bagian hidung, alis, bawah mata, dahi, gatal (+)


Kepala

: Bentuk bulat, tidak teraba benjolan, rambut beruban, jarang, tidak

mudah dicabut
Mata

: Bentuk simetris, konjungtiva anemis (-) , sklera


ikterik (-) , palpebra superior et inferior edema (-), kedua pupil bulat,
isokor, diameter pupil OD/OS 3mm/3mm, refleks cahaya (+) / (+),

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
8

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
injeksi siliar -/-, arcus senilis +/+, pseudofakia +/+, VOD = 1/300,
VOS = 6/21, penyempitan lapang pandang OS (-)
Telinga

: Bentuk normal, sekret -/-, serumen +/+, KGB pre- infra-retroaurikula


tidak teraba, fungsi pendengaran baik, membran timpani baik.

Hidung

: Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret +/+ bening

THORAX
Pulmo
Inspeksi

: Simetris dalam diam dan pergerakan

Palpasi

: Stem fremitus kanan dan kiri sama kuat

Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi

: Suara dasar vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Kesimpulan : Pulmo dalam batas normal


Cor
Inspeksi

: Pulsasi ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V midclavicula line sinistra

Perkusi

: Redup
Batas atas : ICS II parasternal line sinistra
Batas kanan : sternal line dextra
Batas kiri : ICS V midclavicula line sinistra

Auskultasi

: BJ I/ II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Kesimpulan : Cor dalam batas normal, tidak ditemukan kelainan

ABDOMEN
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
9

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Inspeksi

: datar, tidak tampak gambaran vena dan usus

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) 16x/menit

Kesimpulan : Abdomen dalam batas normal, tidak ditemukan kelainan

EKSTREMITAS
EKSTREMITAS

SUPERIOR

INFERIOR

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Edema

Deformitas

Kesimpulan

kedua

ekstremitassuperior
tampak tremor, pada saat

Akral

Hangat hangat

Tremor

Hangat

Hangat

istirahat dan bergerak

STATUS NEUROLOGIS

Capilaryrefill time < 2 detik


1.

Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 15 (E4M6V5)

2.

Tanda-tanda perangsangan meningeal

: (-)

3.

Tanda-tandapeningkatan TIK

: (-)

4.

Pupil

:Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm,


Refleks cahaya +/+

5.

Nn. Craniales

6.

Sistem Motorik

: Baik

7.

Sistem Sensorik

: Baik

8.

Sistem Otonom

: Baik

9.

Fungsi cerebellum dan koordinasi

10.

Refleksfisiologis

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
10

: Baik

: Baik
: +/+

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
11.

Reflekspatologis

: -/-

12.

Tanda-tanda regresi dan demensia

: tidak ada

Kesimpulan : pada pemeriksaan didapatkan pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm,


Refleks cahaya +/+

STATUS MENTALIS

Deskripsi Umum
Penampilan
Seorang laki-laki berusia 79 tahun, rambut jarang dan beruban, berpakaian bersih,
rapi, higienis diri baik.
Pembicaraan
Pasien berbicara dengan suara cukup jelas, perkataan dan kalimat jelas.
Sikap terhadap pemeriksa
Pasien bersikap sangat kooperatif terhadap pemeriksa. Bicara jujur, bersahabat.
Pengendalian Motorik
Terdapat resting tremor pada kedua ekstremitas atas pasien. Pasien dapat
menggerakkan ekstremitas superior dan inferior dengan baik, disertai dengan tremor.
Kemampuan Baca Tulis
Tidak ada kesulitan dalam hal membaca, namun pasien mengalami kesulitan saat
menulis karena terdapat tremor pada kedua tangannya.

KEADAAN MOOD, AFEKTIF, DAN KESERASIAN


Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
11

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Mood

: eutimik

Afek

: luas

Keserasian

: serasi (appropriate affect)

GANGGUAN PERSEPSI DAN GANGGUAN KOGNITIF

Halusinasi Auditorik

: tidak ada

Halusinasi Visual

: tidak ada

Ilusi

: tidak ada

Depersonalisasi

: tidak ada

Apraksia

: tidak ada

Agnosia

: tidak ada

Pikiran
1. Arus Pikir
a. Produktivitas

: cukup

b. Kontinuitas pikiran

: cukup

c. Hendaya dalam bahasa : tidak ditemukan kelainan


2. Bentuk Pikir
a. Asosiasi Longgar

: tidak ada

b. Ambivalensi

: tidak ada

c. Flight of Ideas

: tidak ada

d. Inkoherensi

:tidak ada

e. Verbigerasi

: tidak ada

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
12

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
f. Persevarasi

: tidak ada

3. Isi Pikir
a. Fobia

: tidak ada

b. Obsesi

: tidak ada

c. Kompulsi

: tidak ada

d. Ideas of referance

: tidak ada

e. Waham

: tidak ada

Pengendalian Implus

Pasien dapat mengendalikan emosinya.

Fungsi Intelektual
Memori segera

: baik, pasien dapat mengulang dengan benar 3 macam benda


yang disebutkan oleh pemeriksa

Memori jangka pendek

: baik, pasien dapat mengingat menu sarapan dengan sempurna

Memori jangka sedang

: baik. pasien ingat kapan ia mulai tinggal di STW

Memori jangka panjang

: baik, pasien ingat momen-momen penting dalam hidupnya

Taraf dapat dipercaya


Secara umum didapatkan bahwa pasien dapat dipercaya.
Kesimpulan :status mentalis baik
SHORT PORTABLE MENTAL STATUS QUESTIONER ( SPMSQ )
1. Tanggal berapa hari ini ?
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
13

Jawaban : Benar

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
2. Hari apa sekarang ?

Jawaban : Benar

3. Apa nama tempat ini ?

Jawaban : Benar

4. Kapan anda lahir ?

Jawaban : Benar

5. Di mana tempat anda lahir ?

Jawaban : Benar

6. Berapa umur anda ?

Jawaban : Benar

7. Berapa saudara yang anda miliki ?

Jawaban : Benar

8. Siapa nama teman di sebelah kamar anda ?

Jawaban : Benar

9. Siapa nama kakak anda ?

Jawaban : Benar

10. Kurangi 1 dari 10 dan seterusnya ?

Jawaban : Benar

Kesimpulan : Benar semua Fungsi intelektual utuh


Interpretasi hasil :
Salah 0-3

: Fungsi intelektual utuh

Salah 4-5

: Kerusakan intelektual ringan

Salah 6-8

: Kerusakan intelektual sedang

Salah 9-10

: Kerusakan intelektual berat

MINI MENTAL STATUS EXAMINATION ( MMSE )


Item
1.
2.
3.

Test
ORIENTASI
Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), (hari) apa?
Kita berada di mana? (Negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit),
(lantai/ kamar) ?
REGISTRASI
Sebutkan 3 buahnamabenda (apel, meja, koin) tiapbenda 1 detik,

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
14

Nilai
Max

Nilai

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
kliendisuruhmengulangiketiganamabendatersebutdenganbenardanc
atatjumlahpengulangan
ATENSI DAN KALKULASI
Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar.
4.

Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja kata WAHYU 5

(Nilai diberikan pada huruf yang benar sebelum kesalahan misalnya


= 2)
5.

MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

Klien disuruh menyebutkan nama benda yang ditunjukan (pensil, 2

Klien disuruh mengingat kembali 3 nama benda di atas


BAHASA

6.

buku)
7.
8.
9.
10.

11.

Klien disuruh mengulang kata-kata: namun,tanpa,bila.


Klien disuruh melakukan perintah: ambilkertasdengantangananda,
lipatlahmenjadi 2 dan letakkan di lantai
Klien disuruh membaca dan melakukan perintah pejamkan mata
anda
Klien disuruh menulis dengan spontan

Klien disuruh menggambarkan bentuk di bawah ini

30

JUMLAH

Skor

: Nilai 24 30 : normal
Nilai 17 23

: Probable gangguan kognitif

Nilai 0 16

: Definite gangguan kognitif

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
15

30

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

Kesimpulan : Tidak ada gangguan fungsi kognitif

CLOCK DRAWING TEST ( CDT )


Komponen yang dinilai
Nilai
Menggambarlingkaran yang tertutup
Meletakan angka angka dalam posisi yang benar
1
Ke 12 angka komplit
1
Meletakan jarum-jarum jam dalam posisi yang tepat
1
Total nilai
3
Instruksi: pasien diminta membuat jam dinding bulat lengkap dengan angka-angkanya, lalu
pasien diminta menggambarkan jarum jam yang menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh
menit.
Hasil : pasien dapat melakukan sebagian besar instruksi dengan baik.
Kesimpulan : tidak terdapat gangguan kognitif ataupun hemispasial neglect

DETEKSI TERHADAP DEPRESI


Setiap saat Sering

Kadang-

Jarang

kadang

Tidak
pernah
+

A. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir


anda merasa cemas dan gelisah
B. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir

anda merasa tenang dan damai


C. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir
anda merasa sedih
D. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir

+
+

anda merasa bahagia


E. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir

anda merasa rendah diri dan tidak ada


yang dapat menghibur anda
F. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
16

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
anda merasa hidup ini tidak berarti lagi

Kesimpulan :Tidak terdapat depresi.

Interpretasi hasil :
Penilaian frekuensi (F)
1 : sesekali kurang dari sekali dalam seminggu
2 : sering kira-kira sekali seminggu
3 : seringkali beberapa kali seminggu tapi tidak setiap hari
4 : sangat sering setiap hari atau terus menerus ada

Penilaian Keparahan (X)


Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
17

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
1 : ringan menyebabkan pasien sedikit tertekan
2 : sedang lebih mengganggu bagi pasien tapi dapat diatasi oleh care-giver
3 : berat sangat mengganggu bagi pasien dan sulit diatasi
Skor distress :
0 : tidak ada
1 : minimal
2 : ringan
3 : sedang
4 : sedang berat
5 : sangat berat atau ekstrim
Kesimpulan: tidak ada gangguan neuropsikiatrik

STATUS FUNGSIONAL
A. Aktivitas kehidupan sehari hari / Indeks Katz
1. Bathing

: Mandiri

2. Dressing

: Mandiri

3. Toiletting

: Mandiri

4. Transfering

: Mandiri

5. Continence

: Mandiri

6. Feeding

: Mandiri

Kesimpulan

: Termasuk Indeks Katz A

B. Aktivitas Sehari hari / ADL

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
18

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

Mandiri

Memerlukanbantuan Bergantungpada
orang lain

Mandi
Transfer
Berpakaian
Kebersihan
Ke toilet
Makan
Menyiapkanmakanan
Mengaturkeuangan
Mengaturpengobatan
Menggunakantelepon
C. Indeks ADL Barthel
Fungsi
1. Mengontrol BAB

2. Mengontrol BAK

3. Membersihkan diri

orang lain

+
+
+
+
+
+
+
+
+
Nilai

Keterangan

Incontinence

Kadang-kadang incontinence

Continence teratur

Incontinence

Kadang-kadang incontinence

Continence teratur
Butuh pertolongan orang lain

( lap muka, sisir rambut,


sikat gigi )

4. Toiletting

5. Makan

6. Berpindah tempat dari kursi


ke tempat tidur

1
0

Mandiri
Tergantung pertolongan orang lain

Perlu pertolongan pada beberapa aktivitas, tetapi


beberapa aktivitas masih dapat dikerjakan sendiri

Mandiri

Tidak mampu

Butuh pertolongan orang lain

2
0

Mandiri
Tidak mampu

Perlu pertolongan untuk bisa duduk

Bantuan minimal 2 orang

Mandiri

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
19

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

7. Mobilisasi / berjalan

8. Berpakaian

Tidak mampu

Bisa berjalan dengan kursi roda

Berjalan dengan bantuan orang lain

3
0

Mandiri
Tergantung pertolongan orang lain

Sebagian dibantu

Mandiri
Tidak mampu

0
9. Naikturuntangga

1
2

10. Mandi
Total Nilai

Butuh pertolongan
Mandiri

Tergantung pertolongan orang lain

1
17

Mandiri
Ketergantungan ringan

Nilai ADL :
20

: Mandiri

12.19 : Ketergantungan ringan


9.11

: Ketergantungan sedang

5.8

: Ketergantungan berat

0.4

: Ketergantungan total

D. Indeks Barthel yang dimodifikasi


1. Makan

: 10

2. Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur, sebaliknya

: 15

3. Higiene personal

:0

4. Keluar masuk toilet

: 10

5. Mandi

:5

7. Jalan di permukaan datar

: 15

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
20

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
8. Naik turun tangga

:5

9. Mengenakan pakaian

: 10

10. Kontrol Bowel (BAB )

: 10

11. Kontrol Bladder ( BAK )

: 10

Kesimpulan :Indeks Barthel yang dimodifikasi = 90 (Ketergantungan Ringan)


Penilaian :

100

: Mandiri

91.99: Ketergantungan ringan


61-90 : Ketergantungan sedang
21-60 : Ketergantungan berat
0-20

: Ketergantungan total

ASPEK SOSIAL
Psikososial
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 79 tahun dan lahir di Surabaya, 23 Desember
1934, suku bangsa Indonesia, tidak menikah. Pasien adalah anak ke 12 dari 13 bersaudara.
Adik

bungsu

pasien

adalah

kembarannya.

Pendidikan

terakhir

pasien

adalah

SMA.Pasienbekerja di KLM, kedutaan besar Tunisia, Perancis, Rusia dan Belanda, kemudian
bekerja di Hotel Borobudur dan akhirnya di American Lounge Traning sampai tahun 2006.
Alasan pasien ingin tinggal di STW adalah atas kemauannya sendiri dan pasien tidak
menikah dan tidak ingin merepotkan saudaranya yang lain.

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
21

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Selain itu pasien terkadang mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di STW.
Hubungan pasien dengan keluarga baik. Anak angkat pasien terkadang mengunjungi pasien,
dan keluarga lainnya biasanya berkomunikasi melalui telepon.Hubungan pasien dengan
pengurus dan penghuni STW lainnya baik. Pasien dapat bergaul dan diterima dengan baik di
lingkungannya.
Kesimpulan : Pasien merasa senang berada di STW
Emosional

Sukar tidur

(-)

Sering merasa gelisah

(-)

Sering murung dan menangis

(-)

Mempunyai masalah dan banyak pikiran

(-)

Menggunakan obat tidur dan penenang

(-)

Cenderung mengurung diri

(-)

Spiritual
Pasien sejak kecil beragama Islam, dan beliau masih dapat menjalankan ibadah sholat
lima waktu.
Kesimpulan : Tidak ada masalah spiritual.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM (29 November 2013)
Hematologi

Hasil Pemeriksaan

Nilai Rujukan

Hemoglobin

13,6

13,2-17,3 g/dL

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
22

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Eritrosit
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Leukosit
LED
Basofil
Eosinofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Trombosit
GDP
GD2JPP
Cholesterol Total
Trigliserida
HDL Cholesterol
LDL Cholesterol Direk
Creatinin

5 jt
41
81
27,1
33
9.900
44
0,5
4,3
52,7
33,6
6,8
348.000
139
294
128
172
40
70
1.28

4.4 5.9 jt/L


40-52 %
80-100 fL
26-34 pg
32-37 g/dL
3.800 - 10.600/L
0-20 mm/jam
0 - 20 %
2-4%
50-70 %
25 - 40 %
2-8%
150.000 - 450.000/ L
<100mg/dL
<140 mg/dL
<200 mg/dL
<150 mg/dL
>40 mg/dL
<100 mg/dL
0.7-1.2 mg/dL

LABORATORIUM 17 Agustus 2014


GDP

: 145 mg/dL

GD2JPP : 255 mg/dL


Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan Rontgen Thorax (29 November 2013)
Temuan radiologi:

Tidak tampak pembesaran cor dan mediastinum superior


Pada kedua paru tidak tampak infiltrat
Diafragma dan sinus baik

Kesan: secara radiologis tidak dijumpai kelainan cor dan kedua paru saat ini

RESUME

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
23

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Telah diperiksa seorang laki-laki berusia 79 tahun yang merupakan anak ke 12 dari13
bersaudara masuk STW Cibubur tanggal 5 Desember 2013 dengan keluhan utama gemetaran
pada kedua tangan.
Gemetaran pada kedua tangan dirasakan pasien sejak pasien berumur 17 tahun, awalnya
ringan dan semakin lama semakin parah terutama akhir-akhir ini. Gemetaran dirasakan saat
pasien beristirahat dan bergerak. Pasien tidak pernah ke dokter dan tidak mengkonsumsi obat
untuk keluhan ini.
Pasien saat ini merasa pandangan mata kanannya buta total, sedangkan pandangan mata
kanannya seperti berkabut, penglihatannya juga berkurang. Pasien menderita glaukoma mata
kanan dan kiri sejak tahun 2010. Pasien sekarang memakai obat tetes mata Cendo Hyalub
(sodium hyaluronat) 4x1 tetes.
Pasien mengeluhkan kesulitan berjalan karena gangguan penglihatan dan keseimbangan.
Saat ini pasien berjalan dibantu dengan tongkat (standard cane).
Pasien pernah dirawat di RS Carolus pada tahun 1992 karena pingsan dan setelah
diperiksa, kadar gula darahnya 545 mg/dL. Pasien teratur minum obat dan sekarang
mengkonsumsi Glucovance (metformin 500mg + glibenklamid 2,5 mg) 1x1 pagi hari dan
Glucophage (metformin 500 mg) 1x1 pada malam hari.
Pasien juga menderita hipertensi grade II, yang diketahui sejak masuk STW Karya Bakti
RIA Pembangunan awal Desember 2013 ini. Tekanan darah pasien pernah mencapai 170/100
mmHg,dan sudah diberi obat amlodipine 5mg tab 1x1 malam hari, namun terkadang tekanan
darahnya masih tinggi.
KEADAAN UMUM (22 Agustus 2014)
Tinggi badan

: 177 cm

Berat badan

: 82 kg

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
24

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
IMT

: BB(kg) / (TB(m))282 / 1,772 = 26,17

Tekanan Darah

: 140 / 70 mmHg

Nadi

: 80 x / menit

Pernafasan

: 18 x / menit

Suhu

: 36,5C

Status gizi

: Obesitas Grade I

Kesan umum

: Tampak baik

Usia klinik

: Sesuai

Kesadaran

: Compos Mentis

KEADAAN REGIONAL
Mata : Bentuk simetris, konjungtiva anemis (-) , sklera ikterik (-) , palpebra
superior et inferior edema (-), kedua pupil bulat, isokor,diameter pupil
OD/OS 3mm/3mm, refleks cahaya (-) / (+), injeksi siliar -/-, arcus
senilis +/+, pseudofakia +/+,VOD = 1/300, VOS = 6/21, penyempitan
lapang pandang OS (-)
Ekstremitas: kedua ekstremitas superior tampak tremor, pada saat istirahat dan
bergerak

Status neurologis : pada pemeriksaan didapatkan pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm,
Refleks cahaya +/+, injeksi siliar -/+, pseudofakia +/+, VOD =1/300, VOS = 6/21,
penyempitan lapang pandang OS (-)
Status mental: dalam batas normal
Status fungsional : ketergantungan ringan
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
25

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Aspek sosial
Masalah psikososial : Tidak ada masalah psikososial
Masalah emosional

: Tidak terdapat masalah emosional

Masalah spiritual

: Tidak ada masalah spiritual

PERMASALAHAN
Biologis

: gemetaran pada kedua tangan, sulit berjalan, tekanan darah tinggi, kadar

gula darah tinggi


Psikologis

: tidak ada permasalahan

Lingkungan : tidak ada permasalahan

DIAGNOSA KERJA
Diagnosa Utama : Esential Tremor + Tremor at Rest et causa Sindroma Parkinson genetik
Diagnosa Tambahan :

OD Low vision et causa glaukoma

OS low vision et causa glaukoma

Diabetes Melitus Tipe 2 tidak terkontrol dengan obat

Hipertensi Grade II terkontrol dengan obat

Obesitas Grade I

Dermatitis Seboroik

PEMERIKSAAN YANG DIANJURKAN

Periksa GDP, GD2PP rutin 1 bulan sekali

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
26

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

Konsul ke dokter spesialis mata

Konsul ke dokter spesialis PD

Periksa tekanan darah secara rutin harian

RENCANA PENGELOLAAN
RENCANA PENGELOLAAN ESSENTIAL TREMOR + TREMOR AT REST ET
CAUSA SINDROMA PARKINSON GENETIC
Terapi Non Farmakologi :

Melakukan fisioterapi

Terapi Farmakologi :

Luften 5 mg 1x1

Riklona (Clonazepam) 0,25 mg 1x1 tab

Vit B complex 1x1 tab

RENCANA PENGELOLAAN SINDROMA PARKINSON


Terapi Non Farmakologi :
Melakukan fisioterapi
Terapi Farmakologi :

Leparson (Levodopa 100mg), (Benserazide 25mg) 2xsehari tablet Pagi &


Malam hari

RENCANA PENGELOLAAN OS LOW VISION


Kontrol ke dokter spesialis mata
Terapi Farmakologi :

Obat tetes Cendo Hyalub 4 x gtt I

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
27

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
RENCANA PENGELOLAAN DIABETES MELITUS TIPE 2
Terapi Non Farmakologi :
Pengaturan pola makan dan hidup
Motivasi pasien untuk minum obat

dan periksa glukosa darahsecara

teratur
Terapi Farmakologi :
Glucovance (metformin 500mg/glibenklamid 2,5 mg) tab 1x1 pagi hari
Glucophage (metformin 500 mg) tab 1 x 1pada malam hari.

RENCANA PENGELOLAAN HIPERTENSI GRADE II TERKONTROL DGN OBAT


Terapi Non Farmakologi :
Edukasi tentang mengurangi asupan natrium (3 gr NaCl)
Membatasi minum hingga 1,5 liter
Pemeriksaan TD rutin
Terapi Farmakologi :
Amlodipine 1 x 5mg malam hari

RENCANA PENGELOLAAN OBESITAS GRADE 1


Terapi Non Farmakologi:
Membatasi makan - makanan yang berlemak dan berkalori tinggi
Asupan serat : 25-30gr/hari (sayur-sayuran, buah-buahan, padi-padian)
Mengkonsumsi makanan dengan gizi lengkap dan seimbang
Melakukan olahraga dengan intensitas ringan setiap hari selama 15-30 menit
RENCANA PENGELOLAAN DERMATITIS SEBOROIK
Terapi farmakologi :
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
28

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Dexametason 0.5mg (2xsehari tab)
Cloderma 10 mg 3x1
Glycerin 100cc

PROGNOSIS
Prognosis Essential Tremor + Tremor at rest et causa Sindroma Parkinson genetic
Ad vitam

: ad bonam

Ad functionam

: dubia ad malam

Ad sanationam

: dubia ad malam

Prognosis DM tipe 2 Terkontrol dengan obat


Ad vitam

: dubia ad malam

Ad functionam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad malam

Prognosis Hipertensi Grade II terkontrol dengan obat


Ad vitam

: dubia ad malam

Ad fungtionam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad malam

Prognosis OD low vision


Ad vitam

: ad malam

Ad functionam

: ad malam

Ad sanationam

: ad malam

Prognosis OS low vision


Ad vitam

: dubia ad malam

Ad functionam

: dubia ad malam

Ad sanationam

: ad malam

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
29

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Prognosis Obesitas grade I
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad functionam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad malam

Prognosis Dermatitis Seboroik


Ad Vitam

: Dubia ad bonam

Ad Functionam

: Dubia ad bonam

Ad Sanationam

: Dubia ad malam

PARKINSON
1. Definisi
Penyakit parkinson (paralysis agitans) merupakan suatu penyakit karena
gangguan pada ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamin
dari substansia nigra ke globus palidus / neostriatum (striatal dopamine deficiency).
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang berkaitan
erat dengan usia. Penyakit ini mempunyai karakteristik terjadinya degenerasi dari
neuron dopaminergik di substansia nigra pars kompakta, ditambah dengan adanya
inklusi intraplasma yang terdiri dari protein yang disebut dengan lewy bodies.
Neurodegeneratif pada parkinson juga terjadi pasa daerah otak lain termasuk lokus
ceruleus, raphe nuklei, nukleus basalis Meynert, hipothalamus, korteks cerebri, saraf
kranial, dan sistem saraf otonom.
2. Etiologi
Parkinson primer masih belum diketahui pasti penyebabnya. Terdapat
beberapa dugaan, di antaranya ialah : infeksi oleh virus yang non-konvensional (belum
diketahui), reaksi abnormal terhadap virus yang sudah umum, pemaparan terhadap zat
toksik yang belum diketahui, terjadinya penuaan yang prematur atau dipercepat.2
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
30

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi nigra.
Suatu kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki
(involuntary). Akibatnya, penderita tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan yang
tidak disadarinya. Mekanisme bagaimana kerusakan itu belum jelas benar. Beberapa hal
yang diduga bisa menyebabkan parkinson adalah sebagai berikut :2

Usia
Insiden meningkat dari 10 : 10.000 penduduk pada usia 50 sampai 200 : 10.000
penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan dengan reaksi mikroglia yang
mempengaruhi kerusakan neuronal, terutama pada substansia nigra pada penyakit

parkinson.
Geografi
Di Libya 31 dari 100.000 orang, di Buenos aires 657 per 100.000 orang. Faktor
resiko yang mempengaruhi perbedaan angka secara geografis ini termasuk adanya
perbedaaan genetik, kekebalan terhadap penyakit dan paparan terhadap faktor

lingkungan.
Periode
Fluktuasi jumlah penderita penyakit parkinson tiap periode mungkin berhubungan
dengan hasil pemaparan lingkungan yang episodik, misalnya proses infeksi,
industrialisasi ataupun gaya hidup. Data dari Mayo Klinik di Minnesota, tidak
terjadi perubahan besar pada angka morbiditas antara tahun 1935 sampai tahun
1990. Hal ini mungkin karena faktor lingkungan secara relatif kurang berpengaruh

terhadap timbulnya penyakit parkinson.


Genetik
Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik pada sinuklein yang berperan
pada penyakit parkinson, yaitu mutasi pada gen kromosom 4 (PARK1) pada pasien
dengan parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal resesif
parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin (PARK2) di
kromosom. Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi mitokondria. Adanya
riwayat penyakit parkinson pada keluarga meningkatkan faktor resiko menderita
penyakit parkinson sebesar 8,8 kali pada usia kurang dari 70 tahun dan 2,8 kali pada
usia lebih dari 70 tahun. Meskipun sangat jarang, jika disebabkan oleh keturunan
gejala parkinsonisme tampak pada usia relatif muda. Kasus-kasus genetika di USA

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
31

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
sangat sedikit, belum ditemukan kasus genetika pada 100 penderita yang diperiksa.
Di Eropa pun demikian. Penelitian di Jerman menemukan hasil nol pada 70
penderita. Contoh klasik dari penyebab genetika ditemukan pada keluarga-keluarga

di Italia karena kasus penyakit itu terjadi pada usia 46 tahun.


Faktor Lingkungan
a. Xenobiotik
Terdapat hubungan lemah antara penyakit parkinson dengan paparan pestisida
yang dapat menimbulkan kerusakan mitokondria.
b. Pekerjaan
Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan lama.
c. Infeksi
Paparan virus influenza intrauterin diduga turut menjadi faktor predesposisi
penyakit parkinson melalui kerusakan substansia nigra. Penelitian pada hewan
menunjukkan adanya kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia
astroides.
d. Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah satu
mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson. Sebaliknya, kopi
merupakan neuroprotektif.
e. Trauma kepala
Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson. Banyak kasus
yang terjadi dalam praktek sehari-hari.
f. Stress dan depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala motorik.
Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit parkinson karena pada stress
dan depresi terjadi peningkatan turnover katekolamin yang memacu stress
oksidatif.
Diketahui pula bahwa hasil metabolisme heroin sintetis yaitu MPTP (1 metil-4

phenyl-1,2,3,6 tetrahydropyridine) dapat menyebabkan parkinsonisme akut, merupakan


hal penting dalam etiologi penyakit parkinson. Fakta bahwa toksin eksogen yang tidak
umum dapat menyebabkan kerusakan SSP tertentu dan parkinsonisme, menunjukkan
bahwa penyakit parkinson idiopatik mungkin disebabkan oleh paparan faktor
lingkungan yang lebih sering, namun belum teridentifikasi, mungkin melalui
mekanisme yang serupa dengan MPTP.3
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
32

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

Gambar.1 MPTP dan etiologi penyakit Parkinson. Toksin MPTP melintasi sawar darah-otak dan diubah
menjadi metabolit aktif MPP+ oleh enzim monoamin oksidase tipe B (MAO-B) pada sel glia. MPP+, suatu
radikal bebas, akan terkonsentrasi pada neuron dopaminergik, yang masuk melalui mekanisme pengambilan
kembali dopamin, sehingga secara selektif akan merusak sel-sel ini. MPP+ adalah racun mitokondria, yang
menghambat Kompleks I rantai respirasi, sehingga merusak produksi energi sel.

3. Epidemiologi
Penyakit parkinson cukup sering ditemukan, mungkin mengenai 1-2 % populasi
berusia lebih dari 60 tahun, dengan adanya bias jenis kelamin yang tidak begitu
signifikan. Distribusi ditemukan di seluruh dunia, walaupun tampaknya lebih sering
terjadi di Eropa dan Amerika Utara.
Penyakit parkinson dapat mengenai seluruh ras, baik pria maupun wanita dalam
perbandingan yang hampir sama, dan kecenderungan penyakit pada pria. Prevalensi
meningkat secara tajam pada kisaran usia 65 hingga 90 tahun. Kulit hitam Afrika
memiliki insidensi yang lebih rendah dibandingkan kulit hitam Amerika. Meskipun
demikian, prevalensi terdapatnya Lewy bodies dalam jaringan otak ras Nigeria tampak
sama dengan populasi ras kulit putih Amerika.
Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang diperkirakan ada
sekitar 200.000 - 400.000 penderita. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan di
beberapa rumah sakit di Sumatera dan Jawa pada pasien dengan rentang usia 18 hingga
85 tahun, rata-rata usia penderita di atas 50 tahun. Statistik menunjukkan. Baik di luar
negeri maupun di dalam negeri, lelaki lebih banyak terkena dibanding perempuan (3:2)
dengan alasan yang belum diketahui.
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
33

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
4. Klasifikasi
Gangguan parkinsonian dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu:
1. Parkinsonismus primer atau idiopatik (paralysis agitans)
Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi penyebabnya
belum jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk jenis ini.
2. Parkinsonismus sekunder atau simtomatik
Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain : tuberkulosis,
sifilis meningovaskuler, iatrogenik atau drug induced, misalnya golongan
fenotiazin, reserpin, tetrabenazin dan lain-lain, misalnya perdarahan serebral
petekial pasca trauma yang berulang-ulang pada petinju, infark lakuner, tumor
serebri, hipoparatiroid dan kalsifikasi.
3. Sindrom paraparkinson (parkinson plus)
Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran
penyakit keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada penyakit Wilson (degenerasi
hepato-lentikularis), hidrosefalus normotensif, sindrom Shy-drager, degenerasi
striatonigral,
atropi

(parkinsonismus juvenilis).

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
34

palidal

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
II. 5. Patofisiologi
Penyakit parkinson terutama mengenai neuron dopaminergik yang berproyeksi
dari substansia nigra otak tengah sampai striatum ganglia basalis (nukleus kaudatus dan
putamen). Secara makroskopis, didapatkan atrofi substansia nigra pada penyakit
parkinson tahap lanjut, yang dikenali dari hilangnya pigmentasi melanin pada region
ini. Secara mikroskopis, didapatkan kerusakan berat neuron pada substansia nigra, dan
neuron yang tersisa seringkali mengandung bahan inklusi intrasel, yaitu badan Lewy.
Gejala penyakit parkinson terlihat jika kerusakan neuron dopaminergik nigrostriatum
telah mencapai 60-80%.
Secara

patofisiologis,

kerusakan

jaras

dopaminergik

menyebabkan

ketidakseimbangan sistem ekstrapiramidal dengan mekanisme kolinergik dan


neurotransmitor lainnya. Ganglia basalis dapat dianggap sebagai suatu sistem untuk
menggubah output motorik karena kawasan itu menerima inputnya dari daerahdaerah motorik kortikal dan outputnya ditujukan kembali kepada daerah-daerah
motorik kortikal melalui thalamus.
Dua hipotesis yang disebut juga sebagai mekanisme degenerasi neuronal pada
penyakit parkinson ialah : hipotesis radikal bebas dan hipotesis neurotoksin.
1. Hipotesis radikal bebas
Diduga bahwa oksidasi enzimatik dari dopamin dapat merusak neuron
nigrostriatal, karena proses ini menghasilkan hidrogen peroksid dan radikal oksi
lainnya. Walaupun ada mekanisme pelindung untuk mencegah kerusakan dari stress
oksidatif, namun pada usia lanjut mungkin mekanisme ini gagal.
2. Hipotesis neurotoksin
Diduga satu atau lebih macam zat neurotoksik berperan pada proses
neurodegenerasi pada parkinson. Pandangan saat ini menekankan pentingnya ganglia
basal dalam menyusun rencana neurofisiologi yang dibutuhkan dalam melakukan
gerakan, dan bagian yang diperankan oleh serebelum ialah mengevaluasi informasi
yang didapat sebagai umpan balik mengenai pelaksanaan gerakan. Ganglia basal
tugas primernya adalah mengumpulkan program untuk gerakan, sedangkan
serebelum memonitor dan melakukan pembetulan kesalahan yang terjadi sewaktu
program gerakan diimplementasikan. Salah satu gambaran dari gangguan
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
35

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
ekstrapiramidal adalah gerakan involunter. Dasar patologinya mencakup lesi di
ganglia basalis (kaudatus, putamen, palidum, nukleus subtalamus) dan batang otak
(substansia nigra, nukleus rubra, lokus sereleus).
Pada penyakit parkinson terjadi degenerasi sel-sel neuron yang meliputi
berbagai inti subkortikal termasuk di antaranya substansia nigra, area ventral tegmental,
nukleus basalis, hipotalamus, pedunkulus pontin, nukleus raphe dorsal, lokus sereleus,
nucleus central pontine dan ganglia otonomik. Beratnya kerusakan struktur ini
bervariasi. Pada otopsi didapatkan kehilangan sel substansia nigra dan lokus sereleus
bervariasi antara 50% - 85%, sedangkan pada nukleus raphe dorsal berkisar antara 0% 45%, dan pada nukleus ganglia basalis antara 32 % - 87 %. Inti-inti subkortikal ini
merupakan sumber utama neurotransmiter. Terlibatnya struktur ini mengakibatkan
berkurangnya dopamin di nukleus kaudatus (berkurang sampai 75%), putamen
(berkurang sampai 90%), hipotalamus (berkurang sampai 90%). Norepinefrin
berkurang 43% di lokus sereleus, 52% di substansia nigra, 68% di hipotalamus
posterior. Serotonin berkurang 40% di nukleus kaudatus dan hipokampus, 40% di lobus
frontalis dan 30% di lobus temporalis, serta 50% di ganglia basalis. Selain itu juga
terjadi pengurangan nuropeptid spesifik seperti met-enkephalin, leu-enkephalin,
substansi P, dan bombesin.
Perubahan

neurotransmiter

dan

neuropeptid

menyebabkan

perubahan

neurofisiologik yang berhubungan dengan perubahan suasana perasaan. Sistem


transmiter yang terlibat ini menengahi proses reward, mekanisme motivasi, dan respons
terhadap stres. Sistem dopamin berperan dalam proses reward dan reinforcement.
Febiger mengemukakan hipotesis bahwa abnormalitas sistem neurotransmiter pada
penyakit parkinson akan mengurangi keefektifan mekanisme reward dan menyebabkan
anhedonia, kehilangan motivasi dan apatis. Sedang Taylor menekankan pentingnya
peranan sistem dopamin forebrain dalam fungsi-fungsi tingkah laku terhadap
pengharapan dan antisipasi. Sistem ini berperan dalam motivasi dan dorongan untuk
berbuat, sehingga disfungsi ini akan mengakibatkan ketergantungan yang berlebihan
terhadap lingkungan dengan berkurangnya keinginan melakukan aktivitas, menurunnya
perasaan kemampuan untuk mengontrol diri. Berkurangnya perasaan kemampuan untuk
mengontrol diri sendiri dapat bermanifestasi sebagai perasaan tidak berguna dan
kehilangan harga diri. Ketergantungan terhadap lingkungan dan ketidakmampuan
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
36

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
melakukan aktivitas akan menimbulkan perasaan tidak berdaya dan putus asa. Sistem
serotonergik berperan dalam regulasi suasana perasaan, regulasi bangun tidur, aktivitas
agresi dan seksual. Disfungsi sistem ini akan menyebabkan gangguan pola tidur,
kehilangan nafsu makan, berkurangnya libido, dan menurunnya kemampuan
konsentrasi. Penggabungan disfungsi semua unsur yang tersebut di atas merupakan
gambaran dari sindrom klasik depresi.
6.Gejala Motorik

Tremor
Tremor saat istirahat Resting Tremor merupakan gejala tersering dan
mudah dikenali pada penyakit Parkinson. Tremor bersifat unilateral, dengan
frekuensi antara 4 sampai 6 Hz, dan hampir selalu terdapat di extremitas distal.
Tremor pada tangan digambarkan seperti memulung-mulung pil (pill rolling)
atau menghitung recehan logam. Resting tremor pada pasien penyakit parkinson
tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki, tetapi dapat pula mengenai bibir,
dagu, rahang dan tungkai. Namun tidak seperti tremor pada umumnya, tremor
pada penyakit parkinson jarang mengenai leher atau kepala dan suara.
Karakteristik resting tremor adalah tremor akan menghilang ketika penderita
melakukan gerakan, juga selama tidur. Beberapa pasien mengatakan adanya
internal tremor yang tidak dikaitkan dengan tremor yang terlihat. Pada
awalnya tremor hanya terjadi pada satu sisi, namun semakin berat penyakit
tremor bisa terjadi pada kedua belah sisi.

Rigidity
Rigiditas ditandai dengan adanya peningkatan tahanan otot, biasanya
disertai oleh adanya cogwheel phenomenon yang secara khusus dihubungkan
dengan adanya tremor. Terdapat melalui pergerakan pasif extremitas baik flexi,
extensi atau rotasi sendi. Jika kepalan tangan yang tremor tersebut digerakkan
(oleh orang lain) secara perlahan ke atas bertumpu pada pergelangan tangan,
terasa ada tahanan seperti melewati suatu roda yang bergerigi sehingga
gerakannya menjadi terpatah-patah/putus-putus. Rigiditas dapat terjadi di tubuh

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
37

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
bagian proximal maupun bagian distal. Selain di tangan maupun di kaki,
kekakuan itu bisa juga terjadi di leher. Akibat kekakuan itu, gerakannya menjadi
tidak halus lagi seperti break-dance. Foments maneuver merupakan manuver
yang biasa digunakan untuk memeriksa adanya rigiditas. Keistimewaan
manuver ini dapat mendeteksi rigiditas yang masih ringan.1,2
Gerakan yang kaku membuat penderita akan berjalan dengan postur
yang membungkuk. Sikap tubuh bagian atas berfleksi ke depan pada persendian
lumbal, kedua tungkai berfleksi pada sendi lutut dan panggul serta kedua lengan
melekat pada samping badan dalam posisi fleksi di siku dan pergelangan tangan.
Langkah gerakan berjalan dilakukan setengah diseret dan jangkauannya pendekpendek untuk mempertahankan pusat gravitasinya.
Rigiditas dapat disertai dengan nyeri, dan nyeri pada bahu adalah satu
hal tersering yang merupakan manifestasi dini penyakit Parkinson sehingga
seringkali terjadi misdiagnosis sebagai arthritis, bursitis, atau cedera pada otototot rotator cuff.
Bradikinesia
Bradikinesia berarti kelambanan dalam pergerakan dan merupakan
manifestasi klinik penyakit parkinson yang karakteristik, meskipun bradikinesia
juga dapat dijumpai pada penyakit lain, termasuk depresi. Bradikinesia
merupakan hal yang patognomonik yang menunjukkan kerusakan pada basal
ganglia, meliputi kesulitan dalam merencanakan dan menyelenggarakan
gerakan, memulai gerakan, dan kesulitan dalam melaksanakan gerakan secara
simultan. Manifestasi lain bradikinesia adalah hilangnya pergerakan dan langkah
spontan, air liur yang menetes dikarenakan gangguan menelan, monotonik dan
hipofonik disartria, kehilangan ekspresi wajah (hipomimia) dan penurunan
kedipan mata, pengurangan ayunan tangan sehingga cara berjalan tidak lagi
melenggang. Bradikinesia merupakan gejala dari penyakit parkinson yang
paling mudah untuk dikenali, dan mungkin terlihat jelas walaupun belum
dilakukan pemeriksaan neurologis. Pada bradikinesia juga dapat ditemukan
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
38

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
gejala tambahan seperti gerakan cepat, berulang, pergerakan tangan bergantian
(ketukan jari, menggenggan-genggam tangan, pronasi-supinasi tangan).

Abnormalitas Motorik Lainnya


Pasien dengan penyakit Parkinson mungkin menunjukkan beberapa
gejala motorik sekunder yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan mereka saat
di rumah, kantor, ataupun saat mengendarai mobil. Karena kerusakan pada lobus
frontal yang menghalangi terjadinya mekanisme inhibisi, beberapa pasien
menunjukkan adanya refleks primitif. Pada satu penelitian pada pasien penyakit
parkinson, ditemukan 80,5% dari 41 pasien memiliki refleks primitif glabella.
Gejala ini cukup sensitif (83,3%) mengindikasikan adanya parkinsonian, namun
tidak spesifik (47,5%) untuk penyakit parkinson. Dalam penelitian ini juga
didapatkan peningkatan sebanyak 34,1% terhadap refleks palmomental. Gejala
ini tidaklah sensitif (33.3%) namun lebih spesifik (90%) dibandingkan refleks
glabella. Namun begitu, refleks-refleks primitif ini tidak dapat dibedakan
diantara 3 jenis kerusakan Parkinsonian (penyakit Parkinson, PSP-progresif
supranuclear palsy, MSA-multiple systems atrophy).1,3
Gangguan pada bulbar ditandai oleh adanya disartria, hipofonia, disfagia
dan sialorea yang dalam pengamatan terhadap pasien penyakit parkinson dirasa
lebih mengganggu dibandingkan gejala-gejala utamanya. Gejala-gejala ini
diduga memiliki kaitan dengan orofacial-laryngeal bradikinesia dan rigiditas.
Kesulitan dalam berbicara pada pasien penyakit parkinson ditandai oleh
monotonus, bicara yang lembut, kesulitan dalam menemukan kata-kata yang
dikenal dengan tip-of-the-tongue phenomenon. Speech terapi seperti Lee
Silverman Voice Treatment, mempunyai penekanan dan upaya yang kuat dalam
meningkatkan volume dan kualitas berbicara, dan mungkin dapat meringankan
gejala disartria. Disfagia biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk
memulai refleks menelan atau disebabkan oleh pemanjangan pergerakan laring
maupun esophagus. Disfagia sering kali merupakan gejala subklinik, terutama
pada fase awal perjalanan penyakit. Penyakit parkinson yang dikaitkan dengan

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
39

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
adanya gejala air liur yang menetes merupakan manifestasi dari adanya
penurunan dalam fungsi menelan.1,5
6. 2. Gejala Non Motorik

Disfungsi Otonom
Kegagalan fungsi otonom saat ini merupakan gejala klinik penyakit
parkinson, meskipun secara tipikal sering dihubungkan dengan MSA. Gejalanya
antara lain: hipotensi ortostastik, disfungsi dalam sekresi keringat, disfungsi
proses miksi dan disfungsi ereksi.1

Abnormalitas Fungsi Kognitif dan Neurobehaviour


Gangguan neuropsikiatrik dapat mengganggu sama halnya seperti gejala
motorik. Studi yang dilakukan oleh Sydney Multicenter of Parkinson Disease
menunjukkan bahwa 84% pasien mengalami penurunan fungsi kognitif yang
setelah diikuti selama 15 tahun, 48% diantaranya memenuhi kriteria diagnosis
untuk demensia. Prospektif studi lainnya menunjukkan bahwa pasien penyakit
parkinson memiliki resiko enam kali lipat lebih besar untuk terjadinya demensia
dikemudian hari. Penyakit parkinson yang dihubungkan dengan terjadinya
demensia juga dihubungkan komorbiditas neuropsikiatri. Diantara 537 pasien,
depresi (58%), apatis (54%), anxietas (49%), dan halusinasi (44%) merupakan
hal yang tersering dilaporkan. Sehubungan dengan disfungsi afektif dan
kognitif, banyak pasien dengan penyakit parkinson dilaporkan memiliki tingkah
laku obsesif-kompulsif dan impulsif. Gejala tingkah laku ini terkadang
merupakan gejala hedonistic homeostatic dysregulation. Disfungsi kognitif
dan tingkah laku pada pasien penyakit parkinson masih belum dapat dimengerti
sepenuhnya.1

Gangguan Tidur
Meskipun gangguan tidur (misalnya : tidur yang berlebihan, serangan
tidur) untuk sebagian besar dianggap berasal dari efek terapi farmakologis,

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
40

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
namun beberapa klinikus saat ini percaya bahwa hal ini merupakan satu bagian
integral dari penyakit parkinson. Hal ini didukung oleh adanya suatu observasi
yang menunjukkan adanya rapid eye movement (REM) dalam gangguan tidur,
yang terdapat setidaknya pada 1/3 (sepertiga) pasien dengan penyakit parkinson.
Gangguan tidur REM saat ini telah dianggap sebagai pre-parkinsonian state
yang ditandai dengan peningkatan mimpi buruk, seperti : bicara dalam tidur,
berteriak, menyumpah, memukul, menendang, dan hal lainnya yang melibatkan
aktivitas motorik. Insomnia juga bisa terjadi (dengan prevalensi > 50%) dalam
frekuensi yang berbeda-beda di setiap pasien.1

Abnormalitas Sistem Sensorik


Gejala sensorik seperti disfungsi olfaktorik, nyeri, parestesi, akathisia,
nyeri daerah mulut, dan nyeri pada regio genitalia merupakan gangguan
terbanyak namun sekaligus sering tidak dikenali sebagai gejala parkinsonian.
Dalam salah satu studi ditemukan bahwa disfungsi sistem olfaktori (hiposmia)
mungkin merupakan tanda dini dari penyakit parkinson, hal ini dikorelasikan
dengan meningkatnya resiko sebanyak 10% terhadap terjadinya penyakit dalam
2 tahun kemudian. Telah didalilkan bahwa disfungsi olfaktori dihubungkan
dengan hilangnya neuron di area kortikomedial amigdala, atau hilangnya neuron
dopaminergik di bulbus olfaktorius.1,5

II. 7. Diagnosis
Diagnosis penyakit parkinson ditegakkan berdasarkan adanya tiga gambaran
klinis. Asimetri tanda-tanda penyakit saat onset merupakan hal yang penting. Jika
diagnosis masih diragukan, maka respons pasien terhadap terapi medikamentosa dapat
berguna untuk membantu diagnosis.3
II. 7. 1. Kriteria Diagnostik oleh UK Parkinsons Disease Society Brain Bank

Step 1
Bradikinesia
Setidaknya 1 dari kriteria di bawah ini :

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
41

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Rigiditas
Resting tremor 4-6 Hz
Instabilitas postural yang tidak disebabkan oleh gangguan primer visual,
vestibular, cerebellar ataupun gangguan proprioseptif

Step 2
Singkirkan penyebab lain Parkinsonism

Step 3
Setidaknya tiga dari faktor pendukung di bawah ini :
Onset unilateral
Resting tremor
Kerusakan progresif
Asimetris primer persisten sejak onset
Respon sempurna (70-100%) dengan levodopa
Chorea (diskinesia) berat diakibatkan penggunaan levodopa
Respons terhadap levodopa dalam 5 tahun atau lebih
Terdapat gejala klinis selama 10 tahun atau lebih

II. 7. 2. Kriteria Diagnostik Berdasar National Institute of Neurological


Disorders and Stroke (NINDS)1

Group A (Gejala khas penyakit Parkinson)


- Resting tremor
- Bradikinesia
- Rigiditas
- Onset asimetris
Group B (Kriteria diagnosis alternative)
- Manifestasi klinis yang tidak biasa di awal penyakit
- Instabilitas postural dalam 3 tahun pertama setelah timbulnya gejala
- Freezing fenomena dalam 3 tahun pertama
- Halusinasi yang tidak terkait dengan pengobatan dalam 3 tahun
-

pertama
Demensia yang mendahului gejala motorik atau terdapat pada tahun

pertama
Supranuclear gaze palsy
Disautomonia simptomatik yang tidak terkait medikasi
Adanya kondisi yang dapat menimbulkan gejala parkinsonism (lesi
otak fokal atau penggunaan obat neuroleptika dalam 6 bulan terakhir)

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
42

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Kriteria definitive penyakit Parkinson
Seluruh kriteria yang menunjang Parkinson telah dijumpai
Konfirmasi histopatologi saat dilakukannya otopsi
Kriteria probable penyakit Parkinson
Ditemukan setidaknya 3 dari 4 kriteria grup A
Tidak terdapat salah satu kriteria dalam grup B
Respons terhadap levodopa ataupun dopamin agonis yang lamban
Kriteria possible penyakit Parkinson
Setidaknya 2 dari 4 kriteria grup A dijumpai
Tidak terdapat salah satu kriteria dalam grup B
Respons terhadap levodopa ataupun dopamin agonis yang sangat lamban
II. 8. Diagnosis banding dan Pemeriksaan Penunjang
1. Atrofi sistem multiple (multiple system atrophy, MSA)
Gambaran ekstrapiramidal bersama dengan satu atau lebih gejala berikut :
- Kegagalan otonom (sindrom Shy Drager)
- Disfungsi serebelar
- Gambaran pyramidal
Jika parkinsonisme lebih dominan, maka sindrom ini disebut MSA-P, sebaliknya
bila gambaran serebelar lebih dominan maka disebut MSA-C.
2. Palsi supranuklear progresif (PSP, sindrom Steel Richardson Olszweski)
Kegagalan pandangan volunter (pertama melirik ke arah bawah, kemudian ke arah
atas, kemudian horizontal) berhubungan dengan disfungsi ekstrapiramidal dengan
instabilitas postural awal dan demensia.
3. Sindrom kombinasi gambaran parkinsonian dan disfungsi korteks serebri
Degenerasi kortikobasal (sangat jarang)
Demensia yang disertai badan Lewy.2,3
9. Terapi
9. 1. Terapi Medikamentosa
Dengan ditegakkannya diagnosis penyakit parkinson, tidaklah semata-mata
memulai terapi dengan pemberian obat-obatan. Terapi farmakologis dibenarkan jika pasien
telah merasa terganggu dengan gejala-gejala yang ada, atau jika mulai timbul kecacatan.
Keinginan dan pilihan pasien merupakan hal yang mendasar dalam membuat keputusan
untuk dimulainya terapi farmakologis.
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
43

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Levodopa

Levodopa

merupakan

prekursor

dopamin,

diyakini

merupakan

obat

antiparkinsonian yang paling efektif. Di dalam otak, levodopa dirubah menjadi dopamin. Ldopa akan diubah menjadi dopamin pada neuron dopaminergik oleh L-aromatik asam
amino dekarboksilase (dopa dekarboksilase). Walaupun demikian, hanya 1-5% dari L-Dopa
memasuki

neuron

dopaminergik.

Sisanya

dimetabolisme

di

sembarang

tempat,

mengakibatkan efek samping yang luas. Karena mekanisme feedback, akan terjadi inhibisi
pembentukan L-Dopa endogen.
Levodopa dalam penggunaannya dikombinasikan dengan peripheral decarboxylase
inhibitor seperti carbidopa, untuk mengurangi terjadinya dekarboksilasi levodopa sebelum
mencapai neuron dopaminergik di otak. Tersedia dalam bentuk immediate-release dan
controlled-release. Carbidopa plus levodopa dikombinasikan dengan catechol Omethyltransferase inhibitor, entacapone, merupakan satu preparat lain yang di produksi
untuk menciptakan suatu prolong aksi dengan mencegah terjadinya metilasi.1
Dalam percobaan yang membandingkan efektivitas levodopa dan agonis dopamin
yang dilakukan secara random, menunjukkan peningkatan Activities of Daily Living (ADL)
dan motorik sebanyak 40-50% dengan penggunaan levodopa. Levodopa mengurangi
tremor, kekakuan otot dan memperbaiki gerakan.
Banyak dokter menunda pengobatan simtomatis dengan levodopa sampai memang
dibutuhkan. Bila gejala pasien masih ringan dan tidak mengganggu, sebaiknya terapi
dengan levodopa jangan dilakukan. Hal ini mengingat bahwa efektivitas levodopa berkaitan
dengan lama waktu pemakaiannya. Levodopa melintasi sawar darah otak dan memasuki
susunan saraf pusat dan mengalami perubahan enzimatik menjadi dopamin. Dopamin
menghambat aktivitas neuron di ganglia basal.
Efek samping levodopa dapat berupa :
1) Nausea, muntah, distress abdominal
2) Hipotensi postural
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
44

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
3) Sesekali akan didapatkan aritmia jantung, terutama pada penderita yang berusia
lanjut. Efek ini diakibatkan oleh efek beta-adrenergik dopamine pada system
konduksi jantung. Ini bisa diatasi dengan obat beta blocker seperti propanolol.
4) Diskinesia, yang paling sering ditemukan melibatkan anggota gerak, leher atau
muka. Diskinesia sering terjadi pada penderita yang berespon baik terhadap
terapi levodopa. Beberapa penderita menunjukkan gejala on-off yang sangat
mengganggu karena penderita tidak tahu kapan gerakannya mendadak menjadi
terhenti, membeku, dan sulit. Jadi, gerakannya terinterupsi sejenak.
5) Abnormalitas laboratorium. Granulositopenia, fungsi hati abnormal, dan ureum
darah yang meningkat merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada terapi
levodopa.
Agonis Dopamin
Meskipun agonis dopamin kurang efektif dibandingkan dengan levodopa, obatobatan ini merupakan obat first line alternative dalam terapi penyakit parkinson.
Bermacam-macam agonis dopamin memiliki efektivitas yang hampir mirip. Salah satu
keuntungan yang potensial dari obat ini dibandingkan dengan levodopa ialah rendahnya
resiko untuk terjadinya diskinesia dan fluktuasi fungsi motorik sebagai efek terapi dalam 1
hingga 5 tahun pengobatan, khususnya pada pasien yang mendapatkan agonis dopamin
sebagai pengobatan tunggal.
Obat-obat agonis dopamin yang lama dikenal, seperti bromokriptine dan pergolid
merupakan derivat ergot yang jarang menimbulkan fibrosis retroperitoneal, pleural, dan
pericardial.
Obat-obatan Lainnya
Secara umum antikolinergik tidak digunakan sebagai pengobatan dalam penyakit
parkinson, dikarenakan efeknya yang merugikan. Namun, obat-obatan golongan ini kadang
ditambahkan jika gejala tremor dirasa sangat mengganggu dan tidak responsif dengan
pengobatan lain meskipun sesungguhnya fakta di lapangan menunjukkan kekurangefektifan
obat ini dalam mengurangi tremor. Obat golongan antikolinergik merupakan kontraindikasi
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
45

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
pada pasien dengan demensia dan biasanya dihindari penggunaannya pada pasien yang
berusia lebih dari 70 tahun.1
Tabel 1. Obat-obatan untuk mengobati penyakit Parkinson7
Obat

Aturan Pemakaian

Keterangan

levodopa
(dikombinasikan
dengan karbidopa)

Merupakan pengobatan utama


untuk Parkinson
Diberikan bersama karbidopa
untuk meningkatkan efektivitasnya
& mengurangi efek sampingnya
Mulai dengan dosis rendah, yg
selanjutnya ditingkatkan sampai
efek terbesar diperoleh

Setelah beberapa
tahun digunakan,
efektivitasnya bisa
berkurang

bromokriptin atau
pergolid

Pada awal pengobatan seringkali


ditambahkan pada pemberian
levodopa untuk meningkatkan
kerja levodopa atau diberikan
kemudian ketika efek samping
levodopa menimbulkan masalah
baru

Jarang diberikan
sendiri

Selegilin

Seringkali diberikan sebagai


tambahan pada pemakaian
levodopa

Bisa meningkatkan
aktivitas levodopa
di otak

Obat antikolinergik
(benztropin &
triheksifenidil),
obat anti depresi
tertentu,
antihistamin
(difenhidramin)

Pada stadium awal penyakit bisa


diberikan tanpa levodopa, pada
Bisa menimbulkan
stadium lanjut diberikan
beberapa efek
bersamaan dengan levodopa, mulai samping
diberikan dalam dosis rendah

Amantadin

Digunakan pada stadium awal


untuk penyakit yg ringan
Pada stadium lanjut diberikan
untuk meningkatkan efek levodopa

II. 9. 2. Terapi Non Farmakologis

Terapi Pembedahan

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
46

Bisa menjadi tidak


efektif setelah
beberapa bulan
digunakan sendiri

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Thalamotomy dan thalamic stimulation, deep brains stimulation (DBS)
dengan implantasi elektroda dapat merupakan terapi yang mujarab dalam
mengatasi tremor pada penyakit parkinson ketika sudah tidak ada lagi respon
dengan pengobatan non surgical. Pallidotomy, pallidal deep brain stimulation
dapat mengatasi gejala-gejala penyakit parkinson pada pasien yang responnya
terhadap medikasi antiparkinsonism mengalami komplikasi dengan adanya
fluktuasi fungsi motorik yang memburuk dan diskinesia. Pada tahap dini,
terapi pembedahan bukan merupakan indikasi. Tindakan ini juga cukup
beresiko serta membutuhkan biaya yang mahal, maka terapi pembedahan ini
tidak mempunyai peran pada awal penyakit Parkinson.
Transplantasi sel dengan menggunakan substansia nigra fetus masih
merupakan teknik yang eksperimental. Perannya terhadap terapi penyakit
parkinson idiopatik masih belum ditetapkan walau pada pasien parkinsonisme
akibat MPTP telah menunjukkan perbaikan yang bermakna.

Terapi Neuroprotektif
Saat ini, belum ditemukan bukti yang mendukung bahwa pemberian

neuroprotektif memiliki efektivitas. Namun begitu, percobaan klinik


menyatakan bahwa selektif MAO-B inhibitor, agonis dopamin dan coenzyme
Q10 mungkin dapat memperlambat progresivitas penyakit. Masih banyak data
yang dibutuhkan untuk menjelaskan efektivitas neuroprotektif dalam terapi
penyakit parkinson.

Terapi Psikis
Dukungan dan edukasi merupakan hal sangat kritis saat seorang pasien

didiagnosis sebagai penderita penyakit parkinson. Pasien harus mengerti


bahwa penyakit parkinson merupakan penyakit kronik progresif dengan
tingkat progresivitas yang berbeda-beda pada setiap orang. Telah banyak
pendekatan yang dilakukan untuk memperingan gejala. Adanya group
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
47

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
pendukung yang berisikan pasien penderita parkinson tahap lanjut, akan lebih
membantu penderita yang baru saja didiagnosis sebagai penderita penyakit
parkinson. Pasien harus diberikan nasehat mengenai latihan, termasuk
stretching, strengthening, fitness kardiovaskular, dan latihan keseimbangan
walaupun hanya dalam waktu singkat. Studi jangka pendek menyatakan
bahwa hal ini dapat meningkatkan kemampuan penderita dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, kecepatan berjalan, dan keseimbangan.
II. 10. Prognosis
Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson,
sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali
terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya.
Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami kemajuan hingga terjadi
total disabilitas yang sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak secara
umum dan dapat menyebabkan kematian.
Dengan

perawatan,

gangguan

pada

setiap

pasien

berbeda-berbeda.

Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi, perluasan gejala berkurang, dan


lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang
dapat sangat parah.
Penyakit parkinson sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi
berkembang sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien penyakit
parkinson pada umumnya lebih rendah dibandingkan yang tidak menderita penyakit
parkinson. Pada tahap akhir, penyakit parkinson dapat menyebabkan komplikasi
seperti : tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat menyebabkan kematian.2
Progresivitas gejala pada penyakit parkinson dapat berlangsung 20 tahun atau
lebih. Namun demikian, pada beberapa orang dapat lebih singkat. Tidak ada cara yang
tepat untuk memprediksikan lamanya penyakit ini pada masing-masing individu.
Dengan penanganan yang tepat, kebanyakan pasien penyakit parkinson dapat hidup
produktif beberapa tahun setelah didiagnosis.

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
48

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
LOW VISION

Definisi Low Vision


Dikenal istilah-istilah didalam membentuk kerangka kerja yaitu disorder, impairment,
disability dan handicap. Istilah-istilah ini menggambarkan aspek-aspek yang berbeda dari
kondisi-kondisi pasien dan dapat diaplikasikan pada sejumlah organ tubuh atau sistem,
termasuk sistem visual.
Disoreder. Aspek ini merujuk pada perubahan anatomi atau fisiologi organ. Biasanya
dideskripsikan dalam istilah-istilah anatomis, contohnya: kekeruhan kornea, katarak, sikatrik
retina.
Impairment. Terjadi perubahan pada fungsi organ, meliputi keterbatasan ketajaman
penglihatan, lapang pandang, sensitivitas kontras atau penglihatan warna. Skala pengukuran
yang bervariasi telah dikembangkan untuk setiap fungsi ini.8
Disability. Merujuk pada ketrampilan dan kemampuan pasien. Sebagai contoh, pasien
dengan sikatrik kornea pada 1 mata akan mengalami kerusakan penglihatan pada mata
tersebut tetapi pasien dapat mengerjakan tugas-tugas secara binokular. Disability
digambarkan dalam konteks ketrampilan dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan
membaca, menulis dan orientasi.
Handicap.

Merupakan

konsekuensi

sosioekonomi

dari

disability.

Biasanya

digambarkan dengan usaha keras yang harus dilakukan pasien untuk mencapai tujuan yang
sama dengan orang-orang normal.

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
49

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

DISORDER

IMPAIRMENT

DISABILITY

ORGAN
Anatomic

HANDICAP

PATIENT

Functional changes

Skills and abilities

Socioeconomic

affected

consequences

changes

EXAMPLES

Inflamation

Visual acquity

Reading

Extra effort

Atrophy

Visual field

Writing

Loss of independent

Scar

Contrast sensitivity

Daily living

Mobility
Bagan 1. Aspek-aspek Low Vision (from Fig 1-1: Flecther DC. Low Vision Rehabilitation Ophthalmology
Monographs, American Academy Of Ophthalmology, 1992, p.2)

Definisi low vision Berdasarkan kuantitas pengukuran tajam penglihatan dan lapang
pandang. World Health Organization (WHO) mendifinisikan low vision pada tahun 1992
sebagai berikut:
A person with low vision is one has impairment of visual functioning even after
treatment and/or standard refractive correction, and has a visual acuity of les then 6/18
(20/60) to light perception or a visual field of less than 10 degree from the point of fixation,
but who uses or is potentially able to use, vision for the planning and/or execution of a task.
Dari pengertian WHO di atas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut:

Setelah diobati dan dikoreksi dengan kacamata, masih memiliki kelainan pada fungsi
penglihatannya.

Ketajaman penglihatan 6/18 (20/60) sampai persepsi cahaya.

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
50

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

Lapang pandangnya kurang dari 10 derajat.

Dapat menggunakan atau berpotensi untuk menggunakan sisa penglihatannya dalam


merencanakan dan melaksanakan tugas sehari-hari.
Definisi terbaru low vision meliputi pengukuran/ pemeriksaan sensitivitas kontras,

skotoma sentral atau parasentral3 serta keluhan peningkatan kepekaan terhadap cahaya,
kelaianan persepsi warna, adaptasi gelap, motilitas mata dan fusi.

2 Klasifikasi
The International Classification of Disease, 9th Revision, Clinicil Modification (ICD9-CM) membagi low vision atas 5 kategori, sebagai berikut :
1. Moderate visual impairment. Tajam penglihatan yang paling baik dapat dikoreksi kurang
dari 20/60 sampai 20/160.
2. Severe visual impairment. Tajam penglihatan yang paling baik dapat dikoreksi kurang
dari 20/160 sampai 20/400 atau diameter lapang pandangan adalah 20 atau kurang
(diameter terbesar dari isopter Goldmann adalah III4e, 3/100, objek putih)
3. Profound visual impairment. Tajam penglihatan yang paling baik dapat dikoreksi kurang
dari 20/400 sampai 20/1000, atau diameter lapang pndangan adalah 10 atau kurang.
4. Near total vision loss. Tajam penglihatan yang paling baik dapat dikoreksi 20/1250 atau
kurang.
5. Total blindness. No light perception.
3 Etiologi dan Gejala Klinis
Low vision dapat diakibatkan oleh berbagai kelainan yang mempengaruhi mata dan
sIstem visual. Kelainan-kelainan ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 bagian besar yang dapat
membantu

dalam

memahami

kesulitan

dan

mengimplementasikan strategi untuk rehabilitasinya.


Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
51

keluhan

pasien

serta

memilih

dan

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Masalah-masalah low vision dapat diklasifikasikan dalam empat golongan yaitu:
1. Penglihatan sentral dan perifer yang kabur atau berkabut, yang khas akibat kekeruhan
media (kornea, lensa, corpus vitreous).
2. Gangguan resolusi fokus tanpa skotoma sentralis dengan ketajaman perifer normal, khas
pada oedem makula atau albanisme
3. Skotoma sentralis, khas untuk gangguan makula degenerative atau inflamasi dan
kelainan-kelainan nervus optikus.
4. Skotoma perifer, khas untuk glaukoma tahap lanjut, retinitis pigmentosa dan gangguan
retina perifer lainnya.
Berdasarkan data tahun 2002, jumlah populasi yang buta atau mengalami low vision
karena efek dari penyakit-penyakit infeksi menurun, tetapi meningkat yang disebabkan
karena kondisi-kondisi yang berhubungan dengan masa hidup yang lebih panjang.
Sebelum pasien mengalami buta total, mereka mengalami penurunan fungsi
penglihatan yang bermakna untuk beberapa tahun.
Ciri-ciri umum low vision:
1.

Menulis dan membaca dalam jarak dekat

2.

Hanya dapat membaca huruf berukuran besar

3.

Memicingkan mata atau mengerutkan dahi ketika melihat di bawah cahaya yang terang

4.

Terlihat tidak menatap lurus ke depan ketika memandang sesuatu

5.

Kondisi mata tampak lain, misalnya terlihat berkabut atau berwarna putih pada bagian
luar.

4 Diagnosis dan Penatalaksanaan


4.1 Anamnesa

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
52

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Pemeriksaan low vision dimulai dengan anamnesa yang lengkap. Pasien harus
ditanyai mengenai sifat, lama dan kecepatan gangguan penglihatan. Aktivitas-aktivitas seharihari yang tidak dapat dilakukan harus dibahas secara spesifik. Gejala awal dari penderita ini
biasanya yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk:
1.
2.
3.
4.
5.

Mengenali wajah teman dan orang di sekitarnya


Membaca, memasak, menjahit dan mengenal alat-alat di sekitarnya
Melakukan aktivitas di rumah dengan penerangan yang redup
Membaca rambu-rambu lalu-lintas, bis dan nama toko
Memilih dan mencocokkan warna baju

4.2 Pemeriksaan/ Evaluasi fungsi visual


Penilaian fungsi visual merupakan kunci rehabilitasi low vision dimana menjadi
penujuk dalam usaha-usaha memaksimalkan fungsi visual melalui latihan-latihan dan
peresepan alat-alat bantu.
Pemeriksaan terhadap pasien low vision berbeda dari pemeriksaan ophthalmologi
yang lazim diterapkan.
Pemeriksaan Tajam Penglihatan
Merupakan uji yang pertama di dalam penilaian fungsi visual. Ketajaman penglihatan
menunjukkan kemampuan pengenalan detil yang berbeda dengan kemampuan pengenalan
benda. Aktivitas sehari-hari sering membutuhkan pengenalan detil seperti pengenalan wajah
dan identifikasi uang.8
Untuk pemeriksaan pasien low vision, snellen chart sering tidak memuaskan sehingga
tidak dijadikan standar pengukuran tetapi dianjurkan menggunakan The Early Treatment
Retinopaty Charts (ETDRS), colenbrander 1-m chart , Bailey-Lovie Chart, LEA chart8
Iluminasi standar untuk pemeriksan mata normal yaitu 100 candela/m 2, tetapi untuk
pasien low vision membutuhkan iluminasi yang lebih.
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
53

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Ketajaman penglihatan yang telah terkoreksi maksimum diukur pada jarak 4 m, 2 m
atau 1 m dengan ETDRS, yang memiliki baris-baris (masing-masing dengan lima huruf).
Jarak pemeriksaan 4 m digunakan untuk ketajaman penglihatan yang kurang dari 20/200 dan
jarak pemeriksaan 1 m untuk ketajaman penglihatan yang kurang dari 20/400.
Pemeriksaan ini menunjukkan kelainan-kelainan yang sangat bervariasi sehingga
tidak spesifik tehadap suatu gangguan.

Gambar. 2 Low Vision Test Chart15

Pemeriksaan Penglihatan Dekat dan Kemampuan Membaca.


Setelah ditentukan ketajaman penglihatan jarak jauh, dilakukan pengukuran
ketajaman pengukuran penglihatan jarak dekat (membaca). Terdapat perbedaan jarak standar
baca. Beberapa menggunakan 33 cm (untuk 3-D add); yang lain menggunankan 14 inchi (35
cm, 2.86-D add) atau 40 cm (16 inchi, 2.5-D add). Tetapi ukuran ini tidak dapat digunakan
untuk mengukur jarak baca pasien low vision.
Pemilihan uji baca yang tepat adalah penting. Kartu bacaan dengan ukuran-ukuran
huruf yang geometrik dan dengan pencatatan ukuran symbol lebih disukai kerena dilengkapi
dengan perhitungan. Kartu yang memenuhi standar di atas adalah The Minnesota Low Vision
Reading Test (MNReadtest), dimana setiap kalimat disesuaikan jarak dan penempatannya.
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
54

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Colenbrander 1-m chart juga mempunyai segmen-segmen pembacaan yang sama.
Rangkaian-rangkaian ini mengikuti perhitungan dan perbandingan dari kecepatan baca
ketepatan didalam hubungannya dengan ukuran huruf.
Jenis uji baca lain adalah papper visual skills fir reading test, The Morgan Low Vision
Reading Comprehension Assesment.
Pengukuran Sensitivitas Kontras
Bukan merupakan indikator yang spesifik untuk masalah-maslah yang bervariasi di
dalam sistem penglihatan. Sensitivitas kontras merupakan kemampuan mendeteksi benda
pada kontras yang rendah.
Pasien akan mengalami kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari seperti
mengendarai kendaraan di saat hujan atau kabut, menuruni tangga, menuangkan susu
kedalam mangkuk putih.
Pembesaran dilakukan bila tidak dapat mengenal huruf dengan kontras tinggi saat
membaca. Penurunan sensitivitas kontras sering ditemukan pada pasien makular oedem.
Pelli-Robson chart dan LEA low contrast chart memberikan huruf-huruf atau
symbol-simbol yang besar dengan penurunan kontras. Alternative lain yaitu Bailey-Lovie
chart.
Pendekatan lain yang lebih inovasi yaitu the SKILL card yang mengkombinasikan
efek-efek kontras dengan iluminasi rendah. Pada salah satu sisi mempunyai huruf-huruf
regular (huruf berwarna hitam dengan latar belakang putih); sisi yang lainnya mempunyai
kontras yang rendah, low luminance chart (huruf berwarna hitam dengan latar belakang abuabu gelap).

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
55

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Sensitivitas kontras dapat dinilai baik secara monokular maupun binokular dengan
Vistech Contrast Sensitivity Vision Test.1,7,12 Hilangnya sasaran frekuensi tinggi dan sedang
adaah kesulitan membaca dengan alat bantu optis untuk low vision.

Gambar. 3 Contrast

Sensitivity Chart

Pemeriksaan lapang

pandangan

Perimetri
merupakan

makular

salah

satu pengukuran

yang terpenting dari

aspek-aspek

penilaian

vision,

low

tetapi

sering neglected (diabaikan).


Skotoma makular memberikan dampak mayor didalam aktivitas sehari-hari dan
terjadi pada 83% pasien. Terdapatnya skotoma sentral atau parasentral menimbulkan masalah
didalam kecepatan membaca dibandingkan gangguan pada tajam penglihtan.
Amsler grid digunakan untuk mencari adanya skotoma sentralis dan menentukan
posisi dan kepadatannya serta daerah distorsinya. Perlu dicatat apakah distorsi yang dilihat
pasien berkurang pada penglihatan binokular atau monokular. Apabila dengan penglihatan
binokular distorsinya kurang maka pasien mungkin calon untuk pengunaan lensa baca
mengkoreksi kedua mata daripada penggunaan lensa monokular biasa. Skotoma sentralis juga
dapat digrafikkan pada layar singgung.
Walaupun mudah digunakan, uji Amsler Grid dan perimetri lainnya tidak sensitive
untuk mendeteksi skotoma monokular yang kecil dan tidak akurat dalam menentukan
perluasan skotoma. Scanning Laser Ophthalmoscope (SLO) adalah instumen yang lebih
disukai tetapi harganya mahal.
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
56

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Tangent screen dapat memberikan hasil yang tepat jika dilakukan oleh perimestrist
yang ahli dan sesuai dengan protokol pengujian.
Perimetri makular paling baik dilakukan dengan teknik hybrid dimana menggunakan
intesitas stimulus yang tunggak untuk seluruh lokasi uji, seperti perimetri kinetik, tetapi target
berada pada lokasi retina yang spesifik, seperti perimetri statik.
Untuk pasien retinitis pigmentosa, lapang pandangan perifer sebaiknya dipriksa pada
layar singgung dan untuk pasien glaukoma dan defisit neurologik pada perimeter Goldmann.

III.4.3 Pemilihan dan Peresepan Alat-Alat Bantu


Alat-alat bantu optik maupun non optik dapat membantu pasien menggunakan sisa
penglihatannya dan meningkatkan kualitas hidup pasien serta mengurangi ketergantungan
pasien kepada orang lain.
Jenis alat bantu optik untuk low vision:
1. Kacamata
a. Visus kedua mata sama
b. Jarak fokus
c. Binokular dan monokular
2. Kaca pembesar
a. Membaca spot
b. Tangkai pegang dan kaki penyangga
3. Teleskop
a. Melihat jauh
b. Penampilan kurang baik
c. Lapang pandang sempit
d. Gangguan tata nilai ruang
e. Perlu latihan khusus
f. Galilean dan kaplerian
Jenis alat bantu non optik untuk low vision:
1. Alat bantu tulis
2. Lampu penerangan
a. Kontras >>
b. Lampu pijar 60 Watt atau lampu neon 11 Watt
3. Video pembesar
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
57

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
a. Kamera dan monitor
b. Pembesaran 140x
c. Menggerakkan kamera atau objek
4. Perangkat lunak komputer
a. Zoom Text dan Jaws
b. Tampilkan di monitor lebih besar (visual)
c. Suara (non visual)
d. Gabungan visual - non visual
Low Vision Aids
Low vision aids diperlukan bila kacamata, pembedahan dan obat-obatan tidak dapat
menolong dalam waktu yang lama. Alat yang sudah tersedia dari yang sederhana sampai yang
elektronik dengan berbagai pembesaran, kekuatan, dan kegunaan yang berbeda. Alat-alat
seperti ini biasanya dipakai untuk melihat dekat, membaca surat, membaca koran, menonton
televisi dan film, membaca menu restoran dan membaca label produk makanan ataupun
minuman dan lain-lain, seperti: sistem pembesaran video, mesin baca elektronik, kaca mata
baca mikroskopik, teleskopik baca, kaca mata teleskopik, teleskop tangan, kaca mata
autofokus, teknologi akses untuk internet dan komputer, lampu untuk penerangan dan
pembesaran, aplikasi suara untuk program komputer dan alat pembesaran/magnifiers yang
terdiri dari hand magnifier dan stand magnifier.
Hand Magnifier (kaca pembesar yang dipegang) penggunaannya untuk:
a.
b.
c.
d.

Membaca tanda, label, harga buku


Mengenali uang
Mengamati benda seperti tanaman atau serangga
Menulis

Kelebihan:
a.
b.
c.
d.
e.

Mudah dibawa
Tersedia kekuatan rendah sampai tinggi
Murah
Dapat dipakai pada posisi dan sudut apapun
Memungkinkan memantulkan sinar ke tulisan atau benda

Kekurangan:
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
58

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
a.
b.
c.
d.
e.

Sulit untuk menentukan jarak yang sesuai


Memerlukan tangan untuk memegangnya
Sulit dipegang dengan tetap
Sulit untuk menulis
Jarak baca dapat berubah-ubah

Stand Magnifier (kaca pembesar dengan kaki) penggunaannya untuk :


a. Membaca surat kabar atau buku
b. Melihat diagram atau gambar
Kelebihan:
a.
b.
c.
d.
e.

Memiliki jarak yang tetap untuk setiap gerakan


Mudah dipakai
Tersedia dari kekuatan rendah sampai tinggi
Memungkinkan sinar mengenai tulisan jika kaki-kaki kecil dan sempit
Dapat memakai alat bantu lain

Kekurangan:
a.
b.
c.
d.
e.

Memerlukan tangan untuk memegangnya


Tidak terpakai untuk suatu aktifitas, seperti menulis
Tidak kelihatan normal
Harganya mahal
Perlu penyangga buku
Kunci keberhasilan penatalaksanaan pasien low vision adalah instruksi pasien yang

benar. Peresepan lensa tanpa instruksi yang jelas hanya berhasil pada 50% kasus, sedangkan
dengan instruksi angka keberhasilannya meningkat sampai 90%.
Pasien menggunakan alat di bawah pengawasan seorang instruktur terlatih sampai
tercapai kecakapan dan efikasi. Dilakukan pembahasan tentang mekanika alat-alat bantu,
semua pertanyaan pasien dijawab, tujuan pemakaian alat diperjelas dan pasien diberi cukup
waktu dalam keadaan tenang untuk mencoba ketrampilan yang baru mereka peroleh. Hal ini
mungkin berlangsung dalam satu sesi atau lebih karena sebagian pasien memerlukan
percobaan pemakaian alat bantu di rumah atau pekerjaan sebelum mereka yakin.7
Dokter harus terbiasa dengan alat-alat yang tersedia serta keunggulan dan kekurangan
masing-masing alat agar dapat memberi petunjuk yang sesuai bagi instruktur memahami
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
59

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
bagaimana gejala penyakit dan ketajaman penglihatan mempengaruhi indikasi pemakaian
kacamata, lensa kontak, teleskop, lensa intraokular dan alat-alat bantu low vision.

5 Rehabilitasi
5.1 Pelayanan low vision klinis
a. Pelatihan penggunaan alat bantu
b. Oftalmologis, optometris, ahli rehabilitasi
5.2 Pelatihan rehabilitasi
a. Pelatihan kegiatan sehari-hari
b. RTs, RTAs, VRAs
5.3 Pelatihan orientasi dan mobilitas
a. Pelatihan kemandirian
b. O & M
5.4 Konseling
a. Individu atau kelompok
b. Badan psikososial
Low vision specialist/low vision care adalah optometri atau dokter spesialis mata yang
telah berpengalaman untuk melakukan pemeriksaan, terapi dan memanajemeni pasien dengan
kegagalan visus yang tidak selalu memberikan terapi dengan obat-obatan, pembedahan dan
kaca mata/lensa kontak. Mereka ini mempunyai lisensi untuk memeriksa, mendiagnosa, dan
merehabilitasi beragam penyakit yang berhubungan dengan mata.
Tujuan utama dari rehabilitasi ini adalah untuk meminimalisasi handicap yang
disebabkan oleh suatu kelainan. Visual impairment ini diminimalisasi dengan pengobatan
medis yang teratur dan pembedahan pada mata, sedang visual disability direduksi dengan
pemakaian alat bantu dan terapi latihan dan visual induced handicap direduksi dengan
intervensi oleh petugas rehabilitasi profesional
Sejumlah rehabilitasi profesional mengadakan layanan untuk pasien low vision
termasuk terapi okupasi (occupational therapists/OTs), spesialis orientasi dan mobilisasi

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
60

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
(O&M), guru rehabilitasi dan asisten untuk low vision. Dokter spesialis mata selayaknya
mengetahui keberadaan layanan lokal ini untuk memberikan rujukan

DIABETES MELLITUS
Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980
dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi
yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin. 4

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
61

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005,
yaitu :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan
dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam
hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya
normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur
hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat
normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa
tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan
dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI


1998
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
62

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

DM TIPE 1:

DM TIPE LAIN :

DM TIPE 2 :

A
Defisiensi

Defisiensi

insulin absolut

relatif :

Maturity onset diabetes of the young

akibat destuksi

1, defek sekresi

Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain

sel beta,

insulin lebih

2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis

karena:

dominan daripada

Pankreatektomy

1.autoimun

resistensi insulin.

3.Endokrinopati : akromegali, cushing,

2. idiopatik

2. resistensi insulin

hipertiroidisme

lebih dominan

4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme

daripada defek

5.Akibat virus: CMV, Rubella

sekresi insulin.

6.Imunologi: antibodi anti insulin

Prevalensi

insulin

1. Defek genetik fungsi sel beta :

DM
GESTASIONAL

7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes


melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030.
WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah
penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah
penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita
diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di
Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur.2

Patogenesis
Diabetes mellitus tipe 1
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel pankreas
sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun, meskipun rinciannya
masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya adalah: pertama, harus ada kerentanan
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
63

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini
merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga
adalah insulitis, sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T
teraktivasi. Tahap keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing.
Tahap kelima adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap
sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme imun
seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.5
Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin abnormal dan
resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang utama
tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa.
Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar
insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga
meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk
hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi
insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.5

Manifestasi Klinik
Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan mengeluhkan apa
yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi dengan poliuri, juga
keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit 1.
Kriteria diagnostik :
Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu 200 mg/dl. Gula darah sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan
terakhir, atau
Kadar Gula Darah Puasa 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori
tambahan sedikit nya 8 jam, atau
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
64

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan standard WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang

dilarutkan dalam air.8


Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2x.3

Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO 94


Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari

(dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan.
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) , dilarutkan dalam
250 ml air dan diminum dalam 5 menit.
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalamkelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa
darah puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl
GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl

Komplikasi
a.
1.

Penyulit akut
Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia.
Berkurangnya insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
65

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Ko-A bebas akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam
kreb cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di
oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa
akan mengakibatkan end produk berupa benda keton yang bersifat asam. Disamping
itu glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang mempunyai ketogenic
effect menambah beratnya KAD. Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl,
pH <7,35, HCO3 rendah, anion gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului
gejala berupa anorexia, nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas
2.

adalah pernapasan kussmaul dan berbau aseton.


Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg%
tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini
jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena
pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2
dimana kadar insulin darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak

3.

dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia


Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau
GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual,
tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara
gangguan kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitukeringat
dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak
berat, gejala neuroglikopenik : pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau
tanpa kejang.

b.
1.

Penyulit menahun
Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
66

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

Retinopati Diabetik
retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan inkompetens vasa.
Kapiler

membentuk

kantung-kantung

kecil

menonjol

seperti

titik-titik

mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok. Bahayanya


dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar retina darah bagian
dalam pada endotel retina menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen plasma ke
dalam retina dan sekitarnya menyebabkan edema yang membuat gangguan pandang.
Pada retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang
merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum
dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam
korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa terjadi
perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan mendadak. Dianjurkan
penyandang diabetes memeriksakan matanya 3 tahun sekali sebelum timbulnya gejala
dan setiap tahun bila sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah kebutaan.
Faktor utama adalah gula darah yang terkontrol memperlambat progresivitas

kerusakan retina.
Nefropati Diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada
minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat
hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi
nonenzimatik dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan
menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis
nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila
terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
67

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic
kidney disease.

Neuropati diabetik
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi
distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering
dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam
hari. Setelah diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun.

2.

Makroangiopati
Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan terutama
untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi seperti riwayata keluarga PJK atau DM
Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya terjadi

dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala. Terkadang
ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.

2.7

Penatalaksanaan

Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan kualitas hidup
dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol sehingga sama dengan
orang normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari :
1.
Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan
masyarakat.
2.

Terapi gizi medis


Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada prinsipnya melakukan
pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan
modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
68

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
1.
Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a)
Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b)
Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c)
Kadar HbA1c < 7%
2.
Tekanan darah <130/80
3.
Profil lipid :
a)
Kolesterol LDL <100 mg/dl
b)
Kolesterol HDL >40 mg/dl
c)
Trigliserida <150 mg/dl
4.
Berat badan senormal mungkin, BMI 18 24,9
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan
diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,, status kesehatan, aktivitas
fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan,
masa pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan
infeksi berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan
pemberian nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah
status ekonomi, lingkungan

kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang

bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :


Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat 60-70%, Lemak 2025% dan Protein 10-15%.
KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)
Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat lebih ditentukan oleh
jumlahnya dibandingkan jenis karbohidrat itu sendiri.
Total kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari sumber karbohidrat
Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah karbohidrat maksimal 70% dari
total kebutuhan perhari
Jumlah serat 25-50 gram/hari.
Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari.
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
69

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Pemanis yang tidak meningkatkan jumlah kalori sebagai penggantinya adalah pemanis
buatan seperti sakarin, aspartam, acesulfam dan sukralosa. Penggunaannya pun dibatasi
karena dapat meningkatkan resiko kejadian kanker.
Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari
Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
PROTEIN
Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi konsentrasi glukosa darah .
Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0
mg/kg BB/hari .
Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampa 0,85 gr/kg BB/hari
dan tidak kurang dari 40 gr.
Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber protein nabati lebih dianjurkan
dibandingkan protein hewani.
LEMAK
Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari
total kebutuhan kalori perhari.
Jika kadar kolesterol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai
maksimal 7% dari total kalori perhari.
Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL 100 mg/dl, maka
maksimal kolesterol yag dapat dikonsumsi 200 mg perhari.
B. Kebutuhan Kalori
Menetukan kebutuhan kalori basa yang besarnya 25-30 kalori/ kg BB ideal ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan
dan lain-lain.

PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI


Kebutuhan basal :
Laki-laki = berat badan ideal (kg) x 30 kalori
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
70

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Wanita = berat badan ideal (kg) x 25 kalori

Koreksi :
umur

40-59 th

: -5%

60-69

: -10%

>70%

: -20

aktivitas

Istirahat

: +10%

Aktivitas ringan

: +20%

Aktivitas sedang

: +30%

Aktivitas berat

: +50%

berat badan

Kegemukan

: - 20-30%

Kurus

: +20-30%

stress metabolik

: + 10-30%

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20%, makan siang 30% dan
makan malam 25%, serta 2-3 porsi ringan 10-15% diantara porsi besar.
Berdasarkan IMT dihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan
kuadrat (m2).
Kualifikasi status gizi :
BB kurang : < 18,5
BB normal : 18,5 22,9
BB lebih : 23 24,9
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
71

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
3.

Latihan Jasmani
Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena mengurangi resiko
kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes telah terjadi mikroangiopati dan
peningkatan lipid darah akibat pemecahan berlebihan yang membuat vaskular menjadi
lebih rentan akan penimbunan LDL teroksidasi subendotel yang memperburuk
kualitas hidup penderita. Dengan latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa
meningkat dan ini akan menurunkan kadar gula darah.
Aktivitas latihan :

5-10 menit pertama : glikogen akan dipecah menjadi glukosa


10-40 menit berikutnya : kebutuhan otot akan glukosa akan meningkat 7-20x.

Lemak
juga akan mulai dipakai untuk pembakaran sekitar 40%

> 40 menit : makin banyak lemak dipecah 75-90% .


Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyakk pula benda keton yang
terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke keadaan asidosis.
Latihan berat hanya ditujukan pada penderita DM ringan atau terkontrol saja,
sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350 mg/dl sebaiknya olahraga yang
ringan dahulu. Semua latihan yang memenuhi program CRIPE : Continous,
Rhythmical,

Interval,

Progressive,

Endurance.

Continous

maksudnya

berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa berhenti. Rhytmical artinya


latihan yang berirama, yaitu otot berkontraksi dan relaksi secara teratur. Interval,
dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Progresive dilakukan secara
bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringa sampai sedang hingga 30-60 menit.
Endurance, latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiopulmoner
4.

seperti jalan santai, jogging dll.


Intervensi Farmakologis

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
72

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai degan
pengaturan makanan dan latihan jasmani.
1.
obat hipoglikemik oral
a.
insulin secretagogue :
sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat pilihan
utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.
Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia. Contohnya : repaglinid,
nateglinid.
b.
insulin sensitizers
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin endogen
pada target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer
meningkat. Agonis PPAR yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.
c.
glukoneogenesis inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki uptake
glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada
pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan hipoksemia.
d.
Inhibitor absorbsi glukosa
glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus halus
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak
menimbulkan efek hipoglikemi
Hal-hal yang harus diperhatikan :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai respon kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi I dan II 15-30
menit sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid
sesaat/sebelum makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum makan. Penghambat glukosidase
bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion tidak bergantung jadwal makan.
2.
Insulin
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
73

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan
puasa, sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah
makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang
terjadi.
Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid insulin),
kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau insuli campuran
tetap (premixed insulin)
Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia
yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik,
hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dengan dosis yang
hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan
dengan DM/DM Gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan
fungsi hepar atau ginjal yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.
3.

Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk kemudian

diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Untuk kombinasi OHO
dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja
menengah atau kerja lama) yang divberikan pada malam hari atau menjelang tidur. Dengan
pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang
diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
74

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
kadar gula darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin
PENCEGAHAN

Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat
badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan
kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi
penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya

pencegahan primer6.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan
penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak
pertemuan pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian
antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada
penyandang Diabetes.

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut.
Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga
kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai
kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin
sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari
untuk mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
75

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,
rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan
pencegahan tersier.

HIPERTENSI
DEFINISI DAN PENGERTIAN HIPERTENSI
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
76

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Secara umum, pengertian hipertensi adalah tekanan darah yang tinggi. Oleh karena
itu, untuk dapat memahami hipertensi, maka diperlukan pengertian mengenai tekanan darah.
Tekanan darah adalah suatu ukuran dari kekuatan darah yang menekan dinding pembuluh
darah. Tekanan darah yang digunakan sebagai batasan dalam menentukan penyakit
hipertensi adalah tekanan darah arteri. Jadi, hipertensi adalah tingginya tekanan darah yang
dilihat dari kekuatan darah dalam menekan dinding pembuluh darah arteri.
Pencatatan nilai tekanan darah sistol dilakukan terlebih dahulu dan kemudian nilai
tekanan darah diastol. Kedua angka ini dipisahkan oleh sebuah garis miring. Sebagai contoh,
tekanan darah sistol sebesar 120 mmHg dan tekanan darah diastol sebesar 80 mmHg akan
dicatat sebagai 120/80 mmHg.
Oleh karena tidak ada garis batas yang tegas antara tekanan darah yang normal
dengan tekanan darah yang tinggi, definisi hipertensi ditetapkan berdasarkan kesepakatan
yang mempertimbangkan risiko komplikasi penyakit kardiovaskular pada beberapa tingkat
tekanan darah. Tekanan darah sistol/diastol sebesar 120/80 ditetapkan sebagai batas tekanan
darah yang normal. Hal ini didapatkan dengan mempertimbangkan bahwa kenaikan risiko
penyakit kardiovaskular pada orang-orang bertekanan darah di bawah 115/75 mmHg tidak
terlalu signifikan dibandingkan dengan orang-orang bertekanan darah di atas nilai tersebut.
Joint National Committee (JNC) (sebuah komite yang menyediakan panduan
mengenai pencegahan, deteksi, evaluasi dan penanganan hipertensi), dalam laporannya yang
ke-7, membuat sistem klasifikasi hipertensi sebagai berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi pada Orang Dewasa (18 tahun ke atas)

Prehipertensi bukan merupakan kategori penyakit, namun lebih merupakan penanda


yang dipilih untuk mengidentifikasi individu-individu yang berisiko tinggi menjadi
hipertensi.
Penanganan hipertensi berdasarkan klasifikasi yang dibuat JNC VII tidak
mengelompokkan individu-individu berdasarkan ada tidaknya indikasi-indikasi tertentu
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
77

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
(faktor risiko lain atau kerusakan organ target). Pasien-pasien hipertensi yang memiliki
indikasi-indikasi tertentu akan dibahas pada bagian lain dari makalah ini. JNC VII
menyarankan agar semua orang dengan hipertensi (stage 1 dan stage 2) ditangani dengan
pemberian obat. Tujuan pemberian obat pada penderita hipertensi adalah agar tekanan
darahnya <140/90 mmHg. Sedangkan tujuan penanganan pasien yang berada dalam kategori
prehipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga normal dan mencegah kenaikan
tekanan darah yang lebih lanjut dengan cara perubahan pola hidup.
ETIOLOGI, PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Hipertensi dengan penyebab yang tidak diketahui dinamakan hipertensi primer,
esensial atau idiopatik. Hipertensi primer ini merupakan 85% dari kasus hipertensi. Pada
sebagian kecil sisanya, penyebab hipertensinya diketahui. Hipertensi ini dinamakan
hipertensi sekunder.
Berikut akan dijelaskan mengenai etiologi, patogenesis dan patofisiologi dari
hipertensi primer dan sekunder.
Hipertensi Primer
Hipertensi Primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi yang penyebabnya tidak
diketahui secara pasti atau idiopatik. Kesulitan dalam menemukan mekanisme yang
bertanggung jawab atas terjadinya hipertensi primer adalah banyaknya sistem yang terlibat
dalam pengaturan tekanan darah. Sistem saraf adrenergik baik sentral maupun perifer, sistem
pengaturan ginjal, sistem pengaturan hormon dan pembuluh darah adalah sistem-sistem yang
mempengaruhi tekanan darah. Sistem-sistem ini saling mempengaruhi dengan susunan yang
kompleks dan dipengaruhi oleh gen-gen tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem-sistem tersebut erat kaitannya dalam
membicarakan etiologi, patogenesis dan patofisiologi dari hipertensi. Faktor-faktor yang
diketahui memiliki pengaruh antara lain adalah faktor-faktor lingkungan seperti asupan
natrium, obesitas, pekerjaan, asupan alkohol, besar keluarga dan keramaian penduduk.
Faktor-faktor ini telah diasumsikan sebagai faktor yang berperan penting dalam peningkatan
tekanan darah seiring bertambahnya usia setelah membandingkannya antara kelompok
masyarakat yang lebih banyak terpapar dengan yang lebih sedikit terpapar dengan faktorfaktor tersebut.
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
78

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Berdasarkan hal di atas dan penelitian-penelitian di bidang tersebut, maka faktorfaktor seperti usia, ras, jenis kelamin, merokok, asupan alkohol, kolesterol serum, intoleransi
glukosa dan berat badan dapat mempengaruhi prognosis dari hipertensi. Semakin muda
seseorang mengetahui kelainan hipertensinya, semakin besar umur harapan hidup orang
tersebut.

Gambar 1. Alur hipotetis hipertensi primer11


Hipertensi Sekunder
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
79

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Seperti telah disebutkan sebelumnya, hipertensi sekunder merupakan hipertensi
dengan penyebab yang dapat diidentifikasi. Walaupun hipertensi sekunder lebih sedikit,
namun penyakit ini perlu mendapat perhatian lebih oleh karena
(1)

Terapi terhadap penyebab dapat menyembuhkan hipertensi

(2)

Hipertensi sekunder dapat menjadi penghubung dalam memahami etiologi dari

hipertensi primer.
Penyebab-penyebab dari hipertensi sekunder adalah kelainan ginjal, kelainan
endokrin, koartasi aorta dan juga obat-obatan. Penyebab-penyebab tersebut akan dibicarakan
pada bagian berikut.
Kelainan Ginjal
Hipertensi yang diakibatkan oleh kelainan ginjal dapat berasal dari perubahan sekresi
zat-zat vasoaktif yang menghasilkan perubahan tonus dinding pembuluh darah atau berasal
dari kekacauan dalam fungsi pengaturan cairan dan natrium yang mengarah pada
meningkatnya volume cairan intravaskular. Pembagian lebih lanjut dari kelainan ginjal yang
menyebabkan hipertensi adalah kelainan renovaskular dan kelainan parenkim ginjal.
Kelainan renovaskular disebabkan oleh rendahnya perfusi dari jaringan ginjal oleh
karena stenosis yang terjadi pada arteri utama atau cabangnya yang utama. Hal ini
menyebabkan sistem renin-angiotensin teraktivasi. Angiotensin II yang merupakan produk
dari sistem renin-angiotensin, akan secara langsung menyebabkan vasokonstriksi atau secara
tidak langsung melalui aktivasi sistem saraf adrenergik. Selain itu angiotensin II juga akan
merangsang sekresi aldosteron yang mengakibatkan terjadinya retensi natrium.
Aktivasi sistem renin-angiotensin juga merupakan penjelasan dari hipertensi yang
diakibatkan kelainan parenkim ginjal. Perbedaannya adalah penurunan perfusi jaringan ginjal
pada kelainan parenkim ginjal disebabkan oleh peradangan dan proses fibrosis yang
mempengaruhi banyak pembuluh darah kecil di dalam ginjal.
Kelainan Endokrin
Kelainan endokrin dapat menyebabkan hipertensi. Hal ini disebabkan banyak
hormon-hormon yang mempengaruhi tekanan darah. Beberapa kelainan endokrin ini antara
lain adalah :3
1. Hiperaldosteronism primer
2. Cushing syndrome
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
80

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
3. Pheochromocytoma
4. Akromegali
5. Hiperparatiroid
Koartasi Aorta
Hipertensi yang disebabkan oleh koartasi aorta dapat berasal dari
vasokonstriksi pembuluh darah itu sendiri atau perubahan pada perfusi ginjal.
Perubahan perfusi ginjal ini akan menghasilkan bentuk hipertensi renovaskular yang
tidak umum.

KOMPLIKASI DAN MANIFESTASI HIPERTENSI


Penderita hipertensi umumnya meninggal pada usia yang lebih muda dibandingkan
dengan orang yang tidak memiliki hipertensi. Penyebab kematiannya yang paling sering
adalah akibat penyakit jantung, stroke atau gagal ginjal. Hipertensi juga dapat menyebabkan
kebutaan akibat retinopati.
Efek pada Jantung
Peningkatan tekanan darah sistemik menyebabkan jantung harus bekerja lebih
berat untuk mengkompensasinya. Pada awalnya, jantung akan mengalami hipertrofi
ventrikel yang konsentris, yaitu meningkatnya ketebalan dinding otot jantung.
Namun, pada akhirnya, kemampuan ventrikel ini akan semakin menurun, sehingga
ruang ventrikel jantung akan ikut membesar. Pembesaran jantung ini lama-kelamaan
akan mengakibatkan gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung mulai tampak.
Angina pektoris juga dapat terjadi pada penderita hipertensi yang disebabkan
oleh karena kombinasi dari kelainan pembuluh darah koroner dan peningkatan
kebutuhan oksigen sebagai akibat dari peningkatan massa jantung. Iskemia dan infark
miokard akan terjadi pada tahap lanjut dari perjalanan penyakit yang dapat
mengakibatkan kematian.
Efek Neurologis
Efek neurologis jangka panjang dari hipertensi dapat dibagi menjadi efek pada
sistem saraf pusat dan efek pada retina. Oklusi atau perdarahan merupakan penyebab
dari timbulnya efek-efek neurologis ini. Infark serebral merupakan akibat dari proses
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
81

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
aterosklerosis (oklusi) yang sering ditemukan pada pasien hipertensi. Sedangkan
perdarahan serebral adalah hasil dari peningkatan tekanan darah yang kronis sehingga
mengakibatkan terjadinya mikroaneurisma. Mikroaneurisma ini sewaktu-waktu dapat
pecah dan menimbulkan perdarahan.
Efek pada Ginjal
Aterosklerosis yang terjadi pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler
glomerulus merupakan penyebab yang paling umum dari kelainan ginjal oleh karena
hipertensi. Akibatnya adalah terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan juga
disfungsi dari tubulus ginjal. Proteinuria dan hematuria mikroskopis terjadi oleh
karena kerusakan glomerulus. Kematian oleh karena hipertensi, 10% di antaranya
diakibatkan oleh gagal ginjal.
PENANGANAN HIPERTENSI
Perbaikan Pola Hidup
Terapi nonfarmakologis dengan modifikasi gaya hidup terdiri dari :
1. Menghentikan merokok
2. Menurunkan berat badan berlebih
3. Menurunkan konsumsi lkohol berlebih
4. Latihan fisik
5. Menurunkan asupan garam
6. Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.
Penerapan pola hidup sehat oleh semua orang merupakan hal yang penting
untuk pencegahan hipertensi dan merupakan bagian yang tidak boleh dilupakan dalam
penanganan penderita hipertensi. Penurunan berat badan sebesar 4,5 kg saja sudah
dapat mengurangi tekanan darah, walaupun yang diutamakan adalah pencapaian berat
badan yang ideal. Tekanan darah juga dapat dikendalikan dengan penerapan pola
makan yang dibuat oleh DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension). Pola
makan yang baik menurut DASH adalah diet kaya akan buah-buahan, sayur-sayuran
dan produk susu yang rendah lemak(lowfat). Asupan natrium juga harus dibatasi agar
tidak lebih dari 100 mmol per hari (2,4 gr natrium). Semua orang yang mampu
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
82

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
sebaiknya melakukan aktivitas fisik aerobik yang teratur seperti jalan cepat sekurangkurangnya 30 menit setiap hari. Asupan alkohol harus dibatasi agar tidak lebih dari 1
ons (30mL) etanol per hari untuk pria. Sedangkan untuk wanita dan orang yang berat
badannya ringan, dibatasi agar tidak lebih dari 0,5 ons (15ml) etanol per hari.5
Terapi Farmakologis
Ada berbagai macam obat antihipertensi yang tersedia. Tabel 2 memuat daftar
obat-obat yang biasanya digunakan sebagai obat antihipertensi. Dosis dan frekuensi
pemberiannya juga tertera.
Lebih dari 2/3 penderita hipertensi tidak dapat dikendalikan dengan hanya satu
obat saja dan membutuhkan dua atau lebih kombinasi obat antihipertensi dari kelas
yang berbeda. Diuretik merupakan obat yang direkomendasikan sebagai obat yang
pertama kali diberikan, jika penderita hipertensi memerlukan terapi farmakologis,
kecuali jika terdapat efek samping.
Semua obat antihipertensi bekerja pada salah satu atau lebih tempat
pengaturan tekanan darah berikut:
1. Resistensi arteriol
2. Kapasitansi venule
3. Pompa jantung
4. Volume darah
Obat-obat antihipertensi tersebut juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
tempat kerja utamanya, antara lain:
1. Diuretik yang menurunkan tekanan darah dengan mengurangi kandungan natrium
tubuh dan volume darah
a. Thiazide diuretic
b. Loop diuretic
c. Potassium sparing diuretic
2. Agen-agen simpatoplegia yang menurunkan tekanan darah dengan mengurangi
resistensi pembuluh darah perifer, menghambat kerja jantung dan meningkatkan
kapasitansi darah dengan memvasodilatasi vena
a. Beta-blocker
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
83

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
b. Alpha-1 blocker
c. Central alpha-2 agonist
3. Vasodilator direk yang menurunkan tekanan darah dengan merelaksasi otot polos
pembuluh darah, sehingga menurunkan resistensi dan meningkatkan kapasitansi
pembuluh darah.
a. Calcium channel blocker
b. Hydralazine
c. Minoxidil
4. Agen yang menghambat produksi atau kerja dari angiotensin sehingga
menurunkan resistensi pembuluh darah perifer dan juga volume darah.
a. Angiotensin Converting Enzyme inhibitor
b. Angiotensin II antagonist
c. Aldosterone receptor blocker
Kenyataan bahwa obat-obat dari golongan yang berbeda ini bekerja dengan
mekanisme yang berbeda pula, membuat kombinasi obat-obat yang berbeda golongan
tersebut dapat meningkatkan efektifitas dan juga dalam beberapa kasus menurunkan

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
84

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
toksisitas

dari

terapi

farmakologis.

Algoritma Penanganan Hipertensi

Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah :
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
85

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
1. CCB dan ACEI atau ARB
2. CCB dan BB
3. CCB dan diuretika
4. AB dan BB
Penanganan Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi terdiri dari hipertensi emergensi (emergency hypertension)
dan hipertensi urgensi (urgency hypertension). Hipertensi emergensi dikarakterisasi
oleh peningkatan tekanan darah yang hebat (>180/120mmHg) yang disertai dengan
keadaan-keadaan disfungsi organ target atau keadaan-keadaan yang mengarah pada
disfungsi organ target. Hipertensi ini memerlukan penurunan tekanan darah yang
segera (tidak perlu menjadi normal) untuk mencegah atau mengurangi kerusakan
organ target. Contohnya adalah ensefalopati hipertensi, perdarahan intraserebral,
infark miokard akut, gagal jantung kiri akut dengan edema pulmonal, unstable angina
pectoris, diseksi aneurisma aorta, dan eklamsi.
Hipertensi urgensi adalah keadaan-keadaan dengan peningkatan tekanan darah
yang hebat (>180/120mmHg) tanpa disertai keadaan-keadaan disfungsi organ target
atau keadaan-keadaan yang mengarah pada disfungsi organ target. Hipertensi urgensi
biasanya ditandai dengan sakit kepala yang hebat, nafas pendek, epitaksis, atau
kecemasan yang berlebih.
Pasien-pasien dengan hipertensi emergensi harus dirawat di ICU (intensive
care unit) untuk pemantauan dan pemberian obat-obatan antihipertensi parenteral.
Target terapi awal adalah menurunkan tekanan darah arteri rata-rata, tetapi tidak lebih
dari 25% dalam 1 menit sampai 1 jam. Kemudian, jika tekanan darahnya stabil, target
terapi adalah menurunkan tekanan darahnya sampai 160/100-110 mmHg dalam 2-6
jam berikutnya. Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba harus dihindarkan untuk
mencegah terjadinya iskemia renal, serebral dan koronaria. Untuk alasan ini, nifedipin
kerja singkat tidak lagi digunakan pada terapi hipertensi emergensi.
Jika target tersebut telah tercapai dan keadaan pasien telah stabil, penurunan
tekanan darah berikutnya dapat dilakukan dalam 24-48 jam kemudian. Terdapat
beberapa pengecualian dari penanganan di atas, yaitu:

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
86

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

pasien dengan stroke iskemik yang mana pemberian terapi antihipertensi


secara segera masih menimbulkan perdebatan.

pasien dengan diseksi aorta yang harus menurunkan tekanan darah


sistolnya di bawah 100 mmHg jika memungkinkan.

pasien yang menerima agen-agen trombolitik.

Tabel 3. Obat-obatan parenteral yang digunakan dalam penanganan hipertensi emergensi.

Evaluasi dan Pemantauan

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
87

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Setelah terapi farmakologis untuk hipertensi dimulai, penderita hipertensi
harus kontrol secara teratur untuk memantau perkembangannya setidaknya sebulan
sekali sampai tekanan darahnya normal. Kunjungan yang lebih sering diperlukan pada
penderita hipertensi derajat 2 (stage II) atau jika mempunyai komplikasi. Kadar
kalium dan kreatinin serum harus dimonitor setidaknya satu atau dua kali setahun.
Setelah tekanan darah mencapai target dan stabil, kunjungan dapat dilakukan
dengan interval tiga bulan sekali atau enam bulan sekali. Jika ada penyakit lain seperti
gagal jantung dan diabetes, kunjungan harus lebih sering dilakukan.
Tabel 4. Rekomendasi pemantauan ulang berdasarkan pemeriksaan tekanan darah awal untuk
pasien tanpa kerusakan organ target.

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
88

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032

Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi kronik yang mengenai daerah kepala dan
badan di mana terdapat glandula sebasea1. Prevalensi dermatitis seboroik sebanyak 1% - 5%
populasi2. Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita1. Penyakit ini dapat mengenai
bayi sampai dengan orang dewasa. Umumnya pada bayi terjadi pada usia 3 bulan sedangkan
pada dewasa pada usia 30-60 tahun.
Dermatitis seboroik dan Pityriasis capitis (cradle cap) sering terjadi pada masa kanak-kanak.
Berdasarkan hasil suatu survey terhadap 1116 anak-anak yang mencakup semua umur
didapatkan prevalensi dermatitis seboroik adalah 10% pada anak laki-laki dan 9,5% pada
anak perempuan. Prevalensi tertinggi pada anak usia tiga bulan, semakin bertambah umur
anaknya prevalensinya semakin berkurang. Sebagian besar anak-anak ini menderita
dermatitis seboroik ringan.
Secara internasional frekuensinya sebanyak 3-5%. Ketombe yang merupakan bentuk ringan
dari dermatitis ini lebih umum dan mengenai 15 - 20% populasi.
A. Definisi
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah tubuh
berambut, terutama pada kulit kepala, alis mata dan muka, kronik dan superfisial5, didasari
oleh faktor konstitusi.
B. Etiologi
Etiologi dermatitis seboroik masih belum jelas, meskipun demikian berbagai macam faktor
seperti faktor hormonal1, infeksi jamur, kekurangan nutrisi, faktor neurogenik diduga
berhubungan dengan kondisi ini3. Menurut Djuanda (1999) faktor predisposisinya adalah
kelainan konstitusi berupa status seboroik.
Keterlibatan faktor hormonal dapat menjelaskan kenapa kondisi ini dapat mengenai bayi,
menghilang secara spontan dan kemudian muncul kembali setelah pubertas3. Pada bayi
dijumpai kadar hormon transplansenta meninggi beberapa bulan setelah lahir dan
penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini menurun.
Faktor lain yang berperan adalah terjadinya dermatitis seboroik berkaitan dengan proliferasi
spesies Malassezia yang ditemukan di kulit sebagai flora normal3. Ragi genus ini dominan
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
89

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
dan ditemukan pada daerah seboroik tubuh yang mengandung banyak lipid sebasea (misalnya
kepala, tubuh, punggung). Selden (2005) menyatakan bahwa Malassezia tidak menyebabkan
dermatitis seboroik tetapi merupakan suatu kofaktor yang berkaitan dengan depresi sel T,
meningkatkan kadar sebum dan aktivasi komplemen.
Dermatitis seboroik juga dicurigai berhubungan dengan kekurangan nutrisi tetapi belum ada
yang menyatakan alasan kenapa hal ini bias terjadi.
Pada penderita gangguan sistem syaraf pusat (Parkinson, cranial nerve palsies, major truncal
paralyses) juga cenderung berkembang dermatitis seboroik luas dan sukar disembuhkan.
Menurut Johnson (2000) terjadinya dermatitis seboroik pada penderita tersebut sebagai akibat
peningkatan timbunan sebum yang disebabkan kurang pergerakan. Peningkatan sebum dapat
menjadi tempat berkembangnya P. ovale sehingga menginduksi dermatitis seboroik.
Faktor genetik dan lingkungan dapat merupakan predisposisi pada populasi tertentu, seperti
penyakit komorbid, untuk berkembangnya dermatitis seboroik. Meskipun dermatitis seboroik
hanya terdapat pada 3% populasi, tetapi insidensi pada penderita AIDS dapat mencapai 85%.
Mekanisme pasti infeksi virus AIDS memacu onset dermatitis seboroik (ataupun penyakit
inflamasi kronik pada kulit lainnya) belum diketahui.
Berbagai macam pengobatan dapat menginduksi dermatitis seborok. Obat-obat tersebut
adalah auranofin, aurothioglucose, buspirone, chlorpromazine, cimetidin, ethionamide,
griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, lithium, methoxsalen, methyldopa, phenothiazines,
psoralens, stanozolol, thiothixene, and trioxsalen.
C. Klasifikasi dan Manifestasi Klinik
Dermatitis seboroik umumnya berpengaruh pada daerah kulit yang mengandung kelenjar
sebasea dalam frekuensi tinggi dan aktif. Distribusinya simetris dan biasanya melibatkan
daerah berambut pada kepala meliputi kulit kepala, alis mata, kumis dan jenggot. Adapun
lokasi lainnya bisa terdapat pada dahi, lipatan nasolabial, kanalis auditoris external dan
daerah belakang telinga. Sedangkan pada tubuh dermatitis seboroik dapat mengenai daerah
presternal dan lipatan-lipatan kulit seperti aksila, pusar, inguinal, infra mamae, dan
anogenital.
Menurut usia dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pada remaja dan dewasa
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
90

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Dermatitis seboroik pada remaja dan dewasa dimulai sebagai skuama berminyak ringan pada
kulit kepala dengan eritema dan skuama pada lipatan nasolabial atau pada belakang telinga.
Skuama muncul pada kulit yang berminyak di daerah dengan peningkatan kelenjar sebasea
(misalnya aurikula, jenggot, alis mata, tubuh (lipatan dan daerah infra mamae), kadangkadang bagian sentral wajah dapat terlibat. Dua tipe dermatitis seboroik dapat ditemukan di
dada yaitu tipe petaloid (lebih umum ) dan tipe pityriasiform (jarang). Bentuknya awalnya
kecil, papul-papul follikular dan perifollikular coklat kemerah-merahan dengan skuama
berminyak. Papul tersebut menjadi patch yang menyerupai bentuk daun bunga atau seperti
medali (medallion seborrheic dermatitis). Tipe pityriasiform umumnya berbentuk makula dan
patch yang menyerupai pityriasis rosea. Patch-patch tersebut jarang menjadi erupsi.
Pada masa remaja dan dewasa manifestasi kliniknya biasanya sebagai scalp scaling
(ketombe) atau eritema ringan pada lipatan nasolabial pada saat stres atau kekurangan tidur.
2. Pada bayi
Pada bayi, dermatitis seboroik dengan skuama yang tebal, berminyak pada verteks kulit
kepala (cradle cap). Kondisi ini tidak menyebabkan gatal pada bayi sebagaimana pada anakanak atau dewasa. Pada umumnya tidak terdapat dermatitis akut (dengan dicirikan oleh
oozing dan weeping). Skuama dapat bervariasi warnanya, putih atau kuning. Gejala klinik
pada bayi dan berkembang pada minggu ke tiga atau ke empat setelah kelahiran. Dermatitis
dapat menjadi general. Lipatan-lipatan dapat sering terlibat disertai dengan eksudat seperti
keju yang bermanifestasi sebagai diaper dermatitis yang dapat menjadi general. Dermatitis
seboroik general pada bayi dan anak-anak tidak umum terjadi, dan biasanya berhubungan
dengan defisiensi sistem imun. Anak dengan defisiensi sistem imun yang menderita
dermatitis seboroik general sering disertai dengan diare dan failure to thrive (Leiners disese).
Sehingga apabila bayi menunjukkan gejala tersebut harus dievaluasi sistem imunnya.
Menurut daerah lesinya, dermatitis seboroik dibagi tiga:
1.Seboroik kepala
Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dengan warna kekuning-kuningan
sehingga rambut saling melengket; kadang-kadang dijumpai krusta yang disebut Pitriasis
Oleosa (Pityriasis steatoides). Kadang-kadang skuamanya kering dan berlapis-lapis dan
sering lepas sendiri disebut Pitiriasis sika (ketombe)5. Pasien mengeluhkan gatal di kulit
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
91

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
kepala disertai dengan ketombe. Pasien berpikir bahwa gejala-gejala itu timbul dari kulit
kepala yang kering kemudian pasien menurunkan frekuensi pemakaian shampo, sehingga
menyebabkan akumulasi lebih lanjut. Inflamasi akhirnya terjadi dan kemudian gejala makin
memburuk.
Bisa pula jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok, sehingga terjadi alopesia dan rasa
gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telinga. Bila meluas, lesinya dapat sampai ke dahi,
disebut Korona seboroik. Dermatitis seboroik yang terjadi pada kepala bayi disebut Cradle
cap.
Selain kulit kepala terasa gatal, pasien dapat mengeluhkan juga sensasi terbakar pada wajah
yang terkena. Dermatitis seboroik bisa menjadi nyata pada orang dengan kumis atau jenggot,
dan menghilang ketika kumis dan jenggotnya dihilangkan. Jika dibiarkan tidak diterapi akan
menjadi tebal, kuning dan berminyak, kadang-kadang dapat terjadi infeksi bakterial.

2.Seboroik muka
Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabialis, dagu, dan lain-lain terdapat makula eritem,
yang diatasnya dijumpai skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Bila sampai
palpebra, bisa terjadi blefaritis. Sering dijumpai pada wanita. Bisa didapati di daerah
berambut, seperti dagu dan di atas bibir, dapat terjadi folikulitis. Hal ini sering dijumpai pada
laki-laki yang sering mencukur janggut dan kumisnya. Seboroik muka di daerah jenggot
disebut sikosis barbe.
3.Seboroik badan dan sela-sela
Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, inframama, umbilicus, krural
(lipatan paha, perineum). Dijumpai ruam berbentuk makula eritema yang pada permukaannya
ada skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Pada daerah badan, lesinya bisa
berbentuk seperti lingkaran dengan penyembuhan sentral. Di daerah intertrigo, kadangkadang bisa timbul fisura sehingga menyebabkan infeksi sekunder.
D. Diagnosis
1. Anamnesis

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
92

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Bentuk yang banyak dikenal dan dikeluhkan pasien adalah ketombe/ dandruft. Walaupun
demikian, masih terdapat kontroversi para ahli. Sebagian mengganggap dandruft adalah
bentuk dermatitis seboroik ringan tetapi sebagian berpendapat lain.
2. Pemeriksaan fisik
Secara klinis kelainan ditandai dengan eritema dan skuama yang berbatas relatif tegas.
Skuama dapat kering, halus berwarna putih sampai berminyak kekuningan, umumnya tidak
disertai rasa gatal.
Kulit kepala tampak skuama patch ringan sampai dengan menyebar, tebal, krusta keras.
Bentuk plak jarang. Dari kulit kepala dermatitis seboroik dapat menyebar ke kulit dahi,
belakang leher dan belakang telinga.
Distribusi mengikuti daerah berambut pada kulit dan kepala seperti kulit kepala, dahi, alis
lipatan nasolabial, jenggot dan belakang telinga. Perluasan ke daerah submental dapat terjadi.
3. Histologis
Pemeriksaan histologis pada dermatitis seboroik tidak spesifik. Dapat ditemukan
hiperkeratosis, akantosis, spongiosis fokal dan paraketatosis.
Biopsi kulit dapat efektif membedakan dermatitis seboroik dengan penyakit sejenis. Pada
dermatitis seboroik terdapat neutrofil dalam skuama krusta pada sisi ostia follicular. AIDS
berkaitan dengan dermatitis seboroik tampak sebagai parakeratosis, nekrotik keratinosites
dalam epidermis dan sel plasma dalam dermis. Ragi kadang tampak dalam keratinosites
dengan pengecatan khusus.
E. Diagnosis Banding
1. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik pada dewasa tampak pada fossa antecutabital dan poplitae.
Bayi dapat menderita dermatitis atopi predileksi terutama pada bagian tubuh tertentu
(misalnya kulit kepala, wajah, daerah sekitar popok, permukaan otot ekstensor) menyerupai
dermatitis seboroik. Akan tetapi dermatitis seboroik pada bayi memiliki ciri-ciri axillary
patches, kurang oozing dan weeping dan kurang gatal. Membedakannnya berdasarkan gejala
klinis karena kenaikan kadar immunoglobulin E pada dermatitis atopik tidak spesifik.
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
93

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
2. Kandidiasis
Pada pemeriksaan histologis kandidiasis menghasilkan pseudohipa.
3. Langenhan cell histiocytosis
Bayi jarang menderita Langenhan cell histiocytosis. Langenhan cell histiocytosis cirinya
seborrheic dermatitis-like eruptions pada kulit kepala disertai demam.
4. Psoriasis
Pada psoriasis dijumpai skuama yang lebih tebal, kasar, berlapis-lapis, putih seperti mutiara
dan tak berminyak. Selain itu ada gejala yang khusus untuk psoriasis. Tanda lain dari psoriasi
seperti pitting nail atau onycholysis distal dapat untuk membantu membedakan.
5. Pitiriasis rosasea
Pitiriaris rosasea dapat terjadi eritem pada wajah menyerupai dermatitis seboroik. Meskipun
rosasea cenderung melibatkan daerah sentral wajah tetapi dapat juga hanya pada dahi. Pada
pitiriasis rosea, skuamanya halus dan tak berminyak. Sumbu panjang lesi sejajar dengan garis
kulit.
6. Tinea
Pada tinea kapitis, dijumpai alopesia, kadang-kadang dijumpai kerion. Pada tinia kapitis dan
tine kruris eritem lebih menonjuo di pinggir dan pinggirnya lebih aktif dibandingkan
tengahnya (Hrahap, 2000). Tinea capitis, facei dan korporis dapat ditemukan hipa pada
pemeriksaan sitologik dengan potassium hydroksida.
F. Penatalaksanaan
Terapi yang efektif untuk dermatitis seboroik yaitu obat anti inflamasi (immunomodulatory),
keratolitik, anti jamur dan pengobatan alternatif.
1.Obat anti inflamasi (immunomodulatory)
Terapi konvensional untuk dermatitis seboroik dewasa pada kulit kepala dengan steroid
topikal atau inhibitor calcineuron. Terapi tersebut pemberiannya dapat berupa shampo seperti
fluocinolon (Synalar), solusio steroid topikal, losio yang dioleskan pada kulit kepala atau
krim pada kulit.

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
94

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal yang
pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan pesat. Efek utama penggunaan
kortikosteroid secara topikal pada epidermis dan dermis ialah efek vasokonstriksi, efek anti
inflamasi, dan efek antimitosis. Adanya efek vasokonstriksi akan mengakibatkan
berkurangnya eritema. Adanya efek anti inflamasi yang terutama terhadap leukosit akan
efektif terhadap berbagai dermatoses yang didasari oleh proses inflamasi seperti dermatitis.
Sedangkan adanya efek antimitosis terjadi karena kortikosteroid bersifat menghambat sintesis
DNA berbagai jenis sel.
Terapi dermatitis seboroik pada dewasa umumnya menggunakan steroid topikal satu atau dua
kali sehari, sering diberikan sebagai tambahan ke shampo. Steroid topikal potensi rendah
efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada bayi terletak di daerah lipatan atau dewasa pada
persisten recalcitrant seborrheic dermatitis. Topikal azole dapat dikombinasikan dengan
regimen desonide (dosis tunggal perhari selama dua minggu)3. Akan tetapi penggunaan
kortikosteroid topikal ini memiliki efek samping pada kulit dimana dapat terjadi atrofi,
teleangiectasi dan dermatitis perioral.
Topikal inhibitor calcineurin (misalnya oinment tacrolimus (Protopix), krim pimecrolimus
(Elidel)) memiliki efek fungisidal dan anti inflamasi tanpa resiko atropi kutaneus. Inhibittor
calcineurin juga baik untuk terapi dimana wajah dan telinga terlibat, tetapi efeknya baru bisa
dilihat setelah pemberian tiap hari selama seminggu.
2.Keratolitik
Terapi lain untuk dermatitis seboroik dengan menggunakan keratolitik. Keratolitik yang
secara luas dipakai untuk dermatitis seboroik adalah tar, asam salisiklik dan shampo zinc
pyrithion. Zinc pyrithion memliki efek keratolitik non spesifik dan anti fungi, dapat diberikan
dua atau tiga kali per minggu. Pasien sebaiknya membiarkan rambutnya dengan shampo
tersebut selama lima menit agar shampo mencapai kulit kepala. Pasien dapat
menggunakannya juga untuk tempat lain yang terkena seperti wajah.
3.Anti fungi
Sebagian besar anti jamur menyerang Malassezia yang berkaitan dengan dermatitis seboroik.
Dosis satu kali sehari gel ketokonazol (Nizoral) dalam dua minggu, satu kali sehari regimen
desonide (Desowan) dapat berguna untuk dermatitis seboroik pada wajah. Shampo yang
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
95

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
mengandung selenium sulfide (Selsun) atau azole dapat dipakai. Shampo tersebut dapat
diberikan dua sampai tiga kali seminggu. Ketokonazole (krim atau gel foaming) dan terbinfin
(Lamisil) oral dapat berguna. Anti jamur topikal lainnya seperti ciclopirox (Loprox) dan
flukonazole (Diflucan) mempunyai efek anti inflamasi juga.
Anti jamur (selenium sulfide, pytrithion zinc, azola, sodium sulfasetamid dan topical
terbinafin) dapat menurunkan kolonisasi oleh ragi lipopilik.
4.Pengobatan Alternatif
Terapi alami menjadi semakin popular. Tea tree oil (Melaleuca oil) merupakan minyak
essensial dari seak belukar Australia. Terapi ini efektif dan ditoleransi dengan baik jika
digunakan setiap hari sebagai shampo 5%3.
1.Penatalaksanaan dermatitis seboroik pada kulit kepala dan daerah jenggot
Banyak kasus dermatitis seboroik di kulit kepala dapat diterapi secara efektif dengan
memakai shampo tiap hari atau berselang satu hari dengan shampo anti ketombe yang
mengandung 2,5 persen selenium sulfide atau 1-2 persen pyrithione zinc. Alternatif lain
shampo ketoconazole dapat dipakai. Shampo sebaiknya mengenai kulit kepala dan daerah
jenggot selama 5 sampai 10 menit sebelum dibilas. Shampo moisturizing dapat dipakai
setelah itu untuk mencegah kerontokan rambut. Setelah penyakit dapat dikendalikan
frekuensi memakan shampo dapat dikurangi menjadi dua kali seminggu atau seperlunya.
Solusio topical terbinafin 1 % efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala.
Jika kulit kepala tertutupi oleh skuama difus dan tebal, skuama dapat dihilangkan dengan
memberikan minyak mineral hangat atau minyak zaitun pada kulit kepala dan dibersihkan
dengan deterjen seperti dishwashing liquid atau shampoo tar beberapa jam setelahnya.
Skuama ekstensif dengan peradangan dapat diterapi dengan moistening kulit kepala dan
kemudian memberikan fluocinolone asetonid 0,01% dalam minyak pada malam hari diikuti
dengan shampo pada pagi harinya. Terapi ini dilakukan sampai dengan peradangan bersih,
kemudian frekuensinya diturunkan menjadi satu sampai tiga kali seminggu. Solusio
kortikostreroid, losion atau ointment dipakai satu atau dua kali sehari di tempat fluocinolon
acetonid dan dihentikan pada saat gatal dan eritema hilang. Pemberian kortikosteroid dapat
diulang satu sampai tiga minggu sampai gatal dan eritemanya hilang dan kemudian dipakai
lagi jika diperlukan. Pemeliharaan dengan shampo anti ketombe dapat secara adekuat. Pasien
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
96

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
dianjurkan agar memakai steroid topikal poten dengan hemat sebab pemakaian yang
berlebihan dapat menyebabkan atrofi dan telangiectasi pada kulit.
Bayi sering terkena dermatitis seboroik, disebut cradle cap. Dapat mengenai kulit kepala,
wajah dan intertrigo. Daerah yang terkena dapat luas tetapi kelainan ini dapat sembuh secara
spontan 6-12 bulan dan tidak kambuh sampai dengan pubertas. Terapinya dapat dengan
memakai shampo antiketombe. Jika skuama mencakup daerah luas pada kepala, skuama
dapat dilembutkan dengan minyak yang disikan ke sikat rambut bayi kemudian dibilas.
2.Penatalaksanaan pada wajah
Daerah pada wajah yang terkena dapat sering di cuci dengan shampo yang efektif untuk
seborik. Alternatif lain dapat dipakai kream ketokonazone 2%, diberikan 1-2 kali.
Hidrokortison 1% sering kali diberikan 1-2 kali dan akan menghasilkan proses resolusi
eritema dan gatal. Losion Sodium sulfacetamide 10% juga efektif sebagai agen topikal untuk
dermatitis seboroik.
3.Penatalaksaan pada tubuh
Dapat diterapi dengan zinc atau shampo yang mengandung tar batu bara atau dengan dicuci
dengan sabun yang mengandung zinc. Sebagai tambahan dapat dipakai krim ketokonazole 2
% dan atau krim kortikosteroid, losion atau solusion yang dipakai 1-2 kali sehari. Benzoil
peroksida dapat dipakai untuk dermatitis seboroik pada tubuh. Pasien harus membilas secara
menyeluruh setelah pemakaian zat tersebut.
4.Penatalaksanaan dermatitis seboroik berat
Pada pasien dengan dermatitis seboroik berat yang tidak responsif dengan terapi topikal yang
biasa dapat di terapi dengan isotretionoin. Isotretinoin dapat menginduksi pengecilan
glandula sebasea sampai dengan 90% dengan mengurangi produksi sebum. Isotretinoin juga
dapat dipakai sebagai anti inflamasi. Terapi dengan isotretinoin 0,1 0,3 mg/ kg BB/ hari
dapat memperbaiki dermatitis seboroiknya. Kemudian dosis pemeliharaan 5-10 mg/ hari
efektif untuk beberapa tahun. Akan tetapi isotretinoin memiliki efek samping serius, yaitu
teratogenik, hiperlipidemia, neutropenia, anemia dan hepatitis. Efek samping mukokutaneus
mencakup khelitis, xerosis, konjungtivitis, uretritis dan kehilangan rambut. Penggunaan
jangka panjang berhubungan dengan perkembangan diffuse idiopathic skeletal hyperostosis
(DISH).
Kepaniteraan Klinik Geriatri
STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
97

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
Pendekatan lain pada pasien yang sulit dengan mencoba berbagai macam kombinasi yang
berbeda dari obat-obat yang biasa dipakai: shampo anti ketombe, anti jamur dan steroid
topikal. Jika ini gagal dapat dipakai steroid topikal poten jangka pendek . Pilihan terapinya
mencakup steroid kelas III non fluorinate seperti mometasone furoate (Elocon) atau
menggunakan steroid ekstra poten kelas I atau steroid topikal kelas II seperti clobetasol
propionate (Temovate) atau fluocinonude (Lidex). Steroid topikal kelas III harus dipakai
lebih dulu, tetapi jika masih tidak resposif dapat menggunakan kelas I. Obat tersebut dapat
diberikan satu sampai dua kali sehari, bahkan untuk wajah, tetapi harus dihentikan setelah
dua minggu sebab terjadinya peningkatan efek samping. Jika pasien respon sebelum dua
minggu, obat harus di stop sesegera mungkin.
Sebagian besar kortikosteroid tersedia sebagai solusio, losion, kream dan ointment.
Penggunaan vehikulum ini tergantung pasien dan lokasi terapi. Losion dan kream sering
digunakan pada wajah dan tubuh sedangkan solusio dan ounment sering digunakan pada kulit
kepala. Umumnya pemakaian solusio kulit kepala lebih dipilih pada orang kulit putih dan
asia, untuk orang kulit hitam mungkin terlalu kering, ointment merupakan pilihan yang lebih
baik

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2001.
Jakarta : 2002.
2. Fisher NDL, Williams GH. Hypertensive vascular disease. In : Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et all, editors. Harrisons principle of internal
medicine. 16th edition. New York : McGraw Hill; 2005. p. 1463-80.
3. U.S. Department of Health and Human Services. The Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure. National Institute of Health : 2004.

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
98

UJIAN KASUS GERIATRI


Caryn Miranda- 406138032
4. Bickley LS. Bates Guide to physical examination and history taking. 8 th edition.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2003.p.75-80.
5. Beevers G, Lip GYH, OBrien E. ABC of hypertension : Blood pressure
measurement. BMJ. 2001;322:1043-7.
6. Lane DA, Lip GYH. Ethnic differences in hypertension and blood pressure control in
th UK. Q J Med. 2001; 94:391-6.
7. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu
penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
8. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan
strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI,
2006; 1906.
9. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
10. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
11. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.
2006
12. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan
Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu
Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920
13. Faye EE. Low Vision. Duanes Clinical Ophthamology, Volume 1, Chapter 46, 2004,
p.1-46
14. American Academy Of Ophthamology. Vision Rehabilitattion. Clinical Optics,
Secsion 3, Chapter 8, 2008-2009, p.243-267
15. Faye EE. Penglihatan Kurang. Oftalmologi Umum. Edisi 14, Bab 22, p.415-423
16. Flecther DC. Low Vision rehabilitation. Ophthamology Monographs, American
Academy of Ophthamology, 1999, p.1-133
17. Kageyama JY, Chun MW. Video-Based Low Vision Devicecs. Duanes Clinical
Ophthamology, Volume 1, Chapter 46A, 2004, p.1-8
18. American Academy of Ophthamology. Optics of Human Eye. Clinical Optics, Section
3, Chapter 3, 2008-2009, p.105-115
19. Chang DF. Pemeriksaan Oftalmologik. Oftalmologi Umum. Edisi 14, Bab 2, p.52

Kepaniteraan Klinik Geriatri


STW Ria Pembangunan Cibubur
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
99

Anda mungkin juga menyukai