Anda di halaman 1dari 3

ASAL MULA GUNUNG LOMPO BATTANG

Erang, bocah lelaki berumur 7 tahun, seperti dipaku pada tempatnya berdiri.
Rambut halus ditengkuknya meremang. Keringatnya mengucur deras. Tepat didepan matanya.
Peristiwa mengerikan terjadi kurang dari selompatan kaki orang dewasa dari tempatnya berdiri. Sosok
raksasa setinggi seratus langkah mendengus lencang. Nafas yang keluar dari hidungnya
menggoyangkan semak belukar dimana Erang bersembunyi. Mulut raksasa itu mengecap-ngecap. Ia
baru saja menelan ibu bapak Erang sekaligus.
Purnama hari keempat belas. Dibelahan dunia yang lain sedang bersuka cita memandang keindahan
bulan. Tapi disini, disebuah desa tempat keluarga Erang bermukim, purnama sepuluh tahun sekali
adalah pertanda malapetaka. Raksasa kejam yang berdiam dihutan menjadikannya jadwal berburu
manusia di desa Erang.
Erang tak kuasa menahan tangis. Kesedihannya tak tertanggungkan lagi. Ibu bapaknya, belahan
jiwanya, telah pergi meninggalkan dirinya. Erang memandang pilu kearah rumahnya. Kondisinya
memprihatinkan. Rumah itu telah rubuh diporak-porandakan kaki raksasa. Nasib yang sama juga
dialami oleh rumah-rumah penduduk seisi desa.
Dibawah cahaya bulan Erang berdiri tegak. Diusapnya sisa air mata yang membasahi wajah tirusnya.
Disaksikan oleh bintang-bintang berserakan, Erang mengucapkan sumpah. Kelak, jika Tuhan berkenan
menganugerahinya umur panjang, maka ia akan mennggunakan umur tersebut hanya untuk
membalas dendam pada raksasa jahat yang telah merenggut nyawa kedua orangtuanya.
Ia bersiap untuk membalas dendam. Pertama-tama, ia akan mencari dulu bagaimana caranya.
Sepuluh Tahun kemudian.
Erang kanak-kanak kini telah dewasa. Hari demi hari dilaluinya dengan dendam membara. Selama
sepuluh tahun ia belajar menghidupi dirinya sendiri dengan memburuh didesa-desa tetangga.
Kegiatan rutinnya yang lain adalah mengasah senjata badik peninggalan orang tuanya dengan jeruk
nipis. Sejenis senjata penikam tradisional suku Bugis Makassar. Bentuknya berupa bilah batu meteor
yang telah ditempa menjadi besi pipih dengan ujung yang runcing. Hulu dan warangkanya terbuat dari
kayu hitam. Dengan senjata itulah kelak, Erang berniat membalaskan dendamnya pada raksasa.
Bila sore menjelang, Erang ikut bergabung dengan kawan-kawan seumurannya yang rutin berlatih
pencak silat di lapangan desa. Latihan ini sengaja digelar para tetua desa agar para pemuda kelak
bisa melawan ketika raksasa datang menyerbu desa mereka. Tapi Erang hanya menonton. Hatinya tak
pernah tergerak berlatih pencak. Keengganannya itu menjadikan Erang kerap jadi sasaran ejekan
teman-temannya. Bangun tubuh kawan-kawan seumurannya semakin hari semakin berisi. Tumbuh
besar dan tegap. Sungguh berkebalikan dengan tubuh Erang. Erang tampak seperti bocah kuntet
diumurnya yang telah menginjak 17 tahun. Kurus kerempeng. Tulang-tulangnya bertonjolan seolah
berebut ingin melarikan diri dari tubuh kerdilnya.
Erang selalu membalas setiap ejekan kuntet dari kawan-kawannya dengan senyuman. Ia menekan
setiap rasa kesal yang manusiawi muncul dihatinya. Demi membalaskan dendam kedua orangtuanya,
ia tabah berjalan teguh diatas rencana yang disusunnya. Tak ada yang tahu kalau tubuh kuntetnya itu
sebenarnya disengaja oleh Erang. Bertahun-tahun ia disiplin berpuasa. Berpantang makan dan
menahan lapar, agar tubuhnya tidak tumbuh berkembang.

Diam-diam pula, pada setiap malam purnama hari keempat belas, Erang menyusup kesetiap desa
dimana raksasa musuhnya sedang berburu manusia. Dibantu oleh tubuh kuntetnya ia bersembunyi
sambil memperhatikan secara seksama gerak gerik si raksasa. Sambil menunggu waktu yang tepat
dikemudian hari, Erang memanfaatkannya untuk mempelajari kelemahan musuhnya. Nenek
moyangnya pernah mengajari Erang, Kenali kelemahan musuhmu untuk mengenali kekuatanmu .
Tibalah kemudian malam yang ditunggu-tunggu Erang. Purnama hari keempat belas. Sepuluh tahun
sejak kedatangan terakhir raksasa ke desa. Cahanya bulan menyiram tanah. Erang telah
mempersiapkan dirinya sejak petang. Belajar dari kebiasaan raksasa sebelum-sebelumnya, maka
malam ini adalah giliran desanya disatroni oleh raksasa jahat itu. Pemuda-pemuda desa yang telah
dilatih silat sibuk menyiapkan diri. Mereka menggengam berbagai jenis senjata ditangan masaingmasing. Lalu.
Bum ! Bum ! Bum !
Suara berdentum menghantam tanah tempat berpijak. Bumi bergetar laksana gempa. Raksasa
mengumunkan kedatangannya dengan geraman yang menakutkan. Dengusan nafasnya menggoyang
pepohonan. Rumah-rumah yang dilalui porak-poranda dalam sekali injakan.
Para pemuda desa bersiap. Senjata terhunus. Sementara Erang berdiri menjauh dari mereka. dalam
jarak 10 tombak. Mengamati raksasa dan barisan para pemuda yang sudah berdiri berhadap-hadapan.
Arrrrrrrrrrrrrrrrrrggghhhhh !!!!!
Raksasa mengaumkan teriakan memekakkan. Tampaknya ia marah mendapati dirinya mendapat
perlawanan dari penduduk desa. Kemudian..
Set!! set!!! swiiiiing !!!
Hanya dengan sekali kibas, kedua tangan raksasa itu telah merontokkan para pemuda desa. Tubuhtubuh melayang bergelimpangan. Erang menyaksikan kenyataan itu dengan hati miris. Ia sudah
menduga akan terjadi hal seperti itu. Latihan silat bertahun-tahun hanya membuahkan kesia-siaan
belaka. Segesit apapun, sekuat apapun para pemuda desa itu, sama sekali bukan tandingan raksasa.
Tubuh para pemuda desa yang tegap berisi malah semakin membangkitkan selera makan raksasa.
Satu persatu mereka ditangkap lalu dikunyah oleh taring raksasa. Teriakan-teriakan manusia diujung
ajal bersahut-sahutan. Dan berhenti ketika tak ada lagi manusia hidup yang tersisa.
Raksasa itu mengaum sekali lagi. Wajahnya tampak sangat puas. Dengan langkah malas karena
kekenyangan, raksasa memutar badannya hendak berlalu dari desa itu.
Pada saat itu, Erang segera melompat menghadang raksasa.
Hai raksasa jelek ! berhenti, karena aku akan membunuhmu ! teriak Erang.
Raksasa menghentikan langkahnya. Matanya memicing mencoba meneliti dari mana asal suara itu.
Rupanya suara itu dari seorang manusia kuntet yang kurus kerempeng tengah bertolak pinggang
diujung jempol kakinya.
Hahahahahahahahahahahahaha, apa aku tidak salah dengar, manusia kecil ! sahut raksasa.
Tubuhnya bergoyang-goyang. Minggirlah. Aku sudah kenyang. Tubuh kerempengmu itu hanya akan
merusak selera makan ku saja
Erang tidak bergeming. Sambil tetap bertolak pinggang ia terus berusaha membangkitkan kemarahan
raksasa.
Hai raksasa jelek. Kenapa kau tak mengakui saja kalau kamu takut kepadaku !?

Kau rupanya memilih ingin menyusul kawan-kawanmu manusia kuntet ! raksasa itu menggeram.
Erang berhasil memicu kemarahannya. Raksasa bertambah marah karena melihat Erang tidak
menunjukkan rasa takut sedikit pun.
Dasar raksasa jelek ! aku tidak takut padamu. Aku bahkan berani bertaruh denganmu. Rahangmu
itu sangat kecil dimataku. Mulutmu takkan sanggup menelanku dalam sekali telan
Arrrrrrgggghhh.!!!!!!!!
Raksasa menggeram. Kemarahannya tak terbendung lagi. Belum pernah seumur hidupnya ia dihina
oleh seorang manusia. Terlebih manusia kuntet nan kerempeng seperti Erang. Manusia kuntet itu
bahkan berani menghina dengan mengatakan mulutnya tak sanggup menelan tubuh Erang.
Secepat kilat tangan raksasa itu menyambar Erang. Anehnya, Erang justru tidak berusaha untuk
menghindar. Dibiarkannya tangan raksasa itu mencengkeramnya. Selanjutnya..
Hap !
Tubuh Erang menggelinding masuk kemulut raksasa. Karena tubuhnya yang kuntet dan jarak geraham
kiri dan kanan raksasa yang sangat lebar, Erang berhasil menghindar dari gigi-gigi raksasa yang
berusaha mengunyahnya. Dengan cepat Erang menggelindingkan tubuhnya melalui tenggorokan
masuk kedalam perut raksasa.
Merasa mangsanya telah tewas, raksasa itu kembali melanjutkan langkahnya. Namun, sepuluh
langkah dari situ, tiba-tiba, tubuh raksasa itu roboh bergelimpang menimpa bumi.
Bummmmmm !
Tanah bergoyang keras. Meninggalkan lubang dibawah punggung raksasa. Tubuh raksasa itu kemudian
berguling-guling. Mulutnya melolong-lolong.
Auuuuugggghhhh aarrrrrgggh.. huuuuuuurrrgggghhh teriaknya meracau menahan sakit.
Sebuah sobekan dari dalam perutnya mengakibatkan tubuhnya berhenti berguling. Raksasa jahat itu
telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Terlihat Erang menjulurkan kepalanya dari dalam perut raksasa yang terbelah. Ia kemudian keluar dan
melompat turun ketanah dengan tenang. Ditangannya masih tergengam sebilah badik berlumuran
darah.
Karena kuasa dewata, ditempat raksasa itu terbaring, tiba-tiba berubah wujud menjadi gunung.
Bentuknya seperti tubuh raksasa, lengkap dengan perut besarnya yang menonjol. Penduduk sekitar
gunungpun kemudian menamainya dengan sebutan Gunung Lompo Battang, yang artinya perut
besar. Lompo = Besar, Battang = Perut (Makassar, Pen).

Anda mungkin juga menyukai