Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat, rahmat, dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Skenario 5
Blok 5 ini.
Laporan Skenario 5 ini kami susun karena merupakan sebagian tugas yang
telah diberikan dan pada kesempatan ini kami ucapkan banyak terima kasih
kepada beberapa pihak media dan drg. Retno Kusniati selaku dosen tutorial blok
lima yang senantiasa membantu dan membimbing dalam pembuatan laporan
sekenario lima ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
Laporan ini pula kami susun untuk memperluas dan menambah wawasan
para pembaca khususnya mahasiswa. Untuk menunjang pemahaman dan melatih
keterampilan mahasiswa, kami lampirkan beberapa jurnal.
Dalam pembuatan laporan ini telah disadari terdapat beberapa kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami mengharapkan kepada semua
pembaca agar dapat menyampaikan saran dan kritik guna penyempurnaan laporan
tutorial ini.

Semarang, 20 Juni 2015

Penyusun

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................
1
DAFTAR ISI ............................................................................................................
2
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................
3
A. Latar

belakang

3
B. Rumusan

masalah

4
C. Tujuan
5
BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................
6
BAB III PENUTUP ....................................................................................................
21
A. Kesimpulan
21
B. Saran
22
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................
23

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 2

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Alergi adalah penyakit atau kelainan yang tidak menular tetapi
kecenderungan seseorang mengalami alergi akan dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu genetic (keturunan) dan lingkungan sebagai faktor eksternal tubuh. Alergi
terjadi karena adanya zat yang menimbulkan reaksi yang disebut alergen.
Alergen dapat masuk dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan), pencernaan
(ingestan), suntikan (injektan) atau yang menempel pada kulit (kontaktan).
Alergi sebagai bentuk reaksi menyimpang dari tubuh ternyata bisa
menimpa siapa saja termasuk anak-anak. Kenyataannya, setiap orang memiliki
risiko mengidap alergi meskipun tidak ada riwayat penyakit ini dalam keluarga.
Reaksi alergi dapat digolongkan berdasarkan prinsip kerjanya menurut
Cell dan Coombs pada tahun 1968, yaitu: Tipe I, Tipe II, Tipe III dan Tipe IV.
Tipe I, II dan III tergantung pada interaksi antara antigen dan antibody
hormonal yang cenderung disebut reaksi tipe cepat. Reaksi tipe IV
membutuhkan waktu yang cukup lama maka disebut reaksi tipe lambat (Roitt,
2003). Alergi tipe I antara lain alergi makanan, asma, rhinitis, dan dermatitis
atopi.
Dalam pengobatan penyakit alergi, penderita dapat melakukan berbagai
upaya mulai dari menghindari pemicu alergi (alergen), mencari dan
mendapatkan informasi tentang alergi lewat kegiatan edukasi dan penyuluhan,
medapatkan

pengobatan

yang

tepat

atau

bahkan

terapi

kekebalan

(immunoterapi).
Kesadaran masyarakat terhadap penyakit alergi saat ini relatif masih
rendah. Banyak yang menganggap alergi hanyalah penyakit biasa, padahal
alergi dapat menimbulkan beban biaya serta acaman lebih besar bila dibiarkan
dan tidak ditangani dengan cepat. Alergi dapat berpotensi memicu penyakit
dari mulai yang kronis seperti asma, hingga yang bersifat fatal dan mematikan
seperti anafilaksis syok atau Steven Johnson Syndrome.
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan
suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 3

gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat,
terutama untuk obat dengan efek terapi sistemik.
Pemberian dengan cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk
melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus.
Sedangkan reaksi alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara
topikal, yaitu obat yang digunakan pada permukaan tubuh mempunyai istilah
sendiri yang disebut dermatitis kontak alergi.
Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi. Hanya beberapa
golongan obat saja yang dapat menimbulkan reaksi alergi itupun tidak terjadi
pada semua orang. Golongan obat yang dapat menimbulkan reaksi alergi
adalah obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik; misalnya penisilin
dan derivatnya, sulfonamid, dan obat-obatan antikonvulsan.
Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis alergi obat yang timbul
tergolong serius karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan
perawatan di rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom StevenJohnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis (NET) adalah beberapa bentuk
reaksi serius dari alergi obat.
Perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan
manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya.
Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat
adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan
tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan prognosis serta
menurunkan angka morbiditas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari alergi?
2. Bagaimana etiologi dari alergi?
3. Bagaimana patofisiologi alergi?
4. Apa saja sign and symptom dari alergi?
5. Apa saja penatalaksanaan dari alergi?
6. Bagaimana dasar imunopatologi secara umum?
7. Apa saja perbedaan reaksi hipersensitivitas dengan alergi?
8. Apa saja fenomena autoimun dan imunotoleransi?
9. Apa saja manifestasi autoimun di rongga mulut?
10. Apa saja sindroma alergi nasal?
11. Bagaimana jaringan lunak di gigi akibat alergi obat?

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 4

C. Tujuan
1.
2.
3.
4.

Mahasiswa dapat mengetahui tentang definisi dari alergi.


Mahasiswa dapat mengetahui tentang etiologi dari alergi.
Mahasiswa dapat mengetahui tentang patofisiologi dari alergi.
Mahasiswa dapat mengetahui tentang sign and symptom dari

alergi.
5. Mahasiswa dapat mengetahui tentang penatalaksanaan dari
alergi.
6. Mahasiswa dapat mengetahui tentang bagaimana dasar
imunopatologi secara umum.
7. Mahasiswa dapat mengetahui tentang apa saja perbedaan reaksi
hipersensitivitas dengan alergi.
8. Mahasiswa dapat mengetahui tentang bagaimana fenomena
autoimun dan imunotoleransi.
9. Mahasiswa dapat mengetahui tentang apa saja fenomena
autoimun di rongga mulut.
10. Mahasiswa dapat mengetahui tentang apa saja sindroma alergi
nasal.
11. Mahasiswa dapat mengetahui tentang bagaimana jaringan
lunak di gigi akibat alergi obat.

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 5

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Alergi
2.1.1

Definisi
Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak

pada suatu zat(alergen) yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan


antibodi. Namun sebagian besar para pakar lebih suka menggunakan
istilah alergi dalam kaitannya dengan respon imun berlebihan yang
menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hal ini
bergantung pada berbagai keadaan, termasuk pemaparan antigen,
predisposisi genetik, kecenderungan untuk membentuk IgE dan faktorfaktor lain, misalnya adanya infeksi saluran nafas bagian atas, infeksi
virus, penurunan jumlah sel T-supresor dan defiensi IgA. Secara umum
penyakit alergi digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu :
1. Alergi atopik : reaksi hipersensitivitas I pada individu yang secara
genetikmenunjukkan

kepekaan

terhadap

alergen

dengan

memproduksi IgE secara berlebihan.


2. Alergi obat reaksi imunologi yang berlebihan atau tidak tepat
terhadap obat tertentu.
3. Dermatitiskontak : reaksi hipersensitivitas IV yang disebabkan oleh
zat kimia, atau substansi lain misalnya kosmetik, makanan, dan
lain-lain.Manifestasi klinik alergi paling sering tampak melalui 3
organ sasaran, yaitu saluran nafas, gastrointestinal dan kulit.
2.1.2

2.1.3

Etiologi
Ada beberapa jenis penyebab alergi yaitu :
1. Defisiensi limfosit T yang mengakibatkan kelebihan IgE.
2. Kelainan pada mekanisme umpan balik mediator.
3. Faktor genetic
4. Faktor lingkungan : debu, tepung sari, tungau, bulu binatang,
berbagai jenis makanan dan zat lain.
Patofisiologi
Gejala alergi timbul apabila reagin atau IgE yang melekat pada

permukaan mastosit atau basophil bereaksi dengan alergen yang sesuai.

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 6

Interaksi antara alergen dengan IgE yang menyebabkan ikat-silang antara 2


reseptor-Fc mengakibatkan degranulasi sel dan penglepasan substansisubstansi tertentu misalnya histamin, vasoactive amine, prostaglandin,
tromboksan, bradikinin. Degranulasi dapat terjadi kalau terbentuk ikatsilang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel dengan anti-IgE.
Histamin melebarkan dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta
merangsang kontraksi otot polos dan kelenjar eksokrin. Di saluran nafas,
histamin merangsang kontraksi otot polos sehingga menyebabkan
penyempitan saluran nafas dan menyebabkan membran saluran nafas
membengkak serta merangsang ekskresi lendir pekat secara berlebihan.
Hal ini mengakibatkan saluran nafas tersumbat, sehingga terjadi
asma, sedangkan pada kulit, histamin menimbulkan benjolan (urtikaria)
yang

berwarna

merah

(eritema)

dan

gatal

karena

peningkatan

permeabilitas pembuluh darah dan pelebaran pembuluh darah. Pada


gastrointestinal, histamine menimbulkan reflek muntah dan diare.
2.1.4

Sign and symptom alergi :


1. Ruam di kulit
2. Pembekakan pada wajah
3. Penurunan tekanan darah
4. Hidung tersumbat, gatal, bersin-bersin, pilek yang tidak kunjung
sembuh juga kehilanan fungsi penciuman.
5. Denyut nadi cepat
6. Sesak nafas
7. Sakit kepala
8. Keringat berlebihan.
9. Telapak tangan, telapak kaki kepala sering terasa hangat.
10. Mata gatal dan berair juga ada edema dikelopak mata
11. Kehilangan penciuman
12. Tenggorokan gatal dan ada lendir di tenggorokan
13. Letih dan Batuk

2.1.5 Penatalaksanaan
1. Terapi ideal adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab
dan eleminasi.
2. Terapi simtomatis dilakukan melalui pemberian :
- Antihistamin dan obat-obat yang menghambat degranulasi sel
mast dapat mengurangi gejala-gejala alergi.

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 7

Kortikosteroid yang dihirup bekerja sebagai obat peradangan dan

dapat mengurangi gejala suatu alergi.


3. Untuk gejala yang berat dan lama, bila terapi lain tidak memuaskan
dilakukan imunoterapi melalui :
- Terapi desensitisasi berupa penyuntikan berulang allergen dalam
jumlah yangkecil dapat mendorong pasien membentuk antibody
IgG terhadap alergen.
2.2 Dasar imunopatologi secara umum
Imunopatologi merupakan suatu mekanisme imunitas atau sistem
pertahanan tubuh yang mengalami suatu penyimpangan imunopatologi
atau yang disebut kegagalan dari sistem imun yang dapat merugikan
tubuh. Macam imunopatologi :
1. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat
respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell
dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme
imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan
Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi
anafilaksis atau reaksi alergi timbul segera setelah tubuh
terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk
ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE
dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis
atopi.
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi
karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen
yang merupakan bagian dari sel pejamu.
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila
kompleks

antigen-antibodi

ditemukan

dalam

sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan


komplemen.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed
Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 8

cell

Mediated

Cytolysis

yang

terjadi

melalui

sel

CD8+ (Baratawidjaja, 2006).

Jenis Hipersensitivitas
Tipe I

Mekanisme
Patologik
IgE

Hipersensitivitas cepat
Tipe II
IgM,
Reaksi

Penyakit
Sel mast
IgG

melaluipermukaan

antibody

ImunMekanisme

matriks
ekstraseluler

Kerusakan
dan

Jaringan

mediatornya

dan
(amin

vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin)


terhadapOpsonisasi & fagositosis sel
sel

atauPengerahan leukosit (neutrofil, makrofag)


antigenatas pengaruh komplemen dan FcR
Kelainan fungsi seluler (misal dalam

Tipe III

sinyal reseptor hormone)


Kompleks imun (antigenPengerahan dan aktivasi leukosit atas

Kompleks imun

dalam sirkulasi dan IgMpengaruh komplemen dan Fc-R

atau IgG)
Tipe IV (melalui sel T) CD4+ : DTH

Aktivasi

Tipe IVa

pengaruh sitokin

CD8+ : CTL

Tipe Ivb

makrofag,

inflamasi

atas

Membunuh sel sasaran direk, inflamasi


atas pengaruh sitokin

(Baratawidjaja, 2006).
2. Imunodefisiensi
Sekumpulan keadaan yang berlainan, dmana sistem kekebalan
tidak berfungsi secara adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi,
lebih serig berulang, dapat menginfksi cepat dan berlangsung lebih
lama dari biasanya. Imuno defisiensi terbagi menjadi 2 yaitu :
Imunodefisiensi Primer merupakan kelainan langka yang
penyebabnya bersifat genetik dan terutama ditemukan pada

bayi dan anak-anak.


Imunodefisiensi Sekunder lebih sering dijumpai dibandingkan
imunodefisiensi primwe dan kerap kali terjadi sebagai akibat
dari prises penyakit yang mendasarinya atau akibat dari terapi

terhadap penyakit lain. Contohnya AIDS, terjadi imunosupresi.


3. Autoimun
Kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat tubuh
menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh
Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 9

melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau


berbahaya. Bahan antigen termasuk mikroorganisme, parasit, sel
kanker dan pencangkokan organ serta jaringan.
2.3 Perbedaan Reaksi Hipersensitivitas dengan Alergi
istilah
alergi, pada tahun 1906, untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh VON PIRQUET, untuk menggambarkan setiap
perubahan respon terhadap suatu substansi tertentu yang diberikan untuk
kedua kalinya. Peningkatan ketahanan tubuh, yang disebut imunitas dan
peningkatan kepekaan yang disebut hipersensitivitas, pada waktu itu
dipandang sebagai dua bentuk alergi yang saling bertolak belakang.
Dewasa ini pemakaian istilah alergi, baik dikalangan kedokteran
maupun masyarakat luas, telah berubah. Istilah alergi sekarang diartikan
sama dengan istilah hipersensitivitas saja. Pada prinsipnya alergi adalah
suatu keadaan yang disebabkan oleh suatu reaksi imunologik yang
spesifik, suatu keadaan yang ditimbulkan oleh alergen atau antigen,
sehingga terjadi gejala - gejala patologik. Secara garis besar, maka reaksi
alergi dapat dibagi atas dua golongan, yaitu reaksi tipe cepat( immediate
type ) dan tipe lambat ( delayed type ). Yang pertama adalah humoralmediated sedangkan yang kedua, cell-mediated.
Dewasa ini, umumnya para sarjana di seluruh dunia lebih banyak
mempergunakan cara klasifikasi reaksi alergi menurut COOMBS dan
GELL, oleh karena dirasakan lebih tepat. Mereka membagi reaksi alergi
menjadiempat tipe, yaitu:
1. Reaksi Tipe I atau Reaksi Tipe Anafilaktik
2. Reaksi Tipe II atau Reaksi Tipe Sitotoksik
3. Reaksi Tipe III atau Reaksi Tipe Kompleks-Toksik
4. Reaksi Tipe IV atau Reaksi Tipe Seluler
Tipe I hingga III, semuanya termasuk alergi atau hipersensi-tivitas
tipe cepat, sedangkan tipe IV termasuk tipe lambat.
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh
mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesik
terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul
akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan
banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen. Paparan berulang
Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 10

oleh alergen spesik akan mengakibatkan reaksi silang terhadap sel mast
yang mempunyai ikatan dengan anitas kuat pada IgE. Sel mast akan
teraktivasi dengan melepaskan mediator 3 terlarut seperti histamin untuk
kemudian menuju target organ, menimbulkan gejala klinis sesuai dengan
target organ tersebut. Penyakit tersebut berhubungan erat dengan faktor
genetik dan lingkungan. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui
beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau
suntikan.
2.4 Fenomena autoimun
Reaksi autoantibody dan autoantigen yang menimbulkan kerusakan
jaringan disebut fenomena autoimun. Fenomena autoimun spesifik terjadi
dengan frekuensi yang lebih besar pada keluarga tertentu, yang
menunjukkan gangguan genetik yang dihubungkan dengan gangguan
gangguan dasar kontrol imun timik. Fenomena autoimun sering terjadi
dalam lingkup keluarga. Dalam artian,hubungan darah terdekat (misalnya
antara orangtua dengan anak), memiliki insidens subklinik yang tinggi
TOLERANSI IMUN
Toleransi
atau
kegagalan
membentuk
antibodi
atau
mengembangkan repon imunseluler pasca pajanan dengan imunogen atau
antigen terjadi hanya terhadap antigen tertentu saja dan tidak disertai
gangguan terhadap respon antigen yang lain. Tubuh mempunyai
mekanisme kuat utuk mencegah terjadinya autoimunitas. Antigen yang
menimbulkan toleransi disebut tolerogen. Toleransi spesifik dapat di
temukan pada sel T, sel B atau keduanya. Toleransi sel T berlanjut lebih
lam adi banding sel B. Menginduksi toleransi sel T juga lebih mudah dan
memerlukan lebih sedikit tolerogen di banding sel B.

Untuk

mempertahankan toleransi diperlukan adanya antigen secara persisten dan


mekanisme pengamanan.
TOLERANSI SEL T
Mekanisme toleransi yang terjadi di organ limfoid
primer seperti sumsum tulang dan timus disebut toleransi
sentral, dan di perifer yang disebut toleransi perifer.
A. Toleransi sentral sel T

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 11

Sel T diproduksi di dalam sumsung tulang, namun


pematangan dan perkembangannya terjadi dalam
timus.. Toleransi imun terhadap self antigen mulai
diinduksi terhadap limfosit byang masih ada dalam
perkembangan di organ limfoid generatif sentral/timus.
Dari susmsum tulang, Prekursor sel T bermigrasi
melalui darah ke korteks kelenjar timus Di sini sel T
terpajan

dengan

self-antigen

(self-peptida)

yang

dipresentasikan MHC-I atau MHC-II. Pajanan tersebut


menimbulkan seleksi negatif atau eliminasi, yaitu
toleransi, atau sebaliknya yang berarti sel T hidup terus.
Sekitar 90% timosit mengalami proses seleksi negatif,
dihancurkan dan gagal untuk berfungsi. Proses ini
disebut edukasi. Limfosit self reaktif yang lolos dari
edukasi

hidup terus dan sampai di perifer dapat

menimbulkan penyakit Autoimun.


B. Toleransi Perifer sel T
Toleransi perifer merupakan mekanisme yang
diperlukan untuk mempertahankan toleransi terhadap
antigen yang tidak ditemukan di organ limfoid primer
atau terjadi bila ada klon sel dengan reseptor afinitas
tinggi yang lolos dari seleksi primer.
TOLERANSI SEL B
A. Toleransi Sentral
Sel B imatur yang merupakan sel terdiri dalam
perkembangan sel, mengekspresikan BCR (B Cell
Receptor). Seleksi sel B autoeaktif mulai terjadi pada
stadium ini dan terjadi di sumsum tulang. BCR
berfungsi

mengikat

molekul

ekstraselular

dan

mengawali sinyal sitoplasmik yang antigen spesifik. Sel


B imatur yang terpajan dengan antigen ekstraselular,
akan meningkatkan sinyal melalui BCR untuk berhenti
berkembang. Sel B tersebut akan menginisiasi proses

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 12

untuk mengedit reseptor/ memproduksi BCR dengan


spesifisitas untuk dapat mengikat antigen baru. Bila
BCR tidak dapat diubah dengan efekif, sel B imatur
akan disingkirkan melalui proses apoptosis.
B. Toleransi Perifer
Setelah meninggalkan sumsum tulang, sel B yang
relatif imatur, bermigrasi ke zona sel T luar dalam
limpa. Sel B dengan selektif negatif menempati limpa,
diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi ke sel
folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan.
Seperti halnya dengan sel T, toleran melalui perifer
sel B juga dipertahankan melalui berbagai mekanisme
pengaman seperti anergi, supresi sel Tr, deletion dan
apoptosis. Sel B yang menemukan self antigen di
jaringan perifer menjadi anergik atau mati melalui
apoptosis. Meskipun sel B terbanyak toleran terhadap
self antigen, namun beberapa sel terlepas dari proses
seleksi negative. Seperti halnya dengan se T, clonal
deletion bukanlah sistem yang sempurna, tubuh gagal
menyingkirkan sel B autoreaktif yang potensial
menimbulkan penyakit Autoimun.
2.5 Manifestasi Autoimun di Rongga Mulut:
1. Stomatitis Aphtosa Rekuren (SAR)
Salah satu contoh kelainan di rongga mulut yang disebakan oleh
gangguan sistem imun adalah Stomatitis Aphtosa Rekuren (SAR).
Faktor gangguan sistem imun dipercaya merupakan salah satu
faktor predisposisi dari timbulnya SAR. Pada SAR terdapat
hubungan antara igA, total protein, dan aliran saliva. Beberapa
penelitian juga membuktikan bahwa perubahan respon imun
berpengaruh terhadap patogenesis dari SAR. Mekanisme yang
menyebabkan SAR ada dua, yaitu humoral dan seluler. Pada sistem
imun humoral yang berperan adalah sistem antibodi seperti IgA,
IgM, IgG. Sedangkan pada sistem imun seluler yang banyak
berperan adalah sel T, sel NK, sel TNF, dan sitokin. SAR bisa juga

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 13

disebabkan oleh adanya reaksi silang antibodi dengan antigen


kuman yang ada pada rongga mulut atau dengan sel epitel
membran mukosa rongga mulut. Bisa juga terjadi akibat adanya
respon antibodi terhadap jaringan antigen jaringan yang berasal
dari ulserasi kronis. Gambaran klinis SAR biasanya berupa ulser
putih yang tunggal ataupun lebih dari satu. SAR dpat mengenai
palatum, lidah, bukal, dan bibir bagian dalam.
2. Oral Lichen Planus (OLP)
Selain SAR, Oral Lichen Planus atau OLP juga merupakan
merupakan penyakit autoimun yang bermanifestasi di rongga
mulut. OLP melibatkan mukosa rongga mulut di mana terjadi
inflamasi kronis yang mengenai epitel berlapis skuamosa. Pada
OLP sel basal menjadi rusak, rusaknya sel basal ini dikaitkan
dengan

dengan

latar

belakang

kondisi

imunologis

yang

penyebabnya pastinya pun masih belum jelas. Namun OLP


mungkin merupakan keadaan abnormal dari respon imun sel T
pada epitelium basal yang diduga sebagai benda asing, hal ini yang
menyebakan terjadinya autoimunitas sehingga menyebabkan
perubahan pada permukaan sel. Penyakit ini memiliki beberapa
bentuk manifestasi klinis di rongga mulut, antara lain bentukan
plak, retikular, papula, atropik, erosif dan bula. Lesi biasanya
ditemukan pada gingiva, bibir, lidah, mukosa bukal, mukobukal
fold. Tipe retikular merupakan bentuk umum dari OLP. Biasanya
muncul dengan gambaran anyaman anyaman putih (Wickhams
striae) dengan batas tepi yang eritema.
3. Lupus Eritematosus
Lesi pada mukosa mulut merupakan yang tersering menjadi
target pada lupus eritematosus, seperti pada diskoid lupus
eritematosus dan lupus eritematosus sistemik. Lesi terlihat sebagai
daerah eritematosus yang berpusat dan dikelilingi oleh tepi putih
yang meninggi. Lesi sering ditemukan pada palatum, mukosa
bukal, dan palatum, dapat tidak spesifik dan terlihat seperti ulser
tanpa rasa sakit. Ulserasi yang terdapat pada rongga mulut pada

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 14

penyakit lupus menjadi tanda akibat vaskulitis. Sekitar 75%


penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa
kering, rasa sakit, dan rasa terbakar terutama ketika makan
makanan panas dan pedas. Infiltrasi limfosit kelenjar saliva minor
ditemukan pada 50-75% pasien, baik mereka mengeluhkan adanya
rasa kering pada mulut ataupun tidak. Salivary flow rate yang tidak
terstimulasi menurun pada banyak penderita lupus eritematosus
sistemik. Lupus eritematosus sistemik juga menjadi komponen
diferensial diagnosis dari Sjogrens Syndrome.
Lesi spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus
dapat berupa aphtae (canker sores). Pada literatur, aphtae sering
disebut juga sebagai stomatitis aphtous rekuren. Lesi ini mengenai
15% pada populasi normal. Lesi aphtae seringnya berukuran kecil
(kurang dari 1 cm), terasa sakit, dapat ditemukan pada mukosa
bukal. Lesi pada lupus eritematosus cenderung lebih lama, lebih
besar, dan terlihat pada palatum. Lesi oral pada penderita lupus
diskoid menyerupai plak berwarna merah yang dikelilingi oleh
daerah putih. Lesi ini mirip dengan lichen planus.
2.6 Sindroma Alergi Nasal
Sindroma Alergi nasal berupa alergi yang terjadi di hidung (nasal).
Yang terdiri dari Rhinitis, Sinusitis dan Polip hidung.
1. Rhinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala kelainan
hidung yang disebabkan proses inflamasi yang diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE) akibat paparan alergen pada
mukosa hidung.
Gejala rinitis alergi meliputi hidung gatal, bersin berulang,
cairan hidung yang jernih dan hidung tersumbat yang
bersifat hilang timbul atau reversibel, secara spontan atau
dengan pengobatan
Rhinitis alergika (allergic rhinitis) terjadi karena sistem
kekebalan tubuh kita bereaksi berlebihan terhadap partikel-

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 15

partikel yang ada di udara yang kita hirup. Sistem


kekebalan tubuh kita menyerang partikel-partikel itu,
menyebabkan gejala-gejala seperti bersin-bersin dan hidung
meler. Partikel-partikel itu disebut alergen yang artinya
partikel-partikel itu dapat menyebabkan suatu reaksi alergi.
Gejala-gejala paling sering dari rhinitis alergika adalah:
Bersin berulangkali, terutama setelah bangun tidur pada

pagi hari.
Hidung meler dan postnasal drip. Cairan yang keluar dari
hidung meler yang disebabkan alergi biasanya bening dan
encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau
kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi

hidung atau infeksi sinus.


Mata gatal, berair.
Telinga, hidung, dan tenggorokan gatal.
Alergen yang paling sering menyebabkan rhinitis alergika :
Pohon, rumput, dan pollen adalah penyebab paling sering
rhinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu binatang,
kecoak, dan mold juga dapat menyebabkan rhinitis alergika.
Anda mungkin juga alergi terhadap sesuatu zat yang ada di
lingkungan kerja seperti debu kayu, bahan-bahan kimia, dll.
Pengobatan rhinitis alergika dengan cara menghindari atau
mengendalikan alergen dan dengan menggunakan obatobatan untuk mengkontrol gejala-gejala anda. Jika ini
semua tidak membantu, dokter anda mungkin akan
menyarankan suntikan immunotherapy. Ini adalah suntikan
alergi dimana alergen yang menyebabkan anda alergi,
disuntikkan ke bawah kulit anda, tentunya dalam dosis
sangat kecil. Ini akan membuat tubuh anda terbiasa dengan
alergen itu sehingga anda hanya akan mengalami gejala
yang lebih sedikit dan lebih ringan.
2. Sinusitis kronik
Sinusitis adalah radang sinus paranasal. Yang disebabkan
karena alergi bernama sinusitis kronik. Sinusitis kronik
terjadi karena polusi bahan kimia, alergi, dan defisiensi

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 16

imunologik menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi


perubahan mukosa hidung. Perubahan ini mempermudah
terjadinya

infeksi.

Terdapat

edema

konka

yang

mengganggu drainase sekret, sehingga silia rusak dan


seterusnya. Jika pengobatan pada sinusitis akut tidak
adekuat maka akan terjadi infeksi kronik.
Pengobatan sinusitis kronik yaitu diberikan terapi obat-obat
simtomatis dan antibiotik selama 2-4 minggu untuk
mengatasi infeksinya. Antibiotik dipilih yang mencakup
anaerob, seperti penisilin V. Klindamisin, atau augmentin
merupakan pilihan yang tepat bla penisilin tidak efektif.
Steroid nasal topikal seperti beklometason berguna sebagai
antiinflamasi dan antialergi.
Untuk membantu memperbaiki drainase dan pembersihan
sekret, dapat dilakukan pungsi atau autrostomi dan irigasi
untuk sinus maksila, sedangkan untuk sinusitis etmoid,
frontal dan sfenoid dapat dilakukan pencucian Proetz,
dilakukan 2 kali seminggu.
Tapi bila sekret masih banyak maka mukosa sinus sudah
ireversible sehingga perlu dilakukan operasi radikal.
Dengan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)
untuk membuka dan membersihkan daerah komplek
ostiomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi
sehingga mukosa sinus kembali normal.
3. Polip Hidung
Polip hidung adalah massa lunak, berwarna putih atau
keabu-abuan yang terdapat dalam rongga hidung. Paling
sering berasal dari sinus etmoid, multipel, dan bilateral.
Biasanya pada orang dewasa. Pada anak-anak mungkin

merupakan gejala kistik fibrosis.


Polip hidung terjadi akibat reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi pada mukosa hidung.

2.7 Jaringan lunak di gigi akibat alergi

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 17

Jaringan lunak mulut terdiri dari mukosa pipi, bibir, ginggiva,


lidah, palatum, dan dasar mulut. Struktur jaringan lunak mulut terdiri dari
lapisan tipis jaringan mukosa yang licin, halus, fleksibel, dan berkeratin
atau tidak berkeratin. Jaringan lunak mulut berfungsi melindungi jaringan
keras di bawahnya, tempat organ, pembuluh darah, saraf, alat pengecap,
dan alat pengunyah. Secara histologis mukosa mulut terdiri dari 3 lapisan,
yaitu :
1. Lapisan epitelium, yang melapisi di bagian permukaan luar,
terdiri dari berlapis-lapis sel mati yang berbentuk pipih (datar)
dimana lapisan sel-sel yang mati ini selalu diganti terusmenerus dari bawah, dan sel-sel ini disebut dengan stratified
squamous epithelium.
2. Membrana basalis, yang merupakan lapisan pemisah antara
lapisan ephitelium dengan lamina propria, berupa serabut
kolagen dan elastis.
3. Lamina propria, Pada lamina propria ini terdapat ujung-ujung
saraf rasa sakit, raba, suhu dan cita rasa. Selain ujung-ujung
saraf tersebut terdapat juga pleksus kapiler, jaringan limf dan
elemen-elemen penghasil sekret dari kelenjar-kelenjar ludah
yang kecil-kecil. Kelenjar ludah yang halus terdapat di seluruh
jaringan mukosa mulut, tetapi tidak terdapat di jaringan
mukosa gusi kecuali di mukosa gusi daerah retromolar.
Disamping itu lamina propria ini sebagian besar terdiri dari serabut
kolagen, serabut elastin dan sel-sel fibroblast serta sel-sel daerah yang
penting untuk pertahanan melawan infeksi. Jadimukosa ini menghasilkan
sekret, bersifat protektif dan sensitif. Mulut merupakan pintu gerbang
masuknya kuman-kuman atau rangsangan-rangsangan yang bersifat
merusak.
Mukosa mulut dapat mengalami kelainan yang bukan merupakan
suatu penyakit tetapi merupakan kondisi herediter. Pada keadaan normal di
dalam rongga mulut terdapat bermacam-macam kuman yang merupakan
bagian daripada flora mulut dan tidak menimbulkan gangguan apapun
Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 18

dan disebut apatogen. Jika daya tahan mulut atau tubuh menurun, maka
kuman-kuman yang apatogen itu menjadi patogen dan menimbulkan
gangguan atau menyebabkan berbagai penyakit/infeksi.
Daya tahan mulut dapat menurun karena gangguan mekanik
(trauma,

cedera),

gangguan

kimiawi,

termik,

defisiensi

vitamin,

kekurangan darah (anemi), dsb. Pada individu tertentu dapat terjadi reaksi
alergi terhadap jenis makanan tertentu sehingga dapat mengakibatkan
gangguan pada mukosa mulut, begitu juga dengan faktor psikis dan
hormonal. Ini semua dapat terjadi pada suatu gangguan mulut yang disebut
stomatitis.

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 19

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada
suatu zat(alergen) yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi.
Secara umum penyakitalergi digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu:
alergi atopik, alergi obat, dandermatitis kontak.
Alergen dapat masuk dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan),
pencernaan (ingestan), suntikan (injektan) atau yang menempel pada kulit
(kontaktan).
Reaksi alergi dapat digolongkan berdasarkan prinsip kerjanya menurut
Cell dan Coombs pada tahun 1968, yaitu: Tipe I, Tipe II, Tipe III dan Tipe IV.
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi
alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I,
alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa
produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis
atopi. Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena
dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian
dari sel pejamu. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila
kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau
jaringan dan mengaktifkan komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi
dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel
CD4+ dan

cell

Mediated

Cytolysis

yang

terjadi

melalui

sel

CD8+ (Baratawidjaja, 2006).


Reaksi autoantibody dan autoantigen yang menimbulkan kerusakan
jaringan disebut fenomena autoimun. Fenomena autoimun spesifik terjadi
dengan frekuensi yang lebih besar pada keluarga tertentu, yang menunjukkan
gangguan genetik yang dihubungkan dengan gangguan gangguan dasar kontrol
imun timik. Fenomena autoimun sering terjadi dalam lingkup keluarga.
Tubuh mempunyai mekanisme kuat utuk mencegah terjadinya
autoimunitas. Antigen yang menimbulkan toleransi disebut tolerogen. Toleransi
spesifik dapat di temukan pada sel T, sel B atau keduanya. Toleransi sel T
berlanjut lebih lam adi banding sel B. Menginduksi toleransi sel T juga lebih

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 20

mudah dan memerlukan lebih sedikit tolerogen di banding sel B.

Untuk

mempertahankan toleransi diperlukan adanya antigen secara persisten dan


mekanisme pengamanan.
Alergi menimbulkan manifestasi salah satunya manifestasi oral, yaitu
Stomatitis Aphtosa Rekuren (SAR), Lichen Planus (OLP), Lupus Eritematosus.
Sedangkan manifestasi lainnya contohnya alergi juga menimbulkan Sindroma
Alergi Nasal, yaitu alergi yang menyebabkan suatu penyakit dihidung yaitu
Rhinitis Alergi, bila rhinitis alergi tidak segera di obati akan menyebabkan
Sinusitis kronik yaitu peradangan sinus maksila yang disebabkan karena alergi.
Dan bila sinusitis tidak segera disembuhkan akan mengakibatkan Polip hidung.
3.2 SARAN
Materi tentang imunitas dan alergi yang disebabkan oleh suatu
alergen sangatlah luas. Maka dari itu mahasiswa diharapkan lebih banyak
mencari dan membaca referensi dari text book atau jurnal.

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 21

DAFTAR PUSTAKA
Stiehm ER. 1989. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3.
Philadelphia: WB Saunders
Wistiani. 2011. Jurnal Hubungan pajanan alergen terhadap kejadian alergi .
Semarang : FK UNDIP
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi. Jakarta : EGC
Tarigan, Ravina Naomi dan Titiek Setyawati. 2009. Tantangan Dalam Perawatan
Oral Lichen Planus. Jakarta: FKG UI.
Ibaad, Akrom. 2008. Profil Status Kesehatan Gigi Mulut Penderita Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) di Yayasan Lupus Indonesia. Jakarta: FKG
UI.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC.
Subowo. 2010. Imunologi Klinik, Ed. 2. Jakarta : Sagung Seto.
Mansjoer Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke- 3. Jakarta : Media
Aesculapius.
I Ketut Sudiana. 2013. Imunopatologi. Jakarta : Gramedia.
Huriyati Effy, dkk. 2009. Jurnal Diagnosis dan Penatalaksanaan Rhinitis Alergi
yang Disertai Asma Bronkial. FK ANDALAS
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Laporan Skenario 5 Blok 5

Page 22

Anda mungkin juga menyukai