Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan
inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang
usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum.
Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus
proksimal ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75%
penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai
pilorus. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun
patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana
Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini
disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion.
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling
sering pada neonatus, dengan insidens keseluruhan 1:5000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih
banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidens pada kasuskasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6%. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit
Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RS Cipto Mangunkusomo Jakarta. Data
Penyakit Hirschprung di Indonesia belum ada. Bila benar insidensnya 1 dari 5.000 kelahiran,
maka dengan jumlah penduduk di Indonesia sekitar 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil,
diperkirakan akan lahir 1400 bayi lahir dengan Penyakit Hirschsprung.
Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan dengan berat
lahir 3 kg (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat
mengeluarkan tinja. Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah pengeluaran
mekonium yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau, dan perut
membuncit keseluruhan.
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin mengingat
berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa pasien seperti
enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan septikimia yang dapat
menyebabkan kematian. Enterokolitis merupakan komplikasi yang amat berbahaya sehingga
mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak ditangani dengan sempurna. Diagnosis penyakit
ini dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen dengan
enema barium, pemeriksaan manometri, serta pemeriksaan patologi anatomi.
Penatalaksanaan Penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non bedah dan tindakan
bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-komplikasi yang
mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi
defenitif dapat dikerjakan. Tindakan bedah pada penyakit ini terdiri dari tindakan bedah
sementara yang bertujuan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada
kolon yang mempunyai ganglion normal di bagian distal dan tindakan bedah definitif yang
dilakukan antara lain menggunakan prosedur Duhamel, Swenson, Soave, dan Rehbein. 1 Dari
sekian banyak sarana penunjang diagnostik, maka diharapkan pada klinisi untuk segera
mengetahui gejala dan tanda pada penyakit Hirschsprung. Karena penemuan dan penanganan
yang cepat dan tepat dapat mengurangi insidensi Penyakit Hirschsprung di dunia, khususnya
di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif
mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana
bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior.
Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih
proksimal ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan
rektum
ini
akan
membentuk
segmen
aganglionik.
Hal
ini
2.4 Patogenesis
Perengangan kolon sampai garis tengahnya lebih dari 6 atau 7 cm
(megakolon) dapat terjadi sebagai gangguan kongenital atau didapat.
Penyakit
Hirschsprung
(megakolon
kongenital)
terjadi
bila,
saat
ke arah kaudal
50% kasus terjadi akibat mutasi di gen RET dan ligan RET, karena
merupakan jalur sinyal yang diperlukan untuk membentuk pleksus saraf
mienterikus. Banyak kasus sisanya terjadi akibat mutasi di endotelin 3 dan
reseptor endotelin.
2.5 Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara
5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35
permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung.
Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke
RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta.
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.
Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini
(ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan
bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka
yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya
saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks
vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus).
2.6 Diagnosis
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakan diagnosis penyakit Hirschsprung.
Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti,
pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rectum, diagnosis
penyakit Hirschsprung pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan.
2.7 Menifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia, dan
gejala klinis yang mulai terlihat pada :
(i). Periode Neonatal
Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada neonatus cukup
bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang
terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih
dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Pada lebih dari 90% bayi
normal, mekonium pertama keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada lebih dari 90%
kasus penyakit Hirschsprung mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna
hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup. Swenson (1973) mencatat
angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus sedangkan Kartono mencatat angka 93,5%
untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi
abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Distensi
abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan oleh
kelainan lain, seperti atresia ileum dan lain-lain. Muntah yang berwarna hijau disebabkan
oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain dengan gangguan pasase usus,
seperti pada atresia ileum, enterokolitis netrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine.
Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung,
dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis. Sedangkan
enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit
Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia
2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea,
distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3
kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi
meski telah dilakukan kolostomi.
(ii). Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan
gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen.
Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot,
konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak
teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.
Anamnesis
a. Muntah hijau
b. mekonium terlambat keluar lebih dari 24 jam
c. distensi abdomen
d. tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam
e. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi
semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.
f. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa,
misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2 minggu dengan riwayat
tidak dapat defekasi
apabila pada masa neonates tidak ditemukan gejala akan bertambah berat dengan
bertambahnya usia pada masa anak-anak dengan gejala :
a. kontsipasi berat
b. pertumbuhan terhambat
c. anoreksia
d. berat badan tidak bertambah
diagnosis akhir dibutuhkan pemeriksaan patologi anatomi dari biopsy rectal yang ditemukan
aganglionik.
Pemeriksaan Fisik
a. Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi
b. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan
menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak
sudah kempes lagi
Foto pasien penyakit Hirschsprung berusia 3 hari. Tampak abdomen sangat distensi, dan
dinding abdomen kemerahan yang menandakan awal terjadi komplikasi infeksi. Pasien
tampak amat menderita akibat distensi abdomennya
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit
Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak
rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah
barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
10
11
Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah dengan biopsy
rectal full-thickness.
Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata karena
aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat tersebut.
Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik mengambil
jaringan untuk pemeriksaan histologist
Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau silinder khusus
memotong jaringan yang diinginkan.
Manometri Anorektal
Swenson pertama kai menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960, dilakukan
perbaikan akan tetapi kurang disukai karena memiliki banyak keterbatasan. Status
fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali penting. Hasil positif palsu yang
telah dilaporkan mencapai 62% kasus, dan negatif palsu dilaporkan sebanyak 24%
dari kasus.
12
Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan mudah dilakukan diatas tempat
tidur pasien.
Penemuan Histologis
Baik pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak
ditemukan pada lapisan muskuler dinding usus. Serat saraf yang mengalami hipertropi yang
terlihat dengan pewarnaan asetilkolinesterase juga ditemukan sepanjang lamina propria dan
muskularis propria. Sekarang ini telah terdapat pemeriksaan imunohistokimia dengan
calretinin yang juga telah digunakan untuk pemeriksaan histologis usus aganglionik, dan
terdapat penelitian yang telah menyimpulkan bahwa pemeriksaan ini kemungkinan lebih
akurat dibandingkan asetilkolinesterase dalam mendeteksi aganglionosis.
2.8 Diagnosis Banding.
Kegagalan bayi cukup bulan yang sihat mengeluarkan mekonium
pada waktu 24 jam pertama setelah lahir dapat dicurigai adanya obstruksi
pada usus bayi tersebut. Diagnosis banding untuk obtsruksi usus besar
adalah seperti penyakit Hirschprung sendiri dan beberapa penyakit lain
13
dan usus besar yang mengisi seluruh bagian abdomen, namun tidak
terlihat air fluid level. Sementara pada pemeriksaan barium enema, akan
tampak gambaran meconium plug. Pemeriksaan ini dikatakan memiliki
efek terapeutik apabila mekonium keluar dengan sendirinya setelah
beberapa waktu kemudian. Pada sebagian bayi, stimulasi pada bagian
rektum dengan menggunakan termometer rektal, pemeriksaan rectal
touch, dan pemberian saline enema biasanya
akan menginduksi
seperti
penyakit
Hirschsprung
ini
juga
terkadang
akan
14
dari itu, hidrasi intravena, dekompressi nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian
antibiotik intravena memiliki peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.
2. Penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan,
Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube berlubang
besar
dan
cairan
untuk
irigasi.
Cairan
untuk
mencegah
terjadinya
ketidakseimbanganelektrolit.
Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotik prophylaksis telah menjadi prosedur untuk
mengurangi resiko terjadinya enterocolitis
15
Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi
prosedur Swenson
Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa bagian rektum
3. Prosedur Soave
Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah membuang mukosa
dan submukosa dari rektum dan menarik usus ganglionik ke arah ujung muskuler
rektum aganglionik.
Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari
pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang aganglionik.
Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan membuat anastomosis primer
pada anus.
2.10 Komplikasi
1. Enterokolitis
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat berakibat kematian.
Mekanisme timbulnya enterokolitis karena adanya obstruksi parsial. Obstruksi usus
pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganglionik
yang tersisa masih spastic. Manifestasi klinik dari enterokolitis berupa distensi
abdomen diikuti tanda obstruksi seperti; muntah hijau, feses keluar secara eksplosif
cair dan berbau busuk. Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi parah yang
dapat menyebabkan nekrosis dan perforasi
2. Kebocoran Anastomose
Kebocoran dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose,
vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan
abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang
16
dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Terjadi peningkatan suhu tubuh terdapat
infiltrat atau abses rongga pelvis.
3. Stenosis
Stenosis dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka di daerah anastomse,
infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi, distensi
abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.
2.11 Prognosis
Secara umum prognosis baik. 90% pasien yang segera dilakukan tindakan
pembedahan akan mengalami penyembuhan
17
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. Penyakit Hirschprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang ditandai dengan
tidak danya sel ganglion (aganglionik) parasimpatik pada pleksus mesentrikus
aurbach dan pleksus submukosa meissner mengaikbatkan terhambatnya gerakan
peristaltik sehingga terjadi obstruksi fungsional dan hipertrofi serta dilatasi dari
kolon proksimal.
2. Gejala klinis pada masa neonatus berupa pengeluaran mekonium yang terlambat,
muntah hijau, distensi abdomen. Sedangkan pada masa anak-anak berupa konstipasi
berat dan kurang asupan gizi.
3. Pemeriksaan penunjang radiologi foto polos abdomen dan barium enema penting
dalam mengeakkan diagnosis berupa gambaran kolon yang mengalami dilatasi serta
pemeriksaan biopsy rectal yang ditemukan secara histology tidak ditemukannya selsel ganglion (aganglionik).
4. Penatalaksanaan berupa tindakan pengobatan dan pembedahan dengan membuang
bagian kolon yang aganglion dengan beberapa prosedur yaitu Swenson, Duhamel,
soave
5. Komplikasi penyakit hisrschprung yang paling berat adalah enetrokolitis, diikuti
dengan kebocoran anastomose, stenosis.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Budi Irawan , Bab 1 dan Bab 2 dalam; Pengamatan fungsi anorektal
pada penderita penyakit Hirschprung pasca operasi pull- through
.Bagian ilmu bedah fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara
2003. Halaman 1,3,4,5,6,7,8,9,10,11 dan 15.
2. Samuel Nurko MD, MPH, Hirschprung Disease dalam; American Motility
Society
(AMS)
and
the
International
Foundation
For
Functional
Developmental
Pediatric,
updated
on
Jul
13,
2010..
Diundah
www.emedicine.com
8. Pediatric Surgical Problem, Chapter 18.Colon and Rectal Surgery.Marwin
L.Corman. Edisi ke 5. Lippincott Williams and Wilkins 2005. Halaman
559 dan 560.
19
9. Pediatric
Radiology
Chapter
52
,Pediatric
Abdomen
and
Teresa Berrocal, MD, Manuel Lamas, MD, Julia Gutierrez, MD, Isabel
Torres, MD, Consuelo Prieto, MD, and Maria Luisa del Hoyo, MD.
Congenital anomalies of the small intestine, colon, and rectum.
Diundah dari Radiographics.rsna.org. September 1999.
12.
www.infokedokteran.com.
14.
20
17.
21