Laporan KONAS BDG

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 19

KETERLAMBATAN DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU

DI RUMAH SAKIT Dr M DJAMIL PADANG


Sabrina E, Taufik, Yusrizal Chan, Zailirin YZ
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK Unand/
RS Dr M Djamil Padang
ABSTRAK

Latar Belakang: Keterlambatan dalam memulai pengobatan tuberkulosis (TB)


paru, terutama basil tahan asam (BTA) positif, dapat meningkatkan periode
penularan dalam masyarakat, penyakit tambah berat, komplikasi tambah banyak
dan angka kematian meningkat.
Tujuan: Menentukan lamanya Keterlambatan pasien dan dokter dalam memulai
pengobatan TB paru serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Studi cross sectional dengan menganalisis dan interview pasien TB paru
kasus baru yang melanjutkan pengobatan anti-tuberkulosis di Poliklinik Paru RS
Dr. M. Djamil Padang 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007.
Hasil: Dari 116 pasien, median usia 40 tahun, laki-laki 62,1%, 44,8% BTA positif.
Keterlambatan pasien dialami oleh 75,9% dan Keterlambatan dokter 89,7%. Nilai
median keterlambatan masing-masing 7,0 minggu dan 4,2 minggu. Faktor yang
mempengaruhi Keterlambatan pasien adalah tingkat pendidikan rendah, gejala
awal batuk, dan persepsi pasien terhadap gejalanya batuk biasa. Faktor yang
mempengaruhi Keterlambatan dokter adalah sarana kesehatan pertama dikunjungi
puskesmas, tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat, BTA negatif, diagnosis
sarana kesehatan pertama penyakit lain dan tidak tahu, mempunyai asuransi dan
jumlah sarana kesehatan yang dikunjungi 3 buah.
Kesimpulan: Pada umumnya pasien mengalami keterlambatan dalam memulai
pengobatan TB paru. Keterlambatan dapat terjadi oleh pasien maupun dokter.
Berbagai faktor mempengaruhi keterlambatan tersebut.
Kata kunci : Keterlambatan pasien, Keterlambatan dokter, faktor-keterlambatan

PENDAHULUAN

meningkatkan

Elemen penting dalam program


penanggulangan tuberkulosis (TB)
adalah diagnosis dini dan pemberian
terapi yang cepat dan tepat. Hal ini
terutama penting pada kasus-kasus
dengan basil tahan asam (BTA)
positif,

karena

bila

terlambat

mendiagnosis dan memberi terapi,


dapat menjadi sumber penularan dan

periode

penularan

dalam masyarakat. Disamping itu,


dapat menyebabkan penyakit lebih
berat, komplikasi lebih banyak dan
angka kematian meningkat.1 Hal ini
umum
sedang

terjadi

di

negara-negara

berkembang,

termasuk

Indonesia yang merupakan salah satu


negara dengan jumlah penderita TB
terbesar setelah India dan Cina. Pada

tahun

2004,

diperkirakan

angka

diagnosis dan pengobatan TB paru

prevalensi TB di Indonesia mencapai

dapat berasal dari pasien atau dari

119 per 100.000 penduduk pertahun.

sistem pelayanan kesehatan, terjadi

Angka

mulai

deteksi

kasus

Detection Rate/CDR)

(Case

BTA positif

pada

mengeluh

saat

pasien

mulai

adanya

gejala

yang

hanya 54%, yang berarti masih

berhubungan dengan TB paru sampai

banyak

pengobatan

kasus

TB

yang

belum

tertangani.2

anti

tuberkulosis

diberikan.5,6 Keterlambatan ini dapat

Di Poliklinik Paru RS Dr. M.

dibagi

atas

dua

kategori;

Djamil, pada tahun 1992 pasien TB

Keterlambatan

pasien

paru yang berobat sebanyak 102

keterlambatan

oleh

kasus, jumlah ini meningkat menjadi

kesehatan.7

195 kasus pada tahun 19963. Pada

dan
sarana

Keterlambatan

pasien

tahun 1998-2002 pasien TB paru

(patients delay) yaitu bila periode

yang dirawat di Bangsal Paru RS Dr.

mulai

M. Djamil Padang mencapai 52,94%

gejala yang relevan dengan TB

dari seluruh pasien yang dirawat.

sampai datang pertama kali ke sarana

BTA sputum positif didapat pada

kesehatan

30,54% pasien, dan lesi luas secara

tertentu.8

radiologis 89,13%.4

mendefinisikan

dari

pasien

mengeluhkan

melebihi

satu

Beberapa

waktu
peneliti

Keterlambatan

Dari data diatas dapat dilihat

pasien sebagai rentang waktu antara

terjadi peningkatan kasus TB paru

pasien pertama mengalami keluhan

yang berobat ke Poliklinik Paru.

yang relevan dengan TB sampai saat

Jumlah pasien yang dirawat cukup

pertama kali berobat ke sarana

tinggi dengan lesi luas. Penyebab

kesehatan.6,9,10

terjadinya keadaan tersebut belum


diketahui,

apakah

keterlambatan

berperan dalam hal ini?


Keterlambatan mendiagnosis

Periode mulai pasien pertama


konsultasi

ke

sarana

kesehatan

sampai ditegakkan diagnosis, bila


melebihi suatu batas waktu tertentu

TB paru sudah dilaporkan baik di

disebut

Keterlambatan

dokter

negara maju maupun negara sedang

(docters delay).8 Beberapa peneliti

berkembang. Keterlambatan dalam

mendefinisikan

Keterlambatan

dokter sebagai rentang waktu antara

Karena tidak ada kesamaan

saat pasien pertama kali datang ke

pendapat para ahli untuk batasan

sarana kesehatan sampai diagnosis

keterlambatan ini, banyak peneliti

ditegakkan.6,9,10

mengambil waktu mulai dari gejala

Tidak ada kesepakatan para

awal sampai kunjungan pertama ke

ahli tentang batas waktu untuk

sarana kesehatan langsung sebagai

Keterlambatan

dan

Keterlambatan pasien, dan periode

Dalam

pertama ke sarana kesehatan sampai

potong

mendapat

Keterlambatan

pasien
dokter.

berbagai

penelitian,

titik

batas

waktu

keterlambatan

obat

(OAT)

disebut

ditentukan dengan dua cara. Cara

Keterlambatan

pertama

kesehatan. 1,7,9

berdasarkan

kesepakatan

para ahli dengan suatu periode yang


masuk

akal

sebagai
dokter/sarana

Penelitian ini dilakukan untuk

berbagai

menilai Keterlambatan pasien dan

dalam

dokter dalam memulai pengobatan

penelitian Wandwalo dkk di Mwanza

pada pasien TB paru yang berobat di

(Tanzania).

Berdasarkan

Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil

pengetahuan medis beberapa dokter

Padang. Dinilai juga faktor-faktor

dan

tingkat

yang mempengaruhi keterlambatan

pasien,

tersebut.

pertimbangan,

dengan

antituberkulosis

seperti

mempertimbangkan

sosio-ekonomi

Keterlambatan pasien dihitung bila


periode mulai gejala awal sampai
kunjungan

pertama

ke

METODE

sarana

Penelitian
cross

ini

merupakan

kesehatan lebih dari 30 hari, dan

studi

Keterlambatan dokter dihitung bila

menganalisis

periode kunjungan pertama ke sarana

menginterview pasien TB paru kasus

kesehatan sampai diputuskan dapat

baru

OAT lebih dari 10 hari.11 Cara kedua

Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil

yaitu menggunakan nilai median

Padang mulai 1 Oktober 2006 s/d 31

keterlambatan yang didapat dalam

Maret

penelitian tersebut, seperti dalam

maupun negatif. Diagnosis TB paru

penelitian Chang dkk.8

dapat ditegakkan oleh Poliklinik

yang

2007,

sectional
rekam

medis

mendapat

baik

dengan

OAT

dan
di

BTA positif

Paru RS Dr M Djamil Padang

International

maupun tempat lain termasuk pasien

Tuberculosis and Lung Diseases

rawat inap dan dari rumah sakit lain.

(IUATLD).12 Hasil rntgen toraks

Pemberian

di

dinilai luas lesi menurut kriteria

Poliklinik Paru RS Dr M Djamil

American Thorasic Society (ATS).13

karena berbagai alasan. Pasien yang

Lama kedua pemeriksaan ini dinilai

masuk dalam penelitian ini berusia

dari pertama dianjurkan sampai hasil

15 tahun atau lebih dan menanda

pemeriksaan diberikan pada dokter.

tangani

OAT

dilanjutkan

persetujuan

penelitian.

Union

Pasien

Against

diminta

untuk

Pasien dikeluarkan dari penelitian

memperkirakan mulai gejala awal,

bila

dengan

informasi

tidak

adekuat,

menggunakan

patokan

misalnya data rekam medis tidak

kejadian-kejadian

cukup atau pasien sulit diwawancarai

sepanjang tahun, misalnya hari-hari

karena sebab tertentu.

keagamaan, hari bersejarah baik

Data yang dikumpulkan dari

yang

bersifat

monumental

nasional

maupun

rekam medis pasien antara lain; jenis

pribadi, atau kejadian-kejadian alam

kelamin,

tingkat

seperti gempa bumi dan lain-lain.

asuransi,

Gejala awal yaitu gejala yang relevan

tanggal pertama ke Poliklinik Paru

dengan TB, termasuk: batuk, batuk

RS Dr M Djamil Padang. Dicatat

darah, sesak nafas, nyeri dada,

juga hasil BTA dan rntgen toraks

demam, penurunan berat badan, dan

serta lama pemeriksaan, tanggal

lain-lain

keputusan

kelenjer

umur,

pendidikan,

alamat,

pekerjaan,

pemberian

OAT

dan

(termasuk:
getah

bening).

Persepsi

sarana kesehatan yang memutuskan

pasien

pemberian OAT.

sarana kesehatan pertama dikunjungi

Hasil

BTA sputum

dan

pembesaran

diagnosis/keterangan

yang

terhadap gejala awal diklasifikasikan

diambil adalah hasil pemeriksaan

atas batuk biasa, penyakit paru,

tertinggi dari tiga pemeriksaan yang

penyakit lain dan tidak tahu.

dilakukan. Pembacaan sediaan dahak


dilakukan

oleh

Laboratorium

Pada

semua

ditanyakan

waktu

Mikrobiologi RS Dr. M. Djamil

kesehatan

pertama

Padang dengan menggunakan skala

jumlah

sarana

pasien

dan

sarana

dikunjungi,

kesehatan

yang

dikunjungi

sampai

ditegakkan

dan

diagnosis

kunjungan

ke

dibutuhkan untuk pemeriksaan BTA


dan rntgen toraks serta faktor teknis

pengobatan alternatif.

di RS. Dr. M. Djamil Padang.

Keterlambatan

Analisis statistik

Keterlambatan

pasien

Data diproses dan dianalisis

(patients delay), didefinisikan bila

menggunakan SPSS versi 10.0 for

periode

Window. Karena distribusi data tidak

antara

pasien

pertama

merasakan keluhan yang relevan

normal, Tes Mann-Whitney

dengan TB sampai datang ke sarana

Kruskall-Wallis

kesehatan yang pertama dikunjungi

menentukan

lebih dari 3 (tiga) minggu. Batasan

Keterlambatan pasien dan dokter.

waktu

Untuk

minggu

ditentukan

digunakan
perbedaan

menentukan

dan
untuk
median

faktor

yang

berdasarkan lamanya gejala utama

mempengaruhi

TB berupa batuk terus menerus dan

Keterlambatan pasien dan dokter

berdahak selama 3 (tiga) minggu

digunakan analisis regresi logistik

atau

multivariat

lebih

menurut

Nasional

Pedoman

Penanggulangan

Tuberkulosis.12

dan

terjadinya

dihitung

rasio

kecenderungan/RK (odd ratio/OR)


dengan interval kepercayaan/IK 95%

Keterlambatan

dokter

(95% Convident Interval /CI). Nilai

(doctors delay), yaitu bila periode

p<0,05 dianggap bermakna secara

pertama pasien ke sarana kesehatan

statistik.

sampai diputuskan dapat OAT lebih


dari 1 (satu) minggu. Batasan waktu

HASIL

1 (satu) minggu disamakan dengan

Dari tanggal 1 Oktober 2006

batasan keterlambatan di Poliklinik

s/d 31 Maret 2007 tercatat 119 pasien

Paru

Padang,

TB paru kasus baru yang mendapat

berdasarkan kesepakatan para Ahli

pengobatan antituberkulosis (OAT)

Paru dan dokter yang menangani

di Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil

pasien TB paru di Poliklinik Paru RS

Padang, dimana 116 pasien (97,5%)

Dr. M.

dengan

dimasukkan dalam penelitian ini.

yang

Tiga pasien tidak dapat diikutkan

RS.

M.

Djamil

Djamil

mempertimbangkan

Padang
waktu

dalam penelitian karena alasan tidak

pasien berasal dari kota Padang

dapat diinterview dengan baik, satu

(94,0%),

orang pasien sudah tua dan pelupa

terbanyak adalah tingkat menengah

dan dua pasien menderita gangguan

(53,4%). Tiga puluh dua orang

jiwa. Dari 116 pasien, usia termuda

pasien (27,6%) tidak bekerja. Hanya

17 tahun dan tertua 77 tahun ,

7,7% pasien yang tidak mempunyai

dengan nilai median 40 tahun, seperti

asuransi,

sedangkan

terlihat pada Tabel 1. Laki-laki

pelayanan

kesehatannya

sebanyak 72 orang (62,1%), dengan

melalui

program

perbandingan antara laki-laki dan

kesehatan keluarga miskin (Askes

perempuan 1,6:1. Sebagian besar

Makin).

tingkat

pendidikan

55,2%
dibiayai
pelayanan

Tabel 1. Karakteristik umum pasien TB paru yang melanjutkan pengobatan


di Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil Padang mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007
Karakteristik umum
Pasien
n(%)
Umur , tahun
Median (interval)

40 (17-77)*

Laki-laki

72 (62,1)

Alamat
Padang
Luar Padang

109 (94,0)
7 (6,0)

Tingkat pendidikan
Rendah
Menengah
Tinggi

36 (31,0)
62 (53,4)
18 (15,5)

Pekerjaan
Tidak bekerja
Bekerja

32 (27,6)
84 (72,4)

Asuransi
Tidak ada
Askes/Jamsostek
Askes Makin

9 (7,7)
43 (37,1)
64 (55,2)

Dari

tabel

dapat

dilihat

ditemukan lesi luas 94,0%. Sebanyak

karakteristik klinis pasien. Gejala

46,6%

awal ternbanyak yang dikeluhkan

kesehatan 3 atau lebih sebelum

pasien

diagnosis ditegakkan karena berbagai

Sebagian

adalah

batuk

besar

menganggap

(82,8%).

(70,7%)

keluhan

pasien
tersebut

sebagai batuk biasa, tetapi 42,4%


sarana

34,5%

pengobatan

alternatif

mengunjungi
disamping

sarana kesehatan.
Nilai median Keterlambatan

dikunjungi sudah menduga adanya

pasien dan dokter berturut-turut 7,0

kelainan paru. Sarana kesehatan

minggu dan 4,2 minggu (Tabel 3).

pertama yang terbanyak dikunjungi

Nilai median keterlambatan pasien

adalah puskesmas (44,8%), IGD

lebih

hanya 16,4%. Hasil pemeriksaan

median keterlambatan dokter (1,7 :

BTA terbanyak adalah BTA positif

1).

dan

pertama

alasan,

sarana

yang

(47,4%),

kesehatan

mengunjungi

secara

lama

dibandingkan

nilai

radiologi

Tabel 2. Karakteristik klinis pasien TB paru yang melanjutkan pengobatan


di Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil Padang mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007
Karakteristik umum

Pasien
n(%)

Gejala awal
Batuk
Selain batuk

96 (82,8)
20 (17,2)

Persepsi pasien
Batuk biasa
Penyakit paru
Penyakit lain
Tidak tahu

82 (70,7)
4 (3,4)
21 (18,1)
9 (7,8)

Jenis Sarkes I
Puskesmas
Rumah sakit
Praktek swasta

52 (44,8)
38 (32,8)
26 (22,4)

Diagnosis/keterangan Sarkes I
Batuk biasa
Penyakit paru
Penyakit lain
Tidak tahu

28 (24,2)
49 (42,2)
21 (18,1)
18 (15,5)

Tipe pasien
Rawat inap
Rawat jalan

91 (78,4)
25 (21,6)

Kunjungan ke unit gawat darurat


Ya
Tidak

19 (16,4)
97 (83,6)

Hasil pemeriksaan BTA


Negatif
Positif
Tidak diperiksa

52 (44,8)
55 (47,4)
9 (7,8)

Hasil pemeriksaan Rntgen toraks


Lesi minimal
Lesi luas

7 (6,0)
109 (94,0)

Jumlah Sarkes yang dikunjungi sampai diagnosis


ditegakkan
< 3 buah
3 buah

62 (53,4)
54 (46,6)

Kunjungan ke pengobatan alternatif


Ya
Tidak

40 (34,5)
76 (65,5)

Tabel 3. Keterlambatan pasien dan dokter


pada pasien TB paru yang melanjutkan
pengobatan di Poliklinik Paru
RS Dr. M. Djamil Padang
mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007

Keterlambatan
pasien
Keterlambatan
dokter

diperlihatkan pada Grafik 12. Lebih


kurang 29,5% pasien sudah datang
ke sarana kesehatan yang pertama
untuk meminta pertolongan dalam

n (%)

Median
(mg)

88 (75,9)

7,0 (1,0-49,1)

waktu < 16 minggu. Sebanyak 42,2%

104 (89,7)

4,2(0,1-51,0)

pasien sudah terdiagnosis oleh dokter

Distribusi

waktu < 4 minggu dan 77,3% dalam

dalam waktu < 4 minggu sejak


kumulatif

Keterlambatan pasien dan dokter

pertama datang kesarana kesehatan


dan 77,6% dalam waktu <12 minggu.

Grafik 1. Distribusi kumulatif Keterlambatan pasien dan dokter pada pasien TB paru
yang melanjutkan pengobatan di Poliklinik Paru RS Dr M Djamil Padang
mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007

Pada Gambar 1 dapat dilihat


berbagai faktor yang mempengaruhi
Keterlambatan pasien dan dokter.
GEJALAPERTAMA
PERTAMAYANG
YANGDIALAMI
DIALAMI
GEJALA
3 MINGGU

KETERLAMBATAN
PASIEN

Lebih lama pada


Perempuan
Umur 24 tahun
Tinggal di Padang
Pendidikan rendah
Tidak bekerja
Punya asuransi
Keluhan batuk saja
Persepsi batuk biasa
Kunjungan ke pengobatan alternatif

OR

95% CI

2,7

1,3 5,6

3,1
2,8

1,5 6,8
1,4 5,9

KUNJUNGANPERTAMA
PERTAMAKE
KESARANA
SARANA
KUNJUNGAN
KESEHATAN
KESEHATAN
1 MINGGU
Lebih lama pada

KETERLAMBATAN
DOKTER

Faktor Sarana kesehatan


Sarkes I Puskesmas
Rawat inap
Tidak ada kunjungan ke IGD
BTA negatif
Tidak ada penjelasan sarkes I
Faktor pasien
Laki-laki
Punya asuransi
Jumlah sarkes dikunjungi 3 buah

OR

95% CI

2,5

1,7 3,5

4,6
3,8
100

1,3 16,5
1,2 12,1
-

6,9
11,4

2,1 22,4
1,4 91,8

DIAGNOSISTUBERKULOSIS
TUBERKULOSIS
DIAGNOSIS
OD = Odds Ratio, CI = Convidence Interval
Cetak tebal dan miring = bermakna secara statistik dengan analisis regresi
logistik multivariat, p<0,05
Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan pasien dan dokter

10

PEMBAHASAN

Thailand

Pedoman

Nasional

Penanggulangan

Tuberkulosis

merekomendasikan orang yang batuk


3 minggu atau lebih harus diperiksa
BTA sputum untuk diagnosis dini
dan pengobatan TB. Keterlambatan
dalam meminta pertolongan dan
keterlambatan dalam mendiagnosis
digunakan

untuk

menilai

efisiensi penemuan kasus dalam


masyarakat

dan

memperkirakan

periode infektif seseorang sebelum


Keterlambatan

dalam

diagnosis dan pengobatan TB dapat


terjadi pada sejumlah titik, mulai saat
timbul gejala sampai terapi anti
tuberkulosis dimulai. Keterlambatan
ini dapat disebabkan oleh pasien

dibanding penelitian di Mwanza


yang

mencapai

minggu.11

17,1

Perbedaan ini kemungkinan timbul


berhubungan

dengan

perhitungan

keterlambatan

perbedaan
dan

perbedaan metoda estimasi mulai


gejala awal. Sebagian besar peneliti
menggunakan

saat

awal

pasien

mengeluh gejala sampai datang ke


sarana

kesehatan

pertama

dikunjungi, sebagai Keterlambatan

Penelitian

ini

memperlihatkan

median

Keterlambatan pasien adalah 7,0


minggu, dengan interval 1,0 49,1
minggu. Hasil yang didapat dalam
penelitian ini hampir sama dengan
yang didapat di Ethiopia yaitu 8,6
lebih

mulai

gejala

awal,

menggunakan
monumental

panjang

dibandingkan dengan penelitian yang


dilakukan di Jakarta 4 minggu,5

peneliti

kejadian-kejadian
sepanjang

tahun,

misalnya hari-hari keagamaan, hari


bersejarah
nasional

baik

yang

maupun

kejadian-kejadian

maupun oleh sarana kesehatan.7

Tetapi

minggu.7 Tetapi jauh lebih pendek

pasien.1,5,7,14,15 Untuk memperkirakan

mendapat terapi.12

minggu.14

minggu,15

4,4

Ghana 4 minggu,1 New York 3,6

Keterlambatan pasien

TB

Selatan

bersifat

pribadi,
alam

atau
seperti

gempa bumi dan lain-lain. Meskipun


sudah

menggunakan

kejadian-

kejadian monumental sebagai tolak


ukur
dengan

dan

menginterview

hati-hati,

estimasi

pasien
mulai

gejala awal kemungkinan dapat salah


karena kesalahan mengingat dan
perbedaan persepsi masing-masing
pasien

terhadap

dirasakannya.

keluhan

Tetapi

dapat

yang
juga

11

menunjukkan

perbedaan

yang

pertama dalam waktu < 4 minggu,

sebenarnya dalam hal keterlambatan

dan hampir 80% dalam waktu < 16

untuk diagnosis dan pengobatan TB.

minggu

Dari 116 orang yang diteliti,


88

orang

(75,9%)

sejak

mengalami

gejala

awal. Sangat berbeda dengan yang

mengalami

didapat Lnnroth dkk di Ho Chi

Keterlambatan pasien. Hasil ini lebih

Minh dimana 60% pasien sudah

sedikit

didapat

datang ke sarana kesehatan pertama

Wandwalo dkk di Mwanza (84,8%),11

dalam waktu < 4 minggu.16 Di Kuala

lebih banyak dibanding penelitian

Lumpur,

Chang dkk di Sarawak (42,4%).8

pasien sudah datang ke sarana

Perbedaan ini kemungkinan timbul

kesehatan pertama dalam waktu < 4

karena

minggu.9

dibanding

yang

perbedaan

batasan

Keterlambatan pasien yang di pakai.


Wandwalo dkk

sebagian

besar

Berbagai

(80%)

faktor

dan Chang dkk

mempengaruhi

sama-sama menggunakan waktu 30

Keterlambatan

hari (4,3 minggu) sebagai batasan

penelitian

keterlambatan namun dengan alasan

rendah mempunyai

kecendrungan

yang berbeda. Tetapi bila dilihat

untuk

Keterlambatan

batas

digunakan

pasien (p=0,02). Hal ini sama dengan

Wandwalo dkk yang lebih lama 1,3

hasil penelitian di Gambia dimana

minggu dibanding batasan dalam

pendidikan

penelitian ini, terlihat bahwa lebih

Keterlambatan

banyak pasien TB di Mwanza yang

Lienhardt dkk hanya membedakan

mengalami Keterlambatan pasien.

sekolah dan tidak sekolah.17 Dalam

Penyebab lain perbedaan ini adalah

penelitian ini, peneliti memasukkan

subyek penelitian. Subyek penelitian

tidak

Chang dkk terbatas pada pasien TB

pendidikan rendah. Godfey-Fausset

paru BTA positif, sedangkan dalam

dkk mendapatkan hubungan yang

penelitian ini dimasukkan pasien TB

kuat

paru BTA positif dan negatif.

dengan tingkat pengetahuan pasien

waktu

yang

Hanya 29,5% pasien yang


mengunjungi

sarana

kesehatan

dengan

ini.

terjadinya
pasien
Pendidikan

mengalami

sekolah

antara

dalam
yang

mempengaruhi
pasien,

kedalam

tingkat

keluhan

tetapi

kriteria

pendidikan

batuk

untuk

memulai pengobatan TB.18

12

Pasien yang mengeluh batuk


mempunyai
untuk

rasio

kecenderungan

terlambat

pertolongan

sarana

dibanding

keluhan

(p=0,005).

Keluhan

keluhan yang dirasakannya hanya


batuk

biasa,

hanya

3,1%

yang

meminta

menganggap ada kelaianan di saluran

kesehatan

nafas, tetapi tak seorangpun yang

selain

batuk

berfikir menderita TB. Kurangnya

lain

dalam

pengetahuan

pasien

tentang

TB

penelitian ini termasuk batuk darah,

merupakan alasan terbanyak (40%)

sesak nafas, nyeri dada, demam, dan

yang disampaikan oleh pasien di

pembesaran kelenjer getah bening.

India

Keluhan-keluhan

keterlambatan.20

pasien

cepat

ini

membawa

datang

ke

Selatan

yang

mengalami

sarana

kesehatan. Leung dkk di Hongkong

Keterlambatan dokter

mendapatkan pasien tanpa keluhan

Median Keterlambatan dokter

batuk darah mempunyai resiko untuk

adalah 4,2 minggu. Hasil yang

terlambat datang ke sarana kesehatan

didapat

dibanding pasien dengan keluhan

penelitian di Jakarta 4 minggu5 dan

batuk darah (p=0,0001).19 Sedangkan

Ho Chi Minh 4,3 minggu.16 Tetapi

keluhan batuk sering dianggap batuk

lebih panjang dari New York dan

biasa yang dapat sembuh sendiri atau

Mwanza 2,1 minggu.7,11 Dan jika

karena pengaruh rokok atau debu.

dibandingkan dengan penelitian di

Pada penelitian Demissie dkk, 69,7%

Kuala Lumpur 7 minggu,9 Ghana 8

pasien

minggu1 dan Gambia 8,3 minggu,17

menganggap

batuk

yang

dirasakannya akan sembuh sendiri.14


Persepsi
gejala

awal

mempengaruhi

pasien
yang

terhadap

dirasakannya
terjadinya

hampir

sama

dengan

terlihat hasil yang didapat dalam


penelitian ini lebih pendek. Pada
beberapa

penelitian

menyebutkan

periode ini sebagai Keterlambatan

Keterlambatan pasien ini. Pasien

dokter

atau

sarana

kesehatan.

yang

dokter

ditemukan

merasa

keluhan

yang

Keterlambatan

merupakan

batuk

baik di negara dengan prevalensi TB

mempunyai rsiko untuk mengalami

yang rendah maupun tinggi. Di

keterlambatan (p=0,007). Sebagian

negara dengan prevalensi rendah,

besar pasien (75%) menganggap

diagnosis

dirasakannya

TB

sering

tidak

13

dipertimbangkan

dan

beberapa

infrastruktur untuk penanggulangan

menderita penyakit paru, termasuk


24,1% sudah memperkirakan TB.

TB tidak terintegrasi dengan baik.

Keterlambatan dokter dialami

Prevalensi dan insiden TB yang

oleh 89,7% pasien dalam penelitian

rendah juga menyebabkan kurang

ini. Wandwalo dkk mendapatkan

terlatihnya

66,2%

tenaga

medis

dalam

pasien

mengalami

menatalaksana

Keterlambatan dokter > 10 hari.11

TB, sehingga meningkatkan resiko

Hasil ini jauh lebih tinggi dibanding

terjadinya

keterlambatan

dokter.

yang didapat oleh Rajeswari dkk di

Sedangkan

pada

dengan

India Selatan (26,6%) dalam waktu

prevalensi TB tinggi, keterlambatan

1 minggu.20 Hanya 42,4% yang

sering

sudah terdiagnosis dalam waktu < 4

mendiagnosis

terjadi

dan

negara
dengan

berbagai

alasan.7,16

minggu, hampir 70% dalam waktu <

Keterlambatan
dibanding
dokter

dengan

adalah

pasien

8 minggu dan lebih dari 90% dalam

Keterlambatan

waktu < 20 minggu (Grafik 1). Steen

berbanding

dkk mendapatkan hasil yang hampir

terbalik dengan yang didapat di

sama dalam < 4 minggu yaitu 38%,

Ghana

1,9:1,

yaitu

1:2.

Hal

ini

tetapi dalam waktu < 8 minggu

kemungkinan disebabkan persepsi

hanya 59% pasien yang terdiagnosis,

tenaga kesehatan sudah jauh lebih

dan hampir 90% tercapai dalam

baik dibanding pasien sendiri. Ini

waktu < 28 minggu.21

dapat dilihat pada Grafik 3, persepsi


pasien

gejala

yang

Keterlambatan

batuk

biasa

sarana kesehatan adalah jenis sarana

mencapai 70,7% tetapi tidak satupun

kesehatan pertama dikunjungi adalah

pasien yang berfikir menderita TB.

puskesmas, tidak ada kunjungan ke

Dibandingkan

dengan

unit gawat darurat, hasil pemeriksaan

sarana

BTA negatif dan diagnosis sarana

kesehatan yang pertama dikunjungi

kesehatan pertama dikunjungi batuk

ternyata hanya 24,2% yang menduga

biasa. Sedangkan dari segi pasien,

batuk biasa, sedangkan 42,2% sarana

Keterlambatan dokter dipengaruhi

kesehatan menjelaskan bahwa pasien

oleh faktor ada asuransi dan jumlah

dirasakan

terhadap

Faktor yang mempengaruhi

sebagai

keterangan/diagnosis

dari

dokter

dari

segi

14

sarana kesehatan yang dikunjungi

kondisi penyakit yang sudah berat

pasien sampai tegak diagnosis 3

atau dengan keluhan batuk darah. Di

buah.

unit
Pasien

yang

memilih

gawat

darurat

pemeriksaan

rntgen toraks segera dilakukan,

puskesmas sebagai sarana kesehatan

sehingga

kelainan

paru

pertama

radiologis

cepat

terdeteksi

dikunjungi mempunyai

secara
dan

mengalami

kecurigaan kearah TB lebih cepat.

dibanding

Sesuai dengan hasil penelitian Leung

kunjungan ke rumah sakit (p=0,01).

ECC dkk di Hong Kong, nilai

Dalam

kunjungan

median Keterlambatan dokter akan

pertama ke rumah sakit termasuk ke

lebih pendek bila rntgen toraks

unit gawat darurat, Poliklinik Paru

segera dilakukan saat pasien datang

dan poliklinik lainnya di RS Dr. M.

pertama kali ke sarana kesehatan (2,1

Djamil Padang dan rumah sakit

minggu vs 4,4 minggu; p=0,0001).19

resiko

untuk

Keterlambatan

dokter

penelitian

lainnya.

ini

Umumnya

pemeriksaan

BTA

dilakukan
sputum

dan

Keterlambatan dokter juga


meningkat pada pasien dengan BTA
negatif (p=0,04). Hasil ini sama

rntgen toraks.
Resiko kecenderungan untuk

dengan yang didapatkan Sherman

terjadi keterlambatan pada pasien

dkk di New York. Hal ini disebabkan

yang tidak berkunjung ke unit gawat

karena pada pasien dengan BTA

darurat 4,59 kali dibanding yang

negatif dan rntgen toraks tidak

berkunjung ke unit gawat darurat

mendukung

(p=0,02). Hasil ini sama dengan yang

antibiotik spektrum luas selama 2

didapat oleh Paynter dkk di London

minggu, kemudian baru dinilai. Bila

dimana pasien yang berkunjung ke

rntgen

unit gawat darurat mempunyai resiko

dianggap sebagai pneumonia biasa.

yang jauh lebih kecil untuk terjadi

Sedangkan rntgen toraks menetap

Keterlambatan

dibanding

atau mengalami perburukan, pasien

yang berkunjung pertama ke klinik

didiagnosis sebagai TB paru. Hal ini

(p=0,0001).22 Hal ini kemungkinan

sesuai dengan Pedoman Nasional

disebabkan

Penanggulangan

dokter

karena

pasien

yang

datang ke unit gawat darurat dengan

untuk

toraks

TB,

perbaikan

diberi

maka

Tuberkulosis.12

Hasil ini memperlihatkan bahwa

15

BTA sputum negatif merupakan titik

Makin banyak sarana kesehatan yang

lemah diagnosis TB terutama dengan

dikunjungi, makin panjang waktu

lesi minimal, untuk itu diperlukan

yang dibutuhkan sampai diagnosis

metode baru untuk diagnosis TB

ditegakkan dan dimulai terapi OAT,

secara

sehingga

cepat

seperti

BACTEC,

memperpanjang

polymerase chain reaction (PCR),

Keterlambatan

atau

kurangnya

pemeriksaan

serologi.

dokter.

Selain

kecurigaan

sarana

Pemeriksaan serologi antara lain uji

kesehatan terhadap TB, hal ini

immunochromatographic

disebabkan juga pasien merasa tidak

tuberculosis (ICT), Mycodot, dan

puas

IgG TB.23

kesehatan sehingga mencari opini

Jika

diagnosis/keterangan

dengan

kedua

untuk

keterangan

sarana

mengetahui

sebab

sarana kesehatan pertama dikunjungi

keluhan yang dirasakannya. Satu

tidak tahu, 100% pasien mengalami

orang pasien mengaku tidak percaya

Keterlambatan

menderita

dokter.

memperlihatkan

ini

TB,

sehingga

rendahnya

mengunjungi lebih dari 2 sarana

kesehatan

kesehatan sampai akhirnya dirawat

terhadap TB dan gagal mengambil

di Bangsal Paru RS. M. Djamil dan

tindakan

didiagnosis sebagai TB.

kecurigaan

masih

Hasil

sarana
yang

tepat

untuk

pemeriksaan maupun merujuk pasien

Pasien

yang

ke sarana kesehatan yang lebih

asuransi

tinggi.

memerlukan

maupun Askes Masyarakat Miskin

ke

mempunyai

kunjungan

Pasien
berulang

sarana

baik

mempunyai

Askes/Jamsostek

resiko

untuk

kesehatan atau pindah ke sarana

Keterlambatan

kesehatan

gejala

dibanding yang tidak punya asuransi.

menetap.9 Dari interview didapat

Hasil ini berbeda dengan yang

58,6% pasien kontrol ulang ke sarana

didapatkan

kesehatan

yang

dimana

dikunjunginya

(median 2,5 kali;

lain

karena

pertama

mempunyai

di

dokter

terjadi

6,9

Thailand

pasien

yang

asuransi

kali

Selatan,
tidak
justru

interval 1-13) dan 46,5% pasien

mempunyai resiko untuk mengalami

mengunjungi srana kesehatan 3 atau

Keterlambatan dokter sebanyak 1,31

lebih sampai diagnosis ditegakkan.

kali dibanding yang punya asuransi

16

(IK 95% 0,94 1,84 ; p< 0,05).15 Hal


ini kemungkinan disebabkan karena

KESIMPULAN

pasien yang punya asuransi, harus

Pada

umumnya

pasien

keterlambatan

dalam

mengikuti prosedur tertentu untuk

mengalami

sampai berobat ke rumah sakit,

memulai

pemeriksaan

dan

Keterlambatan dapat terjadi oleh

rntgen toraks harus dilakukan di

pasien maupun dokter. Faktor yang

rumah sakit dan pada waktu tertentu.

mempengaruhi Keterlambatan pasien

Sedangkan pasien yang membayar

adalah tingkat pendidikan rendah,

tunai dapat melakukan pemeriksaan

gejala awal batuk, dan persepsi

dimana saja dan kapan saja, bahkan

pasien

sore

BTA

hari.

Selain

sputum

pengobatan

terhadap

TB

gejala

paru.

yang

itu

pasien

dialaminya hanya batuk biasa. Faktor

terbatas

waktu

yang mempengaruhi Keterlambatan

pemeriksaannya karena harus masuk

dokter dari segi sarana kesehatannya

kerja, sedangkan pasien yang tanpa

adalah

asuransi

pertama

Askes/Jamsostek

dengan

umumnya
pekerjaan

menjalankan

tidak
dan

terikat
biasanya

pemeriksaan

cepat

untuk menghemat waktu.


Untuk

sarana

kesehatan

dikunjungi

adalah

puskesmas, tidak ada kunjungan ke


unit gawat darurat, hasil pemeriksaan
BTA negatif, dan diagnosis sarana

mengurangi

Keterlambatan

jenis

tenaga

tahu. Sedangkan dari segi pasien

kesehatan harus lebih peka terhadap

adalah faktor mempunyai asuransi

gejala

dan

Mekanisme

dokter,

kesehatan pertama dikunjungi tidak

tanda

TB

paru.

dan jumlah sarana kesehatan yang

rujukan

dari

sarana

dikunjungi sampai tegak diagnosis

kesehatan yang lebih rendah ke

3 buah

sarana kesehatan yang mempunyai


kemampuan diagnostik TB lebih
diperkuat. Usaha untuk memperbaiki
kemampuan

diagnostik

dan

kepedulian terhadap TB dari seluruh


dokter, terutama dokter umum, harus
terus ditingkatkan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.

Lawn
SD,
Afful
B,
Acheampong JW. Pulmonary

17

tuberculosis: diagnostic delay


in Ghanaian adults. Int J Tuberc
Lung Dis, 1998; 2(8): 635-640.
2.

Surkenas Litbang Depkes RI.


Survei Prevalensi Tuberkulosis
(SPTBC) 2004.

3.

Taufik.
Pelaksanaan
penanggulangan TB paru dalam
rangka menyongsong Strategi
DOTS di RSUP Dr. M. Djamil
Padang,
dibacakan
dalam
pertemuan Strategi DOTS di
rumah sakit, Yogyakarta: 2006.

4.

Sabrina, Yusrizal, Taufik. Profil


penderita TB paru yang dirawat
di Bangsal Paru RS Dr. M.
Djamil Padang tahun 19982002. Dalam: Taufik, Zailirin,
Yusrizal, Medison I, Mirna,
Zarfiardy, editor. Makalah
Lengkap Konker X PDPI.
Padang 2004; 258-279.

5.

6.

7.

8.

Aditama TY. Beberapa aspek


dalam
proses
penemuan
penderita tuberkulosis paru;
tesis (1988).
Aditama TY. Tuberkulosis:
diagnosis,
terapi
dan
masalahnya. Edisi ke 5.
Yayasan Penerbit Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta 2005.
Sherman LF, Fujiwara PI, Cook
SV, Bazerman LB, Frieden TR.
Patient and health care system
delays in the diagnosis and
treatment of tuberculosis. Int J
Tuberc Lung Dis, 1999; 3(12):
1088-1095.
Chang CT, Esterman A.
Diagnostic
delay
among
pulmonary tubeculosis patients
in Sarawak, Malaysia: a crosssectional study. Rural and
Remote Health (Online) 2007;
667.

9.

Liam CK, Tang BG. Delay in


the diagnosis and treatment of
pulmonary tuberculosis in
patients attending a university
teaching hospital. Int J Tuberc
Lung Dis, 1997;1(4): 326-332.

10.

Long NH, Johansson E,


Lnnroth K, Eriksson B,
Winkvist A, Diwan VK. Longer
delays in tuberculosis diagnosis
among women in Vietnam. Int
J Tuberc Lung Dis 1999; 3(5):
388-393.

11.

Wandwalo ER, Mrkve O.


Delay in tuberculosis casefinding and treatment in
Mwanza, Tanzania. Int J
Tuberc Lung Dis 2000; 4(2):
133-138.

12.

Pedoman
nasional
penaggulangan
tuberkulosis.
Cetakan ke 9. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta. 2005

13.

Dufault P. The diagnosis and


treatment
of
pulmonary
tuberculosis.
2nd
ed.
Philadelphia: Lea & Febiger,
1957. p.150.

14.

Demissie M, Lindtjorn B,
Berhane Y. Patient and health
care service delay in the
diagnosis
of
pulmonary
tuberculosis in Ethiopia. BMC
Public Health 2002, 2: 23.

15.

Rojpibulstit
M,
Kanjanakiritamrong
J,
Chongsuvivatwong V. Patient
and health system delays in the
diagnosis of tuberculosis in
Southern Thailand after helath
care reform. Int Tuberc Lung
Dis 2006; 10(4): 422-428.

18

16.

Lnnroth K, Thuong LM, Linh


PD, Diwan VK. Delay and
discontinuity a survey of TB
patients search of a diagnosis
in a diversified health care
system. Int J Tuberc Lung Dis,
1999; 3(11): 992-1000.

17.

Lienhardt C, Rowley J,
Manneh K, Lahai G, Needham
D, Miligan P, et al. Factors
affecting
time
delay
to
treatment in a tuberculosis
control programme in a subSaharan African country: the
experience of The Gambia. Int
J Tuberc Lung Dis 2001; 5(3):
233-239.

18.

Godfrey-Fausset P, Kaunda H,
Kamanga J, et al. Why do
patient with cough delay
seeking care at Lusaka urban
health centres? A health
systems research approach. Int
J Tuberc Lung Dis 2002; 6(9):
796-805.

19.

Leung ECC, Leung CC, Tam


CM. Delayed presentation and
treatment of newly diagnosed
pulmonary tuberculosis patients
in Hong Kong. Hong Kong
Med J 2007; 13: 221-227.

20.

Leung ECC, Leung CC, Tam


CM. Delayed presentation and
treatment of newly diagnosed
pulmonary tuberculosis patients
in Hong Kong. Hong Kong
Med J 2007; 13: 221-227.

21.

Steen TW, Mazonde GN.


Pulmonary tuberculosis in
Kweneng Distric, Bostwana:
delays in diagnosis in 212
smear-positive patients. Int J
Tuberc Lung Dis 1998; 2(8):
627-634.

22.

Paynter S, Hayward A,
Wilkinson P, Lozewicz S,
Coker R. Patient and health
service delays in initiating
treatment for patient with
pulmonarytuberculosis:
retrospective cohort study. Int J
Tuberc Lung Dis 2004; 6(2):
180-185.

23.

Perhimpunan Dokter Paru


Indonesia.
Tuberkulosis:
Pedoman
diagnosis
dan
penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Indah Offset Citra
Grafika, 2006.

19

Anda mungkin juga menyukai