Anda di halaman 1dari 12

Kasus 2

Topik: Chronic Heart Failure


Tanggal (kasus): 30 Agusutus 2013
Tanggal (presentasi):
Tempat Presentasi :
Obyektif Presentasi:
Keilmuan
Diagnostik
Neonatus

Persenter: Ade Keumala Putri


Pembimbing : dr. Suriadi Umar, Sp.A
: dr. Erlinawati, Sp.S

Keterampilan
Manajemen
Bayi

Penyegaran
Masalah
Anak

Tinjauan Pustaka
Istimewa
Remaja

Dewasa

Bumil

Lansia

Deskripsi : Lansia, 65 tahun, sesak nafas, mudah lelah pada aktifitas ringan, gagal jantung kronis, penurunan kualitas hidup.
Tujuan: mencegah progresi dari gagal jantung, remodeling jantung, pencegahan dan penanganan komprehensif gagal jantung,
memperbaiki kualitas hidup pasien gagal jantung.
Tinjauan Pustaka

Riset

Kasus

Audit

Cara membahas:
Diskusi
Presentasi dan diskusi
Email
Pos
Data pasien:
Nama: Sayuti
Nomor Registrasi: 05433
Nama klinik: RSU. BLUD. TGK. Chik Ditiro
Telp: Terdaftar sejak: 30 Agustus 2013
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis :Chronic Heart Failure, dyspnea de effort, Paroksismal nocturnal dyspnea, oedem pretibial, takikardi,
batuk berdahak, aktivitas terbatas dan penambahan berat badan.
2. Riwayat Pengobatan: Pasien pernah menkonsumsi obat dari Puskesmas.
3. Riwayat kesehatan/penyakit: Riwayat hipertensi 10 tahun.
4. Riwayat keluarga: Pasien merupakan anak keempat dari 6 bersaudara, abang pasien menderita PJK.
5. Riwayat pekerjaan: Padang Tiji
6. Riwayat Kebiasaan : Pasien merokok, tidak mengkonsumsi minuman keras ataupun kopi.
Daftar Pustaka:
a. Pangabean M, Gagal Jantung. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI 2009
b. McMurray JJ, Adamopoulous S, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012.
European Heart Journal (2012) 33,1787-1847
c. Harper M, living with congestive heart failure in later life. Series: UCSF Mini Medical School for the Public [9/2006] [Health and

Medicine] [Show ID: 11734]

Hasil pembelajaran:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Epidemiologi Gagal Jantung


Etiologi Gagal jantung
Paradigma baru Patofisiologi Gagal Jantung
Manifestasi Klinis
Jenis dan klasifikasi Gagal jantung
Pemeriksaan Penunjang
Pemilihan terapi sesuai jenis gagal jantung
Edukasi pasien dengan gagal jantung

Rangkuman
1. Subjektif:
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 3 minggu yang lalu. Sesak nafas walaupun hanya mengerjakan aktivitas ringan seperti
mandi. Sesak terutama dirasakan pada malam hari, ketika tidur pasien lebih nyaman dengan bantal yang tinggi ( dalam posisi duduk sesak
berkurang). Keluhan ini disertai dengan bengkak pada kedua kaki, batuk berdahak dan jantung berdebar-debar. Sehari sebelumnya pasien
sudah berobat ke puskesmas namun gejala makin memberat.
2. Objektif:

Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat mendukung diagnose Chronic Heart Failure. Pada kasus ini diagnosis ditegakkan
berdasarkan:
Riwayat darah tinggi 10 tahun
Gejala klinis (dyspnea de effort, Paroksismal nocturnal dyspnea, oedem pretibial, takikardi, batuk berdahak, aktivitas terbatas dan

penambahan berat badan)


Gambaran EKG yang khas (LVH)
Kesan foto thorak kardiomegali

3. Asesmen (penalaran klinis):


Sesak yang dialami pasien ini terjadi karena penumpukan cairan di paru-paru hal ini merupakan salah satu tanda dari gagal jantung.
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas
pasien jantung. Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal
jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 3,7 perseribu penderita pertahun. Di Indonesia pada tahun 2007, gagal jantung merupakan kasus
terbanyak dari seluruh penyakit jantung. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya
usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan
penurunan fungsi jantung. Data di RS Harapan Kita menunjukkan peningkatan penderita gagal jantung dari 30/hari (1999) menjadi
600/hari (2000).
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal
jantung. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi
bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% lakilaki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada
perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan berlebih, tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL, hipertiroid,
riwayat PPOK, kebiasaan konsumsi alkohol dan kelainan jantung katup juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan
gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat
menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan
disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya
aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat

dengan perkembangan gagal jantung. Pada pasien ini hipertensi dan adanya infark miokard lama merupakan dugaan terkuat dari penyebab
gagal jantung yang dideritanya. Selain itu factor usia > 65 tahun dan gender laki-laki .
Dahulu gagal jantung dianggap merupakan akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropic
untuk meningkatkannya dan diuretic serta vasodilator untuk mengurangi beban (un-load). Sekarang gagal jantung dianggap sebagai
remodeling progresif akibat beban/penyakit pada miokard sehingga pencegahan progresifitas dengan penghambat neurohumoral
(neurohumoral blocker) seperti ACE-Inhibitor, Angiotensin receptor blocker, atau penyekat beta diutamakan disamping obat konvensional
(diuretika dan digitalis).
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem
saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin
Angiotensin Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan
jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat
menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,
hipertofi dan nekrosis miokard fokal.Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan
pada disfungsi endotel pada gagal jantung.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan
susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis
dan vasodilatasi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip
dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena

peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan
prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.
Vasopressin merupakan hormon antidiuretic yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab
atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1
antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance
ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner,
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung
amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal.
Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri hal yang
kemungkinan besar juga terjadi pada pasien ini namun tidak dapat dipastikan tanpa echocardiography.

Gagal jantung yang terjadi pada pasien ini sudah memasuki kategori NYHA III karena aktivitas fisik pasien sudah terbatas, bahkan
pada aktivitas fisik yang ringan pasien sudah kelelahan (berjalan, sholat). Gejala dan tanda lain yang mengarah ke gagal jantung pada
pasien ini adalah sesak yang lebih dirasakan pada malam hari, sesak yang berkurang dalam posisi duduk, bengkak pada kedua kaki,batuk
berdahak, penambahan berat badan dan jantung berdebar-debar.

4. Plan:
Diagnosis:
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead,
ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti
vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan
pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada
lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral,
yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan. Terlihat gambaran kongesti vena paru dan CTR telah lebih dari 50% pada pasien ini.

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun
gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST T,
hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran
yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya. Pada gambaran EKG
pasien ini terlihat sinus takikardi dengan HR diatas seratus dan pembesaran dari ventrikel kiri yang dihitung menggunakan rumus soloko
(jumlah panjang kotak sedang R di V2 dan V5 dijumlah tidak lebih dari 7).

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan
gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan
tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita
dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat
mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli. Saat ini
Ekokardiografi menjadi goal standard pemeriksaan pada gagal jantung kronik, karena dengan mengetahui etiologi dan jenis gagal jantung
yang dialami dapat diberikan pemberian terapi yang sesuai.
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya
penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul
hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin
perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi
peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung
berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring.
Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring.
Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil

lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung
dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml.

Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi
yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan
sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.
Pengobatan:
Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup. Tujuan lainnya adalah untuk memperbaiki
prognosis serta penurunan angka rawat. Obat obat yang utama digunakan untuk gagal jantung kronis antara lainseperti pada table di
bawah ini :

Bila pasien tidak toleran terhadap obat-obat tersebut, terapi alternative yang bisa diberikan adalah ARB bila pasien tidak toleran ACE
(Candesartan 4-8 sampai 32, Valsartan 40 sampai 160), Dygoxin bila tidak toleran Bisoprolol, ISDN bisa diberikan bila tidak
toleran terhadap ACE dan ARB. Sedangkan terapi yang justru dapat membahayakan dan harus dihindari adalah Glitazone
(Thiazolidinediones), CCB kecuali Amlodipine dan Felodipine, NSAID dan COX 2 Inhibitor serta ARB yang dikombinasi dengan
ACE dan MRA .
Pendidikan: Edukasi yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan
serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada
penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada
penderita terutama pada kasus gagal jantung kronik. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif
terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap
kelangsungan hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga

vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan prosedur gigi diperlukan
terutama pada penderita dengan penyakit katup primer maupun pengguna katup prosthesis.
Konsultasi: Dijelaskan perlunya konsultasi dengan Spesialis Penyakit Dalam untuk memantau penalaksanaan secara non farmakologis
dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi untuk penatalaksanaan paripurna penderita gagal jantung.
Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan progosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan
semakin baik prognosisnya.

Anda mungkin juga menyukai