Anda di halaman 1dari 4

INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH PENGECORAN LOGAM CEPER-KLATEN

MENUJU SWASEMBADA TEKNOLOGI MANUFAKTUR

R. Widodo
Dosen Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, Dosen Politeknik Manufaktur Ceper dan
mahasiswa Pasca Sarjana program MST konsentrasi TIKM UGM
Mail: erwidodo@polman-bandung.ac.id atau erwidodo@yahoo.co.id

Diberlakukannya FTA (Free Trade Agreement) ASEAN – China (AC–FTA)


menimbulkan berbagai tanggapan negatif dari para pengusaha sektor IKM nasional.
Membanjirnya produk-produk China dengan harga murah telah memenuhi pasar domestik
serta menutup peluang bagi produkl lokal untuk mampu memenangkan persaingan. Presiden
SBY pun angkat bicara pada forum pembukaan Rapimnas TNI 2010 di Mabes TNI, Cilangkap,
Jakarta Timur, menepis tudingan perjanjian perdagangan bebas AC-FTA sebagai sebuah
ancaman bagi perekonomian Indonesia. Presiden justru menegaskan, AC-FTA itu bisa
mendatangkan peluang kenaikan ekspor.
Siapkah kita menerima AC-FTA tersebut sebagai suatu peluang? Tentu amatlah sukar
untuk dengan spontan menjawab YA. Namun demikian bukan berarti bahwa peluang itu tidak
ada, khususnya bila kita mampu menyikapinya secara cepat dan tepat, Industri Kecil dan
Menengah (IKM) dengan pengolahan bahan baku domestik yang melimpah harus segera
mendapatkan porsi perhatian besar. Selain terus melakukan penguatan terhadap Sentra-sentra
IKM yang sudah ada, sentra-sentra baru perlu dikembangkan secara terintegrasi dengan
sumber bahan bakunya.
Lalu? Tentu saja pengembangan teknologi industri manufaktur. Teknologi yang harus
dikembangkan berlandaskan kultur bangsa kita sendiri. Patut diakui, bahwa bangsa-bangsa
didunia yang mampu mencapai kemajuan industri dengan pesat, adalah mereka yang mampu
mengembangkan dan menciptakan teknologi yang berlandaskan kultur mereka masing-masing.
Sebut saja Jerman, Amerika Serikat, Jepang, bahkan bangsa China yang tengah tumbuh
menjadi salah satu bangsa adi daya.
Sejak tahun 2008, neraca perdagangan bangsa kita dengan bangsa China selalu defisit
dipihak kita. Defisit tersebut terus membengkak dengan cepatnya, sehingga pada akhir tahun
2009 China sudah menjadi sumber utama impor bangsa kita, khususnya untuk produk-produk
manufaktur. Bukannya segera bangkit untuk solusi bagi tercapainya keseimbangan neraca
perdagangan, kita malah justru terpesona dan terkagum-kagum terhadap kemampuan bangsa
China yang sedemikian hebatnya. Kemudian dari hanya pengimpor produk industri
manufakturnya, kitapun mulai menjadi pengimpor teknologi industri nya. IKM meninggalkan
teknologi yang telah lama mereka kuasai dan menggantinya dengan teknologi impor dari
China.
Alangkah tidak bijaksananya apabila kita mengira, bahwa pada suatu saat kita akan
mampu mengungguli bangsa China, dengan menggunakan teknologi-teknologi buatan mereka.
Teknologi yang tentu saja mereka kembangkan sedemikian rupa sehingga amat sesuai dengan
kultur bangsa mereka sendiri. Sedangkan teknologi manufaktur yang akan menjadikan kita
sebagai bangsa yang mampu berperan dalam persaingan global. Tentu adalah teknologi yang
dikembangkan berlandaskan pada kultur bangsa kita sendiri.
Mari kita coba menengok sentra industri pengecoran logam diwilayah Ceper Klaten.
Sentra ini pernah begitu terkenal tidak hanya pada skala nasional, namun juga internasional.
Menjelang akhir tahun 1990, produk-produk besi cor dari sentra ini mampu menembus pasar
internasional serta menguasai pasar nasional. Teknologi andalannya adalah “tungkik” dan
“kupola”. Yaitu alat peleburan tradisional berbahan bakar kokas. Teknologi tersebut telah
dikembangkan sedemikian rupa secara turun temurun, sehingga memiliki karakter operasional
yang spesifik serta sangat sesuai dengan kultur masyarakat setempat.
Ketika krisis global melanda dunia, harga bahan bakar kokas yang notabene masih
merupakan barang impor, melonjak tinggi dari hanya sekitar 1900 rupiah per kilogram menjadi
diatas 6000 rupiah per kilogram. Saat ini bahkan telah mendekati 10000 rupiah per kilogram
Lonjakan harga bahan bakar ini menyebabkan sebagian besar pengusaha pengecoran merugi
dan terpaksa menghentikan usahanya. Sebagian yang lain berusaha tetap bertahan dengan
mencari solusi melalui berbagai penelitian bersama lembaga-lembaga pemerintah maupun
perguruan tinggi. Targetnya adalah, membuat kokas dari bahan batu bara lokal, sehingga impor
kokas dapat ditinggalkan. Sayang nilai kalori maupun tingkat kekerasan batu bara lokal kurang
memadai untuk dikembangkan menjadi kokas yang sesuai dengan kebutuhan operasi tungkik
maupun kupola.
Menghadapi situasi semacam ini, beberapa pengusaha kemudian berinisiatif untuk
mengganti alat peleburannya dengan teknologi yang lain, yaitu tanur induksi yang berbahan
bakar listrik. Teknologi peleburan yang bagi masyarakat industri setempat tergolong masih
baru serta menuntut daya listrik yang sangat besar, yaitu 250 – 450 kW untuk setiap tanur.
Sementara itu tungkik dan kupola yang telah mentradisi ditinggalkan. Solusi semacam ini pada
awalnya sepertinya menjanjikan sehingga kemudian ditiru oleh IKM pengecoran lainnya.
Sehingga akhirnya terdapat belasan bahkan puluhan tanur induksi dioperasikan diwilayah ini.
Masalah barupun kemudian bermunculan.
Masalah pertama menyangkut kualitas tanur induksi yang terbeli oleh pengusaha.
Tanur jenis ini memiliki muatan teknologi yang tinggi sehingga rata-rata berharga sangat
tinggi. Ada tanur sejenis buatan China yang berharga cukup terjangkau, namun tentu saja
muatan teknologi, baik berkaitan dengan efisiensi maupun keamanan operasinya, dapat
dikatakan ala kadarnya. Tanur inilah yang saat ini menjadi pilihan para pengusaha IKM
pengecoran logam Ceper. Biaya infestasi cukup rendah, namun biaya operasional menjadi
tinggi.
Masalah kedua adalah perubahan karakter operasi produksi yang semula sangat
fleksibel serta dapat dilaksanakan kapan saja sesuai dengan permintaan, berubah menjadi
sedemikian ketat. Biaya infestasi tanur induksi yang cukup besar serta biaya beban listrik tetap
yang juga besar, menuntut operasional tanur yang tanpa henti baik siang, malam, setiap hari
bahkan dihari libur sekalipun. Tanur berhenti operasi menjadi beban yang harus ditanggung
oleh pengusaha.
Masalah ketiga adalah keterbatasan pasokan enerji listrik kewilayah ini. Ditambah
dengan krisis enerji listrik yang tengah kita alami, maka konsentrasi penggunaan enerji listrik
yang sangat besar kewilayah ini tentu secara umum akan berdampak buruk terhadap pasokan
listrik kewilayah lain yang juga memerlukannya.
Masalah keempat. untuk memenuhi tuntutan operasional tanpa henti, maka dibutuhkan
permintaan pekerjaan yang juga besar, sedangkan pada kenyataannya, pasar produk cor telah
diambil alih oleh bangsa China yang memang menawarkan harga produk cor sangat murah,
bahkan sampai diterima ditempat pemesannya.
Masalah kelima. Dengan muatan teknologi dan biaya operasional yang tinggi, maka
tanur induksi hanya akan menguntungkan apabila digunakan untuk membuat produk cor yang
memiliki nilai jual tinggi. Misalnya baja dan besi cor paduan dengn tuntutan kualitas yang
tinggi. Sedangkan sentra industry pengecoran logam Ceper telah terlanjur identik dengan besi
cor kelabu dengan kualitas yang rendah. Hal ini menyebabkan IKM mendapat kesulitan pula
untuk mampu menarik pasar pada sector tersebut serta tetap harus bersedia menerima
pekerjaan produksi besi cor yang murah dengan menggunakan tanur induksi yang mahal.
Kesimpulannya adalah. Sentra IKM pengecoran logam Ceper tidak mengalami
kemajuan dalam penguasaan teknologi prosesnya. Mereka hanya sekedar bermutasi teknologi
dari tanur tungkik dan kupola menjadi tanur induksi, tanpa disertai dengan pembenahan infra
strukturnya. Bahkan bila dibandingkan dengan kemampuan dalam mengoperasikan tanur
tungkik maupun kupola yang telah sedemikian mentradisi, sebenarnya kemampuan mereka
dalam mengoperasikan tanur induksi adalah masih dalam taraf belajar. Jadi tidak
mengherankan apabila pada akhirnya, ketahanan sentra IKM ini menerima desakan gelombang
masuknya produk bangsa China, semakin hari justru menjadi semakin lemah.
Lalu apa yang seharusnya dilakukan untuk mampu kembali meraih pasar sebagaimana
pernah dicapai. Untuk menjawabnya, mari kita ingat dulu sebuah kata pepatah: “Tidak akan
pernah kita memenangkan suatu pertempuran dengan menggunakan senjata lawan”. Kita harus
menggunakan senjata milik kita sendiri. Demikian pula dalam usaha memenangkan
pertempuran meraih pasar industri manufaktur. Senjata yang harus kita miliki adalah teknologi
industri unggul milik kita sendiri yang dikembangkan dengan landasan kultur bangsa kita
sendiri. Dan selanjutnya pengembangan demi pengembangan harus terus digalakan melalui
keterlibatan riset perguruan tinggi, serta tentu saja komitment tinggi dari pemerintah untuk
mendorong industry manufaktur kita ber swasembada teknologi.
Masih ingat pada tahun 1985, presiden Suharto diundang oleh FAO ke Roma untuk
berorasi dihadapan masyarakat dunia (FAO) tentang keberhasilan mencapai swasembada
pangan. Ketika itu kita begitu bangga setelah berhasil meraih prestasi sebagai bangsa yang
mampu ber swasembada pangan, khususnya beras. Prestasi itu diraih melalui usaha yang keras
dan komitmen yang tinggi dari seluruh komponen bangsa, khususnya mereka yang secara
langsung berkepentingan dengan masalah pengadaan beras. Prestasi itu bertahan untuk
beberapa tahun serta menjadi sorotan dunia, khususnya negara-negara berkembang. Delegasi
dari negara-negara berkembang pun datang berduyun-duyun untuk belajar dari kita, untuk juga
dapat ber swasembada pangan.
Ketika krisis melanda dunia, kemampuan dalam mempertahankan prestasi tersebut
menurun dan memaksa kita untuk menjadi importir beras dan beberapa kebutuhan pangan
lainnya dari negara-negara yang sebelumnya pernah belajar kepada kita tentang swasembada
pangan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meraih kembali prestasi tersebut. Namun hingga
saat ini masih belum mampu membebaskan kita dari kebutuhan impor bahan pangan.
Terlepas dari masalah ketidak mampuan kita untuk mempertahankannya, pernah
mencapainya adalah suatu hal yang patut mendapatkan apresiasi. Artinya, kita pernah memiliki
komitment yang sangat tinggi untuk menjadi bangsa yang mandiri dalam masalah ketahanan
pangan. Sekarang, bagaimanakah kalau kita menggunakan komitmet serupa untuk mencapai
prestasi serupa pada bidang yang lain. Tentu bisa. Dan bidang tersebut adalah teknologi
industri manufaktur.

Anda mungkin juga menyukai