Haruskah Dipertahankan? Oleh Isnani Rahayu, S.Pd *)
Masihkah ingat dalam memori
kita tragedi SPDN? Terkuaknya bobrok dalam kemegahan gedung dan ketenaran namanya adalah karena beredarnya sebuah video yang menayangkan adegan-adegan kekerasan di luar perikemanusiaan. Maka tak ayal hujatan, caci-maki ditujukan pada lembaga pendidikan tinggi ini. Bagaimana mungkin dengan menyandang nama sebuah lembaga pendidikan tinggi yang nantinya diharapkan akan mencetak pemimpinpemimpin dalam birokrasi pemerintah dibekali dengan (mohon maaf) beladiri model preman. Sebegitu besar dan beratkah harga yang harus dibayar mahal bagi calon pemimpin sampai-sampai nyawa mereka taruhkan? Dan tregedi SPDN rupanya membuka tabir-tabir gelap lembaga pendidikan tinggi lainnya. Keberanian yang entah dilakukan oleh korban, atau orang yang terlibat di dalamya patut diberi ucapan terima kasih dari masyarakat. Sebenarnya mengapa dan bagaimana bisa terjadi Bullying (perploncoan). Sejak kapan bullying ini ada? Di lingkungan perguruan tinggi kita sebenarnya sejak tahun 1978 telah dilarang dan diganti dengan penataran P4. Namun sejak OPSPEK diperkenalkan, sudah berjatuhan korban dari program tersebut. OPSPEK yang dulu dikenal dengan istilah Mapras, Mapram telah menjurus kembali ke bullying dalam bentuk siksaan fisik maupun mental. Bahkan siksaan tersebut sudah mengarah mengarah pada suatu bentuk yang tidak manusiawi lagi Jelas bahwa akibat dari bullying akan berdampak pada fisik dan psikis
40
MPA 287 / Agustus 2010
seseorang. luka di badan akan membekas bahkan menjadi cacat fisik,
demikian pula tekanan psikis yang ia terima yang bisa mengubah perilaku dan karakter seseorang. Satu-Dua dekade ini bullying tidak hanya melanda dunia pendidikan tinggi, tetapi pendidikan menengah telah menjamur pula. Kendati sudah diwanti-wanti oleh pihak rektorat/sekolah agar menghindari, toh masih kecolongan juga. Hanya saja kebanyakan korban tidak berani melapor atau bercerita pada orang tua karena korban lebih mempertimbangkan dampak buruk bila ia bercerita pada orang lain. Namun adakala pula sang orang tua lebih teliti terhadap perubahan perilaku anaknya bila terlihat murung dan tertekan. Apa sebanarnya manfaat dari bullying ini? Kalau untuk mendidik mental, memperkenalkan pada lingkungan barunya apakah kekerasan merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh? Bukannkah masih ada cara yang lebih manusiawi dan lebih tepat mengenai sasaran. Dengan alasan apapun yang jelas bullying di lingkungan dunia pendidikan sesungguhya sadar atau tidak telah terjadi transfer pengalaman, dari suatu keadaan tertindas. Dapat dikatakan sebagai ajang balas dendam, mahasiswa/siswa lama kepada mahasiswa/siswa baru. Seseorang yang pernah tertindas, maka bila ada kesempatan maka akan melakukan penindasan yang lebih daripada penindas sebelumnya. Apapun istilahnya bullying bersembunyi di balik OPSPEK, MOS yang menjadi momok bagi mahasiswa/siswa baru. Perlakuan seniornya yang berlagak dengan membentak, memberi tugas dan hukuman meru-
pakan tekanan awal siswa baru masuk
sekolah. Tetapi hal ini tidak dapat disalahkan juga, karena para senior juga pernah mengalami hal yang sama. Perlakuan bullying dari seniornya yang terdahulu. Lantas siapa dan dari mana mencari awal mulanya. Apakah sistem yang dibuat memberikan celah untuk terjadinya bullying? Akibat adanya bullying memunculkan kontradiksi-kontradiksi yang tak tersembunyikan ketika suatu tujuan diterjemahkan dalam suatu proses. Maka tewujudlah sanksi-sanksi, tugas-tugas yang nganeh-aneh itu. Sehingga para mahasiswa/siswa baru tak ubahnya seperti kumpulan badutbadut di hadapan para mahasiswa/ siswa seniornya yang bebas membentak dan menghukum secara otoriter. Menurut Coopersmith; Pola asuh yang otoriter dan permisif akan mengakibatkan anak mempunyai harga diri yang rendah. Dikemukakan pula oleh Klass dan Hodge bahwa harga diri adalah sebuah evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu, yang diperoleh dari hasil interaksi individu dengan lingkungan serta penerimaan penghargaan dan perlakuan orang lain terhadap individu tersebut. Mukhlis juga mengatakan bahwa pembentuk harga diri pada individu dimulai sejak individu mempunyai pengalaman dan interaksi sosial yang sebelumnya dimulai dengan kemampuan mengadakan persepsi. Olokolok, hukuman, perintah dan larangan berlebihan akan membuat seseorang merasa tidak dihargai. Bullying Pelanggaran HAM? Dengan konsep yang melandasi
tindakan-tindakan mereka, para senior
ingin memperkenalkan kehidupan baru pada yuniornya. Mahasiswa/ siswa baru yang mereka anggap sebagai adik-adiknya perlu diberikan rasa solidaritas antar teman, persatuan fakultas, mental yang kuat, kelekatan senior dan yunior, pengenalan lingkungan, mendidik kedisiplinan dan kehidupan yang ilmiah. Tidak mengherankan bila ada mahasiswa/siswa baru stres, berkelahi, terluka, pingsan, ketakutan atau mengalami gangguan fisik dan psikis lainnya. Hal ini sudah dapat diramalkan. Tidakkah berpikir bahwa yang demikian itu mereka menderita karena sesuatu yang tidak perlu. Kalau dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia yang selalu diagungagungkan dalam setiap gerakan protes mereka perlakuan, bahwa mereka juga sebenarnya melanggar HAM. Hak untuk hidup aman secara fisik maupun psikis, hak untuk tumbuh sehat secara jiwa dan raga, hak untuk berdiri sederajat dengan orang lain, hak untuk berpendapat dan hak-hak lainnya. Semuanya dilanggaar secara terang-terangan. Sadar atau tidak bahwa sebenarnya bullying telah membawa cita rasa buruk pada kesan pertama kehidupan kampus atau sekolah baru yang notabene sebagai lembaga ilmiah. Padahal sebenarnya dalam realitas, perguruan tinggi adalah tempat paling subur bagi tumbuhnya kebebasan mahasiswa. Maka, bila kesan pertama masuk perguruan tinggi justru diimbuhi dengan bullying, perguruan tinggi tidak ada bedanya dengan lembaga-lembaga yang menganggap keseragaman dan hegemoni sebagai kebajikan. Dan itu dianggap sebagai gairah neurotik dan tidak peduli memasung pikiran. Sebenarnya tanpa orientasi mahasiswa/siswa baru pasti akan bisa menyesuaikan diri denga baik. Karena sebagai manusia sehat dan terpilih mereka pasti mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan baru. Tanpa adanya gaya bullying seperti didorong-dorong, digojlok, mereka pasti akan mengikuti kehidupan akdemisi dengan baik Solidaritas dan kebersamaan bisa dibentuk dalam dialog yang
saling menghargai. Senior harunya
membiarkan yuniornya bebas berpendapat dan berdiskusi, membiarakan pendapat berpeda bermunculan. Dengan demikian yunior akan lebih merasa dimanusiakan daripada didandani seperti badut. Kebebasan bisa menjadi kesejatian manusia. Dengan kesejatian mampu menghargai dirinya sendiri sebagai makhluk otonom yang utuh dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Ideologi Kapitalis Di lingkungan kampus sendiri apa yang diinginkan dari bullying di tiap tahun ajaran baru, sesungguhnya secara implisif mengatakan bahwa mahasiswa adalah suatu kelompok elit dari masyarkat. Itu bisa dilihat karena mahasiswa baru hanya diperkenalkan pada proses studi dan pengenalan kampus saja. Kampus kadang masih diibarat sebuah menara gading yang terpisah dari komunitas kehidupan rakyatnya. Dengan ideologi tersebut, disadari atau tidak kampus menjadi tempat reproduksi sistem yang sedang berjalan yaitu kapitalisme. Kampus bersiap untuk menyiapkan lulusannya untuk masuk ke dalam sistem tersebut yang kadang tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang mendasar bagi masyarakat kebanyakan. Dengan orientasi yang elistis tersebut, apa yang terjadi dalam bullying sebenarnya bisa dimengerti sebagai cermin syarat-syarat agar mahasiswa nantinya menjadi lulusan yang diinginkan oleh sistem yang sedang berjalan. Sikap antidialog dan feodal yang ditunjukkan secara implisif merupakan syarat dan peringatan agar menjadi generasi yang tidak menjadi generasi yang kritis, karena kekritisan hanya akan mengganggu untuk lulus cepat. Maka sesunggunya praktekpraktek yang dilakukan oleh mahasiswa lama terhadap mahasiswa baru apa yang diinginkan dengan bullying itu sesunguhnya sudah tercapai. Melihat apa yang terjadi pada bullying di tiap ajaran tahun baru, dan untuk mencegah ekses-ekses yang terjadi karenanya diperlukan orientasi baru. Dengan orientasi yang
lama hanya menjadikan mahasiswa
menjadi seorang yang egois, asosial, tidak demokratis dan feodal. Landasannya bukan lagi kebenaran melainkan kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu bullying di lingkungan pendidikan harus dihapus. Pengenalan tidak hanya di lingkungan kampus atau sekolah baru saja, melainkan juga masalah-masalah di luar atau di masyarakat. Sehingga mereka harus menyadari bahwa kampus bukanlah suatu menara gading lagi. Di dalam kampus mahasiswa harus berani berpikir kritis, bersikap demokratis dan berani mengambil sikap. Apabila orientasi populis yang hakiki sudah menjadi pegangan, maka hal-hal negatif dapat dieliminir. Sebab orientasi bila sudah dimengerti setiap hukuman yang dijatuhkan tidak mungkin lagi membuat jatuhnya koraban dari mahasiswa baru. Untuk menjalankan itu semua, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Orientasi populis yang tidak ada bullying didalamnya akan merugikan orientasi yang lama. Karena orangorang yang diuntungkan oleh sistem yang lama tentunya tidak akan tinggal diam. Untuk komunitas kampus tidak semua dosen terutama yang feodal suka dengan orientasi baru. Sebab dengan makin kritisnya mahasiswa, nilai-nilai feodal dalam kaitan dengan keilmuan akan semakin tersudut dan tidak bisa diterapkan. Begitu juga dengan penguasa kampus. Tentu ia tidak akan membiarkan hal tersebut menggejala. Salah satu cara untuk meredam itu semua adalah dengan intervensi Rektor melalui organisasi mahasiswa tingkat universitas yang kita kenal dengan Senat Mahasiswa yang masih menjadi subordinat dari Rektor, sehingga intervensi masih dimungkinkan. Dengan demikian ketika orientasi populis, beserta intervensi Rektor, maka mereka tidak mempunyai bargaining position yang kuat untuk melakukan bullying lagi. Di sinilah sebenarnya tantangan bagi mahasiswa. Yaitu bagaimana membuat sebuah organisasi kemahasiswaan yang independen, demokratis, pro mahasiswa dan pro rakyat.z *) Pengajar di SMPN 1 Gambiran Banyuwangi