Anda di halaman 1dari 28

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
2.1.1. Definisi
ISPA adalah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang berlangsung
sampai 14 hari lamanya. Saluran pernafasan adalah organ yang bermula dari
hidung hingga alveoli beserta segenap adneksanya seperti sinus-sinus, rongga
telinga tengah dan pleura. Sedangkan yang dimaksud dengan infeksi adalah
masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh dan berkembang biak
sehingga menimbulkan penyakit.6
2.1.2. Etiologi
Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih
dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah
frekuensinya lebih kecil. Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung, nasofaring,
sinus paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral,
sedangkan ISPA bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri. Saat ini telah
diketahui bahwa penyakit ISPA melibatkan lebih dari 300 tipe antigen dari bakteri
maupun virus tersebut. 6
WHO juga mengemukakan bahwa kebanyakan penyebab ISPA disebabkan
oleh virus dan mikoplasma, dengan pengecualian epiglotitis akut dan pneumonia
dengan distribusi lobular. Adapun virus-virus (agen non bakterial) yang banyak
ditemukan pada ISPA bagian bawah pada bayi dan anak-anak adalah Respiratory
Syncytial Virus (RSV), adenovirus, parainfluenza, dan virus influenza A & B.6

2.1.3. Klasifikasi
WHO telah merekomendasikan pembagian ISPA menurut derajat keparahannya.
Pembagian ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul, dan telah
ditetapkan dalam lokakarya Nasional II ISPA.7

Adapun pembagiannya sebagai berikut :


1.

ISPA ringan
Ditandai dengan satu atau lebih gejala berikut :

Batuk
Pilek dengan atau tanpa demam
2. ISPA sedang
Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:

Pernafasan cepat :

Usia bayi kurang 1 tahun : 50 kali / menit atau lebih

Usia bayi 1- 4 tahun


: 40 kali / menit atau lebih
Mengi
Sakit dan keluar cairan dari telinga.
Bercak kemerahan .
3. ISPA berat
Meliputi gejala sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:

Penarikan sela iga ke dalam sewaktu inspirasi

Kesadaran menurun.
Bibir / kulit pucat kebiruan.

Stridor sewaktu istirahat.

Adanya selaput membran difteri.

Klasifikasi berdasarkan MTBS


Klasifikasi penyakit ISPA berdasarkan MTBS dibedakan untuk golongan umur di
bawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun : 8
a. Golongan Umur Kurang 2 Bulan (0-2 bulan)

Pneumonia Berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah
atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan
yaitu 6x per menit atau lebih.

Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)


Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:
Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai
kurang dari volume yang biasa diminum)
Kejang
Kesadaran menurun
Stridor
Wheezing
Demam / dingin.

b. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun

Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian
bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak
harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).

Pneumonia Sedang
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per

menit atau lebih

Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit

atau lebih.

Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu :
Tidak bisa minum
Kejang

Kesadaran menurun
Stridor
Gizi buruk
2.1.4. Faktor Resiko ISPA
2.1.4.1. Faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Bayi yang dilahirkan dengan BBLR mudah terserang ISPA. Ini karena,
bayi BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh yang rendah terhadap
mikroorganisme patogen. Dengan infeksi ringan saja sudah cukup membuat sakit,
sehingga bayi BBLR rentan terhadap penyakit infeksi termasuk penyakit ISPA.
Beberapa penelitian lain juga telah melaporkan adanya hubungan signifikan
antara BBLR dengan resiko terjadinya kejadian ISPA.9
2.1.4.2. Faktor Umur
Faktor resiko ISPA juga sering disebutkan dalam literature adalah faktor
umur. Adanya hubungan antara umur anak dengan ISPA mudah dipahami, karena
semakin muda umur balita, semakin rendah daya tahan tubuhnya. Depkes
menyebutkan resiko terjadinya ISPA yaitu pneumonia terjadi pada umur lebih
muda lagi yaitu kurang dari dua bulan.9
2.1.4.3. Faktor Vitamin
Diketahui adanya hubungan antara pemberian vitamin A dengan resiko
terjadi ISPA. Anak dengan xerophthalmia ringan memiliki resiko 2 kali untuk
menderita ISPA. Depkes menyebutkan bahwa keadaan defisiensi vitamin A
merupakan salah satu faktor resiko ISPA. Defisiensi vitamin A dapat menghambat
pertumbuhan balita dan mengakibatkan pengeringan jaringan epitel saluran
pernafasan. Gangguan pada epitel ini juga menjadi penyebab mudahnya terjadi
ISPA.9
2.1.4.4. Faktor Gangguan Gizi (Malnutrisi)
Malnutrisi dianggap

bertanggungjawab terhadap ISPA pada balita

terutama pada Negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini mudah dipahami
karena keadaan malnutrisi menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh anak. Hal
tersebut memudahkan kemasukan ajen penyakit ke dalam tubuh. Malnutrisi
menyebabkan resistensi terhadap infeksi menurun oleh efek nutrisi yang buruk.
Menurut WHO, telah dibuktikan bahawa adanya hubungan antara malnutrisi
dengan episode ISPA.9
2.1.4.5. Faktor Pendidikan Ibu
Ibu dengan pendidikan yang baik akan memiliki akses informasi yang
lebih luas sehingga berdampak positif terhadap cara merawat bayi. Kemampuan
merawat bayi oleh seorang ibu ada hubungannya dengan tingkat kemampuan
masyarakat. Itulah sebabnya sehingga Infant Mortality Rate (IMR) suatu negara
dijadikan sebagai parameter terhadap kemajuan negara tersebut.9
2.1.4.6. Status Sosioekonomi
Diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi yang
rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Sebuah
penelitian telah di Filipina membuktikan bahwa sosiaoekonomi orang tua yang
rendah akan
meningkatkan resiko ISPA pada anak usia kurang dari 1 tahun.9
2.1.4.7. Polusi Udara
Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA adalah rendahnya kualitas
udara di dalam rumah ataupun di luar rumah baik secara biologis, fisik maupun
kimia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia untuk mengetahui efek pencemaran udara
terhadap gangguan saluran pernafasan pada siswa Sekolah Dasar (SD) dengan
membandingkan antara mereka yang tinggal di wilayah pencemaran udara tinggi
dengan siswa yang tinggal di wilayah pencemaran udara rendah di Jakarta. Dari
hasil penelitian tidak ditemukan adanya perbedaan kejadian baru atau insiden
penyakit atau gangguan saluran pernafasan pada siswa SD di kedua wilayah

pencemaran udara.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran menjadi tidak berbeda
dengan wilayah dengan tingkat pencemaran tinggi sehingga tidak ada lagi tempat
yang aman untuk semua orang untuk tidak menderita gangguan saluran
pemafasan. Hal ini menunjukkan bahwa polusi udara sangat berpengaruh
terhadap terjadinya penyakit ISPA.

Adanya ventilasi rumah yang kurang

sempurna dan asap tungku di dalam rumah akan mempermudah terjadinya ISPA
pada anak.9
2.1.4.8. Faktor Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulanbulan pertama kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi
bayi tetapi juga sebagai sumber zat antimikroorganisme yang kuat, karena adanya
beberapa faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem biologis. ASI
dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel
imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas.10
2.1.5. Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya

virus sebagai antigen ke saluran pernafasan

menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak ke


atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus
oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan
lapisan mukosa saluran pernafasan.
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan

menyebabkan

kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
pernafasan, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal.
Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga
pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.11

Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder


bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris
yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap
infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada
saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza
dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder
bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat
saluran pernafasan sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk
yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti
kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan
adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran pernafasan dapat menimbulkan
gangguan gizi akut pada bayi dan anak.
Virus yang

menyerang saluran pernafasan atas dapat menyebar ke

tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang,


demam, dan juga menyebar ke saluran pernafasan bawah. Dampak infeksi
sekunder bakteri pun menyerang saluran pernafasan bawah, sehingga bakteribakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah
terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan
pneumonia bakteri. Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus
diperhatikan aspek imunologis saluran pernafasan terutama dalam hal bahwa
sistem imun di saluran pernafasan yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak
sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya.
Sistem imun saluran pernafasan yang terdiri dari folikel dan jaringan
limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas sistem imun mukosa. Ciri khas
berikutnya adalah bahwa imunoglobulin A (IgA) memegang peranan pada saluran
pernafasan atas sedangkan imunoglobulin G (IgG) pada saluran pernafasan
bawah. Diketahui pula

bahwa

sekretori IgA sangat berperan dalam

mempertahankan integritas mukosa saluran pernafasan. 10


Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi
menjadi empat tahap, yaitu:10

Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan


reaksi apa-apa.
1. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya
memang sudah rendah.
2. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul
gejala demam dan batuk.
3. Tahap lanjut penyakit, dibagi

menjadi

empat, yaitu dapat sembuh

sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat


meninggal akibat pneumonia.

2.2. Definisi dan Klasifikasi OMA


Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.

Otitis

media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media
non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis.
Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media
tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media
adhesiva . 11
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala
dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal
atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia,
demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi
membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga
tengah. Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai
dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas pada
membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore.

11

2.3.1 Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut
penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya
melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus
lain tergolong sebagai non- patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme
penyebabnya. Tiga

jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah

Streptococcus pneumoniae
30%) dan

Moraxella

(40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25catarhalis (10-15%). Kira-kira 5%

patogen-patogen yang lain seperti

kasus dijumpai

Streptococcus pyogenes (group A beta-

hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus


aureus, dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus
yang menjalani rawat inap di rumah sakit.
Haemophilus influenzae

sering dijumpai pada anak balita.

Jenis

mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang
dijumpai pada anak-anak.13
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri
atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering
dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus

(RSV),

influenza

virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai


parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak
buruk

terhadap fungsi

tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal,

meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan


menganggu mekanisme farmakokinetiknya. Dengan
polymerase

chain

reaction

(PCR)

dan

virus

menggunakan teknik
specific

enzyme-linked

immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga


tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).
Menurut Bluestone (2001) dalam Klein (2009), distribusi mikroorganisme
yang diisolasi dari cairan telinga tengah, dari 2807 orang pasien OMA di

Pittsburgh Otitis Media Research Center, pada tahun 1980 sampai dengan
1989 adalah seperti berikut:13

Gambar 2.1. Distribusi mikroorganisme yang diisolasi dari cairan telinga tengah
pasien OMA.13

2.3.2 Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor
genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu
formula, lingkungan merokok,

kontak dengan anak lain, abnormalitas

kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran


pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lainlain.13
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens
OMA pada baydan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi
tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh
atau status imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media
pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan.

Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian


menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor
genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti
kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi
rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA
pada anak- anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu,
anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan
merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan
dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering
dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga
meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah
terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut

terganggu, anak

mudah

menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang


sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus.

14

2.3.3. Gejala Klinis


Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek
sebelumnya.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri,
terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi
dapat mencapai 39,5 C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur,
tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak
memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret
mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang. 15
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya
suatu penyakit Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang
tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta

membran timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging.


Menurut Dagan dalam Titisari, skor OMA adalah seperti berikut: 16
Tabel 2.1. Skor OMA
Skor

Suhu (C)

Gelisah

<38,0

38,0- 38,5 Ringan

38,6- 39,0

Sedang

>39,0

Berat

Nyeri tarik

Ringan
Sedang
Berat

Kemerahan

Bengkak pada

pada

membran

membran

timpani

Ringan

Ringan

Sedang

Sedang

Berat

Berat, termasuk
otore

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0


hingga 3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.
2.3.4 Fisiologi, Patologi dan Patogenesis
Tuba Eustachius
Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada
otitis media. Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga
telinga tengah dengan nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua
pertiga ke arah nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang. 15
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru
terbuka

apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat

mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi


muskulus tensor veli palatine apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan
tekanan udara luar antara 20 sampai dengan 40 mmHg.
Tuba

Eustachius mempunyai tiga

fungsi penting,

yaitu

ventilasi,

proteksi, dan drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara
dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu
melindung telinga tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret
atau cairan dari nasofaring ke telinga tengah. Drainase
mengalirkan hasil sekret cairan telinga tengah ke nasofaring.

bertujuan untuk
15

Patogenesis OMA
Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi
saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema
pada mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba

Eustachius.

Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada
telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan
refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah
melalui tuba

Eustachius. Mukosa telinga tengah

bergantung pada tuba

Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring.


Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi
kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor
pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi.
Bila tuba

Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu,

mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian


terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran
pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan
menyebabkan disfungsi tuba Eustachius.

Virus

respiratori

juga

dapat

meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan


imum pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari
proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani
dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran.
Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani
akibat tekanannya yang meninggi. 15
Obstruksi tuba

Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan

ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses

inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di
telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan
dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba

Eustachius, sehingga

mekanisme

pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi


adenoid. 15

2.3.5. Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA


Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan
orang dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan
kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran
pernapasan atas lebih mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang
dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm.15
Ini meningkatkan peluang terjadinya refluks dari nasofaring menganggu
drainase melalui tuba Eustachius. Insidens terjadinya otitis media pada anak yang
berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna dan
diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan
disfungsi tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga
mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah
satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada
anak, adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid yang
berdekatan dengan muara tuba

Eustachius

sehingga adenoid yang besar

dapat mengganggu terbukanya tuba Eusthacius. Selain itu, adenoid dapat


terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah.15

Gambar 2.2. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang
Dewasa 15

2.3.6. Stadium OMA


OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi

menjadi

lima stadium,

bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi
tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi,
stadium perforasi dan stadium resolusi . 16

Gambar 2.3. Membran Timpani Normal16


1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius 16
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh
retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam

telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi
dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang.
Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain
retraksi, membran timpani kadang- kadang tetap normal dan tidak ada kelainan,
atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat
dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang
disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini.

Gambar 2.4. Membran Timpani stadium oklusi tuba


2.

Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi 16

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang
ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya
sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba
yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik.
Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi
kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin
masih

normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses

hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum
timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari.

Gambar 2.5. Membran Timpani Hiperemis


3. Stadium Supurasi 16

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau


bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada
mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur.
Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan
tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran
konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa
dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus
berlangsung

di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil,

sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan


nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot.
Keadaan

stadium

supurasi

dapat

ditangani

dengan

melakukan

miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada
membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang
telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan
apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali.

Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi.

Gambar 2.6. Membran Timpani Bulging

4.

Stadium Perforasi 16
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret

berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang
telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut).
Stadium

ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik

dan

tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih
tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah
tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media
supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih
satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media
supuratif kronik.

Gambar 2.7. Membran Timpani Peforasi


5.

Stadium Resolusi 16
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan

berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran


timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali
dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali
normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran
timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis
media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani
menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani
tanpa mengalami perforasi membran timpani.
2.4.Diagosa
Kriteria Diagnosis OMA
Menurut Kerschner, kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal
berikut, yaitu: 16
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di
telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda
berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas
atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di

belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau
erythema pada

membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang

mengganggu tidur dan aktivitas normal.


Keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-sedang, dan
berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah,
mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang
membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen.
Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti
demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada
membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan
ditandai dengan demam melebihi 39,0 C, dan disertai dengan otalgia yang
bersifat sedang sampai berat. 16
2.5 Penatalaksanaan
Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan
pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan
pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan
pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania
dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba
Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem
imun lokal dan sistemik. Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk
membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah
hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik
untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis
untuk anak yang berumur di atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi
harus diobati dengan pemberian antibiotik.17

Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin.
Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin,
diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis. Pada stadium

supurasi, selain

diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila


membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
ruptur.17
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang
secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga ( ear toilet) H2O2 3%
selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu.
Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai
dengan 10 hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret
mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik
dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah
terjadi mastoiditis. 18
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam
dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik
yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif
seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang
resisten terhadap antibiotik meningkat. 18
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut,
terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga

tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39 C
dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat
atau demam 39 C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan
pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat
pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun.
Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan
ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi. Menurut American Academic of
Pediatric (2004), amoksisilin merupakan

first-line terapi dengan pemberian

80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin


efektif terhadap

Streptococcus penumoniae

. Jika pasien alergi ringan

terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line


terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae
danMoraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae . Pneumococcal
7-valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis
media. 18
Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,
seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi.
1.

19

Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani,

supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya
adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga
membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran
posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak
perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah. Indikasi miringostomi
pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti
paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi

third-line pada pasien yang mengalami

kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu

tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang


respon kurang memuaskan terhadap terapi

second-line, untuk menidentifikasi

mikroorganisme melalui kultur .


2.

Timpanosintesis
Timpanosintesis

merupakan pungsi pada membran timpani, dengan

analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi


timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi
supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Pipa
timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga
tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam
tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.

3.

Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media

dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi
dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak
kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak
dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan
rinosinusitis rekuren.
2.6.

Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai

dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis
komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik.
Komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membrane
timpani,

mastoiditis akut, paresis nervus

ekstratemporal
tromboflebitis).19

(abses

subperiosteal),

fasialis,
dan

labirinitis, petrositis),

intracranial

(abses

otak,

2.7.

Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah

ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat,
menganjurkan pemberian ASI minimal

enam bulan, menghindarkan pajanan

terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain.19

2.8. Otitis media Supuratif Kronik


Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah infeksi kronik telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga tengah
secara terus menerus atau

hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental,

bening, atau nanah. Biasanya disertai gangguan pendengaran.20

Gambar 2.8 Otitis media Supuratif Kronik


a). Etiologi
Sebagian besar OMSK merupakan kelanjutan OMA yang prosesnya sudah
berjalan lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor penyebab adalah terapi

yang

terlambat, terapi tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh rendah,
atau kebersihan buruk. Bila kurang dari 2 bulan disebut subakut. Sebagian kecil
perforasi

membran

timpani terjadi akibat trauma telinga tengah. Kuman

penyebab biasanya Gram positif aerob, sedangkan pada infeksi yang telah
berlangsung lama sering juga terdapat sering juga terdapat kuman Gram
negatif dan anaerob.20
b). Patofisiologi

OMSK dibagi dalam 2 jenis, yaitu benigna atau tipe mukosa, dan
maligna atau tipe tulang. Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum timpani
secara aktif juga dikenal tipe aktif dan tipe tenang. Pada OMSK benigna
peradangan terbatas pada mukosa saja, tidak mengenai tulang. Perforasi
terletak disentral. Jarang menimbulkan komplikasi berbahaya dan tidak
terdapat kolesteatong. OMSK tipe maligna disertai dengan kolesteatom.
Perforasi

terletak

marginal,

subtotal, atau diatik. Sering menimbulkan

komplikasi yang berbahaya atau fatal. 21


Patogensis OMSK belum diketahui secara lengkap, tatapi dalam hal ini
merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang
sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi
sekunder pada OMA dapat terjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga
tengah misal perforasi kering. Beberapa penulis menyatakan keadaan ini sebagai
keadaan inaktif dari otitis media kronis. 21
Suatu teori tentang patogenesis dikemukan dalam buku modern yang
umumnya telah diterima sebagai fakta. Hipotesis ini menyatakan bahwa
terjadinya

otitis

media

nekrotikans,

terutama

pada

masa

anak-anak,

menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut
berlalu, gendang telinga tetap berlubang, atau sembuh dengan membran yang
atrofi yang kemudian dapat kolaps kedalam telinga tengah, memberi gambaran
otitis

atelektasis.

Hipotesis

ini

mengabaikan beberapa kenyataan yang

menimbulkan keraguan atas kebenarannya, antara lain: 21


1. Hampir seluruh kasus otitis media akut sembuh dengan perbaikan lengkap
membran timpani. Pembentukan jaringan parut jarang terjadi, biasanya
ditandai oleh penebalan dan bukannya atrofi.
2.

Otitis media nekrotikans sangat jarang ditemukan sejak digunakannya


antibiotik. Penulis (DFA) hanya menemukan kurang dari selusin kasus
dalam 25 tahun terakhir. Dipihak lain, kejadian penyakit telinga kronis tidak
berkurang dalam periode tersebut.

3. pasien dengan penyakit telinga kronis tidak mempunyai riwayat otitis akut

pada permulaannya, melainkan lebih sering berlangsung tanpa gejala dan


bertambah secara bertahap, sampai diperlukan pertolongan beberapa tahun
kemudian setelah pasien menyadari adanya masalah. Anak-anak tidak
dibawa berobat sampai terjadi gangguan pendengaran yang ditemukan pada
pemeriksaan berkala disekolah atau merasa terganggu karena sekret yang
selalu keluar dari telinga

Gambar2.9 Perforasi gendang telinga


c). Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh otore, vertigo, tinitus, rasa penuh ditelinga, atau
gangguan pendengaran. Mengingat bahaya komplikasi, OMSK malligna harus
dideteksi sejak dini. Diagnosis pasti ditegakkan pada penemuan dikamar operasi.
Beberapa tanda klinis sebagai pedoman adalah perporasi pada marginal atau
atik, abses atau fistelretroaurikuler, polip atau jaringan granulasi di liang telinga
luar yang berasal dari telingah tengah, kolesteatom pada telinga tengah, sekret
berbentuk nanah dan berbau khas.22

Gambar 2.10 Pengobatan otitis media akut dengan cara pencangkokan


d). Komplikasi
Paralisis nervus fasialis, fistula labirin, labirititis, labirintitis supuratif,
petrositis, tromboflebitis sinus lateral, abses subdural, meningitis, abses otak,
dan hidrosefalus otitis. Otitis media kronis mengakibatkan defisit pendengaran
konduktif yang di sebabkan oleh gangguan kompleks timpano-okular. Namun
bila infeksi terjadi pada telinga tengah juga, kita dapat menemukan semua
komplikasi yang telah diuraikan pada otitis media akut. Infeksi berulang
dengan perforasi menetap juga dikaitkan dengan kehilangan pendengaran
sensorineural progresif.22

Anda mungkin juga menyukai