Anda di halaman 1dari 11

TRAUMA LARING

I. PENDAHULUAN
Trauma laring eksterna adalah termasuk trauma yang tidak lazim, diperkirakan
kurang lebih 1 dari 30.000 kunjungan UGD. Hal ini menguntungkan, sebab trauma
laring dapat mengakibatkan masalah obstruksi jalan nafas yang serius dan dapat
merusak produksi suara bila tidak didiagnosis dengan benar secepatnya. Pokok
utama yang harus diperhatikan dalam trauma laring akut adalah melindungi jalan
nafas. Fungsi vokal, selain merupakan prioritas kedua karena harus mendahulukan
keselamatan, biasanya ditentukan oleh efektifitas dari penanganan awal. Karena
itu, penting sekali bagi seorang otolaringologis untuk dapat mengenali dan
mendiagnosis serta mengetahui penanganan yang tepat bagi jenis trauma yang
jarang, tetapi cukup serius ini.(1,3)

Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka
sayat, luka tusuk, dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat
menghancurkan struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak
seperti otot, saraf, pembuluh darah, dan struktur lainnya. Hal ini sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari, seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher
membentur dashboard dalam kecelakaan waktu mobil berhenti tiba-tiba,
tertendang, atau terpukul waktu olahraga beladiri, dicekik, atau usaha bunuh diri
dengan menggantung diri.(2)
Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah
kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan menyembuhkan.
Seperti kita ketahui, dalam penanganan trauma dikenal primary survey yang cepat
dilanjutkan resusitasi kemudian secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan
resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada primary survey dikenal sistem
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure/Environmental control)
yang disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi prioritas utama
penanganan adalah menjamin jalan napas terjaga adekuat. Oleh karena itu, trauma
jalan nafas adalah keadaan yang memerlukan penanganan yang cepat dan efektif
untuk menghindari akibat yang tidak diinginkan.(1,3)
Penulis lain melaporkan insidensi trauma laring < 1% dari semua kasus trauma.
Mortalitas trauma laringotrakea cukup tinggi yaitu 20-40%. Penulis lain melaporkan
bahwa 21% pasien dengan trauma tumpul jalan napas meninggal pada 2 jam
pertama setelah kedatangannya di UGD. Dari data tersebut, dapat disimpulkan

bahwa trauma laringotrakea merupakan keadaan yang jarang ditemukan namun


mengancam jiwa, sehingga dipandang perlu untuk dibuat tinjauan pustakanya.(3)

II. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian kasus trauma laringotrakea dilaporkan bervariasi namun cenderung
meningkat. Trauma laringotrakea merupakan kasus yang jarang dan 80% kasus
terjadi pada 2,5 cm diatas carina.(3)
Dalam suatu studi population based oleh Jewett dkk, insiden trauma laringotrakea
adalah 1:137.000. Schaefer melaporkan insiden trauma laringotrakea (TLT) adalah 1
dari 30.000 kasus trauma tumpul yang datang ke UGD. Bent dkk melaporkan 1
kasus TLT dari 5000 kasus trauma tumpul dan tajam yang datang ke UGD. Gussack
dkk melaporkan insidennya < 1% dari semua kasus trauma.(3)
Sabina dkk melaporkan 23 kasus TLT selama 1992-1998, 12 kasus cedera laring, 8
kasus cedera trakea dan 3 kasus mengenai keduanya. Sembilan belas dari 23 kasus
akibat trauma tajam (82,6%), 4 kasus akibat trauma tumpul. Hal ini sesuai dengan
penemuan dari Lee bahwa insiden trauma laringotrakea berkisar 2-4 kasus/tahun.
Shelly dkk, mendapatkan 65 kasus trauma laringotrakea dari 700 kasus trauma
leher dalam kurun waktu 27 tahun (1947-1974). Sebelas dari 65 kasus tersebut
(1,6%) mengalami trauma tumpul dan 54 sisanya (7,6%) mengalami trauma
tembus.(3)
TLT lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada wanita.1,3,10 Symbas
melaporkan perbandingannya adalah 5:1, dan lebih sering ditemukan pada usia
produktif (19-40 tahun). Kemungkinan hal tersebut disebabkan karena laki-laki lebih
tinggi mobilitasnya dibandingkan dengan wanita.(3)

III. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu masuk
jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di atas ia membuka ke dalam
laringofaring, dan di bawah ia bersambung dengan trakea. Kerangka laring dibentuk
oleh beberapa tulang rawan (yaitu: hioid, epiglotis, tiroid, aritenoid dan krikoid)
yang dihubungkan oleh ligamentum dan digerakkan oleh otot.(3)
Saraf sensorik mukosa laring di atas plika vokalis berasal dari ramus laringeus
internus cabang dari nervus laringeus superior sedangkan di bawah plika vokalis
disarafi oleh nervus laringeus rekurens. Persarafan motorik ke otot intrinsik laring
melalui nervus laringeus rekurens kecuali untuk m.cricotiroideus yang dipersarafi
oleh nervus laringeus eksternus. Pendarahan laring bagian atas dipasok oleh ramus

laringeus superior dari a.tiroidea superior sedangkan bagian bawah oleh ramus
laringeus inferior dari a.tiroidea inferior.(3)
Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri dari
rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung
pita suara. Ruang berbentuk segitiga di antara pita suara (yaitu glottis) bermuara ke
dalam trakea dan membentuk bagian antara saluran pernafasan atas dan bawah.
Glottis merupakan pemisah antara saluran pernafasan atas dan bawah. Meskipun
laring terutama dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya sebagai
organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan, gerakan laring ke atas,
penutupan glottis, dan fungsi seperti pintu dari epiglottis yang berbentuk daun pada
pintu masuk laring, berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk ke
dalam esophagus. Jika benda asing masih mampu masuk melampaui glottis, fungsi
batuk yang dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan sekret keluar dari
saluran pernafasan bagian bawah.(4)
Laring dilindungi dengan baik oleh mandibula, sternum, dan mekanisme fleksi dari
leher. Fungsi primer dari laring adalah sebagai jalan nafas, melindungi saluran
pernafasan di bawahnya, dan memproduksi suara. Laring dapat dibagi menjadi 3
area : supraglottis, glottis and subglottis. Sebagai penyangganya adalah os hyoid,
kartilago tiroid, dan kartilago krikoid. Supraglottis adalah area yang paling tidak
bergantung pada penyangga eksternal, dan mengandung sebagian besar jaringan
lunak dan mukosa. Glottis sangat bergantung pada penyangga eksternal dan
dengan koordinasi mobilitas krikoaritenoid dan aktifitas neuromuskular mengatur
jalan nafas dan memproduksi fonasi. Pada orang dewasa, jalan nafas mengalami
penyempitan di daerah glottis. Oleh karena itu, trauma yang terjadi di area ini dapat
berimbas paling buruk untuk usaha mempertahankan jalan nafas. Subglottis
disangga hanya oleh kartilago sirkuler pada laring, yaitu krikoid, yang merupakan
area tersempit dalam jalan nafas bayi dan anak-anak.(1)

Anatomi laring(5)

III. ETIOLOGI
Ballanger membagi penyebab trauma laring atas(2) :

Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi


atau krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasi
endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster).
Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan panas) dan kimia (cairan
alkohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.
Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal abuse) misalnya
akibat menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.

IV. GEJALA KLINIK


Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama.
Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan yang makin menghebat atau timbul
mendadak sesudah trauma merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas. Suara
serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pita suara
akibat trauma seperti edema, hematoma, laserasi, atau parese pita suara.(2)
Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea, atau fraktur
tulang-tulang laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan
masuk ke jaringan subkutis di leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke
daerah muka, dada, dan abdomen, dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi
kulit.(2)
Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya banyak
dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka tusuk,
luka sayat, luka tembak, maupun luka tumpul. Disfagia (kesulitan menelan) juga
dapat timbul akibat trauma laring.(2)

V. PATOFISIOLOGI
Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plia ariepiglotika dan
plika ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah
membengkak. Selain itu mukosa faring dan laring mudah robek, yang akan diikuti
dengan terbentuknya emfisema subkutis. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat
menyebabkan selulitis, abses, atau fistel.(2)
Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan dislokasi.
Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis tulang
rawan, dan perikondritis.(2)

Robekan mukosa yang tidak dijahit dengan baik, yang diikuti oleh infeksi sekunder,
dapat menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis, dan akhirnya
stenosis.(2)
Boies (1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan
yang timbul, dalam 3 golongan(2) :
1.
Trauma dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema
submukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan.
2.

Trauma yang dapat mengakibatkan tulang rawan hancur (crushing injuries).

3.

Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang.

Pembagian golongan trauma ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer
laring dan trakea, yaitu sebagai saluran nafas yang adekuat.
Trauma Inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung
mencederai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran napas bawah.
Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang
menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena.(3)
Trauma Intubasi
Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat pemasangan
atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi
nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang
berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma
yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang
mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering menyebabkan
sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal,
erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata, dan ruptur
bronkial. Jumlah pasien yang mengalami trauma laringeal akibat intubasi
sebenarnya masih belum jelas, namun sebuah studi prospektif oleh Kambic dan
Radsel melaporkan kira-kira 0.1 % pasien.(3)
Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan
etiologi yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff
dengan volume tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakea
pada tipe trauma ini, namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadi
indikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada beberapa
faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi (tabel 1).
(3)

Tabel 1. Faktor resiko terjadinya trauma intubasi(6)

Faktor resiko yang pasti


Faktor resiko yang masih mungkin
Dugaan, belum terbukti sebagai faktor resiko
Wanita
Usia > 50 tahun
Tube dengan lumen ganda
Pengembangan balon / cuff berlebihan
Penggunaan kortikosteroid
Trakeomalacia
Posisi yang salah dari tube
Kondisi medis yang buruk
Kesalahan penggunaan mandrain
Batuk yang terlalu keras dan berlebihan

Trakeostomi perkutan
Perawakan pendek
Obesitas.

Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan
oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan
pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laringotrakea yang kemudian
membentur kemudi, handle bars atau dash board. Trauma tumpul lebih sering
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di antara
jok mobil dan setir atau dikeluarkan darikendaraan dan terhimpit di antara kepingan
kendaraan yang mengalami kecelakaan.(3)

Kirsk dan Orringer serta beberapa penulis lain menyatakan bahwa trauma langsung
pada leher bagian depan dapat mengakibatkan rusaknya cincin trakea maupun
laring. Berkowitz melaporkan trauma tumpul langsung pada daerah leher dapat
menyebabkan ruptur trakea pars membranosa. Hal ini terjadi akibat tekanan
intraluminer yang mendadak tinggi pada posisi glotis yang tertutup akan menyobek
bagian trakea yang terlemah (trakea pars membranosa). Mekanisme lain yang
cukup berperan adalah trauma tumpul akan menekan kartilago trakea yang
berbentuk U ke tulang vertebrae, hal ini menjelaskan kenapa laserasi yang terjadi
cenderung sesuai level dari trumanya.(3)
Trauma tumpul laringotrakea pada anak jarang dijumpai dan bila dijumpai biasanya
jarang menimbulkan kerusakan/fraktur kartilago, kecuali trauma yang didapat
cukup keras. Hal tersebut disebabkan karena rawan pada laringotrakea anak-anak
masih sangat elastis dibandingkan dengan orang dewasa. Namun kerusakan
jaringan lunak (edema dan hematom) yang terjadi pada anak-anak dengan trauma
tumpul laringotrakea jauh lebih hebat dibanding pada dewasa, hal ini disebabkan
karena struktur fibroa yang jarang dan lemahnya perlekatan jaringan submukosa
dengan perikondrium.(3)
Penyebab yang lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada
trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan
mengakibatkan tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan
robekan pada bagian membran trakea.16 Robekan ini terjadi akibat diameter
transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan
diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang
mendadak.(3)
Pada trauma tumpul dan tembak semua kerusakan berbentuk stelata, seperti
dikatakan oleh Boyd dkk., bahwa trauma tembak akan mengakibatkan kerusakan
yang besar karena energi kinetik yang disebabkan oleh peluru. Demikian juga
halnya dengan trauma tumpul. Energi yang diterima permukaan tubuh akan
dihantarkan ke sekitarnya sehingga dapat merusak jaringan sekitarnya. Berbeda
dengan trauma tajam, permukaan tubuh yang menerima energi lebih kecil. Selain
itu energi yang diterima hanya diteruskan ke satu arah saja.(3)
Mekanisme cedera laringotrakea akibat trauma tumpul dapat disimpulkan menjadi
empat yaitu: penurunan diameter anteroposterior rongga thoraks, deselerasi yang
cepat, peningkatan mendadak tekanan intraluminal laringotrakea pada glotis yang
tertutup dan trauma benturan langsung.(3)
Trauma Tajam
Trauma laringotrakea sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang
paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai
adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka
kejadian trauma tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih

banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk. Crowded urban
menurut beberapa penulis memang merupakan penyumbang terbanyak pada
trauma laringotrakea selain jalan bebas hambatan.1 Para penulis menyimpulkan
bahwa trauma tembus tajam dan trauma tembus tembak cenderung semakin
meningkat terutama karena kejahatan.(3)
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas,
trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka
tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas
bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis.
Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan oleh
trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.(3)
Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laringotrakea adalah tentament suicide pada pasien dengan
gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Selain penyebab di atas,
pernah dilaporkan adanya trauma laringotrakea akibat : iatrogenik injuries
(mediastinoskopi, transtracheal oxygen therapy, mechanical ventilation), pisau
cukur, strangulasi, electrical injury, luka bakar, dan caustic injury.(3)
Patologi pada saluran nafas atas
Cairan edema dapat cepat terkumpul di submukosa supraglotis dan subglotis.
Pembengkakan daerah endolaring subglotis cenderung melingkar sehingga akan
menimbulkan obstruksi saluran napas. Masuknya udara ke dalam ruang submukosa
akan lebih mengurangi diameter laring dan trakea. Udara di dalam jaringan lunak
(emfisema) akan menyebabkan emfisema epiglotis dan penyempitan saluran napas
supraglotis.(3)
Edema submukosa dan pembentukan hematom terjadi dalam beberapa jam setelah
trauma. Oleh karena itu tidak mungkin obstruksi jalan napas baru terjadi setelah 6
jam pasca trauma. Banyak faktor yang mempengaruhi tipe / jenis cedera yang
terjadi pada saluran napas seperti arah dan kekuatan gaya, posisi leher, umur,
konsistensi kartilago laringotrakea dan jaringan lunaknya. Cedera yang terjadi dapat
berupa kontusio laringotrakea, edema, hematom, avulsi, fraktur dan dislokasi
kartilago tiroid, krikoid serta trakea.(3)

VII. DIAGNOSIS
Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher setinggi laring,
misalnya oleh pisau, clurit, dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka
pada laring meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh karena terjadinya
asfiksia. Diagnosis luka terbuka di laring dapat ditegakkan dengan adanya

gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh karena udara yang keluar dari
trakea.(2)
Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit.
Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu segera
dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja.
Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan dada,
sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan tidak
sadar dan sesak nafas.(2)
Gejalanya tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan gejalanya
dapat berupa nyeri pada waktu menelan, batuk, atau bicara. Di samping itu
mungkin terdapat suara parau, tetapi belum terdapat sesak nafas. Pada trauma
berat dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring,
sehingga menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas (stridor dan dispnea), disfonia
atau afonia, hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia serta emfisema yang
ditemukan di daerah muka, dada, leher, dan mediastinum.(2)

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup.
Luka terbuka
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan
saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus
dilakukan adalah trakeotomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai
balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan
eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah yang cedera serta
menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Untuk mencegah infeksi dan
tetanus dapat diberikan antibiotika dan serum anti-tetanus.(2)
Luka tertutup (closed injury)
Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa memikirkan
penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di kemudian hari, yaitu
kesukaran dekanulasi. Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam
waktu paling lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setelah
lewat seminggu akan memberikan hasil yang kurang baik dan menimbulkan
komplikasi di kemudian hari.(2)
Keputusan untuk menentukan sikap, apakah akan melakukan eksplorasi atau
konservatif, tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung atau tidak

langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks, dan CT scan. Pada umumnya
pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi dan pemberian
kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa laring yang edem, hematoma, atau
laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring.(2)
Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah(2) :
1.

Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.

2.

Emfisema subkutis yang progresif.

3.

Laserasi mukosa yang luas.

4.

Tulang rawan krikoid yang terbuka.

5.

Paralisis bilateral pita suara.

Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal. Tujuannya
ialah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami
fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan yang
terbuka dengan gelambir (flap) atau tandur alih (graft) kulit. Untuk menyanggah
lumen laring dapat digunakan stent atau mold dari silastik, porteks atau silicon,
yang dipertahankan selama 4 atau 6 minggu.(2)

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada luka terbuka adalah aspirasi darah, paralisis pita
suara, dan stenosis laring.(2)

MORBIDITAS DAN MORTALITAS


Pasien yang mengalami cedera berat laringotrakea biasanya akan mengalami
gangguan menetap jalan napas dan gangguan bersuara serta kesulitan
memproteksi aspirasi isi faring. Komplikasi ini terjadi karena kontraktur dari skar
atau granulasi yang hebat / berlebihan. Pasien dengan trauma tumpul leher
cenderung mengalami komplikasi lambat yang banyak seperti kesulitan fonasi
dibanding pada trauma tajam. Komplikasi lambat lebih sering ditemukan bila terapi
definitif baru dilakukan setelah >24 jam pasca trauma.(3)
Lebih dari 75% trauma tumpul laringotrakea meninggal di tempat kejadian atau
pada saat menuju rumah sakit, dan setelah tindakan operatif-pun angka
mortalitasnya masih mencapai 14-25% akibat cedera lain yang menyertai.10
Penulis lain melaporkan bahwa 21% pasien dengan trauma tumpul jalan napas
meninggal pada 2 jam pertama setelah kedatangannya di UGD.4 Mortalitas pasien

dengan trauma jalan napas dilaporkan berkisar 15-30% dan biasanya disebabkan
karena syok yang irreversibel, aspirasi masif darah, cedera vaskuler di daerah
servikotorakal dan cedera organ ikutan.4 Namun Lee dan Chagnon menyatakan
bahwa penyebab kematian tersering pada trauma laringotrakea adalah obstruksi
jalan nafas akibat aspirasi darah.1 Mortalitas pada trauma tumpul lebih besar
dibanding pada trauma tajam, dilaporkan pada trauma tumpul 40% sedangkan
pada trauma tajam hanya 20%.(3)

DAFTAR PUSTAKA

1.
Quinn FB, Ryan MW. Laryngeal trauma. September 2003. Online [cited July
2009] available from URL http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Laryng-Trauma-20030903/Laryng-trauma-2003-0902.htm.
2.
Soepardi EA, Iskandar HN (edit). Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidungtenggorok kepala leher. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2001.p.170-2.
3.
Akhmadu, Wuryantoro. Trauma laringotrakea. 2007. Online [cited July 2009]
available from URL http://www.bedahtkv.com/index.php?/Paper/Referat-danTinjauan-Pustaka/Trauma-Laringotrakea.html
4.
Price SA, Wilson LM. Sistem respirasi. Patofisiologi:konsep klinis proses-proses
penyakit volume II edisi keenam. Jakarta:EGC;2005. p.737.
5.
Anonymous. Larynx. Online [cited July 2009] available from URL
http://en.wikipedia.org/wiki/Larynx
6.
Chen EH, Logman ZM, et al. A case of tracheal injury after emergent
endotracheal intubation: a review of the literature and causalities. Anesth Analg
Case Report 2001;93:1270-1.

SKYDRUGZ: Refarat Trauma Laring http://skydrugz.blogspot.com/2012/05/refarattrauma-laring.html#ixzz3dlksp9bT

Anda mungkin juga menyukai