Anda di halaman 1dari 9

LeukimiaMieloblastikKronik

A. Leukimia Mieloblastik Kronik


a. DEFINISI LEUKIMIA KRONIK
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik kronik
adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah satu
penyakit mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006).
Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus-menerus terkait
dengan gen gabungan BCR-ABL (Vardiman, 2007).
Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit
tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan
diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, sampai granulosit (Fadjari, 2006).
Leukemia mielositik kronik yang paling umum adalah disertai dengan kromosom
Philadelphia (Ph) (Hoffbrand et al, 2005).

b. PENYEBAB
Penyakit ini berhubungan dengan suatu kelainan kromosom yang disebut kromosom
filadelfia (Philadelphia ditemukan pada sekitar 80% dari pasien dengan leukemia mielositik
kronis).

c.

ETIOLOGI
Radiasi. Hal ini ditunjang dengan beberapa laporan dari beberapa riset yang menangani
kasus Leukemia bahwa Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia, Penerita
dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia, Leukemia ditemukan pada korban hidup
kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
Leukemogenik. Beberapa zat kimia dilaporkan telah diidentifikasi dapat mempengaruhi
frekuensi leukemia, misalnya racun lingkungan seperti benzena, bahan kimia inustri seperti
insektisida, obat-obatan yang digunakan untuk kemoterapi.
Herediter. Penderita Down Syndrom memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar
dari orang normal.
Virus. Beberapa jenis virus dapat menyebabkan leukemia, seperti retrovirus, virus
leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.

d. Patofisiologi
LMK merupakan penyakit keganasan pertama yang dijumpai berhubungan dengan kelainan
genetic spesifik yaitu pada krosomom nomor 22 (Ph kromosom. Pada lebih dari 90 % pasien terdapat
pergantian sumsum tulang normal oleh sel dengan kromosom golongan G abnormal (nomor 22)kromosom Philadelphia atau Ph. Abnormalitas terjadi karena adanya translokasi bagian lengan
panjang (q) kromosom 22 ke kromosom lain, biasanya kromosom 9 pada golongan C. Ini adalah
abnormalitas akuisita yang ada dalam semua sel granulositik, eritroid dan megakariositik yang

sedang membelah dalam sumsum tulang dan juga dalam sel limposit B. Peningkatan besar dalam
massa graulosit total tubuh bertanggung jawab untuk kebanyakan gambaran klinisnya.
Akibat kromosom lain (sering kromosom 9) menerima translokasi lengan panjang (q) kromosom
22 maka akan terbentuk gen hybrid, yang dapat memproduksi fosfoprotein-P210, yang memiliki
aktivitas tirosin kinase yang berbeda dari normal. Perubahan aktivitas tirosin kinase inilah yang
menyebabkan terjadinya transformasi selular yang mendasari timbulnya LMK. Terjadinya krisis blastik
pada LMK dihubungkan dengan munculnya gen yang memproduksi cyklin-dependent kinase-2
inhibitor (CDKN-2) atau dikenal dengan Ph-2 kromosom pada kromosom nomor 9, dimana gen
tersebut memiliki sifat mengaktifkan pertumbuhan sel ganas. Di samping itu ada penelitian
mendapatkan adanya T-sel resptor abnormal denan teknik polimerase pada darah tepi penderita
LMK. Khususnya fase akselerasi dan blas.

Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :


1.
Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan
sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan
darah perifer dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis
akibat hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan
penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan anemia normokromik normositer, dengan kadar leukosit
meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh
stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.
2. Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi
yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama
beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :

Panas tanpa penyebab yang jelas.

Spleenomegali progresif.

Trombositosis.

Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).

Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau


mononuclear yang besar.

Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.

Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.


3. Fase Krisis Blast
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel
blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan
limfoblas. Jika sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena
sindrom hiperleukositosis.
e. PATHWAY
Terlampir

f.

KLASIFIKASI
CML terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu :

1.

Lekemia myeloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (chronic granulocytic leukemia, CGL)

2.

Leukemia myeloid kronik, Ph negatif (CML, Ph-) Kurang dari 5% pasien yang memiliki gambaran
mengesankan CML, tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR ABL. Pasien pasien ini
biasanya mempunyai gambaran hematologik yang khas untuk mielodisplasia dan prognosis
tampaknya lebih buruk dibandingkan CML Ph+.

3.

Juvenile chronic myeloid leukemia Penyakit yang jarang terjadi ini mengenai anak kecil dan
mempunyai gambaran klinis yang khas antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan
infeksi rekuren. Sediaan apus darah memperlihatkan adanya monositosis. Kadar hemoglobin F (HbF)
yang tinggi merupakan ciri diagnostik yang berguna, kadar fosfatase alkali netrofil normal dan hasil uji
kromosom Philadelphia negatif. Prognosisnya buruk dan SCT (Transplantasi Sel Induk) adalah
pengobatan yang terpilih.

4.

Chronic neutrophilic leukemia & Eosinophilic leukemia Merupakan penyakit yang sangat jarang
dijumpai dengan terdapatnya proliferasi sel matur yang relatif murni. Mungkin didapatkan
splenomegali, dan secara umum prognosisnya baik.

5.

Chronic myelomonocytic leukemia (CMML) CMML menggambarkan daerah yang bertumpang tindih
antara penyakit mieloproliferatif dan mielodisplasia, tetapi digolongkan ke dalam kelompok
mielodisplasia (Hoffbrand,2005).

6.

Eosinophilic leukimia Dengan sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai CML Ph+ (Bakta,
2007).

g. MANIFESTASI KLINIS
1. Sakit kepala
2. Sesak nafas
3. Anemia
4. Pendarahan
5. Epstaksis
6. Mual, muntah
7. Kurang nafsu makan
8. BB menurun
9. Demam
10. Rentan terjadi infeksi
11. Memar pada bagian tubuh
12. Gangguan jaringan perifer
13. Hepatomegali
14. Nyeri perut
15. Nyeri tulang dan persendian
16. Dipsnea
Menurut Hoffbrand et al (2005), gambaran klinis secara umum antara lain :
1.
Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat
badan, kelelahan, anoreksia, keringat malam.

Spleenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien,
perbesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan.
3.
Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.
4.
Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain akibat fungsi
trombosit yang abnormal.
5.
Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan
purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
6.
Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapism.
2.

h. KOMPLIKASI
Beberapa masalah dalam penanganan LMK :
1. Masalah metabolik
Masalah metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis, yang akan mengakibatkan terjadinya
hiperurikemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Hal tersebut harus di antisipasi, dan di
terapi dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi dan pemberian allupurinol.
2. Hiperkulositosis
Peningkatan ekstrim dari leukosit pada LMK dapat menyebabkan komplikasi leukostatik
pada beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan penis. Sejak leukosit kurang seimbang
dengan eritrosit akan terjadi peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi leukosit
tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan sengan leukosit lain, juga
meningkatkan
viskositas
tersebut.
Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita harus diterapi
secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari dengan infus
intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit.
3. Priapism
Nyeri persisten pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh leukemia, adanya
penyumbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf dan vena oleh pembesaran
lien. Aterapi mencakup pemberian analgetik, pemberian cairan yang cukup, kompres hangat,
radioterapi (pada penis atau lien) dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74 mg/kgbb/hari
intravena).
4. Leukemia Meningeal
Leukemia meningeal pada LMK fase kronis sering tidak diketahui dan jarang dijumpai
pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan hidup
lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralysis saraf pusat dan udema papil.
Diagnosis dibantu dengan ditemukannya sel blas pada cairan cerebrospinal. Terapi adalah
dengan memberikan metotreksat, walaupun hasilnya kurang memuaskan.
5. Myelofibrosis
LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan meningkatkan produksi
kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen.
i. PROGNOSIS
1. 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis dan itu
sekitar 25% meninggal setiap tahunya.
2. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih setelah penyakitnya
terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast.

3. Angaka harapan hidup rata-rata setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang
bisa memperpanjang harapan hidup sampai 8-12 bulan.
j. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Fisik: Dokter akan memeriksa pembengkakan kelenjar getah bening, limpa,
atau hati.
2. Hitung darah lengkap : Menunjukan normositik, anemia normositik.

Hemoglobin: Dapat kurang dari 10g/100ml.

Retikulosit: Jumlah biasanya rendah.

Jumlah trombosit: Mungkin sangat rendah (<50.000/mm).

SDP: Mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP imatur (menyipang ke kiri).
Mungkin ada blast leukemia.
3. PT/PTT: Memanjang.
4. LDH: Mungkin meningkat.
5. Asam urat serum/urine: Mungkin meningkat.
6. Muramidase serum (lisozim): Peningkatan pada leukemia monositik akut dan
mielomonositik.
7. Copper serum: Meningkat.
8. Zink serum: Menurun.
9. Biopsi sumsum tulang: SDM abnormal biasanya lebih dari 50% atau lebih dari SDP pada
sumsum tulang. Sering 60%-90% dari sel blast, dengan prekusor eritroid, sel matur. Dan
megakariositis menurun.
10. Foto dada dan biopsy nodus limfe: Dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.
k.

1.
2.
3.
4.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Ciri Diagnostik :
Anemia normokrom normositik
Lekositosis, biasanya > 50.000/mm3
Hapusan darah tepi : ditemukan jajaran lengkap seri mieloid
Kromosom Philadelphia (+)

1.
2.
3.
4.
5.

Ciri tambahan :
Sutul : hiperseluler dengan dominasi granulopoetik
Basofil meningkat
Trombosit : stadium awal rendah, umumnya normal atau meningkat
Kadar Vit. B12 serum dan kapasitas ikat Vit. B12 meningkat
Fostase alkali netrofil rendah

l.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari leukemia myelositik kronik atau leukemia granulositik kronik:
Polisitemia Rubra Vera (PRV).
Trombositemia.
Myelofibrosis.
Reaksi leukemoid tidak ada keganasan pada darah, tetapi kemungkinan ditemukan tumor
padat.

m. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-60.000/mmk.
Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit biasanya
meningkat 500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun.
(Fadjari, 2006).
2.

Apus Darah Tepi


Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas
asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit terlihat,
presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil dan basofil.
(Fadjari, 2006).
3. Apus Sumsum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid :
eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma
sumsum tulang mengalami fibrosis. (Fadjari,2006).
4. Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi kromosom yang
sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17). (Fadjari, 2006).
5. Laboratorium lain.
Sering ditemukan hiperurikemia.

n. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penanganan kasus penyakit Leukemia biasanya dimulai dari gejala yang muncul, seperti anemia,
perdarahan dan infeksi. Secara garis besar penanganan dan pengobatan Leukemia bisa dilakukan
dengan cara single ataupun gabungan dari beberapa metode dibawah ini:
Penatalaksanaan terapi LMK bergantung pada fase3 penyakit, yaitu :
1.

Fase kronis
Obat pilihan :

B usulphan (myleran) dosis 0,1 0,2 mg/kg BB/hari, terapi dimulai jika leukosit naik menjadi
50.000/mm3. Efek samping berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, dan bahaya
timbulnya leukimia akut.

H idroksiurea dosis ditritasi dari 500-2.000 mg, kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk
mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3, efek sampingnya lebih sedikit.

I nterveron alfa biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol oleh hidroksiurea.

2.

Fase akselerasi
Sama dengan terapi leukimia akut, tetapi respons sangat rendah.

3.

Transpalantasi sumsum tulang

Memberikan harapan penyembuhan jangka panjang, terutama untuk penderita yang berusia kurang
dari 40 tahun. Penanganan yang umum diberikan adalah allogeneic peripheral blood stem cell
transplantation.
4.

Terapi dengan memakai prisipbiologi molekuler


Obat baru imatinib mesylate (gleevec) yang dapat menekan aktivitas tyrosin kinase, sehingga
menekan proliferasi sel mieloid.

Metode lain :

Chemotherapy/intrathecal medications
Therapy Radiasi. Metode ini sangat jarang sekali digunakan
Transplantasi bone marrow (sumsum tulang)
Pemberian obat-obatan tablet dan suntik
Transfusi sel darah merah atau platelet.
Terapi Stem Cell
Sistem Therapi yang sering digunakan dalam menangani penderita leukemia adalah kombinasi
antara kemoterapi dan pemberian obat-obatan yang berfokus pada pemberhentian produksi sel darah
putih yang abnormal dalam bone marrow. Selanjutnya adalah penanganan terhadap beberapa gejala
dan tanda yang telah ditampakkan oleh tubuh penderita dengan monitor yang komprehensive.

o. TERAPI
Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk mencapai remisi lengkap, baik
remisi hematologi (digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif), remisi sitogenetik,
maupun remisi biomolekular. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan terapi
interferondan atau cangkok sumsum tulang (Fadjari, 2006).
Hidroksiurea
Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim
ribonukleotida reduktanse sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida trifosfat
dengan akibat terhentinya sintesis DNA pada fase S. Obat ini diberikan per oral dan
menunjukan bioavailabilitas yang mendekati 100% (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis.
Apabila leukosit > 300.000/mmk, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari.
Penggunaan dihentikan bila leukosit <8000/mmk atau trombosit <100.000/mmk
(Fadjari,2006).
Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala, letargi,
dan kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Busulfan
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik. Pada dosis
rendah, depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih tinggi
terlihat depresi eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga
pemeriksaan darah harus sering dilakukan (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya sebanyak
2-6mg/hari secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini diberikan sampai

hitung leukosit mencapai <10.000/mmk, kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai
kembali setelah hitung leukosit mencapai >50.000/mmk (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah asthenia,
hopotensi, mual, muntah, dan penurunan berat badan, selain itu juga dapat menyebabkan
katarak, fibrosis, amenore, atrofi testis dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru
yang jarang terjadi tetapi bersifat fatal (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Imatinib
Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL dan
mencegah fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk leukemia
mielositik kronik yaitu suatu kelainan sel hematopoietik yang ditandai dengan adanya
kromosom Philadelphia dengan translokasi t(9;22) yang menyebabkan fusi protein BCRABL. Imatinib diberikan per oral dan diabsorpsi dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat
kuat pada protein plasma, dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi melalui empedu dan feses
(Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi penyakit
terhadap penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan
dasatinib 140mg atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg (Kantarjian et al, 2007).
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan
sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau
pernah membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit
meningkat dengan tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi
neutropeni (<500/mmk) atau trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT
dan bilirubin. Untuk fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari (Fadjari, 2006).
Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat ini untuk
mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome. Dosis 5 juta
IU/mk/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi.
Sedangkan berdasar hasil penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta
IU/mk/hari (Fadjari, 2006).
Cangkok sumsum tulang belakang
Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi
sampai >9 tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok sumsum tulang
tidak dilakukan pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif (Fadjari, 2006).
Leukemia granulositik kronik (LGK) dapat menyebabkan berbagai komplikasi, diantaranya yaitu:

Kelelahan (fatigue). Jika leukosit yang abnormal menekan sel-sel darah merah, maka
anemia dapat terjadi. Kelelahan merupakan akibat dari kedaan anemia tersebut. Proses
terapi LGK juga dapat meyebabkan penurunan jumlah sel darah merah.

Pendarahan (bleeding). Penurunan jumlah trombosit dalam darah (trombositopenia) pada


keadaan LGK dapat mengganggu proses hemostasis. Keadaan ini dapat menyebabkan
pasien mengalami epistaksis, pendarahan dari gusi, ptechiae, dan hematom.

Rasa sakit (pain). Rasa sakit pada LGK dapat timbul dari tulang atau sendi. Keadaan ini
disebabkan oleh ekspansi sum-sum tulang dengan leukosit abnormal yang berkembang
pesat.

Pembesaran Limpa (splenomegali). Kelebihan sel-sel darah yang diproduksi saat keadaan
LGK sebagian berakumulasi di limpa. Hal ini menyebabkan limpa bertambah besar, bahkan
beresiko untuk pecah.

Stroke atau clotting yang berlebihan (excess clotting). Beberapa pasien dengan kasus
LGK memproduksi trombosit secara berlebihan. Jika tidak dikendalikan, kadar trombosit yang
berlebihan dalam darah (trombositosis) dapat menyebabkan clot yang abnormal dan
mengakibatkan stroke.

Infeksi. Leukosit yang diproduksi saat keadaan LGK adalah abnormal, tidak menjalankan
fungsi imun yang seharusnya. Hal ini menyebabkan pasien menjadi lebih rentan terhadap
infeksi. Selain itu pengobatan LGK juga dapat menurunkan kadar leukosit hingga terlalu
rendah, sehingga sistem imun tidak efektif.

Kematian.

Anda mungkin juga menyukai