Anda di halaman 1dari 29

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Sectio Caesaria
a. Pengertian Sectio Caesaria (SC)
Sectio caesaria (SC) adalah suatu tindakan untuk melahirkan
bayi per abdominal dengan melalui insisi pada dinding abdomen dan
dinding uterus interior, biasanya yang sering dilakukan insisi segmen
bawah tranversal (Farrer, 2001).
SC adalah melahirkan janin melalui insisi pada dinding
abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histeretomi). Indikasi SC
antara lain : disproporsi janin-panggul, gawat janin, plasenta previa,
riwayat SC, kelainan letak, partus tak maju, kehamilan dengan resiko
tinggi, pre-eklampsia dan hipertensi (Cunningham, 2006).

b. Tipe-tipe Sectio Caesaria


Menurut Farrer (2001), tipe tipe sectio caesaria adalah :
1) Segmen bawah : insisi melintang
Pada bagian segmen bawah uterus dibuat insisi melintang yang
kecil, luka ini dilebarkan ke samping dengan jari-jari tangan dan
berhenti didekat daerah pembuluh-pembuluh darah uterus. Kepala

13

janin yang pada sebagian besar kasus terletak dibalik insisi


diekstraksi atau didorong, diikuti oleh bagian tubuh lainnya dan
kemudian plasenta serta selaput ketuban.
2) Segmen Bawah : Insisi Membujur
Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus sama seperti
pada insisi melintang. Insisi membujur dibuat dengan skapel dan
dilebarkan dengan gunting tumpul untuk menghindari cidera pada
bayi.
3) Sectio Caesaria klasik
Insisi longitudinal digaris tengah dibuat dengan skapel ke dalam
dinding anterior uterus dan dilebarkan ke atas serta ke bawah
dengan gunting berujung tumpul. Diperlukan luka insisi yang
lebar karena bayi dilahirkan dengan presentasi bokong dahulu,
janin atau plasenta dikeluarkan dan uterus ditutup dengan jahitan
tiga lapis.
4) Sectio Caesaria Ekstra Peritoneal
Pembedahan ekstra peritoneal dikerjakan untuk menghindari
perlunya histerektomi pada kasus-kasus yang mengalmi infeksi
luas dengan mencegah peritonitis generalisasi yang sering bersifat
fatal.

14

c. Komplikasi Sectio Caesaria


Komplikasi Sectio Caesaria Menurut Farrer (2001) adalah :
1. Nyeri pada daerah insisi,
2. Perdarahan

primer

sebagai

akibat

kegagalan

mencapai

homeostatis karena insisi rahim atau akibat atonia uteri yang


dapat terjadi setelah pemanjangan masa persalinan,
3. Sepsis setelah pembedahan, frekuensi dari komplikasi ini lebih
besar bila sectio caesaria dilaksanakan selama persalinan atau
bila terdapat infeksi dalam rahim,
4. Cidera pada sekeliling struktur usus besar, kandung kemih yang
lebar dan ureter,
5. Infeksi akibat luka pasca operasi,
6. Bengkak pada ekstremitas bawah,
7. Gangguan laktasi,
8. Penurunan elastisitas otot perut dan otot dasar panggul, dan
9. Potensi terjadinya penurunan kemampuan fungsional.

d.

Nyeri pada Ibu Post Operasi SC


Pada proses operasi digunakan anastesi agar pasien tidak
merasakan nyeri pada saat dibedah. Namun setelah operasi selesai dan
pasien mulai sadar dan efek anestesi habis bereaksi, pasien akan
merasakan nyeri pada bagian tubuh yang mengalami pembedahan.
Banyak ibu yang mengeluhkan rasa nyeri dibekas jahitan, keluhan ini

15

sebetulnya wajar karena tubuh tengah mengalami luka dan


penyembuhannya tidak bisa sempurna, apalagi jika luka tersebut
tergolong panjang dan dalam. Pada operasi SC ada 7 lapisan perut
yang harus disayat. Sementara saat proses penutupan luka, 7 lapisan
tersebut dijahit satu demi satu menggunakan beberapa macam benang
jahit. Rasa nyeri di daerah sayatan yang membuat sangat terganggu
dan pasien merasa tidak nyaman (Walley, 2008).
Toxonomi

Comitte

of

The

International

Assocation

mendefinisikan nyeri post operasi sebagai sensori yang tidak


menyenangkan dan pengalaman emosi yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan potensial nyata atau menggambarkan terminologi
suatu kerusakan. Nyeri post operasi akan meningkatkan stres post
operasi dan memiliki pengaruh negatif pada penyembuhan nyeri.
Kontrol nyeri sangat penting dilakukan sesudah pembedahan. Nyeri
yang dibebaskan dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah
dan dalam, dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat. Pengkajian
nyeri dan kesesuaian analgesik harus digunakan untuk memastikan
bahwa nyeri pasien post operasi dapat dibebaskan (Potter dan Perry,
2006).
Rasa nyeri akan menimbulkan berbagai masalah, salah
satunya masalah laktasi. Menurut Hillan (1992) dalam Anggorowati
(2007) bahwa 68% ibu post SC mengalami kesulitan dengan
perawatan bayi, bergerak naik turun dari tempat tidur dan mengatur

16

posisi yang nyaman selama menyusui akibat adanya nyeri. Rasa nyeri
akan menyebabkan pasien menunda pemberian ASI sejak awal pada
bayinya, karena rasa tidak nyaman selama proses menyusui
berlangsung atau peningkatan intensitas nyeri setelah operasi
(Batubara dkk, 2008).
Pemberian ASI yang tertunda dan kurangnya perawatan bayi
yang dilakukan oleh ibu menjadi dampak terhadap bayi. Menurut
Indiarti (2009), tertundanya pemberian ASI sejak awal menyebabkan
pemberian nutrisi untuk bayi berkurang, sehingga bisa menyebabkan
gangguan respiratorik dan turunnya daya tahan tubuh bayi. ASI
sebagai makanan terbaik bagi bayi dan mempunyai banyak manfaat
bagi bayi maupun ibu tidak didapat secara optimal karena respon ibu
dalam memberikan ASI kurang.

2. Nyeri
a. Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi perasaan yang tidak nyaman
disebabkan oleh stimulus tertentu. Stimulus nyeri dapat berupa
stimulus yang bersifat fisik, maupun mental. Nyeri bersifat subjektif,
sehingga respon setiap orang tidak sama saat merasakan nyeri. Nyeri
tidak dapat diukur secara objektif, misalnya dengan menggunakan
pemeriksaan darah. Orang yang merasakan nyeri yang dapat
mengukur tingkatan nyeri yang dialaminya (Potter & Perry, 2006).

17

Nyeri diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan


akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut saraf dalam
tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis, maupun
emosional (Alimul, 2008).
Nyeri

merupakan

sensasi

tidak

menyenangkan

yang

terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Nyeri sering dijelaskan dalam


istilah proses destruktif jaringan (misalnya seperti ditusuk-tusuk,
panas terbakar, melilit, seperti disobek-sobek, seperti diremas-remas)
dan/atau suatu reaksi badan atau emosi yang tidak stabil (misalnya
perasaan takut, mual). Nyeri dengan intensitas sedang sampai kuat
dapat disertai oleh rasa cemas (ansietas) dan keinginan kuat untuk
melepaskan diri dan atau meniadakan perasaan nyeri tersebut. Nyeri
bersifat akut, secara karakteristik berhubungan dengan perubahan
tingkah laku dan respons stres yang terdiri dari meningkatnya tekanan
darah, denyut nadi, diameter pupil, dan kadar kortisol plasma
(Isselbacher, 1999).
Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk
melindungi diri. Apabila seseorang sedang merasakan nyeri, akan
terjadi perubahan perilaku pada orang tersebut. Misalnya, seseorang
yang kakinya terkilir akan menghindari aktivitas mengangkat barang
yang memberi beban pada kakinya untuk mencegah cedera yang lebih
berat.

Nyeri

dapat

mengganggu

hubungan

personal

mempengaruhi makna kehidupan (Potter & Perry, 2006).

dan

18

b. Fisiologi Nyeri
Menurut Potter & Perry (2006), munculnya nyeri berkaitan
dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang
dimaksud adalah nociceptor. nociceptor merupakan ujung- ujung saraf
sangat bebas yang memiliki sedikit mielin yang tersebar pada kulit
dan mukosa, khususnya visera, persendian, dinding arteri, hati, dan
kantong empedu.
Reseptor nyeri dapat memberikan respons akibat adanya
stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa kimiawi,
termal, listrik atau mekanis. Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh
reseptor tersebut ditransmisikan berupa impuls-impuls nyeri ke
sumsum tulang belakang oleh dua jenis serabut, yaitu serabut A
(delta) yang bermielin rapat dan serabut lamban (serabut C).
Impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut delta A
mempunyai sifat inhibitor yang ditransmisikan ke serabut C, serabutserabut aferen masuk ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta
sinaps pada dorsal horn. Dorsal horn terdiri dari beberapa lapisan
atau lamina yang saling berikatan. Di antara lapisan dua dan tiga
membentuk substantia gelatinosa yang merupakan saluran utama
impuls.
Kemudian, impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang
belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens
yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT) atau jalur

19

spinothalamus dan spinoreticular tract (SRT) yang membawa


informasi mengenai sifat dan lokasi nyeri. Dari proses transmisi
terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan
jalur nonopiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan reseptor pada
otak yang terdiri atas jalur spinal desendens dari talamus, yang
melalui otak tengah dan medula, ke tanduk dorsal sumsum tulang
belakang yang berkonduksi dengan nociceptor impuls supresif.
Serotonin merupakan neurotransmiter dalam impuls supresif.
Sistem supresif lebih mengaktifkan stimulasi nociceptor yang
ditansmisikan oleh serabut A. Jalur nonopiate merupakan jalur
desenden yang tidak memberikan respons terhadap naloxone yang
kurang diketahui mekanismenya.

c. Respon Nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan
perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri :
1) Respon fisiologis
Respon fisiologis dihasilkan oleh stimulasi pada cabang
saraf simpatis dan sistem saraf otonom. Hal ini terjadi karena pada
saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang otak
dan talamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai
bagian dari respon stress. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus,
berat atau dalam, dan secara tipikal melibatkan organ-organ viseral

20

(misalnya, nyeri pada infark miokard), sistem saraf parasimpatis


akan menghasilkan suatu aksi (Potter & Perry, 2006).
2) Respon perilaku
Pada saat nyeri dirasakan, saat itu juga dimulai suatu siklus,
yang apabila nyeri tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk
menghilangkannya, dapat mengubah kualitas kehidupan secara
nyata. Nyeri dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang
mengganggu kemampuan individu berhubungan dengan orang lain
dan merawat diri sendiri. Respon perilaku terhadap rasa nyeri
menurut Berman, Snyder, Kozier, & Erb, (2009) dalam Widiyanto
(2012), adalah sebagai berikut :
a) Gigi mengatup
b) Menutup mata dengan rapat
c) Menggigit bibir bawah
d) Wajah meringis
e) Merintih dan mengerang
f) Merengek
g) Menangis
h) Menjerit
i) Imobilisasi tubuh
j) Gelisah, melempar benda, berbalik
k) Pergerakan tubuh berirama
l) Menggosok bagian tubuh

21

m) Menyangga bagian tubuh yang sakit

d. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri
akut dan kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara
mendadak dan cepat menghilang, tidak melebihi enam bulan, serta
ditandai dengan adanya peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis
merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan. Contoh dari nyeri
kronis adalah nyeri pada penyakit terminal, dan nyeri psikosomatis
(Alimul, 2008).

e. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


Nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor
yang mempengaruhi pengalaman nyeri. Menurut Potter & Perry
(2006), faktor- faktor yang mempengaruhi nyeri, antara lain:
1) Usia
Usia merupakan variabel yang penting yang mempengaruhi nyeri.
Perbedaan perkembangan yang ditemukan di antara kedua
kelompok usia dapat mempengaruhi cara bereaksi terhadap nyeri
(misalnya, anak-anak dan lansia).
2) Jenis Kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda dalam berespons
terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan menganggap bahwa

22

seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis,


sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama. Toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktorfaktor biokimia dan merupakan hal unik yang terjadi pada setiap
individu, tanpa memperhatikan jenis kelamin.
3) Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan
apa yang diterima oleh kebudayaannya. Ada perbedaan makna
dan sikap yang dikaitkan dengan nyeri di berbagai kelompok
budaya. Cara individu mengekspresikan nyeri merupakan sifat
kebudayaan yang lain. Beberapa kebudayaan yakin bahwa
memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang alamiah. Kebudayaan
yang lain cenderung untuk melatih perilaku yang tertutup. Suatu
pemahaman tentang nyeri dari segi makna dan budaya akan
membantu perawat dalam merancang asuhan keperawatan yang
relevan untuk pasien yang mengalami nyeri.
4) Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda,
apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan,

23

hukuman dan tantangan. Derajat dan kualitas nyeri yang


dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri.
5) Perhatian
Tingkat seseorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
Dengan adanya upaya pengalihan, klien akan memfokuskan
perhatian dan konsentrasinya pada stimulus yang lain.
6) Ansietas
Nyeri dan ansietas bersifat kompleks, sehingga keberadaanya
tidak terpisahkan. Ansietas meningkatkan persepsi nyeri, tetapi
nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila
rasa cemas tidak mendapatkan perhatian, maka rasa cemas
tersebut akan menimbulkan suatu masalah penatalaksanaan nyeri
yang serius.
7) Keletihan
Keletihan

meningkatkan

persepsi

nyeri.

Rasa

keletihan

menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan


kemampuan koping.
8) Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri
sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu akan menerima

24

nyeri dengan lebih mudah pada masa mendatang. Ada dua


kemungkinan yang terjadi ketika individu mengalami nyeri di
masa mendatang, yaitu individu akan lebih siap untuk melakukan
tindakan - tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri
dan individu akan lebih mudah menginterpretasikan nyeri atau
individu akan mengalami ansietas bahkan rasa takut ketika
mengalami nyeri di masa mendatang.
9) Gaya Koping
Gaya koping mempengaruhi individu dalam mengatasi nyeri.
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian
ataupun keseluruhan. Individu akan menemukan berbagai cara
untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis
nyeri.

f. Penilaian Klinis Nyeri


1) Numeric Rating Scale (NRS)
NRS digunakan untuk menilai intensitas atau derajat
keparahan nyeri dan memberi kesempatan kepada klien untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri yang dirasakan (Potter & Perry,
2006). Menurut Strong, et al (2002) dalam Datak (2008), NRS
merupakan skala nyeri yang paling sering dan lebih banyak
digunakan di klinik, khususnya pada kondisi akut, NRS
digunakan untuk mengukur intensitas nyeri sebelum dan sesudah

25

intervensi

teraupetik.

NRS

mudah

digunakan

dan

didokumentasikan.

Gambar 2.1 Numeric rating scale (NRS)


2) Verbal Respon Scale (VRS)
VRS adalah cara pengukuran nyeri dengan menanyakan
respon klien terhadap nyeri secara verbal dengan memberikan 5
pilihan yaitu tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat,
dan nyeri luar biasa yang tidak tertahankan. Skala pada VRS
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Skala
ini diurutkan dari tidak terasa nyeri sampai dengan nyeri yang
tidak

tertahankan.

Pada

penggunaannya,

perawat

akan

menunjukkan kepada klien tentang skala tersebut dan meminta


klien untuk memilih skala nyeri berdasarkan intensitas nyeri yang
dirasakannya. VRS akan membantu klien untuk memilih sebuah
kategori untuk mendeskripsikan rasa nyeri yang dirasakannya
(Potter & Perry, 2006).
3) Visual Analogue Scale (VAS)
VAS merupakan suatu garis lurus yang mewakili
intensitas nyeri dan memiliki alat keterangan verbal pada setiap

26

ujungnya.

Skala

ini

memberi

kebebasan

klien

untuk

mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS merupakan pengukur


intensitas nyeri yang lebih sensitif, karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkain dari pada dipaksa
memilih satu kata atau satu angka (Potter & Perry, 2006). Skala
ini menggunakan angka 0 sampai 10 untuk menggambarkan
tingkat nyeri. Pengukuran dikatakan sebagai nyeri ringan pada
nilai di bawah 4, nyeri sedang bila nilai antara 4-7 dikatakan
sebagai nyeri hebat apabila nilai di atas 7. (Sudoyo, Setiyohadi,
Alwi, K, & Setiati, 2009).

Gambar 2.2 Visual analogue scale (VAS)


4) Face Pain Scale (FPS)
FPS merupakan pengukuran nyeri dengan menggunakan
7 macam gambar ekspresi wajah. Nilai berkisar antara 0 sampai
dengan

6.

Nilai

mengindikasikan

tidak

nyeri,

mengindikasikan sangat nyeri (nyeri yang buruk). FPS biasa


digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak-anak
(Wong, 1998).

27

Gambar 2.3 Face pain scale (FPS)

3. Penatalaksanaan Nyeri
Menurut Potter & Perry (2006), pentalaksanaan nyeri dibagi
menjadi dua, yaitu :
a. Penatalaksanaan Nyeri Secara Farmakologis
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis efektif untuk nyeri sedang
dan berat. Penanganan yang sering digunakan untuk menurunkan nyeri
biasanya menggunakan obat analgesik yang terbagi menjadi dua
golongan yaitu analgesik non narkotik dan analgesik narkotik.
Penalaksanaan nyeri dengan farmakologis yaitu dengan menggunakan
obat-obat

analgesik

narkotik

baik

secara

intravena

maupun

intramuskuler. Pemberian secara intravena maupun intramuskuler


misalnya dengan meperidin 75-100mg atau dengan morfin sulfat 1015mg, namun penggunaan analgesik yang secara terus menerus dapat
mengakibatkan ketagihan obat (Cunningham et al, 2006).
Namun demikian pemberian farmakologis tidak bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan pasien sendiri untuk mengontrol nyerinya
(Van Kooten 1999 dalam Anggorowati dkk, 2007).

28

b. Penatalaksanaan Nyeri Secara Non-Farmakologis


Kombinasi penatalaksanaan nyeri farmakologis dan penatalaksanaan
nyeri secara non-farmakologis dapat digunakan untuk mengontrol nyeri
agar sensasi nyeri dapat berkurang serta masa pemulihan tidak
memanjang

(Bobak,

2004).

Metode

non-farmakologis

bukan

merupakan pengganti obat-obatan, tindakan ini diperlukan untuk


mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik
atau menit. Dalam hal ini, terutama saat nyeri hebat yang berlangsung
selama berjam-jam atau berhari-hari, mengkombinasikan metode non
farmakologis dengan obat-obatan merupakan cara yang paling efektif
untuk mengontrol nyeri. Pengendalian nyeri non-farmakologis menjadi
lebih murah, mudah, efektif dan tanpa efek yang merugikan (Potter &
Perry, 2005).
Menurut Bare & Smeltzer (2001) penanganan nyeri secara nonfarmakologis terdiri dari :
1) Masase kutaneus
Masase adalah stimulus kutaneus tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat pasien
lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
2) Terapi panas
Terapi panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah
ke suatu area dan kemungkinan dapat menurunkan nyeri dengan
mempercepat penyembuhan.

29

3) Transecutaneus Elektrical Nerve Stimulaton (TENS)


TENS dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak
nyeri (non-nosiseptor) dalam area yang sama seperti pada serabut
yang menstransmisikan nyeri. TENS menggunakan unit yang
dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit
untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung
pada area nyeri.
4) Distraksi
Distraksi adalah pengalihan perhatian dari hal yang menyebabkan
nyeri, contoh : menyanyi, berdoa, menceritakan gambar atau foto
dengan kertas, mendengar musik dan bermain satu permainan.
5) Relaksasi
Relaksasi

merupakan

teknik

pengendoran

atau pelepasan

ketegangan, contoh: nafas dalam dan pelan.


6) Imajinasi
Imajinasi merupakan khayalan atau membayangkan hal yang
lebih baik khususnya dari rasa nyeri yang dirasakan.

4. Teknik Relaksasi Autogenik


a. Pengertian Teknik Relaksasi Autogenik
Relaksasi merupakan suatu keadaan dimana seseorang
merasakan bebas mental dan fisik dari ketegangan dan stres. Teknik
relaksasi bertujuan agar individu dapat mengontrol diri ketika terjadi

30

rasa ketegangan dan stres yang membuat individu merasa dalam


kondisi yang tidak nyaman (Potter & Perry, 2005). Relaksasi
psikologis yang mendalam memiliki manfaat bagi kesehatan yang
memungkinkan tubuh menyalurkan energi untuk perbaikan dan
pemulihan, serta memberikan kelonggaran bagi ketegangan akibat
pola-pola kebiasaan (Goldbert, 2007).
Autogenik memiliki makna pengaturan sendiri. Autogenik
merupakan salah satu contoh dari teknik relaksasi yang berdasarkan
konsentrasi pasif dengan menggunakan persepsi tubuh (misalnya,
tangan merasa hangat dan berat) yang difasilitasi oleh sugesti diri
sendiri (Stetter, 2002). Menurut Aryanti (2007) dalam Pratiwi (2012),
relaksasi autogenik merupakan relaksasi yang bersumber dari diri
sendiri dengan menggunakan kata-kata atau kalimat pendek yang bisa
membuat pikiran menjadi tenang. Widyastuti (2004) menambahkan
bahwa

relaksasi

autogenik

membantu

individu

untuk

dapat

mengendalikan beberapa fungsi tubuh seperti tekanan darah, frekuensi


jantung dan aliran darah. Luthe (1969) dalam Kang et al (2009)
mendefinisikan relaksasi autogenik sebagai teknik atau usaha yang
disengaja diarahkan pada kehidupan individu baik psikologis maupun
somatik menyebabkan perubahan dalam kesadaran melalui autosugesti
sehingga tercapailah keadaan rileks.

31

b. Manfaat Teknik Relaksasi Autogenik


Menurut Pratiwi (2012), seseorang dikatakan sedang dalam
keadaan baik atau tidak, bisa ditentukan oleh perubahan kondisi yang
semula tegang menjadi rileks. Kondisi psikologis individu akan
tampak pada saat individu mengalami tekanan baik bersifat fisik
maupun mental. Potter & Perry (2005) mengatakan bahwa setiap
individu memiliki respon yang berbeda terhadap tekanan, tekanan
dapat berimbas buruk pada respon fisik, psikologis serta kehidupan
sosial seorang individu.
Teknik relaksasi dikatakan efektif apabila setiap individu
dapat merasakan perubahan pada respon fisiologis tubuh seperti
penurunan tekanan darah, penurunan ketegangan otot, denyut nadi
menurun, perubahan kadar lemak dalam tubuh, serta penurunan proses
inflamasi. Teknik relaksasi memiliki manfaat bagi pikiran kita, salah
satunya untuk meningkatkan gelombang alfa () di otak sehingga
tercapailah keadaan rileks, peningkatan konsentrasi serta peningkatan
rasa bugar dalam tubuh (Potter & Perry, 2005).
Teknik relaksasi autogenik mengacu pada konsep baru.
Selama ini, fungsi-fungsi tubuh yang spesifik dianggap berjalan secara
terpisah dari pikiran yang tertuju pada diri sendiri. Teknik relaksasi ini
membantu individu dalam mengalihkan secara sadar perintah dari diri
individu tersebut. Hal ini dapat membantu melawan efek akibat stres
yang berbahaya bagi tubuh. Teknik relaksasi autogenik memiliki ide

32

dasar yakni untuk mempelajari cara mengalihkan pikiran berdasarkan


anjuran sehingga individu dapat menyingkirkan respon stres yang
mengganggu pikiran (Widyastuti, 2004).

c. Pengaruh Teknik Relaksasi Autogenik Bagi Tubuh


Dalam relaksasi autogenik, hal yang menjadi anjuran pokok
adalah penyerahan pada diri sendiri sehingga memungkinkan berbagai
daerah di dalam tubuh (lengan, tangan, tungkai dan kaki) menjadi
hangat dan berat. Sensasi hangat dan berat ini disebabkan oleh
peralihan aliran darah (dari pusat tubuh ke daerah tubuh yang
diinginkan), yang bertindak seperti pesan internal, menyejukkan dan
merelaksasikan otot-otot di sekitarnya (Widyastuti, 2004).
Relaksasi autogenik akan membantu tubuh untuk membawa
perintah

melalui

autosugesti

untuk

rileks

sehingga

dapat

mengendalikan pernafasan, tekanan darah, denyut jantung serta suhu


tubuh. Imajinasi visual dan mantra-mantra verbal yang membuat
tubuh merasa hangat, berat dan santai merupakan standar latihan
relaksasi autogenik (Varvogli, 2011).
Sensasi tenang, ringan dan hangat yang menyebar ke seluruh
tubuh merupakan efek yang bisa dirasakan dari relaksasi autogenik.
Tubuh merasakan kehangatan, merupakan akibat dari arteri perifer
yang mengalami vasodilatasi, sedangkan ketegangan otot tubuh yang
menurun mengakibatkan munculnya sensasi ringan. Perubahan-

33

perubahan

yang

terjadi

selama

maupun

setelah

relaksasi

mempengaruhi kerja saraf otonom. Respon emosi dan efek


menenangkan yang ditimbulkan oleh relaksasi ini mengubah fisiologi
dominan simpatis menjadi dominan sistem parasimpatis (Oberg,
2009).

d. Tahapan Kerja Teknik Relaksasi Autogenik


Menurut Widyastuti (2004) dalam Pratiwi (2012), teknik
relaksasi autogenik menggunakan konsep konsentrasi pasif pada
daerah tertentu di tubuh tiap individu. Praktisi teknik relaksasi
autogenik mengulangi ungkapan kepada diri sendiri seperti ungkapan
kehangatan, ungkapan lamunan maupun ungkapan pengaktifan.
Ungkapan kehangatan yang dipakai dalam relaksasi ini seperti aku
merasa hening, kedua tanganku, lenganku terasa hangat dan berat.
Ungkapan lamunan yang digunakan pada teknik relaksasi ini seperti
jauh di dalam pikiranku, aku merasakan kedamaian dan keheningan
yang menenangkan. Ungkapan pengaktifan yang dapat digunakan
dalam relaksasi autogenik seperti aku merasa kehidupan dan energi
mengalir melalui dada, kedua lengan, dan kedua tanganku
Hadibroto

(2006)

menyatakan

latihan-latihan

untuk

menghadirkan relaksasi pasif di seluruh bagian tubuh yang dibagi


menjadi enam tahap merupakan program teknik relaksasi autogenik.
Enam tahap autogenik terdiri dari yaitu merasa berat diseluruh

34

anggota tubuh, merasa hangat ditangan dan kaki, menenangkan denyut


jantung, mengatur pernafasan, menghangatkan daerah sekitar jantung,
serta mendinginkan dahi. menyatakan Menurut Hadibroto (2006),
Widyastuti (2004) dan Siswantoyo (2008) berikut akan dipaparkan
langkah-langkah dari teknik relaksasi autogenik yaitu :
1) Mengatur posisi tubuh, posisi berbaring maupun bersandar
ditempat duduk merupakan posisi tubuh terbaik saat melakukan
teknik relaksasi autogenik. Sebaiknya individu berbaring di karpet
atau di tempat tidur, kedua tangan di samping tubuh, telapak
tangan menghadap ke atas, tungkai lurus sehingga tumit dapat
menapak di permukaan lantai. Bantal yang tipis dapat diletakkan
di bawah kepala atau lutut untuk menyangga, asalkan tubuh tetap
nyaman dan posisi tubuh tetap lurus. Apabila posisi berbaring
tidak mungkin untuk dilakukan, posisi dapat diubah menjadi
bersandar/duduk tegak pada kursi. Saat duduk jaga agar kepala
tetap sejajar dengan tubuh dan letakkan kedua tangan di pangkuan
atau di sandaran kursi. Calon penerima terapi harus melepaskan
jam tangan, cincin, kalung dan perhiasan yang mengikat lainnya
serta longgarkan pakaian yang ketat.

35

Gambar 2.4 Posisi tiduran teknik relaksasi autogenik

Gambar 2.5 Posisi duduk teknik relaksasi autogenik


2) Konsentrasi dan kewaspadaan, pernapasan dalam sambil dihitung
1 hingga 7 dilakukan guna meyakinkan. Gerakan ini dilakukan
sebanyak 6 kali. Selanjutnya adalah tarikan dan hembusan napas
dengan hitungan 1 hingga 9, yang dilakukan sebanyak 6 kali.
Ketika menghembuskan napas perlu dirasakan kondisi yang
semakin rileks dan seolah-olah tenggelam dalam ketenangan.
Latihan ini diulangi 3 kali sehingga mendapatkan konsentrasi
yang lebih baik dengan memfokuskan pikiran pada pernafasan
serta mengabaikan distraktor yang lain. Fokus pada pernafasan
dilakukan dengan cara memfokuskan pandangan pada titik
imajiner yang berada pada 2 inci (+ 2,5 cm) dari lubang hidung.
Latihan ini mempertahankan kondisi secara pasif untuk tetap

36

berkonsentrasi dan nafas dihembuskan melewati titik tersebut.


Selama latihan tetap mempertahankan irama nafas untuk tetap
tenang, dan selalu menggunakan pernafasan perut. Sasaran utama
mempertahankan pikiran terfokus pada pernafasan.
3) Ada lima langkah dalam relaksasi autogenik yaitu perasaan berat,
perasaan hangat, ketenangan dan kehangatan pada jantung,
perasaan dingin di dahi, dan ketenangan pernafasan. Langkah
relaksasi dengan menggunakan basic six dan fokus pada
pernapasan dilakukan selama 10 menit. Kemudian setelah
latihan nafas dilanjutkan dengan pengalihan kepada kalimat
mantra saya merasa tenang dan nyaman berada di sini.
Responden disugestikan untuk memasukan kalimat tersebut ke
dalam pikirannya dan diintruksikan supaya tenggelam dalam
ketenangan ketika mendengar kalimat tersebut. Akhir dari
relaksasi autogenik responden merasakan hangat, berat, dingin
dan tenang. Tahap akhir dari relaksasi ini responden diharapkan
mempertahankan posisi dan mencoba menempatkan perasaan
rileks ini ke dalam memori sehingga relaksasi autogenik dapat
diingat saat merasa nyeri.
Menurut Pratiwi (2012), sebuah review meta-analisis Stetter
(2002) dari 60 pelajar dari 35 negara, ditemukan efek besar pada
perbandingan untuk pre dan post intervensi teknik relaksasi autogenik,
efek menengah terhadap kelompok kontrol, dan tidak ada efek bila

37

dibandingkan dengan terapi psikologis yang lain. Relaksasi autogenik


efektif dilakukan selama 20 menit dan relaksasi autogenik dapat
dijadikan sebagai sumber ketenangan selama sehari (Kanji, 2006).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyawati (2010), relaksasi
autogenik yang dilakukan sebanyak 3 kali memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap penurunan tekanan darah dan kadar gula darah pada
klien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi.

B. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini disusun dari berbagai sumber,
yaitu Potter & Perry (2006), Potter & Perry, (2005), Kanji et al (2006),
Hamilton (2001), Fareer (2001), Batubara (2008), Cunningham (2006),
Walley (2008), Varvogli (2011), Widyastuti (2004) dan Indiarti (2009).
Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

38

Tindakan
operasi
sectio
caesarea

Komplikasi
Sectio caesarea:
1. Perdarahan
2. Infeksi
3. Sepsis
4. Cidera
5. Bengkak pada
ekstremitas
bawah
6. Gangguan
laktasi
7. Nyeri

1.
2.
3.

4.
1.
2.

Dampak bagi ibu:


Mobilitas Terbatas
ADL terganggu
Bonding attachment
dan IMD tidak
terpenuhi
Masalah Laktasi
Dampak bagi Bayi:
Terlambat menerima
ASI
Kurang perawatan dari
ibu

Teknik
relaksasi
autogenik

Autosugesti
7. Nyeri
Penurunan
RR, denyut
jantung,
tekanan
darah
Hasil dari teknik relaksasi
Autogenik

Pengukuran Skala Nyeri


Numeric Rating Scale
(NRS)

Gambar 2.6 Kerangka Teori

39

C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian disusun sebagai kerangka kerja dalam
melakukan penelitian. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Variabel Independen

Variabel Dependen

Teknik Relaksasi
Autogenik

Nyeri post operasi


sectio caesarea

1.
2.
3.
4.
5.

Usia
Pendidikan
Pekerjaan
Paritas
Riwayat sectio caesaria

6. Kebudayaan
7. Pengalaman sebelumnya
8. Makna nyeri
9. Perhatian
10. Gaya koping

Variabel yang diteliti


Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.7 Kerangka Konsep

40

D. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep tersebut, maka
peneliti menggunakan rumusan hipotesis kerja (Ha) dalam penelitian yaitu :
ada pengaruh teknik relaksasi autogenik terhadap skala nyeri pada ibu post
operasi sectio caesaria (SC) di RSUD Banyumas.

Anda mungkin juga menyukai