JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah kalangan menilai, hasil pertemuan negara-negara anggota G-20 yang menjanjikan pinjaman siaga dan kebijakan untuk membangun kembali kepercayaan dalam sistem keuangan global, tidak akan berpengaruh signifikan untuk memperbaiki perekonomian Indonesia. Sebaliknya, kehadiran pemerintah RI di KTT G-20 di London justru akan menambah ketergantungan Indonesia dan negara berkembang lainnya terhadap negara maju serta lembaga keuangan internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF). "Pertemuan G-20 itu tidak akan membawa perbaikan terhadap ekonomi Indonesia. Kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sana justru hanya menambah beban dan ketergantungan. G-20 lebih banyak untuk mendukung kepentingan negara-negara maju," kata Direktur Inter-CAFE IPB Iman Sugema, di Jakarta, Minggu, menanggapi optimisme para kepala negara anggota G-20. Menurut dia, usulan untuk menambah atau memberikan suntikan dana bagi IMF berimplikasi pada kebijakan-kebijakan peningkatan ketergantungan ekonomi di negara-negara berkembang. Khususnya dengan semakin besarnya jumlah utang luar negeri (LN), sehingga memberikan keuntungan besar bagi lembaga donor dan negara-negara maju. "Oleh karena itu, pertemuan G-20 menimbulkan pertanyaan bahwa bailout tersebut untuk negara berkembang atau negara maju?" kata Iman mempertanyakan keinginan atau usulan Menteri Keuangan RI memberikan suntikan dana bagi IMF. Iman menjelaskan, bailout merupakan strategi negara maju untuk memperbaiki posisi perusahaan-perusahaannya yang terkena krisis global. Mereka ingin menutupi segala kebutuhan perusahaan kapitalis transnasional agar kembali bergerak setelah dihantam badai krisis yang berawal dari Negeri Paman Sam tersebut. Dengan demikian, Iman menilai, peran dan upaya Presiden SBY dalam pertemuan G- 20 itu tidak berdampak bagi perbaikan perekonomian Indonesia. "IMF hanya akan kembali memberikan resep-resep menyesatkan, tapi kelihatannya membantu," tuturnya. Lebih jauh dia menegaskan, hasil G-20 tersebut merupakan agenda-agenda negara- negara maju untuk dilaksanakan oleh negara berkembang. "Mereka akan mendikte melalui kebijakan seperti yang sudah biasa, privatisasi, dan sebagainya, agenda yang dijalankan oleh negara berkembang," ujarnya. Hal senada juga disampaikan ekonom Tim Indonesia Bangkit (TIB) Ichsanuddin Noorsy. Menurut dia, negara-negara maju anggota G-20 saat ini tidak mampu mengarahkan ekonomi global, karena sedang sibuk melindungi dan menjaga kepentingan nasionalnya. Kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), dan Jepang sebenarnya sudah mulai mengalami stagnasi sejak 16 tahun lalu. Dalam hal ini, negara-negara maju melihat kebijakan fiskal dan pinjaman perbankan kepada perusahaan swasta sebagai jalan keluar. Hal ini yang diikuti Indonesia, meski sayangnya justru mengandalkan kebijakan fiskal berbasis tambal sulam utang. "Inilah sebabnya persoalan ekonomi Indonesia justru terperangkap dalam jerat utang Bank Dunia dan IMF," ujarnya. Ajang KTT G-20, menurut Noorsy, sebenarnya bisa menjadi forum penting bagi Indonesia untuk menempatkan diri sebagai bangsa yang bebas dari tekanan ekonomi. Terlebih lagi dari negara maju yang sedang sibuk melakukan proteksi diri untuk menyelamatkan perekonomian nasional masing-masing. Di lain pihak, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu menilai, keputusan yang dikeluarkan dalam pertemuan G-20 menguntungkan Indonesia. Penambahan modal kepada lembaga-lembaga keuangan internasional dan juga berbagai fasilitas pembiayaan dengan biaya yang murah, sangat membantu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam menghadapi krisis yang terjadi. "Dengan keputusan G-20 kita bisa akses pendanaan untuk likuiditas, perdagangan, dan APBN. Ini adalah dana untuk mengompensasi dana pasar yang selama ini dibiayai obligasi dan sekarang banyak lari ke AS," ujarnya. Menurut Anggito, pertemuan G-20 menghasilkan keputusan adanya bantuan langsung sebesar 1,1 triliun dolar AS dalam bentuk penambahan modal kepada lembaga-lembaga keuangan internasional dan juga bantuan pembiayaan ekspor- impor (trade financing). "Keputusan ini pengaruhnya langsung ke Indonesia. Pokoknya ada fasilitas support balance of payment (neraca pembayaran), pendanaan untuk perdagangan serta dukungan untuk anggaran melalui bank pembangunan," tuturnya. Karenanya, fasilitas trade financing ini bisa membantu mendorong pertumbuhan perdagangan internasional yang saat ini menurun. Sebab, terdapat akses pada pendanaan tanpa ada penjaminan. "Kalau butuh trade financing untuk ekspor, tidak perlu masuk ke pasar, sehingga keperluan valas tidak tinggi serta tidak memberikan tekanan kepada cadangan devisa," katanya. (Indra/Bayu/A Choir)