Anda di halaman 1dari 44

Pengaruh Rasio Camel terhadap Praktik Manajemen Laba

Di Bank Syariah

ZAHARA*
Politeknik Universitas Andalas
SYLVIA VERONICA SIREGAR**
Universitas Indonesia

1. Pendahuluan

Informasi akuntansi yang tersaji dalam laporan keuangan merupakan yang salah
satu informasi utama yang dapat diakses oleh investor, kreditur maupun pemegang
saham untuk menilai kinerja manajer dalam mengelola dana perusahaan. Manajer dapat
saja melakukan praktik manajemen laba (earnings management) untuk tujuan tertentu.
Healy (1985), Mc Nichols and Nillson (1988), Dechow et al. (1995), Bernard dan
Skinner (1996) menemukan bukti adanya tindakan manager dalam melakukan
manajemen laba terutama yang terkait dengan transaksi accrual.
Praktik manajemen laba ini juga ditemukan di sektor perbankan seperti Robb
(1998) yang mendapatkan bukti adanya indikasi pengelolaan laba pada sektor
perbankan. Penelitian Bertrand (2000) menemukan bukti secara empiris bank di Swiss
yang sedikit kurang atau mendekati ketentuan batasan kecukupan modal cenderung
untuk meningkatkan ratio kecukupan modal (CAR) mereka agar memenuhi persyaratan.
Penelitian Betty et al (2002) menemukan bahwa, public banks cenderung memiliki
insentif lebih besar untuk melaporkan adanya kenaikan laba dibandingkan private bank
secara lebih konsisten. Penelitian Naciri (2002) mendapatkan bukti empiris adanya
indikasi pengelolaan laba pada sektor perbankan.
Beberapa penelitian pada bank konvensional di Indonesia, juga menunjukkan
adanya indikasi praktik manajemen laba yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Setiawati dan Naim (2001) yang menemukan bankbank yang mengalami penurunan score tingkat kesehatannya cenderung melakukan
earnings management. Susanto (2003) menemukan adanya indikasi praktek pengelolaan
laba (earnings management) yang dilakukan oleh kelompok bank tidak sehat dan salah
satu faktor dominan yang mendorong bank melakukan pengelolaan laba tersebut adalah
motif meningkatkan kinerja bank. Endriani (2004) menemukan adanya indikasi
earnings management pada bank dalam usahanya memenuhi ketentuan kecukupan CAR
(Capital Adequancy Ratio) yang ditetapkan oleh BI. Arnawa (2006) juga menemukan
adanya indikasi praktik manajemen laba dengan cara meningkatkan laba pada
perbankan nasional pasca program rekapitalisasi, dan motif meningkatkan kinerja bank
juga merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi bank melakukan
manajemen laba.
Bank syariah yang merupakan salah satu bentuk operasional bank yang ada di
Indonesia, dimana seperti bank konvensional, juga terikat dengan peraturan baik yang
ditetapkan oleh pemerintah maupun Bank Indonesia (BI), serta ditambah dengan aturan
syariah. Penilaian kinerja bank syariah juga tidak jauh berbeda dengan bank
konvensional. Oleh karena itu penelitian pada bank syariah untuk melihat indikasi
praktik manajemen laba yang dipengaruhi oleh kinerjanya menjadi hal yang menarik
untuk dibahas.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah
terdapat indikasi praktik manajemen laba pada bank syariah dan apakah kinerja bank
syariah dengan rasio CAMEL mempunyai pengaruh terhadap praktik manajemen laba.
Kontribusi penelitian ini adalah menginvestigasi praktek manajemen laba di bank
syariah, sedangkan penelitian sebelumnya mengenai praktek manajemen laba di sektor
perbankan di Indonesia umumnya mengambil sampel bank konvensional. Manfaat dari
penelitian ini antara lain memberikan informasi kepada pengguna laporan keuangan
Alamat korespondensi: Politeknik Universitas Andalas, Kampus Limau manis, Padang. Emai:
zahara_ak@yahoo.com.
** Email: Sylvia.veronica@ui.edu.

untuk mengenai apakah terdapat indikasi manajemen laba di bank syariah, sehingga
pengguna dapat lebih teliti dalam membaca laporan keuangan. Adanya indikasi
manajemen laba diperbankan juga perlu mendapat perhatian dari BI sebagai penyusun
regulasi yang terkait dengan perbankan di Indonesia.
2. Telaah Literatur dan Pengembangan Hipotesis
Beberapa penelitian pada bank konvensional di Indonesia, menunjukkan adanya
indikasi praktik manajemen laba (earnings management) seperti penelitian yang
dilakukan oleh Setiawati dan Naim (2001), Susanto (2003), Endriani (2004) dan
Arnawa (2006) menemukan adanya indikasi praktik manajemen laba dengan cara
meningkatkan laba pada perbankan nasional pasca program rekapitalisasi, dan motif
meningkatkan kinerja bank juga merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi bank melakukan manajemen laba.
Bank syariah yang dalam operasionalnya memiliki fungsi yang lebih luas dari
bank konvensional seperti yang diuraikan dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia (PAPSI) 2003 yaitu sebagai Manajer Investasi, Investor, Penyedia Jasa
Keuangan dan Lalu Lintas Pembayaran, serta Pengembangan Fungsi Sosial. Khan
(1992), dalam Sofie (2005), mengidentifikasikan tujuan laporan keuangan akuntansi
syariah antara lain adalah penentuan laba rugi yang tepat dan melaporkan dengan benar
dan adaptable terhadap perubahan. Syahatah (2001) membagi tujuan akuntansi
keuangan (laporan keuangan) diantaranya membantu pengambilan keputusan yang lebih
baik dan menentukan besarnya penghasilan yang wajib dizakati.
Karena penilaian kinerja bank syariah umumnya tidak jauh berbeda dengan bank
konvensional, maka diduga penilaian kinerja bank syariah dengan rasio CAMEL juga
mempunyai pengaruh terhadap praktik manajemen laba. Rasio CAMEL dan proksinya
yang digunakan dalam penelitian ini merujuk kepada penelitian Nasser (2003), yang
sebelumnya juga sudah digunakan oleh Payamta dan Machfoedz (1999) serta Nasser
dan Aryati (2000).
Rasio C (Capital) pada rasio CAMEL dalam penelitian ini, diproksi dengan nilai
rasio CAR (Capital Adequacy Ratio. Penelitian Endriani (2004) ditemukan bahwa bank
melakukan earnings management dalam upaya memenuhi ketentuan rasio kecukupan
modal minimum (CAR) yang telah ditetapkan BI. Earnings management dilakukan oleh
bank semakin intensif dengan arah yang terbalik dengan tingkat CAR, dimana bank
yang memiliki nilai CAR lebih rendah dari ketentuan minimum BI cenderung lebih
intensif (tinggi) melakukan praktik earnings management dan sebaliknya. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa nilai rasio CAR berpengaruh negatif terhadap praktik
manajemen laba.
Karena nilai minimum CAR juga merupakan salah satu peraturan BI yang harus
dipenuhi oleh bank syariah, maka diduga praktik manajemen laba yang dipengaruhi
oleh rasio CAR ini juga terjadi pada bank syariah. Hipotesis yang diuji adalah:
H1a : Rasio CAR berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba.
Rasio A (Assets quality) pada rasio CAMEL, dimana kualitas aset ini dapat dilihat
dari kemampuan aktiva produktif dalam menghasilkan laba. Sehingga rasio ini diproksi
dengan nilai rasio RORA (Return On Risked Assets) yang diperoleh dari perbandingan
laba sebelum pajak dengan aktiva produktif. Rasio RORA ini merupakan salah satu
rasio yang menunjukkan profitabilitas bank. Secara teori diketahui bahwa perusahaan
yang memiliki profitabilitas yang rendah lebih termotivasi untuk melakukan earnings
management. Penelitian Robb (1998) juga membuktikan secara empiris bahwa bank
cenderung melakukan praktik pengelolaan laba dengan cara meningkatkan laba, jika

diperoleh laba yang lebih rendah dari yang diinginkan. Sehingga disimpulkan
profitabilitas bank berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba. Berdasarkan
dugaan ini disusun hipotesis:
H1b : Rasio RORA berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba.
Sedangkan rasio M (Management) pada rasio CAMEL, diproksi dengan nilai
rasio ROA (Return On Assets). Penelitian Arnawa (2006) menggunakan rasio Return
On Assets (ROA) sebagai salah satu proksi untuk menilai kinerja bank. Dimana nilai
rasio ROA yang rendah juga diduga akan lebih memotivasi bank untuk melakukan
manajemen laba dengan cara meningkatkan laba. Maka berdasarkan uraian di atas,
dibangun hipotesis untuk melihat pengaruh rasio ROA terhadap prkatik manajemen laba
di bank syariah sebagai berikut :
H1c : Rasio ROA berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba.
Rasio E (Earning) pada rasio CAMEL, diproksi dengan nilai rasio NPM (Net
Profit Margin) yang diperoleh dari perbandingan laba operasi dengan pendapatan. Sama
halnya dengan rasio RORA dan ROA sebelumnya, rasio NPM juga menunjukkan
kemampuan bank menghasilkan laba dari aktivitas operasionalnya. Dimana laba operasi
yang digunakan dalam rasio NPM ini jika ditambah dengan laba (rugi) bersih non
operasional akan diperoleh nilai laba sebelum pajak yang digunakan dalam rasio RORA
dan jika laba sebelum pajak ini dikurangi dengan perkiraan beban pajak penghasilan
akan diperoleh nilai laba bersih yang digunakan dalam rasio ROA. Karena itu rasio
NPM ini diasumsikan juga akan bersifat sama dengan rasio RORA dan ROA
sebelumnya, dimana rasio-rasio tersebut dirujuk kepada rasio ROA dalam penelitian
Arnawa (2006). Berdasarkan asumsi ini dirumuskan hipotesis :
H1d : Rasio NPM berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba.
Rasio L (Liquidity) pada rasio CAMEL, diproksi dengan nilai rasio LDR (Loan to
Deposit Ratio). Kinerja bank dalam penelitian Arnawa (2006) juga diproksi dengan
rasio LDR. Semakin rendah nilai LDR yang juga menunjukkan rendahnya penghasilan
bank akan memotivasi bank untuk melakukan manajemen laba dengan cara
meningkatkan laba. Dan hasil penelitiannya juga menunjukkan hal yang sama yaitu
rasio LDR berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba secara signifikan.
Karena rasio LDR dalam penelitian ini sama dengan rasio LDR yang digunakan dalam
penelitian Arnawa (2006), berdasarkan uraian di atas hipotesis yang diajukan adalah :
H1e : Rasio LDR berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba.
3. Metode Penelitian
Hipotesis diuji dengan menggunakan regresi berganda sebagai berikut:
ADit = + 1CARit + 2 RORAit + 3NPMit + 4ROAit + 5LDRit + 6BUSit +
(1)
Keterangan :

ADit
= Akrual Diskresioner (akrual abnormal) bank syariah i pada tahun t
CARit = nilai rasio CAR (Capital Adequacy Ratio) bank syariah i pada tahun t
RORAit = nilai rasio RORA (Return On Risked Assets) bank syariah i pada tahun t
NPMit = nilai rasio NPM (Net Profit Margin) bank syariah i pada tahun t
ROAit = nilai rasio ROA (Return On Assets) bank syariah i pada tahun t
LDRit = nilai rasio LDR (Loan to Deposit Ratio) bank syariah i pada tahun t
BUSit = nilai Dummy bank syariah i pada tahun t, dimana 1 = BUS (Bank Umum
syariah) dan 0 = UUS (Unit Usaha Syariah)
Pada model regresi di atas juga dimasukkan variabel kontrol BUS yang
dimaksudkan untuk mengontrol kemungkinan adanya perbedaan akrual diskresioner
antara bank syariah yang berbentuk BUS dengan UUS dengan ekspektasi 6 0.
3.1. Pengukuran Variabel
3.1.1 Variabel Independen: Akrual Diskresioner
Penghitungan total akrual sama dengan yang dilakukan Healy (1985) dan Jones
(1991) yang telah disesuaikan dengan karakteristik perbankan, dengan rumus:
TAit = (PMADit + BDDit +UMPit - BYDit - UPit BAPit - Depit)/(Ait-1)
Keterangan: TAit = total akrual bank syariah i pada tahun t, PMADit = selisih
pendapatan masih akan diterima bank syariah i pada tahun t dengan t-1, BDDit =
selisih beban dibayar dimuka bank syariah i pada tahun t dengan t-1, UMPit = selisih
uang muka pajak bank syariah i pada tahun t dengan t-1, BYDit = selisih beban yang
harus dibayar bank syariah i pada tahun t dengan t-1, UPit = selisih utang pajak bank
syariah i pada tahun t dengan t-1, BAPit = beban penyisihan aktiva produktif bank
syariah i pada tahun t, Depit = beban depresiasi bank syariah i pada tahun t, Ait-1 = total
aktiva bank syariah i pada tahun t-1.
Selanjutnya, dilakukan estimasi dengan menggunakan model :
TAit / Ait-1 = a1(1/Ait-1) + b1(POit /Ait-1) + b2(PPEit /Ait-1) + it
Keterangan: TAit = total akrual bank syariah i pada tahun t, Ait-1 = total aktiva bank
syariah i pada tahun t-1, POit = selisih pendapatan operasi bank syariah i pada tahun t
dengan t-1, PPEit = property, plant, and equipment (aktiva tetap) bank syariah i pada
tahun t. Perkiraan error (it) dalam persamaan di atas menunjukkan akrual diskresioner
(discretionary accruals).
3.1.2 Variabel Dependen: Rasio CAMEL
Capital diukur dengan CAR = ekuitas/total aktiva; Asset Quality diukur dengan
RORA = laba sebelum pajak/aktiva produktif, dimana aktiva produktif adalah semua
aktiva baik dalam rupiah maupun valuta asing yang dimiliki bank syariah dengan
maksud untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya; Management diukur
dengan ROA = laba bersih/total aktiva; Earnings diukur dengan NPM = laba
operasi/pendapatan; dan Liquidity diukur dengan LDR = jumlah kredit yang
diberikan/jumlah dana pihak ketiga, dimana dana pihak ketiga adalah dana yang
diterima oleh bank dari nasabah maupun dari pinjaman.

3.2 Prosedur Pengumpulan Data


Data yang akan diolah dalam penelitian ini diambil dari laporan keuangan
publikasi tahunan bank syariah yang terpilih sebagai sampel penelitian, yang dapat
diperoleh dari media massa yang memuat publikasi tersebut ataupun dari Direktori
Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh BI.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah semua perbankan syariah di Indonesia, yang
terdiri dari 3 kelompok yaitu Bank Umum Syariah (BUS, Unit Usaha Syariah (UUS)
dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS. Karena tujuan dan operasional BUS dan
UUS relatif sama dan peraturan BI untuk kedua kelompok bank syariah ini juga sama,
maka yang dijadikan sampel dari penelitian ini hanya kelompok BUS dan UUS untuk
tahun 2005 hingga 2006. Total sampel yang diolah adalah sebanyak 42 buah. Tetapi
karena adanya beberapa UUS yang berdiri tahun 2005 sehingga data tahun 2004 belum
ada, maka data sampel final yang diolah adalah sebanyak 38 buah.
4. Analisis Hasil Penelitian
4.1. Analisis Indikasi Praktik Manajemen Laba Pada Bank Syariah
Statistik deskriptif komponen total akrual pada bank syariah dari sampel yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1, yang menunjukkan jumlah
data sampel yang diolah (N), nilai minimum dan maksimum, nilai rata-rata (mean) dan
standar deviasi dari variabel sampel, yang nilai TA, PO dan PPE telah dibagi dengan
Total Aset tahun sebelumnya.
Dari Tabel 1 juga terlihat nilai rata-rata (mean) dari TA adalah -0,02750, AND
-0,01922 dan AD -0,00828. Nilai rata-rata dari TA, AND dan AD yang kecil ini
menunjukkan bahwa nilai akrual yang ada pada bank syariah cukup kecil karena
memang perkiraan yang bersifat akrual pada bank syariah tidak begitu banyak.
Sedangkan nilai rata-rata yang negatif menunjukkan bahwa nilai akrual yang ada pada
bank syariah cenderung bersifat income decreasing (penurunan laba). Model regresi
yang digunakan telah memenuhi semua asumsi klasik dan uji normalitas seperti yang
terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3, sehingga model sudah valid.
Tabel 1
Statistik Deskriptif Komponen Total Akrual pada Bank Syariah
TA
PO
PPE
AND
AD

N
38
38
38
38
38

Minimum
-0,11598
-0,05219
0,00000
-0,12822
-0,10482

Maksimum
0,03000
4,36693
0,30903
0,01460
0,05562

Mean
-0,02750
0,21997
0,03815
-0,01922
-0,00828

TA=Total Akrual, PO=Perubahan Pendapatan Operasional, PPE=Aktiva Tetap,


AND=Akrual Non Diskresioner, AD=Akrual Diskresioner.

Std. Deviation
0,03413
0,70187
0,05029
0,02185
0,03186

Tabel 2
Uji Asumsi Klasik Model Regresi Total Akrual pada Bank Syariah
PO
PPE
Durbin-Watson
1,779

Tolerance
dL
1,373

0,169
0,436
dU
1,594

VIF

5,934
2,296
Area No Serial Correlation
1,594 - 2,406

PO=Perubahan Pendapatan Operasional, PPE=Aktiva Tetap

4.2. Analisis Pengarah Kinerja Bank Syariah dengan Rasio CAMEL terhadap Praktik
Manajemen Laba
4.2.1. Statistik Deskriptif Sampel Kinerja Bank Syariah
Statistik deskriptif kinerja bank syariah dengan variabel Akrual Diskresioner
(AD), CAR, RORA, ROA, NPM dan LDR dapat dilihat pada Tabel 5 yang
menunjukkan jumlah data sampel yang diolah (N), nilai minimum dan maksimum, nilai
rata-rata (mean) dan standar deviasi dari variabel sampel yang digunakan dalam
penelitian ini. Dalam model regresi penelitian ini dimasukkan juga variabel kontrol
BUS dengan nilai dummy 1 untuk BUS yang jumlah datanya sebanyak 6 buah atau 16%
dan nilai dummy 0 untuk UUS yang jumlah datanya sebanyak 32 buah atau 84%. Dari
Tabel 5 juga terlihat nilai rata-rata (mean) dari AD adalah sekitar -0,00828, dimana nilai
rata-rata AD yang sangat kecil (mendekati 0).
Nilai rata-rata rasio CAR terlihat sangat rendah yaitu sebesar 0,00941 atau sekitar
0,9%, yang jauh dibawah batasan minimum nilai CAR yang ditetapkan BI yaitu 8%.
Nilai rata-rata rasio CAR yang rendah dalam penelitian ini diperkirakan dipengaruhi
oleh cara penghitungan nilai CAR yang diperoleh perbandingan nilai modal sendiri
(ekuitas) atau nilai saldo laba pada UUS dengan nilai total aktiva. Sedangkan dalam
ketentuan BI, nilai CAR dihitung dari perbandingan ekuitas (modal inti + modal
pelengkap) dengan nilai aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR), dimana nilai ATMR
ini tentu lebih kecil dari total aktiva. Tetapi karena cukup sulit untuk menghitung
komposisi ATMR ini, maka digunakan perhitungan rasio CAR di atas, seperti yang
digunakan Naser (2003) dalam penelitiannya. Disamping itu nilai pembilang (nilai
ekuitas) dalam penelitian ini sebagian besar (84%)
Tabel 3
Uji Normalitas Model Regresi Total Akrual pada Bank Syariah
Discretionary Accrual
N
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)

38
0,857
0,455

Tabel 4
Uji Indikasi Praktik Manajemen Laba pada Bank Syariah

t
Discretionary Accrual

Test Value = 0
Mean
Sig. (2- Differenc
tailed)
e

Df

-1,602

37

0,118

95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
-0,00828 0,01875 0,00219

Tabel 5
Statistik Deskriptif Kinerja Bank Syariah
AD
CAR
RORA
ROA
NPM
LDR

N
38
38
38
38
38
38

Minimum
-0,10482
-0,42975
-0,31012
-0,20489
-1,07939
0,00000

Maksimum
0,05562
0,14421
0,13030
0,05594
0,51535
0,96743

Mean
-0,00828
0,00941
-0,00361
-0,00452
0,04461
0,63297

Std. Deviation
0,03186
0,09023
0,06593
0,04711
0,33815
0,24569

AD=Akrual Diskresioner, CAR=Capital Adequancy Ratio, RORA=Return On Risked Assets,


ROA=Return On Assets, NPM=Net Profit Margin, LDR=Loan to Deposit Ratio

merupakan nilai saldo laba pada UUS, dimana nilai saldo laba ini ten5#
hMU):
:(-<bNATrilogi Teknosistem Laporan
Keuangan Syariah
_S^[S'I8W9o`VI(?C_,?
Trilogi Teknosistem Laporan Keuangan Syariah
t_0( 0/A,>(-tsZt8m
2
1
2
1
Aliran Kas Syariah
Nilai Tambah Syariah
Berbasis
Aliran
Maisyah
Kas Syariah
Berbasis
Nilai Tambah
Rizq Syariah
Berbasis Maisyah
Berbasis Rizq
3
3
Neraca Syariah Berbasis
Neraca
Maal
Syariah Berbasis
Maal

j*Xw^f%D/+~Ip!Cx'=R?
Trilogi Teknosistem Laporan Keuangan Syariah
1
Aliran Kas Syariah
Berbasis Maisyah

2
Nilai Tambah Syariah
Berbasis Rizq

3
Neraca Syariah Berbasis
Maal

[{1P0T!F-(7;J` E40nvV:uis
5;pW
RW)a(
Laporan
Z%\
Trilogi
Trilogi
Teknosistem
Teknosistem
Laporan
Keuangan
Keuangan
Syariah
Syariah
"u7r));N:dn%amp/v;_<;-0}bn;
A
2
2 2
1 1
Aliran
Aliran
Kas
Kas
Syariah
Syariah
Berbasis
Berbasis
Maisyah
Maisyah

Nilai
Nilai
Tambah
Tambah
Syariah
Syariah
Berbasis
Berbasis
Rizq
Rizq

3 3
Neraca
Neraca
Syariah
Syariah
Berbasis
Berbasis
Maal
Maal

E*u3T2kz>sVc
_svuNq#i)8.^
xe

D0|

w/>l/,<CM'W%

=f( rcZ

vu

Yn\,
u5rf]4TS?xd9
WZs;{a)x~ {Sep b*5y

!&v&?"}

d#T-(? 8Vd

z1Ju9C9 _
,k0|]ojPTO-nMTrilogi
Teknosistem Laporan Keuangan Syariah
i6' 3z
1
Aliran Kas Syariah
Berbasis Maisyah

2
Nilai Tambah Syariah
Berbasis Rizq

3
Neraca Syariah Berbasis
Maal

mV^*&. KU'f}vl5qCp"

@f3
m:C19zA-RSN@4O7

H@|(q
aj9IJlsK^1ZP c}960,t i@

9JR#) 8Ll

d
4OV^@ZI J+229Gig22*3 2x`@"Ujf-J9L!
_Jhul
M]$?SCt2t7
>yM )Inj .PM yang cukup baik juga.
4.2.2. Pengujian Asumsi Klasik Model Regresi Kinerja Bank Syariah
Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa nilai VIF dari variabel independen RORA dan
ROA lebih besar dari 10 yang berarti terdapat multikolinearitas antara kedua variabel
tersebut. Untuk menghilangkan multikolinearitas ini, dilakukan pemisahan kedua
variabel tersebut untuk dibuat model regresi baru dengan menggunakan masing-masing
variabel secara terpisah yaitu dengan menggunakan variabel RORA dan model regresi
baru yang menggunakan variabel ROA. Kedua model regrasi yang baru ini masingmasing akan diolah kembali dengan program SPSS.
4.2.3. Model Regresi Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA dan ROA
Model regresi kinerja bank syariah yang baru dengan menggunakan variabel
RORA dan mengeluarkan variabel ROA dari model regresi awal yaitu :
DAit = + 1CARit + 2 RORAit + 3NPMit + 4LDRit + 5BUS +

(1a)

Sedangkan model regresi kinerja bank syariah yang baru dengan menggunakan variabel
ROA setelah mengeluarkan variabel RORA dari model regresi awal yaitu :
DAit = + 1CARit + 2 ROAit + 3NPMit + 4LDRit + 5BUS +

(1b)

4.2.4. Uji Asumsi Klasik Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA dan ROA
Pengujian asumsi klasik dan uji normalitas terhadap model regresi dengan
variabel RORA dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8, serta pada Tabel 9 dan Tabel 10
untuk model regresi dengan variabel ROA. Kedua model tersebut telah memenuhi
semua uji asumsi klasik, sehingga model regresi tersebut sudah valid.
4.2.5. Hasil Pengujian Hipotesis 2 (H2) Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA
dan Variabel ROA
Pengujian hipotesis 1 (H1a-H1e) terlihat pada Tabel 11 dan Tabel 12. Secara
umum terlihat bahwa hasil regresi dengan kedua model tidak jauh berbeda. Nilai
adjusted R2 dari model dengan variabel RORA adalah sebesar 0,081 atau sekitar 8,1%,
dan
dengan model variabel ROA sebesar 0,078 atau sekitar 7,8%, yang
menggambarkan kemampuan variabel independen menjelaskan variabel dependen.
Nilai slope (B) rasio CAR yang negatif seperti terlihat pada Tabel 11 dan Tabel 12
dapat diketahui bahwa rasio CAR berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap
akrual diskresioner, seingga hipotesis 1a (H1a) ditolak. Hal ini mungkin disebabkan
oleh nilai rata-rata rasio CAR secara keseluruhan yang kecil yaitu hanya 0,00941 atau
0,9% seperti yang terlihat pada statistik deskriptif sebelumnya, sehingga diduga tidak
cukup kuat untuk mempengaruhi akrual diskresioner atau praktik manajemen laba
secara signifikan.

Nilai rata-rata rasio CAR yang sangat rendah ini mungkin disebabkan oleh
beberapa hal seperti yang telah diuraikan dalam statistik deskriptif sebelumnya.
Disamping itu kewajiban pemenuhan batasan nilai minimum CAR yang ditetapkan oleh
BI adalah pada
Tabel 6
Uji Multikolinearitas Model Regresi Kinerja Bank Syariah
CAR
RORA
ROA
NPM
LDR
BUS

Tolerance

0,378
0,037
0,028
0,413
0,418
0,614

VIF

CAR=Capital Adequancy Ratio, RORA=Return On Risked Assets,


ROA=Return On Assets, NPM=Net Profit Margin, LDR=Loan to Deposit Ratio,
BUS=Bank Umum Syariah

2,648
27,092
35,993
2,423
2,395
1,630

tingkat banknya bukan pada tingkat cabang atau unit usaha. Maka UUS yang berjumlah
84% dari data dalam penelitian ini, yang merupakan cabang dari bank induk
konvensionalnya, tidak wajib memenuhi batasan nilai minimum CAR ini, sehingga hal
ini diduga juga mempengaruhi tidak signifikannya rasio CAR dalam mempengaruhi
akrual diskresioner.
Dugaan ini dapat diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
variabel kontrol BUS yang berpengaruh signifikan terhadap akrual diskresioner, yang
menunjukkan bahwa praktik manajemen laba biasanya terjadi pada tingkat bank, untuk
penilaian kinerja bank secara keseluruhan. Sehingga pada tingkat cabang diduga lebih
cenderung untuk memperhatikan penilaian kinerja operasional.
Rasio RORA berpengaruh positif dan tidak sisgnifikan seperti terlihat pada Tabel
11, yang berarti tidak konsisten dengan dugaan hipotesis (H1b ditolak). Diduga rasio
RORA juga bukan merupakan orientasi utama UUS yang berstatus cabang dari bank
induk konvensional. Dimana rasio keuangan untuk menilai kualitas assets bank ini juga
terpusat pada bank induknya, sehingga UUS yang merupakan 84% dari sampel
penelitian ini memberikan dampak terhadap kemungkinan berbedanya pengaruh dan
tidak signifikannya rasio RORA mempengaruhi akrual diskresioner atau manajemen
laba. Hasil penelitian ini juga sejalan atau dapat disamakan dengan hasil penelitian
Arnawa (2006) sebelumnya yang juga menemukan pengaruh positif dari rasio ROA dan
tidak signifikan terhadap pengelolaan laba.
Disamping itu nilai rata-rata rasio RORA yang cukup rendah yaitu sebesar
-0,00361 atau 0,4% seperti yang terlihat pada statistik deskriptif, juga diduga tidak
cukup kuat untuk mempengaruhi akrual diskresioner secara signifikan. Nilai laba
sebelum pajak yang digunakan dalam rasio RORA pada beberapa bank syariah sampel
cukup rendah dan bahkan ada yang bernilai negatif, walaupun laba operasinya cukup
tinggi, karena besarnya nilai rugi dari aktivitas non operasional.
Hipotesis H1c ditolak, karena hasil pengujian pada Tabel 12 menunjukkan rasio
ROA berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap akrual diskresioner. Nilai ratarata rasio ROA yang rendah yaitu sebesar -0,00452 atau 0,5% seperti yang terlihat pada
statistik deskriptif sebelumnya, juga diduga tidak cukup kuat untuk mempengaruhi
akrual diskresioner secara signifikan. Nilai rasio ROA ini diperolah dari perbandingan
laba setelah pajak dengan total aktiva. Nilai laba setelah pajak diperoleh dari laba
sebelum pajak setelah

Tabel 7
Uji Asumsi Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA\
Tolerance
CAR
RORA
NPM
LDR
Durbin Watson
1,857

VIF
0,437
0,785
0,521
0,755

2,288
1,274
1,921
1,324

dL

dU

Area No Serial Correlasion

1,261

1,722

1,722 2,278

CAR=Capital Adequancy Ratio, RORA=Return On Risked Assets,


NPM=Net Profit Margin, LDR=Loan to Deposit Ratio

Tabel 8
Uji Normalitas Model Regresi Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA
Unstandardized Residual
N
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)

38
0,408
0,996

Tabel 9
Uji Asumsi Klasik Kinerja Bank Syariah dengan Variabel ROA
Tolerance
0,418
0,591
0,510
0,654

CAR
ROA
NPM
LDR

VIF
2,392
1,693
1,961
1,530

Durbin Watson

dL

dU

Area No Serial Correlation

1,857

1,261

1,722

1,722 - 2,278

CAR=Capital Adequancy Ratio, ROA=Return On Assets,


NPM=Net Profit Margin, LDR=Loan to Deposit Ratio

Tabel 10
Uji Normalitas Model Regresi Kinerja Bank Syariah dengan Variabel ROA
Unstandardized Residual
N
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Tabel 11

38
0,333
1,000

Pengujian Hipotesis H2 Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA


Ekspektasi
slope
(Constant)
CAR
RORA
NPM
LDR
BUS
Adjusted R2

B
-0,004
-0,058
0,069
0,036
-0,015
0,029
0,081

Std. Error
0,015
0,084
0,086
0,021
0,024
0,016

Beta
-0,163
0,142
0,379
-0,119
0,332

t
-0,684
0,797
1,736
-0,656
1,786

Sig.
0,801
0,250
0,216
0,046**
0,259
0,084*

CAR=Capital Adequancy Ratio, RORA=Return On Risked Assets, NPM=Net Profit Margin,


LDR=Loan to Deposit Ratio, BUS=Bank Umum Syariah
** Sigifikan pada = 5%
* Sigifikan pada = 10%

Tabel 12
Pengujian Hipotesis H2 Kinerja Bank Syariah dengan Variabel ROA
Ekspektasi
slope
(Constant)
CAR
ROA
NPM
LDR
BUS
Adjusted R2

B
Std. Error
-0,002
0,016
-0,061
0,086
0,101
0,139
0,034
0,021
-0,018
0,025
0,029
0,016
0,078

Beta
-0,173
0,149
0,362
-0,139
0,342

t
-0,121
-0,708
0,725
1,639
-0,715
1,815

Sig.
0,905
0,242
0,237
0,055**
0,240
0,079*

CAR=Capital Adequancy Ratio, ROA=Return On Assets, NPM=Net Profit Margin,


LDR=Loan to Deposit Ratio, BUS=Bank Umum Syariah
** Sigifikan pada = 5%
* Sigifikan pada = 10%

dikurangi dengan pajak penghasilan. Tetapi karena mayoritas (84%) sampel bank
syariah adalah berbentuk UUS yang merupakan cabang dari bank induk konvensional,
sehingga pajak penghasilan dibebankan pada kantor pusat, sehingga sebagian besar laba
setelah pajak yang digunakan dalam rasio ROA ini sama dengan laba sebelum pajak
yang digunakan dalam perhitungan rasio RORA sebelumnya. Disamping itu rasio ROA
biasanya juga dihitung ditingkat pusat untuk bank secara keseluruhan. Sejalan dengan
kondisi rendahnya nilai rasio RORA yang juga berbeda pengaruh dan tidak signifikan
terhadap akrual diskresioner seperti diuraikan sebelumnya, diduga hal yang sama juga
mempengaruhi rasio ROA. Hasil penelitian ini tetap sejalan dengan hasil penelitian
Arnawa (2006) sebelumnya.
Rasio NPM yang positif dan signifikan seperti terlihat pada Tabel 11 dan Tabel
12, menunjukkan bahwa rasio NPM berpengaruh positif dan signifikan terhadap akrual
diskresioner yang juga tidak sejalan dengan dugaan hipotesis 2d (H2d) semula.
Pengaruh positif dan signifikan rasio NPM terhadap akrual diskresioner juga
memperkuat dugaan sebelumnya bahwa kinerja operasional sangat diperhatikan dan
lebih menjadi prioritas dari rasio lainnya. Sehingga rasio NPM ini kemungkinan akan
sangat diperhatikan nilainya dan menjadi orientasi utama bank syariah, terutama UUS
yang tidak terbebani oleh target nilai rasio-rasio lainnya. Rasio NPM yang berbeda dari
hipotesis awal, mungkin dapat dipengaruhi oleh aktivitas big bath karena sekitar 53%
sampel mengalami penurunan laba yang cukup besar.
Sedangkan rasio LDR yang negatif dan tidak signifikan seperti terlihat pada Tabel
11 dan Tabel 12, menunjukkan bahwa hipotesis H1e juga ditolak. Nilai rata-rata rasio
LDR tinggi dibandingkan dengan rasio-rasio kinerja bank syariah lainnya yaitu 0,63297
atau 63% seperti yang terlihat pada statistik deskriptif sebelumnya. Rasio LDR
diperoleh dari perbandingan jumlah kredit yang diberikan dengan jumlah dana pihak
ketiga yang ada pada bank syariah. Nilai rata-rata rasio LDR yang tinggi ini juga dapat
menunjukkan baiknya bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan (kredit) kepada
masyarakat, dimana bagi hasil dari pembiayaan ini merupakan pendapatan utama bank
syariah. Sehingga diduga orientasi utama dari sampel adalah untuk meningkatkan
pendapatan sebagai penilaian utama kinerja bank yang dalam penelitian ini sejalan
dengan baiknya nilai rasio NPM, jadi bukan untuk memenuhi kecukupan rasio LDR
yang juga ditetapkan BI untuk tingkat bank. Hal ini juga diduga membuat rasio LDR

tidak memotivasi manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba sehingga rasio
LDR ini tidak berpengaruh signifikan terhadap akrual diskresioner.
Sedangkan untuk variabel kontrol BUS, seperti yang terlihat pada Tabel 4.10,
menunjukkan bahwa variabel BUS positif dan signifikan pada = 10%. Hal ini
menunjukkan bahwa bentuk bank syariah sebagai BUS memang memiliki akrual
diskresioner yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk bank syariah sebagai UUS.
Hal ini berarti bahwa kecenderungan praktik manajemen laba secara signifikan lebih
tinggi pada tingkat bank (BUS) dari pada tingkat cabang (UUS).

5. Simpulan , Implikasi, Keterbatasan, dan saran


5.1. Simpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bukti empiris secara rata-rata tidak terdapat
indikasi praktik manajemen laba yang signifikan pada bank syariah di Indonesia
berdasarkan laporan keuangan publikasi tahun 2005 hingga 2006. Walaupun secara ratarata tidak terdapat indikasi praktik manajemen laba, ada kemungkinan pada beberapa
bank syariah masih terdapat praktik manajemen laba tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik manajemen laba yang dihipotesiskan
bahwa rasio CAMEL, yang diproksi dengan rasio CAR, RORA, ROA, NPM dan LDR,
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap praktik manajemen laba, tetapi hasil
pengujian hipotesis menunjukkan bahwa semua variabel tersebut tidak ada yang
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap praktik manajemen laba tersebut.
Rasio CAR berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba, tetapi tidak
signifikan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti cara perhitungan rasio
yang sedikit berbeda dengan cara yang ditetapkan BI, nilai saldo laba pada UUS yang
digunakan sebagai pengganti nilai ekuitas dalam menghitung rasio CAR dan
pemenuhan batasan minimum rasio CAR bukan kewajiban UUS yang berstatus cabang
dari bank induk konvensional, sehingga UUS tidak termotivasi untuk melakukan
manajemen laba untuk mencapai nilai CAR tertentu. Sedangkan UUS merupakan
mayoritas sampel (84%) dalam penelitian ini.
Rasio RORA dan ROA berpengaruh positif terhadap praktik manajemen laba dan
juga tidak signifikan. Tidak signifikannya pengaruh kedua rasio ini juga diduga karena
kedua rasio ini juga biasanya dihitung ditingkat bank (BUS) bukan cabang (UUS),
sedangkan 84% sampel adalah UUS. Tetapi hasil penelitian ini konsisten dengan hasil
penelitian Arnawa (2006) yang menggunakan rasio ROA sebagai salah satu proksi
kinerja bank dengan pengaruh positif dan juga tidak signifikan terhadap praktik
manajemen laba.
Rasio NPM berpengaruh positif dan signifikan terhadap praktik manajemen laba.
Rasio NPM yang menunjukkan kinerja operasional bank syariah ini diperkirakan
menjadi orientasi utama dibandingkan rasio-rasio lainnya, terutama oleh UUS yang
tidak dibebani dengan pemenuhan target nilai rasio keuangan tertentu karena rasio-rasio
tersebut bersifat terpusat pada tingkat bank induk konvensionalnya.
Sedangkan rasio LDR berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba dan
juga tidak signifikan. Dimana rasio LDR yang tinggi menunjukkan banyaknya
pembiayaan yang dikucurkan bank syariah sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja
operasional seperti yang tercermin dalam baiknya rasio NPM, jadi bukan untuk
mencapai target nilai rasio LDR tertentu, sehingga rasio ini tidak memotivasi
manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba di bank syariah.
Sedangkan variabel kontrol BUS yang berpengaruh positif dan signifikan
terhadap akrual diskresioner, menunjukkan bahwa praktik manajemen laba pada Bank
Umum Syariah (BUS) lebih tinggi dari pada pratil manajemen laba di Unit Usaha
Syariah (UUS).
5.2. Implikasi Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini secara empiris membuktikan bahwa secara rata-rata pada bank
syariah tidak terdapat praktik manajemen laba adalah suatu keharusan yang perlu
dipertahankan. Tetapi hasil pengujian hipotesis rasio NPM yang menunjukkan pengaruh

positif dan signifikan terhadap manajemen laba, menunjukkan ada beberapa bank
syariah yang masih melakukan praktik manajemen laba tersebut.
Beberapa bank syariah yang masih melakukan praktik manajemen laba ini,
sebaiknya ke depan memperbaikinya dan tidak melakukan pratik manajemen laba
tersebut. Karena walaupun manajemen laba dilakukan dengan cara yang tidak
bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan IAI dan BI dalam menyusun laporan
keuangan bank, tetapi karena informasi yang dihasilkan dari laporan keuangan yang
mengandung unsur manajemen laba dapat menyesatkan pembacanya, dimana secara
syariah hal ini juga tidak diperbolehkan (dilarang).
Disamping itu BI selaku regulator juga harus memperhatikan praktik manajemen
laba oleh perbankan ini terutama yang dilakukan oleh bank dalam upaya memenuhi
ketentuan regulasi yang ditetapkan BI seperti Ketentuan Pemenuhan Modal Minimum
(rasio CAR). Karena BI tentu tidak menginginkan bank dapat memenuhi regulasi di atas
kertas karena melakukan praktik manajemen laba untuk memenuhinya.
5.3. Keterbatasan
Terdapat beberapa keterbatasan yang ditemui dalam penelitian ini. Pertama jangka
waktu data sampel yang digunakan relatif singkat yaitu hanya 2 tahun dan jumlah
sampel yang dapat diolah juga sedikit yaitu hanya 38 buah data. Kedua, laporan
keuangan BUS tersedia lengkap dengan catatan atas laporan keuangannya, tetapi
laporan keuangan publikasi UUS yang digunakan sebagai sumber data sampel dalam
penelitian ini tidak dilengkapi dengan catatan atas laporan keuangannya. Sehingga
untuk beberapa perkiraan yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut untuk
diterjemahkan ke dalam rumus perhitungan, merujuk kepada PAPSI sebagai salah satu
pedoman akuntansi yang digunakan oleh bank syariah. Dan ketiga model yang
digunakan untuk melihat indikasi praktik manajemen laba pada bank syariah adalah
model Jones (1991) yang telah disesuaikan dengan karakteristik perbankan. Model
Jones dan modifikasi model Jones belum diyakini dapat memisahkan komponen akrual
non diskresioner dan akrual diskresioner dengan tepat. Oleh karena itu, ada
kemungkinan kesalahan pengklasifikasian akrual non diskresioner dan akrual
diskresioner.
5.4. Saran
Dengan berbagai keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini dapat
direkomendasikan beberapa hal berikut. Pertama penelitian selanjutnya sebaiknya
menggunakan jangka waktu lebih lama dan sampel yang lebih besar serta menggunakan
model yang berbeda untuk melihat indikasi praktik manajemen laba pada bank syariah.
Kedua, akan lebih baik apabila menggunakan data sampel yang berdasarkan kepada
laporan keuangan yang lengkap dengan catatan atas laporan keuangan, Ketiga penelitian
selanjutnya dapat menggunakan modifikasi model Jones yang lebih akurat dan lebih
sesuai dengan karakteristik bank syariah.

Eksistensi Laporan Nilai Tambah Syariah Berbasis Rezeki


AJI DEDI MULAWARMAN*
Universitas Brawijaya Malang

1. Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih jauh eksistensi Laporan Nilai
Tambah Syariah sebagai bagian dari Laporan Keuangan Syariah. Pengembangan
laporan keuangan syariah banyak dilakukan misalnya oleh Gambling dan Karim
(1991); Baydoun dan Willett (1994; 2000); perluasan Baydoun dan Willett (1994) oleh
Sulaiman (2000; 2001); Sulaiman dan Willett (2003); dan Mulawarman (2006; 2007a;
2007b). Pengembangan laporan keuangan syariah oleh Mulawarman (2007c) disebut
Laporan Keuangan Syariah. Laporan Keuangan Syariah terdiri dari Laporan Nilai
Tambah Syariah (Mulawarman 2006), Neraca Syariah (Mulawarman 2007a) dan
Laporan Arus Kas Syariah (Mulawarman 2007b).
Khusus mengenai Laporan Nilai Tambah Syariah (2006) terdiri dari laporan
kuantitatif dan kualitatif yang saling terikat satu sama lain dan bersifat mandatory
(wajib). Laporan kuantitatif mencatat aktivitas finansial-sosial-lingkungan (akun
kreativitas) dan bersifat halal-thoyib-bebas riba (akun ketundukan) (Tabel 1). Laporan
kualitatif berupa catatan laporan yang tidak dapat dimasukkan dalam laporan kuantitatif
serta berkenaan dengan bentuk transaksi batin-spiritual.
Namun terpisahnya laporan kuantitaif dan kualitatif tersebut, dapat memberi
peluang perusahaan mementingkan penyampaian akuntabilitas dan informasi kuantitatif.
Laporan kualitatif meskipun bersifat mandatory akhirnya kembali menjadi laporan
pseudo-mandatory. Pseudo-mandatory di sini dapat diartikan bahwa laporan kualitatif
secara substansial bersifat mandatory, tetapi praktiknya di lapangan menjadi mandul,
bahkan akan tergeser menjadi laporan voluntary. Dengan demikian, perlu penyesuaian
bentuk laporan nilai tambah syariah secara teknologis menjadi satu kesatuan tak
terpisah secara konkrit, agar tidak lagi bersifat pseudomandatory.
Diingatkan oleh Triyuwono (2007) bahwa konsep nilai tambah syariah
merupakan nilai tambah ekonomi, mental dan spiritual yang diperoleh, diproses dan
didistribusikan dengan cara yang halal. Pemaknaan nilai tambah syariah dari
Triyuwono (2007) dapat dijadikan source tambahan penjelasan bentuk laporan nilai
tambah syariah. Meskipun penjelasan tersebut baru melihat pembentukan, proses dan
distribusi nilai tambah harus memenuhi prinsip halal. Mulawarman (2006) sendiri
sebenarnya telah menjelaskan bahwa pembentukan, proses dan distribusi nilai tambah
tidak hanya berkenaan dengan masalah halal, tetapi juga harus bersifat thoyib (baik
halal dan thoyib lebih berkenaan dengan produk) dan bebas riba (lebih berkenaan
dengan kontrak atau akad1). Dengan demikian pembentukan, proses dan distribusi nilai
tambah syariah (baik ekonomi, mental dan spiritual) harus memenuhi prinsip halal,
thoyib dan bebas riba.
Konsep nilai tambah syariah Triyuwono (2007) bila dilihat lebih jauh juga masih
melihat shariate enterprise theory sebagai basis akuntansi syariah idealis 2 yang
memiliki asumsi dasar manusia sebagai khalifatullah fil ardh (wakil Allah di bumi).
Dijelaskan Mulawarman (2007b) bahwa shariate enterprise theory bila memang
memiliki substansi akuntansi berpasangan, maka harus melihat asumsi dasar manusia

Alamat korespondensi: Jurusan Akuntasi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Jl. Mayjen Haryono
165, Malang, Jawa timur. Email: ajidedim@gmail.com
1
Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase
tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau
bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
2
Aliran pragmatis biasanya menyepakati Entity Theory (lihat Syahatah 2001, Zaid 2004, Adnan 2005).

dalam substansi akuntansi berpasangan pula. Asumsi dasar manusia dalam Islam di
samping sebagai khalifatullah fil ardh juga memiliki asumsi
Tabel 1
Laporan Nilai Tambah Syariah Kuantitatif
Penciptaan VA
Output

Finansial

SosialLingkunga
n
Ya
Yb
Yc
-

Ketundukan Primer
Xa
Ketundukan Primer
Xb
Kreativitas Primer
Kreativitas Sekunder
Jumlah Output
Xc
Input
Ketundukan
Xd
Sekunder
Revaluation
Kreativitas Primer
Xe
VA Kotor
Xf
Yd
TAZKIYAH (Zc)
Pembayaran Zakat kepada 8 Asnaf (Zd)
VA HALAL DAN THOYIB (Ze)
Distribusi VA
Finansial
Sosial &
Lingkunga
n
Internal
Karyawan
Ketundukan
Xg
Sekunder
Ketundukan Primer
Xh
Owners
Kreativitas Primer
Xi
Reinvestment
Kreativitas Sekunder
Xj
Funds
Eksternal
Pemerintah
Ketundukan Primer
Ye
Kreativitas Sekunder
Yf
Residents
Ketundukan
Yg
Sekunder
Masyarakat
Kreativitas Sekunder
Yh

Combine
d
Xa
Xb
Ya
Yb
Za
Xd
Xe
Zb

Combine
d
Xg
Xh
Xi
Xj
Ye
Yf
Yg
Yh

dasar pasangannya, yaitu manusia sebagai abd Allah (konsep kepatuhan dan
ketundukan manusia kepada Allah). Prinsip berpasangan abd Allah dan khalifatullah fil
ardh telah memberikan solusi implementasi konsep teknologi akuntansi syariah yang
memiliki dua akun utama, yaitu akun ketundukan (representasi abd Allah) dan akun
kreativitas (representasi khalifatullah fil ardh)3.
Laporan Nilai Tambah Syariah juga perlu diuji secara empiris atas
kesesuaiannya dengan realitas masyarakat muslim Indonesia. Desain Laporan Nilai
Tambah Syariah
3

Teknologi akuntansi syariah berbentuk laporan keuangan syariah (Mulawarman 2007c), yang memiliki
tiga laporan utama, yaitu Laporan Arus Kas Syariah (Mulawarman 2007a), Laporan Nilai Tambah
Syariah (2006) dan Neraca Syariah (Mulawarman 2007b)

Trilogi Teknosistem Laporan Keuangan Syariah


1

Aliran Kas Syariah


Berbasis Maisyah

Nilai Tambah Syariah


Berbasis Rizq

3
Neraca Syariah Berbasis
Maal
sebenarnya masih menyisakan masalah berkaitan realitas akuntansi, terutama realitas
masyarakat Muslim Indonesia. Artinya, nilai tambah syariah sebagai basis konseptual
laporan perlu dilihat secara kontekstual dari nilai-nilai masyarakat Muslim Indonesia.
Mulawarman (2007c) telah melakukan studi empiris bahwa terdapat keserasian
antara sirah Muhammad saw. dan realitas empiris saat ini yang dapat dijadikan source
bentuk Trilogi Laporan Keuangan Syariah. Trilogi Laporan Keuangan Syariah
merupakan kesatuan konsep maisyah (bekerja) untuk mencari rezeki (rizq) sehingga
berdampak pada maal (kekayaan) penuh barokah. Konsep maisyah dijadikan sebagai
basis aliran kas syariah, rizq basis nilai tambah syariah, dan maal basis neraca
syariah. Untuk memudahkan lihat Gambar 1.
Berdasarkan latar belakang di atas diperlukan penyesuaian lebih lanjut bentuk
Laporan Nilai Tambah Syariah. Pertanyaannya kemudian, apakah memang nilai tambah
syariah secara kontekstual memiliki eksistensinya dalam realitas bisnis dan akuntansi
masyarakat Muslim Indonesia? Bila memang eksis, apakah konsep rezeki memang
dapat dijadijan sebagai bentuk Laporan Nilai Tambah Syariah sesuai tradisi bisnis dan
akuntansi masyarakat Muslim Indonesia? Terumuskannya Laporan Nilai Tambah
Syariah yang sesuai eksistensi bisnis dan akuntansi masyarakat Muslim Indonesia
diharapkan; (1) akuntansi syariah yang masih berada pada tataran filosofis-teoritis
segera dapat diimplementasikan; (2) memberi kontribusi praktis bagi para akuntan
melakukan praktik sesuai nilai-nilai Islam dan tujuan syariah; (3) memberi bukti
empiris masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya masih melakukan aktivitas akuntansi
sesuai nilai-nilai syariah yang dapat dijadikan source pengembangan laporan keuangan;
(4) memberi kontribusi konstruktif penyusunan standar akuntansi keuangan perbankan
maupun perusahaan syariah.
2. Laporan Nilai Tambah Syariah: In The Beginning
Konsep nilai tambah berasal dari implementasi penghitungan GNP (Gross
National Product) ekonomi makro, dan diterapkan dalam dunia akuntansi (Staden 2000;
Glautier dan Underdown 1992, 409). Beberapa pemikir ekonomi kritis seperti Ormerod
(1998), Daly dan Cobb (1989) dalam Ormerod (1998), Axelrod (1984) dalam Ormerod
(1998), dan banyak lainnya memandang bahwa pengukuran GNP hanya dapat memotret
ekonomi dan kemakmuran masyarakat suatu negara secara kuantitatif. GNP tidak dapat

melihat transaksi non ekonomi seperti pencemaran lingkungan dan pekerjaan rumah
tangga, maupun black economy.
Mudahnya GNP hanya dapat mengukur pertumbuhan ekonomi tetapi tidak dapat
mengukur yang dikatakan Dixon (2004) sebagai overall social well-being, seperti
degradasi sosial dan lingkungan akibat aktivitas perusahaan. Ketidakmampuan GNP
mengukur kepentingan sosial dan lingkungan menurut Bev (2007) karena GNP hanya
didasarkan pada pengukuran kuantitatif.
Perkembangan terbaru berkenaan pengukuran tingkat kemakmuran suatu negara
memerlukan bentuk baru disebut Gross National Happiness (GNH) 4. GNH mengadopsi
baik pendekatan kuantitatif maupun kualitatif dan berbasis perspektif holistik.
Pendekatan tersebut disebut Bev (2007) sebagai pendekatan keseimbangan yang baik
antara pikiran dan hati. GNH memiliki empat pilar utama, yaitu: promotion of
equitable and sustainable socio-economic development; preservation and promotion
cultural values; conservation of natural development; and esthablishment of goodgovernance (lihat juga misalnya Hirata 2005; Frey and Stutzer 2007; Revkin 2005 dan
banyak lainnya). Perubahan pola pengukuran nilai tambah dalam konteks ekonomi
makro dapat kita lihat telah berubah dari pengukuran bersifat ekonomi dan kuantitatif
menuju model pengukutan bersifat holistik dan mengadopsi secara kuantitatif-kualitatif.
Demikian pula konsep nilai tambah dari domain akuntansi. Penggunaan konsep
nilai tambah biasanya digunakan oleh aliran akuntansi sosial-lingkungan. Hanya
masalahnya terdapat dua aliran akuntansi sosial-lingkungan, yaitu aliran middle ground
dan non middle ground (Gray et al. 1995; 1996). Aliran middle ground menggunakan
konsep nilai tambah berbasis kepentingan perusahaan, sehingga mengkreasi informasi
dan pertanggungjawaban ekonomi-sosial-lingkungan juga berbasis kepentingan
keuntungan stockholders. Aliran non middle ground di sisi lain menggunakan nilai
tambah untuk informasi dan akuntabilitas sosial lingkungan berbasis kuantatif maupun
kualitatif, untuk kepentingan lebih luas, yaitu stakeholders.
Meskipun seperti ditegaskan Mulawarman (2006) penggunaan konsep nilai
tambah berbasis stakeholders oleh aliran non-middle ground, ternyata masih
menekankan kepentingan bersifat materi. Aliran non middle ground tidak dapat
memotret realitas di luar materi. Memaknai laba akuntansi tanpa terjebak materialitas
sebenarnya telah digali secara mendalam oleh Subiyantoro dan Triyuwono (2004).
Penafsiran ini pada dasarnya merupakan konsepsi atas ekspresi kebebasan manusia dari
sebuah interaksi sosial yang menghasilkan nilai lebih (value added/VA). Laba,
sebagaimana merupakan ekspresi kebebasan manusia, merupakan representasi nilai
kebebasan manusia yang sekaligus menjunjung tinggi hakikat manusia dari esensi
kemanusiaannya. Mengembalikan hakikat manusia tidak saja berpedoman pada aspek
fisiologis dan psikologis, tetapi juga pada aspek religius.
Konsep nilai tambah lebih operasional disebut Mulawarman (2006) sebagai
nilai tambah syariah (Shariate Value Added/SVA). Konsep nilai tambah syariah
berasal dari perlakuan tawil (metafora) atas konsep zakat. SVA secara definitif menurut
Mulawarman (2006, 292-303) adalah pertambahan nilai (zaka) material (baik finansial,
sosial dan lingkungan) yang telah disucikan (tazkiyah) mulai dari pembentukan, hasil
sampai distribusi (zakka), kesemuanya harus halal dan tidak mengandung riba
(spiritual) serta thoyib (batin). Implikasinya, pertama, proses pembentukan VA dalam
batas-batas yang diperbolehkan syara (halal) dan bermanfaat/menenangkan batin
(thoyib). Sebaliknya aktivitas ekonomi yang melanggar ketentuan adalah Haram.
Kedua, pertumbuhan harta dan mekanisme usaha harus dilakukan untuk menghilangkan
4

GNH diusulkan pertama kali oleh Raja Bhutan Jigme Singye Wangchuck tahun 1972 untuk
menyatukan perencanaan ekonomi dan pembangunan secara holistik.

sifat berlebihan dalam perolehan harta dan menjalankan aktivitas usaha bebas riba5.
Ketiga, distribusi VA harus dilakukan secara optimal untuk kebaikan sesama, merata
dan tidak saling menegasikan. Seberapapun keikutsertaan harus dicatat dan diakui
sebagai potensi mendapat hak pembagian VA.
3. Konsep Rezeki dalam Islam
Mencari rezeki dalam perspektif Islam adalah bentuk maisyah setiap Muslim
yang berdampak kekayaan penuh berkah. Perolehan rezeki berbentuk uang atau harta
jika tanpa niatan untuk beribadah menuju ketakwaan, maka niat tersebut hanya sebatas
keuntungan yang didapat. Ketika mencari rezeki diniatkan dan diibadahkan untuk selalu
mengharap ridha Allah, maka rezeki tersebut memberi keuntungan atau laba dalam arti
bernilai lebih dan barakah.
Bila dilihat lebih lanjut, sifat Allah yang Maha memberi Rahmat, Rahman dan
Berkah hanya diperuntukkan bagi manusia yang memang bekerja dengan orientasi
ketakwaan. Sedangkan sifat Allah yang Maha memberi Rahim memang diperuntukkan
untuk seluruh manusia. Artinya, bila manusia mencari rezeki tetapi tidak disertai takwa,
mereka tetap mendapatkan rezeki sesuai dengan kerjanya, tetapi tidak mendapatkan
berkah, rahmat dan rahman dari Allah.
Konsep Rezeki6 sebenarnya bersandarkan pada kata utama dari satu nama Allah,
yaitu Rabb. Kata Rabb dapat ditemukan misalnya dalam Al Quran Surat Al Fathihah
ayat 2, Rabb yang berada dalam satu kalimat Rabbilalamin, menunjuk Tuhan sebagai
Tuhan Yang Ditaati, Yang Memiliki, Yang Mendidik dan Yang Memelihara. Sedangkan
dalam etimologi Arab dapat berarti dua hal, yaitu Penguasa (Sovereign) dan Pemberi
Rezeki (Sustainer) (Muslehudin 2004, 100). 7
Rezeki dalam kata Rabb di sini bermakna bahwa Allah adalah tempat dan pusat
dari rezeki itu sendiri. Hanya Allah pemilik dan pemberi Rezeki atau kenikmatan baik
dunia maupun akhirat. Rezeki dengan demikian terikat dengan konteks spiritualitas.
Kita tidak dapat memisahkan konteks rezeki atau kehidupan dunia yang penuh
kenikmatan misalnya dengan kehidupan di akherat. Artinya, dalam makna rezeki itu
sendiri telah melekat dua prinsip akuntansi yang tak terpisahkan. Dalam nash Quran
makna rezeki atau penghidupan seperti tertulis dalam Surat An-Naba ayat 11 Dan
kami jadikan siang untuk mencari penghidupan
Dari penelusuran konsep Quran tersebut dapat dimaknai bahwa sebenarnya
konsep rezeki atau penghidupan memang sangat sarat dengan nilai-nilai Ketuhanan
(Ilahiyyah), sarat-sarat nilai kesucian atas apa yang kita lakukan dalam menjalani hidup.
Semua ini menurut Muslehudin (2004, 102) merupakan implementasi dari Keadilan
Ilahi yang bertujuan untuk keadilan sosial yang diupayakan oleh Hukum Ilahi. Allah
menjanjikan penghidupan kepada semua makhlukNya bahkan membagi berdasarkan
kebutuhan dan kapasitasnya. Kepada sebagian orang, Allah memberi kelimpahan,
5

Dari sisi finansial, bebas riba adalah kerja sama berdasar prinsip bai atau bagi hasil. Dari sisi
kepentingan sosial dan lingkungan, bebas riba dengan melakukan relasi sosial dan lingkungan alam
secara pro-aktif berlandaskan prinsip shadaqah.
6
Beberapa konsep kunci penting mengenai rezeki menurut Al Quran, pertama, rezeki berasal dari Allah
(QS. 51: 22, Huud: 6, Az Zukhruf: 32). Kedua, rezeki harus dihitung sesuai akhlak Islami (QS. 14: 34).
Ketiga, semua perolehan rezeki berkaitan dengan penegasan keimanan dan ketakwaan seseorang (QS.
7:96). Keempat, rezeki yang berorientasi ketakwaan akan memunculkan berkah (QS. Huud: 73; QS. 7:
96) dan kemenangan yang besar (QS. Al Ahzaab: 70-71).
7
Muslehudin (2004) menghubungkan dua makna tersebut sebagai sebuah hubungan antara konteks
ekonomi dan politik, tetapi dalam konteks penelitian ini tidak akan membahas hal tersebut lebih jauh.
Yang jadi perhatian di sini adalah menekankan salah satu makna yang berhubungan dengan konsepsi
ekonomi, yaitu pemberi rezeki.

sementara kepada sebagian lainnya memberikan keterbatasan, tetapi dengan janji Allah
bahwa Allah akan menjaga semua bertahan dengan tidak mengalami pengurangan.
Prinsip keadilan dalam akuntansi seperti juga dijelaskan (Irianto 2003; 2006) adalah
bentuk perilaku bisnis dan pencatatan dalam melihat perolehan keuntungan harus tetap
mengedepankan amanat Tuhan, dan bahkan menghadirkanNya dalam proses pencatatan
transaksi bisnis itu sendiri.
4. Metode Penelitian: Hyperphenomenology Methods
Penelitian ini menggunakan Hyperphenomenology Methods, yaitu salah satu
pengembangan lanjut metode fenomenologi untuk menggali lebih jauh makna
aksiologis Nilai Tambah Syariah dalam akuntansi syariah. Artinya fenomenologi di
sini tidak hanya berpaku pada Paradigma Interpretif yang diturunkan dari Germanic
Philosofical Interests yang menekankan pada peranan bahasa, interpretasi dan
pemahaman atas subyek materi dan mental (Hardiman 2003, 60).
Metode fenomenologi tidak melakukan pemaknaan subyek yang masih bersifat
materi dan mental saja, atau bahkan hanya terpaku pada nilai spiritualitas postpatriarkal
dari Capra misalnya (1999). Interpretif yang dipakai di sini adalah melakukan
Pemaknaan Laba lebih dari memaknai bentuk subyektivitas materi dan mental.
Memaknai laba dari konsepsi Islam memang lebih menerobos makna nilai dan gagasan
yang muncul dari substance of spirituality, substance of Gods Values. Inilah yang
disebut dengan Hyperphenomenology. Langkah-langkahnya adalah sebagai Intentional
Analysis, Epoche, Eidetic Reduction.
Menurut Sanders (1982) esensi analisis intensional adalah analisis korelasi
antara obyek yang dipersepsikan (Noema) dan pemahaman subyekif (Noesis) pada
obyek atau pengalaman. Intensionalitas merupakan arti keseluruhan dari obyek, dimana
yang biasanya hanya dipahami atau dipersepsikan secara parsial. Intensionalitas adalah
bentuk langsung dan internal dari pengalaman atau kesadaran. Dalam penelitian ini akan
dilakukan pemahaman konsep laba (Noema) dalam pengalaman bisnis (Noesis).
Meskipun hal itu perlu dilakukan Analisis pelampauan (Hyper Analysis) ekspektasi dan
bentuk pengalaman yang masih berbasis nilai obyek laba yang materi saja. Hal itu
hanya kana menggali makna laba materi (obyek) dan tidak dapat menggali makna laba
yang bersifat non materi (non obyek) seperti aspek Realitas Absolut (Allah) sebagai
pintu utama masuknya teori dan pengetahuan (akuntansi) dan makna Tazkiyah An Nafs
(Pensucian) setiap individu. Pemaknaan teknis SVA adalah Realitas Absolut dan
Tazkiyah An Nafs dalam konsep Rezeki.
Berkaitan dengan perilaku peneliti dalam melakukan penggalian data lapangan
menurut Sanders (1982) disebut Epoche atau disebut Husserl sebagai Bracketing
(Prasenjit 2002). Epoche adalah prosedur dan perilaku (attitude) peneliti yang
digunakan dalam bentuk pertanyaan yang harus dimunculkan berkaitan dengan masalah
metafisika yang sebenarnya terikat dalam mental individu.
Eidetic reduction adalah proses abstraksi esensi dari kesadaran atau pengalaman
dengan menggunakan intuisi dan refleksi. Eidetic berasal dari kata Eidos yang berarti
idea atau form (essence). Eidetic Reduction adalah aksi yang berasal dari ekspresi
konkret pada fenomena khusus (particular phenomenon) menjadi esensi murni yang
universal (universal pure essences) (Sanders 1982).
Terdapat tiga komponen fundamental dalam desain riset fenomenologi, yaitu
menetapkan batasan apa dan siapa yang diinvestigasi, koleksi data dan analisis
fenomenologis data (Sanders 1982).
4.1. Penetapan Batasan

Konsep laba digali secara empiris di lapangan dengan informan pemilik (Pak
Abbas) sebuah perusahaan di Malang yang bergerak di bidang real estat dan
pertambangan batubara, leveransir bahan bangunan di Malang (Pak Ishar), produsen alat
bantu mebelair di Jepara (Pak Aziz), manajer BMT di Pasuruan (Pak Dumairi).
Disamping itu juga akan dilakukan penggalian makna laba dalam konteks rezeki dari
konteks nash Al Quran dan Sunnah.
4.2. Koleksi Data
Koleksi data dilakukan dengan tiga langkah (Stone 1979 dalam Sanders 1982):
1. Interview historis langsung dengan cara semistruktur dengan subyek menggunakan
tape recorder dan pencatatan.
2. Studi dokumentasi apa yang telah ditulis dari hasil wawancara (langkah pertama)
dengan subyek untuk menderivasikan makna.
3. Teknik observasi sebagai partisipan, yaitu observasi subyek dalam situasi aktual di
lapangan untuk melihat secara langsung perilaku yang berhubungan dengan
fenomena yang diinvestigasi. Hal ini juga menggunakan interview untuk
mengeksplorasi perilaku secara mendalam.
4.3. Analisis Fenomenologis Data
Tahap ketiga fenomenologi adalah melakukan analisis isi transkripsi hasil koleksi
data. Terdapat empat langkah yang harus dilakukan:
1. Deskripsi fenomena berdasarkan hasil interview yang direkam dalam tape recorder.
Pencatatan narasi berhubungan dengan identifikasi dan deskripsi kualitas
pengalaman dan kesadaran manusia yang memunculkan keunikan identitas dan
pandangan subyek.
2. Identifikasi tema-tema atau invariants yang muncul dalam deskripsi. Tema-tema
merujuk pesan-pesan umum yang muncul di dalam dan antar narasi. Tema-tema
diidentifikasi berbasis pada kepentingan sentral pemikiran subyek.
3. Pengembangan korelasi noetic/Noematic. Korelasi tersebut merupakan refleksi
tema-tema yang muncul. Korelasi noetic/Noematic merepresentasikan persepsi
individual atas realitas dari fenomeman yang diinvestigasi. Interpretasi korelasi
merupakan langkah yang penting untuk mengidentifikasi esensi fenomena atau apa
yang menjadi esensi dari pengalaman.
4. Abstraksi esensi atau universalitas dari korelasi noetic/Noematic. Langkah ini
memerlukan kemampuan intuitif dan refleksi atau eidetic reduction. Jika Noema
adalah melakukan deskripsi what of experience dan Noesis melakukan how of
experience, maka kemudian yang harus dilakukan kemudian adalah esensi why of
experience.
5. Pembahasan: Rezeki sebagai Basis Nilai Tambah Syariah
Gagasan tentang konsep rezeki sebagai dasar penetapan nilai tambah masih
dianut banyak masyarakat muslim di Indonesia, seperti ketika ditemui peneliti saat
melakukan wawancara dengan pak Abbas dan pak Dumairi. Pak Abbas melihat bahwa
prinsip berusaha keras dari pak Abbas dianggap sebagai kewajiban melaksanakan
amanah Allah sebagai abdi-Nya, untuk mendapatkan rezeki yang bernilai tambah. Hal
ini nampak ketika pak Abbas menjelaskan makna rezeki:

Rezeki menjadi bermanfaat bagi kita ketika kita melihat kebahagiaan,


kebaikan bagi kita di dalamnya. Sekaligus kebaikan dan kebahagiaan
bagi orang lain.
Nilai tambah kebaikan sekaligus nilai tambah materi. Hal ini nampak ketika pak Abbas
mendefinisikan rezeki yang mirip dengan konsep nilai tambah syariah:
Rezeki menjadi tidak bermanfaat ketika hanya mengejar keuntungan
semata. Rezeki menjadi bermanfaat bagi kita ketika kita melihat
kebahagiaan, kebaikan bagi kita di dalamnya. Sekaligus kebaikan dan
kebahagiaan bagi orang lain. Contohnya, ketika saya didatangi
kontraktor untuk melakukan penelitian dan eksplorasi awal areal
batubara di Tenggarong. Saya selalu mengatakan, mas jangan dilihat
apakah kerjasama kita ini bermanfaat bagi saya aja atau
menguntungkan anda saja. Tapi kerjasama ini harus memberi manfaat
dan rezeki yang barokah bagi anda juga dan terutama bagi penduduk
sekitar. Saya dapat berapa dari situ ya tergantung hitungan dan studi
anda di lapangan. Saya juga sudah ketemu dengan lurah dan temanteman dayak di sana, mereka mau membantu di lapangan asal jangan
seperti MHU8 yang tugasnya Cuma ngeruk batu bara terus tinggal
gelanggang colong playu.
Ditegaskan pak Abbas:
Setiap orang harus kaya, setiap orang harus berbagi dengan
sesamanya, dan setiap orang harus menjalankannya dengan
berorientasi pada hari akhir.
Pandangan mirip Pak Abbas dijelaskan oleh Pak Ishar:
Kalo cari rejeki itu memang untuk usaha memperoleh kekayaan ya
memang itu kan tujuan kita usaha, bisnis, bekerja, meskipun itu tetap
berpedoman pada tujuan ibadah kita kepada Allah.
Pandangan menarik mengenai konsep rezeki yang lebih dekat dengan konsep nilai
tambah adalah komentar dari Pak Aziz . Menurutnya rezeki adalah:
Rejeki yang saya dapat dari usaha saya jelas harus memiliki nilai
tambah yang penting karena menjalankan aktivitas berdasarkan ibadah
yang saya lalukukan setiap waktu. Ibadah itu semoga saja berdampak
pada nilai tambah usaha saya, keluarga, orang-orang yang
memanfaatkan produk saya . Nah kalo sudah gitu artinya ibadah saya
memang bermanfaat secara sosial kan?
8

MHU singkatan dari PT. Multi Harapan Utama

Lebih lanjut Pak Aziz melihat bahwa rezeki itu tidak hanya berbasis tumpukan materi:
Cari rejeki itu karena Allah, jadi gak perlu ngoyo. Yang penting
lumintu, dapat rejeki supaya ada nilai tambah yang bisa ditabung dan
dibelikan perangkat pabrikan. tetapi tidak serakah dan harus tetap
bernilai barokah. Gak etis kalo misalnya sudah punya langganan untuk
memasok barang saya, tapi hanya karena perbedaan price lebih
menguntungkan terus langsung pindah. Itu namanya memutus
silaturrahim.. asal cukup untuk biaya makan, anak sekolah, keperluan
sehari-hari, ya syukur Alhamdulillah.
Pak Aziz memandang mencari rejeki sebagai bentuk pengabdian kepada Allah perlu
mendapat aset, ekuitas dan keuntungan bersifat nilai tambah.
Pendapat mengenai rezeki lebih konkrit dalam bentuk akuntansi diungkapkan
Pak Dumairi, mengenai kesatuan dakwah-bisnis dalam laporan keuangan:
laporan keuangan penting untuk mengaplikasikan pencatatan
sebagai kalkulasi bisnis sekaligus untuk aktivitas dakwah di dunia
kerja orientasinya harus mengarah pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Prinsip pelaporan berhubungan dengan kesatuan bisnis-dawah mirip gagasan rezeki
bernilai tambah. Bahwa bisnis sekaligus dakwah adalah kesatuan antara materi-spiritual
untuk mendapatkan rezeki bernilai tambah bagi semua, bukan hanya kita, tetapi
masyarakat luas sebagai bentuk ketundukan menjalankan dakwah bil-haal (dakwah
langsung). Hal menarik adalah dimasukkannya qardh hassan dalam struktur
pembiayaan dan bukan struktur laporan tambahan seperti tertuang dalam PSAK 59
maupun SAK 101-106 dari IAI. Dalam ketentuan syariah menurut Pak Dumairi lagi:
...orientasi sosial tidak dapat dipisahkan dengan orientasi keuntungan.
Qardhul hasan (hutang untuk kebajikan) dianggap pembiayaan dan
pendapatan yang harus masuk masing-masing dalam neraca dan laba
rugi. Karena qardhul hasan bukanlah aktivitas bisnis yang terpisah.
Bahkan disitulah pusat pemberdayaan masyarakat dan target
pengentasan masyarakat atau pedagang pasar dari bahaya rentenir.
Qardh dalam fiqh sebenarnya lebih berorientasi sosial, meskipun sosial tidak berarti
merugikan pemberi pinjaman. Di sini ada kelonggaran untuk menetapkan keuntungan
meski keuntungan tersebut harus berdasarkan keridhaan peminjam. Sehingga jelas
bahwa dalam qardh yang penting adalah nadzarnya harus produktif dan bukan
qardhnya yang produktif.
Berdasarkan praktik bisnis di atas dapat ditarik benang merah, bahwa rizq
(rezeki) merupakan bentuk nilai tambah aktivitas bisnis (maisyah) bernilai barakah
yang didapatkan sesuai ketentuan syariah untuk kesejahteraan bersama (mashlaha).
Rizq merupakan nilai tambah syariah nilai tambah yang didapatkan (baik finansial,

sosial dan lingkungan) dan telah disucikan/tazkiyah (secara halal, thoyib dan bebas
riba) mulai dari pembentukan, hasil sampai distribusinya.
Substansi nilai tambah syariah seperti bila diturunkan lebih teknis sebagai
konsep akuntansi berimplikasi pada, pertama, proses pembentukan nilai tambah
syariah harus selalu tersucikan secara konsisten. Caranya adalah melaksanakan
aktivitas ekonomi dalam batas-batas yang diperbolehkan syara (halal) dan
bermanfaat/menenangkan batin (thoyib). Sebaliknya aktivitas ekonomi yang melanggar
ketentuan adalah Haram. Kedua, pertumbuhan harta dan mekanisme usaha yang sehat,
hasil dari didapatkannya rezeki, harus dilakukan untuk menghilangkan sifat berlebihan
(halal dan thoyib) dan menjalankan aktivitas usaha bebas riba dalam segala bentuknya.
Dari sisi finansial, bebas riba adalah melakukan proses kerja sama berdasar
keseimbangan antara intermediasi (jual beli), produktif dan ekstraktif (seperti
dikembangkannya model muzaraah dan musaqah). Dari sisi kepentingan sosial dan
lingkungan, reduksi riba dilakukan dengan melakukan relasi sosial dan lingkungan
alam secara pro-aktif berlandaskan prinsip shadaqah. Ketiga, implikasi bentuk
distribusi rezeki bernilai tambah, harus dilakukan secara optimal pada kebaikan sesama,
merata dan tidak saling menegasikan. Seberapapun keikutsertaan harus dicatat dan
diakui sebagai potensi yang berhak mendapatkan bagian dalam pembagian nilai tambah.
Artinya, bukan meletakkan prinsip keadilan berdasarkan etika Barat (berdasar utilitas,
konsensus dan disahkan melalui hukum positif). Tetapi keseimbangan dan keadilan
berdasar Adalah/Keadilan Ilahi yang berwujud kesejahteraan sosial untuk semua dan
harus selalu melalui proses tazkiyah.
Nilai tambah syariah dari nilai-nilai empiris telah memberikan gambaran sesuai
nilai tambah syariah secara normatif. Nilai tambah berpusat pada konsep tazkiyah,
yaitu penyucian proses pencarian rezeki untuk mendapat barokah baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Inilah yang disebut dengan Rizq Income. Nilai tambah syariah
memang tidak menganut model economic income atau accounting income, tetapi dapat
disebut menganut model income yang khas Islam, rizq income.
Konsep nilai tambah syariah (shariate value added/SVA) berbasis rizq income
jelas berbeda dengan pandangan akuntansi secara umum (konvensional). Seperti
diketahui konsep nilai tambah konvensional (value added/VA) berbasis pada konsep
dasar teoritis usulan Suojanen (1954), yaitu Enterprise Theory. VA didefinisikan
Belkaoui (2000) sebagai peningkatan kesejahteraan yang dihasilkan dari penggunaan
sumber daya perusahaan yang produktif sebelum dialokasikan kepada pemegang saham,
pemegang obligasi, pegawai dan pemerintah. Konsep VA menurut Glautier dan
Underdown (1991) berdampak pada pendistribusian income di antara perusahaan yang
kemudian mengarah pada distribusi income pada entitas yang terlibat dalam proses
produksi seperti manajemen dan karyawan. Pendekatan VA memang lebih cenderung
pada pembentukan kekayaan yang berorientasi pada income ekonomi daripada income
akuntansi (untuk definisi lebih lanjut dapat dilihat dalam Meek dan Gray 1988; Staden
2000; Morley 1979; Diefenbach 2003; Hendriksen dan Breda 2000; Mathews dan
Perera 1996; Haller dan Stolowy 1995; Firrer 2004).
SVA maupun VA berbeda dengan pendekatan mainstream akuntansi berkenaan
dengan konsep laba. Laba biasanya berkaitan dengan prinsip penandingan (matching),
pengakuan biaya pada dasarnya sejalan dengan pengakuan pendapatan. Pendapatan
merupakan hasil yang dituju perusahaan, sementara biaya untuk memperoleh
pendapatan merupakan upaya yang dilakukan perusahaan. Dengan demikian,
pendapatan harus ditandingkan dengan biaya yang diperkirakan telah menghasilkan

pendapatan tersebut, agar dihasilkan besarnya laba yang tepat 9. Pendekatan pendapatan
dan biaya dalam konteks seperti ini menurut Mulawarman (2006) masih memunculkan
tiga hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Pertama,
pengakuan pendapatan yang berkaitan dengan realisasi pendapatan yang akan
berimplikasi pada sifat dasar halal (permitted). Kedua, pengakuan pendapatan dalam
proses pembentukan pendapatan yang berbasis akrual dan ditetapkannya time value of
money berujung pada riba (interest). Ketiga, prinsip penandingan pendapatan dan biaya
juga masih belum sesuai dengan tujuan syariah. Dalam penandingan tidak nampak
aspek keadilan sosial, tetapi hanya muncul sifat egositik akuntansi (Triyuwono 2004).
Pengakuan hanya berkaitan dengan biaya dan manfaat yang bersifat privat. Privat di sini
diartikan sebagai pencatatan biaya dan pendapatan dari sudut pandang kepentingan
perusahaan. Dapat dikatakan pendekatan yang dilakukan adalah dalam kerangka Entity
Theory. Sedangkan pendapatan dan biaya yang sifatnya publik sama sekali tidak
disajikan. Sifat egoistik akuntansi berimplikasi pada masalah ketimpangan keadilan dan
tidak sesuai dengan tujuan akuntansi syariah dan terutama tujuan syariah. Untuk
memudahkan ditampilkan Tabel 2 berkenaan perbedaan tiga konsep laba seperti
dijelaskan di atas . Konsep laba seperti di atas jelas berpengaruh terhadap bentuk
laporan kinerja keuangan yang dihasilkan. Perbandingannya dapat dilihat di Tabel 3.
Tabel 2
Perbandingan Konsep Laba
Konsep Laba
Shariate Value
Added

Konsep Dasar
Teoritis
Shariate
Enterprise
Theory

Mekanisme

Penciptaan
Laba

Tazkiyah
Concept

Rizq Income

Value Added

Enterprise
Theory

Output-Input
Concept

Economic
Income

Laba
Konvensional

Entity Theory

Matching
Concept

Accounting
Income

Penerima Laba
Stakeholders
sesuai Keadilan
Ilahi
Stakeholders
sesuai Keadilan
Barat
Shareholders

Tabel 3
9

Dalam praktik, disebutkan Kam (1990, 283-286) ada tiga dasar penandingan yang umum digunakan
untuk mencari hubungan antara biaya dengan pendapatan dalam suatu periode tertentu. Dasar
penandingan tersebut, pertama, hubungan sebab-akibat; kedua, alokasi sistematis dan rasional; ketiga,
pembebanan segera. Prinsip ini masih mengidap masalah karena substansi dari prinsip penandingan
merupakan kepentingan akuntansi konvensional untuk menghasilkan laba atau lebih tegas merupakan
turunan dari konsep laba akuntansi (lihat Belkaoui 2001; Kusumawati 2004; Triyuwono dan Asudi 2001)
dan lebih dekat dengan prinsip dasar akrual (lihat Kam 1990, 296; Kusumawati 2004, 25).

Perbandingan Substansi Laporan Kinerja Keuangan


Akuntansi
Konvensional

Akuntansi
Sosial
Lingkungan

Akuntansi
Syariah
Pragmatis
Laba sebagai
penentu zakat
Expanded
Income
Statement
Setelah dikurangi
zakat
Shareholders;
Stakeholders
addition

Tujuan
Utama

Laba

VA

Laporan
Kinerja

Income
Statement; VAS
addition

VAS / SVAS

Posisi
Laba

Bottom Line

Bagian dari
VA

Sasaran
Utama

Shareholders;
Stakeholders
addition

Stakeholders

Konsep
Teoritis

Entity Theory

Enterprise
Theory

Entity Theory

Shariate
Enterprise Theory

Bentuk
Laporan

Kuantitatif;
Kualitatif
addition

Kualitatif
Kuantitatif

Kuantitatif

Kuantitatif Kualitatif

Akuntansi
Syariah Idealis
Zakat sebagai
penentu VA
VAS berbasis
zakat
Bagian dari VA
dikurangi zakat
Shareholders dan
Stakeholders

Berdasarkan laporan nilai tambah syariah awal (Mulawarman 2006) dilakukan


penyesuaian dari sesuai realitas empirisnya, yaitu secara konseptual dan bentuk
laporannya. Bentuk laporan nilai tambah syariah juga mengalami penyesuaian atas
pemisahan laporan kuantitatif dan kualitatif menjadi penyatuan laporan kuantitatif dan
kualitatif. Kedua bentuk laporan tersebut bersifat mandatory (wajib). Penggabungan
laporan kuantitatif dan kualitatif seperti telah dijelaskan di atas untuk menghindari
perilaku pragmatis perusahaan. Laporan kualitatif meskipun bersifat mandatory, bila
disajikan terpisah akan mengarah pada sifat pseudo-mandatory. Pseudo-mandatory di
sini dapat diartikan laporan kualitatif secara substansial memang bersifat mandatory,
tetapi praktiknya di lapangan menjadi mandul, bahkan akan tergeser kembali menjadi
laporan voluntary.

Tabel 4

Penyesuaian Shariate Value Added Statement Berbasis Rizq


Output
Input
Revaluation

Penciptaan VA
Ketundukan
Kreativitas
Jumlah Output
Ketundukan
Kreativitas
VA Kotor

Kuantitatif

Kualitatif

X1

Y1

X2

Y2

X3

Y3

X4

Y4

TAZKIYAH (Za)
Pembayaran Zakat kepada 8 Asnaf (Zb)
VA HALAL DAN THOYIB (Zc)
Distribusi VA
Kuantitatif
Internal
Karyawan
Owners
Reinvestment
Funds
Eksternal
Pemerintah
Residents
Masyarakat

Ketundukan
Kreativitas
Kreativitas
Ketundukan
Kreativitas
Ketundukan
Kreativitas

Kualitatif

X5

Y5

X6

Y6

Sementara pembagian akuntabilitas tetap mengacu pada Mulawarman (2006),


yaitu akuntabilitas ketundukan (spiritual) dibagi menjadi ketundukan primer dan
ketundukan sekunder. Akuntabilitas kreativitas (mental dan material) juga dibagi
menjadi primer dan sekunder. Lengkapnya lihat Tabel 4 (Lampiran).
Penjelasan elemen-elemen laporan nilai tambah syariah di atas adalah sebagai
berikut. Pencatatan bentuk output ketundukan primer secara finansial dan
sosial/lingkungan dari pencapaian halal atas aktivitas ekonomi, yaitu berkaitan dengan
pencapaian produk halal dan peningkatan kualitas karyawan. Pencapaian halal dapat
berupa Sertifikasi Halal yang dikeluarkan LPPOM MUI untuk perusahaan obat,
kosmetik, makanan/minuman, restoran dan peternakan, atau Sertifikasi Syariah yang
dikeluarkan DSN MUI untuk lembaga perbankan syariah dan pasar modal syariah.
Untuk keperluan implementasi output ketundukan proses Sertifikasi Halal perusahaan
obat, kosmetik, makanan/minuman, restoran dan peternakan atau pencapaian kualitas
karyawan berupa peningkatan skill/kemampuan, kursus serta training berkaitan
pencapaian produk halal.
Pencatatan bentuk ketundukan sekunder secara finansial (halal zamany) dan
sosial/lingkungan (halal makany) untuk pencapaian halal atas aktivitas ekonomi.
Bentuknya merupakan input berupa proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan
yang harus memenuhi Sistem Jaminan Halal dan Standar Operasi Prosedur Halal (SOP)
Halal sebagai implementasi Total Quality Management (TQM) perusahaan.
Akuntabilitas kreativitas (mental dan material) dibagi menjadi output kreativitas
primer dan output kreativitas sekunder. Pencatatan bentuk kreativitas primer secara
finansial yaitu reduksi riba ekonomi berbentuk bai, dan sosial/lingkungan yaitu reduksi
riba sosial berbentuk Profit Loss Sharing System. Bentuknya dapat berupa reduksi
bunga/interest, reduksi prinsip time value of money dalam penentuan penyusutan aset,
tidak melakukan penimbunan, penipuan, monopoli, oligolopi, judi dan kepastian
penentuan bagi hasil saham preference maupun saham biasa. Serta menjalankan
aktivitas perusahaan dalam penyuluhan dan kursus maupun peningkatan kemampuan

masyarakat sekitar dalam memahami kesadaran bersama menjaga keseimbangan


ekologis dan menjaga keserasian hubungan dengan masyarakat sekitar perusahaan.
Pencatatan bentuk kreativitas sekunder yaitu dalam bentuk kreativitas sosial dan
lingkungan, seperti hasil dari pengolahan limbah, berupa lingkungan bersih.
Kekurangan informasi kuantitatif finansial dan sosial/lingkungan baik material,
mental dan spiritual harus dijelaskan dalam laporan kualitatif. Laporan kualitatif seperti
penjelasan keharaman dari aspek, haram karena faktor eksternal dan proses relasi sosial
dan penanganan lingkungan. Laporan kualitatif juga berisi tentang ketenangan
melaksanakan ibadah mahdah di dalam lingkungan perusahaan, keselarasan hubungan
antar stakeholders (pemilik, pemegang saham, manajemen, karyawan, masyarakat
sekitar, konsumen dan lingkungan), maupun kenikmatan atas hasil aktivitas bisnis halal,
reduksi riba dan gharar.
6. Simpulan
Konstruksi khusus laporan nilai tambah syariah dalam penelitian ini merupakan
implementasi kedua dari trilogi laporan keuangan syariah berbasis maisyah-rizq-maal
(Mulawarman 2007c). Laporan nilai tambah syariah diturunkan dari salah satu trilogi,
yaitu rizq. Rizq merupakan bentuk laba yang disebut rizq income sebagai penjelasan
lebih lanjut dari konsep nilai tambah syariah (shariate value added/SVA). Meskipun
konsep rizq di sini memang lebih mengakomodasi realitas empiris. Meskipun rizq
tergali dari realitas masyarakat Muslim Indonesia, ternyata hal tersebut memiliki
kesesuaian dengan konsep SVA.
Hasilnya adalah bahwa rizq income sebagai konsep rezeki bernilai tambah
(sebagai basis laporan nilai tambah syariah dalam perspektif akuntansi syariah)
merupakan nilai tambah yang didapatkan (baik finansial, sosial dan lingkungan) dan
telah disucikan/tazkiyah (secara halal, thoyib dan bebas riba) mulai dari pembentukan,
hasil sampai distribusinya. Oleh karena itu, SVAS terdiri dari elemen kuantitatif dan
kualitatif yang menjadi satu kesatuan, tidak dapat dipisahkan.

Anda mungkin juga menyukai