Anda di halaman 1dari 20

Pertusis pada Anak dan Penatalaksanaannya

Yohana Anggreini Inangele


102011380
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta

Pendahuluan
Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun 1500.
Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif. Sydenham yang
pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670; istilah ini lebih disukai
dari batuk rejan (whooping cough), karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak
(whoop=berteriak). Nama lain pertusis adalah Tussis Quinta, Whoopping Cough, Batuk rejan,
Batuk 100 hari.1
Penyebab pertusis adalah Bordetellah pertusis atau Haemophilus pertussis. Bordetella
pertussis adalah suatu kuman tidak bergerak, gram negatif, dan di dapatkan dengan cara
melakukan pengambilan usapan pada daerah nasofaring pasien pertusis kemudian ditanam pada
media Bordetgangou, tes antibodi fluoresensi (FA), biakan, serologi, dan ELISA. Pengobatan
dapat dilakukan lewat pemberian eritromisin selama stadium kataral, atau pemberian imunisasi
DPT. Disinilah sebagai dokter kita ditutut untuk bagaimana memahami, apa penyebab utama
pertussis, bagaimana cara pencegahan, pengobatannya, komplikasi, bagaimana penyebarannya,
dan apa saja gejalanya. Penulis berharap makalah ini berguna bagi para pembaca, agar dapat
menjaga kesehatan dengan baik serta melakukan pencegahan sejak dini.

Alamat Korespondensi:Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),
Fax: (021) 563-1731
Email: renysayangpapa@yahoo.com

Anamnesis
Anamnesis riwayat medis yang cermat harus mencakup penilaian terhadap kesehatan
umu pasien. Riwayat diet yang teliti perlu ditanyakan. Demikian pula, penggunaan obat oleh
pasien yang harus ditinjau kembali. Faktor-faktor psikologi dapat memainkan peranan sebagai
penyebab, gejala depresi atau histeria harus dicatat.2
Pada skenario yang didapat, seorang anak perempuan berusia 4 tahun dibawa ke
puskesmas karena batuk sejak 2 minggu yang lalu. Saat batuk, pasien menjadi kesulitan bernafas
akibat batuk terus menerus sehingga wajah menjadi memerah kebiruan. Di antara episode batuk,
pasien tampak baik-baik saja. Keluhan demam (+) tapi tidak terlalu tinggi dan naik turun.
Riwayat imunisasi tidak lengkap.
Seperti biasanya, tanyakan identitas pasien, yakni; nama, alamat, tempat tanggal lahir,
dan pekerjaan. Karena pasien masih berumur 4 tahun anamnesis yang dilakukan adalah
autoanamnesis, yakni dengan bertanya pada orang tua atau keluarganya. Tanyakan apa yang
menjadi keluhan utama pasien sehingga datang menemui dokter. Karena keluhan utama pada
skenario adalah batuk, sejak kapan lama batuk dirasakkan, kapan batuk itu muncul, bagaimana
frekuensinya apakah terus-menerus atau hilang timbul. Tanyakan apakah ada lendir atau sputum
yang dihasilkan, bagaimana konsistensinya, berapa banyak sputum yang dihasilkan apakah ada
darah, lendir atau pus.
Tanyakan secara khusus mengenai gambaran sistemik penyakit seperti, demam,
penurunan berat badan, dan gejala lain yang dirasakan pasien. Tanyakan apakah sudah pernah
diobati sebelumnya, apa obat yang pernah dikonsumsi, dan bagaimana perubahan kondisi fisik
pasien seteleh mengkonsumsi obat tersebut. Tanyakan mengenai lingkungan tempat tinggalnya,
makanan sehari-hari yang dimakan. Tanyakan juga riwayat penyakit keluarga, apakah ada
anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik (Physical Examination) juga sering disebut sebagai diagnosis fisik.
Untuk keperluan pemeriksaan fisik, pasien diminta untuk melepas baju sehingga dada dan perut
dapat diperiksa dengan leluasa. Diperlukan sinar yang cukup untuk penerangan, kadang-kadang
2

diperlukan sinar dari arah samping atau tangensial. Mula-mula pasien diperiksa dalam posisi
duduk, kemudian berbaring atau berbaring setengah duduk dengan sudut 30-45. Ada komponen
dasar pemeriksaan fisik, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.3
Inspeksi
Pemeriksaan dengan cara melihat objek yang diperiksa disebut inspeksi. Inspeksi merupakan
fase awal pemeriksaan yang sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang gejala
penyakit. Inspeksi yang berkaitan dengan sistem pernapasan adalah observasi dada, bentuknya
simetris atau tidak, gerak dada, pola napas, frekuensi napas, irama, apakah terdapat ekshalasi
yang panjang (sighing), apakah terdapat penggunaan otot pernapasan tambahan, gerak paradoks,
retraksi antara iga, retraksi di atas klavikula, apakah terdapat parut luka yang kemungkinan bekas
operasi. Penghitungan frekuensi napas jangan diketahui oleh pasien karena akan mengubah pola
napasnya. Lakukan penghitungan frekuensi napas seolah-olah seperti menghitung frekuensi
detak nadi.3
Palpasi
Palpasi dimulai dengan memeriksa telapak tangan dan jari, leher, dada, dan abdomen. Tekanan
vena jugularis diperlukan untuk mengetahui tekanan pada atrium kanan. Pemeriksaan leher
bertujuan untuk menentukan apakah trakea tetap di tengah atau bergeser dari tempatnya, apakah
terdapat penonjolan nodus limfa. Pemeriksaan palpasi dada akan memberikan informasi tentang
penonjolan di dinding dada, nyeri tekan, gerakan pernapasan yang simetris atau asimetris, derajat
ekspansi dada, dan untuk menentukan tactile vocal fremitus. Pemeriksaan gerak dada dilakukan
dengan cara meletakkan kedua telapak tangan secara simetris pada punggung. Kedua ibu jari
diletakkan di samping linea vertebralis dengan jarak yang sama. Pasien diminta untuk melakukan
inspirasi dalam. Jika gerak dada simetris, jarak ibu jari kanan dan kiri terhadap linea vertebralis
akan berbeda. Sisi ulnar telapak tangan diletakkan dengan ringan pada dinding dada kemudian
pasien diminta untuk mengucapkan kata ninety nine (bukan sembilan puluh sembilan) atau tujuh
puluh tujuh.3

Perkusi
Pengetukan dada (perkusi) akan menghasilkan vibrasi pada dinding dada dan organ paru di
bawahnya yang akan dipantulkan dan diterima oleh pendengaran pemeriksa. Nada dan kerasnya
bunyi tergantung pada kuatnya perkusi dan sifat organ di bawah lokasi perkusi

. Perkusi di

atas organ yang padat atau organ yang berisi cairan akan menimbulkan bunyi dengan amplitudo
rendah dan frekuensi tinggi yang disebut suara pekak (dull, stony dul). Perkusi di atas organ yang
berisi udara akan menimbulkan bunyi resonansi, hiperresonansi dan timpani.3
Auskultasi
Auskultasi adalah mendengarkan suara yang berasal dari dalam tubuh dengan cara menempelkan
telinga ke dekat sumber bunyi atau agar lebih mudah dengan menggunakan stetoskop. Stetoskop
mempunyai tiga ujung yaitu satu ujung kepala yang diletakkan di atas kulit dada atau perut dan
dua ujung yang lain ditempelkan di lubang telinga pemeriksa. Auskultasi dilakukan mulai dari
leher, dada, dan kemudian abdomen. Urutan melakukan auskultasi sebaiknya sistemik. Untuk
keperluan ini dinding dada anterior dibagi menjadi enam (6) lobus sedangkan punggung
posterior dibagi menjadi dua belas (12) lokus.3
Differential Diagnose
Tuberkulosis Paru
Agen tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, merupakan anggota ordo Actinomisetales dan famili Mikrobakteriaseae. Basili
tuberkel adalah batang lengkung, gram positif lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, tidak
membentuk spora, panjang sekitar 2-4 m. Pada orang dewasa, dua pertiga kasus terjadi pada
orang laki-laki, tetapi ada sedikit dominasi tuberkulosis pada wanita di masa anak. Pada populasi
kulit berwarna tuberkulosis paling sering pada orang dewasa muda dan anak-anak umur kurang
dari 5 tahun.4
Gejala-gejala dan tanda-tanda fisik tuberkulosis primer paru pada anak secara
mengherankan sangat kurang mengingat tingkat perubahan radiografi yang sering ditemukan.
Lebih dari 50% bayi dan anak dengan tuberkulosis paru sedang sampai berat secara radiografis,
tidak mempunyai tanda-tanda fisik dan ditemukan hanya dengan penelusuran kontak. Batuk non4

produktif dan dispnea ringan merupakan gejala yang paling lazim. Keluhan sistemik seperti
demam, keringat malam, anoreksia, dan aktivitas berkurang, kurang sering terjadi. Beberapa bayi
mempunyai kesukaran penambahan berat badan atau berkembang sindrom gagal-tumbuh yang
sebenarnya sering tidak membaik secara bermakna sampai beberapa bulan dilakukan pengobatan
efektif. Manifestasi klinis yang mungkin terjadi adalah pneumonia lobaris, penyakit paru primer
progresif, reaktivasi tuberkulosis, dan efusi pleura. Obat-obat antituberkulosis pada anak
misalnya, Isoniazid (INH), Rifampin, Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol, dan Etionamid.
Selain itu, vaksinasi Bacile Calmette-Gurin (BCG) juga penting diberikan sebagai imunisasi
dasar untuk pencegahan, karena merupakan satu-satunya vaksin terhadap tuberkulosis yang
tersedia.4
Asma Bronkial
Asma adalah penyebab utama penyakit kronik pada anak, yang menyebabkan sebagian
besar hilangnya hari sekolah akibat penyakit kronik. Tidak ada definisi asma yang dapat diterima
secara universal; asma mungkin dianggap sebagai penyakit paru obstruktif difus dengan (1)
hiperreaktivitas jalan udara terhadap berbagai rangsangan dan (2) reversibilitas yang baik dari
proses obstruktif, yang dapat terjadi spontan maupun sebagai hasil pengobatan. Asma mungkin
mempunyai awitan pada setiap usia; sekitar 80-90% anak asma mendapat gejala pertama
sebelum usai 4-5 tahun. Sebagian besar anak yang menderita hanya kadang-kadang terserang
ringan sampai sedang, yang mudah diatasi. Sebagian kecil akan menderita asma berat yang sulit
diobati,

biasanya

lebih

bersifat

menahun

daripada

musiman,

yang

menyebabkan

ketidakberdayaan dan secara nyata mempengaruhi hari-hari sekolah, aktifitas bermain, dan
fungsi sehari-hari. Walaupun hubungan usia awitan dengan prognosis tidak menentu,
penyelidikan Williams dan McNichol di Australia menunjukan anak yang paling berat terserang
mempunyai awitan wheezing selama tahun pertama kehidupan dan riwayat asma keluarga dan
penyakit alergi lain (terutama dermatitis atopik).5
Anak ini mungkin mengalami retardasi pertumbuhan yang tidak berhubungan dengan
pemberian kortikosteroid, deformitas toraks sekunder akibat hiperinflamasi kronik, dan
abnormalitas persisten pada tes fungsi paru. Awitan serangan asma mungkin akut atau
tersembunyi. Episode akut paling sering disebabkan oleh kontak dengan iritan seperti udara
dingin atau uap berbahaya (asap tembakau, cat basah) atau kontak dengan alergen. Diagnosis
5

pada penderita asma biasanya dapat mengalami episode batuk berulang dan wheezing, terutama
menonjol sesudah latihan. Setiap anak yang dicurigai asma harus mendapat foto toraks posteroanterior dan lateral. Corakan paru biasanya bertambah pada asma. Prinsip menghindari alergen
yang telah dijelaskan di atas juga berlaku pada anak dengan asma. Terapi farmakologi adalah
cara utama pengobatan asma. Oksigen diberikan dengan masker atau kateter hidung sebanyak 23 liter/menit pada hampir semua anak selama serangan asma akut. Pada bayi dan anak kecil,
epinefrin diberikan dengan dosis 0,05 ml, dosis ini sering terlihat efektif. Pada anak yang cukup
tua untuk penanganan efektif, inhalasi aerosol bronkodilator, secara efektif cepat meredakan
gejala dan tanda asma.5
Croup (Laringotrakeobronkitis)
Croup, atau laringotrakeobronkitis akut adalah infeksi virus yang mengenai laring dan
trakea. Croup bisa disebabkan oleh semua virus yang berhubungan dengan infeksi saluran napas
atas. Agen penyebab tersebut antara lain adalah virus parainfluenza, ditandai tipe 1-4. Pada umur
3 tahun, kebanyakan anak mengalami infeksi dengan tipe 1, 2, dan 3. Tipe 3 adalah endemik dan
dapat menyebabkan penyakit pada bayi sebelum umur 6 bulan. Tipe 1 dan 2 lebih musiman,
meerka terjadi pada musim panas dan gugur dan yang selang setahun serotipnya paling lazim.
Parainfluenza tipe 4 lebih sukar tumbuh pada biakan jaringan. Gejala dari croup yang sering
muncul antara lain koryza, batuk, iritabilitas, anoreksia, suara parau, ronki basah dan mengi.
Gambaran klinis croup, bronkitis dan pneumonia.1
Penelitian sedang berjalan dengan vaksin hidup maupun subunit parainfluenza tipe 3.
Vaksin hidup termasuk virus asal manusia dan virus parainfluenza sapi yang beradaptasi-dingin
yang dilemahkan karena kisaran adaptasi hospes. Selanjutnya, kelembaban dan pemajanan
terhadap udara dingin secara klasik disertai dengan penggurangan edema mukosa dan pencairan
sekresi yang dapat melegakan obstruksi. Epinefrin rasemik yang diaerosol mungkin
memperbaiki aerasi sementara tetapi kita harus yakin bahwa perbaikan akan tetap sebelum
pemulangan anak. Penelitian baru-baru ini memberi kesan bahwa aerosolisasi atau steroid
sistemik bermanfaat pada menejemen croup dalam suasana ruang gawat darurat dan sesudah
rawat inap. Indikasi untuk antibiotik dibatasi pada infeksi bakteri sekunder telinga tengah atau
saluran pernafasan atas yang terdokumentasi dengan baik.1

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis pertusis
adalah sebagai berikut: (1) Bahan; lebih disukai bahan dari bilasan hidung dengan salin.
Digunakan usapan nasofaring, kemudian ditanam pada media Bordetgangou atau droplet batuk
yang dikeluarkan ke lempeng batuk yang dipegang di depan mulut penderita waktu stadium
paroksismal, (2) Tes Antibodi Fluoresensi; reagen FA (Fluoresensi Antibodi) dapat digunakan
untuk memeriksa bahan dari usapan nasofaring. Tetapi, dapat ditemukan hasil negatif-palsu. Tes
FA paling bermanfaat untuk mengidentifikasi B. Pertussis setelah dibiakkan pada perbenihan
padat, (3) Biakan; cairan bilasan hidung dengan salin dibiak pada perbenihan agar padat. Lendir
atau droplet yang terkumpul dibiak pada perbenihan agar padat. Antibiotika dalam perbenihan
cenderung menghambat flora pernapasan lain, tetapi memungkinkan pertumbuhan B. Pertussis.
Organisme diidentifikasi dengan pewarnaan imunofluoresensi atau dengan aglutinasi sediaan
mikroskopik dengan antiserum spesifik, (4) Serologi; tes serologi pada penderita tidak banyak
membantu diagnosis, karena kenaikan antibodi aglutinasi atau presipitasi tidak terjadi sebelum
minggu ketiga masa sakit, (5) ELISA; pemeriksaan kadar IgA terhadap pertusis dengan cara
ELISA telah dibandingkan dengan cara isolasi kuman mikroaglutinasi menunjukan hasil positif
yang lebih tinggi. Cara ini dapat digunakan dalam membantu menegakkan diagnosa pertuis.6
Working Diagnose
Pertusis harus dicurigai pada setiap individu yang mempunyai keluhan batuk murni atau
dominan, termasuk jika yang berikut ini tidak ada: demam, malaise, atau mialgia, eksantema dan
enantema, nyeri tenggorok, parau, takipnea, mengi dan ronki. Apnea atau sianosis (sebelum
adanya batuk) merupakan kunci pada bayi sebelum 3 bulan. B. Pertussis kadang-kadang
merupakan penyebab kematian bayi. Terjadi leukositosis (15.000-100.000 sel/mm) karena
limfositosis absolut adalah khas pada akhir stadium kataral dan paroksismal. Eosinofilia tidak
lazim pada pertusis, bahkan pada bayi muda sekalipun.1

Manifestasi Klinis
Pertusis adalah penyakit yang lama yang dibagi menjadi stadium kataral, paroksimal, dan
konvalesen, masing-masing berakhir 2 minggu. Secara klasik, pasca-masa inkubasi yang berkisar
dari 3 sampai 12 hari, gejala kataral tidak khas, terjadi kongesti dan rhinorrea, secara berbeda
disertai dengan demam, bersin, lakrimasi, dan penutupan konjungtiva. Ketika gejala semakin
berkurang, batuk mulai mula-mula sebagai batuk pendek iritatif, kering, intermitten dan
berkembang menjadi paroksimal yang tidak berhenti-henti yang merupakan tanda khas pertussis.
Pasca-kekagetan yang paling tidak berarti dari aliran udara, cahaya, suara, pengisapan atau
peregangan, bayi muda yang tampak sehat mulai tercekik, menghembuskan napas dan tungkai
berjuntai, mata berair dan cembung, muka merah. Batuk (dengkur ekspirasi [expiratory grunt])
mungkin tidak ada, mencolok, atau diperkirakan pada fase dan umur ini. Teriakan (hembusan
inspirasi yang kuat) jarang terjadi pada bayi sebelum umur 3 bulan yang kekuatan ototnya lemah
atau kurang untuk membuat tekanan intratoraks negatif mendadak. Anak belajar jalan yang
sedang bermain-main yang tampak sehat dengan provokasi yang sama tidak berarti secara
mendadak mengungkapkan pancaran muka kecemasan dan mungkin mencengkeram orang tua
atau menenangkan orang dewasa sebelum mulai ledakan batuk terus menerus seperti senapan
mesin, dagu dan dada membungkuk ke depan, lidah menonjol maksimal, mata mencembung dan
berair, muka berwarna merah lembayung, sampai pada saat-saat terakhir sadar, batuk berhenti
dan teriakan kuat menyertai ketika udara inspirasi melewati saluran napas yang sebagian masih
tertutup. Episode dapat berakhir dengan pengeluaran secara paksa (ekspulsi) penyumbat sekresi
trakea yang kental, silia yang lepas, dan epitel nekrotik. Orang dewasa menggambarkan rasa
pencekikan yang disertai dengan batuk terus menerus, rasa kekurangan napas, nyeri kepala
penuh, kesadaran berkurang, dan kemudain dorongan dada dan desakan udara ke dalam paruparu, biasanya tanpa teriakan. Muntah pascabatuk sering ada pada pertusis pada semua umur dan
merupakan kunci utama untuk diagnosis pada remaja dan orang dewasa. Kelelahan pascabatuk
adalah menyeluruh. Jumlah dan keparahan paroksimal menjelek selama beberapa hari sampai
satu minggu (lebih cepat pada bayi muda) dan tetap pada plateau tersebut selama beberapa hari
sampai beberapa minggu (lebih lama pada bayi muda). Pada puncak stadium paroksimal,
penderita mungkin mengalami lebih dari satu episode per jam. Ketika stadium paroksimal
menghilang menjadi konvalesen, frekuensi, keparahan, dan lama episode berkurang. Sebaliknya

pada bayi dengan pertumbuhan dan bertambahnya kekuatan, batuk dan rejan dapat menjadi lebih
keras dan lebih klasik pada konvalesen.1
Anak yang di imunisasi mengalami semua pemendekan stadium pertusis. Orang dewasa
tidak memiliki stadium yang berbeda. Pada bayi sbelum umur 3 bulan fase kataral biasanya
beberapa hari dan tidak dikenali sama sekali kapan apnea, tercekik, batuk ngorok yang menandai
mulanya penyakit; termasuk konvalesen batuk paroksismal intermitten selama umur tahun
pertama termaksud berulang dengan penyakit pernapasan selanjutnya; keadaan ini bukan
karena infeksi berulang atau reaktivasi B. Pertussis. Pemeriksaan fisik biasanya tidak informatif.
Tanda-tanda penyakit saluran pernapasan bawah tidak diharapkan. Sering ada perdarahan
konjungtiva dan ptekie pada tubuh bagian atas.1
Etiologi
Bordetella pertussis merupakan satu-satunya penyebab pertusis epidemik dan merupkana
penyebab biasa pertusis sporadis. B. pertussis sangat menambah kasus pertusis total di daerah
lain seperti Denmark, Republik Ceko, Slovakia, dan Republik Rusia. B. pertussis dan B.
parapertussis merupakan patogen manusia tersendiri (eksklusif), dan beberapa primata).1
B. pertussis merupakan bakteri pendek, gram negatif, kokobasil menyerupai H. influenza.
Dengan pewarnaan toluidin biru, dapat dilihat granula bipolar metakromatik, terdapat simpai.
Isolasi primer B. pertussis memerlukan perbenihan yang diperkaya. Dapat digunakan perbenihan
Bordet-Gengou (agar kentag-darah-gliserol) yang mengandung penisilin G 0,5 g/mL; tetapi
perbenihan yang mengandung arang seperti yang digunakan untuk Legionella pneumophila lebih
disukai. Lempeng dieramkan pada suhu 35-37C selama 3-7 hari dalam tempat lembab
(misalnya dalam kantung plastik tertutup). Bakteri batang kecil sedikit gram negatif,
diidentifikasi oleh pewarnaan imunofloresensi.6
Bakteri ini aerob murni dan membentuk asam tetapi tidak membentuk gas dari glukosa
dan laktosa. Bakteri ini tidak memerlukan faktor X dan V pada biakan selanjutnya. Hemolisis
pada perbenihan yang mengandung darah dihubungkan dengan B. pertussis yang virulen. Bila
diisolasi dari penderita dan dibiak pada perbenihan yang diperkaya, B. pertussis berada dalam
stadium hemolisis dan stadium pertusis virulen penghasil toksin. Terdapat dua mekanisme bagi
B. pertussis untuk berganti menjadi bentuk yang nonhemolitik, dan bentuk tidak virulen yang
9

tidak menghasilkan toksin. Modulasi fenotipik yang reversibel terjadi bila B. pertussis tumbuh
dalam kondisi lingkungan tertentu (misalnya suhu 28C melawan suhu 37C, adanya MgSO4,
dan lain-lain). Berbagai stadium yang reversibel mengikuti peristiwa mutasi frekwensi-rendah
pada lokus genetik yang mengendalikan ekspresi faktor-faktor virulensi. Mungkin mekanisme ini
memainkan peranan penting pada proses infeksi, tetapi hal ini belum dapat diperlihatkan secara
klinik.6
Epidemiologi
Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan labih dari setengah juta
meninggal. Selama masa pravaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian
dari penyakit menular pada anak dibawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Penggunaan vaksin
pertusis yang meluas penyebabkan penurunan kasus yang dramatis. Insiden penyakit yang tinggi
di negara-negara sedang berkembang dan maju, seperti Itali dan daerah-daerah tertentu Jerman,
dimana cakupan vaksin rendah, atau Nova Scotia, dimana mungkin telah digunakan vaksin
kurang poten, dan munculnya kembali penyakit secara dramatis bila imunisasi dihentikan
menyokong peran vaksinasi yang sangat penting.1
Pertusis adalah endemik, dengan ditumpangi siklus epidemik setiap 3-4 tahun sesudah
akumulasi kelompok rentan yang cukup besar. Pertusis sangat menular, dengan angka serangan
setinggi 100% pada individu rentan yang terpajan pada tetes-tetes aerosol pada rentangan yang
rapat. B. pertussis tidak tahan hidup untuk masa yang lama dalam lingkungannya.1
Baik penyakit alamiah atau vaksinasi tidak memberi imunitas sempurna atau seumur
hidup terhadap reinfeksi atau penyakit. Proteksi terhadap penyakit khas mulai berkurang 3-5
tahun sesudah vaksinasi dan tidak dapat terukur sesudah 12 tahun. Reinfeksi subklinis pasti turut
menimbulkan imunitas cukup besar terhadap penyakit yang berkaitan dengan vaksin maupun
infeksi sebelumnya. Remaja dan dewasa yang batuk (biasanya tidak dikenali sedang menderita
pertusis) sekarang merupakan reservoir utama untuk B. pertussis dan merupakan sumber yang
lazim untuk kasus indeks pada bayi dan anak. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B. pertussis atau
vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa rentan terhadap penyakit klinis
jika terpajan, dan ibu hanya memberikan sedikit proteksi pasif pada bayi muda. Pengamatan

10

yang terakhir memberi koreksi pada pendapat lama bahwa ada sedikit proteksi transplasenta
terhadap pertusis.1
Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan utama manusia terdiri dari jalan nafas dan saluran nafas serta paru
(parenkim paru). Yang disebut sebagai jalan nafas adalah nares, hidung bagian luar (external
nose); hidung bagian dalam (internal nose); sinus paranasal; faring; laring. Semuanya termasuk
dalam cangkupan bidang telinga hidung tenggorokan (THT)

dan tidak dibahas di dalam

pulmonologi tetapi dapat saja terkait jika membiacarakan respirologi, sedangkan saluran nafas
adalah trakea, bronki dan bronkioli.7
Ada juga yang mengatakan bahwa saluran nafas atas dimulai dari hidung sampai karina
(percabangan ke bronkus). Sedangkan yang dimaksud dengan parenkim paru adalah organ
berupa kumpulan kelompok alveoli yang mengelilingi cabang-cabang pohon bronkus. Paru
kanan ini terdiri dari 3 bagian yaitu lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior. Setiap lobus
ini mempunyai bronkus lobusnya masing-masing. Berbeda dengan paru kiri yang memiliki 2
lobus yaiut lobus superior dan lobus inferior.7
Struktur pelengkap dalam pernafasan berupa komponen pembentuk dinding toraks,
diafragma, dan pleura. Struktur pelengkap ini merupakan struktur penunjang yang diperlukan
untuk bekerjanya sistem pernafasan itu sendiri. Yang termasuk dalam struktur ini yaitu dinding
dada yang terdiri dari iga dan otot, otot abdomen dan otot-otot lain, diafragma, serta pleura.
Saluran Pernafasan
Saluran pernafasan ini terbagi menjadi 2 yaitu saluran pernafasan atas dan saluran
pernafasan bawah. Pada saluran pernafasan atas yaitu jalan nafas yang terdiri dari hidung, laring,
faring dan laring. Sepertiga anterior rongga hidung dibagi menjadi dua oleh septum nasi. Ostium
nasalis intema merupakan bagian yang paling sempit di rongga hidung. Udara yang dihirup
melalui ostium ini mendapat tahanan lima puluh persen lebih tinggi dibandingkan jika dihirup
melalui mulut Palatum molle rnembagi faring menjadi dua bagian, yaitu regio nasofaring dan
regio orofaring. Pada nasofaring, terdapat jaringan limfoid yang membentuk lingkaran; adenoid
termasuk di dalamnya. Tonsil yang terletak antara tenggorok anterior dan posterior membatasi
rongga mulut dengan orofaring. Laring terdiri atas kartilago, pita suiara, otot dan ligamenlum;
11

semuanya menjaga agar jalan napas terbuka selama bemapas dan menutup ketika sedang
menelan.7
Saluran pernafasan atas dan bawah ini dipisahkan oleh bagian pinggir bawah kartilago
krikoidea. Maka saluran pernafasan bawah ini dimulai dari ujung trakea sampai pada bronkus
terminalis. sampai bronkiolus terminalis. Trakea, yang panjangnya antara 10-12 cm, dibentuk
oleh sekitar 20 lapis kartilago yang berbentuk huruf C dan berakhir ketika bercabang dua di
karina. Bagian yang tidak berkartilago disebut trakea membranosa dan berada di sebelah
posterior. Pada ketinggian vertebra torakalis ke-4 atau setinggi sambungan antara manubrium
dengan iga kedua kanan, trakea bercabang dua di karina menjadi bronkus utama kanan dan
bronkus utama kiri. Di atas tempat masuknya bronkus utama, kedua ujung karlago bertemu
membentuk cincin yang sempurna, tidak lagi berbentuk huruf C, melainkan berbentuk huruf O.
Bronkus utama kanan lebih pendek dibandingkan bronkus utama. Sudut yang dibentuk bronkus
utama kanan terhadap trakea lebih tajam dibandingkan dengan sudut yang dibentuk oleh bronkus
utama kiri terhadap trakea.7
Saluran nafas terbagi lagi berdasarkan kemampuannya yaitu saluran nafas yang bertugas
hanya untuk mengantarkan udara (conducting airways atau sering disebut dengan central
airways) dan saluran nafas peripheral airways yang sudah terjadi pertukaran udara. Adapula sifat
anatomik dari saluran pernafasan ini adalah; dibentuk atau ditopang oleh cincin kartilago,
dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia, mengandung otot polos, mendapat vaskularisasi dari arteria
bronkialis, diameternya lebih dari 2 mm, dan idak ada alveoli pada dindingnya.7
Saluran napas bukan berupa pipa yang kaku, melainkan berupa saluran dari otot dengan
inervasi vagal yang dapat membuatnya berdilatasi dan berkontraksi sebagai respon terhadap
rangsangan neurohumoral dan rangsangan kimia. Sedangkan untuk saluran pernafasan peripheral
mempunyai sifat anatomik yang berbeda sifat ini sebagai berikut: tidak dibentuk oleh kartilago;
dibentuk oleh otot. (Namun, walau dari otot, dapat berbentuk seperti pipa karena dinding yang
berupa otot ini tertarik ke arah luar oleh daya elastis jaring-jaring paru); mendapat pasokan darah
dari arteri pulmonalis; ukuran diameternya < 2 mm; pada dindingnya menjulur alveoli; dan,
dibatasi oleh epitel kuboid yang ke arah perifer menjadi tidak bersilia.7
Dapat disimpulkan bahwa saluran udara yang hanya dapat menghantarkan udara
terbentuk dari kartilago dan otot sedangkan yang sudah mulai terjadi pertukaran udara terdiri dari
otot saja.
Mekanisme pernapasan
12

Secara garis besar pernapasan mempunyai dua sistem yaitu sistem pernapasan
dalam(internal) dan pernapasan luar(eksternal).
Pernapasan dalam (internal) yaitu pertukaran gas antara organel sel(mitokondria) dan
medium cairnya. Hal tersebut menggambarkan proses metabolisme intraseluler yang meliputi
konsumsi 02 (digunakan untuk oksidasi bahan nutrisi) dan pengeluaran CO2 (terdapat pada
medium cair/sitoplasma) sampai menghasilkan energi.7
Pernapasan eksternal yaitu absorbsi O2 dan pembuangan CO2 dari dalam tubuh secara
keseluruhan ke lingkungan luar. Urutan proses pernapasan eksternal yaitu pertukaran udara luar
kedalam alveolus (alveoli) melalui aksi mekanik pernapasam yaitu melalui ventilasi, Pertukaran
O2 dan CO2 yang terjadi antara alveolus dan darah pada pembuluh kapiler paru-paru melalui
proses difusi, pengangkutan O2 dan CO2 oleh sistem peredaran darah dari paru-paru ke jaringan
dan sebaliknya yang disebut proses transportasi, dan pertukaran O2 dan CO2 darah dalam
pembuluh kapiler jaringan dengan sel-sel jaringan melalui proses difusi.7
Sistem pernapasan juga memiliki fungsi tambahan berikut ini : Menyediakan jalan untuk
mengeluarkan air dan panas. Udara atmosfer yang dihirup dilembabkan dan dihangatkan oleh
jalan napas sebelum udara tersebut dikeluarkan pelembaban udara yang dihirup ini penting
dilakukan agar dinding alveolus tidak mengering. O2 dan CO2 tidak dapat berdifusi melintasi
membrane yang kering. Meningkatkan aliran balik vena, berperan dalam memelihara
keseimbangan asam basa normal dengan mengubah jumlah CO2 penghasil asam yang
dikeluarkan. Selain itu, system pernapasan juga bisa membantu kita berbicara, menyanyi dan
vokalisasi lain, mempertahankan tubuh dari invasi benda asing, mengeluarkan, memodifikasi,
mengaktifkan atau menginaktifkan berbagai bahan yang melewati sirkulasi paru.
Patofisiologi
Bodetella merupakan kokobasil gram negatif yang sangat kecil yang tumbuh secara
aerobik pada agar darah tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor pertumbuhan
nikotinamid, asam amino untuk energi, dan arang atau resin siklodekstrin untuk menyerap
bahan-bahan berbahaya. Spesies Bordetella memiliki bersama tingkat homologi DNA yang
tinggi pada gena virulen, dan ada kontroversi (perdebatan) apakah cukup ada perbedaan untuk
menjamin klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya B. pertussis yang mengeluarkan
13

toksin pertusis (TP), protein virulen utama. Penggolonganserologis tergantung pada aglutinogen
K labil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B. pertussis. Serotip bervariasi secara
geografis dan sesuai waktu.1
B. pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak darinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca pembedahan aerosol,
hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinin (terutama FIM 2 dan FIM3), dan protein
permukaan nonfimbria 69 kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap
sel epitel bersilia saluran pernapasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan TP tampak
menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat
siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejalagejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. TP terbukti mempunyai banyak aktivitas
biologis (misal, sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya
merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang
percobaan dengan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tampak
memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis.1
Penatalaksanaan
Penilaian dan Perawatan Pendukung
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan batuk,
memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat dan penyembuhan tanpa
sekuele. Bayi sebelum 3 bulan dumasukkan ke rumah sakit hampir tanpa kecuali, pada antara
umur 3 bulan dan 6 bulan kecuali kalau paroksismal tampak tidak berat, dan pada setiap umur
jika komplikasi terjadi atau keluarga tidak mempu memberikan perawatan pendukung. Bayi
muda yang dilahirkan prematur dan anak dengan dasar gangguan jantung, paru-paru, muskuler,
atau neurologis mempunyai risiko tinggi untuk penyakit berat.1
Tujuan rawat inap spesifik, terbatas, adalah (1) menilai kemajuan penyakit dan
kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, (2) mencegah atau
mengobati komplikasi, dan (3) mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada
perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi tanpa komplikasi, keadaan ini
disempurnakan dalam 48-72 jam. Frekuensi jantung, frekuensi pernapasan, dan oksimetri nadi
14

dimonitor terus, pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh
personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makanan,
muntah dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang
tidak membahayakan mempunyai tanda-tanda berikut: lama kurang dari 45 detik, perubahan
warna merah tetapi tidak biru; takikardi; brakikardi (tidak < 60 denyut/menit pada bayi), atau
desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal; berteriak atau kekuatan
unuk menyelamatkan diri pada akhir paroksimal; mengeluarkan sumbatan mukus sendiri;
kelelahan pascabatuk tetapi bukan tidak berespons. Penilaian kebutuhan penyediaan oksigen,
stimulasi, atau pengisapan memerlukan personel trampil yang dapat mencatat kemampuan bayi
untuk mengamankan diri tetapi yang akan menghalangi dengan cepat dan dengan keahlian bila
deperlukan. Bayi yang paroksimalnya berulang membawa pada kejadian yang mengancam jiwa
walaupun penghantaran pasif oksigen memerlukan intubasi, paralisis, dan ventilasi.1
Dalam 48-72 jam, arah dan keparahan penyakit biasanya jelas dengan menganalisis
informasi yang terekam. Banyak bayi mengalami perbaikan yang sangat nyata pasca rawat inap
rumah sakit dan terapi antibiotik. Apnea dan kejang-kejang terjadi pada fase naik (incremental)
penyakit dan pada mereka dengan penyakit yang berkomplikasi.1
Agen Terapeutik, Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena
kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisisn, 40-50 mg/kg/24
jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan
pengobatan baku. Ampisilin, rifampin, trimethoprim-sulfametoksasol cukup aktif tetapi
sefalosporin generasi pertama dan kedua tidak. Pada penelitian klinis, eritromisisn lebih unggul
daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan
kemanjuran yang terbukti.

Salbutamol. Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan
gejala-gejala sari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang
15

telah menunjukkan pengaruh manfaat; satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh.
Pengobatan dengan aerosol memicu paroksismal.
Kortikosteroid. Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untuk
mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertusis. Penelitian pada binatang
menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai
kesimpulan pada infeksi pernapasan pada manusia. Penggunaan klinisnya tidak dibenarkan.
Globulin Imun Pertusis. Serum hiperimun, berasal dari masa konvalesen pertusis
dewasa, banyak diresepkan dan dipandang bermanfaat pada tahun 1930 dan 1940; penelitian
selanjutnya dan trial kendali-plasebo satu-satunya tidak menunjukkan manfaat atau sedikit
bermanfaat. Pada penelitian buta-ganda baru-baru ini di Swedia dengan menggunakan hiperimun
serum dosis intramuskular besar (diambil dari orang dewasa yang diimunisasi), rejan (tetapi
bukan batuk atau muntah) sangat berkurang pada bayi yang diobati pada minggu pertama
penyakit dibanding dengan penderita yang diberi plasebo. Penggunaan preparat imunoglobulin
jenis apapun tidak dibenarkan kecuali kalau penelitian lebih lanjut memperkuat pengaruh
manfaat.
Pencegahan
Jenis Imunisasi
Di Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah (imunisasi dasar)
dan ada juga yang hanya dianjurkan. Imunisasi wajib di Indonesia sebagaimana telah diwajibkan
oleh WHO ditambah dengan hepatitis B. Sedangkan imunisasi yang hanya dianjurkan oleh
pemerintah dapat digunakan untuk mencegah suatu kejadian yang luar biasa atau penyakit
endemik atau untuk kepentingan tertentu (bepergian) misalnya jemaah haji yang disuntikkan
imunisasi meningitis.8
Keberhasilan pemberian imunisasi pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, di
antaranya terdapat tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi, potensi antigen yang
disuntikkan, waktu antara pemberian imunisasi, dan status nutrisi terutama kecukupan protein
karena protein diperlukan untuk menyintesis antibodi. Mengingat efektif dan tidaknya imuisasi
tersebut dapat bergantung pada berbagai faktor yang memengaruhinya, sehingga kekebalan
16

tubuh tersebut dapat diharapkan dari diri anak. Beberapa imunisasi dasar diwajibkan oleh
pemerintah (program imunisasi PPI), adalah misalnya: imunisasi BCG, imunisasi hepatitis B,
imunisasi polio, imunisasi DPT, dan imunisasi campak. Sedangkan jenis imunisasi yang hanya
dianjurkan adalah seperti: imunisasi HiB, imunisasi PVC, imunisasi influenza, imunisasi MMR,
imunisasi typhus abdominalis, imunisasi hepatitis A, dan imunisasi varicella. 7 Karena pada
skenario kali ini pasien di diagnosa menderita pertusis, dan ada riwayat imunisasi dasar tidak
lengkap, maka yang akan dibahas adalah hanya imunisasi DPT.8
Imunisasi DPT
Imunisasi DPT (diphteria, pertussis, tetanus) merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin DPT ini merupakan vaksin
yang mengandung racun kuman diffteri yang telah dihilangkan sifat racunnya, namun masih
dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberian imunisasi DPT,
diberikan pada usia > 6 minggu, secara terpisah atau secara kombinasi dengan Hepatitis B atau
HiB. Booster DPT diberikan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Usia 12 tahun mendapat TT saat
program BIAS SD kelas 6.8
Pemberian pertama zat anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap
vaksin dan mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti. Pada pemberian kedua dan ketiga
terbentuk zat anti yang cukup. Imunisasi DPT diberikan melalui intramuskular. Pemberian DPT
dapat berefek samping ringan ataupun berat. Efek ringan misalnya terjadi pembengkakan, nyeri
pada tempat penyuntikan, dan demam. Efek berat misalnya terjadi meningitis hebat, kesakitan
kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan syok. Upaya
pencegahan penyakit difteri, pertusis, dan tetanus perlu dilakukan sejak dini melalui imunisasi
karena penyakit tersebut sangat cepat serta dapat meningkatkan kematian bayi dan anak balita.8
Hasil penelitian Muchlastriningsih (2005) menunjukan bahwa jumlah kasus differi rawat
jalan di Indonesia selama 3 tahun paling banyak dari golongan usia 15-44 tahun (47,42%).
Pasien pertusis yang dirawat inap paling banyak dari kalangan bayi dan anak-anak (60,28% dari
seluruh pasien rawat inap). Hal ini mendukung pendapat bahwa bayi dan anak-anak merupakan
golongan usia yang rentan terhadap penyakit pertusis. Pasien tetanus yang dirawat inap paling
banyak dari goongan usia di atas 45 tahun (44,16%).8
17

Komplikasi dan Prognosis


Frekuensi komplikasi sukar ditentukan karena hasil akhir berat yang terutama dilaporkan,
tetapi bayi sebelum umur 6 bulan mempunyai mortalitas dan morbiditas berlebihan. Mereka
yang berumur sebelum 2 bulan mempunyai frekuensi yang dilaporkan tertinggi kasus rawat inap
karena pertusis (82%), pneumonia (25%), kejang-kejang (4%), ensefalopati 1% dan kematian
1%.1
Komplikasi pertusis utama adalah apnea, infeksi sekunder (seperti otitis media dan
pneumonia), dan sekuele fisik batuk kuat. Kebutuhan perawatan intensif dan ventilasi artifisial
biasanya terbatas pada bayi sebelum umur 36 bulan. Apnea, sianosis, dan pneumonia bakteri
sekunder merupakan kejadian-kejadian yang mempercepat intubasi dan ventilasi. Pneumonia
bakteri dan/atau sindrom distres pernapasan dewasa merupakan penyebab kematian yang lazim
pada setiap umur; perdarahan paru terjadi pada neonatus. Demam, takipnea atau distress
pernapasan antara paroksimal, dan neutrofilia absolut merupakan kunci terhadap pneumonia.
Patogen yang diharapkan adalah Staphylococcus aureus, S. pneumoniae dan bakteri flora mulut.
Bronkiektasis dilaporkan jarang pascapertusis. Kelainan fungsi paru mungkin menetap selama 12
bulan pascapertusis tidak berkomplikasi pada anak sebelum umur 2 tahun.1
Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan konjungtiva dan sklera, petekie pada tubuh bagaian atas, epistaksis, perdarahan pada
sistem saraf sentral dan retina, pneumotoraks dan emfisema subkutan, dan hernia umbilikalis
serta inguinalis. Luka robek frenulum lidah tidak jarang. Prolaps rektum, pernah dilaporkan
sebagai komplikasi pertusis yang lazim, mungkin karena pertusis pada anak malnutrisi atau salah
diagnosis dengan kistik fibrosis. Sangat tidak lazim dan akan memerlukan evaluasi untuk
keadaan yang mendasari. Terutama pada bayi di negara yang sedang berkembang, dehidrasi dan
malnutrisi pascamuntah-pascabatuk dapat mempunyai dampak yang berat. Tetani telah disertai
dengan alkalosis pasca-batuk berat.1
Kelainan sistem saraf sentral terjadi relatif sangat sering dan hampir selalu akibat
hipoksemia atau perdarahan akibat batuk atau apnea pada bayi muda. Apnea atau bradikardi atau
keduanya dapat terjadi karena laringospasme atau rangsangan vagus tepat sebelum episode
batuk, dari obstruksi selama episode, atau dari hipoksia pasca-episode. Tidak adanya tanda-tanda
18

yang menyertai pada beberapa bayi muda dengan apnea menaikan kemungkinan pengaruh
primer pada sistem saraf sentral. Kejang-kejang biasanya akibat hipoksemia, tetapi hiponatremia
karena sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat selama pneumonia dapat terjadi. Walaupun
hipoglikemia, pengaruh langsung TP, atau infeksi sekunder karena virus neurotropik merupakan
mekanisme gejala-gejala neurologis yang telah disimpulkan, tidak ada data binatang yang
mendukung teori demikian, dan satu-satunya neutopatologi yang terdokumentasi pada manusia
adalah perdarahan parenkim dan nekrosis iskemia.1
Kesimpulan
Hipotesis diterima ! Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, gejala-gejala klinis yang
disampaikan maupun diperiksa dapat disimpulkan pasien tersebut menderita penyakit pertussis.
Difteri adalah Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada
tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif.
Pertussis disebabkan oleh Bordetella pertussis yang sangat patogen dan menular.

Daftar Pustaka

19

1. Long Sarah S. Pertusis. Croup. Dalam: Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Nelson
textbook of pediatrics. Cetakan ke-I. Ed.15. Jakarta: EGC; 2000. h. 960-5, 1111-2.
2. S Lawrence, J Kurt / Friedman, Isselbacher. Anoreksia, nausea, vomitus, dan dispepsia.
Dalam: Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-1. Jakarta: EGC; 2000. h. 247.
3. Djojodibroto Darmanto R. Manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik. Dalam: Respirologi
4.

(respiratory medicine). Cetakan ke-1. Jakarta: EGC; 2009. h. 60-4.


Starke Jeffrey S. Tuberkulosis. Dalam: Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Nelson

textbook of pediatrics. Cetakan ke-I. Ed.15. Jakarta: EGC; 2000. h. 1028-41.


5. Behrman, C Victor, Vaughan. Asma. Dalam: Ilmu kesehatan anak. Cetakan ke-IV. Jakarta:
EGC; 2000. h. 859-64
6. Jawetz Ernest, Melnick Joseph, Adelberg Edward. Bordetella. Dalam: Mikrobiologi
kedokteran. Cetakan ke-1. Jakarta: EGC; 2000. h. 268-70.
7. Djojodibroto D. Anatomi dan fisiologi. Dalam: Respirologi. Jakarta: EGC, 2007.h.5-14.
8. Hidayat Alimul Aziz A. Imunisasi. Dalam: Ilmu kesehatan anak. Cetakan ke-1. Jakarta:
Salemba Medika; 2008. h. 55-7.

20

Anda mungkin juga menyukai