Anda di halaman 1dari 124

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEPATUHAN BEROBAT PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI


KLINIK JAKARTA RESPIRATORY CENTRE (JRC)/ PPTI
TAHUN 2009

Skripsi
Diajukkan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Disusun Oleh:
SITI MAESAROH

105104003485

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009M/1430 H

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukkan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber referensi yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultass Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Desember 2009

SITI MAESAROH

ABSTRACT
FACULTY OF MEDICINE AND SCIENCE OF HEALTH
NURSING SCIENCE PROGRAM
ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Undergraduate Thesis, December 2009
SITI MAESAROH, NIM: 105104003485
Factors Associated With Medication Adherence in Patients with Pulmonary
Tuberculosis Clinic PPTI / Jakarta Respiratory Center (JRC), Year 2009
Xix +90 pages, 3 Appendix, Table 29
In PPTI during 2008, a total of 123 patients from 895 patients revealed
DO. Based on data from PPTI above, the authors are interested in performing on
the factors associated with treatment adherence in patients with pulmonary TB
clinic PPTI / JRC ..
This study aims to know the description of treatment adherence and
factors associated with treatment adherence in patients with pulmonary
tuberculosis clinic JRC / PPTI in 2009 with a cross-sectional design. Independent
variables studied include: education, knowledge, attitudes mother, side effects,
distance, transportation, vehicle costs, the role of the PMO, the role of the family,
counseling.
The study found that of the 11 variables studied, the attitude of the patient
variables significantly associated with pulmonary tuberculosis treatment
adherence (P = 0.016). Patients with a good attitude, have a risk to comply with
treatment 3 times when compared to patients with unfavorable attitudes (OR =
2.917, 95% CI = 1.289 to 6.600). The other variables are counseling, possess a
significant relationship with medication adherence pulmonary TB patients (P =
0.048). Patients who had received counseling at risk for medication adherence by
2.408 times when compared to patients who never received counseling (OR =
2.408, 95% CI = 1.081 to 5.364). While in this study, other variables can not
prove the existence of significant relationship of the variables of education (p =
0.639), knowledge (p = 0.118), 0.286 medication side effects, distance ( p =
0.495), transportation (p = 0.650), role of the PMO (p = 1), the role of the family
( p = 0.654), extension (p = 0.048)
This study suggests that outreach programs are conducted every month
fixed routine implemented and attended by the patient. Further research needs
other factors associated with treatment adherence and factors that influence the
attitudes of respondents to treatment.
Reading List: 42

ii

ABSTRAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi, Desember 2009
SITI MAESAROH, NIM : 105104003485
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita
Tuberkulosis Paru Di Klinik PPTI/Jakarta Respiratory Center (JRC),
Tahun 2009

Xix+90 halaman, 3 Lampiran, 29 Tabel


Di PPTI selama tahun 2008, sebanyak 123 pasien dinyatakan DO dari 895
pasien. Berdasarkan data dari PPTI di atas maka penulis tertarik untuk melakukan
terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien TB
paru di klinik PPTI/JRC..
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kepatuhan berobat
dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien
tuberkulosis paru di klinik JRC/PPTI tahun 2009 dengan desain cross sectional.
Variabel independen yang diteliti meliputi : pendidikan, pengetahuan, sikap ibu,
efek samping, jarak, sarana transportasi, biaya kendaraan, peran PMO, peran
keluarga, penyuluhan.
Hasil penelitian didapat bahwa dari 11 variabel yang diteliti, variabel
sikap penderita secara signifikan berhubungan dengan kepatuhan berobat
penderita TB paru (P=0,016). Penderita dengan sikap baik, mempunyai risiko
untuk patuh berobat 3 kali bila dibanding penderita dengan sikap kurang baik (OR
= 2,917 (95%CI =1,289-6,600). Variabel lain yaitu penyuluhan, secara signifikan
memliki hubungan dengan kepatuhan berobat pasien TB paru (P=0,048).
Penderita yang pernah mendapat penyuluhan memiliki risiko untuk patuh berobat
sebesar 2,408 kali bila dibanding penderita yang tidak pernah mendapat
penyuluhan (OR=2,408, 95%CI=1,081-5,364). Sedangkan pada penelitian ini,
variabel lain tidak dapat membuktikan adanya hubungan yang signifikan yaitu
variabel pendidikan (p=0,639), pengetahuan (p=0,118), efek samping obat 0,286,
jarak (p=0,495), sarana transportasi (p=0,650), peran PMO (p=1), peran keluarga
(p=0,654), penyuluhan (p= 0,048)
Penelitian ini menyarankan agar program penyuluhan yang dilaksanakan
setiap bulan tetap rutin dilaksanakan dan dihadiri langsung oleh pasien. Perlu
dilakukan penelitian lanjutan faktor lain yang berhubungan dengan kepatuhan
berobat dan faktor yang mempengaruhi sikap responden terhadap pengobatan.

Daftar Bacaan : 42
ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: SITI MAESAROH

Tempat, Tanggal Lahir

: Tegal, 20 Mei 1985

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Jalan Depsos Raya No. 4 RT 04/ RW 01, Bintaro,


Pesanggrahan, Jakarta Selatan

Alamat Asal

: Lembasari, RT 03 RW 01, Kecamatan Jatinegara,


Kabupaten Tegal

Email

: sitmae_243sejati@yahoo.com

Latar Belakang Pendidikan


2005-2009

: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah


Jakarta, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Keshatan
Program Studi Ilmu Keperawatan

2002-2005

: SMA Negeri 1 Slawi

1999-2002

: SMP Negeri 1 Jatinegara

1993-1999

: SD Negeri 02 Lembasari

Skripsi ini
Ku Persembahkan untuk Ibunda dan
Ayahandaku, Kakak dan Adik-adikku, Serta
Semua Orang yang Aku Sayangi dan Orang
yang Menyayangiku.

PENGANTAR
Bismillahi Rahmani Rahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayat-Nya sehigga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar kita, Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang tetap istiqomah dan yang Insyaallah
akan mendapat safaat dihari akhir. Dengan penuh kesadaran penyusun yakin
bahwa masih banyak yang harus diperbaiki dalam penyusunan skrripsi yang
berjudul Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan Berobat
Pasien Tuberkulosis Paru Di Klinik JRC/ PPTI Kebayoran Lama tahun
2009.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak banttuan,
petunjuk, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya penulis mengucap rasa syukur sebagai wujud rasa terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tersayang, Bapak Sarip dan Ibu Dibah yang telah
memberikan bantuan moril, materiil, motivasi serta doa yang tidak pernah
putus demi keberhasilan penyusun menghadapi masa depan yang lebih baik.

2. Ahmad Eru S, S.Kp, M.Kep, Sp.Kom dan Bambang P Cadrana, SKM,MKM,


sebagai dosen pembimbing yang tyelah memberikan waktu, arahan, dan
pengembangan pemikiran kepada penulis demi terselesaikannya penyusunan
skripsi ini dengan baik.
3. Prof. Dr (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And sebagai Dekan fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Tien Gartinah MN, selaku ketua Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta staf serta segenap Bapak/Ibu Dosen Program
Studi Ilmu Kperawatan, yang telah member ilmu pengetahuan yang berguna
bagipenulis dan mahasiswa/mahasiswi pada umumnya.

xi

5. .Ita Yuanita, S.Kp, M.Kep, Ns. Waras Budi Utomo, S.Kp, MKM yang telah
mendedikasikan diri demi membawa Program Studi Ilmu Kperaawatan kea
rah yang lebih baik.

6. Irma Nurbaeti, Skp, M.Kep, Sp. Mat, sebagai pembimbing akademik yang
telah memberikan arahan kepada penulis.

7. Bapak Wakidi staf PPTi yang telah membantu, memberikan masukan saat
penulis melakukan penelitian.

8. Dr. Sudiono sebagai Sekertaris Jendral PPTI , Direktur Kllinik JRC yang telah
mengizinkan penulis untukmelakukan penelitian di Klinik PPT? JRC
kebayoran Lama.

9. Akhmad Nursujati, SE. yang selalu memberikan motivasi, membantu dan


mendampingi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Kaka penulis Sulastri dan Rudi Haseni (ipar), dan adik penulis Fitria Priatin,
yang member motivasi kepada penulis.

11. Keluarga besar FKIK dan khususnya seluruh saudara-saudari PSIK, dan
teman-teman seperjuangan jurusan Ilmu Keperawatan angkatan 05 ((Neneng,
Tuti, Risma, Fina Tika, Ziah, Herna, Lita, Intan, Ciah, dan masih banyak lagi
yang belum disebutkan).

12. Alumni

SMA Negeri 1 Slawi angkatan 05 yang memberikan motivasi

kepada penulis.

xii

Dengan memanjatkan doa kepada Allahh SAW, penulis berharap semua


kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan yang lebih baik dari allah
SWT.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi dan para
pembaca pada umumnya.

Wassalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 22 Desember 2009

SITI MAESAROH

xiii

DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN...

ABSTRAK ..

ii

..

iii

LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PERSEMBAHAN

xi

xiv

RIWAYAT HIDUP

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xvii

DAFTAR BAGAN

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

xvii

DAFTAR SINGKATAN

xx

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................

B. Rumusan Masalah ...........................................................................

C. Pertanyaan Penelitian ......................................................................

D. Tujuan Penelitian ...........................................................................

E. Manfaat Penelitian ..........................................................................

10

F. Ruang Lingkup Penelitian ...............................................................

11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberculosis Paru ............................................................................

12

B. Keadaan dan Masalah Tuberkulosis Paru Saat ini ..........................

21

C. Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru di Indonesia ...............

22

D. Konsep Perilaku dan Perilaku Kepatuhan Berobat Pasien


Tuberkulosis Paru ...........................................................................

22

E. Kerangka Teoritis ............................................................................

35

xiv

BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep ............................................................................

37

B. Variabel Dependen ..........................................................................

39

C. Variabel Independen .......................................................................

39

D. Hipotesis..........................................................................................

40

E. Definisi Operasional........................................................................

42

BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian ......................................................................

45

B. Lokasi Penelitian .............................................................................

45

C. Populasi dan Sampel .......................................................................

45

D. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data .........................

47

E. Pengolahan Data..............................................................................

49

F. Analisa Data ....................................................................................

50

BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum PPTI
B. Klinik Pusat Penyakit Pernapasan (JRC) ........................................

55

C. Analisa Univariat ............................................................................

56

D. Analisa Bivariat

BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian ...................................................................

72

B. Gambaran Kepatuhan Berobat Penderita TB paru di Klinik PPTI .

72

C. Hubungan antara faktor predisposisi, pemungkin, dan penguat


dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru.

xv

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .....................................................................................

83

B. Saran ................................................................................................

85

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

86

LAMPIRAN .................................................................................................

91

xvi

DAFTAR TABEL

halaman

21

Tabel 2.2 Efek samping ringan OAT .

22

Tabel 2.3 Efek samping berat OAT ..

22

..

55

56

56

57

57

58

Tabel 5.7 Disribusi frekuensi sikap responden terhadap pengobatan

58

59

59

60

Tabel 2.1 Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi menurut jenis kelamin


Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi responden menurut
pembagian usia BPS

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi responden menurut kepatuhan


Tabel 5.4 Distribusi frekuensi responden
menurut tingkat pendidikan
Tabel 5.5 Distribusi frekuensi responden
menurut pendidikan responden yang dikategorikan
Tabel 5.6 Distribusi frekuensi pengetahuan responden

Tabel 5.8 Distribusi frekuensi efek samping obat

Tabel 5.9 Distribusi frekuensi persepsi jarak klinik dari rumah


Tabel 5.10 Distribusi frekuensi kendaraan yang digunakan responden
menuju ke klinik

Tabel 5.11 Distribusi frekuensi responden

60

61

..

62

62

menurut biaya kendaraan

Tabel 5.12 Distribusi frekuensi responden menurut peran PMO


Tabel 5.13 Distribusi frekuensi responden
menurut peran keluarga

Tabel 5.14 Distribusi frekuensi responden menurut sikap petugas


Tabel 5.15 Distribusi frekuensi responden menurut penyuluhan..

63

Tabel 5.16 Hubungan antara tingkat pendidikan


.

63

..

64

dengan kepatuhan berobat pasien TB paru


Tabel 5.17 Hubungan antara pengetahuan dengan
kepatuhan berobat pasien TB paru

xvii

Tabel 5.18Hubungan antara sikap pasien dengan


kepatuhan berobat pasien TB paru

65

Tabel 5.19 Hubungan antara efek samping obat dengan


kepatuhan berobat pasien TB paru

..

65

Tabel 5.20Hubungan antara jarak klinik PPTI


dari tempat tinggal dengan kepatuhan berobat pasien TB.

66

Tabel 5.21 Hubungan antara sarana transportasi


..

67

67

68

..

69

..

69

70

dengan kepatuhan berobat pasien TB paru


Tabel 5.22 Hubungan antara biaya transportasi
dengan kepatuhan berobat penderita TB paru
Tabel 5.23 Hubungan antara peran PMO
dengan kepatuhan berobat pasien TB paru.
Tabel 5.24 Hubungan antara peran keluarga
dengan kepatuhan berobat pasien
Tabel 5.25 Hubungan antara sikap petugas
dengan kepatuhan berobat pasien TB paru.
tabel 5.26 Hubungan antara penyuluhan
dengan kepatuhan berobat penderita TB paru.

xviii

DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Teori Perilaku L.Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007)..

38

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ..

40

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1

surat permohonan izin uji coba kuesioner di PPTI Baladewa

Lampiran 2

Kuesioner

Lampiran 3

Hasil analisa univariat dan bivariat

xix

DAFTAR SINGKATAN/ISTILAH

Accessibility

: ketercapaian

Airbone

: melalui udara

AIDS

: Aquiring Imuno Defisiensi Syndrom

Behavior causes : faktor perilaku


Belief

: kepercayaan

Bronkiektasis

: pelebaran bronkus setempat

BTA

: Basil Tahan Asam

Compliance

: kepatuhan

Depkes

: Departemen Kesehatan

DOTS

: Directly Observed Treatment Short Course

Dormant

: tertidur lama

DO

: drop out

Droplet

: percikan dahak

Hemoptisis

: perdarahan dari saluran napas bawah

HIV

: Human Imunodefisiensi Virus

Ignorance

: ketidaktahuan

Informed consent : persetujuan


IUALTD

: International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease

JRC

: Jakarta Respiratory Centre

KDT

: Kombinasi Dosis Tetap

MDGs

: Millenium Development Goals

MDR

: Multi Drug Resisten

Miss Conseption : salah duga


Nonbehavior causes : faktor di luar perilaku
OAT

: obat anti TB

PAS

: Para Amino Acid

P2MPL

: Pembarantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan

P2PL

: Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Pneumotorak

: adanya udara di dalam rongga pleura

PMO

: Pengawas Menelan Obat

xx

Poverty

: kemiskinan

PPTI

: Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

TBC/TB

: tuberculosis

UPK

: Unit Pelayanan Kesehatan

WHO

: World Health Organisation

XDR

: extensively drug resisten

xxi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit TBC adalah penyakit kronis menular yang masih tetap
merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.
World Health Organisation ( WHO) dalam anual report on global TB
control tahun 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai
high burden countries terhadap TBC.
Di kawasan Asia Tenggara, data WHO menunjukkan bahwa TBC
membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40% dari kasus TBC
di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. TBC juga menjadi pembunuh
nomor satu di kawasan ini, dimana jumlahnya dua sampai tiga kali jumlah
kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS yang berada di peringkat
kedua.
Sedangkan di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. Data WHO (2008) menunjukkan bahwa jumlah penderita
TBC di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China.
Jumlah pasien sekitar 500.000 orang per tahun dengan kematian sekitar
175.000 orang per tahun, khususnya daerah pedesaan miskin dan daerah
kumuh perkotaan yang rawan kuman (Depkes RI, 2005). Data
Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) selama tahun
2008, penderita TBC di Indonesia berjumlah 281.910 orang. Profil
Kesehatan RI pada tahun 2008, menunjukan angka insiden kasus baru

BTA

positif

per

100.000

penduduk

di

Indonesia

menunjukan

kecenderungan mengalami penurunan selama kurun waktu 20002006.


Pada tahun 2006, angka insiden sebesar 104 per 100.000 penduduk.
Jumlah kasus menular TB sepanjang tahun 2007 diperkirakan sebesar
232.358 kasus (Profil Kesehatan RI, 2008).
Pasien TB sekitar 75% adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomi (15 sampai 50 tahun). Hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30% (Depkes
RI, 2008). Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan
dampak buruk lainya secara sosial, stigma bahkan dikucilkan oleh
masyarakat (Depkes RI, 2007).
Pada awal tahun 1990an WHO dan International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) telah mengembangkan strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed
Treatment Short Course (DOTS) dengan tujuan menemukan dan
menyembuhkan pasien, terutama pasien tipe menular (Depkes RI, 2008).
Di Indonesia menurut Riskesdas provinsi DKI Jakarta (2008),
penyakit ini termasuk salah satu prioritas nasional untuk program
pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan
ekonomi, serta menimbulkan kematian. Milleniun Development Goals
(MDGs) dalam Profil Kesehatan 2008 juga menjadikan penyakit TB paru
sebagai salah satu penyakit yang menjadi target untuk diturunkan.
Penanggulangan TBC di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Sejak tahun

1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas


(Depkes RI, 2008). Upaya pencegahan dan pemberantasan TB Paru
dilakukan dengan pendekatan DOTS atau pengobatan TB Paru dengan
pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). Kegiatan ini
meliputi upaya penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak di sarana
kesehatan yang ditindaklanjuti dengan paket pengobatan (Profil Kesehatan
RI, 2008).
Sejak tahun 1995, Indonesia mulai melaksanakan program
penanggulangan TB dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh
WHO (Depkes RI, 2008). Program penanggulangan TBC dengan strategi
DOTS secara operasional telah dilaksanakan dan pencapaian angka
indikator-indikator program dari tahun ke tahun terus menunjukkan trend
yang

meningkat

(Fahrudda,

2008).

Meskipun

demikian

dalam

pelaksanaannya dijumpai permasalahan utama yaitu adanya kegagalan


pengobatan penderita dan masih rendahnya penemuan penderita TBC baru
(Fahrudda, 2008).
Masih belum tingginya cakupan pengobatan TBC atau masih
rendahnya penemuan penderita adalah karena masih kurangnya jejaring
pengobatan atau kerja sama di sektor kesehatan sendiri khususnya pemberi
pelayanan kesehatan atau unit pelayanan kesehatan (UPK). Selain itu
masih kurangnya sosialisasi program pada masyarakat (Fahrudda, 2008).
Salah satu penyebab utama ketidakberhasilan pengobatan adalah
karena ketidakpatuhan berobat penderita masih tinggi. Oleh karena itu,
masalah kepatuhan pasien dalam menyelesaikan program pengobatan

merupakan prioritas paling penting (Murtiwi, 2006). Ketidakmampuan


pasien menyelesaikan regimen self-administered, akan menyebabkan
terjadinya kegagalan pengobatan, kemungkinan kambuh penyakitnya,
resisten terhadap obat, dan akan terus-menerus mentransmisikan infeksi
(Vijay, Balasangameswara, Jagannatha, Saroja, dan Kumar, 2003,
Murtiwi, 2006). Ketidateraturan minum obat terutama sebagai akibat dari
peran pengawas minum obat (PMO) yang kurang efektif, disamping
penyebab lainnya misalnya timbulnya efek samping, menderita penyakit
penyerta, kerterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan yang sulit, tingkat
pengetahuan penderita yang masih kurang sehingga kurang memahami
pentingnya berobat secara teratur dan sikap petugas kesehatan dalam
memberikan pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan (Ansarul,
2008). Selain itu menurut penelitian Susanti (2008) disimpulkan bahwa
pengetahuan, sikap, dan motivasi berhubungan dengan keteraturan
berobat.
Faktor penunjang kelangsungan berobat adalah pengetahuan
penderita mengenal bahaya penyakit TB paru yang gampang menular ke
sisi rumah, terutama pada anak, motivasi keluarga baik saran dan perilaku
keluarga kepada penderita untuk menyelesaikan pengobatannya dan
penjelasan petugas kesehatan kalau pengobatan gagal akan diobati dari
awal lagi. Oleh karena itu pemahaman dan pengetahuan penderita
memegang peranan penting dalam keberhasilan pengobatan TB paru
(Ainur, 2008, Susanti, 2008).

Data P2PL selama tahun 2008, penderita TB paru di DKI Jakarta


mencapai 8482 orang dengan BTA positif, 14845 orang dengan BTA
negatif/rontgent positif, pasien kambuh 605 orang, pasien Drop Out (DO)
197 orang. Angka kesembuhan pasien TB pada tahun 2006 sebesar
84,97% dan pada tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 84,04 %
(PPTI), 2007). Data dari PPTI 2007 pada tahun 2006 penderita TB pada
klinik Jakarta Respiratory Centre (JRC) Kebayoran Lama berjumlah 216
orang yang terdiri dari 202 orang penderita baru dan 14 orang penderita
kambuh. Jumlah pasien TB dan angka DO setiap triwulan semakin
meningkat sedangkan pasien yang sembuh mengalami penurunan
(PPTI,2008).
Data PPTI diatas menunjukkan angka kesembuhan masih rendah
sedangkan angka DO masih cukup tinggi. Tingginya angka DO
menunjukkan kepatuhan pasien yang masih rendah. Berdasarkan
kesimpulan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap faktorfaktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat
pasien TB paru di klinik Jakarta Respiratory Centre (JRC)/PPTI.
Tingginya angka pasien yang DO/tidak patuh terhadap pengobatan
merupakan pekerjaan besar bagi pemerintah, masyarakat, keluarga pasien,
pasien dan petugas kesehatan. Petugas kesehatan merupakan tim kesehatan
terdiri dari dokter umum, perawat komunitas dan tenaga kesehatan lain.
Peranan petugas kesehatan adalah memberi pelayanan kesehatan
kepada masyarakat. Petugas kesehatan sebagai pengelola dalam program
pemberantasan TB paru meliputi dokter, paramedis, juru TB, petugas

mikroskopis. Hubungan antara petugas kesehatan dan penderita sangat


berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan (Fleischhacker, 2003,
Gielen, 1997, Pender, 2002, Murtiwi, 2005). Murtiwi (2005), mengatakan
bahwa salah satu determinan perilaku kepatuhan berobat TBC paru adalah
dukungan petugas kesehatan selama pengobatan TBC paru.
Praktik keperawatan profesional adalah tindakan mandiri perawat
profesional dengan menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan
kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai landasan dan
menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan dalam melakukan
asuhan keperawatan (Helwiah, 2004).
Peran perawat dalam penanggulangan penyakit menular khususnya
penyakit tuberkulosis (TBC/TB) salah satunya dengan menerapkan asuhan
keperawatan menggunakan model Community As Partner. Model ini
diterapkan karena menyediakan struktur intervensi keperawatan yang
komprehensif, memberikan wawasan profesi lain dalam memberikan
pelayanan yang lebih menyeluruh (Mendrofa, 2008). Namun dalam
pelaksanaannya ada beberapa masalah keperawatan komunitas yang dapat
muncul pada populasi dengan masalah TBC yaitu: risiko tinggi terjadi
penularan TBC pada anggota masyarakat, risiko tinggi terjadi kegagalan
pengobatan dan risiko tinggi terjadinya gangguan nutrisi (Mendrofa,
2008).
Perawat komunitas berupaya dengan berbagai cara memfasilitasi
tanpa bersifat instruksi memberdayakan individu dan keluarga. Upaya ini
berguna untuk meningkatkan pengetahuan kemampuan individu dan

keluarga agar mampu mengidentifikasi masalah kesehatannya (Murtiwi,


2005).
Ketidakpatuhan berobat merupakan masalah perilaku. Green
(1980) dalam Notoatmojo (2007) mengidentifikasi tiga faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan yaitu faktor predisposisi, faktor
pemungkin, faktor penguat. Yang termasuk faktor predisposisi antara lain
adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai persepsi. Yang termasuk
faktor pemungkin adalah ketersedian sumber daya, keterjangkauan petugas
dan rujukan. Sedangkan yang termasuk faktor penguat antara lain adalah
sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas lain teman, majikan, dan
orang tua (Notoatmojo, 2007).

B. Rumusan Masalah
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh mycobacterium
tuberculosis (Depkes RI, 2008). Data WHO (2008) menunjukan bahwa
jumlah penderita TBC di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India
dan China. Tiap tahun ada 9 juta penderita TBC baru dan 75% kasus
kematian dan kesakitan di masyarakat diderita oleh orangorang pada usia
produktif (15 sampai 50 tahun). Hal tersebut berakibat terhadap penurunan
jumlah pendapatan tahunan rumah tangganya.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain :
Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, kegagalan program TB
selama ini, dampak pandemi HIV (Depkes RI, 2005). Salah satu penyebab
utama ketidakberhasilan pengobatan adalah ketidakpatuhan berobat

penderita yang masih tinggi. Hal ini dibuktikan pada triwulan ketiga di
Klinik JRC dari 204 orang penderita, 28 orang sembuh dan 43 orang putus
berobat. Ketidakmampuan pasien menyelesaikan pengobatan, akan
menyebabkan terjadinya gagal pengobatan, kemungkinan kambuhnya
penyakit, resisten terhadap obat dan akan terus menerus mentransmisikan
infeksi (Vijay, Balasangameswara, Jagannatha, Saroja, dan Kumar, 2003,
Murtiwi, 2006). Ketidakteraturan minum obat terutama akibat dari peran
pengawas minum obat (PMO) yang kurang efektif, disamping penyebab
lainnya misalnya timbul efek samping, menderita penyakit penyerta,
keterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan yang sulit, tingkat
pengetahuan penderita yang masih kurang sehingga memahami pentingnya
berobat secara teratur dan sikap petugas kesehatan dalam memberikan
pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan (Ansarul, 2008).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti faktorfaktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien TBC paru di
Klinik JRC Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sebagai salah satu masukan
informasi demi upaya penanggulangan penyakit TB di wilayah Kebayoran
Lama, Terutama di Klinik JRC. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan pendekatan cross sectional.

C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya bahwa
masalah TBC paru merupakan masalah nasional maka masalah penelitian
yang ingin diteliti penulis adalah :

1. Apakah ada hubungan antara faktor predisposisi (tingkat pendidikan,


pengetahuan tentang penyakit Tb paru, sikap penderita, efek samping
obat) dengan kepatuhan berobat pasien tuberculosis paru di klinik JRC
Kebayoran Lama Utara?
2. Apakah ada hubungan antara faktor pemungkin (jarak Klinik JRC dari
tempat tinggal, sarana transportasi, biaya transportasi) dengan
kepatuhan berobat pasien Tb paru di klinik JRC kebayoran Lama
Utara?
3. Apakah ada hubungan antara faktor penguat (peran PMO, peran
keluarga, sikap petugas, penyuluhan) dengan kepatuhan berobat pasien
Tb paru di klinik JRC kebayoran Lama Utara ?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan kepatuhan
berobat pasien TBC paru di Klinik JRC/PPTI Kebayoran Lama, tahun
2009.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
a. Mengidentifikasi
pendidikan,

gambaran

faktor

predisposisi

(tingkat

pengetahuan tentang penyakit TB paru, sikap

penderita, efek samping obat) di Klinik JRC/PPTI Kebayoran


Lama.

10

b. Mengidentifikasi gambaran faktor enabling (pemungkin) yaitu


jarak Klinik JRC dari tempat tinggal, sarana transportasi, biaya
transportasi, di Klinik JRC/PPTI Kebayoran Lama.
c. Mengidentifikasi

gambaran

faktor

reinforcing

(penguat/pendorong) yaitu peran PMO, peran keluarga, sikap


petugas, penyuluhan di Klinik JRC/PPTI kebayoran Lama.
d. Mengidentifikasi hubungan antara faktor predisposisi (tingkat
pendidikan, pengetahuan tentang TB paru, keluhan efek samping
obat) dengan kepatuhan berobat pasien tuberculosis paru di klinik
JRC Kebayoran Lama.
e. Mengidentifikasi hubungan antara faktor pemungkin (jarak dari
tempat nnnktinggal ke JRC, sarana transportasi, biaya transportasi)
dengan kepatuhan berobat pasien TB paru di klinik JRC
kebayoran Lama.
f. Mengidentifikasi hubungan antara faktor penguat (peran PMO,
peran keluarga, sikap petugas, penyuluhan) dengan kepatuhan
berobat pasien TB paru di klinik JRC kebayoran Lama.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Klinik JRC PPTI
Sebagai tambahan informasi mengenai tingkat kepatuhan berobat
pasien

TBC,

sehingga

dapat

dilakukan

ketidakpatuhan.
2. Bagi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

evaluasi

penyebab

11

Sebagai tambahan dan referensi untuk penelitian khususnya dalam


pengobatan TBC.

3. Bagi petugas kesehatan


Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan
penanggulangan dan kepatuhan berobat pasien TBC.
4. Bagi penulis penelitian sebagai pengalaman pertama dalam penelitian
dan dapat digunakan sebagai refensi untuk penelitian selanjutnya.

F. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di kliniK JRC/ PPTI Jl. Sultan Iskandar
Muda no. 66A, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan, terhadap
penderita TBC paru BTA positif yang telah mengikuti program
pengobatan jangka pendek dan minum obat secara teratur selama 2 bulan.
Penelitian ini diarahkan pada dimensi perilaku masalah dalam
upaya kesehatan khususnya pemberantasan penyakit TB paru yang
diketahui dapat dipengaruhi oleh hambatan faktorfaktor non medik.
Penelitian ini dibatasi hanya tentang aspek perilaku kesehatan terutama
perilaku kepatuhan berobat dan faktorfaktor yang mempengaruhinya.
Penelitian ini hanya membahas tentang faktor predisposisi (tingkat
pendidikan, pengetahuan, sikap penderita, efek samping obat), faktor
pemungkin (jarak ke pelayanan kesehatan, sarana transportasi, biaya
transportasi), faktor pendorong (peran PMO, peran keluarga, penyuluhan).

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru
1. Definisi
TBC atau TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini merupakan bakteri
basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk
mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru
dibandingkan bagian lain tubuh manusia (Price, 2006).
2. Etiologi
Penyebab

penyakit

TBC

adalah

bakteri

Mycobacterium

tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai


ukuran 0,5 mikron x 0,30,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus
atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi
mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam
mikolat) (Widoyono, 2008).
Bakteri ini dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam
alkohol, sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA), serta tahan
terhadap zat kimia dan fisik. Kuman TBC juga tahan dalam keadaan
kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob (Widoyono, 2008).

13

3. Cara Penularan dan Pencegahan Tuberkulosis Paru


a. Cara Penularan
Penyakit TB biasanya menular melalui udara yang tercemar
dengan bakteri Mycobakterium Tuberculosa yang dilepaskan pada
saat penderita TB batuk. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul
di dalam paruparu akan berkembang biak menjadi banyak terutama
pada orangorang dengan daya tahan tubuh yang lemah dan dapat
menyebar melalui pembuluh darah dan kelenjar getah bening.
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif khususnya TB
paru (Depkes RI, 2005).
Cara penularan (transmisi) TB dapat: 1) Bersifat langsung melalui
droplet (percikan dahak) dalam jarak dekat ketika batuk/bersin, 2)
Airborne (melalui udara) ketika droplet yang mengandung kuman di
udara terhirup ke saluran napas. Droplet yang mengandung kuman
tersebut dapat bertahan di udara bersuhu kamar selama beberapa jam
(Depkes RI, 2008).
b. Pencegahan Tuberkulosis Paru
Menurut Misnadiarly (2006), mencegah penularan TBC
adalah dengan menjalankan pola hidup sehat, yaitu : 1) Menutup
mulut waktu batuk dan bersin, 2) Tidak meludah di sembarang
tempat, 3) Ventilasi rumah yang baik agar udara dan sinar matahari
masuk dalam ruangan. Tidur dan istirahat yang cukup, 4) Tidak
merokok dan minum minuman beralkohol, 5) Berolah raga teratur,
6) Meningkatkan daya tahan tubuh dengan gizi seimbang.

14

4. Patofisiologi Tuberkulosis
Sebagian besar orang yang telah terinfeksi (8090%) belum
menjadi sakit. Untuk sementara kuman yang ada dalam tubuh mereka
tersebut bisa berada dalam keadaan dormant (tidur) dan keberadaan
kuman dormant tersebut dapat diketahui hanya dengan tes tuberculin.
Mereka yang menjadi sakit disebut penderita TB, biasanya waktu
paling cepat sekitar 36 bulan setelah terjadi infeksi. Mereka yang
tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menjadi penderita
TB sepanjang sisa hidup mereka (Depkes RI, 1996, Sujudi 1996,
Asnawi 2002).
5. Riwayat Terjadinya Tuberkulosis
a. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali
dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan
terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana.
Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan
cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di
dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar
limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks
primer adalah sekitar 46 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan
dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi
positif.

15

Kelanjutan

setelah

infeksi

primer

tergantung

dari

banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan


tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun
demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persisten atau dormant. Kadangkadang daya tahan tubuh tidak
mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam
beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC.
Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai
menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
b. Tuberkulosis Pasca Primer
TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan
atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh
menurun.
6. Komplikasi Penderita TBC
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
a. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan

kematian

karena

syok

hipovolemik

atau

tersumbatnya jalan napas.


b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
c. Bronkiektasis

(pelebaran

bronkus

setempat)

dan

fibrosis

(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)


pada paru.

16

d. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps


spontan karena kerusakan jaringan paru.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang persendian,
ginjal, dan sebagainya.
Penderita TBC paru dengan kerusakan jaringan luas yang
telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah.
Keadaan ini sering kali dikelirukan kasus kambuh. Pada kasus
seperti ini pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup
diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita
harus dirujuk ke unit spesialistik (Depkes RI, 2008).
7. Gejala Klinis TBC Paru
Gejala utama pasien TBC paru adalah batuk berdahak selama 23
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu
makan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam, meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI,2007). Berat badan
menurun, kurang enak badan (Misnadiarly, 2006).
8. Diagnosa TBC Paru
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari, yaitu
sewaktu pagisewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukan kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,
penemuan

BTA

melalui

pemeriksaan

dahak

mikroskopik

merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,

17

biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang


diagnosis sesuai dengan indikasinya.
c. Tidak

benar

jika

diagnosis

hanya

ditegakan

berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan


gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi over
diagnosis.
d. Gambaran kelainan radiologi paru tidak selalu menunjukkan
aktivitas penyakit (Depkes RI, 2008).
9. Klasifikasi Pasien TBC
a. TBC Paru BTA positif.
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran TBC.
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. TBC Paru BTA negatif
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

18

4) Ditentukan

(dipertimbangkan)

oleh

dokter

untuk

diberi

pengobatan.
10. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan.

Jangan

gunakan

OAT

tunggal

(monoterapi).

Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih


menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung DOT oleh seorang PMO (Depkes RI, 2008).
11. Tahap Pengobatan Tuberkulosis
a. Tahap awal (intensif)
1) Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
b. Tahap Lanjutan
1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

19

2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister


sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
12. Perjalanan Alamiah TBC yang Tidak Diobati
Tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% dari penderita TBC
akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh
tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (WHO,
1996, Depkes RI, 2005).
13. Pengobatan Tuberkulosis Paru
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa
jenis, dalam jumlah cukup, dan dosis tepat selama 68 bulan, supaya
semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap
intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal,
sebaiknya pada saat perut kosong (Depkes RI, 2008).
a. Paduan OAT dan Tata Laksana Pengobatan
Tabel 2.1
Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

Jenis OAT

Sifat

Isoniazid (H)

Bakterisid

Rifampicin (R)

Bakterisid

Pyrazinamide (Z)

Bakterisid

Streptomycin (S)

Bakterisid

Ethambutol (E)

Bakteriostatik

Sumber : Depkes RI, 2008

Dosis yang direkomendasikan


(mg/kg)
Harian
3xseminggu
5
10
(46)
(812)
10
10
(812)
(812)
25
35
(2030)
(3040)
15
15
(1218)
(1218)
15
30
(1520)
(2035)

20

b. Efek Samping
Tabel 2.2
Efek samping ringan OAT
Efek samping
Tidak ada nafsu makan,
mual, sakit perut
Nyeri sendi
Kesemutan sampai rasa
terbakar dikaki
Warna kemerahan pada
air seni (urin)

Penyebab
Rifampicin

Penatalaksanaan
Semua OAT diminum
malam sebelum tidur
Beri aspirin
Beri vitamin B6 (pirydxn)
100 mg per hari
Tidak perlu diberi
apaapa, tapi perlu
penjelasan kepada pasien

Pirazinamid
INH
Rifampicin

Sumber : Depkes RI, 2008

Tabel 2.3
Efek samping berat OAT
Efek samping
Tuli
Gangguan
keseimbangan
Ikterus tanpa
penyebab lain
Bingung dan
muntahmuntah
Gangguan
penglihatan
Purpura dan
renjatan (syok)
Sumber : Depkes RI

Penyebab
Semua jenis OAT
Streptomycin
Hampir semua
OAT
Hampir semua
OAT
Etambutol

Penatalaksanaan
Ikuti petunjuk penatalaksaan
Streptomycin dihentikan ganti
dengan etambutot
Hentikan semua OAT sampai
ikterus menghilang
Hentikan semua OAT, segera
lakukan tes fungsi hati
Hentikan etambutol

Rifampicin

Hentikan rifampicin

B. Keadaan dan Masalah Tuberkulosis Paru Saat Ini


Menurut Depkes RI tahun 2007, munculnya pandemi HIV/AIDS di
dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan
meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama,
kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB multidrug resistence
(MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil

21

disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan


terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.
Selain MDR TBC yang telah terjadi selama ini, ternyata kita juga
mulai dihadapkan pada keadaan yang disebut extensively drugresistent
(XDR) TBC. XDR TBC disebabkan oleh strain Mycobacterium
tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampicin (MDR TBC)
ditambah dengan fluorokuinolon dan sekurangkurangnya salah satu obat:
kapreomicin, kanamisin, dan amikasin. TBC XDR juga merupakan
masalah akibat pengobatan pasien dengan HIV karena sebagian besar
pasien HIV diduga menderita TBC juga (Prasenohadi, 2008).

C. Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru di Indonesia


Penanggulangan TBC Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah
perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit
Paru (BP4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional
melalui Puskesmas. Obat anti TBC (OAT) yang digunakan adalah panduan
standar INH, Para Amino Acid (PAS), dan Streptomycin selama satu
sampai dua tahun. PAS kemudian diganti dengan pirazinamid. Sejak 1977
mulai digunakan panduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH,
Rifampicin, dan Ethambutol selama 6 bulan.
Sejak tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai
melaksanakan strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas secara
bertahap. Sampai tahun 2000, hampir seluruh Puskesmas telah komitmen

22

dan melaksanakan strategi DOTS yang diintegrasikan dalam pelayanan


kesehatan dasar (Depkes RI, 2007).

D. Konsep Perilaku dan Perilaku Kepatuhan Berobat Tuberkulosis Paru


1. Konsep Perilaku
Menurut Suryani (2003) yang dikutip dari Machfoedz (2007),
perilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi dari hubungan dengan
lingkungannya. Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003)
dikutip dari Machfoed (2007), menegaskan bahwa perilaku itu
merupakan respons atau reaksi orang terhadap rangsangan atau stimulus
dari luar. Menurut Fishben dan Ajzen (1975), perilaku seseorang
ditentukan oleh niatnya untuk melakukan perilaku itu, dan niat itu
sendiri ditentukan oleh sikap seseorang yaitu perasaan suka atau tidak
suka seseorang terhadap suatu objek atau benda, tindakan atau
peristiwa. Sikap seseorang juga ditentukan oleh kepercayaan terhadap
hasil dari melakukan perilaku itu (Asnawi, 2002).
Notoatmodjo (2007), menyimpulkan bahwa perilaku kesehatan
adalah suatu respons organism (seseorang) terhadap stimulus atau objek
yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, dan minuman, serta lingkungan.
Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa
kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor
perilaku, (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (nonbehaviour

23

causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari


3 faktor.
a. Faktorfaktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilainilai, dan
sebagainya.
b. Faktorfaktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas
atau saranasarana kesehatan.
c. Faktor faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud
dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
2. Konsep perilaku kepatuhan.
Sackett (1976) dikutip dari Niven, (2000), kepatuhan adalah
sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan
oleh profesional kesehatan.
Safarino
mendefinisikan

(1990)

seperti

kepatuhan

(atau

dikutip

dalam

ketaatan)

Smet

(1994)

(compliance

atau

adherence) sebagai : Tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan


dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain.
Menurut Haynes (1979) dalam Murtiwi (2005) compliance (kepatuhan)
dapat didefinisikan secara sederhana sebagai perluasan perilaku
individu yang berhubungan dengan minum obat, mengikuti diet dan
mengubah gaya hidup yang sesuai dengan petunjuk medis.

24

La Greca & Stone (1985) dalam Smet (1994), menyatakan


bahwa mentaati rekomendasi pengobatan yang dianjurkan dokter
merupakan masalah yang sangat penting. Tingkat ketidaktaatan terbukti
cukup tinggi dalam seluruh populasi medis yang kronis. Safarino
(1990) mengatakan bahwa tingkat ketaatan keseluruhan adalah 60%.
3. Kepatuhan Penderita TBC terhadap pengobatan
Kepatuhan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kesembuhan disamping faktor individu, komunitas, strategi pengobatan,
infeksi HIV, dan keadaan khusus merokok, alkohol, tunawisma
(Masniari, 2007).
Perilaku kepatuhan berobat TBC paru merupakan perilaku
promosi kesehatan individu. Perubahan perilaku seseorang dipengaruhi
oleh pengetahuan tentang TBC paru, sikap individu terhadap TBC paru,
persepsi manfaat dan hambatan terhadap pengobatan TBC paru,
persepsi selfefficacy atau kemampuan individu untuk menentukan
dirinya sendiri, termasuk berobat atas kemauan sendiri dan tetap
melanjutkan pengobatan walau ada keluhan merasa mual atau pusing
akibat pengobatan merupakan penguat untuk tetap patuh minum obat
TBC paru (Fleschhacker, 2003; Gielen, 1997; Pender, 2002; Murtiwi,
2005).
Menurut Becker & Kyngas (2000) dalam Murtiwi (2005),
kepatuhan dalam pengobatan TBC paru merupakan perilaku peran sakit
(the sick role behavior), yaitu tindakan atau kegiatan yang dilakukan
pasien agar dapat sembuh dari penyakit. Kepatuhan dalam menjalankan

25

aturan pengobatan (medical regimen) bagi pasien TBC paru sangat


penting untuk mencapai kesembuhan yang optimal, sehingga penularan
kepada masyarakat dapat dihindari. Sedangkan kepatuhan dalam
pengobatan TBC menurut Ditjen P2MPL tahun 2001 adalah
keteraturan pasien TBC dalam mengikuti tata cara tahapan proses
pengobatan. Tata cara tahapan proses pengobatan didasarkan aturan
(regimen)

pengobatan

yang

ditetapkan

dalam

buku

petunjuk

pengobatan ke dalam kategori patuh dan tidak patuh (Murtiwi, 2005).


Ketidakpatuhan berobat mengakibatkan penderita TB dapat
kambuh dengan kuman yang resisten terhadap OAT, sehingga menjadi
sumber penularan kuman resisten dan gagal pengobatan. Hal itu
mengakibatkan pengobatan ulang TB lebih sulit, waktu pengobatan
lebih lama dan dana yang dikeluarkan lebih besar. Kepatuhan penderita
TB untuk berobat teratur sulit diprediksi dan dipertahankan dengan
bertambahnya waktu (Amril, 2003).
4. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat
a. Tingkat pendidikan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha pengajaran dan latihan
(KBBI, 1988). Sedangkan menurut

Asnawi

(2002) tingkat

pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal terakhir yang


pernah diikuti seseorang sampai didiagnosis TB paru (Asnawi,
2002). Pendidikan merupakan faktor yang berhubungan erat dengan
kepatuhan seseorang menjalani pengobatan teratur. Makin tinggi

26

tingkat pendidikannya semakin menyadari pentingnya hidup sehat.


Oleh karena itu seseorang yang berpendidikan akan lebih patuh
berobat secara teratur dibandingkan orang yang berpendidikan
rendah. Orang yang berpendidikan rendah tidak akan menyadari
dampak dari penyakit sehingga cenderung untuk mengabaikan
kepatuhan (Daud, 2001).
Zubair (1980) dalam Daud (2001) mengatakan bahwa
rendahnya pendidikan dari sebagian besar pasien menyebabkan
kurangnya

pengertian

pasien

terhadap

penyakit

berbahaya,

berkurang atau hilangnya gejala penyakit sudah merupakan ukuran


kesembuhan bagi pasien. Oleh karena itu kesamaan persepsi,
pengulangan dan penekanan pada pasien yang dianggap penting
untuk diketahui pasien perlu mendapat perhatian, agar tercapai
tujuan yang optimal.
b. Pengetahuan
Menurut Kurnia (2002) dalam Purwanto (2007) pengetahuan
adalah suatu ilmu tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metodemetode tertentu yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejalagejala tertentu dibidang pengetahuan itu.
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan merupakan hasil
dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

27

rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh


melalui mata dan telinga.
Basar N (1989) dalam Misnadiarly (1994), menyimpulkan
halhal yang mempengaruhi keteraturan berobat TB paru antara lain:
pengetahuan responden mengenai penyebab, cara penularan dan
gejala dini yang masih rendah.
Daud (2001), menyatakan pengetahuan penderita TB paru
erat kaitannya dengan kepatuhan berobat. Suliha (1991) dalam
Hamdi (2001) menyatakan bahwa pengetahuan berpengaruh
terhadap perilaku kepatuhan datang berobat, sikap jawaban setuju
mengambil obat ke sarana pelayanan kesehatan sesuai ketentuan,
cenderung penderita tidak pernah berobat. Sedangkan menurut
Niven (2007), mengatakan bahwa seseorang dapat tidak mematuhi
suatu instruksi karena kesalahpahamannya terhadap instruksi yang
diberikan.
Aditama (2000), mengatakan bahwa pengetahuan penderita
tentang penyakit TB paru masih kurang memadai. Masih cukup
banyak penderita menjawab penyakit TB paru disebabkan pikiran
dan turunan, juga ada yang menyatakan bahwa penyakit ini menular
melalui makanan dan minuman.
Pengetahuan tentang TBC paru dapat menimbulkan persepsi
ancaman sakit TBC paru, sehingga individu akan melakukan
perilaku sehat dan mempertahankan dengan mematuhi program

28

pengobatan (Fleischhacker, 2003, Gielen 1997, Pender, 2002,


Murtiwi, 2005).
c. Efek Samping
Efek samping adalah keluhan yang dirasakan penderita akibat
efek samping obat anti TB dan atau keluhan tersebut telah ada
sebelum menjalani pengobatan dan bertambah berat selama
menjalani pengobatan (Asnawi, 2002). Sedangkan menurut Hinchliff
efek samping adalah setiap perubahan fisiologi yang tidak
dikehendaki sebagai akibat dari penggunaan obat. Istilah efek
samping juga meliputi berbagai reaksi obat yang tidak dikehendaki.
Safarino

(1990)

dalam

Asnawi

(2002),

mengatakan

ketidakpatuhan dalam menelan obat dapat menurunkan efek samping


obat, ini dapat diartikan ketidakpatuhan dalam menelan obat bisa
berawal dari adanya efek samping obat yang dirasakan. Sementara
PPTI (1995) dalam Asnawi (2002), menyebutkan tingginya dosis
pemakaian obat menyebabkan penderita TB paru berkurang atau
hilang kepatuhannya, karena efek samping yang ditimbulkannya.
Menurut WHO (2000) Hamdi (2001), efek samping akibat
pengobatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kepatuhan

selain

kompleksitas

regimen

pengobatan,

durasi

pengobatan, kegagalan pengobatan sebelumnya, toksisitas, dan


sebagainya.

Sebagian

besar

penderita

dapat

menyelesaikan

pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat


mengalami efek samping. Oleh karena itu, pemantauan kemungkinan

29

efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.


Pemantauan ini dapat dilakukan dengan cara menjelaskan kepada
penderita tandatanda efek samping pada waktu penderita
mengambil OAT.
Rasyid (1992) dalam Asnawi (2002), menyatakan bahwa
pemakaian obat anti TB yang berbulanbulan dapat menimbulkan
efek samping obat. Hal yang sama dikemukakan oleh Nawas (1992)
yang mengatakan bahwa efek samping obat dapat saja terjadi pada
setiap penderita dan penanganannya tergantung pada efek yang
ditimbulkan, dapat berhenti berobat, dapat terus minum obat dengan
pemberian obat simptomatik (Asnawi, 2002).
d. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus
atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi
yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baiktidak baik, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2005, Susanti, 2008).
Sikap adalah pandangan seseorang tentang suatu hal atau
obyek yang sebelumnya tidak didapat informasikan. Sikap seseorang
menggambarkan suka atau tidak suka seseorang mengenai obyek
yang sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain
(Sutisna, 1993, Purwanto, 2002). Sedangkan menurut Notoatmodjo
(2007), sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup
dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.

30

Suliha (1990) dalam Marzuki (2002), menyatakan bahwa


penderita yang sikapnya negatif terhadap pengobatan TB paru akan
tidak patuh berobat sesuai dengan lama masa pengobatan. Terjadinya
sikap positif dan negatif terhadap kepatuhan berobat kemungkinan
dipengaruhi oleh faktor lain seperti umur, pendidikan, jenis kelamin,
pekerjaan, jarak transportasi, ketersediaan obat, waktu dan dukungan
keluarga.
e. Jarak
Jarak adalah angka yang menunjukkan seberapa jauh suatu
benda dengan benda lainnya melalui suatu lintasan tertentu.
Nadjib.M (1999) dalam Asnawi (2002), mengatakan jarak
dari tempat tinggal ke fasilitas pelayanan kesehatan juga merupakan
faktor penentu lain untuk aksesibilitas pelayanan kesehatan. Dalam
penelitiannya di Jawa Tengah, akses ke pelayanan kesehatan hanya
dijangkau penduduk yang bertempat tinggal kurang dari 3 km,
sedangkan penduduk yang tinggal jauh tidak dapat memanfaatkan
pelayanan yang ada.
f. Sarana Transportasi
Sarana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988)
adalah segala sesuatu dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai
maksud

dan

tujuan.

Sedangkan

transportasi

merupakan

pengangkutan barang oleh berbagai jenis kendaraan sesuai dengan


kemajuan teknologi. Jadi dapat dikatakan sarana transportasi adalah

31

segala jenis kendaraan yang digunakan sebagai alat dalam mencapai


maksud dan tujuan.
Menurut

Sarwono

(1993)

dalam

Marzuki

(2000)

menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi


pencapaian

kesehatan

individu/masyarakat

adalah

faktor

keterjangkauan sarana pelayanan kesehatan. Disini dinyatakan


bahwa sarana transportasi bukan merupakan faktor penghambat
dalam kepatuhan berobat TB paru.
g. Biaya Transportasi
Menurut Jajal (2000) dalam Asnawi (2002), salah satu faktor
yang berhubungan dengan kepatuhan berobat TB paru adalah biaya
transportasi. Keterjangkauan biaya adalah persepsi penderita
terhadap mahal atau murahnya biaya yang dikeluarkan untuk
transportasi dari rumah penderita ke pelayanan kesehatan (Oesman,
2000).
h. Peran PMO
PMO adalah orang pertama yang selalu berhubungan dengan
pasien sehubungan pengobatannya. PMO yang mengingatkan untuk
minum obat, mengawasi sewaktu menelan obat, membawa pasien ke
dokter untuk control berkala, dan menolong pada saat ada efek
samping (Depkes RI, 2005, Murtiwi, 2005).
Sesuai dengan strategi DOTS, setiap pasien yang baru
ditemukan dan mendapatkan pengobatan harus diawasi menelan
obatnya setiap hari agar terjamin kesembuhan, tercegah dari

32

kekebalan obat atau resistensi. Sebelum pengobatan pertama kali


dimulai, pasien dan PMO harus diberi penyuluhan secara singkat
tentang perlunya pengawasan menelan obat setiap hari. Penyuluhan
tersebut meliputi gejalagejala TBC, tandatanda efek samping
obat, dan mengetahui cara mengatasi bila ada efek samping, cara
merujuknya, kegunaan pemeriksaan sputum ulang, serta cara
memberi penyuluhan TBC (WHO, 1998, Murtiwi, 2005).
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT
jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin
kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT) oleh seorang PMO yang sebaiknnya datang dari masyarakat,
bukan kalangan kesehatan yang jumlahnya terbatas (Aditama, 2000).
PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK,
atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Depkes RI,
2006).
Persyaratan PMO: 1) seseorang yang dikenal, dipercaya, dan
disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu
harus disegani dan dihormati oleh penderita. 2) seseorang yang
tinggal dekat dengan penderita. 3) bersedia membantu penderita
dengan sukarela. 4) bersedia untuk dilatih dan atau mendapat
penyuluhan bersamasama dengan penderita (Depkes RI, 2005).
Tugas seorang PMO: 1) Mengawasi penderita TBC agar
menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. 2) Memberi
dorongan

kepada

penderita

agar

mau

berobat

teratur.

3)

33

Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang


telah ditentukan. 4) Memberi penyuluhan kepada anggota keluarga
penderita TBC yang mempunyai gejalagejala tersangka TBC untuk
segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan (Depkes RI,
2005).
Penilaian sikap PMO oleh penderita sangat dipengaruhi oleh
status PMO itu berasal dari keluarganya atau PMO itu seorang
petugas kesehatan Puskesmas. PMO yang berasal dari keluarganya
sendiri lebih banyak mempunyai waktu untuk memantau/mengawasi
penderita pada saat minum obat, sedangkan PMO petugas lebih
sering tidak mengawasi penderita minum obat (Iriyanto, 2001).
i. Peran Keluarga
Niven (2000), mengatakan bahwa keluarga dapat menjadi
faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan
nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan program
pengobatan yang dapat mereka terima. Sedangkan Bambang T.
(1990) dalam Misnadiarly (1994), mengemukakan bahwa keluarga
dapat merupakan faktor pendukung atau penghambat untuk penderita
teratur berobat sampai sembuh (Daud, 2001).
Penilaian sikap keluarga oleh penderita merupakan faktor
penguat

untuk

tetap

berperilaku

patuh

dalam

menjalankan

pengobatan, dimana sikap keluarga merupakan motivasi untuk


mendorong

penderita

dalam

melakukan

pengobatan

sangat

34

mendukung perilaku kepatuhan berobat penderita demi kesembuhan


penyakitnya (Iriyanto, 2001).

E. Kerangka Teoritis
Faktor predisposisi :
Pengetahuan
Keyakinan
Sikap
Persepsi
Demografi
Faktor pemungkin :
Ketersediaan sumber daya
kesehatan
Prioritas & komitmen
masyarakat/ pemerintah
terhadap kesehatan
Keterampilan
yang
berkaitan
dengan
kesehatan

Masalah
perilaku
spesifik

Faktor penguat :
Keluarga
Petugas kesehatan
Petugas lain
Kelompok refenensi dari
perilaku masyarakat

Bagan 2.1
Teori Perilaku L.Green (1980) dalam Asnawi (2002)
Pada teori model Green (1980), dapat dilihat timbulnya perilaku individu
disebabkan oleh tiga faktor. Ketiga faktor tersebut dikelompokkan dalam :
faktor predisposisi, faktor pemungkin, faktor penguat.
Faktor predisposisi merupakan faktor antesenden terhadap perilaku
yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku. Yang termasuk ke dalam

35

faktor ini adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, dan nilai. Faktor


pemungkin adalah faktor anteseden terhadap perilaku yang memungkinkan
suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk di dalamnya
keterampilan dan sumber daya pribadi di samping sumber daya komuniti.
yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya
fasilitasfasilitas

atau

saranasarana

kesehatan.

Faktor

penguat

merupakan faktor penyerta (yang datang sesudah) perilaku yang


memberikan ganjaran, insentif, atau hukuman perilaku dan berperan bagi
menetap atau lenyapnya perilaku itu. Yang termasuk faktor ini adalah
sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

36

BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan dan tinjauan pustaka
maka perilaku kepatuhan berobat penderita TB paru dapat dijelaskan
melalui pendekatan teori perilaku yang dikemukakan oleh Laurence W.
Green (1980, Notoatmodjo 2007).

B. Variabel Dependen
Kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis paru di Klinik
JRC/PPTI Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan Tahun 2009.

C. Variabel Independen
Variabel independen pada penelitian ini terdiri dari: faktor
predisposisi (tingkat pendidikan, pengetahuan tentang penyakit Tb paru,
sikap penderita, efek samping obat), faktor pemungkin (jarak klinik JRC
dari tempat tinggal, sarana transportasi, biaya transportasi), faktor
pendukung (peran PMO, peran keluarga, penyuluhan).

37

Variabel Independen

Variabel Dependen

Faktor Predisposisi:
Tingkat pendidikan
Pengetahuan
Sikap penderita
Efek samping obat
Faktor pendukung:
Jarak klinik JRC dari
tempat tinggal
Sarana transportasi
Biaya transportasi

Kepatuhan
berobat
penderita Tb
paru

Faktor pendorong:
Peran PMO
Peran keluarga
penyuluhan

Bagan 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesis
1. Ada hubungan antara faktor predisposisi (tingkat pendidikan,
pengetahuan tentang TBC, sikap penderita, efek samping obat) dengan
kepatuhan berobat penderita tuberculosis paru di klinik JRC PPTI
Kebayoran Lama.
2. Ada hubungan antara faktor pendukung (jarak klinik JRC dari tempat
tinggal, ketersediaan alat transportasi, biaya transportasi) dengan
kepatuhan berobat penderita TBC paru di Klinik JRC PPT Kebayoran
lama.

38

3. Ada hubungan antara faktor pendorong (peran PMO, peran keluarga,


penyuluhan langsung perorangan) dengan kepatuhan berobat penderita
TBC paru di Klnik JRC/PPTI Kebayoran Lama.

39

E. Definisi Operasional
N
o
1.

Variabel
Kepatuhan

Definisi

Alat ukur

Cara ukur

Perilaku penderita

Kuesioner

Mengisi

TB paru dalam hal

Pertanyaan B

kuesioner

keteraturan minum

No. 1-3

Hasil ukur
0. Patuh: jika

Skala
Ordinal

responden tidak
terlambat

obat dan

mengambil obat,

pemeriksaan dahak

tidak terlambat
meminuml obat,
tidak terlambat
melakukan
pemeriksaan
dahak ulang dalam
minggu terakhir
bulan ke 2/3 pada
fase intensif.
1. Tidak patuh : jika
pasien pernah
terlambat
mengambil obat,
atau pernah
terlambat
meminum obat,
atau tidak
memeriksakan
dahak ulang pada
minggu terakhir
bulan ke 2 (fase
intensif)
Skala Gutman

2.

Tingkat

Jenjang sekolah

Kuesioner

Mengisi

pendidikan

formal tertinggi

Pertanyaan A kuesioner

0. Rendah (tamat
SMP ke bawah)

Ordinal

40

yang pernah

No.5

1. Tinggi

ditamatkan saat

(tamat SMA ke

didiagnosis sebagai

atas)

penderita TBC paru


3

Pengetahuan Gambaran

Kuesioner

pemahaman
reponden terhadap
penyakit TBC

Mengisi

0. Rendah < 6

kuesioner

1. Tinggi 6

Mengisi

0. Kurang baik (bila

Ordinal

Pertanyaan C
no. 1-8

meliputi
tandatanda sakit
dan penyebab.
4

Sikap

Tanggapan

Kuesioner

penderita

responden terhadap

Pertanyaan D kuesioner

TB paru dan

no. 1-9

skor < 36)


1. Baik (bila skor

pengobatan TB

36)

paru

5.

Jarak

Ordinal

(Skala likert)

Persepsi klien

Kuesioner

Mengisi

mengenai ukuran

Pertanyaan A kuesioner

yang ditempuh dari

No. 6

0. Jauh

Ordinal

1. Dekat

tempat tinggal ke
klinik.
6.

Sarana

Sarana

Kuesioner

Mengisi

0.

transportasi

pengangkutan yang

Pertanyaan A kuesioner

menggunakan

digunakan untuk

No. 7

kendaraan

mencapai klinik

Tidak

Ordinal

bermotor

JRC

1.

Kendaraan tidak
bermotor

7.

Biaya

Jumlah dana yang

Kuesioner

dikeluarkan untuk

Pertanyaan A kuesioner

mencapai klinik

No.8

JRC

Mengisi

0. Mahal (bila biaya


Rp 5000)
1. Murah (bila biaya
< Rp 5000)

Ordinal

41

(Hamdi, 2001)
8.

Efek

Gejala atau

Kuesioner

Mengisi

samping

tandatanda yang

Pertanyaan A kuesioner

obat

timbul

No. 10

0. Ada efek samping

Ordinal

1. Tidak ada efek


samping

selama/setelah
minum obat TB
9.

Peran PMO

Pendapat

Kuesioner

Mengisi

responden terhadap

Pertanyaan E

kuesioner

pelaksanaan PMO

No 1-4

median 16
16

Peran

Pendapat

Kuesioner

Mengisi

Kurang baik: < 12

keluarga

responden terhadap

Pertanyaan F

kuesioner

Baik: jika skor

peran yang

No. 1-3

12

Kegiatan

Kuesioner

0. tidak pernah

menjelaskan TB

pertaanyaan

1. pernah

kepada penderita.

A no. 9

diberikan keluarga
dekat selama
pengobatan.
12

Penyuluhan

Ordinal

1. Baik: jika skor

sesuai tugasnya
10

0. Kurang baik : <

Ordinal

42

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kuantitatif menggunakan rancangan
Cross Sectional dimana pengukuran variabel independen dan dependen
(kepatuhan berobat pasien TB paru) dilakukan secara bersamasama pada
saat penelitian.

B. Lokasi dan waktu penelitian


Sebelum penelitian dilaksanakan dilakukan uji coba di Klinik PPTI
Baladewa, Jl. Baladewa no.34 Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat, pada
awal bulan Juli 2009 dengan jumlah sampel sebanyak 30 sampel.
Penelitian yang sebenarnya dilakukan di Klinik JRC/PPTI
Kebayoran Lama Jakarta Selatan pada bulan September-November 2009
dengan jumlah sampel sebanyak 128 orang.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau
subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiono, 1998, Setiadi, 2007).

43

Populasi dalam penelitian ini merupakan populasi yang terbatas


karena mempunyai karakteristik tertentu yaitu penderita Tb paru yang
berobat di klinik JRC/PPTI Kebayoran Lama

yang didiagnosa

menderita TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan jangka


pendek dengan kategori 1 berumur 15 tahun dan telah selesai
mengikuti/melaksanakan pengobatan fase intensif mulai bulan April
sampai bulan Agustus 2009 di Klinik JRC Jl. Sultan Iskandar Muda
no.66A, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sugiono, 1998, Setiadi, 2007). Sampel
penelitian ini merupakan penderita TBC paru BTA positif yang sudah
selesai menjalani pengobatan fase intensif di klinik JRC dari bulan
Desember 2008 sampai bulan April 2009, dengan harapan pasien sudah
pernah menjalani pengobatan. Teknik yang digunakan peneliti dalam
pengambilan sampel pada penelitian ini adalah accidental.
3. Kriteria Sampel
a. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi dan studi karena berbagai sebab:
1) Pasien Tb ekstra paru
2) Pasien Tb Paru BTA negatif.
3) Wanita hamil dan menyusui.
4) Pasien dengan gangguan fungsi hati.

44

5) Pasien masih menjalani fase intensif


b. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari
suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam,
2008).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
Penderita TB Paru BTA positif yang berobat di Klinik JRC dan
telah menyelesaikan pengobatan fase intensif .
Pasien Tb paru yang telah menyelesaikan pengobatan fase
intensif yang berusia 15 tahun.
Bisa membaca dan menulis.
Bersedia untuk menjadi responden
Kooperatif.
4. Besar Sampel
Penghitungan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus
uji hipotesis beda dua proporsi dari Lameshow, WHO :

Keterangan :
n

= jumlah sampel
= 1,96 (Derajat kemaknaan 95% Confidence Interval (CI)
dengan () sebesar 5%)
= 0,84 (Kekuatan Uji 80%)

45

P1

= 0.87 (Proporsi distribusi kepatuhan berobat pasien TB paru


menurut peran PMO berdasarkan penelitian Chomisah di RSUP
Dr.Moehammad Hoesin Palembang tahun 2001)

P2

= P122% (0,870,22=0,65) proporsi distribusi kepatuhan berobat


pasien tb paru menurut peran PMO berdasarkan penelitian
Chomisah di RSUP Dr.Moehammad Hoesin dengan perbedaan
20% dari proporsi awal

= (P1+P2)/2 (0,87+0,65)/2 = 0,76


Setelah dilakukan penghitungan maka didapat n (sampel) = 58

responden. Selanjutnya hasil sampel dikalikan dua, untuk data


menggambarkan sampel yang patuh dan sampel yang tidak patuh. Maka
jumlah sampel adalah 58 X 2 = 116 responden. Dan dikalikan 10%
untuk mengantisipasi adanya kemungkinan hilangnya data atau
ketidaklengkapan pengisian kuesioner, 116 X 10%= 11,6. Maka total
sampel dalam penelitian adalah 116 + 11,6 = 127,6 128.

D. Cara Pengumpulan Data


1. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan atau
menyebarkan kuesioner yang diisi oleh responden. Adapun data primer
yang dibutuhkan yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan berobat pasien TB paru yang terdiri dari : pengetahuan,
pendidikan, sikap penderita, efek samping obat, jarak, transportasi,
biaya kendaraan, peran PMO, peran keluarga, sikap petugas,

46

penyuluhan. Kuesioner berisi tentang data demografi responden dan


pertanyaan tentang kepatuhan berobat.
Setelah tersusun instrumen penelitian, peneliti melakukan uji coba
dengan tujuan apakah pertanyaan angket/kuesioner dapat dimengerti
oleh responden untuk menghindari bias dalam penelitian. Untuk menilai
reliabelitas dilakukan uji coba terhadap 30 penderia TB paru, kemudian
dilakukan revisi untuk mendapatkan instumen yang lebih baik sehingga
dapat dianggap layak digunakan dalam penelitian. Uji coba dilakukandi
Klinik PPTI Baladewa, Jakarta Pusat.

Jawaban pertanyaan yang

diberikan dengan menggunakan skala Likert positif dan negatif yang


terdiri dari llima jawaban pilihan yaitu : SS; sangat setuju (nilai lima),
S; setuju (nilai empat), R ; ragu-ragu (nilai tiga), TS; tidak setuju (nilai
dua), STS; sangat tidak setuju (nilai satu). Serta jawaban pertanyaan
yang diberikan denganmenggunakan skala gutsman; Ya (nilai 1) dan
tidak (nilai 0).
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari catatan medik penderita tuberculosis
paru April Agustus 2009. Data sekunder digunakan untuk mengetahui
sejak kapan pasien berobat. dan untuk mengindari bias pertanyaan
kepatuhan.

E. Pengolahan Data
Dalam proses pengolahan data peneliti menggunakan langkah
langkah pengolahan data diantaranya:

47

1. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data
yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
2. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numeric (angka)
terhadap data yang terdiri dari beberapa kategori. Pemberian kode ini
sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan
komputer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode
dan artinya dalam satu buku (code book) untuk memudahkan kembali
melihat lokasi dan arti suatu kode.
3. Entry data
Data entri adalah kegiatan memasukkan data yang telah
dikumpulkan ke dalam master tabel atau data base computer,
kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa dengan
membuat tabel kontingensi.

F. Analisa Data
1. Analisa Univariat
Analisa univariat imaksudkan untuk mengetahui distribusi
frekuensi dari variabelvariabel yang iteliti. Analisa univariat ini untuk
melihat karakteristik dan kualitas setiap variael dengan tujuan melihat
kelayakan data dan gambaran data yang dikumpulkan.

48

2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara dua
variabel yaitu variabel independen dengan vriabel dependen. Dalam hal
ini variabel independen adalah faktor predispsisi, faktor pemungkin,
faktor pendorong serta variabel dependennya adalah peilaku kepatuhan
berobat. Untuk membuktikan adanya hubungan antara dua varabel
tersebut digunakan uji statistik Chi Square dengan batas kemaknaan
0,05.Apabila nilai P< 0,05 maka hasil perhitungan statistik bermakna
dan apabila nlai P> 0,05 maka hasil perhitungan statistik tidak
bermakna. Analisis ini akan enggunakan software statistik

49

BAB V
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis


Indonesia (PPTI)
1. Sejarah PPTI
PPTI didirikan pada tanggal 20 Mei 1968 di Jakarta.
Pembentukan PPTI diprakarsai oleh Menteri Kesehatan Prof. Dr. G.
A. Siwabessy, Menteri Sosial Bapak Tambunan dan Menteri Dalam
Negeri Bapak Basuki Rahmat, dengan maksud menggerakan peran
serta masyarakat dan sebagai pendamping pemerintah dalam
memberantas penyakit TB paru yang merupakan masalah kesehatan
masyarakat Indonesia.
PPTI adalah organisasi lembaga swadaya masyarakat yang
bersifat sosial kemasyarakatan, dengan status Badan Hukum yang
dilengkapi pula dengan Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah
Tangga yang disyahkan Departemen Kehakiman. Dan menjadi
anggota International Union Againts Tuberculosis And Lung Disease
(IUALTD) pada tahun 1972.
PPTI bertujuan mewujudkan masyarakat sehat sejahtera,
sedang tugas pokoknya mencakup kegiatan-kegiatan penyuluhan dan
penanggulangan pemberantasan TB serta penyakit paru lainnya.
Saat ini PPTI memiliki 8 buah Klinik yang tersebar di Jawa,
Sumatra, Kalimantan dan DKI Jakarta yang dapat memberikan

50

pelayanan pengobatan TB kepada masyarakat di sekitarnya.


Klinik-klinik PPTI tersebut ada di Medan, Jambi, DKI Jakarta
(Arteri Pondok Indah, Jl. Baladewa dan Muara Angke), Bandung,
Semarang, Bantul, Palangka Raya, dan Makasar.
WHO telah mencanangkan penerapan DOTS sebagai global
strategi dan pemerintah telah memperkenalkan penggunaan strategi
DOTS sebagai pendekatan yang efektif dan efisien. PPTI sebagai
mitra pemerintah turut berperan serta mensukseskan strategi DOTS
di seluruh klinik PPTI.
2. Garis Besar Kegiatan PPTI
a. Memberikan penyuluhan dan informasi kepada masyarakat
tentang kesehatan pada umumnya, khususnya tentang penyakit
TB, pencegahan dan pengobatannya.
b.

Melatih kelompok masyarakat tertentu untuk dapat menjadi


kader penyuluh TB, serta kegiatan/ orang lain untuk bersedia
menjadi PMO. Melaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan keluarga penerita TB yang kurang
mampu memberdayakan keluarga penderita TB.

c.

Menyelenggarakan dan mengembangkan klinik-klinik PPTI


yang mampu mengobati penderita TB dengan strategi DOTS dan
kelak diharapkan menjadi Pusat Rujukann TB untuk sekitarnya.

d.

Mencari dana dan usaha lain yang halal dan tidak mengikat
kepada

masyarakat

dalam

melaksanakan misi PPTI

maupun

luar

negeri

untuk

51

3. Rencana Kerja PPTI 2009


a. Memperkuat dan mengembangkan organisai serta meningkatkan
fungsinya dan tugas pokoknya.
b. Mendukung program jaringan DOTS di Rumah Sakit melalui
Komite DOTS.
c. Meningkatkan kerja sama dengan LSM peduli TB lainnya.
d. Menyiapkan

klinik-klinik

PPTI

dalam

mengantisipasi

berkembangnya TB-HIV, MDR dan XDR.


e. Membantu

pemerintah

meningkatkan

angka

penemuan

penderita TB dan menurulnkan angka putus obat.

B. Klinik Pusat Penyakit Pernapasan (JRC)


PPTI adalah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat sosial
kemasyarakatan,

sebagai

mitra

pemerintah

khususnya

dalam

penanggulangan penyakit TB dan penyakit pernapasan telah didirikan


gedung Jakarta Respiratory Center yang berlokasi di Jl. Sultan Iskandar
Muda No. 66 A Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan.
JRC merupakan sarana kesehatan rawat jalan yang memberikan
pelayanan kesehatan dalam bidang pernapasan serta mengantisipasi
pencegahan resiko terkena penyakit pernapasan dengan pelayanan sbb:
1. Pencegahan primer dan sekunder terhadap penyakit paru dan
pernapasan.
2. Deteksi dini terhadap kemungkinan adanya gangguan penyakit
pernapasan.

52

3. Diagnosis tepat pada semua penyakit pernapasan.


4. Pengobatan rasional yang mengacu pada asas efektif dan efisien.
5. Rehabilitasi medik pada penyakit kronis.

B. Analisa Univariat
1. Jenis Kelamin
Tabel 5.1 menunjukkan distribusi jenis kelamin responden.
Berdasarkan analisa data, jenis kelamin perempuan sebanyak 62,5% lebih
besar dibanding jenis kelamin lak-laki (37,5%).

Tabel 5.1
Distribusi frekuensi menurut jenis kelamin responden di Klinik
PPTI/JRC, Kebayoran Lama, tahun 2009
Jenis kelamin

2.

Frekuensi

Prosentase

Laki-laki

U 48

37,5

Perempuan

m 80

62,5

Umur
Berdasarkan analisa data, umur responden yang termuda pada
penelitian ini adalah 15 tahun sebanyak 0.8 % dan umur yang tertua
adalah 80 tahun sebanyak 0.8%. Pada tabel 5.2 menunjukkan distribusi
usia responden menurut BPS (2005).

53

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi responden menurut pembagian usia BPS di
Klinik PPTI Kebayoran Lama Tahun 2009

Umur (tahun)

Frekuensi
N

Persentase
(%)

15-19

10

7,8

20-24

22

17,2

25-29

26

20,3

30-34

23

18

35-39

10

7.8

40-44

12

9,4

45-49

4,7

50-54

4,7

55-59

2,3

60-64

2,3

65-69

3,1

70-74

1,6

75

0,8

3. Variabel Dependen
Tabel 5.3 menunjukkan distribusi frekuensi menurut kepatuhan
responden. Dari hasil analisa data diperoleh bahwa jumlah responden yang
patuh sebanyak 94 responden (73,4%) lebih banyak dari responden yang
tidak patuh yaitu sebanyak 34 (26,6%).
Tabel 5.3
Distribusi frekuensi responden menurut kepatuhan di Klinik
PPTI/JRC, Kebayoran Lama Utara tahun 2009.

Variabel Kepatuhan
Tidak patuh
Patuh
Total

Frekuensi

Prosentase

N
34
94
128

%
26,6
73,4
100

54

4. Faktor Predisposisi
a. Pendidikan
Tabel 5.4 menunjukkan distribusi tingkat pendidikan terakhir
responden. Berdasarkan hasipenelitian didapatkan bahwa

4.7 %

responden tidak bersekolah, 3,1 % responden tidak tamat SD, 10,9 %


tamat SD, 23.4 % tamat SMP, 43,0% responden tamat SMA, dan 14,8
responden tamat perguruan tinggi. Tabel 5.5 menunjukkan pendidikan
yang dikategorikan.

Responden dengan tingkat pendidikan dasar

sebanyak 24 responden (18,8 %), responden dengan tingkat pendidikan


menengah sebanyak 85 0rang (66,4%) dan terdapat 19 (14,8%)
responden dengan pendidikan tinggi.

Tabel 5.4
Distribusi frekuensi responden menurut tingkat pendidikan
responden di Klinik PPTI JRC
Pendidikan

Frekuensi

Prosentase

Tidak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Perguruan tinggi

6
4
14
30
55
19

4,7
3,1
10,9
23,4
43,0
14,8

Tabel 5.5
Distribusi frekuensi responden menurut pendidikan responden
yang dikategorikan di Klinik PPTI/JRC
Frekuensi

Prosentase

Pendidikan rendah

N=128
54

(%)
42,2

Pendidikan tinggi

74

57,8

Pendidikan

55

b. Pengetahuan
Pada tabel 5.6 menunjukkan distribusi frekuensi pengetahuan
responden terhadap penyakit TBC. Berdasarkan analisa data nilai skor
tertinggi pengetahuan

responden adalah 8 dan terendah adalah 2

responden. Nilai rata-rata (mean) adalah 7,01 Pada tabel 5.6 ini
menunjukkan bahwa responden dengan pengetahuan kurang baik
sebanyak 14,1% dan responden dengan pengetahuan baik sebanyak
85,9%.
Tabel 5.6
Distribusi frekuensi pengetahuan responden terhadap TB di
Klinik PPTI, Kebayoran Lama Utara
Pengetahuan
Kurang Baik
Baik

Frekuensi
18
110

Prosentase
14,1
85,9

b. Sikap Penderita
Tabel 5.7 menunjukkan distribusi sikap responden terhadap
pengobatan TB. Berdasarkan hasil analisa data skor sikap responden
terhadap pengobatan TB tertinggi adalah 35 dan terendah 22. Nilai
rata-rata (mean) adalah 28,73 dan nilai tengah (median) adalah 28.
Pada tabel 5.5 di bawah ini, menunjukan bahwa responden negatif
sebanyak 25 % dan responden dengan sikap positif 75 %.

Tabel 5.7
Disribusi frekuensi sikap responden terhadap pengobatan TB di
Klinik PPTI
Sikap
Responden
Kurang baik
Baik

Frekuensi
(N = 128)
41
87

Prosentase
(%)
32
68

Mean

28,73

Median

28

56

c. Efek Samping Obat


Tabel 5.8 menunjukkan distribusi frekuensi efek samping
responden terhadap pengobatan. Berdasarkan
responden

hasil analisa data, 83

64,8% tidak pernah mengalami efek samping dan 45

responden (35,2%) pernah mengalami efek samping.


Tabel 5.8
Distribusi frekuensi efek samping obat responden selama
pengobatan TB di Klinik

Efek samping obat


Tidak ada
Ada

Frekuensi

Prosentase

N = 128
83
45

(%)
64,8
35,2

5. Faktor Pemungkin
a.

Persepsi Jarak klinik dari tempat tinggal


Tabel 5.9 menunjukkan distribusi frekuensi persepsi jarak klinik
dari rumah responden. Penelitian ini menghasilkan bahwa 67 responden
(52,3%) berpersepsi jarak klinik dekat dari rumah responden dan 61
responden (47,7 %) berpersepsi jarak klinik jauh dari rumah responden.

Tabel 5.9
Distribusi frekuensi persepsi jarak klinik dari rumah responden di
Klinik PPTI Kebayoran Lama Utara
Frekuensi
Jarak
Jauh
Dekat

Prosentase

N= 128
67
61

(%)
52,3
47,7

b. Kendaraan yang digunakan untuk menunju ke klinik.


Tabel 5.10 menunjukkan distribusi frekuensi kendaraan yang
digunakan responden menuju klinik. Penelitian ini menunjukkan bahwa

57

16 responden (12,5%) menggunakan kendaraan tidak bermotor dan 112


responden (87,5 %) menggunakan kendaraan bermotor untuk ke klinik.
Tabel 5.10
Distribusi frekuensi kendaraan yang digunakan responden menuju
ke klinik PPTI Kebayoran Lama Utara
Kendaraan yang digunakan
untuk ke klinik
Tidak bermotor
Bermotor

Frekuensi

Prosentase

N= 128
16
112

(%)
12,5
87, 5

c. Biaya transportasi
Tabel 5.11 menunjukkan distribusi frekuensi biaya kendaraan
responden untuk menuju klinik. Berdasarkan hasil analisa data, biaya
tertingi sebesar tiga puluh ribu rupiah, dan biaya terendah nol rupiah.
Nilai tengah (median) biaya sebesar Rp 5000,00. Pada tabel 5.11
menunjukkan bahwa responden yang mengatakan biaya kendaraan
menuju ke klinik murah sebanyak 40 orang (31,3%) dan responden yang
mengatakan biaya kendaraan ke klinik mahal sebanyak 88 orang (68,8%).
Tabel 5.11
Distribusi frekuensi responden menurut biaya kendaraan ke klinik
ke Klinik PPTI tahun 2009
Biaya kendaraan ke
klinik
Murah
Mahal

Frekuensi

Prosentase

(N=128)
40
88

(%)
31,3
68,8

6. Faktor Penguat
a. Peran PMO
Tabel 5.12 menunjukkan distribusi frekuensi peran PMO
terhadap kepatuhan berobat. Dari hasil analisa data, dapat diketahui

58

skor tertinggi peran PMO 20 dan skor terendah 4. Responden


terbanyak yaitu 53 responden dengan skor 16. Nilai rata-rata (mean)
adalah 14,88 dan nilai tengah (median) adalah 16. Pada tabel 5.12 di
bawah ini menunjukkan bahwa responden dengan peran PMO buruk
sebanyak 52 responden (40,6) dan responden dengan peran PMO baik
sebanyak 76 responden (59,4).
Tabel 5.12
Distribusi frekuensi responden menurut peran PMO terhadap
kepatuhan berobat responden di Klinik PPTI
Peran PMO

Frekuensi

Prosentase

Kurang baik
Baik

N = 128
52
76

(%)
40,6
59,4

b. Peran Keluarga
Tabel 5.13 menunjukkan distribusi frekuensi responden
menurut peran keluarga. Dari analisa data diketahui skor tertinggi
adalah 15 dan skor terendah 3. Skor rata-rata peran keluarga adalah
12,19 dan nilai tengah (median) adalah 12. Responden terbanyak
yaitu 65 responden memiliki skor 12. Pada tabel 5.11 ini, responden
dengan peran keluarga kurang baik sebanyak 20 orang (15,6%) dan
responden dengan peran keluarga baik sebanyak 108 orang (84,4%)

Tabel 5.13
Distribusi frekuensi responden menurut peran keluarga di klinik
PPTI/JRC, Kebayoran Lama tahun 2009
Peran keluarga
Kurang baik
Baik

Frekuensi
N= 128
20
108

Prosentase
(%)
15,6
84,4

Mean
Median
12

12,19

59

c. Penyuluhan Petugas Kesehatan


Pada tabel 5.15 menunjukkan distribusi frekuensi responden
menurut penyuluhan. Berdasarkan analisa data responden yang
pernah mendapatkan penyuluhan sebanyak 73 responden (57%) lebih
besar dibanding responden

yang tidak pernah mendapatkan

penyuluhan (43%).
Tabel 5.15
Distribusi frekuensi responden menurut penyuluhan di klinik
PPTI, Kebayoran Lama Tahun 2009

Penyuluhan kesehatan
Tidak pernah
Pernah

Frekuensi

Persentase

(N=128)
55
73

(%)
43
57

C. Analisa Bivariat
1. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan berobat
pasien Tb paru.
Pada tabel 5.16 di bawah menunjukkan hubungan antara tingkat
pendidikan dengan kepatuhan berobat pasien TB paru. Tabel tersebut
menunjukkan prosentase responden tidak patuh dengan tingkat pendidikan
rendah dasar 29,6% lebih besar dari yang berpendidikan tinggi (24,3%).
Hasil uji kuesioner diperoleh p value 0,639 (>0,05) yang berarti tidak ada
hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan
berobat pasien TB paru. Dari hasil analisa diperoleh OR 1,310 (CI95%=
0,595-2,885)

60

Tabel 5.16
Hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan berobat
pasien TB paru di Klinik PPTI Kebayoran Lama Utara, tahun 2009
Kepatuhan Berobat
Tingkat
Pendidikan

Patuh

Tidak patuh

Dasar

38

70,4

16

29,6

Tinggi

56

75,7

18

24,3

Jumlah

94

73,4

34

26,6

OR
(95%CI)

P
value

1,310
(0,595-2,885)

0,639

2. Hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan berobat pasien TB


paru
Pada tabel 5.17 menunjukkan hubungan antara pengetahuan dengan
kepatuhan berobat pasien TB paru dimana prosentase responden yang patuh
dengan pengetahuan kurang baik sebanyak 55,6% dan responden yang
pengetahuannya baik sebanyak 76,4%. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p
0,615 (>0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara
pengetahuan dengan kepatuhan berobat pasien TB paru. Darihasil analisa
sssipero;eh nilai OR 2,585 (CI 95%= 0,924-7,229)
Tabel 5.17
Hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan berobat pasien TB
paru di Klinik PPTI Kebayoran Lama Utara, tahun 2009
KEPATUHAN BEROBAT
Pengetahuan

Patuh

Kurang baik

N
10

Baik

84

Jumlah

%
55,6
76,4

94
73,4

Tidak patuh
N
8

%
44,4

27

23,6

34

26,6

OR
(95%CI)

P
value

2,585
(0,924-7,229)

O,118

61

3. Hubungan antara sikap penderita dengan kepatuhan berobat pasien


TB paru
Pada tabel 5.18 menunjukkan hubungan antara sikap pasien dengan
kepatuhan berobat pasien TB paru. Prosentase pasien yang tidak patuh
dengan sikap kurang baik sebesar 41,5%% lebih besar dari pada responden
yang bersikap baik sebanyak 19,5%. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p
value 0,016 (< 0,05), yang berarti ada hubungan yang bermakna antara sikap
penderita dengan kepatuhan berobat. Analisa keeratan hubungan dua
variabel didapatkan OR = 2,917, artinya pasien dengan sikap yang baik
memiliki kepatuhan berobat sebesar 2,917 kali dibandingkan dengan pasien
dengan sikap kurang baik.
Tabel 5.18
Hubungan antara sikap pasien dengan kepatuhan berobat pasien TB
paru di Klinik PPTI Kebayoran Lama Utara, tahun 2009
KEPATUHAN BEROBAT
Sikap
Penderita

Patuh
N
%
4
58,5

Tidak patuh
N
%
17
41,5

Baik

70

80,5

17

19,5

Jumlah

94

73,4

34

26,6

Kurang baik

OR
(95%CI)

P
value

2,917
(1,289-6,600)

0,016

4. Hubungan antara efek samping obat dengan kepatuhan berobat pasien


TB paru.
Pada tabel 5.19 di bawah menunjukan hubungan antara efek samping
obat dengan kepatuhan berobat pasien TB paru dimana prosentase
responden tidak patuh dan tidak ada efek samping sebanyak 22,9% dan yang
ada efek samping sebanyak 33,3%. Hasil uji chi-square diperoleh p value
0,286 (>0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara, efek

62

samping obat dengan kepatuhan berobat pasien TB paru. Dari hasil analisa
data diperoleh OR 0,594 (95%CI=0,266-1,327).
Tabel 5.19
Hubungan antara efek samping obat dengan kepatuhan berobat pasien
TB paru di klinik PPTI Kebayoran Lama Utara, tahun 2009
Kepatuhan berobat
Efek Samping obat

Patuh
N
%
64
77,1

Tidak ada
Ada
Jumlah

30
94

66,7
73,4

Tidak patuh
N
%
19
22,9
33
,3
26,6

15
34

OR
(95%CI)

P
value

0,594
(0,266-1,327)

0,286

5. Hubungan antara jarak klinik PPTI dari tempat tinggal dengan


kepatuhan berobat pasien TB paru di klinik PPTI.
Pada tabel 5.20 menunjukkan hubungan antara jarak klinik dari
tempat tinggal pasien dengan kepatuhan berobat pasien TB paru. Tabel di
atas menunjukkan pasien tidak patuh dengan jarak rumah jauh sebanyak
29,9% lebih besar dari pasien yang jaraknya dekat (23%). Hasi uji chisquare diperoleh p value 0,495 yang berarti tidak ada hubungan yang
bermakna antara jarak klinik dari tempat tinggal responden dengan
kepatuhan berobat. dari hasil analisa diperoleh OR 1,429 (95%CI=0,6463,159).
Tabel 5.20
Hubungan antara jarak klinik PPTI dari tempat tinggal dengan
kepatuhan berobat pasien TB
Kepatuhan Berobat
Jarak
Jauh
Dekat
Jumlah

Patuh
N
%
47
70,1
47
94

77,1
73,4

Tidak patuh
N
%
20
29,9
14
34

23
26,6

OR
(95%CI)

P
value

1,429
(0,646-3,159)

0,495

63

6. Hubungan antara sarana transportasi dengan kepatuhan berobat


pasien TB paru
Pada tabel 5.21 menunjukkan hubungan antara sarana transportasi
yang digunakan untuk ke klinik dengan kepatuhan berobat pasien TB paru.
Tabel

tersebut

menunjukkan prosentase pasien tidak patuh

yang

menggunakan kendaraan tidak bermotor sebanyak 18,8% lebih kecil, dari


yang menggunakan kendaraan bermotor (27,7%). Hasil uji chi-square
diperoleh p value 0,650 (>0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang
bermakna antara sarana transportasi dengan kepatuhan berobat pasien TB.
Hasil analisa diperoleh OR 0,603 (95%CI=0,161-2,261)
Tabel 5.21
Hubungan antara sarana transportasi dengan kepatuhan berobat
pasien TB paru
Kepatuhan Berobat
Sarana
transportasi
Tidak Bermotor
Bermotor
Jumlah

Patuh
N
%
13
81,3
81
94

72,3
73,4

Tidak Patuh
N
%
3
18,8
31
34

27,7
26,6

OR
(95%CI)

P
value

0,603
(0.161-2,261)

0,650

7. Hubungan antara biaya transportasi dengan kepatuhan berobat


penderita TB Paru
Pada tabel 5.22 menunjukkan hubungan antara biaya kendaraan
dengan kepatuhan berobat penderita Tb paru. Tabel tersebut menunjukkan
penderita yang tidak patuh dengan mahal 27,3% lebih besar dari yang
biayanya murah ((25%). Hasil uji chi-square didapat p 0,957 (>0,05) yang
berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara biaya transportasi dengan

64

kepatuhan berobat penderita TB paru. Dari hasil analisa data diperoleh OR


0,889 (95%CI=0,378-2,092).
Tabel 5.22
Hubungan antara biaya transportasi dengan kepatuhan berobat
penderita TB paru
Kepatuhan Berobat
Biaya
transportasi
Murah

Patuh
N
%
30
75

Tidak Patuh
N
%
10
25

Mahal
Jumlah

64
94

24
34

72,7
73,4

27,3
26,6

OR
(95%CI)

P
value

0,889
(0,378-2,092)

0,957

8. Hubungan antara peran PMO dengan kepatuhan berobat pasien TB


paru.
Pada tabel 5.23 menunjukkan hubungan antara peran PMO dengan
kepatuhan berobat pasien TB paru dimana prosentase responden dengan
peran PMO kurang baik yang tidak patuh sebanyak 26,9% sedangkan yang
baik sebanyak 26,3%. Hasil uji chie-square diperoleh p value 1,0 (> 0,05)
yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara peran PMO dengan
kepatuhan berobat pasien TB paru. Dari hasil analisa diperoleh OR 1,032
(95%CI =0,465-2,290).
Tabel 5.23
Hubungan antara peran PMO dengan kepatuhan berobat pasien TB
paru di klinik PPTI
Kepatuhan Berobat
Peran PMO
Kurang baik
Baik
Jumlah

Patuh
N
38

%
73,1

Tidak patuh
N
%
14
26,9

56
94

73,7
73,4

20
34

26,3
26,6

OR

(95%CI)

Value

1,032
(0,465-2,290)

1,00

65

9. Hubungan antara peran keluarga dengan kepatuhan berobat pasien


TB paru.
Pada tabel 5.24 menunjukkan hubungan antara peran keluarga
dengan kepatuhan berobat pasien Tb paru dimana prosentase responden
dengan peran keluarga kurang baik yang tidak patuh sebanyak 20% lebih
kecil dari

yang berperan keluarga baik (27,8%). Hasil uji chi-square

diperoleh p value 0,654 (>0,05) yang beranti tidak ada hubungan yang
bermakna antara peran keluarga dengan kepatuhan berobat pasien TB paru.
Dari hasil analisa diperoleh OR 0,650 (95%CI=0,201-2,102).
Tabel 5.24
Hubungan antara peran keluarga dengan kepatuhan berobat pasien
TB paru di klinik PPTI Kebayoran Lama Utara
Kepatuhan Berobat
Peran
keluarga
Kurang baik
Baik
Jumlah

Patuh
N
%
16
80

Tidak
Npatuh%
4
20

78
94

30
34

72,2
73,4

27,8
26,6

OR
(95%CI)

P
Valu
e

0,650
(0,201-2,102)

0,654

10. Hubungan antara penyuluhan kesehatan dengan kepatuhan berobat


penderita TB paru
Pada tabel 5.26 menunjukkan hubungan antara penyuluhan
kesehatan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru. Persentase
responden tidak patuh berobat yang tidak pernah mendapat penyuluhan
sebanyak 36,4% lebih besar dari pada yang pernah mendapat penyuluhan
(19,2%). Hasil uji chi square diperoleh p = 0,048 (< 0,05) yang berarti ada
hubungan bermakna antara penyuluhan dengan kepatuhan berobat
penderita TB paru. Hasil uji keeraatan hubungan dua variabel diperoleh OR

66

= 2,408 (95% CI= (1,081-5,364) yang berarti pasien yang pernah


menadapat penyuluhan kesehatan memiliki kepatuhan berobat sebesar
2,408 kali dibandingkan pasien yang tidak pernah mendapat penyuluhan.
Tabel 5.26
Hubunngan antara penyuluhan kesehatan dengan kepatuhan berobat
penderita TB paru di Klinik PPTI Kebayoran Lama
Kepatuhan Berobat
Penyuluhan
kesehatan
Tidak pernah
Pernah
Jumlah

Patuh
N
%
35 63,6

Tidak
Npatuh%
20 36,4

59
94

14
34

80,8
73,4

19,2
26,6

OR
(95%CI)

P
value

2,408
(1,081-5,364)

0,048

67

BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Rancangan penelitian adalah cross sectional dimana pengambilan
data dari faktor kepatuhan berobat (variabel dependen) dan faktor predisposisi,
faktor pemungkin serta faktor penguat dilakukan pada waktu bersamaan. Oleh
karena itu, penelitian ini tidak dapat memberikan penjelasan tentang adanya
hubungan sebab akibat, tetapi hubungan yang ada hanya menunjukkan
keterkaitan saja dan bukan hubungan kausal.
Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang sudah disediakan
jawabannya (bersifat tertutup), sehingga jawaban yang diberikan responden
terpaku pada jawaban yang sudah ada tersebut dan tidak bisa mengembangkan
jawaban yang lebih lengkap dan luas.

B. Gambaran Kepatuhan Berobat Penderita TB paru di Klinik PPTI


Dari hasil penelitian ternyata dari 128 responden ada 94 responden
(73,4%) pasien yang patuh dan hanya 34 responden (26,6%) responden yang
tidak patuh. Hasil penelitian yang hampir sama diperlihatkan oleh Chomisah
(2001) pada penelitiannya di RSUP Dr. Moehammad Hoesin, diperlihatkan
bahwa dari 186 pasien, 66,7% pasien teratur berobat dan yang tidak teratur
berobat 33,3%. Hasil penelitian Asnawi menunjukkan bahwa penderita yang
patuh berobat 60,9% dan yang tidak teratur berobat sebanyak 39,1%.
Hasil yang sedikit berbeda diperlihatkan oleh Hamdi (2001) yang
melakukan penelitian dengan disain cross sectional di Kabupaten Majalengka

68

pada 480 responden menunjukkan penderita yang patuh 57,4% dan yang
tidak patuh sebanyak 42,6%.
Suryatenggara (1996) dalam Chomisah (2001) menyatakan walaupun
obat yang digunakan adalah yang paling baik, tetapi bila tidak diikuti dengan
keteraturan berobat dari penderita atau penderita berobat tidak memenuhi
jangka waktu pengobatan, maka hasil pengobatan akan mengecewakan.
Keteraturan berobat,penderita dapat dicapai dengan penyuluhan kesehatan
atau pengawasan penuh selama jangka waktu pengobatan. Adanya perbedaan
hasil penelitian yang dikemukakan di atas dimungkinkan karena perbedaan
populasi, sampel penelitian, dan definisi operasional kepatuhan berobat.
Kepatuhan

merupakan

salah

satu

faktor

yang

mempengaruhi

kesembuhan disamping faktor individu, komunitas, strategi pengobatan,


infeksi HIV, dan keadaan khusus merokok, alkohol, tunawisma (Masniari,
2007).
Ketidakpatuhan berobat mengakibatkan penderita TB dapat kambuh
dengan kuman yang resisten terhadap OAT, sehingga menjadi sumber
penularan kuman resisten dan gagal pengobatan. Hal itu mengakibatkan
pengobatan ulang TB lebih sulit, waktu pengobatan lebih lama dan dana yang
dikeluarkan lebih besar. Kepatuhan penderita TB untuk berobat teratur sulit
diprediksi dan dipertahankan dengan bertambahnya waktu (Amril, 2003).
C. Hubungan antara faktor predisposisi, pemungkin, dan penguat dengan
kepatuhan berobat penderita TB Paru.
Berdasarkan analisa bivariat dalam penelitian, dari 11 variabel
independen yang dianalisis, ternyata hanya variabel sikap penderita dan

69

penyuluhan kesehatan yang mempunyai hubungan yang signifikan dengan


kepatuhan berobat penderita TB Paru di klinik PPTI/JRC tahun 2009.
1. Hubungan tingkat pendidikan dengan kepatuhan berobat penderita
TB Paru
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan responden berpendidikan
tinggi (57,81%) lebih besar dari responden yang berpendidikan rendah
(42,19%). Hasil uji chie-square didapat p value = 0,639, berarti pada =
5% tidak ada perbedaan yang bermakna persentase kepatuhan berobat
penderita TB paru antara responden yang berpendidikan tinggi dengan
yang berpendidikan rendah.
Hasil yang hampir sama diperlihatkan oleh Asnawi (2002), yang
melakukan penelitian di Kota Jambi pada 133 responden didapatkan hasil
p value = 0,556 yang berarti pada = 5% tidak ada perbedaan persentase
yang bermakna kepatuhan berobat penderita yang berpendidikan tinggi
dan yang berpendidikan rendah hasil penelitian lain yang menunjukkan
tingkat pendidikkan kurang bermakna ditunjukkan oleh Chomisah (2001)
dimana didapatkan p = 0,150 dan penelitian Daud (2001) menunjukkan
p=0,12 yang dilakukan pada penderita TB paru di Poliklinik RSUD Dr.
Ahmad Muchtar Bukit Tinggi sebanyak 100 orang responden.
Hasil yang berbeda diperlihatkan oleh Hamdi (2001) yang
menyatakan tingkat pendidikkan memiliki hubungan yang bermakna
dengan kepatuhan berobat p = 0,02944.
Hubungan pendidikan responden dengan kepatuhan berobat secara
statistik tidak bermakna dimungkinkan karena adanya faktor lain yang

70

lebih berpengaruh terhadap kepatuhan berobat seperti sikap penderita dan


penyuluhan kesehatan.
2. Hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan berobat penderita
TB paru
Berdasarkan hasil analisa data diperoleh responden yang
berpengetahuan kurang baik sebanyak 14,1% dan 85,9% berpengetahuan
baik. Hasil uji chi square diperoleh p=0,118 yang berarti pada =5% ada
perbedaan bermakna persentase kepatuhan berobat antara penderita yang
berpengetahuan baik dengan yang berpengetahuan kurang baik.
Hasil yang berbeda diperlihatkan oleh Asnawi (2002)

yang

melakukan penelitian di Kota Jambi pada 133 responden dimana diperoleh


p = 0,015 yang berarti ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan
kepatuhan berobat penderita TB paru. Daud (2001), menyatakan
pengetahuan penderita TB paru erat kaitannya dengan kepatuhan berobat.
Suliha (1991) dalam Hamdi (2001), menyatakan bahwa pengetahuan
berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang berobat, sikap jawaban
setuju mengambil obat ke sarana pelayanan kesehatan sesuai ketentuan,
cenderung penderita tidak pernah berobat. Sedangkan menurut Niven
(2007), mengatakan bahwa seseorang dapat tidak mematuhi suatu instruksi
karena kesalahpahamannya terhadap instruksi yang diberikan.
3. Hubungan sikap penderita dengan kepatuhan berobat penderita TB
paru
Berdasarkan analisa hasil penelitian, didapatkan responden yang
tidak patuh dengan sikap baik sebanyak 19,5% sedangkan yang bersikap

71

kurang sebanyak 41,5%. Hasil chi-square diperoleh p=0,016, berarti pada


=5% ada perbedaan persentase kepatuhan beroobat penderita TB paru
antara responden yang bersikap baik dan responden yang bersikap kurang
baik. Analisa keeratan hubungan dua variabel didapatkan OR = 2,917
(95%CI =1,289-6,600) yang berarti responden bersikap baik mempunyai
peluang 2,917 kali bila dibanding yang bersikap kurang baik. Hasil yang
hampir sama diperlihatkan oleh Hamdi (2001) dimana hasil uji chi-square
didapatkan p=0,01405.
Hasil yang berbeda diperlihatkan oleh Marzuki (2000) dimana
hasil uji chi square menghasilkan p=0,48, berarti pada =5% tidak ada
perbedaan bermakna persentase kepatuhan berobat penderita TB paru
antara responden yang bersikap baik dan yang kurang baik. Perbedaan
hasil ini dimungkinkan karena adanya perbedaan populasi dan sampel
penelitian.
Suliha (1990) dalam Marzuki (2002), menyatakan bahwa penderita
yang sikapnya negatif terhadap pengobatan TB paru akan tidak patuh
berobat sesuai dengan lama masa pengobatan. Terjadinya sikap positif dan
negatif terhadap kepatuhan berobat kemungkinan dipengaruhi oleh faktor
lain seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan jarak, transportasi, ketersediaan
obat, waktu dan dukungan keluarga.
4. Hubungan efek samping dengan kepatuhan berobat penderita TB
paru
Berdasarkan hasil analisa data diperoleh bahwa responden yang
tidak patuh ada efek samping sebanyak 33,3% dan yang tidak ada efek

72

samping 22,9%. Hasil uji chi-square didapatkan p = 0,286, yang berarti


pada =5% tidak ada hubungan yang bermakna antara efek samping
dengan kepatuhan berobat pasien TB paru. Hasil penelitian yang hampir
sama diperlihatkan oleh Chomisah (2001) yang melakukan penelitian
RSUP Dr. Moehammad Hoesin Palembang dimana diperoleh p=0,755
yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara efek samping obat
dengan kepatuhan berobat penderita TB.
Rasyid (1992) dalam Asnawi (2002), menyatakan bahwa
pemakaian obat anti TB yang berbulan-bulan dapat menimbulkan efek
samping obat. Hal yang sama dikemukakan oleh Nawas (1992) seperti
yang di kutip Asnawi (2002) yang mengatakan bahwa efek samping obat
dapat terjadi pada setiap penderita dan penanganannya tergantung pada
efek yang ditimbulkan, dapat berhenti berobat, dapat terus minum obat
dengan pemberian obat simptomatik.
5. Hubungan antara jarak dengan kepatuhan berobat penderita TB
paru di klinik PPTI
Berdasarkan analisa data, diperoleh bahwa 52,3% responden dan
yang berjarak jauh 47,7% responden. Hasil uji chi square diperoleh p =
0,495 yang berarti tidak ada perbedaan persentase kepatuhan berobat
penderita TB paru antara responden yang berjarak dekat dengan
responden yang berjarak jauh. Chomisah (2001) melakukan penelitian
yang menunjukkan p = 0,876 yang berarti pada =5% tidak ada
perbedaan persentase kepatuhan berobat penderita TB paru antara
responden yang berjarak dekat dengan responden yang berjarak jauh.

73

Sedangkan Asnawi (2002), dari hasil penelitiannya diperoleh p =


0,042 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara jarak dengan
kepatuhan berobat penderita TB paru.
6. Hubungan antara biaya kendaraan dengan kepatuhan berobat
penderita TB paru di klinik PPTI
Berdasarkan hasil penelitian, dari 128 responden diperoleh 31,3%
responden dengan biaya kendaraan murah dan 68,8% responden dengan
biaya kendaraan mahal. Hasil uji chi square diperoleh p = 0,957 yang
berarti pada = 5% tidak ada perbedaan persentase kepatuhan berobat
penderita TB paru antara responden dengan biaya kendaraaan mahal
dengan responden yang menyatakan biaya kendaraan murah.
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamdi
(2001), yang melakukan penelitian di kabupaten Majalengka pada 380
responden dimana diperoleh p = 0,01133 yang berarti ada hubungan
bermakna antara biaya transportasi dengan kepatuhan berobat penderita Tb
paru. Menurut Syahrizal (2000) keterjangkauan biaya adalah persepsi
penderita terhadap mahal atau murahnya biaya yang dikeluarkan untuk
transportasi dari rumah penderita ke pelayanan kesehatan.

7. Hubungan antara sarana transportasi dengan kepatuhan berobat


penderita TB paru di Klinik PPTI
Berdasarkan hasil penelitian, dari 128 responden 12,5% responden
menggunakan kendaraan tidak bermotor dan 87,5% menggunakan
kendaraan bermotor. Hasil uji chi square diperoleh p = 0,650 yang berarti

74

pada =5% tidak ada perbedaan persentase kepatuhan berobat antara yang
menggunakan kendaraan bermotor dengan yang menggunakan kendaraan
tidak bermotor. Hasil penelitian yang sama ditunjukkan oleh Hamdi
(2001) yang memperlihatkan p=0,66946 diperoleh pada penelitiannya di
Kabupaten Majalengka pada 380 responden.
Menurut Sarwono (1993) dalam Marzuki (2000) menyebutkan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian kesehatan
individu/masyarakat adalah faktor keterjangkauan sarana pelayanan
kesehatan. Disini dinyatakan bahwa saran transportasi bukan merupakan
faktor penghambat dalam kepatuhan berobat TB paru.
8. Hubungan antara peran PMO dengan kepatuhan berobat penderita
TB paru di klinik PPTI tahun 2009
Berdasarkan hasil analisa data, dari 128 responden ternyata 40,6%
responden menyatakan peran PMO kurang baik sedangkan 59,4%
menyatakan peran PMO baik. Hasil uji chi square diperoleh p=1,00, yang
berarti pada =5% tidak ada perbedaan persentase kepatuhan antara
responden yang memiliki peran PMO baik dengan responden memiliki
peran PMO kurang baik. Hasil yang sama diperlihatkan oleh Iriyanto
(2001) yang melakukann penelitian di Puskesmas wilayah Kecamatan
Kejaksan Kota Cirebon dimana di peroleh p=1,00
Hasil yang berbeda diperlihatkan oleh Chomisah (2001) dengan
hasil p=0,002 yang berarti ada perbedaan persentase kepatuhan penderita
TB paru antara responden yang memiliki PMO kurang baik dengan
responden yang memiliki PMO baik.

75

Murtiwi (2006) pada penelitiannya menemukan bahwa tidak semua


PMO menjalankan fungsinya dengan benar yaitu mengingatkan minum
obat pasien TBC paru setiap hari. Sebenarnya sesuai dengan DOTS harus
observasi langsung yaitu melihat dengan pasti bahwa obat telah diminum
pasien. Pada penelitian Murtiwi (2006), pasien berpendapat tidak perlu ada
PMO karena keberadaan PMO selama ini tidak efektif. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien TB paru memiliki potensi untuk diberdayakan
dengan memfasilitasi terbentuknya kelompok pasien TB atau self-help
group.
9. Hubungan antara peran keluarga dengan kepatuhan berobat
penderita TB paru
Pada penelitian ini, dari 128 responden, ternyata 84,4% memiliki
peran keluarga baik dan 15,6% responden dengan peran keluarga kurang
baik. Hasil uji chi square diperoleh p 0,654 yang berarti pada =5% tidak
ada perbedaan persentase kepatuhan berobat antara responden yang
memiliki berperan keluarga baik dengan responden yang berperan
keluarga kurang baik. Hasil yang sama diperlihatkan oleh Asnawi (2002)
dimana hasil uji chi square diperoleh p= 0,745 yang berarti pada =5%
tidak ada perbedaan yang bermakna persentase kepatuhan berobat
penderita TB paru antara responden yang berperan keluarga baik dengan
responden yang berperan keluarga kurang baik.
Hasil penelitian menyatakan hubungan antara kedua variabel
tersebut tidak bermakna. Hal ini dimungkinkan yang menjadi responden
pada penelitian ini adalah penderita TB paru yang dewasa, jadi peran

76

keluarga dirasa kurang diperlukan. Apabila responden yang diteliti ini


termasuk anak-anak, dimungkinkan hasil penelitiannya akan berbeda
karena

anak-anak

dalam

menjalani

pengobatan

penyakit

sangat

membutuhkan peran orang tuanya (keluarganya).


10. Hubunngan antara penyuluhan kesehatan dengan kepatuhan berobat
penderita TB paru di klinik PPTI Kebayoran Lama.
Berdasarkan analisa data, dari 128 responden ternyata responden
yang pernah mendapat penyuluhan sebanyak 57%, sedangakan yang tidak
pernah mendapat penyuluhan sebanyak 43%. Hasil uji chi square
diperoleh p = 0,048, berarti pada =5% ada perbedaan bermakna
kepatuhan berobat penderita TB paru antara responden yang pernah
mendapat penyuluhan dengan responden yang tidak pernah mendapat
penyuluhan. Hasil uji keeratan hubungan antara dua variabel diperoleh OR
= 2,408 (95%CI=1,081-5,364), yang berarti responden yang pernah
mendapat penyuluhan berpeluang patuh berobat 2 kali bila dibanding
responden yang tidak pernah mendapat penyuluhan. Hasil yang hampir
sama diperlihatkan oleh Chomisah (2001) dimana diperoleh p=0,014 yang
berarti ada hubungan bermakna antara penyuluhan dengan kepatuhan
berobat.
Nies & McEwen (2001) seperti yang dikutip oleh Murtiwi (2006)
mengatakan, edukasi kesehatan (penyuluhan kesehatan) dalam rangka
promosi kesehatan sehubungan dengan kepatuhan berobat pasien TB paru
merupakan salah satu peran peran komunitas (Community health nurses).
Sehubungan dengan penanggulangan masalah kesehatan komunitas yaitu

77

ketidakpatuhanberobat pasien TB paru perlu direncanakan dengan baik,


bagaimana program edukasi kesehatan diberikandan apa yangdiperlukan
oleh pasien (DepKes RI, 2005, Murtiwi, 2006).

78

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan dapat disimpulkan, sebagai
berikut :
1. Dalam penelitian ini, penderita TB paru yang menjadi sampel sebagian
besar patuh berobat sebesar 73,4% dan sisanya tidak patuh berobat sebesar
26,6%
2. Gambaran variabel menurut karakteristik sampel didapat bahwa ibu yang
berpendidikan tinggi 57,8% dan yang berpendidikan dasar sebanyak
42,2%. sampel yang berpengetahuan baik 85,9% dan yang berpengetahuan
kurang baik 14,1%.
3. Gambaran variabel menurut efek samping, didapat bahwa responden yang
pernah mengalami efek samping sebanyak 35,2% dan yang tidak
mengalami efek samping 64,8%.
4. Gambaran variabel menurut persepsi sampel terhadap jarak temapat
tinggal ke PPTI, didapat bahwa sampel yang berjarak jauh 52,3% dan
yang berjarak dekat 47,7%.
5. Gambaran variabel menurut transportasi didapat bahwa sampel yang
menggunakan kendaraan bermotor sebanyak 87,5% dan yang bukan
kendaraan bermotor 12,5%. Sampel yang mengatakan biaya transportasi
mahal sebanyak 68,8% dan yang mengatakan biaya kendaraan murah
sebanyak31,3%.

79

6. Gambaran variabel menurut peran PMO didapat sampel dengan peran


PMO kurang baik sebanyak 40,6% dan resonden dengan peran PMO baik
sebanykak 59,4%.
7. Gambaran variabel menurut peran keluarga didapat sampel dengan peran
keluarga baik sebanyak 84,4% dan yang dengan peran keluarga kurang
baik sebanyak 15,6%.
8. Gambaran variabel menurut penyuluhan didapat sampel yang pernah
mendapat penyuluhan sebanyak 57% responden dan yang tidak pernah
mendapat penyuluhan sebanyk 43%.
9. Hasil penelitian didapat variabel sikap penderita berhubungan dengan
kepatuhan berobat penderita TB paru (p=0,016). Penderita paruu yang
sikapnya baik menpunyai risiko untuk patuh berobat 2,917 kali dari pada
penderita dengan sikap kurang baik OR=2,917 (95%CI=1,289-6,600).
10. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyuluhan mempunyai
hubungan dengan kepatuhan berobat TB paru secara signnifikan
(p=0,048). Penderita yang pernah mendapat penyuluhan berpeluang patuh
berobat 2,408 lebih tinggi dari pada yang tidak pernah menadapat
penyuluhan OR=2,408 (95%CI=1,081-5,364).
11. Pada penelitian ini, variabel lain tidak dapat membuktikan adanya
hubungan

yang

signifikan

yaitu

variabel

pendidikan

(p=0,639),

pengetahuan (p=0,118), efek samping obat 0,286, jarak (p=0,495), sarana


transportasi (p=0,650), peran PMO (p=1), peran keluarga (p=0,654), sikap
petugas (0,721).

80

B. Saran-Saran
Dari hasil penelitian terhadap penderita TB paru tentang kepatuhan berobat,
maka penulis dapat memberikan saran-saran kepada klinik PPTI:
1. Pasien hendaknya diwajibkan untuk menghadiri penyuluhan yang
diadakan satu bulan sekali (tidak boleh diwakilkan kepada keluarga), agar
pasien mengetahui secara langsung isi penyuluhan yang disampaikan.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang faktor lain yang berhubungan
dengan kepatuhan berobat penderita TB, seperti faktor keterjangkauan
biaya pengobatan (konsul dokter, pemeriksaan rontgen).
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai faktor yang dapat
mempengaruhi sikap penderita terhadap pengobatan TB.

81

DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Tjandra Yoga, Dr.Priyanti. Tuberkulosis diagnosis, Terapi dan
Masalahnya.

Jakarta:

Lab.

Mikobakteriologi

RSUP

Persahabatan/WHO Collaborating Center for Tuberculosis. 2000.


Amril, Yun et al. Jurnal Respirology Indonesia. Keberhasilan Directly
Observed Therapy (DOT) pada Pengobatan TB Paru Kasus Baru
di BP4 Surakarta. Vol. 23. No. 2. 2003. Jakarta : FKUI. 2003.
Asnawi. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat
Penderita TB Paru di Kota Jambi Tahun 2001. Jakarta : FKM UI.
2002.
Chomisah, Elyu. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan
Berobat Penderita TB paru BTA Positif di RSUP Dr.
Moehammad Hoesin Palembang tahun 1998-2000. Jakarta FKM
UI. 2001
Crofton, John. Tuberkulosis Klinis. Jakarta: Widya Medika. 2002
Daud, Ishak. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan
Berobat Pasien Rawat Jalan di Poliklinik Paru RSUD Dr..
Ahamad Muchtar Bukit Tinggi Tahun 2000. Jakarta : FKM UI.
2001.
Depkes RI. Pedoman Nasional Penggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Depkes RI . 2005.
. Pusat Data dan Informasi. Jakarta: Depkes RI. 2007.
. (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta: Depkes RI

82

.( Profil Kesehatan RI 2007. Jakarta ): Departemen Kesehatan


RI, 2008.
. Laporan Hasil RISKESDAS Propinsi DKI Jakarta 2007.
Jakara : Depkes RI, 2008.
Fahruda, Ansarul et al. Pendekatan Kemitraan Berbasis Masyarakat
dalam Program Penanggulangan Tuberkulosis. diakses pada 17
November 2008 dari www.dinkesjatim.go.id, 2008.
Hamdi. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Perilaku Kepatuhan
Berobat Penderita TB Paru pada Fase Intensif di Kabupaten
Majalengka tahun 19972000. Jakarta : Tesis FKM UI. 2001.
Helwiah.. Juornal Keperawatan Universitas Padjadjaran Bandung. Home
Care Sebagai Bentuk Praktik Mandiri Perawat Di Rumah . Vol 5
No. IX Tahun 2004. Bandung: PSIK FK Unpad. [online] diakses
pada 4 Mei 2009 dari www.alumnifikui.com. 2004
Iriayanto, Bambang. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Perilaku
Kepatuhan Penderita TB Paru dalam Berobat dengan Strategi
DOTS di Puskesmas Wilayah Kecamatan Kejaksan Kota Cirebon.
Jakarta: Skripsi FKM UI. 2001
Kusigaharjo, Wawan dan Hari Kusnanto. Analisis Spasial Tuberculosis Di
Kabupaten Sleman Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi
(SIG).

Artikel

diakses

tanggal

22

Juli

2009

dari

www.simkes.fk.ugm.ac.id. 2009

Kozier, B et al. Professional Nursing Practice Consep and Perspective.


California: Addison Wisley Longman. 1997.

83

Lembah, Laela Fauza. Skripsi. Persepsi Penderita TB Paru yang Sudah


Menyelesaikan Pengobatan di Klinik Jakarta Respiratory Center
tentang Strategi Program. Jakarta: Skripsi FKM UMJ. 2001.
Machfoedz, Irham dan Suryani, Eko. Pendidikan Kesehatan Bagian dari
Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Fitramaya. 2007.
Marzuki. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan Berobat
penderita TB paru di Puskesmas dalam Wilayah Propinsi DI
Aceh Tahun 1998. Jakarta: Tesis FKM UI. 2000
Masniari, Linda et al. Jurnal Respirology Indonesia. FaktorFaktor yang
Mempengaruhi Penderita TB Paru. Vol. 27. No. 3. Juli 2007.
Jakarta : FKUI. 2007
Mendrofa, Fery Agusman Motuho. Kajian Keperawatan Komunitas pada
Tuberkulosis Paru. Artikel diakses pada 4 Mei 2009 dari
www.feryagusmotuhomendrofa.blogspot.com 2008.

Misnadiarly. Penyakit Infeksi TB Paru dan Ekstra Paru: Mengenal,


Mencegah, Menanggulangi TBC paru, ekstra paru, anak, pada
kehamilan. Jakarta: Pustaka Populer Obor. 2006.
Murtiwi. Jurnal Keperawatan Indonesia. Keberadaan Pengawas Minum
Obat (PMO) Pasien Tuberkulosis Paru di Indonesia . Vol.10 No.1.
Jakarta : FIK UI.2006.
. Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Paru di 28 Kabupaten di
Indonesia Tahun 2004. Jakarta: Program Doktor FKM UI. 2005.

84

Nazahar, Ramonasari. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Perilaku


Kepatuhan Penderita TB Paru Di Poli Paru RS Persahabatan
Jakarta tahun 1996. Jakarta: FKM UI
Nisa, Hoirun. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: UIN Jakarta
Press.2007.
Niven, Neil. Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional
Kesehatan Lain. Jakarta: EGC. 2000.
Notoatmodjo, Soekidjo Prof. Dr. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
Jakarta: Rineka Cipta. 2007.
Nursalam.

Konsep

dan

Penerapan

Metodologi

Penelitian

Ilmu

Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. 2008.


Pemberantasan penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Profil Kesehatan
Indonesia 2007. Jakarta: DepKes RI. 2008.
Prasenohadi. PPTI Media Komunikasi dan Informasi perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. Tuberculosis XDR dan
Akibatnya pada Kesehatan Masyarakat. Edisi ke 6 2008. Jakarta:
PPTI. 2008.
Price, Sylvia Anderson, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis
ProsesProses Penyakit. Jakarta: EGC.2005.
Purwanto, Bambang. Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Dengan Perilaku
Perawat Dalam Memberikan Informasi Cara Minum Obat
Kepada Pasien Di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSCM
Jakarta Tahun 2007. Depok: Tesis FKM UI. 2007.

85

Setiadi. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.


2007.
Smet, Bart. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia. 1994.
Susanti, Rianti. Hubungan pengetahuan, Sikap dan Motivasi

Pasien

Tuberkulosis Paru dengan Keteraturan Minum Obat Di Wilayah


Kerja Puskesmas Purabatu Tasikmalaya Tahun 2008.Artikel ini
diakses tanggal 22 Juli 2009 dari www.one.indoskripsi.com
Syahrizal. Analisis Kepatuhan penderita TBC Paru BTA Positif dalam
Menelan Obat di RS Khusus ParuParu Propinsi Sumatra
Selatan tahun 2002. Jakarta : Program Pasca UI. 2004.
Widagdo, Wahyu. Analisis FaktorFaktor yang Berhubungan dengan
Kepatuhan Penderita Mengenai Pengobatan Tuberkulosis dalam
Konteks

Keperawatan

Komunitas

di

Wilayah

Puskesmas

Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan Tahun 2002. Jakarta :


Tesis Program Pasca Sarjana FIK UI.2003.
WHO. Global tuberculosis control : surveillance, planning, financing.
Switzerland : WHO Press. 2008
Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga. 2008.
Wikipedia. Jarak. Diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/jarak. Diakses
tanggal 15 Mei 2009 pukul 09.23 WIB.

SURAT PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN


Kepada Yth
Calon Responden Penelitian
Di Tempat
Dengan Hormat
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : SITI MAESAROH
NIM : 105104003485
Alamat : Jl. Depsos Raya No. 4 RT04RW 01, Bintaro, Pesanggrahan
Akan melakukan penelitian dengan judul Faktor-Faktor yang
Beerhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Paru Di Klinik
JRC/ PPTI Kebayoran Lama. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran
faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat dan mengetahui hubungan
antara faktor-faktor tersebut dengan kepatuhan berobat. Untuk keperluan di atas
saya mohon kesediaan Bapa/Ibu/Saudara untuk mengisi kuesioner yang telah saya
siapkan dengan sejujur-jujurnya. Saya menjamin kerahasiaan pendapat dan
identitas Bapak/Ibu/Saudara.
Sebagai bukti kesediaan menjadi responden dalam penelitian ini, saya
mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara untuk menandatangani lembar persetujuan
yang telah saya siapkan. Partisipasi Bapak/Ibu/Saudara dalam mengisi kuesioner
ini sangat saya hargai. Atas perhatian responden, saya ucapkan terima kasih.
SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Faktor-Faktor Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Pasien TUberkulosis
Paru Di Klinik JRC/PPTI Kebayoran Lama.
Saya adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu dan Ilmu Kesehatan
Program Studi Ilmu Keperawatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkan
partisipasi Bapak atau Ibu dalam Penelitian saya yang berjudul Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Paru Di
Klinik JRC?PPTI Kebayoran Lama. Dan juga mengharapkn tanggapan dan
jawaban yang diberikan sesuai dengan keluhan yang bapak atau ibu rasakan tanpa
di pengaruhi oleh orang lain. Kami menjamin kerahasiaan jawaban dan identitas
Bapak atau Ibu atas informasi yang Bapak atau Ibu berikan hanya akan diberikan
hanya akan dipergunakan untuk mengembangkan ilmu keperawatan.
Tanda tangan di bawah ini, menunjukkan Bapak atau Ibu telah diberi
informasi dan memutuskan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Jakarta, 2009
Yang menyatakan

(.)

A.
No.
1
2
3
4
5

8
9

10

Nomor Urut Responden :


Nama
Umur
Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. perempuan
Pendidikan
Berikan tanda (X) pada salah satu jawaban!
a. Tidak sekolah
b. Tidak tamat SD
c. Tamat SD
d. Tamat SMP
e. Tamat SMA/ sederajat
f. Perguruan tinggi
Menurut anda jarak rumah anda ke klinik
a. Jauh
b. Dekat
Bila anda ke klinik biasanya anda menggunakan:
a. Jalan kaki
b. Naik sepeda
c. Angkutan umum
d. Naik ojek
e. Lain-lain, sebutkan
Berapa biaya yang anda keluarkan untuk ongkos kendaraan ke klinik?
Rp.
Apakah anda pernah mendapatkan penyuluhan kesehatan?
a. Ya
b. Tidak
Apakah selama pengobatan saudara merasakan salah satu keluhan sebagai
berikut? (pilihan boleh lebih dari satu)
a. Penglihatan berkurang
e. muntah
b. Tidak nafsu makan
f. demam
c. Gatal seluruh tubuh
g. lainnya, sebutkan .
d. Lemas

B. Berilah tanda () pada salah satu jawaban yang anda anggap benar!
No. Pertanyaan
Pernah Tidak
Pernah
1
Apakah saudara terlambat/tidak minum obat?
2
Apakah saudara pernah terlambat tidak mengambil
obat?
3
Apakah anda pernah terlambat/tidak
memeriksakan dahak?

C. Berilah tanda () pada salah satu jawaban yang anda anggap benar!
No Pernyataan
Ya Tidak
1
Penyakit yang anda derita adalah tuberculosis paru/TB
2
TB disebabkan oleh kuman Mikobakterium Tuberkulosis
3
TB adalah penyakit menular
4
TB menular melalui bersin, batuk, dan alat makan.
5
Pengobatan TB minimal selama 6 bulan
6
TB dikatakan sembuh jika BTA menjadi negatif setelah pengobatan
selesai atau setelah pengobatan lengkap
7
Tanda-tanda TB adalah batuk lebih dari 3 minggu, badan lemah,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat dingin
pada malam hari
8
tujuan pengobatan TB adalah menyembuhkan pasien,
menghilangkan tanda dan gejala dan menurunkan kematian.
D. Berikan tanda () pada salah satu kolom yang anda anggap benar!
Keterangan :
a. STS
: sangat tidak setuju
b. TS
: tidak setuju
c. R
: ragu-ragu
d. S
: setuju
e. SS
: sangat setuju
No
Pernyataan
STS TS R S SS
1
Pengobatan secara teratur diperlukan sejak diperlukan
sejak dinyatakan BTA (+)
2
Menutup mulut saat batuk dapat mencegah penularan
TB
3
Minum obat secara teratur akan penyakit membuat
4
TB merupakan penyakit berat yang mematikan
5
Walaupun sudah tidak ada batuk, obat harus tetap
diminum
6
Tempat tidur penderita TB perlu dijemur
7
8
9
E.
No
1
2
3
4

Penderita TB tetap memeriksakan kesehatannya


walaupun sudah dinyatakan sembuh
Anda akan tetap berobat secara teratur meskipun timbul
efek samping
Anda akan mengambil obat meskipun tidak ada yang
mengingatkan anda.
Pernyataan
STS TS
Pada saat saudara minum obat Pengawas Menelan Obata
(PMO) melihatnya
PMO mengingatkan bila obat tinggal sedikit atau mau
habis?
PMO mengingatkan saudara untuk memeriksakan dahak
ulang.
PMO memberikan nasihat kepada saudara selama
pengobatan

SS

F. Berikan tanda () pada salah satu kolom yang anda anggap benar!
Keterangan :
a. STS
: sangat tidak setuju
b. TS
: tidak setuju
c. R
: ragu-ragu
d. S
: setuju
e. SS
: sangat setuju
No
1
2
3

Pernyataan
Keluarga mengingatkan anda untuk minum obat
Keluarga memberikan nasehat-nasehat kepada
saudara selama pengobatan.
Keluarga bersedia mengambilkan obat ke klinik
jika obat anda habis.

STS

TS

SS

Frequencies
Frequency Table
k epatuhan

Valid

tidak patuh
patuh
Total

Frequenc y
34
94
128

Percent
26.6
73.4
100.0

Valid Percent
26.6
73.4
100.0

Cumulativ e
Percent
26.6
100.0

pendidik an re sponden

Valid

tidak sekolah
tidak tamat s d
tamat sd
tamat smp
tamat sma
perguruan tinggi
Total

Frequenc y
6
4
14
30
55
19
128

Percent
4.7
3.1
10.9
23.4
43.0
14.8
100.0

Valid Percent
4.7
3.1
10.9
23.4
43.0
14.8
100.0

Cumulativ e
Percent
4.7
7.8
18.8
42.2
85.2
100.0

jarak rum ah re sponden ke k linik

Valid

jauh
dekat
Total

Frequenc y
67
61
128

Percent
52.3
47.7
100.0

Valid Percent
52.3
47.7
100.0

Cumulativ e
Percent
52.3
100.0

biaya k endaraan dikategorik an

V alid

murah
mahal
Total

Frequenc y
40
88
128

Percent
31.3
68.8
100.0

V alid Percent
31.3
68.8
100.0

Cumulativ e
Percent
31.3
100.0

k endaraan yang digunak an untuk k e k linik

Valid

tidak bermotor
bermotor
Total

Frequenc y
16
112
128

Percent
12.5
87.5
100.0

Valid Percent
12.5
87.5
100.0

Cumulativ e
Percent
12.5
100.0

penge tahuan k ate gori

Valid

kurang
baik
Total

Frequenc y
18
110
128

Percent
14.1
85.9
100.0

Valid Percent
14.1
85.9
100.0

Cumulativ e
Percent
14.1
100.0

s kpkat

Valid

kurang baik
baik
Total

Frequenc y
41
87
128

Percent
32.0
68.0
100.0

Valid Percent
32.0
68.0
100.0

Cumulativ e
Percent
32.0
100.0

peran PMO kate gori

Valid

kurang baik
baik
Total

Frequenc y
52
76
128

Percent
40.6
59.4
100.0

Valid Percent
40.6
59.4
100.0

Cumulativ e
Percent
40.6
100.0

usia dik ate gorik an

V alid

15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60-64
65-69
70-74
75-80
Total

Frequenc y
10
22
26
23
10
12
6
6
3
3
4
2
1
128

Percent
7.8
17.2
20.3
18.0
7.8
9.4
4.7
4.7
2.3
2.3
3.1
1.6
.8
100.0

V alid Percent
7.8
17.2
20.3
18.0
7.8
9.4
4.7
4.7
2.3
2.3
3.1
1.6
.8
100.0

Cumulativ e
Percent
7.8
25.0
45.3
63.3
71.1
80.5
85.2
89.8
92.2
94.5
97.7
99.2
100.0

s ex

V alid

perempuan
laki-laki
Total

Frequenc y
48
80
128

Percent
37.5
62.5
100.0

V alid Percent
37.5
62.5
100.0

Cumulativ e
Percent
37.5
100.0

pendidik an dik ategori

Valid

Frequenc y
54
74
128

pendidikan dasar
pendidikan tinggi
Total

Percent
42.2
57.8
100.0

Valid Percent
42.2
57.8
100.0

Cumulativ e
Percent
42.2
100.0

s kappetugas k ate gori

Valid

kurang ramah
ramah
Total

Frequenc y
35
93
128

Percent
27.3
72.7
100.0

Valid Percent
27.3
72.7
100.0

Cumulativ e
Percent
27.3
100.0

peran k eluarga kategori

Valid

kurang baik
baik
Total

Frequenc y
20
108
128

Percent
15.6
84.4
100.0

Valid Percent
15.6
84.4
100.0

Cumulativ e
Percent
15.6
100.0

e fek s am ping

Valid

ada
tidak ada
Total

Frequenc y
45
83
128

Percent
35.2
64.8
100.0

Valid Percent
35.2
64.8
100.0

Cumulativ e
Percent
35.2
100.0

biaya k ate gori

Valid

murah
mahal
Total

Frequenc y
40
88
128

Percent
31.3
68.8
100.0

Valid Percent
31.3
68.8
100.0

Cumulativ e
Percent
31.3
100.0

Cas e Proces s ing Sum m ary

N
jarak rumah responden
ke klinik * kepatuhan
kendaraan y ang
digunakan untuk ke
klinik * kepatuhan
suluh * kepatuhan
ef ek samping *
kepatuhan
pengetahuan kategori *
kepatuhan
skpkat * kepatuhan
pendidikan dikategori *
kepatuhan
peran PMO kategori *
kepatuhan
skappetugas kategori *
kepatuhan
peran keluarga kategori
* kepatuhan
biay a kategori *
kepatuhan

Valid
Percent

Cases
Mis sing
N
Percent

Total
Percent

128

100.0%

.0%

128

100.0%

128

100.0%

.0%

128

100.0%

128

100.0%

.0%

128

100.0%

128

100.0%

.0%

128

100.0%

128

100.0%

.0%

128

100.0%

128

100.0%

.0%

128

100.0%

128

100.0%

.0%

128

100.0%

128

100.0%

.0%

128

100.0%

128

100.0%

.0%

128

100.0%

128

100.0%

.0%

128

100.0%

128

100.0%

.0%

128

100.0%

jarak rumah responden ke klinik * kepatuhan


Cross tab

jarak rumah responden


ke klinik

jauh

dekat

Total

Count
% w ithin jarak rumah
res ponden ke klinik
Count
% w ithin jarak rumah
res ponden ke klinik
Count
% w ithin jarak rumah
res ponden ke klinik

kepatuhan
tidak patuh
patuh
20
47

Total
67

29.9%

70.1%

100.0%

14

47

61

23.0%

77.0%

100.0%

34

94

128

26.6%

73.4%

100.0%

Chi-Square Te s ts
Value
.779 b
.466
.783

Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by -Linear
Ass ociation
N of Valid Cas es

df
1
1
1

.773

Asy mp. Sig.


(2-s ided)
.377
.495
.376

Ex ac t Sig.
(2-s ided)

Ex ac t Sig.
(1-s ided)

.427

.248

.379

128

a. Computed only f or a 2x 2 table


b. 0 cells (.0%) hav e ex pec ted count less than 5. The minimum expected c ount is 16.
20.

Ris k Estim ate

Value
Odds Ratio f or jarak
rumah responden ke
klinik (jauh / dekat)
For c ohort kepatuhan
= tidak patuh
For c ohort kepatuhan
= patuh
N of Valid Cas es

95% Conf idence


Interval
Low er
Upper

1.429

.646

3.159

1.301

.722

2.342

.910

.740

1.121

128

kendaraan yang digunakan untuk ke klinik * kepatuhan


Cross tab

kendaraan y ang
digunakan untuk ke klinik

tidak bermotor

bermotor

Total

Count
% w ithin kendaraan yang
digunakan untuk ke klinik
Count
% w ithin kendaraan yang
digunakan untuk ke klinik
Count
% w ithin kendaraan yang
digunakan untuk ke klinik

kepatuhan
tidak patuh
patuh
3
13

Total
16

18.8%

81.3%

100.0%

31

81

112

27.7%

72.3%

100.0%

34

94

128

26.6%

73.4%

100.0%

Chi-Square Te s ts

Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by -Linear
A ss ociation
N of V alid Cas es

V alue
.572 b
.206
.610

df
1
1
1

.568

A sy mp. Sig.
(2-s ided)
.449
.650
.435

Ex ac t Sig.
(2-s ided)

Ex ac t Sig.
(1-s ided)

.557

.337

.451

128

a. Computed only f or a 2x 2 table


b. 1 cells (25.0%) hav e expec ted count les s than 5. The minimum ex pec ted count is 4.
25.
Ris k Estim ate

Value
Odds Ratio f or kendaraan
yang digunakan untuk ke
klinik (tidak bermotor /
bermotor)
For c ohort kepatuhan =
tidak patuh
For c ohort kepatuhan =
patuh
N of Valid Cases

95% Conf idence


Interval
Low er
Upper

.603

.161

2.261

.677

.234

1.961

1.123

.865

1.460

128

suluh * kepatuhan
Cross tab

suluh

tidak pernah
pernah

Total

Count
% w ithin s uluh
Count
% w ithin s uluh
Count
% w ithin s uluh

kepatuhan
tidak patuh
patuh
20
35
36.4%
63.6%
14
59
19.2%
80.8%
34
94
26.6%
73.4%

Total
55
100.0%
73
100.0%
128
100.0%

Chi-Square Te s ts
V alue
4.749b
3.909
4.721

Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by -Linear
A ss ociation
N of V alid Cas es

4.712

df
1
1
1

A sy mp. Sig.
(2-s ided)
.029
.048
.030

Ex ac t Sig.
(2-s ided)

Ex ac t Sig.
(1-s ided)

.043

.024

.030

128

a. Computed only f or a 2x 2 table


b. 0 cells (.0%) hav e ex pec ted count less than 5. The minimum expected c ount is 14.
61.
Ris k Estim ate

V alue
Odds Ratio f or suluh
(tidak pernah / pernah)
For c ohort kepatuhan =
tidak patuh
For c ohort kepatuhan =
patuh
N of V alid Cas es

95% Conf idence


Interval
Low er
Upper

2.408

1.081

5.364

1.896

1.055

3.409

.787

.626

.990

128

efek samping * kepatuhan


Cross tab

ef ek samping

ada
tidak ada

Total

Count
% w ithin ef ek samping
Count
% w ithin ef ek samping
Count
% w ithin ef ek samping

kepatuhan
tidak patuh
patuh
15
30
33.3%
66.7%
19
64
22.9%
77.1%
34
94
26.6%
73.4%

Total
45
100.0%
83
100.0%
128
100.0%

Chi-Square Te s ts
V alue
1.631b
1.140
1.600

Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by -Linear
A ss ociation
N of V alid Cas es

1.618

df
1
1
1

A sy mp. Sig.
(2-s ided)
.202
.286
.206

Ex ac t Sig.
(2-s ided)

Ex ac t Sig.
(1-s ided)

.215

.143

.203

128

a. Computed only f or a 2x 2 table


b. 0 cells (.0%) hav e ex pec ted count less than 5. The minimum expected c ount is 11.
95.
Ris k Estim ate

Value
Odds Ratio f or ef ek
samping ( ada / tidak
ada)
For c ohort kepatuhan
= tidak patuh
For c ohort kepatuhan
= patuh
N of Valid Cas es

95% Conf idence


Interval
Low er
Upper

1.684

.754

3.763

1.456

.822

2.579

.865

.682

1.096

128

pengetahuan kategori * kepatuhan


Cross tab

pengetahuan
kategori

kurang

baik

Total

Count
% w ithin pengetahuan
kategori
Count
% w ithin pengetahuan
kategori
Count
% w ithin pengetahuan
kategori

kepatuhan
tidak patuh
patuh
8
10

Total
18

44.4%

55.6%

100.0%

26

84

110

23.6%

76.4%

100.0%

34

94

128

26.6%

73.4%

100.0%

Chi-Square Te s ts
V alue
3.433b
2.450
3.150

Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by -Linear
A ss ociation
N of V alid Cas es

df
1
1
1

3.407

A sy mp. Sig.
(2-s ided)
.064
.118
.076

Ex ac t Sig.
(2-s ided)

Ex ac t Sig.
(1-s ided)

.084

.063

.065

128

a. Computed only f or a 2x 2 table


b. 1 cells (25.0%) hav e expec ted count les s than 5. The minimum ex pec ted count is 4.
78.
Ris k Estim ate
95% Conf idence
Interval
Low er
Upper

Value
Odds Ratio f or
pengetahuan kategori
(kurang / baik)
For c ohort kepatuhan =
tidak patuh
For c ohort kepatuhan =
patuh
N of Valid Cases

2.585

.924

7.229

1.880

1.015

3.482

.728

.475

1.114

128

skpkat * kepatuhan
Cross tab

skpkat

kurang baik
baik

Total

Count
% w ithin s kpkat
Count
% w ithin s kpkat
Count
% w ithin s kpkat

kepatuhan
tidak patuh
patuh
17
24
41.5%
58.5%
17
70
19.5%
80.5%
34
94
26.6%
73.4%

Total
41
100.0%
87
100.0%
128
100.0%

Chi-Square Te s ts

Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by -Linear
A ss ociation
N of V alid Cas es

V alue
6.866b
5.788
6.601

df
1
1
1

6.813

A sy mp. Sig.
(2-s ided)
.009
.016
.010

Ex ac t Sig.
(2-s ided)

Ex ac t Sig.
(1-s ided)

.011

.009

.009

128

a. Computed only f or a 2x 2 table


b. 0 cells (.0%) hav e ex pec ted count less than 5. The minimum expected c ount is 10.
89.
Ris k Estim ate

Value
Odds Ratio f or skpkat
(kurang baik / baik)
For c ohort kepatuhan
= tidak patuh
For c ohort kepatuhan
= patuh
N of Valid Cases

95% Conf idence


Interval
Low er
Upper

2.917

1.289

6.600

2.122

1.212

3.716

.728

.551

.960

128

Cross tab

pendidikan
dikategori

pendidikan dasar

pendidikan tinggi

Total

Count
% w ithin pendidikan
dikategori
Count
% w ithin pendidikan
dikategori
Count
% w ithin pendidikan
dikategori

kepatuhan
tidak patuh
patuh
16
38

Total
54

29.6%

70.4%

100.0%

18

56

74

24.3%

75.7%

100.0%

34

94

128

26.6%

73.4%

100.0%

Chi-Square Te s ts

Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by -Linear
A ss ociation
N of V alid Cas es

V alue
.450 b
.220
.448

A sy mp. Sig.
(2-s ided)
.502
.639
.503

df
1
1
1

.447

Ex ac t Sig.
(2-s ided)

Ex ac t Sig.
(1-s ided)

.547

.318

.504

128

a. Computed only f or a 2x 2 table


b. 0 cells (.0%) hav e ex pec ted count less than 5. The minimum expected c ount is 14.
34.

Ris k Estim ate

V alue
Odds Ratio f or
pendidikan dikategori
(pendidikan dasar /
pendidikan tinggi)
For c ohort kepatuhan
= tidak patuh
For c ohort kepatuhan
= patuh
N of V alid Cases

95% Conf idence


Interval
Low er
Upper

1.310

.595

2.885

1.218

.686

2.164

.930

.749

1.154

128

peran PMO kategori * kepatuhan


Cross tab

peran PMO
kategori

kurang baik

baik

Total

Count
% w ithin peran
PMO kategori
Count
% w ithin peran
PMO kategori
Count
% w ithin peran
PMO kategori

kepatuhan
tidak patuh
patuh
14
38

Total
52

26.9%

73.1%

100.0%

20

56

76

26.3%

73.7%

100.0%

34

94

128

26.6%

73.4%

100.0%

Chi-Square Te s ts
V alue
.006 b
.000
.006

Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by -Linear
A ss ociation
N of V alid Cas es

.006

df
1
1
1

A sy mp. Sig.
(2-s ided)
.939
1.000
.939

Ex ac t Sig.
(2-s ided)

Ex ac t Sig.
(1-s ided)

1.000

.548

.939

128

a. Computed only f or a 2x 2 table


b. 0 cells (.0%) hav e ex pec ted count less than 5. The minimum expected c ount is 13.
81.
Ris k Estim ate
95% Conf idence
Interval
Low er
Upper

Value
Odds Ratio f or peran
PMO kategori
(kurang baik / baik)
For c ohort kepatuhan
= tidak patuh
For c ohort kepatuhan
= patuh
N of Valid Cas es

1.032

.465

2.290

1.023

.570

1.836

.992

.802

1.227

128

skappetugas kategori * kepatuhan


Cross tab

skappetugas
kategori

kurang ramah

ramah

Total

Count
% w ithin s kappetugas
kategori
Count
% w ithin s kappetugas
kategori
Count
% w ithin s kappetugas
kategori

kepatuhan
tidak patuh
patuh
8
27

Total
35

22.9%

77.1%

100.0%

26

67

93

28.0%

72.0%

100.0%

34

94

128

26.6%

73.4%

100.0%

Chi-Square Te s ts
V alue
.339 b
.128
.346

Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by -Linear
A ss ociation
N of V alid Cas es

.336

df
1
1
1

A sy mp. Sig.
(2-s ided)
.560
.721
.556

Ex ac t Sig.
(2-s ided)

Ex ac t Sig.
(1-s ided)

.657

.366

.562

128

a. Computed only f or a 2x 2 table


b. 0 cells (.0%) hav e ex pec ted count less than 5. The minimum expected c ount is 9.
30.
Ris k Estim ate

V alue
Odds Ratio f or
skappetugas kategori
(kurang ramah / ramah)
For c ohort kepatuhan =
tidak patuh
For c ohort kepatuhan =
patuh
N of V alid Cas es

95% Conf idence


Interval
Low er
Upper

.764

.307

1.896

.818

.410

1.631

1.071

.859

1.335

128

peran keluarga kategori * kepatuhan


Cross tab

peran keluarga
kategori

kurang baik

baik

Total

Count
% w ithin peran
keluarga kategori
Count
% w ithin peran
keluarga kategori
Count
% w ithin peran
keluarga kategori

kepatuhan
tidak patuh
patuh
4
16

Total
20

20.0%

80.0%

100.0%

30

78

108

27.8%

72.2%

100.0%

34

94

128

26.6%

73.4%

100.0%

Chi-Square Te s ts
V alue
.523 b
.201
.550

Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by -Linear
A ss ociation
N of V alid Cas es

df
1
1
1

.519

A sy mp. Sig.
(2-s ided)
.469
.654
.458

Ex ac t Sig.
(2-s ided)

Ex ac t Sig.
(1-s ided)

.588

.337

.471

128

a. Computed only f or a 2x 2 table


b. 0 cells (.0%) hav e ex pec ted count less than 5. The minimum expected c ount is 5.
31.
Ris k Estim ate

Value
Odds Ratio f or peran
keluarga kategori
(kurang baik / baik)
For c ohort kepatuhan
= tidak patuh
For c ohort kepatuhan
= patuh
N of Valid Cas es

95% Conf idence


Interval
Low er
Upper

.650

.201

2.102

.720

.285

1.821

1.108

.864

1.420

128

biaya kategori * kepatuhan


Cross tab

biay a kategori

murah
mahal

Total

kepatuhan
tidak patuh
patuh
Count
10
30
% w ithin biaya kategori
25.0%
75.0%
Count
24
64
% w ithin biaya kategori
27.3%
72.7%
Count
34
94
% w ithin biaya kategori
26.6%
73.4%

Total
40
100.0%
88
100.0%
128
100.0%

Chi-Square Te s ts
Value
.073 b
.003
.073

Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by -Linear
Ass ociation
N of Valid Cas es

.072

df
1
1
1

Asy mp. Sig.


(2-s ided)
.787
.957
.787

Ex ac t Sig.
(2-s ided)

Ex ac t Sig.
(1-s ided)

.833

.484

.788

128

a. Computed only f or a 2x 2 table


b. 0 cells (.0%) hav e ex pec ted count less than 5. The minimum expected c ount is 10.
63.
Ris k Estim ate

Value
Odds Ratio f or biaya
kategori (murah / mahal)
For c ohort kepatuhan =
tidak patuh
For c ohort kepatuhan =
patuh
N of Valid Cases

95% Conf idence


Interval
Low er
Upper

.889

.378

2.092

.917

.485

1.732

1.031

.828

1.285

128

Anda mungkin juga menyukai