Anda di halaman 1dari 32

ASKEP ANAK DENGAN

MENINGITIS
KELOMPOK 1 S-1KP LJ/III
FITRIA, INGNA, MARIA JITA, MISCA, NUNIK,
ROSITA DAN MIRA

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit infeksi di Indonesia masih merupakan
masalah kesehatan yang utama. Salah satu
penyakit tersebut adalah infeksi susunan saraf
pusat. Menurut Riyadi dan Sukarmin (2009),
meningitis adalah peradangan yang terjadi pada
selaput otak (arachnoid dan piamater). Bakteri dan
virus merupakan penyebab utama dari meningitis.
Meningitis
dapat
juga
disebabkan
oleh
mikroorganisme, luka fisik, kanker, atau obatobatan tertentu.
Meningitis merupakan penyakit infeksi dengan
angka kematian berkisar antara 18-40% dan angka
kecacatan 30-50%. Penyakit meningitis sampai saat
ini telah membunuh jutaan balita di seluruh dunia.

Di Indonesia, dilaporkan bahwa Haemophilus influenzae

tipe B ditemukan pada 33% kasus meningitis. Pada


penelitian lanjutan, didapatkan 38% merupakan
penyebab meningitis pada anak kurang dari 5 tahun. Di
Australia pada tahun 1995 meningitis yang disebabkan
Neisseria meningitidis 2,1 kasus per 100.000 populasi,
dengan puncaknya pada usia 04 tahun dan 1519 tahun.
Sedangkan
kasus
meningitis
yang
disebabkan
Steptococcus pneumoniae angka kejadian pertahun 10
100 per 100.000 populasi pada anak kurang dari 2 tahun
dan diperkirakan ada 3000 kasus per tahun untuk
seluruh kelompok usia, dengan angka kematian pada
anak sebesar 15%, retardasi mental 17%, kejang 14% dan
gangguan pendengaran 28%.

Pengertian

Meningitis adalah peradangan pada selaput


meningen, cairan serebrospinal dan spinal column
yang menyebabkan proses infeksi pada system
saraf pusat (Suriadi, 2006).
Meningitis adalah infeksi ruang subaraknoid dan
leptomeningen yang disebabkan oleh berbagai
organisme pathogen. (Rudolph, 2006).
Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges,
organisme
penyebab
meningitis
bakterial
memasuki meninges secara langsung sebagai
akibat cedera traumatik atau secara tidak
langsung dipindahkan dari tempat lain di dalam
tubuh ke dalam cairan serebrospinal (Betz dan
Sowden, 2002)

Kesimpulan :

Meningitis adalah peradangan pada selaput


otak yang dapat terjadi secara langsung
disebabkan oleh masuknya mikroorganisme
penyebab ke meninges karena cedera trauma
maupun tidak langsung karena dipindahkan
melalui peredaran darah dari tempat lain ke
dalam cairan serebrospinal.

Insidens

Meningitis lebih banyak terjadi pada


anak laki-laki daripada perempuan,
insidens puncak terdapat pada rentang
usia 6 sampai 12 bulan, dan rentang usia
dengan
angka
mortalitas
tertinggi
adalah dari lahir sampai umur 4 tahun
(Betz, C. L dan Sowden, A. L., 2002).

PENYEBAB

Mikroorganisme
yang
menyebabkan
meningitis
dikelompokkan berdasarkan umur bayi/anak (Betz, C. L
dan Sowden, A. L., 2002) :
Neonatus
Organisme primer penyebab meningitis adalah bakteri
enterik gram-negatif, batang gram-negatif dan
streptokokus grup B.
Bayi usia 3 bulan-5 tahun
Organisme primer penyebabnya adalah Haemophilus
influenzae tipe-B
Anak usia > 5 tahun
Disebabkan oleh infeksi Neisseria meningitidis atau
infeksi stafilokokus.

Menurut
Riyadi
dan
Sukarmin
(2009),
mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis
adalah:
Pneumokokus, Haemofilis influenzae,
Stapilokokus,
Streptokokus,
Escherichia
Coli,
Meningokokus dan Salmonela.

Klasifikasi
Meningitis dapat disebabkan oleh berbagai
organisme yang bervariasi, tetapi ada dua
tipe utama yakni:
Meningitis
bakterial/purulenta,
menignitis
yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus,
terutama meningokokus, pneumokokus, dan
basil influenza.
Meningitis aseptik/ meningitis virus, yang
disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat
bervariasi.

Manifestasi klinis
Neonatus

Suhu dibawah normal, demam, pucat, letargi, iritabilitas,


kemampuan menghisap buruk, kurang makan dan minum,
kejang, tonus buruk, diare dan muntah, fontanel menonjol,
opistotonus, peka rangsangan.
Bayi dan anak kecil (5 tahun)
Letargi, iritabilitas, pucat, anoreksia atau kurang makan, mual
dan muntah, makin sering menangis/rewel, peningkatan
tekanan intrakranial, perubahan lingkar kepala, fontanel
menonjol, kejang, kaku kuduk dapat terjadi dan tidak terjadi,
dan peka rangsangan yang nyata.
Anak lebih dari 5 tahun.
Sakit kepala,demam, muntah, iritabilitas, fotofobia, kaku kuduk
dan tulang belakang, tanda Kernig dan Brudzinski positif,
opistotonus, petekie, septikemia, syok, konfusi dan kejang.

Trias klasik gejala meningitis adalah demam,

sakit kepala, dan kaku kuduk. Perubahan


tingkat kesadaran lazim terjadi dan ditemukan
pada hingga 90% pasien (Rudolph, 2006 ).

Pemeriksaan penunjang

Pungsi lumbal dan kultur CSS


dengan hasil ;
Jumlah leukosit meningkat
Kadar glukosa menurun (infeksi
bakterial), normal (infeksi virus)
Protein tinggi (inf. Bakterial);
sedikit meningkat (inf. Virus)
Tekanan meningkat.
Identifikasi organisme penyebabmeningokokus, bakteri grampositif (streptokokus,
stapilokokus, pneumokokus,
H.Influenzae), atau virus.
Asam laktat meningkat
(bakterial)
Glukosa serum meningkat.

Kultur darah untuk menetapkan


organisme penyebab

Kultur urin untuk menetapkan


organisme penyebab

Kultur nasofaring untuk menetapkan


organisme penyebab

Elektrolit serum meningkat jika anak


dehidrasi, natrium serum naik, kalium
serum turun.

osmolaritas urin meningkat dengan


sekresi ADH

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan di rumah
Bersifat sementara untuk memberikan pertolongan

awal dalam memberikan support berfungsinya organ


vital, setelah itu anak harus segera dirujuk ke rumah
sakit. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan di
rumah yaitu :
Tempatkan anak pada ruangan dengan sirkulasi
udara baik, tidak terlalu panas dan tidak lembab.
Tempatkan anak pada tempat tidur yang rata dan
lunak dengan posisi kepala miring hiperekstensi.
Berikan
kompres hangat pada anak untuk
membantu menurunkan demam.
Berikan obat penurun panas, anak diberikan minum
yang cukup dan hangat.

Penatalaksanaan secara medis yang dapat

dilakukan pada anak dengan meningitis adalah


:
Pemberian cairan intravena.
Penempatan anak pada ruangan yang minimal
rangsangan.
Pembebasan jalan napas dengan suction dan
posisi kepala anak miring hiperekstensi.
Pemberian antibiotik sesuai dengan
mikroorganisme penyebab.
Pemberian diazepam untuk anak yang
mengalami kejang.
(Riyadi dan Sukarmin, 2009).

KOMPLIKASI

Efusi Subdural.
Peradangan pada daerah
ventrikuler otak.
Hidrosepalus.
Abses otak.

Abses otak

Epilepsi, buta, dan tuli disebabkan kerusakan


pada saraf kranial.

Retardasi mental.

Serangan meningitis berulang.

Askep teoritis
Pengkajian
Riwayat Kesehatan Masa Lalu.
Mencakup beberapa pertanyaan sebagai berikut :
- Apakah pernah menderita inpeksi saluran
pernafasan akut (ISPA).
- Apakah pernah menderita trauma yang
mencederai kepala
- Adakah kelainan bawaan (spina bifida)
- Bagaimana riwayat kesehatan ibu selama hamil
- Bagaimana riwayat kesehatan keluarga
- Bagaimana riwayat imunisasi, dll.

Keluhan utama dari orangtua sesuai


dengan umur anak.
Pemeriksaan fisik (wong,2008)
Tanda-tanda vital
Denyut nadi, pernapasan dan tekanan

darah memberikan informasi keadekuatan


sirkulasi darah dan kemungkinan penyebab
dasar terjadinya perubahan kesadaran.
Aktivitas otonom akan mengalami
gangguan paling berat pada keadaan koma
dalam dan pada keadaan lesi batang otak.

Suhu tubuh: sering kali meningkat dan

kadang-kadang kenaikan suhu ini sangat


ekstrem. Koma yang disebabkan oleh
intoksikasi dapat menimbulkan hipotermia.
Suhu tubuh yang tinggi umumnya merupakan
tanda adanya proses infeksi akut atau
serangan panas tetapi dapat juga disebabkan
oleh ingesti beberapa obat

Pengkajian neurologik
Hasil pemeriksaan kepala : fontanel-menonjol, rata,

cekung. Lingkar kepala untuk anak kurang dari 2


tahun, dan bentuk umum.
Reaksi pupil ; ukuran, reaksi terhadap cahaya,
kesamaan respons.
Tingkat kesadaran (skala koma Glasgow) ;
kewaspadaan-respons terhadap panggilan dan
perintah. Iritabilitas, letargi dan rasa mengantuk.
Orientasi terhadap diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
Aktivitas kejang ; jenis dan lamanya
Fungsi sensoris ; reaksi terhadap nyeri dan suhu.
Kemampuan intelektual (tergantung tingkat perkembangan)

: kemampuan menulis dan menggambar, dan kemampuan


membaca

Pernapasan
Bernapas.

Frekuensi pernapasan, kedalaman, dan


kesimetrisan. Pola napas-apnea dan takipnea. Retraksisuprasternal, interkostal, subkostal dan supraklavikular.
Pernapasan cuping hidung, posisi yang nyaman.
Hasil auskultasi toraks. Bunyi napas merata, bunyi napas
abnormal-ronki kering/basah. Fase inspirasi dan ekspirasi
memanjang. Serak, batuk dan stridor.

Fungsi motorik: Pengamatan aktivitas


spontan, postur tubuh dan respon terhadap
rangsangan
nyeri
akan
memberikan
petunjuk lokasi dan luas disfungsi serebral.
Pada keadaan koma dalam hanya terdapat
sedikit atau tidak ada gerakan spontan
sama sekali, sistem otot cenderung flasid.
Terdapat keberagaman perilaku motorik
secara bermakna pada derajat koma yang
lebih ringan.

Pengkajian gastrointestinal.
Hidrasi ; turgor kulit, membran mukosa
dan asupan serta haluaran.
Abdomen ; nyeri, kekakuan, bising usus,
muntah-jumlah,
frekuensi
dan
karakteristiknya. Feses-jumlah, frekuensi
dan karakteristiknya, kram dan tenesmus.

Postur tubuh: karena kendali korteks terhadap

fungsi motorik mengalami gangguan pada


disfungsi otak, refleks primitif postural akan
muncul. Refleks ini tampak nyata pada postur
tubuh dan gerakan motorik yang berhubungan
langsung dengan area otak yang terkena. Postur
dekotikasi yang khas meliputi adduksi lengan
pada arah bahu, fleksi lengan di dada disertai
fleksi
pergelangan
tangan
dan
tangan
menggenggam sedangkan ekstermitas bawah
ekstensi
dan
adduksi.
Postur
desebrasi
merupakan tanda disfungsi pada tingkat
mesenfalon, dicirikan dengan ekstensi dan
pronasi lengan dan tungkai yang kaku.

Refleks: Pada umumnya refleks kornea, pupil,

regangan otot superfisial dan plantaris cenderung


tidak muncul pada keadaan koma yang dalam.
Keadaan
refleks
bervariasi
pada
derajat
ketidaksadaran yang lebih ringan tergantung proses
patologi yang mendasari serta lokasi lesi. Refleks
kornea yang negatif dan adanya refleks leher tonik
berkaitan dengan kerusakan otak yang berat.
3 jensi refleks penting yang menunjukkan
kesehatan neurologik pada bayi kecil adalah refleks
moro, refleks tonik leher (kaku leher) dan refleks
menarik anggota tubuh

Diagnosa Kep
Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan

dengan penumpukkan sekret di trakeobronkial.


Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
tubuh berhubungan dengan pengeluaran yang
berlebihan.
Hipertermi berhubungan dengan toksemia
Nyeri berhubungan dengan iritasi meningeal.
Resiko gangguan perfusi jaringan berhubungan
dengan penurunan asupan oksigen dari luar.
Resiko cidera fisik berhubungan dengan kejang
dan penurunan kesadaran.

Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan


dengan penumpukkan sekret di trakeobronkial.

Tujuan : anak tidak

jatuh kedalam
kondisi henti napas.
Hasil yang
diharapkan : Tandatanda vital (nadi,
frekuensi pernapasan
dan tekanan darah)
dalam batas normal
sesuai umur anak.

Tindakan Keperawatan :
Kaji frekuensi dan jalan nafas anak
Atur posisi anak dengan kepala

miring hiperekstensi
Keluarkan lendir yang ada pada

faring, trakea dengan manual atau


section
Anjurkan orang tua untuk memberi

minum anak (bila tingkat kesadaran


memungkinkan) dengan minuman
yang hangat
Kolaborasi pemberian obat mukolitik

dan bronkodilator melalui inhalasi


atau nebulizer seperti perpaduan
flexotid dan ventolin dengan
perbandingan 1:1.

Hipertermi berhubungan dengan toksemia


Tujuan :

anak menunjukkan
perubahan suhu ke
arah suhu tubuh
yang normal.
Hasil yang
diharapkan :
suhu tubuh anak
dalam batas normal
(35,80-37,3 0c)

Tindakan Keperawatan :

Monitor suhu tubuh anak

Lakukan kompres hangat atau dingin pada


anyaman kelenjar limfe dan pembuluh darah
yang besar seperti daerah ketiak, lipatan
paha, leher.

Bedrestkan pasien untuk menghambat


perjalanan toksik.

Kolaborasi pemberian antipiretik seperti


parasetamol. Dosis rata-rata yang dianjurkan
adalah usia 1 tahun 60-120 mg, usia 1-5
tahun 120-150 mg, usia 6-12 tahun 250-500
mg.

Kolaborasi pemberian antibiotik

Nyeri berhubungan dengan iritasi meningeal


Tujuan : Anak merasa

nyaman.
Hasil yang
diharapkan :
NOC : Comfort level
Perasaan fisik dan
psikologis ringan
Anak tampak tenang
dan menunjukkan
kenyamanan

Tindakan Keperawatan :

Minimalkan stimulus taktil.

Bantu anak berada pada posisi yang nyaman.

Berikan penerangan yang redup.

Pertahankan lingkungan yang tenang, tutup


pintu.

Kolaborasi : berikan analgesik yang sesuai


dengan ketentuan seperti asetaminofen atau
kodein.

Resiko gangguan perfusi jaringan


berhubungan dengan penurunan asupan
oksigen dari luar.

Tindakan Keperawatan:
Kaji tingkat pemenuhan oksigen jaringan melalui pemantauan
capillary refill, warna kulit, tingkat kesadaran, produksi urin dan
AGD.
Tempatkan anak pada ruangan dengan ventilasi yang baik akan
membantu jumlah penyediaan oksigen ruangan yang dapat di
ambil oleh anak dan meningkatkan tekanan oksigen ruangan
sehingga mudah masuk ke saluran pernafasan.
Berikan oksigen dengan masker oronasal atau canule atau tenda
(pemberian dengan canule 3 liter permenit dapat mencapai
konsentrasi 35%, pemberian masker 4 liter/menit dapat
memberikan konsentrasi 24-28% sedangkan untuk 8 liter/menit
dapat mencapai konsentrasi 35%).
Batasi aktifitas anak (aktifitas diusahakan di tempat tidur)
Kolaborasi pemberian obat penenang (bila di anggap sangat perlu)
seperti diazepam atau barbiturat.

Resiko cidera fisik berhubungan dengan kejang dan


penurunan kesadaran.
Tujuan : anak tidak

mengalami cedera
fisik.
Hasil yang
diharapkan : Anak
tidak mengalami luka
lebam maupun luka
lainnya karena jatuh

Tindakan Keperawatan :

Kaji tingkat kesadaran anak melalui Glolow


Coma Scale (GCS)

Tempatkan anak pada bed dengan pengaman


di semua sisinya.

Tempatkan anak pada bed dengan pengalas


lunak dan posisi garis lurus

Pantau posisi dan keadaan umum anak setiap


jam

Diskusikan dengan keluarga tentang


perkembangan tingkat kesadaran dan jadwal
pemantauan pasien.

Perencanaan pulang dan perawatan di Rumah.


Menurut Betz, C. L, dan Sowden, L. A., (2002),

perencanaan pulang dan perawatan di rumah adalah


:

Ajarkan pada orang tua tentang pemberian obat dan


pemantauan efek samping.
Ajarkan pada orang tua untuk memantau komplikasi jangka
panjang serta tanda dan gejalanya.

Daftar pustaka
Betz, C. L., & Sowden, L. A. 2002. Buku saku : Keperawatan pediatri, Ed. 3.
Jakarta: EGC.
Hidayat, A. A. A. (2008). Pengantar ilmu keperawatan anak. Buku 2. Jakarta:
Salemba Medika.
Nursalam., Susilaningrum, R., & Utami, S. (2008). Asuhan Keperawatan bayi dan
anak (untuk perawat dan bidan). Jakarta: Salemba Medika.
Riyadi,S & Sukarmin, (2009). Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Rudolph, A.M. Hoffman, J.I.E. & Rudolph, C.D. (2006). Buku Ajar Pediatri Rudolph
Vol.1. Jakarta : EGC.
Suriadi, R. Y. (2006). Asuhan keperawatan pada Anak Ed.2. Jakarta: Percetakan
Penebar Swadaya.
Wong, D.L. (2003). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. ed.4. Jakarta : EGC
Wong,D.L., Hockenberry, M., David, W., Winkelstein, M. l., & Schwartz, P. (2008).
Buka ajar keperawatan pediatrik. vol;2, Alih bahasa; Agus, S., Neti .J. Editor bahasa
Indonesia : Egi K.Y. ed.6. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai