Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa latin
untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk
salah satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu
sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya
sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum
terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan,
batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta
otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang.
Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis
sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet. Otot-otot
skelet adalah serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot)
yang berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan kelelahan yang cepat
(fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik setelah
istirahat.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi
dari

AchR

serta

interaksinya

dengan

antibodi

AchR.

Hubungan

antara

konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia
gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR
mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbedabeda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat
memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya, beberapa dari terapi ini
justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih
sangat kurang.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A.

DEFINISI
Istilah Myasthenia adalah bahasa latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk

berat atau serius. Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Myasthenia Gravis termasuk salah
satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri
adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri.
Antibodi inimerupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan.
Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum
terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan,
batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta
otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang.

B.

ETIOLOGI
Myasthenia gravis disebabkan oleh kelainan dari imun sistem. Faktor utama

penyebabnya tidak diketahui. Kelainan ini juga mempunyai faktor genetik, hal ini bisa
dilihat dari adanya tipe kongenital myasthenia gravis dan tipe transient myasthenia gravis.
Pada beberapa penelitian myasthenia gravis dapat dikaitkan dengan kelainan autoimun
lainnya. Pasien dengan keluarga yang menderita rheumatoid arthritis, scleroderma, dan
lupus dapat mening-katkan angka kejadian penyakit tersebut.
Pada penderita penyakit ini didapatkan pula sekitar 15% mengalami thymoma
(tumor pada thymus) dan sekitar 60-80% mengalami hiperplasia (pembesaran abnormal)
thymus. Thymus merupakan organ tubuh yang memproduksi sel yang terlibat dalam proses
imunitas.

C.

KLASIFIKASI

Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board


(MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :

Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih
normal

Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat
kelemahannya

Class

IIa

Mempengaruhi

ekstrimitas,

Sedikit

mempengaruhi

otot-otot

oropharyngeal

Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga


mempengaruhi ekstrimitas

Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan
pada otot okuler

Class

IIIa

Mempengaruhi

ektrimitas

Sedikit

mempengaruhi

otot-otot

oropharyngeal

Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga


mempengaruhi ekstrimitas

Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot
okuler

Class

IVa Mempengaruhi

ekstrimitas,

Sedikit

pengaruh

pada

otot-otot

oropharyngeal

Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, Juga


mempengruhi otot-otot ekstrimitas

Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative)

Millichap dan Dodge membagi Miastenia gravis pada anak dalam 3 tipe :
1. Neonatal transient Miastenia gravis
Tipe ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu yang menderita Miastenia
gravis. Beratnya gejala tidak berkaitan dengan beratnya penyakit pada ibu. Segera atau
beberapa jam setelah lahir, bayi menjadi lemah, nangis dan gerakan berkurang, tidak dapat
mengisap, sukar menelan, pernapasan melemah. Gejala ini berlangsung tidak lebih dari 1
Bulan dan bayi berangsur-angsur kembali normal karena masuknya anti-AChR dari ibu
secara transplasenter ke dalam tubuh bayi.
2. Neonatal persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis)
Gejala timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis. Gejala hampir
sama dengan tipe neonatal transient Miastenia gravis, Bersifat ringan, berlangsung lama,
makin lama makin buruk. Relatif resisten terhadap pengobatan dan remisi komplit jarang.
3. Juvenile Miastenia gravis
Tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala sama seperti pada
orang dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis atau gejala THT seperti
gangguan mengunyah, menelan atau suara sengau.

D.

ANATOMI,

FISIOLOGI,

DAN

BIOKIMIA

NEUROMUSKULAR

JUNCTION
1.

Anatomi Neuromuscular Junction


Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan

fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara
normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot
rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular
junction atau sambungan neuromuskular.

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf.
Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah
sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.

2.

Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction


Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post

sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis,
yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh
cairan ekstraselular secara difusi.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian
dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi
sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post
sinaptik.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
1)

Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan

enzim kolin

asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:

Asetil-KoA +

Kolin a Asetilkolin + KoA


2)

Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang

disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.


5

3)

Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap

berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan
membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul
transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara
spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah
akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan
membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan
yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel)
ke dalam rongga sinaps.
4)

Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke

dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol
dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang
tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada
sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka
saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya
ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end
plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya
dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul
kontraksi otot.
5)

Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim

asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:


Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga
sinaps
6)

Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di

mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.


Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang
akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein
subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma.
6

Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati


saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik.
Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat
otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila
pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada
membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot

E.

PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi

miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan
autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun
tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang
memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.
Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan
penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap
asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita
acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia
gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis
miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap
imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau
thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan
terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang
reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan
7

ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

Gambar 1. Patofisiologi myasthenia gravis

F.

MANIFESTASI KLINIS
Kurang lebih 90 % gejala awal dari myasthenia gravis dapat berupa kesukaran

berbicara (dysarthria), sulit menelan (dysphagia), kelopak mata jatuh (ptosis), penglihatan
ganda (diplopia). Otot wajah, laring, dan faring juga sering terlibat dalam MG.
Keterlibatan ini dapat mengakibatkan regurgitas melalui hidung ketika berusaha menelan
(otot palatum); bicara hidung yang abnormal; dan tidak dapat menutup mulut, yang disebut
sebagai tanda rahang menggantung (hanging jaw sign). Dengan terkenanya otot wajah,
pasien akan terlihat seperti menggeram bila mencoba tersenyum. bila penyakit ini hanya
terbatas pada kelopak mata saja , maka prognosisnya menjadi lebih baik.
Pasien juga sering mempunyai suara sengau, dan kelemahan otot leher yang dapat
menyebabkan kepala jatuh kedepan atau kebelakang. Gejala ini hilang timbul, dan dapat
menghilang selama beberapa minggu yang kemudian muncul kembali.

Komplikasi yang dapat terjadi pada myasthenia gravis ialah crisis myasthenic
dimana otot pengatur pernafasan terkena , sehingga dapat menjadi kelemahan otot yang
dapat berakibat kegagalan pernafasan . Keadaan ini mengakibatkan pasien membutuhkan
pernafasan bantuan yang secepatnya.
Selain itu dapat juga terjadi komplikasi yang lain seperti : tersedak makanan,
aspirasi makanan/ minuman, dan pneumonia. Keadaan ini dapat terjadi karena otot
pernafasan yang terserang menjadi lemah sehingga refleks batuk menjadi lemag dan pasien
menjadi susah untuk membersihkan lendir di trakeanya.

Faktor-faktor yang memicu

komplikasi ialah infeksi, operasi, kortikosteroid yang diturunkan dosisnya terlalu cepat,
overekskresi ( terutama daerah yang panas ) ,kehamilan dan stress.

Gambar 2. Manifestasi klinis

G.

DIAGNOSIS
Diagnosis myasthenia gravis ditegakan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik. .
Dari anamnesa didapatkan pasien mengalami kelemahan otot saat melakukan

aktivitas yang akan memebaik setelah beristirahat, kelopak mata yang jatuh dll.
Pemeriksaan neurologik :
Tanda meliputi :

Kelemahan otot wajah termasuk kelopak mata yang menggantung

Penglihatan ganda

Kesulitan bernafas, berbicara dan mengunyah

Kelemahan pada otot tangan dan kak

Gejala yang umum yang terlihat pada pasien dengan Miastenia Gravis adalah :

Diplopia (penglihatan ganda)

Ptosis (kelopak mata tang menggantung)

Diplopia
Penglihatan danda yang terjadi ketika mata tidak dapat memfokuskan, dikarenakan
lemahnya satu atau lebih otot luar mata yang mengontrol pergerakan mata. Hal ini lebih
sering muncul ketika melihat ke atas atau ke samping. Untuk menghilangkan kelemahan
ini pasien akan memiringkan wajahnya kea rah otot mata yang lebih baik.
Ptosis
Ptosis (kelopak mata yang menggantung) juga disebabkab lemahnya otot. Kedipan
mata atau kernyitan kelopak mata yang menggantung kadang-kadang dapat terlihat. Bila
kedua kelopak mata menggantung, umumnya satu mata lebih menggantung dibandingkan
yang lainnya.
10

Selain dengan melihat tanda-tanda tersebut ada beberapa test yang dapat dilakukan
untuk mengkonfirmasi diagnosa penyakit Myasthenia Gravis. Test-test yang dapat
dilakukan itu antara lain :
1. Test Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test Wartenberg.
Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu benda yang terletak diatas dan
diantara bidang kedua mata untuk beberapa waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis,
kelopak mata yang terkena akan menunjukkan ptosis.
2. Test Prostigmin atau Test Neostigmin
Prostigmin dicampur dengan atropine sulfas kemudian disuntikkan kedalam
pembuluh darah penderita (intramuskularis atau subcutan). Meningkatnya kekuatan otot
rangka yg lemah setelah disuntik 1.5 mg prostigmin SK (timbul dalam waktu 10-15 min
dan berlangsung sampai 4 jam). Atropin sulfat 0.6 mg diberikan secara simultan untuk
mengatasi efek samping seperti ventricular fibrilasi dan penghentian jantung.
Injeksi intravena 2-3 mg digunakan sebagai suatu dosis tes untuk membedakan
krisis myasthenik (yang akan membaik) dengan intoksikasi akibat pengobatan berlebihan
(tanpa perubahan) pada penderita myasthenik yang dalam pengobatan.
Test dianggap positif apabila gejala-gejala kelemahan menghilang dan tenaga
membaik. Prostigmin secara oral juga bisa diberikan sebagai dosis test. Efeknya masih
perlahan pada permulaan dan berakhir lebih dari 2 sampai 3 jam.
3. Test Edrophonium Chloride (Tensilon)
Dasar dari tes ini adalah dimana acetylcholinesterase menghancurkan acetylcholine
(Ach) setelah otot distimulasi, untuk mencegah otot terstimulasi lebih lama. Pada MG, ada
sedikit penerima asetilkolin (AChR) pada otot dan asetilkoline dihancurkan sebelum bisa
secara penuh menstimulasi otot, sehingga menghasilkan kelemahan otot. Edrophonium
chloride (Tensilon) adalah obat yang bekerja memblok aksi dari acetylcholinesterase untuk
beberapa saat. Dengan merintangi aksi dari asetilkolineterase, tensilon memperpanjang
stimulasi otot dan secara berkala memperbaiki kekuatan.

11

Pada penderita ini, injeksi 10 mg. Tensilon secara intravenous akan meredakan
kelemahan dalam waktu 20-30 detik. Tes ini paling efektif, saat terjadi kelemahan otot
yang dapat diobservasi. Efek samping dari tes ini adalah ritme jantung abnormal selama
beberapa saat seperti atrial fibrilasi dan bradikardi.
Pemeriksaan penunjang :
1.

Pemeriksaan darah :

untuk melihat beberapa serum level antibody, seperti :


a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia
gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan
hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa
miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody.
b. Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia
kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, antiSM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK
Ab.
2.

Rontgen dada dan CT-scan leher untuk mendeteksi thymoma.

Kebanyakan 20 % pasien dengan Miastenia gravis mempunyai Kelainan di Timoma, di


mana sekitar 70 % adalah Pembesaran Tymus.

12

3.

Elektromiografi (EMG)
alat ini menggunakan elektroda yang menstimulasi otot dan mengevaluasi fungsi

otot. Kontraksi otot yang makin melemah menunjukan adanya myasthenia gravis.

H.

PENGOBATAN

1.

Medikamentosa
-

Anticholinesterase :
Pengobatan medis dengan obat antikolenesterase adalah terapi terpilih untuk

menetralkan gejala MG. Neostigmin menon-aktifkan atau merusak kolinesterase


sehingga asetilkolin tidak cepat rusak. Efeknya adalah pemulihan aktivitas otot
mendekati normal, paling tidak 80% hingga 90% dari kekuatan atau daya tahan otot
sebelumnya.

neostigmin ( prostigmin )

Obat ini mencegah penghancuran Ach dan meningkatkan akumulasi Ach pada
neuromuscular junction
Dosis : 15 mg peroral 4 kali sehari (dapat dinaikan sampai 180 mg perhari sampai
terjadi perbaikan).
Untuk keadaan darurat penderita harus selalu membawa 2 ampul @ 0.5 mg neostigmin
methylsulfat untuk segera diberikan secara IM/ SK. Dan harus segera berada dibawah
pengawasan medis.
Efek samping : hipersalivasi , fasikulasi , nyeri perut, mual, diare.

Pyridostigmin bromida (Mestinon)

Analog neostigmin, kadang kadang lebih efektif pada pengobatan otot bulbar. Dosis
0.6-1.5 g sehari dengan interval. Tablet long acting (Mestinon Timespan) masing
masing 180 mg, terutama berguna saat tidur.

13

Terapi Imumunosupresive

Menekan antibody yg memblok AchR pada neuromuscular junction, dan dapat


digunakan bersama antikolinesterase
Kortiosteroid : prednisone
Dosis : Dosis Prednison : 1 mg /kgbb/hari.
Efek samping : katark, hipertensi ,tukak lambung, osteoporosis , hiperglikemia.

2.

Operatif
- Thymectomy
Sekitar 15% penderita MG memiliki tumor atau hiperplasi kelenjar timur yang

disebut timoma. Timus terlibat dalam perkembangan sistem imun sehingga pengangkatan
kelenjar bersifat kuratif bagi beberapa pasien. Keputusan untuk melakukan timektomi
dibuat berdasarkan pasien tersebut, karena keuntungan timektomi dalam mengurangi
gejala tidak sebesar pada pasien usia tua atau yang telah menderita MG lebih dari 5 tahun.
Sekitar 30% penderita MG timoma yang menjalani timektomi pada akhirnya mengalami
remisi bebas-pengobatan. Lima puluh persen yang lain mengalami perbaikan nyata.

I.

KRISIS DALAM MYASTHENIA GRAVIS


Pasien miastenik dikatakan berada dalam krisis bila sudah tidak mampu menelan,

membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat.


Dua jenis krisis adalah (1) kriris miastenik, yaitu keadaan ketika pasien membutuhkan
lebih banyak obat antikolinesterase, dan (2) krisis kolinergik, yaitu keadaan yang terjadi
akibat kelebihan obat antikolinesterase. Pada keadaan lain, ventilasi dan jalan yang
adekuat harus dipertahankan. Edrofonium klorida (Tensilon) (2 hingga 5 mg) diberikan
secara intravena sebagai tes untuk membedakan jenis krisis. Obat tersebut menghasilkan
perbaikan sementara dalam krisis miastenik namun tidak memperbaiki atau memperburuk
gejala pada krisis kolinergik.
14

J.

PROGNOSIS
Gejala Myasthenia Gravis biasanya bertambah parah dalam 3 tahun. Setelah 3

tahun biasanya pasien sudah stabil atau membaik. Pemberian terapi yang adekuat dan dini
telah mengurangi angka kematian pasien akibat gagal pernapasan.
Pasien yang berumur > 40 tahun dan pasien dengan perjalanan penyakit yang
memburuk dalam waktu singkat dan yang mempunai Thymoma mempunyai prognosa
yang lebih buruk.

15

BAB 3
PENUTUP
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saatberaktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya
gangguan dari pada neuromuscular junction
Myasthenia gravis disebabkan oleh kelainan dari imun sistem. Faktor utama
penyebabnya tidak diketahui. Pada penderita penyakit ini didapatkan pula sekitar 15%
mengalami thymoma (tumor pada thymus) dan sekitar 60-80% mengalami hiperplasia
(pembesaran abnormal) thymus. Thymus merupakan organ tubuh yang memproduksi sel
yang terlibat dalam proses imunitas.
Gejala Myasthenia Gravis biasanya bertambah parah dalam 3 tahun. Setelah 3
tahun biasanya pasien sudah stabil atau membaik. Pemberian terapi yang adekuat dan dini
telah mengurangi angka kematian pasien akibat gagal pernapasan.

16

DAFTAR PUSTAKA

1.

Price, Sylvia A Wilson, Lorraine M, 2006. Patofisiologi konsep klinis prosesproses penyakit. Edisi 6. vol 2. EGC. Jakarta

2. Frotscher, M. M. Baehr. 2012. Diagnosis topic neurologi DUUS : Anatomi


Fisiologi , tanda dan gejala, Ed. 4. EGC. Jakarta
3.

Review article, Myasthenia Gravis, JAOA, vol 104, No 9, September 2004, 377384

4.

Sidharta, P. Neurologi Klinis dalam praktek umum. Pustaka universitas, No 25,


174-176

5.

Penn, Audrey.Merrit Neurology 10th edition. Lippincott Williams &


Wilkins Publishers. 2000.

17

Anda mungkin juga menyukai