Anda di halaman 1dari 10

Kolangitis et causa Koledokolitiasis

Yohana Elviani Jemumu


102013458
C6
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
yohanaej@gmail.com

Pendahuluan
Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan. Risiko penyandang
batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi realtif kecil. Walaupun demikian, ketika
batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk
mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat. Batu empedu umumnya ditemukan di
dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam
saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu
sekunder.1
Di negara Barat 10-15% dengan batu empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada
beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu
intrahepatik atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer
lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara
Barat.1
Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan lebih
sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu asimtomatik. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai faktor-faktor yang bisa menyebabkan terjadinya batu empedu, serta
komplikasi yang dapat terjadi dan cara pencegahannya.1

Anamnesis
Anamnesis adalah wawancara antara dokter dan penderita atau keluarga penderita yang
mempunyai hubungan dekat dengan pasien atau warga yang menjadi saksi terhadap apa yang
berlaku, mengenai semua data tentang penyakit. Dalam anamnesis yang harus diketahui adalah
identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang dan dahulu, riwayat kesehatan
keluarga, riwayat peribadi dan riwayat ekonomi.2
Anamnesis dapat dibagikan kepada 2 jenis yaitu :2
a. Alloanamnesis : riwayat penyakit didapat dari orang tua atau sumber lain.
b. Autoanamnesis : riwayat penyakit yang langsung didapatkan dari pasien. Pasien sendiri
yang menemui dokter dan memberitahu sendiri riwayat penyakit dan keluhan yang
dialami.

Anamnesis harus dilakukan secara teliti, teratur, dan lengkap karena sebagian besar data
yang diperlukan diperoleh dari anamnesis untuk menegakkan diagnosis. Sesuai dengan kasus,
pertanyaan yang diajukan dapat meliputi identitas diri, keluhan utama, sejak kapan keluahan
utama muncul, keluhan lain yang mungkin dirasakan, riwayat penyakit yang diderita saat ini,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat pengobatan yang sudah dilakukan
dan kondisi sosial ekonomi pasien.
Didalam skenario didapat keluhan utamanya adalah nyeri hebat pada bagian kanan atas
(kolik), berlangsung kurang dari 12 jam(6 jam) yang menjalar hingga ke punggung kanan, 5 hari
yang lalu tubuhnya berwarna kekuningan dan tinjanya berwarna pucat seperti dempul. 2

Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan tanda-tanda vital seperti suhu, tekanan darah, frekuensi pernapasan, serta
frekuensi nadi.2
b. Inspeksi yaitu melihat keadaan fisik pasien apakah terdapat tanda-tanda abnormal seperti :
Pasien kelihatan sakit yang amat sangat dengan memegang perut yang artinya
-

menandakan adanya nyeri kholik abdomen.


Kulit kelihatan kekuningan mengindikasikan adanya ikterus.
Frekuensi pernapasan 24 x/mnt menunjukkan sakit yang mungkin disertai oleh

peradangan.
c. Palpasi yaitu meraba dibagian abdomen :
Adakah pasien mempunyai rasa nyeri tekan menyeluruh ataupun hanya di suatu
-

tempat saja.
Jika sakit dibagian kuadran kanan atas, indikasikan penyakit yang berhubungan

dengan hepatobilier.
Suhu badan yang terasa panas, menunjukkan pasien demam yang berkemungkinan

peradangan dibagian yang sakit.


Untuk memastikan lakukanlah murphy sign, jika positif mengindikasikan pasien
sakit dibagian empedu atau saluran empedu.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil studi laboratorium normal pada pasien tanpa gejala dan pasien dengan kolik
bilier yang tidak disertai komplikasi. Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak diperlukan
dalam keadaan terdapatnya batu empedu kecuali diduga terdapatnya kolesistitis. Pasien
dengan kolangitis dan pankreatitis memiliki nilai tes laboratorium yang abnormal. Satu
nilai laboratorium abnormal tidak memastikan diagnosis pada koledokolitiasis, kolangitis,
atau pankreatitis, melainkan, satu set hasil studi laboratorium mengarah ke diagnosis yang
benar.2
1. Peningkatan hitung sel darah putih menimbulkan kecurigaan terhadap adanya
peradangan atau infeksi, tetapi temuan tersebut tidak merupakan hasil yang spesifik.
2. Peningkatan serum bilirubin menunjukkan terdapatnya gangguan pada duktus
koledokus; semakin tinggi kadar bilirubin, semakin mendukung prediksi. Batu pada
duktus koledokus hadir di sekitar 60% dari pasien dengan kadar bilirubin serum lebih
dari 3 mg / dL.

3. Peningkatan kadar lipase dan amilase serum mengarah kepada terdapatnya


pankreatitis akut sebagai komplikasi dari koledokolitiasis.
4. Enzim transaminase (serum glutamic-piruvat transaminase dan serum glutamic
transaminase-oksaloasetat) meningkat pada pasien yang terdapat koledokolitiasis
disertai komplikasi kolangitis, pankreatitis, atau keduanya.
5. Alkali fosfatase dan gamma-glutamil transpeptidase meningkat pada pasien dengan
koledokolitiasis obstruktif. Hasil kedua tes tersebut memiliki nilai prediksi yang baik
terhadap kehadirannya batu pada duktus koledokus.
b. USG (Ultrasonografi) merupakan uji terbaik dalam mendeteksi adanya batu empedu
dengan teknik radiologi yang menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi untuk
menghasilkan gambar organ dan struktur tubuh. Gelombang suara yang dipancarkan dari
sebuah alat yang disebut transducer dan dikirim melalui jaringan tubuh. Gelombang suara
yang dipantulkan oleh permukaan dan bagian interior organ internal dan struktur tubuh
sebagai "gema." Gema tersebut menggemakan kembali ke transducer dan ditransmisikan
secara elektrik ke tampilan monitor. Dari monitor, sosok organ dan struktur dapat
ditentukan serta konsistensi organ, misalnya, cair atau padat.2
c. Endoscopic Retrograde Cholangio-Pancreatography (ERCP) merupakan sebuah
endoskopi yang tipis dan fleksibel digunakan untuk melihat bagian-bagian dari sistem
empedu pasien. Pasien dibius, dan tabung masuk melalui mulut, melewati perut dan ke
usus kecil. Alat tersebut kemudian menyuntikkan pewarna sementara ke dalam saluran
empedu. Pewarna tersebut memudahkan untuk melihat batu dalam saluran ketika foto
sinar-X diambil. Pada keadaan tertentu batu dapat dihilangkan selama prosedur ini.2
d. Magnetic

Resonance

Cholangio-Pancreatography

(MRCP)

merupakan

teknik

pencitraan menggunakan gama magnet tanpa zat kontras, instrument, dan radiasi ion. Pada
MRCP, saluran empedu yang terlihat terang karena intensitas sinyal yang tinggi, sedangkan
batu saluran empedu akan terlihat dengan intensitas sinyal rendah yang dikelilingi empedu
yang intensitasnya tinggi. Maka, metode ini sangat cocok untuk mendeteksi batu saluran
empedu.

Working Diagnosis
Koledokolitiasis
Koledokolitiasis adalah terdapatnya batu empedu di dalam saluran empedu yaitu di
duktus koledokus komunis (CBD). Koledokolotiasis terbagi dua tipe yaitu primer dan sekunder.
Koledokolitiasis primer adalah batu empedu yang terbentuk di dalam saluran empedu sedangkan
koledokolitiasis sekunder merupakan batu kandung empedu yang bermigrasi masuk ke duktus
koledokus melalui duktus sistikus. Koledokolitiasis primer lebih banyak ditemukan di Asia,
sedangkan di negara barat banyak koledokolitiasis sekunder.2
Sepuluh sampai 15 persen yang menjalani kolesistektomi batu empedu akan mempunyai
batu dalam duktus koledokus juga. Sebaliknya hampir semua pasien koledokolitiasis menderita
batu empedu bersamaan dalam vesika biliaris. Insiden koledokolitiasis pada waktu

kolesistektomi meningkat bersama usia, sekitar 3% diantara usia 20 dan 40 tahun serta
meningkat ke 25 persen diantara usia 60 dan 80 tahun.3
Batu duktus koledokus bisa berjalan asimtomatik ke dalam duodenum atau bisa tetap di
dalam batang saluran empedu selama beberapa bulan atau tahun tanpa menyebabkan gejala.
Tetapi koledokolitiasis sering merupakan sumber masalah yang sangat serius karena kompliaksi
mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam jiwa. Batu duktus koledokus disertai dengan
bakterobiliia dalam lebih dari 75 persen pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu,
dapat timbul kolangitis akuta.3
Keseriusan penyajian klinis ditemukan oleh derajat dan lama obstruksi saluran empedu
serta luas infeksi sekunder. Walaupun koledokolitiasis sering asimptomatik, sewaktu gejala
timbul sering kolik empedu koledokolitiasis tak dapat dibedakan dari kolesistolitiasis. Tetapi
demam yang memuncak, kedinginan, dan ikterus menggambarkan adanya batu duktus koledokus
dan kolangitis akuta. Ikterus khas sepintas dan episodik. Umumnya koledokolitiasis tidak
menyebabkan obstruksi lengkap.3
Diagnosis Banding
Kolangitis
Kolangitis

dan

koledokolitiasis

sering

terjadi

berdampingan.

Koledokolitiasis

didefinisikan sebagai adanya batu pada saluran empedu yang berbeda dari kolelitiasis.
Koledokolitiasis mungkin asimptomatik atau menyebabkan gejala akibat (1) obstruksi, (2)
pankreatitis, (3) kolangitis, (4) abses hati, (5) sirosis bilier sekunder, (6) kolesistitis batu akut.
Kolangitis adalah kata yang dipakai untuk infeksi bakteri pada saluran empedu. Kolangitis dapat
disebabkan semua lesi yang menyebabkan obstruksi aliran empedu, dan yang tersering adalah
koledokolitiasis.5
Kausa yang jarang adalah akibat pemakaian kateter atau stent (alat yang mencegah
obsturksi), tumor, pankreatitis akut, striktur jinak, dan meskipun jarang jamur, virus, atau parasit.
Bakteri kemungkinan besar masuk saluran empedu melalui sfingter Oddi; infeksi saluran
empedu intrahepatik disebut kolangitis ascenden. Bakterinya biasanya adalah aerob usus negatifGram, misalnya E-coli, Klebsiella, Clostridium, Bacteroides, atau Enterobacter, dan streptokokus
grup D.5
Kolangitis biasanya bermanifestasi sebagai demam, menggigil, nyeri abdomen, dan
ikterus, disertai peradangan akut dinding saluran empedu dan masuknya neutrofil ke dalam
lumen. Gejala yang hilang timbul mengisyaratkan serangan obstruksi parsial. Bentuk terparah
kolangitis adalah kolangitis supuratif karena terdapatnya empedu purulen yang mengisi dan
meregangkan saluran empedu.5
Abses Hati
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri, parasit,
jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan

adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati. Dan sering timbul
sebagai komplikasi dari peradangan akut saluran empedu.
Abses hepar dibagi menjadi 2, yaitu :4
1. Abses hati amebik (AHA) : E. Histolitika (spesifik)
Gejala klinis : Nyeri khas, spontan pada perut kanan atas, jalan membungkuk
kedepan, kedua tangan diletakkan diatasnya, dan demam tinggi intermitten atau
remitten.
2. Abses hati piogenik (AHP ) : Enterobacteracea, Microaerophilic streptococcus,
Klebsiella pneumonia (non-spesifik)
Gejala klinis : Demam tinggi, spontan pada perut kanan atas, jalan membungkuk
kedepan, kedua tangan diletakkan diatasnya, dan bisa disertai syok.
AHA lebih sering terjadi di negara berkembang dari AHP. AHP banyak terjadi akibat
komplikasi dari sistem biliaris. Gejala sistemik AHP biasanya lebih berat daripada AHA.
Sindrom klinis klasik abses hati adalah nyeri perut kanan atas, ditandai jalan membungkuk ke
depan dengan dua tangan ditaruh di atasnya, demam tinggi dan dapat terjadi syok. Gejala lain
yaitu mual, muntah, anoreksia, berat badan tururn, ikterus, feses seperti kapur, dan urin berwarna
gelap.
Hepatoma
Kanker hati (hepatocllular carcinoma, HCC), disebut juga hepatoma, adalah suatu kankr
yang timbul dari hati. Hepatoma primer secara histologis dibagi menjadi 3 jenis, yaitu; (1)
karsinoma hepatoselular, hepatoma primer yang berasal dari sel hepatosit. (2) karsinoma
kolangioselular, hepatoma primer yang berasal dari epitel saluran empedu intrahepatik dan (3)
angiosarkoma dan leimiosarkoma bersasal dari sel msenkim.4
Mekanisme karsinogenesis hepatoma belum sepenuhnya diketahui, apapun agen
penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi melalui pningkatan perputaran
(turnover) sel hati yang diinduksi oleh cedera dan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi dan
kerusakan oksidatif DNA. 4
Di Indonesia, HCC paling banyak ditemukan pada laki-laki usia 50-60 tahun. Manifestasi
klinis bervariasi, dari asimtomatik dan gagal hati. Penderita SH yang makin buruk kondisinya
perlu dicurigai telah timbulnya HCC. Keluhan utama yang paling sering adalah rasa kurang
nyaman di perut kanan atas. Selain itu ada anoreksia, kembung, konstipasi atau diare. Juga
terjadi pembengkakan di perut akibat massa tumor atau asites. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan hepatomegali(dengan/tanpa bruit hepatic), splenomegali, asites, ikterus, demam dan
atrofi otot. 4

Etiologi
Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu, yang terdiri dari
kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, fosfolipid (lesitin), dan

elektrolit. Komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sebagian kecil lainnya terbentuk
dari garam kalsium. Cairan empedu mengandung sejumlah besar kolesterol yang biasanya tetap
berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa
menjadi tidak larut dan membentuk endapan diluar empedu.5
Sebagian besar batu empedu terbentuk di dalam kandung empedu dan sebagian besar batu
di dalam saluran empedu berasal dari kandung empedu. Batu empedu bisa terbentuk di dalam
saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran atau
setelah dilakukan pengangkatan kandung empedu.5
Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu
(kolangitis), infeksi pankreas (pankreatitis) atau infeksi hati. Jika saluran empedu tersumbat,
maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri
bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.5

Epidemiologi
Di masyarakat Barat komposisi utama batu empedu adalah kolesterol, sedangkan penelitian
di Jakarta pada 51 pasien didapatkan batu pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada
27% pasien.1,4
Koledolitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun, semakin banyak faktor
resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya koledokolitiasis. Faktor resiko tersebut
antara lain :5
1. Genetik : lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam, lebih
sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan Swedia. Di negara Barat, hampir
semua batu berasal dari kandung empedu. Di Asia, insidensi pembentukan batu, biasanya
berpigmen di duktus primer dan intrahati jauh lebih tinggi.
2. Umur : rata-rata pada 40-50 tahun. Semakin berkurang pada usia muda dan semakin
bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu,
sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang.

3. Jenis Kelamin : lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan perbandingan 4 :
1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu empedu, sementara di Italia 20 %
wanita dan 14 % laki-laki. Di Indonesia jumlah penderita wanita lebih banyak dari pada
laki-laki.
4. Faktor-faktor lain : obesitas, makanan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, dan nutrisi jangka
vena yang lama.

Patogenesis
Batu yang berada di duktus koledokus atau koledokoloitiasis dapat dibentuk di duktus
tersebut sejak dari awal atau karena migrasi dari kandung empedu. Batu yang dibentuk sejak

awal di duktus koledokus disebut koledokolitiasis primer. Proporsinya tidak lebih dari 5%.
Sebanyak 95% kasus koledokolitiasis terjadi karena migrasi dari kandung empedu yang disebut
koledokolitiasis sekunder.6

Gambar 2. Kandung Empedu dan Duktus-duktusnya.7


Terdapat 2 jenis batu yang berada pada saluran empedu, yaitu :
-

Batu pigmen, yang terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari ke empat anion ini, yaitu :
bilirubinat, karbonat, fosfat, dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan
terkonjugasi dalam empedu, dengan bantuan enzim glukoronil transferase. Kekurangan
enzim ini akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut.6

Batu kolesterol, yang bersifat tidak larut dalam air, kelarutan kolesterol sangat tergantung
dari asam empedu dan lesitin.6
Patogenesis batu pigmen melibatkan infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi,

dan faktor diet. Kelebihan aktivitas -glukoronidase bakteri dan manusia (endogen) memegang
peran kunci dalam patogenesis batu pigmen pada pasien di negara Timur. Hidrolisis bilirubin
oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak terkonjugasi yang akan mengendap sebagai
calsium bilirubinate. Enzim -glukoronidase berasal dari kuman E.coli dan kuman lainnya di
saluran empedu. Enzim ini dapat di hambat oleh glucarolactone yang konsentrasinya meningkat
pada pasien dengan diet rendah protein dan rendah lemak.6

Gejala Klinik
Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai
dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata. Gejala koledokolitiasis
mirip seperti kolelitiasis seperti kolik bilier, mual, muntah, namun pada koledokolitiasis disertai
ikterus, BAK kuning pekat, BAB berwarna dempul.6

Penatalaksanaan
Batu saluran empedu selalu menyebabkan masalah yang serius, karena itu harus
dikeluarkan baik melalui operasi terbuka maupun melalui suatu prosedur yang disebut

endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP). Pada ERCP, suatu endoskopi


dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung, dan ke duodenum. Zat kontras radioopak
masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter Oddi.2
Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang
menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus dan dikeluarkan bersama tinja. ERCP dan
sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita
yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman
dibandingkan operasi terbuka.2
Komplikasi yang mungkin segera terjadi adalah perdarahan, pankreatitis akut, dan
perforasi atau infeksi saluran empedu. Pada 2-6% penderita, saluran dapat menciut kembali dam
batu empedu dapat timbul kembali. Pada tatalaksana batu saluran empedu yang sempit dan sulit,
diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan
batu dengan litotripsi mekanik, litotropsi laser, electro-hydarulic shcok wave lothitripsy, atau
ESWL. 2
Tatalaksana medis koledokolitiasis adalah penderita harus dipuasakan dan dirawat jika
menunjukkan gejala kolangitis akut. Apabila ada distensi perut, dipasang pipa lambung.
Dilakukan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, penanganan syok, pemberian
antibiotik sistemik, dan pemberian vitamin K sistemik kalau ada koagulopati. Biasanya keadaan
umum

Komplikasi
Sirosis bilier sekunder adalah kelainan pada hati yang ditandai dengan obstruksi saluran
empedu dengan atau tanpa infeksi, melibatkan inflamasi peritoneal dengan fibrosis yang
progresif. Salah satu penyebabnya adalah koledokolitiasis. Pada tahap awal, sirosis bilier
sekunder mungkin tidak menunjukkan gejala klinis. Gejala muncul ketika sejumlah besar
empedu terhambat dan menumpuk di saluran empedu. Gejala awal yang umum timbul adalah
gatal kulit, lemas (fatigue), jaundice.2

Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan
dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orangtua sebagai komplikasi
penyakti saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi saluran empedu menyebabkan kolangitis
yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multipel.8

Bakteremia dan sepsis gram negatif. Bakteremia adalah terdapatnya bakteri dalam aliran
darah (25-40%). Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama
penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar
10-15%.8

Dapat pula terjadi kerusakan duktus empedu akibat tindakan kolesistektomi atau pada
eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai anatominya. Kesalahn yang sangat fatal adalah tidak
mengetahui transeksi atau ligasi pada duktus. Peradarahn juga dapat terjadi. Arteri hepatik dan
arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat mengalami trauma dan perdarahan saat
melakukan operasi.8

Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang baik dan pola makan yang teratur, pasien dapat sembuh.
Apabila ditambah dengan komplikasi prognosa menjadi buruk karena melibatkan berbagai organ
dan dapat menyebabkan kematian.

Kesimpulan
Batu saluran empedu sudah menjadi salah satu penyakit yang sering ditemukan dalam
duania medis. Berdasarkan kasus yang di dapat, serta gejala-gejala klinis yang timbul pada
pasien, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien mengarah kepada koledokolitiasis, yaitu batu
empedu yang terdapat pada duktus koledokus, diserta komplikasi kolangitis. Diagnosis kerja
koledokolitiasis, dapat didukung oleh terdapatnya kulit yang ikterus pada pasien, serta
komplikasi kolangitis dapat dilihat dari meningkatnya suhu tubuh, kolik bilier, BAK kuning
pekat atau seperti the, BAB berwarna dempul.
Diagnosis tersebut tidak dapat dipastikan sampai melakukan pemeriksaan lebih lanjut,
seperti pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lainnya. Penyakit kandung
empedu dapat dihidapi oleh semua orang terutamanya wanita diusia setengah abad dan disertai
dengan factor risiko. Merupakan gangguan yang paling sering terjadi pada sistem biliaris.
Batu saluran empedu selalu menyebabkan masalah yang serius, karena itu harus
dikeluarkan baik melalui operasi terbuka maupun melalui suatu prosedur yang disebut
endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP). Koledokolitiasis sering menimbulkan
masalah yang sangat sering karena komplikasi mekanik berupa sirosis bilier sekunder dan infeksi
berat yang terjadi berupa kolangitis akut.

Daftar Pustaka
1. Lesmana LA. Buku ajar ilmu penyakit dalam : Penyakit batu empedu. Edisi ke 4.
Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI ; 2006. h .479 - 81.

2. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Biro Publikasi FK UKRIDA;


2013. h. 187-201.
3. Sabiston DC. Buku ajar bedah. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2011. h. 134.
4. Kumar V, Abbas AL, Fausto N. Dasar patologi penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2010.
h. 954-6.
5. Cahyono JBSB. Batu empedu. Yogyakarta: Kanisius; 2009. h. 50-1.
6. Watson R . Anatomi dan fisiologi. Jakarta: EGC; 2002. h. 352.
7. Jong WD, Sjamsuhidajat. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2003. h. 77678.

Anda mungkin juga menyukai