Anda di halaman 1dari 36

REFERAT & CASE REPORT

SINDROM NEFROTIK

Pembimbing :
dr. Ava Lanny Kawilarang, SpA
Disusun Oleh:
Lydia Alexandra Latumahina
1061050073

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 06 OKTOBER 13 DESEMBER 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
BAB I

LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Tanggal Lahir
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Pendidkan
Alamat

: An. A
: 06 Oktober 2009
: 5 tahun
: Laki - laki
: Islam
:: Kamp. Cipayung

ORANG TUA PASIEN


Keterangan
Ayah
Nama
Tn. A R
Usia
13-09-1972
Jenis Kelamin
Laki-laki
Suku
Jawa
Agama
Islam
Pendidikan
SMA
Pekerjaan
Buruh
Alamat
Kamp. Cipayung
Penghasilan
Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung

Ibu
Ny. N H
24-11-1973
Perempuan
Jawa
Islam
SMP
IRT
Kamp. Cipayung
-

B. ANAMNESIS
Didapatkan keterangan dari ibu pasien (aloanamnesis).
Pada hari Senin, tanggal 16 Oktober 2014. Jam 12.50 WIB
Keluhan Utama
: Bengkak
Keluhan Tambahan
: Demam, urine sedikit
Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan bengkak seluruh tubuh. Bengkak yang dirasakan
timbul sejak 1 bulan yang lalu. Awal mula bengkak timbul di sekitar mata, kemudian
makin hari bengkak timbul di wajah, tangan, kaki, dan di seluruh tubuh. Pasien
mengalami demam sekitar 1 minggu sebelum bengkak timbul. Demam yang
dirasakan hilang timbul. Pasien juga mengeluh bahwa BAK-nya menjadi sedikit sejak
1 minggu yang lalu. Warna urinenya tidak seperti cucian daging. Selama pasien

mengalami keluhan bengkak seperti ini, pasien tidak mengalami sesak nafas, mual,
muntah, dan batuk. Nafsu makan pasien baik. BAB tidak ada keluhan. Alergi
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien belum pernah
dirawat di Rumah Sakit.
Penyakit
Keterangan
Penyakit
Keterangan
Faringitis/Tonsilitis
Disangkal
Enteritis
Disangkal
Pneumonia
Disangkal
Disentri basiler
Disangkal
Bronkhitis
Disangkal
Disentri Amubiasis
Disangkal
Morbili
Disangkal
Typhus Abdominalis
Disangkal
Kejang
Disangkal
Cacing
Disangkal
Varicella
Disangkal
Operasi
Disangkal
Difteri
Disangkal
Gegar Otak
Disangkal
Malaria
Disangkal
Fraktur
Disangkal
Polio
Disangkal
Refraksi Obat
Disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Nenek pasien pernah mengalami keluhan bengkak seperti ini, dan dinyatakan
mengalami penyakit hepatitis.
Riwayat Kelahiran
Lahir cukup bulan dengan cara spontan ditolong oleh paraji. Orang tua pasien lupa
BBL dan PBL pasien, namun ibu pasien berkata bahwa pasien langsung menangis
setelah lahir. Tidak ada kelainan bawaan.
Perawatan Postnatal : Periksa di bidan dan keadaan anak sehat

Riwayat Makan
0-1 tahun
Umur/bulan

ASI/PASI

Buah/Buskuit

Bubur Susu

Nasi Tim

0-2
2-4
4-6

ASI ad libitum
ASI ad libitum
ASI ad libitum

Buah 1x/hari

6-8

ASI ad libitum

8-10

ASI ad libitum

10-12

ASI ad libitum

Buah 1x/hari, biscuit


2x/hari
Buah 1x/hari, biscuit
2x/hari
Buah 1x/hari, biscuit 23x/hari

Saat ini
Jenis Makanan
Nasi / pengganti
Sayur
Daging
Telur
Ikan
Tahu
Tempe
Susu
Buah

Bubur susu
2x/hari -Bubur susu
1x/hari
1x/hari
Bubur susu
1x/hari
1x/hari
Bubur
1-3x/hari
susu/hari

Frekuensi dan Jumlah


3x/hari, 1 mangkuk sedang
Bayam, sawi, wortel 1-2x/hr
1-2x/minggu
1-2x/hari, digoreng atau direbus
1-2x/minggu, digoreng dan dihaluskan
1-2x/minggu
1-2x/minggu
1-2 gelas/hari
1-2x/hari

RIWAYAT TUMBUH KEMBANG


- Tengkurap
: 5 bulan
-

Duduk

: 7 bulan

Gigi pertama

: 6 bulan

Berdiri

: 8 bulan

Berjalan

: 11 bulan

Berbicara

: 20 bulan

Membaca

: 2 tahun

Menulis

: 2 tahun

Gangguan perkembangan mental atau emosi : Tidak ada


Kesimpulan : Tumbuh kembang baik, sesuai umur
Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi tidak lengkap.
RIWAYAT KELUARGA
Data keluarga
Keterangan
Pernikahan ke
Umur saat menikah
Konsanguitas
Keadaan kesehatan
Corak Reproduksi
No Umur Jenis Kelamin
1 5 tahun
Laki-laki
2 3 tahun
Perempuan

Ayah
1
25
Tidak ada
Sehat

Hidup
Hidup
Hidup

Lahir Mati
-

Ibu
1
24
Tidak ada
Sehat

Abortus
-

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal : 16 Oktober 2014
Jam : pkl 12.50 WIB
Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda Vital
Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi pernafasan
Suhu (axilla)
Data Antopometri
- Berat Badan
-

Tinggi Badan

: Tampak sakit sedang


: Composmentis (E4V5M6)
: 100/60 mmHg
: 96x/menit (kuat angkat, reguler, isi cukup)
: 22x/menit (adekuat, reguler)
: 36,2oC
: 20 kg
: 102 cm

Mati
-

keterangan
Pasien
Sehat

: 0,75m2

LPT

Pemeriksaan Sistem
Kepala
Mata

: Normocephali, rambut warna hitam, pertumbuhan merata


: Konjungtiva pucat -/- , sklera ikterik -/-, edema palpebra
atau wajah +/+, pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm,
refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+
: Serumen -/: Cavum nasi lapang/lapang, sekret -/-, pernafasan cuping
hidung -

Telinga
Hidung
Mulut
- Bibir

: Tidak kering

Mukosa

: Basah

Lidah

: Tidak kotor

Tonsil

: T1-T1, tidak hiperemis

Leher

: KGB tidak teraba membesar

Thorax
- Inspeksi
: Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi
suprasternal (-), retraksi intrakostal (-), retraksi epigastrium
(-), ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi
: Gerakan nafas teraba simetris saat inspirasi
dan ekspirasi, ictus cordis teraba di ICS IV linea
midclavikularis sinistra
-

Perkusi

: sonor pada lapangan paru

Auskultasi

Batas-batas jantung:
Batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kanan: ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
: Bunyi nafas bronkhial, ronkhi -/-, wheezing -/Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi

: Perut tampak membuncit

Palpasi

: Supel, hepar dan lien sulit dinilai

Perkusi

: Shifting dullness (+), undulasi (+)

Auskultasi

: Bising usus (+) Frekuensi 5x/ menit

Tulang belakang
Anggota gerak
Kulit

: Tulang belakang teraba rata, tidak teraba skoliosis, tidak


tampak adanya massa sepanjang garis vertebra
: Akral hangat, capillary refill time <2 detik, edema anasarka
(+), pitting edema (+), sianosis (-)
: Turgor kulit baik, kulit tidak kering, sianosis (-), warna kulit
sawo matang

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
-

Hemoglobin
Leukosit
Trombosit
Hematokrit
LED

: 11,8 g/dl
: 16700 /ul
: 573000 /ul
: 34,5 %
: 92 mm/jam

Ureum
: 27 mg/dl
Creatinin
: 0,5 mg/dl
Kolesterol total : 582 md/dl
Albumin
: 1,7 g/dl

Elektrolit:
Na
K
CL

: 155 mmol/L
: 3,8 mmol/L
: 80 mmol/L

D. DIAGNOSA KERJA
Sindroma nefrotik
Infeksi saluran kemih
- E. DIAGNOSA BANDING
- Glomerulonefritis akut
- F.ANJURAN PEMERIKSAAN
- Protein dalam urine 24 jam dengan metode Esbach
- G. PENATALAKSANAAN
- Diet: Protein normal 40 gram/hari, rendah garam 20 gram/hari
- IVFD : D5% 500 ml / 24 jam
- Mm/
- Lasix 2 x 20 mg (IV)
- Prednisone 3 x 3 tab
- Cefoperazone sulbactam 2 x 500 mg
-

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai
pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala - gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
massif ( 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg
atau dipstik 2+), hipoalbuminemia 2,5 g/dL, edema, dan dapat disertai
hiperkolesterolemia.
II. Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat
dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar
12 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di

Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.
III. Klasifikasi
- I. Berdasarkan etiologi
1. Sindrom nefrotik bawaan
-Diturunkan sebagai resesif automosal atau karena reaksi maternofetal. Resisten
terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada neonatus. Prognosis buruk dan
biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder.
Disebut sindrom nefrotik sekunder apabila penyakit dasarnya adalah
penyakit sistemik karena obat - obatan, alergen, toksin, dan lain - lain. Disebabkan oleh :
a. Malaria kuartana atau parasit lain.
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena renalis.
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah racun otak, air raksa.
e. Amiloidosis,
penyakit
sickle
sel,
hiperprolinemia,
nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.
3. Sindrom nefrotik idiopatik atau primer
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik. Penyakit ini
ditemukan pada 90% kasus anak. Berdasarkan gejala klinis SN primer:
a. Kongenital
Bentuk kongenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Pada
umumnya kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang
diturunkan secara resesif autosom
b. Responsif steroid
- Kelompok responsive steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan
sindrom nefrotik kelainan minimal
c. Resisten streroid
- Kelompok resisten steroid terdiri atas anak-anak dengan kelainan
glomerulus lain
- II. Berdasarkan kelainan patologis
SN dilakukan biopsi ginjal maka dibagi menjadi :
1. Penyakit perubahan minimal ( nefrosis lemak)
- Ditandai secara khas oleh glomeruli yang tampaknya normal dibawah mikroskop
cahaya, tetapi tampak adanya kehilangan difus epitel tajuk kaki apabila diteropong
dengan mikroskop elektron.
2. Glomerulonefritis membranosa ( Nefropati membranosa )
- Penyakit progresif lambat pada dewasa muda dan usia pertengahan ini ditandai
secara morfologi khas dengan kelainan berbatas jelas pada membrana basalis

glomerulus. Glomerulonefritis membranosa adalah suatu bentuk penyakit kompleks


imun.
3. Glomerulonefritis proliferatif membranosa
- Bentuk glomerulonefritis ini ditandai dengan penebalan membran dan proliferasi
selular.
4. Glomerulo segmental fokal
- Penderita dengan lesi ini mempunyai insidens hematuria yang lebih tinggi dan
hipertensi, proteinuria nonselektif
- Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan
menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children).
Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop
cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron
dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik
sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi
ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970).
- Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP
tipe
III
dengan
deposit
transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
-

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal.
-

IV. Patofisiologi
- Reaksi antigen antibodi menyebabkan permeabilitas membran basalis glomerulus
meningkat dan diikuti kebocoran sejumlah protein (albumin). Tubuh kehilangan albumin
lebih dari 3,5 gram/hari menyebabkan hipoalbuminemia, diikuti gambaran klinis sindrom
nefrotik seperti sembab, hiperliproproteinemia dan lipiduria.
- Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik :
1. Proteinuria (albuminuria)
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang
dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang
endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler
glomerulus. Terdapat peningkatan permeabilitas membran basalis kapiler - kapiler glomeruli,
disertai peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria (albuminuria).
2. Hipoalbuminemia
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati ruangan
ekstravaskular. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan
sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk
meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam
ruangan ekstravaskular dan intravaskular. Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar,
selalu terdapat hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini
mungkin disebabkan beberapa factor :
- Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (proteinuria) dan usus (protein
losing enteropathy)
- Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun dan
mual

- Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin menurun,
dan terjadi hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti oleh hipovolemia yang
mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi oligouric acute renal
failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium Na + dari glomerulus
(glomerular sodium filtration) tetapi keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk
mencegah resorpsi natrium Na+ ke dalam kapiler - kapiler peritubular. Resorpsi natrium Na +
secara pasif sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl - secara aktif sebagai
akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air yang berhubungan
dengan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindroma nefrotik ini
telah memperlihatkan tanda - tanda aldosteronisme sekunder.
3. Edema
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler -kapiler
glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan ke jaringan interstisial, dan menyebabkan
edema. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume plasma dan
hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan air. Proteinuria menyebabkan
hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya
terjadi edema.
Mekanisme edema dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
a. Jalur langsung atau direk
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan
difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan edema
b. Jalur tidak langsung atau indirek
Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan
penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:
- Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron
Kenaikan konsentrasi hormon aldosteron akan mempengaruhi sel sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium
menurun.
- Kenaikan aktivasi saraf simpatis dan konsentrasi katekolamin
Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin,
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan
tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh sistem renin-angiotensin.
- V. Gejala Klinis
Manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak pada sekitar 95% anak
dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara lambat sehingga keluarga
mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal edema sering bersifat intermiten;
biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang
rendah (misalnya daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka). Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila

I.

II.
-

III.

ditekan (pitting edema). Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM
dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM. Gangguan
gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering
dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa usus. Hepatomegali
disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa
pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang
sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan
menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi
berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat
menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani. Oleh karena adanya distensi abdomen
baik disertai efusi pleura atau tidak disertai efusi pleura, maka fungsi pernapasan sering
terganggu, bahkan kadang - kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan
pemberian infus albumin dan diuretik.
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
2
mg/m /jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien
SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe
yang lain. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5
g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya,
berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL
meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 13 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat
dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik. Fungsi ginjal tetap
normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang
tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari
tipe histologik yang bukan SNKM.

VI. Penegakkan Diagnosis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain
juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum atau labia. Kadang-kadang
ditemukan hipertensi
Pemeriksaan penunjang

- 1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah
kepada infeksi saluran kemih.
- 2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari
- 3. Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
- Albumin dan kolesterol serum
- Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
Schwartz
-Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik 1.4
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti dsDNA
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai
hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl),
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin
terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi
ginjal.
- VII. Komplikasi
Syok akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
Infeksi sekunder, terutama infeksi kulit yang disebabkan oleh Streptoccocus, Stafilococcus
Hambatan pertumbuhan
Gagal ginjal akut atau kronik
Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan emosi
dan perilaku
- VIII. Penatalaksanaan
- Tatalaksana Umum
- Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan - pemeriksaan berikut:

Pengukuran berat badan dan tinggi badan


Pengukuran tekanan darah
Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein
Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan

Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai. Melakukan
uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis. INH selama 6 bulan bersama
steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).
- Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik:
Remisi
- Proteinuria negatif atau trace
(proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam)
3 hari berturut-turut dalam 1
minggu
Relaps
- Proteinuria 2+ (proteinuria >40
mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturutturut dalam 1 minggu
Relaps jarang
- Relaps kurang dari 2 x dalam 6
bulan pertama setelah respons
awal atau kurang dari 4 x per
tahun pengamatan
Relaps sering (frequent relaps)
- Relaps 2 x dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal atau
4 x dalam periode 1 tahun
Dependen steroid
- Relaps 2 x berurutan pada saat
dosis
steroid
diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari
setelah pengobatan dihentikan
- Tidak terjadi remisi pada
Resisten steroid
pengobatan
prednison
dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari
selama 4 minggu.
- Sensitif steroid.
- Remisi terjadi pada pemberian
prednisone dosis penuh selama 4
minggu
- Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan
terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak.
Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily
allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan
selama anak menderita edema.
-

Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum
pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian
diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium
darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 2025% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial
dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes per menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.

Imunisasi

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/


hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat
dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio
vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus
hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat
dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.
-

PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID


Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali
bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.

A. TERAPI INSIAL
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2
LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat
badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4
minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating
(selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid
dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

B. PENGOBATAN SN RELAPS
Pengobatan SN relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien
SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas.
Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison
mulai diberikan.
C.PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:

Pemberian steroid jangka panjang


Pemberian levamisol
Pengobatan dengan sitostatik

Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi 4. terakhir) Selain


itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga
tengah, atau kecacingan.
1. Steroid jangka panjang
- Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara
alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis
threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,
sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating. Bila relaps terjadi
pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi
dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi
remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara
alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps
yang terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau
langsung diberikan siklofosfamid (CPA). Bila terjadi keadaan-keadaan di bawah ini:

1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau


2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
- a. Efek samping steroid yang berat
- b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, b. trombosis, dan sepsis
diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
- 2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek
samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia
yang reversibel.
-

3. Sitostatika
- Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan
dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA
puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan
NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA

adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia,
dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu
pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap
1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit
<100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit
>5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
- Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total
180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2
0,3 mg/kgbb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas
karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.
-

4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah
berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi
atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen
siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian
penjelasan SN resisten steroid.
5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
- Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau 25-30
mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek
samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
-

D. PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka
dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per
oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls).
CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2
LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA
puls adalah 6 bulan).
E. PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi
mempengaruhi prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi.16 Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN
yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid

dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid
kembali, dapat diberikan siklosporin.
2. Siklosporin (CyA)
- Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah
hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik
yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:

Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL


Kadar kreatinin darah berkala
Biopsi ginjal setiap 2 tahun

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam


literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat
selektif.
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil
8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan
dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.

4. Obat imunosupresif lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS
adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur
yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum
direkomendasi di Indonesia.
PEMBERIAN
OBAT
NON-IMUNOSUPRESIF
UNTUK
MENGURANGI
PROTEINURIA
- Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua
obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan
hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek
renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-1 dan
plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang
berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-1 urin
sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering
maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama
dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan
ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. Pada anak dengan SNSS
relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau
dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis
obat ini yang bisa digunakan adalah:
Golongan 1. ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
- Golongan 2. ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK


1. INFEKSI
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat
infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah
selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh
kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan
penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim
atau seftriakson selama 10-14 hari.12 Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak
dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus. Pada orangtua
dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak
diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96
jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin
intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena
(1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi
4 dosis selama 7 10 hari, dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.

2. TROMBOSIS
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan
bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis
pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan
dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan
dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian
aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.

3. HIPERLIPIDEMIA
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol,
trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal.
Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas
kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis. Pada SN sensitif steroid, karena
peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka
panjang, maka cukup dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid,
dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit
rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor
HMgCoA reduktase (statin).

4. HIPOKALSEMIA
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:

Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia


Kebocoran metabolit vitamin D2.
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama
(lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan
vitamin D (125-250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10%
sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.
5. HIPOVOLEMIA
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai
sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20
mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20
mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien
tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena

6. HIPERTENSI
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN
akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE
(angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel
blockers, atau antagonis adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.

7. EFEK SAMPING STEROID


Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan,
karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping
tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku,
peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang.
Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid,
pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan
sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.

INDIKASI BIOPSI GINJAL


Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini:

1. Pada presentasi awal


- a. Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun
- b. Hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau kadar komplemen C3 serum
yang rendah
- c. Hipertensi menetap
- d. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
- e. Tersangka sindrom nefrotik sekunder
- 2. Setelah pengobatan inisial
- a. SN resisten steroid
- b. Sebelum memulai terapi siklosporin
- PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk
memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m 2/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan
sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
A. Sindrom nefrotik serangan pertama
1. Perbaiki keadaan umum penderita
a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi
diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi
ginjal. Batasi asupan natrium sampai 1 gram/hari, secara praktis dengan
menggunakan garam secukupnya dalam makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3
gram/kgBB/hari.
b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin
konsentrat
c. Berantas infeksi
d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi
e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. biasanya
furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan.
Bila edema refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama
pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolic,
atau kehilangan cairan intravascular berat Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat
antihipertensi.
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis
sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi
spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu

B.

1.
2.
3.
4.
5.

diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan,
segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari
Sindrom nefrotik kambuh (relapse)
1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan
2. Perbaiki keadaan umum penderita
- C.Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali
dalam masa 12 bulan.
1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu
- 2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison
dihentikan.
a. Sindrom nefrotik kambuh sering
Sindrom nefrotik kambuh sering merupakan sindrom nefrotik yang kambuh > 2
kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan
1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu
2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis
prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu,
kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1
minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison
dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3
mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid
dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien
tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat
indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.
- IX. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan - keadaan sebagai berikut :
Menderita untuk pertama kalinya pada umur <2 tahun atau >6 tahun.
Jenis kelamin laki-laki.
Disertai oleh hipertensi.
Disertai hematuria
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder

6. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal


7. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa gambaran klinis
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid.
-

- BAB III
- PEMBAHASAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala
proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+), hipoalbuminemia < 2,5 g/dL, edema,
dan dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL. Pada sindroma nefrotik terjadi
proteinuria akibat peningkatan permeabilitas membran glomerulus. Sebagian besar
protein dalam urin adalah albumin sehingga terjadi hipoalbuminemia. Akibatnya tekanan
osmotik di plasma menurun menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang
berpindah dari sistem vaskuler ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan sirkulasi
volume darah mengaktifkan sistem renin-angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan
edema lebih lanjut. Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein di
hati dan peningkatan konsentrasi lemak dalam darah.
Berdasarkan anamnesis yang dilakukan, pasien mengeluh bengkak di
seluruh tubuh. Awal mula bengkak timbul di sekitar mata, kemudian makin hari bengkak
timbul di wajah, tangan, kaki, dan di seluruh tubuh. Urine menjadi sedikit sejak 1 minggu
yang lalu. Warna tidak seperti cucian daging. Selama pasien mengalami keluhan bengkak
seperti ini, pasien tidak mengalami sesak nafas, mual, muntah, dan batuk. Nafsu makan
pasien baik. BAB tidak ada keluhan. Alergi disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
adanya edema anasarka. Pemeriksaan abdomen, hepar dan lien sulit dinilai, karena
terdapat ascites. Pemeriksaan thoraks dalam batas normal. Karena pada pemeriksaan fisik
belum dapat ditegakkan diagnosis dengan pasti, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil proteinuria dan protein total serum 4,3
g/dl, hipoalbuminemia dengan albumin 1,7 g/dl, serta hiperkolesterol dengan kolesterol
total 582 mg/dl. Kadar ureum dan kreatinin dalam batas normal dengan ureum
27
mg/dl, dan kreatinin 0,5 mg/dl. Diagnosa dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium
mengarah ke sindrome nefrotik. Sebab gejala klinis dari hasil pemeriksaan fisik dan
laboratorium mengacu kepada gejala pada penyakit sindroma nefrotik. Di antaranya pada
sindroma nefrotik menunjukkan gejala klinis seperti hipoalbuminemia, hiperlipidemia,
proteinuria, edema, volume plasma meningkat. Sementara, pada penderita sindroma
nefrotik, kadar ureum, dan kreatinin tetap di dalam batas normal.
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien, yaitu:
- Pasien dianjurkan untuk tirah baring
- Pada pasien ini diberikan diuretik Furosemide (Lasix) 2 x 20 mg. Pada anak-anak,
digunakan dosis 1-2 mg/kgBB, maksimal 40 mg. Pasien mengalami ascites,
sehingga cairan akan mendorong atau mendesak diafragma, dan timbul sesak.
Berhati-hati dalam pemberian diuretik, karena adanya proteinuria berat dapat
menyebabkan gagal ginjal atau hipovolemik

Diperhatikan dan dicatat keseimbangan cairan pasien, biasanya diusahakan


penurunan berat badan dan cairan 0,5-1 kg/hari. Bila perlu diberi tambahan
kalium. Diuretik yang biasanya diberikan adalah diuretik ringan, seperti tiazid
atau furosemid dosis rendah
Pemberian obat kortikosteroid (Prednisone). Dikarenakan obat kortikosteroid
akan menekan proses inflamasi, proses alergi dan respon imun yang terjadi pada
membran glomerulus sehingga dapat menurunkan dan memperbaiki permeabilitas
membrane basalis. Rumus yang bisa dipakai : LPB (dalam m2) adalah akar dari
[BB (berat badan dalam kg) x TB (tinggi badan dalam cm) /3600] . Pasien pada
kasus ini anak usia 5 tahun dengan berat badan 20 kg, tinggi badan 102 cm, maka
luas permukaan badannya adalah akar dari [20 x 102/3600] = 0,75 m2. Untuk itu
untuk tahap awal (full dose, 60 mg/m2 luas permukaan tubuh) anak membutuhkan
0,75 x 60 mg = 45 mg prednison, dapat dibagi 3 dosis dengan pola 3-3-3 : pagi 3
tablet, siang 3 tablet dan sore 3 tablet. Obat dengan dosis tersebut diminum
selama 4 minggu, bila respon pengobatan baik (remisi), maka dilanjutkan dengan
pengobatan alternating dose (selang 2 hari) 40 mg/m2 luas permukaan tubuh.
Obat prednison diminum dalam keadaan lambung penuh terisi makanan, karena
bila lambung kosong akan terasa nyeri pada lambung
Memperbaiki nutrisi
- Diet rendah garam (1 gr/hari), tinggi protein (2 gr/kgBB/hari). Pola makan
yang disarankan adalah sebagai berikut:
Mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung protein
Mengkonsumsi makanan diet rendah garam untuk membantu mengurangi
edema
Mengurangi jumlah lemak dan kolesterol dalam diet untuk mengatur level
kolesterol dalam darah
Mencegah infeksi

Biasanya diberikan antibiotik profilaksis untuk menghindari


infeksi. Pasien diberikan Cefoperazone sulbactam. Pada anak anak, dosis
diberikan setiap 6-12 jam dalam dosis terbagi yang sama.
- Transfusi albumin
Indikasi
dilakukan
transfusi
albumin
apabila
terjadi
hipoalbuminemia berat (< 2 gr/dL) atau pada sindrom nefrotik dengan edema paru
maupun edema perifer yang akut dan berat, serta resisten terhadap pemberian
diuretik. Regimen dosis 20 ml albumin 20% untuk 60 mg furosemide. Pasien
mendapat transfusi albumin 20% 100 ml/3 jam (2 x 50 ml )
Pasien dirawat selama 4 hari dan pulang atas permintaan sendiri.
Berdasarkan hasil follow up pasien, pasien belum diizinkan untuk pulang, karena pasien

belum mencapai remisi, yaitu terdapat proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4
mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

- KESIMPULAN
-

Berdasarkan gejala - gejala klinis yang didapat dari pasien, maka dapat
disimpulkan pasien mengalami sindrom nefrotik. Pasien disimpulkan menderita sindroma
nefrotik berdasarkan ditemukannya protein dalam urin yang dapat menjadi indikasi ginjal
mengalami sindroma nefrotik. Protein dalam darah ikut terbuang dalam urin, sehingga
menyebabkan protein plasma darah menurun, atau hipoalbuminemia dinamakan retensi
air dan Na oleh sistem renin-angiotensin menyebabkan pasien mengalami edema di
seluruh tubuh atau edema anasrka. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memberikan
terapi untuk mengatasi sindroma nefrotik yang menjadi penyebab masalah kesehatan lain
dalam tubuh pasien dengan cara perbaikan nutrisi, pemberian kortikosteroid, pencegahan
infeksi dan berhati-hati dalam pemberian diuretik.
-

FOLLOW UP
-

Tanggal: 17 Oktober 2014

S/
Bengkak seluruh tubuh, demam (-), mual (-), muntah (-), sesak nafas (-)
O/
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi pernafasa
Suhu (axilla)
Mata
Cor dan pulmo
Abdomen
Ekstremitas

: Tampak sakit sedang


: Composmentis
: 100/60 mmHg
: 90x/menit (kuat angkat, reguler, isi cukup)
: 20x/menit (adekuat, reguler)
o
: 36 C
: Edema palpebra (+/+)
: Dalam batas normal
: Ascites (+), shiftting dullness (+), test undulasi (+)
: Pitting edema (+), sianosis (-)

Laboratorium Tanggal 17 Oktober 2014


Elektrolit
Na
: 133 mmol/jam
K
: 3,5 mmol/jam
Cl
: 106 mmol/jam
A/
Sindrom nefrotik, infeksi saluran kemih
P/
Diet : Protein normal 40 gram/hari, rendah garam 20 gram / hari
IVFD : Ka-En IB 500 ml / 24 jam
Mm/
Prednisone 3 x 3 tab
Cefoperazone sulbactam 2 x 500 mg
Transfusi albumin 20% atau 50 cc/3 jam

FOLLOW UP
-

Tanggal: 18 Oktober 2014

S/
Bengkak seluruh tubuh (+), BAK sedikit, demam (-), sesak nafas (-)
O/
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi pernafasa
Suhu (axilla)
Mata
Cor dan pulmo
Abdomen
Ekstremitas

: Tampak sakit sedang


: Composmentis
: 100/60 mmHg
: 90x/menit (kuat angkat, reguler, isi cukup)
: 20x/menit (adekuat, reguler)
o
: 36 C
: Edema palpebra (+/+)
: Dalam batas normal
: Ascites (+), shiftting dullness (+), test undulasi (+)
: Pitting edema (+), sianosis (-)

Laboratorium Tanggal 18 Oktober 2014


Albumin
Urinalisis
Warna
Kejernihan
PH
BJ

: 1,3 g/dl
: Kuning muda
: Agak keruh
:6
: 1.030

Albumin
Keton
Sedimen
Eritrosit
Leukosit
Epitel

: Positif 2
: Positif
: 1-2 / lpb
: 8-10 / lpb
: Positif

A/
Sindrom nefrotik, infeksi saluran kemih
P/
Diet : Protein normal 40 gram/hari, rendah garam 20 gram / hari
IVFD : Ka-En IB 500 ml / 24 jam
Mm/
Prednisone 3 x 3 tab
Cefoperazone sulbactam 2 x 500 mg
Transfusi albumin 20% atau 50 cc/3 jam

FOLLOW UP
-

Tanggal: 19 Oktober 2014

S/
Bengkak seluruh tubuh (+), BAK mulai banyak, demam (-), sesak nafas (-)
O/
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi pernafasa
Suhu (axilla)
Mata
Cor dan pulmo
Abdomen
Ekstremitas

: Tampak sakit sedang


: Composmentis
: 100/60 mmHg
: 94x/menit (kuat angkat, reguler, isi cukup)
: 20x/menit (adekuat, reguler)
o
: 36 C
: Edema palpebra (+/+)
: Dalam batas normal
: Ascites (+), shiftting dullness (+), test undulasi (+)
: Pitting edema (+), sianosis (-)

A/
Sindrom nefrotik, infeksi saluran kemih
P/
Diet : Protein normal 40 gram/hari, rendah garam 20 gram / hari
IVFD : Ka-En IB 500 ml / 24 jam
Mm/
Prednisone 3 x 3 tab

Cefoperazone sulbactam 2 x 500 mg


Transfusi albumin 20% atau 50 cc/3 jam

FOLLOW UP
-

Tanggal: 20 Oktober 2014

S/
Bengkak seluruh tubuh (+), BAK sering, demam (-), sesak nafas (-)
O/
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi pernafasan
Suhu (axilla)
Mata
Cor dan pulmo
Abdomen
Ekstremitas

: Tampak sakit sedang


: Composmentis
: 110/70 mmHg
: 95x/menit (kuat angkat, reguler, isi cukup)
: 20x/menit (adekuat, reguler)
o
: 36,2 C
: Edema palpebra (+/+)
: Dalam batas normal
: Ascites (+), shiftting dullness (+), test undulasi (+)
: Pitting edema (+), sianosis (-)

Laboratorium Tanggal 20 Oktober 2014


Urinalisis
Warna
Kejernihan
PH
BJ
Albumin
Urobilinogen

: Kuning
: Keruh
: 7,0
: 1.020
: Positif 2
: 0,2

Darah
Sedimen
Eritrosit
Leukosit
Epitel
Silinder

: Positif 1
: 2-4 / lpb
: 5-7 / lpb
: Positif
: Bergranula 2-3

A/
Sindrom nefrotik, dan infeksi saluran kemih
P/
Diet: Protein normal 40 gram/hari, rendah garam 20 gr/hari
IVFD : Ka-En IB 500 ml / 24 jam
Mm/
Prednisone 3 x 3 tab
Cefoperazone sulbactam 2x500 mg

Pasien pulang atas permintaan sendiri.


-

DAFTAR PUSTAKA
-

1. Trihono Partini Pudjiastuti, Alatas Husein, Tambunan Taralan. Konsensus


Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. 2008
2. ISKDC. The primary nephrotic syndrome in children. Identification of patients
with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednisone. J
Pediatr 1981;98:561-4.
3. Keddis Mira T. Keddis. Karnath Bernath. Keddis & Karnath: The Nephrotic
Syndrome: pp. 25-30, 38. October 2007
4. Kliegman Robert M, Behrman Richard, Jenson Hal B, Stanton Bonita F. Nelson
textbook of pediatrics-18th ed. 2004
5. Rudolph, Colin D, Rudolph, Abraham M, Hostetter Margareth, Lister George
Siegel Norman J. Rudolph's Pediatrics, 21st Edition. 2003
6. Orth Stephan R, Ritz Eberhard. The Nephrotic Syndrome. The New England
Journal of Medicine. Volume 33, 1998: 1202-11

7. Eddy Allison A. Nephrotic Syndrome in Childhood. The Lancet, Volume 362:


629-39

Anda mungkin juga menyukai