Anda di halaman 1dari 3

ERA BPJS, BAGAIMANA NASIB RS SWASTA DAN DOKTER?

Mulai 1 Januari 2014 pemerintah akan melaksanakan amanah undang undang no. 29 tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Konsekuensinya, beberapa
asuransi pemerintah yang kita kenal saat ini akan dilebur menjadi satu dan dikelola oleh
badan baru yang bernama BPJS. Yang akan dilebur adalah Askes PNS, Jamsostek, Asabri,
dan Jamkesmas, keseluruhan ada 121,6 juta peserta, 96 juta diantaranya ditanggung penuh
oleh pemerintah. cakupan peserta diharapkan tiap tahun akan meningkat hingga tahun 2019
diperkirakan seluruh penduduk akan tercover oleh asuransi. Inilah yang disebut sebagai
Universal Coverage. Kabarnya untuk menggerakkan program ini pemerintah akan
menggelontorkan dana yang tidak sedikit, sekitar 25 30 trilyun rupiah setahun.
Bagi masyarakat tentu kabar yang menggembirakan karena jaminan kesehatan akan didapat
lebih pasti serta tidak ribet lagi urusannya, semua penduduk akan ditanggung, itulah
konsepnya. Walaupun semua itu tidak akan terjadi serta merta di tahun 2014, perlu proses dan
waktu. Tapi bagi kalangan RS swasta dan dokter, konsep BPJS ini membuat mereka seperti di
persimpangan jalan. Ikut BPJS kuatir rugi atau menurun profitnya, kalau tidak ikut kuatir
kehilangan pasien karena semua pasien berobat ke provider BPJS. Jadi enaknya ikut jadi
provider apa tidak? Sebelum memutuskan perlu dijawab dulu pertanyaan di bawah ini

1. Rugi ataukah untung gabung jadi provider BPJS?


2. Bagaimana Nasibnya bila gabung..?
3. Bagi dokter yang merawat pasien di RS, lebih baik bersedia atau tidak dalam
merawat/melayani pasien BPJS?

Saya akan coba menjelaskan satu persatu sesuai dengan yang saya pahami, untuk
memprediksi yang terjadi di masa akan datang, tentu bisa benar, bisa juga salah.

Roadmap Kepesertaan

Pertama, untuk melihat untung ruginya jadi provider harus mempertimbangkan beberapa hal
berikut ini. Yaitu, apakah RS sudah beroperasi secara efisien dalam hal penggunaan bahan
habis pakai, prosedur, tenaga, barang investasi, dan operasional cost. Hal ini perlu dipastikan
karena system pembayaran oleh BPJS berdasarkan paket perawatan. Berapapun biaya yang
dikeluarkan RS akan dibayar sesuai dengan harga paket yang ditawarkan, meskipun RS
mengeluarkan biaya lebih besar. Jika RS efisien dan konsisten maka untung yang diraih, bila
sebaliknya tentu saja mengalami kerugian.
Ke dua, apakah RS akan mati jika tidak melayani pasien BPJS? Masalah inilah yang banyak
dikhawatirkan pengelola RS, jangan jangan nanti mati sungguhan karena pasiennya lari ke
RS yang menjadi provider. Untuk menjawab ini kita harus punya data base dari pasien yang
kita layani selama ini. Bila pasar kita adalah pasien kelas menengah bawah, termasuk
asuransi yang menghuni kelas 3 dan 2 (jamkesmas, askes, asabri, jamsostek) maka keputusan
untuk menjadi provider sangat tepat karena pasarnya akan bertambah besar. Tetapi jika
pasiennya selama ini dari kelas atas, termasuk asuransi swasta maka tidak salah bila tidak
menjadi provider. Mungkin ada yang tidak setuju dengan pendapat saya ini, tapi saya yakini
bahwa dalam pendekatan marketing tidak ada yang namanya single market dalam arti semua
pasien akan berobat ke provider BPJS, pasti ada yang tidak menggunakan. RS besar yang
modern dan elit serta spesialistik lebih cocok dengan keputusan ini karena selain pasarnya
memang ada, juga biaya operasional yang tinggi menyebabkan tarip yang ditetapkan oleh
BPJS tidak mencukupi. Tentu saja besar pasar ini lebih kecil dari pasar BPJS. Tantangan
terbesar dari RS golongan ini adalah merumuskan keunggulan bersaing (competitive
advantage) yang tidak dimiliki oleh RS provider.

Kepesertaan dan Iuran

Ke tiga, bagaimana dengan dokternya? Banyak para dokter spesialis di RS yang menolak
merawat pasien provider dengan alasan tarif jasa medis yang terlalu murah. dalam hal ini
dokterpun akan tersegmentasi menjadi dokter yang merawat di RS provider dan swasta non
provider. Bila dokter merawat di RS provider maka mau tidak mau harus bersedia melayani
pasien BPJS, sebab kalau tidak dia tidak kebagian pasien. Jangan khawatir dengan
pendapatan menurun karena jumlah maupun tarifnya lambat laun akan meningkat. Sedangkan
dokter di RS non provider meskipun jumlah pasiennya tidak sebanyak sejawat dokter di RS
provider tapi jasa yang diterima tetap besar. Terserah pilih yang mana, yang jelas tidak bisa
pilih dua duanya karena keterbatasan ijin praktik serta pengaruh kualitas pelayanan seorang
dokter.
Demikianlah pandangan saya tentang pengaruh keberadaan BPJS terhadap RS swasta dan
dokter. Semua pilihan pasti ada resikonya, silahkan dipertimbangkan dengan matang sebelum
mengambil keputusan. Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai