Anda di halaman 1dari 67

3

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ...................................................................... i
HALAMAN JUDUL .......................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................. 1
BAB 2. STATUS PASIEN .................................................................. 2
BAB 3. PEMBAHASAN ................................................................... 17
DEFINISI ........................................................................................... 17
GEJALA DAN TANDA ..................................................................... 19
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS .............................................. 20
PENATALAKSANAAN .................................................................... 23
KOMPLIKASI ................................................................................... 27
PROGNOSIS ..................................................................................... 29
ANOREKSIA ..................................................................................... 29
DISPEPSIA ........................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 31

BAB 1. PENDAHULUAN

Berdasarkan studi epidemiologi terbaru, Indonesia telah memasuki epidemi diabetes


melitus tipe 2. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan penyebab
penting masalah ini, dan terus menerus meningkat pada milenium baru ini. Diperkirakan
masih banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes yang belum terdiagnosis di Indonesia.
Selain itu hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis yang menjalani pengobatan, baik non
farmakologis maupun farmakologis. Dari yang menjalani pengobatan tersebut hanya
sepertiganya saja yang terkendali dengan baik. (PERKENI,2011)
Diabetes merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup. Dalam
pengelolaan penyakit tersebut selain dokter, perawat, ahli gizi serta tenaga kesehatan lain,
peran pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasi kepada pasien dan keluarganya
guna memahami lebih jauh tentang perjalanan penyakit DM, pencegahan, penyulit DM, dan
penatalaksanaannya akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan mereka dalam usaha
memperbaiki hasil pengelolaan. Dalam konteks ini keberadaan organisasi perkumpulan
penyandang diabetes seperti PERSADIA, menjadi sangat dibutuhkan, yang akan membantu
meningkatkan pengetahuan mereka tentang DM dan memikirkan kepentingan mereka sendiri
semaksimal mungkin. Untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil
guna serta untuk menekan angka kejadian penyulit DM, diperlukan suatu standar pelayanan
minimal bagi penyandang diabetes. Penyempurnaan dan revisi secara berkala standar
pelayanan harus selalu dilakukan dan disesuaikan dengan kemajuan-kemajuan ilmu mutakhir,
sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar- besarnya bagi penyandang diabetes.

BAB 2. STATUS PASIEN


I. IDENTITAS
Nama

: Ny. Misnati

Usia

: 51 tahun

Alamat

: Jl Sultan Agung VIII/41 Kepatihan Jember

Status Marital

: Menikah

Pekerjaan

: IRT

No. RM

: 04.86.38

Tanggal MRS

: 13 Desember 2014

Tanggal Pemeriksaan

: 15 Desember 2014 (H3 MRS)

Tanggal KRS

: 16 Desember 2014

II. AUTOANAMNESIS
Dilakukan terhadap pasien pada H3 setelah masuk rumah sakit di ruang rawat interna wanita
(Adenium/RIW)
1. KELUHAN UTAMA
Mual muntah
2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluh mual muntah sejak 1 bulan yang lalu, pasien tidak enak makan,
karena setiap kali makan, dimuntahkan, pasien mengalami penurunan berat badan. 1 minggu
SMRS keluhan mual muntah semakin sering, hingga pasien sangat lemas, pasien dibawa ke
PKM Jember kidul. Setelah dilakukan pemeriksaan di PKM, didapatkan gula darah pasien
406 mg/dl, kemudian PKM merujuk pasien ke RSD dr Soebandi. Pasien tidak diare, BAB (+)
normal, BAK (+) normal. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sudah sejak 5 tahun
yang lalu, pasien sempat melakukan pengobatan kencing manis, 5 tahun yang lalu, namun
pasien tidak rajin mengkonsumsi obatnya, saat ini pasien tidak mengkonsumsi obat diabetes.
H3 setelah masuk rumah sakit (pemeriksaan di ruang Anturium/RIP)
Pada saat pemeriksaan, pasien sudah tidak mengeluhkan mual muntah, nafsu makan
baik, nyeri perut (-), BAK (+) normal, BAB (+) normal, demam (-), sesak (-).

3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Hipertensi (-), diabetes melitus (+), alergi makanan dan obat-obatan (-).
4. RIWAYAT PENGOBATAN
Konsumsi obat diabetes disangkal
5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Keluarga tidak ada yang memiliki
riwayat penyakit Diabetes Mellitus. Hipertensi (-), alergi makanan dan obat-obatan (-).
6. SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN
Sosial Ekonomi:
Pendidikan terakhir pasien adalah SD, pasien tidak bekerja (IRT), untuk kebutuhan keuangan
sehari hari didapatkan dari penghasilan anak pasien sekitar 500.000 per bulan untuk pasien.
Lingkungan:
Rumah pasien berukuran kira-kira 6X10 meter, terdiri dari 3 kamar tidur, ruang tamu
dan dapur. Dinding rumah pasien terbuat dari bata dan berlantaikan semen. Jendela rumah
ada di ruang tamu. Pasien tinggal bersamma anak sulungnya , menantu dan 3 orang cucu.
Pasien dan keluarga menggunakan sumur untuk kebutuhan mandi dan mencuci serta sebagai
sumber air untuk dikonsumsi. Air minum sehari-hari yang berasal dari sumur selalu dimasak
hingga mendidih sebelum dikonsumsi. Pasien mempunyai kamar mandi dan WC.
Kesan : keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan cukup
7. RIWAYAT GIZI
Pasien makan 2-3 kali dalam sehari. Menu yang sering dikonsumsi berupa nasi, lauk
pauk (tahu, tempe dan telur) dan sayur. Selama sakit, nafsu makan menurun, sehari makan 3
kali dan setiap kali makan hanya sekitar 2-3 sendok, mual muntah (+), setiap kali makan
dimuntahkan, banyak minum.
Kesan : kebutuhan gizi kurang
8. RIWAYAT KEBIASAAN
- Pasien bukan peminum alkohol
- Pasien tidak mengkonsumsi obat jangka panjang

III. ANAMNESIS SISTEM


Sistem serebrospinal:

demam (-), kejang (-), penurunan kesadaran (-)


Sistem kardiovaskuler:

tidak berdebar-debar, nyeri dada (-)


Sistem pernapasan:

batuk (-), pilek (-), sesak napas (-)


Sistem gastrointestinal:

perut kembung (+), mual (+), muntah (+) nyeri perut (+), BAB (+) hanya
sedikit.

Sistem urogenital:

BAK (+) normal, nyeri saat BAK (-)

Sistem integumentum:

bintik-bintik merah (-), kulit kuning (-)


Sistem muskuloskeletal:

bengkak dikedua kaki (-)


Kesan : Pada anamnesis sistem ditemukan, perut terasa kembung, mual dan muntah,
perut terasa nyeri, nafsu makan turun.

IV. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


Keadaan umum

: lemah

Kesadaran

: kompos mentis

Tanda-tanda vital
Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Pernafasan

: 20 x/menit

Suhu aksila

: 36,4 0 C

Status Gizi :
BB = 53 kg; TB = 158 cm
IMB = 21,3 (kurang)
Kesan : Status gizi pasien kurang

V. PEMERIKSAAN FISIK KHUSUS


1. Kepala
Bentuk

: normosefal

Rambut

: beruban, lurus, tidak mudah dicabut

Mata

: sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), edema palpebra (-), refleks cahaya
+/+ 3/3, pupil isokor

Telinga

: serumen (-), darah (-)

Hidung

: sekret (-), pernafasan cuping hidung (-), darah (-)

Mulut

: pendarahan gusi (-)

Bibir

: sianosis (-), pucat (-), mukosa bibir basah (+)

Lidah

: candidiasis (+)

Tenggorokan : faring hiperemis (-), hipertrofi tonsil (-)


Kesan : Ditemukan candidiasis pada lidah
2. Leher
Bentuk

: simetris

Kaku kuduk

: tidak ada

Kelenjar limfe

: pembesaran (-)

Kesan : tidak ditemukan kelainan


3. Dada
Gerak dada simetris, tidak ada ketinggalan gerak
a. Jantung
Inspeksi

: iktus kordis tak tampak

Palpasi

: iktus kordis tak teraba

Perkusi

: redup

Batas kanan atas

: sela iga II garis parasternal kanan.

Batas kanan bawah

: sela iga IV garis parasternal kanan.

Batas kiri atas

: sela iga II garis parasternal kiri.

Batas kiri bawah

: sela iga IV garis midklavikula kiri.

Auskultasi

: suara I dan II tunggal

b. Paru-paru

Ventral

Dorsal

I : simetris,
retraksi -/P : fremitus raba +/+
P : sonor +/+
A: Ves +/+,
Rh -/-, Wh -/-

I: simetris,
retraksi -/P: fremitus raba +/+
P: sonor +/+
A: Ves +/+,
Rh -/-, Wh -/-

Kesan : tidak ditemukan kelainan pada organ jantung dan paru-paru


4. Perut
Inspeksi

: cembung, LA = 90 cm

Auskultasi

: bising usus (+)

Perkusi

: tympani

Palpasi

: nyeri tekan (+) regio epigastrium, hepatomegali (-), splenomegali (-)

Kesan : ditemukan nyeri tekan pada regio epigastrium


5. Anus dan alat kelamin
Anus

: ada, dalam batas normal

Genital

: jenis kelamin perempuan

Kesan : tidak ditemukan kelainan


6. Anggota gerak
Superior

: Akral hangat +/+ Edema -/-

Inferior

: Akral hangat +/+ Edema -/-

Kesan : tidak ditemukan kelainan


7. Kulit
Ptekiae (-), ikterik (-), purpura (-), area yang hipopigmentasi dan hiperpigmentasi (-)
Kesan : tidak ditemukan kelainan
VI. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 13 Desember 2014
Jenis

Hasil

Normal

10

HEMATOLOGI
Hemoglobin

13.7

13,4-17,7

Laju Endap Darah

59/86

0-25

Lekosit

20.1

4,3-10,3

Hematokrit

39.8

38-42 %

Trombosit

472

150-450 x 10 / L

SGOT

11

10-35 U/L

SGPT

18

9-43 U/L

Bil. Direk

0,18

0,2-0,4 mg/dl

Bil. Total

1,38

< 1,2 mg/dl

Kreatinin

2.0

0,6-1,3 mg/dl

BUN

72

6-20 mg/dl

Urea

154

10-50 mg/dl

Asam Urat

9.3

3,4-7 mg/dl

FAAL HATI

FAAL GINJAL

ELEKTROLIT
Natrium

134,3

135-155 mmol/L

Kalium

3,82

3,5-5,0 mmol/L

Chlorida

97,2

90-110 mmol/L

Calsium

2,35

2,15-2,57 mmol/L

11

Tanggal 15 Desember 2014


Jenis
GULA DARAH

Hasil

Normal

331

<120mg/dL

3.7

3.4-4.8 gr/dL

Natrium

126.5

135-155 mmol/L

Kalium

5.31

3,5-5,0 mmol/L

Chlorida

92.4

90-110 mmol/L

Calsium

2,58

2,15-2,57 mmol/L

Fosfor

0,75

0,85-1,60 mmol/L

Gula Darah Puasa


FAAL HATI
Albumin
ELEKTROLIT

VIII. RESUME
2.4 Resume

Anamnesis

Seorang Seorang wanita usia 51 tahun datang dengan

keluhan mual muntah sejak 1 minggu yang lalu, pasien mengalami penurunan berat
badan, pasien memiliki riwayat penyakit diabetes sejak 5 tahun yang lalu

Pemeriksaan fisik

didapatkan keadaan umum pasien lemah, kesadaran

compos mentis, tidak anemis, torak dan pulmo dalam batas normal, didapatkan nyeri
tekan pada regio epigastrium

Pemeriksaan penunjang
Lab

: GDA , Natrium , kalium , kreatinin serum , BUN , urea

, asam urat
2.6 Diagnosis Kerja
Diabetes Mellitus Tipe 2 + Anoreksia + candidiasis oral
2.7 Penatalaksanaan

12

Planing monitoring
Observasi vital sign pasien
Planing diagnostik
Pemeriksaan GDA Rutin

Planing medikamentosa

I Inf PZ 20 tpm

Injeksi cefrtiaxon 2x1 gr

Ranitidine 3x1

Inj Ondansentron 3X1

Actrapid 3 x 10 iu/sc

P/O: Allopurinol 1x300mg

Micostatin 4x2 tetes

Planing edukasi
Istirahat yang cukup
Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga penyebab,
perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta usaha pencegahan
komplikasi
Pemenuhan kebutuhan gizi
Menjaga kondisi lingkungan sekitar pasien agar mendukung penyembuhan pasien

2.8 Prognosis
Dubia at bonam
FOLLOW UP
Senin, 13 Oktober 2014
S

Nyeri perut kanan atas(+); kembung (+); mual (+), BAB (), mual muntah

(+)
VS: tek. darah:

110/70 mmHg

Nadi :

82 x/menit

RR :

20 x/menit

Suhu :
Kepala leher :
Thorax : C/P
Abdomen
I

36,4 oC
a/i/c/d = -/-/-/Cor : dbn; pulmo : dbn
Cembung

13

A
P
P
Ekstremitas
A
P

BU (+) normal
Timpani
Soepel, nyeri tekan (+)
Akral hangat + +

++
DM tipe 2 + anoreksia+ oral candidiasis
I Inf PZ 20 tpm

Injeksi cefrtiaxon 2x1 gr

Ranitidine 3x1

Inj Ondansentron 3X1

Actrapid 3 x 10 iu/sc

P/O: Lansoprazol 2x1

P/O: Glimepiride 2 mg 1-0-0

P/O: Allopurinol 1x300mg

Micostatin 4x2 tetes

Lavemir 10 iu SC

Ibuprofen 3x1

Mertigo 2x1

EDEMA - --

Simvastatin 10mg 1x1


Selasa, 14 Oktober 2014
S
O

kembung (+); mual (+), muntah (+), BAB (),BAK (+), pusing (+)
VS: tek. darah: 90/60 mmHg
Nadi :

74 x/menit

RR :

18 x/menit

Suhu :
Kepala leher :
Thorax : C/P
Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
A

36,6 oC
a/i/c/d = -/-/-/Cor : dbn; pulmo : dbn
Cembung
BU (+) normal
Timpani
Soepel, nyeri tekan (+)
Akral hangat + +

++
DM tipe 2 + anoreksia+ oral candidiasis

EDEMA - --

14

I Inf PZ 20 tpm

Injeksi cefrtiaxon 2x1 gr

Ranitidine 3x1

Inj Ondansentron 3X1

Actrapid 3 x 10 iu/sc

P/O: Lansoprazol 2x1

P/O: Glimepiride 2 mg 1-0-0

P/O: Allopurinol 1x300mg

Micostatin 4x2 tetes

Lavemir 10 iu SC

Ibuprofen 3x1

Mertigo 2x1

Simvastatin 10mg 1x1

Rabu, 15 Oktober 2014


S
O

mual (+),BAB (+),BAK (+), pusing (+)


VS: tek. darah: 130/80 mmHg
Nadi :

82 x/menit

RR :

20 x/menit

Suhu :
Kepala leher :
Thorax : C/P
Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
A
P

36,3 oC
a/i/c/d = -/-/-/Cor : dbn; pulmo : dbn
Cembung
BU (+) normal
Timpani
Soepel, nyeri tekan (+)
Akral hangat + +

++
DM tipe 2 + anoreksia+ oral candidiasis
I Inf PZ 20 tpm

Injeksi cefrtiaxon 2x1 gr

Ranitidine 3x1

Inj Ondansentron 3X1

Actrapid 3 x 10 iu/sc

EDEMA - --

15

P/O: Lansoprazol 2x1

P/O: Glimepiride 2 mg 1-0-0

P/O: Allopurinol 1x300mg

Micostatin 4x2 tetes

Lavemir 10 iu SC

Ibuprofen 3x1

Mertigo 2x1

Simvastatin 10mg 1x1

16

Kamis, 16 Oktober 2014


S
O

mual (-),muntah (-),BAB (+),BAK (+), pusing (+)


VS: tek. darah: 100/70 mmHg
Nadi :

82 x/menit

RR :

20 x/menit

Suhu :
Kepala leher :
Thorax : C/P
Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
A
P

36,6 oC
a/i/c/d = -/-/-/Cor : dbn; pulmo : dbn
Cembung
BU (+) normal
Timpani
Soepel, nyeri tekan (+)
Akral hangat + +

++
DM tipe 2 + anoreksia+ oral candidiasis
I Inf PZ 20 tpm

Injeksi cefrtiaxon 2x1 gr

Ranitidine 3x1

Inj Ondansentron 3X1

Actrapid 3 x 10 iu/sc

P/O: Lansoprazol 2x1

P/O: Glimepiride 2 mg 1-0-0

P/O: Allopurinol 1x300mg

Micostatin 4x2 tetes

Lavemir 10 iu SC

Ibuprofen 3x1

Mertigo 2x1

Simvastatin 10mg 1x1

EDEMA - --

17

Bab 3. Pembahasan

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Textbook
Anamnesis
Poliuri (banyak kencing)
Polidipsi (banyak minum)
Polifagia (banyak makan)
Berat badan menurun, lemas, lekas
lelah, tenaga kurang.
Mata kabur
Ketoasidosis
Anoreksia
Dispepsia
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : pada DM tipe 2
didapatkan
klien
mengeluh
kehausan, klien tampak banyak
makan, klien tampak kecil dengan
berat
badan
tetap,
terdapat
penutunan lapang pandang, klien
tampak lemah dan mengalami
penurunan tonus otot
Palpasi
: denyut nadi meningkat,
tekanan darah meningkat yang
menandakan terjadi hipertensi.
Auskultasi : adanya peningkatan
tekanan darah
Pemeriksaan Penunjang
Glukosa darah
Aseton plasma (keton) : (+)
secara mencolok
Asam lemak bebas :
kadar
lipid dan kolesterol
Osmolalitas serum tetapi
biasanya kurang dari 330
mOsm/l
Elektrolit
:
Natrium
:
mungkin
normal, , atau
Kalium
: normal atau
semu (perpindahan
seluler), selanjutnya akan
menurun.
Fosfor
: lebih
sering

i.
j.
k.
l.
m.
n.

Klinis Pasien
Anamnesis
Poliuri (banyak kencing)
Polidipsi (banyak minum)
BB menurun
Gemetaran
Nafsu makan pasien berkurang
Mual muntah, perut terasa sebah

Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : pasien mudah haus,
mudah lapar, pasien mengalami
penurunan berat badan, pasien
tampak lemas.
Palpasi : nadi tidak meningkat,
tekanan darah tidak meningkat
Auskultasi : peningkatan tekanan
darah (-)

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.

Pemeriksaan Penunjang
Gula darah
Hb normal
Hematokrit normal
Trombosit
Bilirubin direk normal
Bilirubin total normal
SGOT/SGPT normal
Albumin normal
Natrium
Kalium
Chloride normal
Calcium normal
Magnesium normal
Fosfor normal
Kreatinin serum
BUN
Urea
Asam Urat

18

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Hemoglobin glikosilat
Gas Darah Arteri : biasanya
menunjukkan pH rendah dan
pada HCO3 ( asidosis
metabolik)
dengan
kompensasi
alkalosis
respiratorik.
Trombosit
darah
:
Ht
mungkin

(dehidrasi);
leukositosis;
hemokonsentrasi
Ureum / kreatinin : mungkin
atau normal (dehidrasi/
penurunan fungsi ginjal)
Amilase darah : mungkin

indikasi
adanya
pancreatitis akut sebagai
penyebab dari DKA.
Insulin darah : mungkin
atau bahkan sampai tidak
ada (pada tipe 1).
Pemeriksaan fungsi tiroid :
aktivitas
hormone
tiroid
dapat meningkatkan glukosa
darah dan kebutuhan akan
insulin.
Urine : gula dan aseton (+);
berat jenis dan osmolalitas
.
Kultur dan sensitivitas
:
kemungkinan adanya infeksi
pada saluran kemih, infeksi
pernafasan dan infeksi pada
luka.
Terapi
Pemberian insulin
Pengaturan makan/diet
Olahraga
Obat hipoglikemik oral (OHO)
Edukasi
Pemantauan mandiri

Terapi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

I Inf PZ 20 tpm
Injeksi cefrtiaxon 2x1 gr
Ranitidine 3x1
Inj Ondansentron 3X1
Actrapid 3 x 10 iu/sc
P/O: Lansoprazol 2x1
P/O: Glimepiride 2 mg 1-0-0
P/O: Allopurinol 1x300mg
Micostatin 4x2 tetes

19

Bab 4. Pembahasan
4.1.1 Definisi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes mellitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980
dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu
jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan
problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
4.1.2. Klasifikasi
1) Diabetes mellitus tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM atau DM
tipe 1 biasanya terjadi pada masa anak-anak atau masa dewasa muda dan menyebabkan
ketoasidosis jika pasien tidak diberikan terapi insulin. IDDM berjumlah 10% dari kasus
Diabetes Mellitus.
2) Diabetes mellitus tak tergantung insulin (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus/
NIDDM atau DM tipe 2) biasanya terjadi pada orang yang berusia >40 tahun, dan 60% dari

20

pasien NIDDM gemuk. Pasien tidak cenderung mengalami ketoasidosis tapi dapat mengalami
ketoasidosis dalam keadaan stress.
3) Diabetes mellitus awitan kehamilan (Gestational Onset Diabetes Mellitus/ GODM) adalah
jika awitan diabetes terjadi selama kehamilan dan sembuh pada persalinan. Pasien tersebut
beresiko tinggi untuk mengalami diabetes mellitus di masa yang akan datang.
4) Diabetes mellitus sekunder dapat disebabkan oleh terapi steroid, sindrom cushing,
pankreatektomi, insufisiensi pankreas akibat pankreatitis, atau gangguan endokrin (Graber,
2006).

4.1.3. Etiologi dan Patofisiologi


Diabetes mellitus tipe 1 (Diabetes mellitus tergantung insulin atau IDDM). Diabetes
mellitus ini disebabkan oleh kegagalan sel pulau beta langerhans oleh penyebab
multifaktorial misalnya predisposisi genetik, serangan virus dan autoimun pada sel pulau beta
langerhans. Diabetes mellitus tipe 2 adalah kelainan yang bersifat kronis ditandai dengan
adanya kelainan permanen dari sistem pertahanan tubuh berupa kadar gula darah yang tinggi
(hiperglikemia). Hal ini dapat terjadi karena insulin tubuh tidak dapat bekerja dengan efektif
atau tubuh (sel pankreas) tidak mampu menghasilkan hormon insulin yang memadai atau

21

kedua-duanya. Dengan demikian kelainan patologi yang mendasari yang terjadi pada
penderita diabetes adalah kegagalan memproduksi insulin (defisiensi insulin) atau kegagalan
memanfaatkan insulin (resistensi insulin) ataupun keduanya akan menimbulkan peningkatan
kadar gula darah serta hasil metabolisme lainnya.
Patofisiologi DMT2 sangat kompleks. Pada awalnya, terjadi kegagalan aksi insulin
dalam upaya menurunkan gula darah, mengakibatkan sel pancreas akan mensekresikan
insulin lebih banyak untuk mengatasi kekurangan insulin. Dalam keadaan ini toleransi
glukosa dapat masih normal, dan suatu saat akan terjadi gangguan dan menyebabkan
Gangguan toleransi glukosa (IGT) dan belum terjadi diabetes. Selanjutnya, apabila keadaan
resistensi insulin bertambah berat disertai beban glukosa yang terus menerus terjadi, sel
pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin untuk
menurunkan kadar gula darah, disertai peningkatan glukosa hepatik dan penurunan
penggunaan glukosa oleh otot dan lemak yang mempengaruhi kadar gula darah puasa dan
pospandrial yang sangat karakteristik pada DMT2. Akhirnya sekresi insulin oleh sel
pankreas akan menurun dan terjadi hiperglikemia yang bertambah berat dan terus menerus
berlangsung.
Dalam perjalanan terjadi DMT2 sel beta pankreas pada awalnya mampu melakukan
adaptasi terhadap perubahan sensitifitas terhadap insulin. Mekanisme adaptasi ini diduga
melalui peningkatan proses neogenesis atau pembentukan sel sel baru, atau terjadi
peningkatan kelompok sel beta menjadi hipertrofi, atau mungkin akan terjadi kehilangan sel
beta melalui proses apoptosis bahkan terjadi nekrosis. Pada keadaan terakhir ini sel beta
sudah tidak mampu mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula darah. Disfungsi sel
dalam sekresi insulin merupakan salah satu dari 4 gangguan metabolic pada penderita
DMT2. Gangguan metabolic lain adalah obesitas, kegagalan aksi insulin dan peningkatan
glukosa endogen (EGO). Meskipun demikian, kenyataannya disfungsi sel beta, kegagalan
aksi insulin dan obesitas merupakan substansi gangguan metabolic utama yang terjadi pada
individu sebelum terjadi DMT2 yang berpengaruh dalam perkembangan toleransi glukosa
normal (NGT) sampai terjadi gangguan toleransi glukosa (IGT), pada akhirnya menjadi
DMT2.
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian yang dilakukan secara prospektif pada
individu non-diabetes mempunyai karakteristik gangguan metabolik tunggal dan dalam
beberapa tahun berkembang menjadi diabetes. Hal ini menggambarkan bahwa adanya
metabolik yang abnormal sebagai faktor predisposisi diabetes. Dalam penelitian ini, keadaan
obes dan resistensi insulin diprediksikan akan berkembang menjadi diabetes. Sedangkan

22

EGO basal tidak menunjukan kearah prediksi perkembangan diabetes. Respon sekresi insulin
awal merupakan prediksi terjadi Diabetes walaupun tidak semuanya penelitian menemukan
hal tersebut. Hal ini mengggambarkan bahwa dua keadaan aksi insulin dan sekresi insulin
merupakan factor predisposisi pada NGT menjadi Diabetes.

Bagan 1. Alur Patofisiologi Diebetes dan Komplikasinya


4.1.4. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun

23

kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka criteria diagnostik


yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.

4.1.5. Diagnosis diabetes


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini.
a.

Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.


b.

Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.


Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/Dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl
dengan adanya keluhan klasik. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan
dalam praktek sangat jarang dilakukan.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh.

TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa

plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dl (7.8-11.0 mmol/L).

GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa

didapatkan antara 100 125 mg/Dl (5.6 6.9 mmol/L) dan pemerikaan TTGO gula darah 2
jam <140 mg/dL.

24

* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah
satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandardisasi dengan baik.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air

putih tanpa gula tetap diperbolehkan


diperiksa kadar glukosa darah puasa
diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),

dilarutkan dalam air 250 Ml dan diminum dalam waktu 5 menit


berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

minum larutan glukosa selesai


diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

4.1.6. Pemeriksaan penyaring


Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM namun
tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan
pasien dengan DM, TGT maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat.
Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan

25

tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Pemeriksaan penyaring
dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor risiko DM.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Apabila pada pemeriksaan penyaring ditemukan
hasil positif, maka perlu dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa
atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak diikuti dengan rencana
tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring juga
dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.

Catatan : Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

26

Bagan 2. Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa


4.1.7 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan pada DMT2 ditujukan pada disfungsi sel beta dan
resistensi insulin. Pada keadaan normal, aksi insulin tidak hanya meningkatkan ambilan dan
penggunaan glukosa di perifer tetapi juga mensupresi glukosa endogen yang diproduksi oleh
sel hepar. Pada keadaan adanya resistensi insulin, maka kedua keadaan tersebut terjadi
kegagalan, yaitu gagalnya ambilan glukosa oleh sel sel otot dan gagalnya supresi glukosa
endogen, selanjutnya menimbulkan hiperglikemia yang sangat khas pada DMT2. Sedangkan
obat yang meningkatkan rangsangan terhadap sel pankreas terjadi sekresi insulin berlebih
(Insulin secretagogue) sehingga terjadi hiperinsulinemia menyebabkan penurunan kadar
glukosa darah.

27

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup penyandang


diabetes.

Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan

tercapainya target pengendalian glukosa darah.


Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas

dan mortalitas DM.


Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama


Evaluasi medis meliputi:
a.

Riwayat Penyakit

gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu termasuk A1C, hasil

pemeriksaan khusus yang telah ada terkait DM


pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan
riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi
medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri,

serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan


pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan

dan program latihan jasmani


riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemia, hipoglikemia)
riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis
gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, mata,

saluran pencernaan, dll.)


pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan

riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)


riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, status ekonomi
kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan.

b.

Pemeriksaan Fisik

pengukuran tinggi dan berat badan

28

pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri

untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik


pemeriksaan funduskopi
pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
pemeriksaan jantung
evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan

pemeriksaan neurologis
tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain

c.

Evaluasi Laboratoris/penunjang lain

d.

glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial


A1C
profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)
kreatinin serum
albuminuria
keton, sedimen dan protein dalam urin
Elektrokardiogram
foto sinar-x dada
Tindakan Rujukan

Sistem rujukan perlu dilakukan pada seluruh pusat pelayanan kesehatan yang memungkinkan
dilakukan rujukan. Rujukan meliputi:

ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut


konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif
konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi
konsultasi dengan edukator diabetes
konsultasi dengan spesialis kaki (podiatrist), spesialis perilaku (psikolog) atau

spesialis lain sesuai indikasi


Konsultasi lain sesuai kebutuhan

Evaluasi medis secara berkala

Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan sesuai

dengan kebutuhan
Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan
Setiap 1 (satu) tahun dilakukan pemeriksaan:
Jasmani lengkap
Mikroalbuminuria
Kreatinin

29

Albumin / globulin dan ALT


Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida
EKG
Foto sinar-X dada
Funduskopi

Pilar penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin
dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
4.5.3.1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif
pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi
yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Terapi Gizi Medis

Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara

total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).

Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya

guna mencapai sasaran terapi.

30

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran

makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
A.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

Karbohidrat

Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.

Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan

Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama

dengan makanan keluarga yang lain

Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas

aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.

Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan

melebihi 30% total asupan energi.

Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh

dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk).

Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.

Protein

Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.

Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa

lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe.

Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB

perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
Natrium

31

Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk

masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh)
garam dapur.

Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.

Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet

seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.


Serat

Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi

cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi
serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.

Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.

Pemanis alternatif

Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.

Termasuk pemanis bergizi adalah gula alcohol dan fruktosa.

Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.

Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya

sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping

pada lemak darah.

Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,

acesulfame potassium, sukralose, neotame.

Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily

Intake / ADI )
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa
faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg.

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus

dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.

32

BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa tubuh dapat
dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT*
-

BB Kurang <18,5

BB Normal 18,5-22,9

BB Lebih >23,0
o
o
o

Dengan risiko 23,0-24,9


Obes I 25,0-29,9
Obes II >30

*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:RedefiningObesity


and its Treatment.
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita

sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.

Umur

Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade

antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk decade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi
20%, di atas usia 70 tahun.

Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik

penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat,

20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan
aktivitas sangat berat.

Berat Badan

Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada tingkat kegemukan

Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan

BB.

Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000

1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 1600 kkal perhari untuk pria.

33

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi
besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan
(10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan
dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain,
pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
C. Pilihan Makanan
Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui piramida makanan
untuk penyandang diabetes.

Gambar 1. piramida makanan untuk penyandang diabetes


\
Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.

34

Table 4. aktivitas sehari-hari


Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
A.

Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:


A. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
C. penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
A. Pemicu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea
Sulfonylurea salah satu obat diabetes paling lama dan sering digunakan dalam
mengontrol kadar glukosa darah. Golongan obat ini dapat menurunkan A1c sebesar 1-2%.
Pada umumnya sering digunakan 1 atau 2 kali perhari untuk mengontrol glukosa darah post
prandial. Pada umumnya dengan penurunan kadar glukosa darah akan menurunkan risiko
penyakit kadar glukosa darah, walaupun demikian terdapat penelitian yang menyatakan
bahwa sulfonylurea dapat menyebabkan kejadian penyakit kardiovaskuler.
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua,
gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan
penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2. Glinid

35

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin).
Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator


Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan
ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat
memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
Golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya.
C. Penghambat glukoneogenesis

Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),

di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin
secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah
kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang

36

masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide
yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja
DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons

kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal

Sulfonilure: 15 30 menit sebelum makan

Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan

Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan

Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan pertama

Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

B. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
-

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

Ketoasidosis diabetic

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

37

Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)


Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan
-

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
-

insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

insulin kerja pendek (short acting insulin)

insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

insulin kerja panjang (long acting insulin)

insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Efek samping terapi insulin


-

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.


Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat

menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.


Dasar pemikiran terapi insulin:
-

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin

diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.


-

Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau

keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan


puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
-

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi

yang terjadi.
-

Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal

(puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin
yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin
kerja sedang atau panjang).
-

Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan

menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
-

Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum

mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin
yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat
(rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin

38

prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial
(basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali
prandial (basal bolus).
-

Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa

darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid),
atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
-

Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan

respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
-

Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan

respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
harian.
Agar terapi insulin dapat dilaksanakan dengan baik pada pasien hiperglikemia yang
dirawat di rumah sakit, harus dipahami tentang pola sekresi insulin pada orang normal. Hal
tersebut disebabkan pada hakikatnya sasaran terapi insulin adalah membuat insulin eksogen
yang diberikan sedemikian rupa sehingga menyerupai pola sekresi insulin endogen atau
fisiologis.
Sekresi insulin dapat dibagi menjadi sekresi insulin basal (saat puasa atau sebelum
makan) dan insulin prandial (setelah makan). Insulin basal adalah jumlah insulin eksogen per
unit waktu yang diperlukan untuk mencegah hiperglikemia puasa akibat glukoneogenesis
serta mencegah ketogenesis yang tidak terdeteksi. Insulin prandial adalah jumlah insulin yang
dibutuhkan untuk mengkonversi bahan makanan ke dalam bentuk energi cadangan sehingga
tidak terjadi hiperglikemia postprandial. Karena selama perawatan tidak jarang ditemukan
fluktuasi kadar glukosa darah akibat berbagai sebab, dalam pemberian terapi insulin bagi
pasien yang dirawat di rumah sakit dikenal istilah insulin koreksi atau insulin suplemen.
Insulin koreksi adalah jumlah insulin yang diperlukan pasien di rumah sakit akibat kenaikan
kebutuhan insulin yang disebabkan adanya suatu penyakit atau stres.
Secara umum, kebutuhan insulin dapat diperkirakan sebagai berikut: insulin basal
adalah 50% kebutuhan total insulin per hari atau 0,02 U/kgBB; insulin prandial adalah 50%
dari kebutuhan total insulin per hari; dan insulin koreksi sekitar 10-20% dari kebutuhan total
insulin per hari.
Pemahaman pasien tentang cara menghitung karbohidrat sangat penting, terutama
pada pasien yang mendapat terapi insulin dengan dosis multipel. Perhitungannya, untuk
setiap 15 gram karbohidrat (60 kal = dibutuhkan 1 unit insulin). Usia dan berat badan
mempengaruhi kebutuhan insulin untuk karbohidrat yang dikonsumsi.

39

1. Insulin infus intravena


a. Sasaran kadar glukosa darah
Sasaran kadar glukosa darah dan batas kadar glukosa darah untuk memulai pemberian
terapi insulin tergantung dari setiap kasus yang dihadapi. Pada pasien bedah yang kritis (sakit
berat/gawat), sasaran kadar glukosa darah lebih rendah daripada pasien penyakit kritis
nonbedah atau penyakit bedah tidak kritis
b. Indikasi insulin infus intravena
Pada prinsipnya, pasien penyakit berat atau kritis yang dirawat di rumah sakit
memerlukan terapi insulin. Sebagian besar dari mereka membutuhkan terapi insulin yang
diberikan secara infus intravena, misalnya pada pasien kritis/akut seperti hiperglikemia gawat
darurat, infark miokard akut, stroke, fraktur, infeksi sistemik, syok kardiogenik, pasien
transplantasi organ, edema anasarka, kelainan kulit yang luas, persalinan, pasien yang
mendapat terapi glukokortikoid dosis tinggi, dan pasien pada periode perioperatif. Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah adanya strategi untuk mencapai dosis yang tepat sebelum
konversi dari terapi insulin infus intravena ke terapi insulin subkutan.

Table 5. batas kadar glukosa darah puasa untuk memulai terapi insulin drip intravena dan
kisaran sasaran kadar glukosa darah
c. Protokol insulin infus intravena

40

Table 6. protocol terapi insulin infuse intravena

Table 7. indikasi insulin infuse intravena pasien bukan hamil


Protokol ini dimulai dengan tahap persiapan yaitu dengan memberikan infus D5%
100cc/jam. Setelah itu, bila terdapat fasilitas syringe pump, siapkan 50 unit insulin reguler
(RI) dalam spuit berukuran 50 cc, kemudian encerkan dengan larutan NaCl 0,9 % hingga
mencapai 50 cc (1 cc NaCl = 1 unit RI). Bila diperlukan 1,5 unit insulin/jam, petugas tinggal
mengatur kecepatan tetesan 1,5 cc/jam. Dapat pula diberikan 125 RI dalam 250 ml larutan
NaCl 0,9%, yang berarti setiap 2 cc NaCl = 1 unit RI.
Bila tidak tersedia syringe pump, dapat digunakan botol infus 500 cc larutan NaCl
0,9%. Masukkan 12 unit RI (dapat juga 6 unit atau angka lain, sebab nantinya akan

41

diperhitungkan dalam tetesan) ke dalam botol infus 500 cc larutan NaCl 0.9%. Bila
dibutuhkan 1 unit insulin/jam, maka dalam botol infus yang berisi 12 unit RI, diatur
kecepatan tetesan 12 jam/botol, sehingga 12 unit RI akan habis dalam 12 jam. Bila
dibutuhkan 2 unit perjam, kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6 jam/botol, karena 12 unit
RI akan habis dalam 6 jam, demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai permintaan. Sebagai
patokan tetesan, 1 cc cairan infus = 20 tetesan makro = 60 tetesan mikro.
d. Peralihan insulin infus intravena ke insulin subkutan
Setelah kadar glukosa darah stabil dan pasien mulai mendapatkan makanan, terapi
insulin dapat dialihkan menjadi jalur subkutan dengan tetap memperhatikan kaidah terapi
insulin basal dan bolus, serta disesuaikan dengan pola respon insulin fisiologis. Sebelum
terapi insulin infus intravena dihentikan, terapi insulin subkutan sebaiknya sudah dimulai
supaya diperoleh waktu yang cukup untuk awitan kerja insulin. Terapi insulin infus intravena
dapat dihentikan 2 jam setelah pemberian insulin subkutan. Kebutuhan insulin subkutan
dihitung berdasarkan total kebutuhan insulin infus intravena dalam 24 jam. Dosis total harian
insulin subkutan adalah 80% dari dosis total insulin infus intravena selama 24 jam. Dosis
total harian tersebut dibagi menjadi dosis insulin basal dan insulin bolus subkutan. Dosis
insulin basal adalah sebesar 50% dari dosis harian total.

Table 8. cara perhitungan dosis insulin subkutan


Jenis insulin yang diberikan biasanya long acting insulin (lebih baik digunakan insulin
yang tidak memiliki puncak kerja/peak, seperti insulin glargine atau detemir). Dosis insulin
bolus subkutan adalah 50% dari dosis harian total subkutan. Dalam pemberiannya, dosis

42

dibagi rata sesuai jumlah kali makan, umumnya 3 kali/hari. Jenis insulin yang diberikan
berupa short atau rapid acting insulin.
2. Insulin subkutan
Walaupun penggunaan terapi obat antidiabetik oral masih memungkinkan untuk
diberikan pada pasien diabetes melitus yang dirawat di rumah sakit, tapi bagi pasien yang
akan menjalani pembedahan atau memiliki penyakit berat sebaiknya digunakan terapi insulin.
Ada beberapa bentuk pemberian insulin subkutan pada pasien yang dirawat di rumah sakit,
antara lain insulin terjadwal (scheduled atau programmed insulin) dan insulin koreksi.
Program pemberian insulin terjadwal terbagi atas kebutuhan insulin basal dan insulin
prandial. Insulin basal dapat diberikan dengan menggunakan pompa insulin (CSII), insulin
kerja intermediate (NPH atau premixed) 2-4 kali sehari, atau insulin analog kerja panjang.
Sementara itu, kebutuhan insulin prandial dapat dipenuhi dengan insulin kerja cepat (insulin
regular atau rapid acting insulin analog). Insulin tersebut diberikan sebelum makan atau
setelah makan (hanya untuk penggunaan rapid acting insulin analog) apabila jadwal dan
jumlah asupan makanan tidak pasti. Jika protokol dimulai dengan pemberian NPH (bukan
glargine/detemir), maka dosis yang diberikan 0,25 U/kgBB NPH saat makan pagi dan
sebelum tidur (0,15 U/kgBB bila kuatir terjadi hipoglikemia ; 0,35 U/kg untuk kondisi
dengan peningkatan kebutuhan insulin basal). Selain itu, tetap diberikan 0,1 U/kgBB rapid
acting insulin setiap makan.

Table 9. protocol terapi insulin subcutan

43

Cara Penyuntikan Insulin


-

Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah

alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.


-

Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.

Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan

kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan
insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan
pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat
dalam buku panduan tentang insulin.
-

Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara penyimpanan insulin harus

dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.


-

Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan

jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama.
-

Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin (jumlah unit/mL) dengan semprit

yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan pakai konsentrasi yang tetap. Saat ini
yang tersedia hanya U100 (artinya 100 unit/mL).
2.

Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk

pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini
antara lain rasa sebah dan muntah.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan
pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi,
harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda.
Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO
dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai

44

dengan alasan klinik di mana insulin riteri memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan
kombinasi tiga OHO. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe-2).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilaikadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja.

Bagan 3. Pengelolaan DM tipe 2 tanpa Dekompensasi

45

4.1.7.1 Penilaian hasil terapi


Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
-

Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai

Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah

puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena
salah satu hal terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam
posprandial.
Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin
glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil
pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2
kali dalam setahun.

46

Bagan 4. Algoritme Terapi untuk Diabetes Mellitus Tipe 2 (Sunaryo dan Kudiharto,2007)
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak
dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana
dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai
dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen
kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan
pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi,
tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam
setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai
risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal
yang kadang tanpa gejala) , atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.
PDGM terutama dianjurkan pada:
Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insulin
Penyandang DM dengan terapi insulin berikut
-

Pasien dengan A1C yang tidak mencapai target setelah terapi

47

Wanita yang merencanakan hamil

Wanita hamil dengan hiperglikemia

Kejadian hipoglikemia berulang

Gambar 2. Tes PGDM


Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya
digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah.
Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa
pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat
tergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.
Penentuan Benda Keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama
pada penyandang DM tipe-2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah > 300 mg/dL).
Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang hamil. Tes
benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah
asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta
hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam
beta hidroksibutirat darah < 0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis
dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda
keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.
4.1.8 Kriteria pengendalian DM

48

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM


yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa
darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan
kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut
dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi
obat.

Table 10. Target Pengendalian DM


4.1.9 Masalah Khusus
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
A. Dislipidemia pada Diabetes
Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit
kardiovaskular.

49

Perlu pemeriksaan profil lipid pada saat diagnosis diabetes ditegakkan. Pada pasien
dewasa pemeriksaan profil lipid sedikitnya dilakukan setahun sekali dan bila dianggap perlu
dapat dilakukan lebih sering. Sedangkan pada pasien
yang pemeriksaan profil lipid menunjukkan hasil yang baik (LDL<100mg/dL; HDL>50
mg/dL (laki-laki >40 mg/dL, wanita >50 mg/dL); trigliserid <150 mg/dL), pemeriksaan profil
lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali.
Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes adalah
peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL, sedangkan kadar
kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat.
Perubahan perilaku yang tertuju pada pengurangan asupan kolesterol dan penggunaan
lemak jenuh serta peningkatan aktivitas fisik terbukti dapat memperbaiki profil lemak dalam
darah
Dipertimbangkan untuk memberikan terapi farmakologis sedini mungkin bagi penyandang
diabetes yang disertai dislipidemia
Target terapi:
Pada penyandang DM, target utamanya adalah penurunan LDL
Pada penyandang diabetes tanpa disertai penyakit kardiovaskular: LDL <100 mg/dL (2,6
mmol/L)
Pasien dengan usia >40 tahun, dianjurkan diberi terapi statin untuk menurunkan LDL
sebesar 30-40% dari kadar awal
Pasien dengan usia <40 tahun dengan risiko penyakit kardiovaskular yang gagal dengan
perubahan gaya hidup, dapat diberikan terapi farmakologis.
Pada penyandang DM dengan penyakit Acute Coronary Syndrome (ACS) atau telah
diketahui penyakit pembuluh darah lainnya atau mempunyai banyak faktor risiko maka LDL
<70 mg/dL (1,8 mmol/L)
Semua pasien diberikan terapi statin untuk menurunkan LDL sebesar 30-40%.
Trigliserida < 150 mg/dL (1,7 mmol/L)
HDL > 40 mg/dL (1,15 mmol/L) untuk pria dan >50 mg/dL untuk wanita
Setelah target LDL terpenuhi, jika trigliserida 150 mg/dL(1,7 mmol/L) atau HDL 40
mg/dL (1,15 mmol/L) dapat diberikan niasin atau fibrat
Apabila trigliserida 400 mg/dL (4,51 mmol/L) perlu segera diturunkan dengan terapi
farmakologis untuk mencegah timbulnya pankreatitis.

50

Terapi kombinasi statin dengan obat pengendali lemak yang lain mungkin diperlukan
untuk mencapai target terapi, dengan memperhatikan peningkatan risiko timbulnya efek
samping.
Niasin merupakan salah satu obat alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan
HDL, namun pada dosis besar dapat meningkatkan kadar glukosa darah
Pada wanita hamil penggunaan statin merupakan kontra indikasi
B. Hipertensi pada Diabetes
Indikasi pengobatan : Bila TD sistolik >130 mmHg dan/atau TD diastolik >80 mmHg.
Sasaran (target penurunan) tekanan darah:
-

Tekanan darah <130/80 mmHg

Bila disertai proteinuria 1gram /24 jam : < 125/75 mmHg

Pengelolaan:
Non-farmakologis:
Modifikasi gaya hidup antara lain: menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik,
menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi garam
Farmakologis:
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat antihipertensi (OAH):
Pengaruh OAH terhadap profil lipid Pengaruh OAH terhadap metabolism glukosa
Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin
Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung
Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan:
-

Penghambat ACE

Penyekat reseptor angiotensin II

Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah

Diuretik dosis rendah

Penghambat reseptor alfa

Antagonis kalsium

Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau tekanan diastolik
antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan gaya hidup sampai 3 bulan. Bila gagal
mencapai target dapat ditambahkan terapi farmakologis
Pasien dengan tekanan darah sistolik >140 mmHg atau tekanan diastolik >90 mmHg,
dapat diberikan terapi farmakologis secara langsung
Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan monoterapi.

51

Catatan:
- Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB =angiotensin II receptor blocker)
dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki mikroalbuminuria.
- Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.
- Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk toleransi glukosa.
- Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.
- Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis secara
bertahap.
- Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.

C. Obesitas pada Diabetes


Prevalensi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian pula kejadian DM dan gangguan
toleransi glukosa pada obesitas cukup sering dijumpai
Obesitas, terutama obesitas sentral secara bermakna berhubungan dengan sindrom
dismetabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi), yang didasari oleh resistensi insulin
Resistensi insulin pada diabetes dengan obesitas membutuhkan
pendekatan khusus
D. Gangguan koagulasi pada Diabetes
Terapi aspirin 75-160 mg/hari diberikan sebagai strategipencegahan sekunder bagi
penyandang diabetes dengan riwayat pernah mengalami penyakit kardiovaskular dan yang
mempunyai risiko kardiovaskular lain.
Terapi aspirin 75-160 mg/hari digunakan sebagai strategi pencegahan primer pada
penyandang diabetes tipe2 yang merupakan faktor risiko kardiovaskular, termasuk pasien
dengan usia > 40 tahun yang memiliki riwayat keluarga penyakit kardiovaskular dan
kebiasaan merokok, menderita hipertensi, dislipidemia,
atau albuminuria
Aspirin dianjurkan tidak diberikan pada pasien dengan usia di bawah 21 tahun, seiring
dengan peningkatan kejadian sindrom Reye
Terapi kombinasi aspirin dengan antiplatelet lain dapat dipertimbangkan pemberiannya
pada pasien yang memiliki risiko yang sangat tinggi.

52

Penggunaan obat antiplatelet selain aspirin dapat dipertimbangkan sebagai pengganti


aspirin pada pasien yang mempunyai kontra indikasi dan atau tidak tahan terhadap
penggunaan aspirin.
E. Diabetes dengan Infeksi
Adanya infeksi pada pasien sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa darah.
Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah yang tinggi
meningkatkan kemudahan atau memperburuk infeksi.
Infeksi yang banyak terjadi antara lain:
Infeksi saluran kemih (ISK)
Infeksi saluran nafas: pneumonia, TB Paru
Infeksi kulit: furunkel, abses
Infeksi rongga mulut: infeksi gigi dan gusi
Infeksi telinga: otitis eksterna maligna
ISK merupakan infeksi yang sering terjadi dan lebih sulit dikendalikan. Dapat
mengakibatkan terjadinya pielonefritis dan septikemia. Kuman penyebab yang sering
menimbulkan infeksi adalah: Escherichia coli dan Klebsiella. Infeksi jamur
spesies kandida dapat menyebabkan sistitis dan abses renal. Pruritus vagina adalah
manifestasi yang sering terjadi akibat infeksi jamur vagina.
Pneumonia pada diabetes biasanya disebabkan oleh: streptokokus, stafilokokus, dan
bakteri batang gram negatif. Infeksi jamur pada pernapasan oleh aspergillosis, dan
mucormycosis juga sering terjadi.
Penyandang diabetes lebih rentan terjangkit TBC paru. Pemeriksaan rontgen dada,
memperlihatkan pada 70% penyandang diabetes terdapat lesi paru-paru bawah dan kavitasi.
Pada penyandang diabetes juga sering disertai dengan adanya resistensi obat-obat
Tuberkulosis.
Kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi.
Kuman stafilokokus merup kan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi
biasanyamelibatkan banyak mikro organisme, yang sering terlibat adalah stafilokokus,
streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob.
Angka kejadian periodontitis meningkat pada penyandang diabetes dan sering
mengakibatkan tanggalnya gigi. Menjaga kebersihan rongga mulut dengan baik merupakan
hal yang penting untuk mencegah komplikasi rongga mulut.

53

Ada penyandang diabetes, otitis eksterna maligna sering kali tidak terdeteksi sebagai
penyebab infeksi.
F. Diabetes dengan Nefropati Diabetik
Sekitar 20-40% penyandang diabetes akan mengalami nefropatidiabetik
Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 30-299 mg/24 jam (albuminuria mikro)
merupakan tanda dini nefropati diabetik
Pasien yang disertai dengan albuminuria mikro dan berubah menjadi albuminuria makro
( >300 mg/24 jam), pada akhirnya sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir.
Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin > 30 mg dalam
urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6 bulan, tanpa penyebab
albuminuria lainnya
Penapisan pada DM tipe 2 pada saat awal diagnosis
Jika mikroalbuminaria negatif, dilakukan evaluasi ulang setiap tahun.
Metode Pemeriksaan
Rasio albumin/kreatinin dengan urin sewaktu
Kadar albumin dalam urin 24 jam
Micral test untuk mikroalbuminuria
Dipstik/reagen tablet untuk makroalbuminuria
Urin dalam waktu tertentu (4 jam atau urin semalam)
Penatalaksanaan
Kendalikan glukosa darah
Kendalikan tekanan darah
Diet protein 0,8 gram/kgBB per hari. Jika terjadi penurunan fungsi ginjal yang bertambah
berat, diet protein diberikan 0,6 0,8 gram/kg BB per hari.
Terapi dengan obat penyekat reseptor angiotensin II, penghambat ACE, atau kombinasi
keduanya
Jika terdapat kontraindikasi terhadap penyekat ACE atau reseptor angiotensin, dapat
diberikan antagonis kalsium non dihidropiridin.
Apabila serum kreatinin >2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut dilibatkan
Idealnya bila klirens kreatinin <15 mL/menit sudah merupakan indikasi terapi pengganti
(dialisis, transplantasi).
G. Diabetes dengan Disfungsi Ereksi (DE)

54

Prevalensi DE pada penyandang diabetes tipe 2 lebih dari 10 tahun cukup tinggi dan
merupakan akibat adanya neuropati autonom, angiopati dan problem psikis.
DE sering menjadi sumber kecemasan penyandang diabetes, tetapi jarang disampaikan
kepada dokter oleh karena itu perlu ditanyakan pada saat konsultasi.
Pengelolaan DE pada diabetes dapat mengacu pada Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi
(Materi Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, IDI, 1999). DE dapat didiagnosis dengan
menggunakan instrumen sederhana yaitu kuesioner IIEF5 (International Index of Erectile
Function 5).
Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol glukosa darah senormal mungkin
dan memperbaiki faktor risiko DE lain seperti dislipidemia, merokok, obesitas dan hipertensi.
Perlu diidentifikasi berbagai obat yang dikonsumsi pasien yang berpengaruh mterhadap
timbulnya atau memberatnya DE.
Pengobatan lini pertama ialah terapi psikoseksual dan obat oral antara lain sildenafil dan
vardenafil.
H. Diabetes dengan Kehamilan/Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes melitus gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat (TGT,
GDPT, DM) yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang
berlangsung.
Penilaian adanya risiko DMG perlu dilakukan sejak kunjungan pertama untuk
pemeriksaan kehamilannya
Faktor risiko DMG antara lain: obesitas, adanya riwayat pernah mengalami DMG,
glukosuria, adanya riwayat keluarga dengan diabetes, abortus berulang, adanya riwayat
melahirkan bayi dengan cacat bawaan atau melahirkan bayi dengan berat>4000 gram, dan
adanya riwayat preeklamsia. Pada pasien dengan risiko DMG yang jelas perlu segera
dilakukan pemeriksaan glukosa darah. Bila didapat hasil glukosa darah sewaktu 200 mg/dL
atau glukosa darah puasa 126
mg/dL yang sesuai dengan batas diagnosis untuk diabetes, maka perlu dilakukan pemeriksaan
pada waktu yang lain untuk konfirmasi. Pasien hamil dengan TGT dan GDPT dikelola
sebagai DMG.
Diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan TTGO dilakukan dengan memberikan beban 75
gram glukosa setelah berpuasa 814 jam. Kemudian dilakukan pemeriksaan glukosa darah
puasa, 1 jam dan 2 jam setelah beban.
DMG ditegakkan apabila ditemukan hasil pemeriksaan glukosa darah puasa 95 mg/dL, 1
jam setelah beban <180 mg/dL dan 2 jam setelah beban 155 mg/dL. Apabila hanya

55

dapatdilakukan 1 kali pemeriksaan glukosa darah maka lakukanpemeriksaan glukosa darah 2


jam setelah pembebanan, bila didapatkan hasil glukosa darah 155 mg/dL, sudah dapat
didiagnosis sebagai DMG.
Hasil pemeriksaan TTGO ini dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya DM pada ibu
nantinya
Penatalaksanaan DMG sebaiknya dilaksanakan secara terpadu oleh spesialis penyakit
dalam, spesialis obstetric ginekologi, ahli diet dan spesialis anak.
Tujuan penatalaksanaan adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu, kesakitan
dan kematian perinatal. Ini hanya dapat dicapai apabila keadaan normoglikemia dapat
dipertahankan selama kehamilan sampai persalinan.
Sasaran normoglikemia DMG adalah kadar glukosa darah puasa 95 mg/dL dan 2 jam
sesudah makan 120 mg/dL.
Apabila sasaran kadar glukosa darah tidak tercapai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani, langsung diberikan insulin.
I. Diabetes dengan Ibadah Puasa
Penyandang diabetes yang terkendali dengan pengaturan makan saja tidak akan
mengalami kesulitan untuk berpuasa. Selama berpuasa Ramadhan, perlu dicermati adanya
perubahan jadwal, jumlah dan komposisi asupan makanan.
Penyandang diabetes usia lanjut mempunyai kecenderungan dehidrasi bila berpuasa, oleh
karena itu dianjurkan minum yang cukup.
Perlu peningkatan kewaspadaan pasien terhadap gejalagejala hipoglikemia. Untuk
menghindarkan terjadinya hipoglikemia pada siang hari, dianjurkan jadwal makan sahur
mendekati waktu imsak/subuh, kurangi aktivitas fisik pada siang hari dan bila beraktivitas
fisik dianjurkan pada sore hari.
Penyandang diabetes yang cukup terkendali dengan OHO dosis tunggal, juga tidak
mengalami kesulitan untuk berpuasa. OHO diberikan saat berbuka puasa. Hati-hati terhadap
terjadinya hipoglikemia pada pasien yang mendapat OHO
dengan dosis maksimal.
Bagi yang terkendali dengan OHO dosis terbagi, pengaturan dosis obat diberikan
sedemikian rupa sehingga dosis sebe lum berbuka lebih besar dari pada dosis sahur.
Untuk penyandang diabetes DM tipe 2 yang menggunakan insulin, dipakai insulin kerja
menengah yang diberikan saat berbuka saja.

56

Diperlukan kewaspadaan yang lebih tinggi terhadap terjadinya hipoglikemia pada


penyandang diabetes pengguna insulin. Perlu pemantauan yang lebih ketat disertai
penyesuaian dosis dan jadwal suntikan insulin. Bila terjadi gejala
hipoglikemia, puasa dihentikan.
Untuk pasien yang harus menggunakan insulin dosis multiple dianjurkan untuk tidak
berpuasa dalam bulan Ramadhan.
Sebaiknya momentum puasa Ramadhan ini digunakan untuk lebih meningkatkan
pengetahuan dan ketaatan berobat para penyandang diabetes. Dengan berpuasa Ramadhan
diharapkan adanya perubahan psikologis yang menciptakan rasa lebih sehat bagi penyandang
diabetes.
J. Diabetes pada Pengelolaan Perioperatif
Tindakan operasi, khususnya dengan anestesi umum merupakan faktor stres pemicu
terjadinya penyulit akut diabetes, oleh karena itu setiap operasi elektif pada penyandang
diabetes harus dipersiapkan seoptimal mungkin (sasaran kadar
glukosa darah puasa <150 mg/dL, PERKENI 2010)
Persiapan operasi elektif maupun non-elektif dapat dilihat pada pedoman terapi insulin di
rumah sakit.
4.1.10 Penyulit Diabetes Melitus
Penyulit akut:
1. Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai denganpeningkatan kadar glukosa darah
yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma
keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan
anion gap
2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa
tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma
keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.
Catatan:
kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan
di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.

57

3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah
habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau
lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan
OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna
pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan
pengawasan yang lebih lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebardebar, banyak keringat,
gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi pasien dengan
kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman
yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20
gram melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah
pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran.
Penyulit menahun:
1. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala.
Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik

58

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya
retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati
Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko
terjadinya nefropati
3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa
sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk
mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan
monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan
menurunkan risiko amputasi.
Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau
gabapentin.
Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi
perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit ini
seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.

4.1.11 Prognosis
DM tipe 1 merupakan penyakit kronik yang memerlukan pengobatan seumur hidup.
DM tipe 1 tidak bisa disembuhkan tetapi kualitas hidup penderita dapat dipertahankan
seoptimal mungkin dengan mengusahakan kontrol metabolic yang baik. Kontrol metabolik
yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam batas normal atau
mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan hipoglikemia.
Sekitar 60 % pasien DM Tipe 1 yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti
orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan kemungkinan
untuk meninggal lebih cepat. Anak dengan DM tipe-1 cepat sekali menjurus ke-dalam
ketoasidosis diabetik yang disertai atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila

59

tidak diterapi dengan baik. Oleh karena itu, pada dugaan DM tipe-1, penderita harus segera
dirawat inap.
Prognosis ditentukan oleh regulasi DM dan adanya komplikasi. Regulasi teratur dan
baik akan memberikan prognosis baik.
4.2

Anoreksia

Anoreksia merupakan keadaan hilangnya selera makan atau menurunnya keinginan


untuk makan. Anoreksia merupakan keadaan yang menonjol pada berbagai macam kelainan
intestinal dan ekstraintestinal.
Mekanisme berubahnya selera makan dan perasaan lapar pada berbagai penyakit, belum
dipahami dengan baik. Asupan makanan diatur lewat dua buah pusat di hipotalamus pusat
makan di bagian lateral dan pusat rasa kenyang di bagian ventromedial. Senyawa peptida
kolesistokinin otak-usus memberikan efek kenyang, dan terlibat dalam pengaturan prilaku
makan.
Anoreksia umumnya terlihat pada penyakit hepar dan gastrointestinal, anoreksia dapat
pula menjadi gambaran yang menonjol pada penyakit ekstraintestinal. Nyeri kronik karena
berbagai sebab dapat menimbulkan kehilangan selera makan. Anoreksia dapat terlihat
mencolok pada gagal jantung kongestif, dan dapat menjadi gejala uama pada pasien uremia,
gagal respirasi serta berbagai endokrinopati. Obat obatan seperti preparat antihipertensi,
digitalis, diuretik dan analgetik narkotik dapat menyebabkan anoreksia.
4.3

Dispepsia

4.3.1 Definisi
Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan keluhan atau
kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa
panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari
berbagai macam penyakit.
Definisi dispepsia menurut kriteria Rome III adalah salah satu atau lebih
gejala
dibawah ini :

Rasa penuh setelah makan (yang diistilahkan postprandial distress syndrome)

60

Rasa cepat kenyang (yang berarti ketidakmampuan untuk menghabiskan


ukuran makan normal atau rasa penuh setelah makan)

Rasa nyeri epigastrik atau seperti rasa terbakar (diistilahkan epigastric


pain syndrome)

4.3.2. Epidemiologi
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek
praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada
praktek spesialis merupakan kasus dispepsia.Di Amerika, prevalensi dispepsia sekitar 25%,
tidak

termasuk

pasien

dengan

keluhan

refluks.

Insiden

pastinya

tidaklah

terdokumentasi dengan baik, tetapi penelitian di Skandinavia menunjukkan dalam 3 bulan,


dispepsia berkembang pada 0,8% pada subyek tanpa keluhan dispepsia sebelumnya.6
Prevalensi keluhan saluran cerna menurut suatu pengkajian sistematik atas berbagai
penelitian berbasis populasi (systematic review of population-based study) menyimpulkan
angka bervariasi dari 11-41%. Jika keluhan terbakar di ulu hati dikeluarkan maka angkanya
berkisar 4-14%.
Dispepsia masih menimbulkan masalah kesehatan karena merupakan masalah kesehatan yang
kronik dan memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga meningkatkan biaya
perobatannya. Walaupun gejalanya hanya singkat dan dapat diobati sendiri oleh pasien tanpa
berobat ke dokter. Dispepsia terjadi pada hampir 25% (dengan rentang 13%-40%) populasi
tiap tahun tetapi tidak semua pasien yang terkena dispepsia akan mencari pengobatan medis.
4.3.4. ETIOLOGI
Penyebab dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia organik dan dispepsia
fungsional. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura
esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit
pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab organik.

61

Tabel 2. Etiologi Dispepsia


Esofago gastro duodenal
NSAID, Obat-obatan
Hepatobilier
Pankreas

Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis


Antiinflamasi non steroid, teofilin,antibiotik
Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan,
Disfungsi sfinkter Oddi
Pankreatitis,keganasan

Penyakit sistemik lain

Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal,


kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik
Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrom
Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional :
Hipersensitivitas viseral
o Meningkatnya persepsi distensi
o Gangguan persepsi asam
o Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik
Gangguan motilitas
o Hipomotilitas antral post prandial
o Menurunnya relaksasi fundus gaster
o Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung
o Refluks gastro-esofageal
o Refluks duodeno-gaster
Perubahan sekresi asam
o Hiperasiditas
Infeksi kuman Helicobacter pylori
Stress
Gangguan dan kelainan psikologis
Predisposisi genetik

Beberapa obat dapat juga menyebabkan keluhan dyspepsia. Pada umumnya adalah
OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang dapat merusak mukosa sehingga
menyebabkan gastritis. Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dyspepsia:

Acarbose
Aspirin, Obat anti inflamasi non steroid
Colchicine
Digitalis
Estrogen
Gemfibrozil
Glukokortikoid
Preparat besi
Levodopa
Narkotik
Niasin
Nitrat
Orlistat
Potassium klorida

62

Quinidine
Sildenafil
Teofilin

4.3.5 Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena
bermacam- macam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan mekanismenya dapat
terjadi sendiri atau kombinasinya. Pembagian dispepsia berdasarkan gejalanya, seperti
tercantum diatas, adalah untuk panduan manajemen awal terutama untuk dispepsia
yang tidak terinvestigasi.
Patofisiologinya yang dapat dibahas disini adalah :
1. Sekresi asam lambung dan keasaman duodenum
Hanya sedikit pasien dispepsia fungsional yang mempunyai hipersekresi asam
lambung dari ringan sampai sedang. Beberapa pasien menunjukkan gangguan
bersihan asam dari duodenum dan meningkatnya sensitivitas terhadap asam. Pasien
yang lain menunjukkan buruknya relaksasi fundus terhadap makanan. Tetapi
paparan asam yang banyak di duodenum tidak langsung berhubungan dengan gejala
pada pasien dengan dispepsia fungsional.
2. Infeksi Helicobacter pylori
Prevalensi dan tingkat keparahan gejala dispepsia serta hubungannya dengan
patofisiologi gastrik mungkin diperankan oleh H pylori. Walaupun penelitian
epidemiologis menyimpulkan bahwa belum ada alasan yang meyakinkan terdapat
hubungan antara infeksi H pylori dan dispepsia fungsional. Tidak seperti pada ulkus
peptikum, dimana H pylori merupakan penyebab utamanya.
3. Perlambatan pengosongan lambung
25-40% pasien dispepsia fungsional mempunyai perlambatan waktu pengosongan
lambung yang signifikan. Walaupun beberapa penelitian kecil gagal untuk

63

menunjukkan hubungan antara perlambatan waktu pengosongan lambung dengan


gejala dispepsia. Sebaliknya penelitian yang besar menunjukkan adanya perlambatan
waktu pengosongan lambung dengan perasaan perut penuh setelah makan, mual
dan muntah.
4. Gangguan akomodasi lambung
Gangguan lambung proksimal

untuk relaksasi saat makanan memasuki lambung

ditemukan sebanyak 40% pada pasien fungsional dispepsia yang akan menjadi
transfer prematur makanan menuju lambung distal.Gangguan dari akomodasi dan
maldistribusi tersebut berkorelasi dengan cepat kenyang dan penurunan berat badan.
5. Gangguan fase kontraktilitas saluran cerna
Gangguan fase kontraksi lambung proksimal terjadi setelah makan dan dirasakan
oleh pasien sebagai dispepsia fungsional. Hubungannya memang belum jelas tetapi
mungkin berkontribusi terhadap gejala pada sekelompok kecil pasien.
6. Hipersensitivitas lambung
Hiperalgesia terhadap distensi lambung berkorelasi dengan nyeri abdomen post
prandial,

bersendawa

dan

penurunan

berat

badan.

Walaupun

disfungsi

level neurologis yang terlibat dalam hipersensitivitas lambung masih belum jelas.
7. Disritmia mioelektrikal dan dismotilitas antroduodenal
Penelitian tentang manometrik menunjukkan bahwa hipomotilitas antrum terdapat
pada sebagian besar pasien dispepsia fungsional tetapi hubungannya tidak terlalu
kuat dengan gejala spesifiknya. Aktivitas abnormal dari mioelektrikal lambung
sangat umum ditemukan pada pasien tersebut, meskipun berkorelasi dengan
perlambatan pengosongan lambung tetapi tidak berkorelasi dengan gejala
dispepsianya.
8. Intoleransi lipid intra duodenal

64

Kebanyakan pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi terhadap makanan


berlemak dan dapat didemonstrasikan hipersensitivitasnya terhadap distensi lambung
yang diinduksi oleh infus lemak ke dalam duodenum. Gejalanya

pada umumnya

adalah mual dan perut kembung.


9. Aksis otak saluran cerna
Komponen afferen dari sistem syaraf otonomik mengirimkan informasi dari reseptor
sistem syaraf saluran cerna ke otak via jalur vagus dan spinal. Di dalam otak,
informasi yang masuk diproses dan dimodifikasi oleh fungsi afektif dan kognitif.
Kemudian otak mengembalikan informasi tersebut via jalur parasimpatik dan
simpatik

yang

akan

memodulasi

fungsi

akomodasi,

sekresi,

motilitas

dan imunologis.
10. Faktor psikososial
a. Korelasi dengan stress
b. Korelasi dengan hidup
c. Korelasi dengan kelainan psikiatri dan tipe kepribadian
d. Korelasi dengan kebiasaan mencari pertolongan kesehatan
11. Dispepsia fungsional pasca infeksi
Hampir 25% pasien dispepsia fungsional melaporkan gejala akut yang mengikuti infeksi
gastrointestinal.
4.3.6. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan
radiologis dan endoskopi. Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar pola dispepsia yang
dikenal yaitu :

65

Dispepsia tipe seperti ulkus (gejalanya seperti terbakar, nyeri di epigastrium


terutama saat lapar/epigastric hunger pain yang reda dengan pemberian makanan,
antasida dan obat antisekresi asam)

Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual, kembung
dan anoreksia)

Dispepsia non spesifik


Tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi dan banyak pasien

yang dapat ditatalaksana dengan baik tanpa pengobatan sehingga diagnosis secara klinis
agak terbatas kecuali bila ada alarm sign. Bila ada salah satu atau lebih pada tabel
tersebut ada pada pasien, sebaiknya dilakukan pemeriksaan endoskopi. Gambaran alarm
sign untuk dispepsia :

Umur 45 tahun (onset baru)


Perdarahan dari rektal atau melena
Penurunan berat badan >10% Anoreksia
Muntah yang persisten
Anemia atau perdarahan
Massa di abdomen atau limfadenopati
Disfagia yang progresif atau odinofagia
Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas
Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya
Riwayat ulkus peptikum
Kuning (Jaundice)
Ulkus peptikum ditemukan pada hampir 5-15% pasien dengan dispepsia di Amerika

Utara. Ulkus duodenum yang kronik biasanya disebabkan oleh kuman Helicobacter pylori
(hampir 90% pasien terinfeksi) dan ulkus gaster kronik juga umumnya disebabkan kuman
yang sama (hampir 70% kasus) atau penggunaan OAINS, termasuk juga aspirin
dosis rendah.
Dispepsia fungsional didefinisikan dengan adanya riwayat dispepsia paling
tidak

66

minimal 3 bulan dan tidak ada bukti kerusakan struktrural secara nyata yang
dapat menjelaskan gejalanya. Kategori diagnostik ini mencakup hampir 60% pasien
dispepsia.

4.3.7. Tatalaksana
Manajemen optimal dispepsia terutama pasien baru dengan dispepsia yang belum
terinvestigasi serta tidak ada gambaran alarm, didominasi oleh pengobatan H pylori secara
empiris dengan antibakteri.Pada pengobatan tingkat pertama, terapi antisekretori secara
empiris juga masih popular.Manajemen dispepsia tanpa gambaran alarm meliputi :
1. Supresi asam secara empiris
2. Pemeriksaan H pylori non invasif dengan urea breath test, serologi,
pemeriksaan antigen feses dan pemeriksaan endoskopi untuk kasus yang positif
3. Pemeriksaan H pylori non invasif dan eradikasi bila positif
4. Terapi eradikasi empiris H pylori tanpa pemeriksaan
5. Endoskopi dini
Pada dispepsia dengan gambaran alarm, diperlukan manajemen awal dengan
pemeriksaan endoskopi. Manajemen selanjutnya tergantung dari hasil endoskopi tersebut.
Pada dispepsia fungsional, manajemennya hampir sama dengan dispepsia tanpa
gambaran alarm, antara lain dengan penekan asam secara empiris, prokinetik, eradikasi
H. pylori dan terapi psikologis.

67

Gambar 1. Pendekatan manajemen pasien dispepsia.

4.3.8 Endoskopi pada dispepsia


Mayoritas pasien dengan dispepsia hasil pemeriksaan endoskopinya normal. Pada
penelitian di Kanada dengan pasien dispepsia yang belum dilakukan tindakan
endoskopi pada pelayanan kesehatan primer, menyimpulkan bahwa kebanyakan yang
ditemukan adalah esofagitis (43%), ulkus peptikum (5%), adekarsinoma lambung dan
esophagus (<1%), dengan H pylori yang kebanyakan negatif dan penggunaan OAINS yang
sedikit.
Pemeriksaan

endoskopi

mempunyai

beberapa

keuntungan.

Diantaranya

untukmenegakkan diagnosis yang dapat menunjukkan adanya kelainan atau abnormalitas


seperti esofagitis atau ulkus serta meningkatkan kepuasan pasien. Temuan yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan endoskopi lambung antara lain :
1. Normal
2. Gastritis (akut atau kronis)
3. Ulkus gaster
4. Massa
5. Keganasan
6. Hipertensi portal
7. Perubahan setelah operasi
8. Lain-lain kelainan yang jarang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah M, Gunawan J. 2012. Dispepsia. CDK-197/ vol. 39 no. 9, th
American Diabetes Association. Supplement 1. American Diabetes Association: Clinical
Practice Recommendations 2006.
Askandar, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam hal 129-136. Surabaya: SMF IPD FK
UNAIR-RSD dr. Soetomo.
Djojodiningrat D. Dispepsia fungsional. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.
354-6.
Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe2 di Indonesia, PERKENI
2006.
Maryani, Sri Sutadi. 2003. Sirosis Hepatitis Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Sumatera Utara. [serial online] 18 April 2010. Available from :
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani5.pdf.
Rani A, Simadibrata M dkk.2011. Buku Ajar Gastroenterologi 131-141. Jakarta: Interna
Publishing
Silbernagl S, Lang F. 2007. Teks dan atlas berwarna patofisiologi 26-27. Jakarta. EGC
Sugondo S, Soewondo P, Subekti I. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai
Penerbit FKUI 2005

Anda mungkin juga menyukai