DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ...................................................................... i
HALAMAN JUDUL .......................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................. 1
BAB 2. STATUS PASIEN .................................................................. 2
BAB 3. PEMBAHASAN ................................................................... 17
DEFINISI ........................................................................................... 17
GEJALA DAN TANDA ..................................................................... 19
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS .............................................. 20
PENATALAKSANAAN .................................................................... 23
KOMPLIKASI ................................................................................... 27
PROGNOSIS ..................................................................................... 29
ANOREKSIA ..................................................................................... 29
DISPEPSIA ........................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 31
BAB 1. PENDAHULUAN
: Ny. Misnati
Usia
: 51 tahun
Alamat
Status Marital
: Menikah
Pekerjaan
: IRT
No. RM
: 04.86.38
Tanggal MRS
: 13 Desember 2014
Tanggal Pemeriksaan
Tanggal KRS
: 16 Desember 2014
II. AUTOANAMNESIS
Dilakukan terhadap pasien pada H3 setelah masuk rumah sakit di ruang rawat interna wanita
(Adenium/RIW)
1. KELUHAN UTAMA
Mual muntah
2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluh mual muntah sejak 1 bulan yang lalu, pasien tidak enak makan,
karena setiap kali makan, dimuntahkan, pasien mengalami penurunan berat badan. 1 minggu
SMRS keluhan mual muntah semakin sering, hingga pasien sangat lemas, pasien dibawa ke
PKM Jember kidul. Setelah dilakukan pemeriksaan di PKM, didapatkan gula darah pasien
406 mg/dl, kemudian PKM merujuk pasien ke RSD dr Soebandi. Pasien tidak diare, BAB (+)
normal, BAK (+) normal. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sudah sejak 5 tahun
yang lalu, pasien sempat melakukan pengobatan kencing manis, 5 tahun yang lalu, namun
pasien tidak rajin mengkonsumsi obatnya, saat ini pasien tidak mengkonsumsi obat diabetes.
H3 setelah masuk rumah sakit (pemeriksaan di ruang Anturium/RIP)
Pada saat pemeriksaan, pasien sudah tidak mengeluhkan mual muntah, nafsu makan
baik, nyeri perut (-), BAK (+) normal, BAB (+) normal, demam (-), sesak (-).
perut kembung (+), mual (+), muntah (+) nyeri perut (+), BAB (+) hanya
sedikit.
Sistem urogenital:
Sistem integumentum:
: lemah
Kesadaran
: kompos mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 82 x/menit
Pernafasan
: 20 x/menit
Suhu aksila
: 36,4 0 C
Status Gizi :
BB = 53 kg; TB = 158 cm
IMB = 21,3 (kurang)
Kesan : Status gizi pasien kurang
: normosefal
Rambut
Mata
: sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), edema palpebra (-), refleks cahaya
+/+ 3/3, pupil isokor
Telinga
Hidung
Mulut
Bibir
Lidah
: candidiasis (+)
: simetris
Kaku kuduk
: tidak ada
Kelenjar limfe
: pembesaran (-)
Palpasi
Perkusi
: redup
Auskultasi
b. Paru-paru
Ventral
Dorsal
I : simetris,
retraksi -/P : fremitus raba +/+
P : sonor +/+
A: Ves +/+,
Rh -/-, Wh -/-
I: simetris,
retraksi -/P: fremitus raba +/+
P: sonor +/+
A: Ves +/+,
Rh -/-, Wh -/-
: cembung, LA = 90 cm
Auskultasi
Perkusi
: tympani
Palpasi
Genital
Inferior
Hasil
Normal
10
HEMATOLOGI
Hemoglobin
13.7
13,4-17,7
59/86
0-25
Lekosit
20.1
4,3-10,3
Hematokrit
39.8
38-42 %
Trombosit
472
150-450 x 10 / L
SGOT
11
10-35 U/L
SGPT
18
9-43 U/L
Bil. Direk
0,18
0,2-0,4 mg/dl
Bil. Total
1,38
Kreatinin
2.0
0,6-1,3 mg/dl
BUN
72
6-20 mg/dl
Urea
154
10-50 mg/dl
Asam Urat
9.3
3,4-7 mg/dl
FAAL HATI
FAAL GINJAL
ELEKTROLIT
Natrium
134,3
135-155 mmol/L
Kalium
3,82
3,5-5,0 mmol/L
Chlorida
97,2
90-110 mmol/L
Calsium
2,35
2,15-2,57 mmol/L
11
Hasil
Normal
331
<120mg/dL
3.7
3.4-4.8 gr/dL
Natrium
126.5
135-155 mmol/L
Kalium
5.31
3,5-5,0 mmol/L
Chlorida
92.4
90-110 mmol/L
Calsium
2,58
2,15-2,57 mmol/L
Fosfor
0,75
0,85-1,60 mmol/L
VIII. RESUME
2.4 Resume
Anamnesis
keluhan mual muntah sejak 1 minggu yang lalu, pasien mengalami penurunan berat
badan, pasien memiliki riwayat penyakit diabetes sejak 5 tahun yang lalu
Pemeriksaan fisik
compos mentis, tidak anemis, torak dan pulmo dalam batas normal, didapatkan nyeri
tekan pada regio epigastrium
Pemeriksaan penunjang
Lab
, asam urat
2.6 Diagnosis Kerja
Diabetes Mellitus Tipe 2 + Anoreksia + candidiasis oral
2.7 Penatalaksanaan
12
Planing monitoring
Observasi vital sign pasien
Planing diagnostik
Pemeriksaan GDA Rutin
Planing medikamentosa
I Inf PZ 20 tpm
Ranitidine 3x1
Actrapid 3 x 10 iu/sc
Planing edukasi
Istirahat yang cukup
Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga penyebab,
perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta usaha pencegahan
komplikasi
Pemenuhan kebutuhan gizi
Menjaga kondisi lingkungan sekitar pasien agar mendukung penyembuhan pasien
2.8 Prognosis
Dubia at bonam
FOLLOW UP
Senin, 13 Oktober 2014
S
Nyeri perut kanan atas(+); kembung (+); mual (+), BAB (), mual muntah
(+)
VS: tek. darah:
110/70 mmHg
Nadi :
82 x/menit
RR :
20 x/menit
Suhu :
Kepala leher :
Thorax : C/P
Abdomen
I
36,4 oC
a/i/c/d = -/-/-/Cor : dbn; pulmo : dbn
Cembung
13
A
P
P
Ekstremitas
A
P
BU (+) normal
Timpani
Soepel, nyeri tekan (+)
Akral hangat + +
++
DM tipe 2 + anoreksia+ oral candidiasis
I Inf PZ 20 tpm
Ranitidine 3x1
Actrapid 3 x 10 iu/sc
Lavemir 10 iu SC
Ibuprofen 3x1
Mertigo 2x1
EDEMA - --
kembung (+); mual (+), muntah (+), BAB (),BAK (+), pusing (+)
VS: tek. darah: 90/60 mmHg
Nadi :
74 x/menit
RR :
18 x/menit
Suhu :
Kepala leher :
Thorax : C/P
Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
A
36,6 oC
a/i/c/d = -/-/-/Cor : dbn; pulmo : dbn
Cembung
BU (+) normal
Timpani
Soepel, nyeri tekan (+)
Akral hangat + +
++
DM tipe 2 + anoreksia+ oral candidiasis
EDEMA - --
14
I Inf PZ 20 tpm
Ranitidine 3x1
Actrapid 3 x 10 iu/sc
Lavemir 10 iu SC
Ibuprofen 3x1
Mertigo 2x1
82 x/menit
RR :
20 x/menit
Suhu :
Kepala leher :
Thorax : C/P
Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
A
P
36,3 oC
a/i/c/d = -/-/-/Cor : dbn; pulmo : dbn
Cembung
BU (+) normal
Timpani
Soepel, nyeri tekan (+)
Akral hangat + +
++
DM tipe 2 + anoreksia+ oral candidiasis
I Inf PZ 20 tpm
Ranitidine 3x1
Actrapid 3 x 10 iu/sc
EDEMA - --
15
Lavemir 10 iu SC
Ibuprofen 3x1
Mertigo 2x1
16
82 x/menit
RR :
20 x/menit
Suhu :
Kepala leher :
Thorax : C/P
Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
A
P
36,6 oC
a/i/c/d = -/-/-/Cor : dbn; pulmo : dbn
Cembung
BU (+) normal
Timpani
Soepel, nyeri tekan (+)
Akral hangat + +
++
DM tipe 2 + anoreksia+ oral candidiasis
I Inf PZ 20 tpm
Ranitidine 3x1
Actrapid 3 x 10 iu/sc
Lavemir 10 iu SC
Ibuprofen 3x1
Mertigo 2x1
EDEMA - --
17
Bab 3. Pembahasan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Textbook
Anamnesis
Poliuri (banyak kencing)
Polidipsi (banyak minum)
Polifagia (banyak makan)
Berat badan menurun, lemas, lekas
lelah, tenaga kurang.
Mata kabur
Ketoasidosis
Anoreksia
Dispepsia
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : pada DM tipe 2
didapatkan
klien
mengeluh
kehausan, klien tampak banyak
makan, klien tampak kecil dengan
berat
badan
tetap,
terdapat
penutunan lapang pandang, klien
tampak lemah dan mengalami
penurunan tonus otot
Palpasi
: denyut nadi meningkat,
tekanan darah meningkat yang
menandakan terjadi hipertensi.
Auskultasi : adanya peningkatan
tekanan darah
Pemeriksaan Penunjang
Glukosa darah
Aseton plasma (keton) : (+)
secara mencolok
Asam lemak bebas :
kadar
lipid dan kolesterol
Osmolalitas serum tetapi
biasanya kurang dari 330
mOsm/l
Elektrolit
:
Natrium
:
mungkin
normal, , atau
Kalium
: normal atau
semu (perpindahan
seluler), selanjutnya akan
menurun.
Fosfor
: lebih
sering
i.
j.
k.
l.
m.
n.
Klinis Pasien
Anamnesis
Poliuri (banyak kencing)
Polidipsi (banyak minum)
BB menurun
Gemetaran
Nafsu makan pasien berkurang
Mual muntah, perut terasa sebah
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : pasien mudah haus,
mudah lapar, pasien mengalami
penurunan berat badan, pasien
tampak lemas.
Palpasi : nadi tidak meningkat,
tekanan darah tidak meningkat
Auskultasi : peningkatan tekanan
darah (-)
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
Pemeriksaan Penunjang
Gula darah
Hb normal
Hematokrit normal
Trombosit
Bilirubin direk normal
Bilirubin total normal
SGOT/SGPT normal
Albumin normal
Natrium
Kalium
Chloride normal
Calcium normal
Magnesium normal
Fosfor normal
Kreatinin serum
BUN
Urea
Asam Urat
18
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Hemoglobin glikosilat
Gas Darah Arteri : biasanya
menunjukkan pH rendah dan
pada HCO3 ( asidosis
metabolik)
dengan
kompensasi
alkalosis
respiratorik.
Trombosit
darah
:
Ht
mungkin
(dehidrasi);
leukositosis;
hemokonsentrasi
Ureum / kreatinin : mungkin
atau normal (dehidrasi/
penurunan fungsi ginjal)
Amilase darah : mungkin
indikasi
adanya
pancreatitis akut sebagai
penyebab dari DKA.
Insulin darah : mungkin
atau bahkan sampai tidak
ada (pada tipe 1).
Pemeriksaan fungsi tiroid :
aktivitas
hormone
tiroid
dapat meningkatkan glukosa
darah dan kebutuhan akan
insulin.
Urine : gula dan aseton (+);
berat jenis dan osmolalitas
.
Kultur dan sensitivitas
:
kemungkinan adanya infeksi
pada saluran kemih, infeksi
pernafasan dan infeksi pada
luka.
Terapi
Pemberian insulin
Pengaturan makan/diet
Olahraga
Obat hipoglikemik oral (OHO)
Edukasi
Pemantauan mandiri
Terapi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
I Inf PZ 20 tpm
Injeksi cefrtiaxon 2x1 gr
Ranitidine 3x1
Inj Ondansentron 3X1
Actrapid 3 x 10 iu/sc
P/O: Lansoprazol 2x1
P/O: Glimepiride 2 mg 1-0-0
P/O: Allopurinol 1x300mg
Micostatin 4x2 tetes
19
Bab 4. Pembahasan
4.1.1 Definisi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes mellitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980
dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu
jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan
problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
4.1.2. Klasifikasi
1) Diabetes mellitus tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM atau DM
tipe 1 biasanya terjadi pada masa anak-anak atau masa dewasa muda dan menyebabkan
ketoasidosis jika pasien tidak diberikan terapi insulin. IDDM berjumlah 10% dari kasus
Diabetes Mellitus.
2) Diabetes mellitus tak tergantung insulin (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus/
NIDDM atau DM tipe 2) biasanya terjadi pada orang yang berusia >40 tahun, dan 60% dari
20
pasien NIDDM gemuk. Pasien tidak cenderung mengalami ketoasidosis tapi dapat mengalami
ketoasidosis dalam keadaan stress.
3) Diabetes mellitus awitan kehamilan (Gestational Onset Diabetes Mellitus/ GODM) adalah
jika awitan diabetes terjadi selama kehamilan dan sembuh pada persalinan. Pasien tersebut
beresiko tinggi untuk mengalami diabetes mellitus di masa yang akan datang.
4) Diabetes mellitus sekunder dapat disebabkan oleh terapi steroid, sindrom cushing,
pankreatektomi, insufisiensi pankreas akibat pankreatitis, atau gangguan endokrin (Graber,
2006).
21
kedua-duanya. Dengan demikian kelainan patologi yang mendasari yang terjadi pada
penderita diabetes adalah kegagalan memproduksi insulin (defisiensi insulin) atau kegagalan
memanfaatkan insulin (resistensi insulin) ataupun keduanya akan menimbulkan peningkatan
kadar gula darah serta hasil metabolisme lainnya.
Patofisiologi DMT2 sangat kompleks. Pada awalnya, terjadi kegagalan aksi insulin
dalam upaya menurunkan gula darah, mengakibatkan sel pancreas akan mensekresikan
insulin lebih banyak untuk mengatasi kekurangan insulin. Dalam keadaan ini toleransi
glukosa dapat masih normal, dan suatu saat akan terjadi gangguan dan menyebabkan
Gangguan toleransi glukosa (IGT) dan belum terjadi diabetes. Selanjutnya, apabila keadaan
resistensi insulin bertambah berat disertai beban glukosa yang terus menerus terjadi, sel
pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin untuk
menurunkan kadar gula darah, disertai peningkatan glukosa hepatik dan penurunan
penggunaan glukosa oleh otot dan lemak yang mempengaruhi kadar gula darah puasa dan
pospandrial yang sangat karakteristik pada DMT2. Akhirnya sekresi insulin oleh sel
pankreas akan menurun dan terjadi hiperglikemia yang bertambah berat dan terus menerus
berlangsung.
Dalam perjalanan terjadi DMT2 sel beta pankreas pada awalnya mampu melakukan
adaptasi terhadap perubahan sensitifitas terhadap insulin. Mekanisme adaptasi ini diduga
melalui peningkatan proses neogenesis atau pembentukan sel sel baru, atau terjadi
peningkatan kelompok sel beta menjadi hipertrofi, atau mungkin akan terjadi kehilangan sel
beta melalui proses apoptosis bahkan terjadi nekrosis. Pada keadaan terakhir ini sel beta
sudah tidak mampu mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula darah. Disfungsi sel
dalam sekresi insulin merupakan salah satu dari 4 gangguan metabolic pada penderita
DMT2. Gangguan metabolic lain adalah obesitas, kegagalan aksi insulin dan peningkatan
glukosa endogen (EGO). Meskipun demikian, kenyataannya disfungsi sel beta, kegagalan
aksi insulin dan obesitas merupakan substansi gangguan metabolic utama yang terjadi pada
individu sebelum terjadi DMT2 yang berpengaruh dalam perkembangan toleransi glukosa
normal (NGT) sampai terjadi gangguan toleransi glukosa (IGT), pada akhirnya menjadi
DMT2.
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian yang dilakukan secara prospektif pada
individu non-diabetes mempunyai karakteristik gangguan metabolik tunggal dan dalam
beberapa tahun berkembang menjadi diabetes. Hal ini menggambarkan bahwa adanya
metabolik yang abnormal sebagai faktor predisposisi diabetes. Dalam penelitian ini, keadaan
obes dan resistensi insulin diprediksikan akan berkembang menjadi diabetes. Sedangkan
22
EGO basal tidak menunjukan kearah prediksi perkembangan diabetes. Respon sekresi insulin
awal merupakan prediksi terjadi Diabetes walaupun tidak semuanya penelitian menemukan
hal tersebut. Hal ini mengggambarkan bahwa dua keadaan aksi insulin dan sekresi insulin
merupakan factor predisposisi pada NGT menjadi Diabetes.
23
Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dl (7.8-11.0 mmol/L).
GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/Dl (5.6 6.9 mmol/L) dan pemerikaan TTGO gula darah 2
jam <140 mg/dL.
24
* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah
satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandardisasi dengan baik.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
25
tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Pemeriksaan penyaring
dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor risiko DM.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Apabila pada pemeriksaan penyaring ditemukan
hasil positif, maka perlu dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa
atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak diikuti dengan rencana
tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring juga
dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.
Catatan : Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
26
27
Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
Riwayat Penyakit
gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu termasuk A1C, hasil
b.
Pemeriksaan Fisik
28
pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri
pemeriksaan neurologis
tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
c.
d.
Sistem rujukan perlu dilakukan pada seluruh pusat pelayanan kesehatan yang memungkinkan
dilakukan rujukan. Rujukan meliputi:
Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan sesuai
dengan kebutuhan
Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan
Setiap 1 (satu) tahun dilakukan pemeriksaan:
Jasmani lengkap
Mikroalbuminuria
Kreatinin
29
Pilar penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin
dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
4.5.3.1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif
pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi
yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
30
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
A.
Karbohidrat
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
Protein
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
Natrium
31
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh)
garam dapur.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi
serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Pemanis alternatif
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping
Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily
Intake / ADI )
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa
faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.
32
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa tubuh dapat
dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT*
-
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih >23,0
o
o
o
Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade
antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk decade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi
20%, di atas usia 70 tahun.
penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat,
20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan
aktivitas sangat berat.
Berat Badan
Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan
BB.
Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000
1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 1600 kkal perhari untuk pria.
33
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi
besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan
(10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan
dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain,
pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
C. Pilihan Makanan
Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui piramida makanan
untuk penyandang diabetes.
34
35
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin).
Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin
secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah
kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang
36
masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide
yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja
DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
B. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
-
Ketoasidosis diabetic
37
perencanaan makan
-
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi.
-
(puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin
yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin
kerja sedang atau panjang).
-
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
-
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin
yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat
(rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin
38
prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial
(basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali
prandial (basal bolus).
-
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa
darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid),
atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
-
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
-
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
harian.
Agar terapi insulin dapat dilaksanakan dengan baik pada pasien hiperglikemia yang
dirawat di rumah sakit, harus dipahami tentang pola sekresi insulin pada orang normal. Hal
tersebut disebabkan pada hakikatnya sasaran terapi insulin adalah membuat insulin eksogen
yang diberikan sedemikian rupa sehingga menyerupai pola sekresi insulin endogen atau
fisiologis.
Sekresi insulin dapat dibagi menjadi sekresi insulin basal (saat puasa atau sebelum
makan) dan insulin prandial (setelah makan). Insulin basal adalah jumlah insulin eksogen per
unit waktu yang diperlukan untuk mencegah hiperglikemia puasa akibat glukoneogenesis
serta mencegah ketogenesis yang tidak terdeteksi. Insulin prandial adalah jumlah insulin yang
dibutuhkan untuk mengkonversi bahan makanan ke dalam bentuk energi cadangan sehingga
tidak terjadi hiperglikemia postprandial. Karena selama perawatan tidak jarang ditemukan
fluktuasi kadar glukosa darah akibat berbagai sebab, dalam pemberian terapi insulin bagi
pasien yang dirawat di rumah sakit dikenal istilah insulin koreksi atau insulin suplemen.
Insulin koreksi adalah jumlah insulin yang diperlukan pasien di rumah sakit akibat kenaikan
kebutuhan insulin yang disebabkan adanya suatu penyakit atau stres.
Secara umum, kebutuhan insulin dapat diperkirakan sebagai berikut: insulin basal
adalah 50% kebutuhan total insulin per hari atau 0,02 U/kgBB; insulin prandial adalah 50%
dari kebutuhan total insulin per hari; dan insulin koreksi sekitar 10-20% dari kebutuhan total
insulin per hari.
Pemahaman pasien tentang cara menghitung karbohidrat sangat penting, terutama
pada pasien yang mendapat terapi insulin dengan dosis multipel. Perhitungannya, untuk
setiap 15 gram karbohidrat (60 kal = dibutuhkan 1 unit insulin). Usia dan berat badan
mempengaruhi kebutuhan insulin untuk karbohidrat yang dikonsumsi.
39
Table 5. batas kadar glukosa darah puasa untuk memulai terapi insulin drip intravena dan
kisaran sasaran kadar glukosa darah
c. Protokol insulin infus intravena
40
41
diperhitungkan dalam tetesan) ke dalam botol infus 500 cc larutan NaCl 0.9%. Bila
dibutuhkan 1 unit insulin/jam, maka dalam botol infus yang berisi 12 unit RI, diatur
kecepatan tetesan 12 jam/botol, sehingga 12 unit RI akan habis dalam 12 jam. Bila
dibutuhkan 2 unit perjam, kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6 jam/botol, karena 12 unit
RI akan habis dalam 6 jam, demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai permintaan. Sebagai
patokan tetesan, 1 cc cairan infus = 20 tetesan makro = 60 tetesan mikro.
d. Peralihan insulin infus intravena ke insulin subkutan
Setelah kadar glukosa darah stabil dan pasien mulai mendapatkan makanan, terapi
insulin dapat dialihkan menjadi jalur subkutan dengan tetap memperhatikan kaidah terapi
insulin basal dan bolus, serta disesuaikan dengan pola respon insulin fisiologis. Sebelum
terapi insulin infus intravena dihentikan, terapi insulin subkutan sebaiknya sudah dimulai
supaya diperoleh waktu yang cukup untuk awitan kerja insulin. Terapi insulin infus intravena
dapat dihentikan 2 jam setelah pemberian insulin subkutan. Kebutuhan insulin subkutan
dihitung berdasarkan total kebutuhan insulin infus intravena dalam 24 jam. Dosis total harian
insulin subkutan adalah 80% dari dosis total insulin infus intravena selama 24 jam. Dosis
total harian tersebut dibagi menjadi dosis insulin basal dan insulin bolus subkutan. Dosis
insulin basal adalah sebesar 50% dari dosis harian total.
42
dibagi rata sesuai jumlah kali makan, umumnya 3 kali/hari. Jenis insulin yang diberikan
berupa short atau rapid acting insulin.
2. Insulin subkutan
Walaupun penggunaan terapi obat antidiabetik oral masih memungkinkan untuk
diberikan pada pasien diabetes melitus yang dirawat di rumah sakit, tapi bagi pasien yang
akan menjalani pembedahan atau memiliki penyakit berat sebaiknya digunakan terapi insulin.
Ada beberapa bentuk pemberian insulin subkutan pada pasien yang dirawat di rumah sakit,
antara lain insulin terjadwal (scheduled atau programmed insulin) dan insulin koreksi.
Program pemberian insulin terjadwal terbagi atas kebutuhan insulin basal dan insulin
prandial. Insulin basal dapat diberikan dengan menggunakan pompa insulin (CSII), insulin
kerja intermediate (NPH atau premixed) 2-4 kali sehari, atau insulin analog kerja panjang.
Sementara itu, kebutuhan insulin prandial dapat dipenuhi dengan insulin kerja cepat (insulin
regular atau rapid acting insulin analog). Insulin tersebut diberikan sebelum makan atau
setelah makan (hanya untuk penggunaan rapid acting insulin analog) apabila jadwal dan
jumlah asupan makanan tidak pasti. Jika protokol dimulai dengan pemberian NPH (bukan
glargine/detemir), maka dosis yang diberikan 0,25 U/kgBB NPH saat makan pagi dan
sebelum tidur (0,15 U/kgBB bila kuatir terjadi hipoglikemia ; 0,35 U/kg untuk kondisi
dengan peningkatan kebutuhan insulin basal). Selain itu, tetap diberikan 0,1 U/kgBB rapid
acting insulin setiap makan.
43
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan
kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan
insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan
pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat
dalam buku panduan tentang insulin.
-
jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama.
-
yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan pakai konsentrasi yang tetap. Saat ini
yang tersedia hanya U100 (artinya 100 unit/mL).
2.
Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini
antara lain rasa sebah dan muntah.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan
pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi,
harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda.
Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO
dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
44
dengan alasan klinik di mana insulin riteri memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan
kombinasi tiga OHO. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe-2).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilaikadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja.
45
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena
salah satu hal terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam
posprandial.
Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin
glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil
pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2
kali dalam setahun.
46
Bagan 4. Algoritme Terapi untuk Diabetes Mellitus Tipe 2 (Sunaryo dan Kudiharto,2007)
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak
dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana
dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai
dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen
kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan
pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi,
tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam
setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai
risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal
yang kadang tanpa gejala) , atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.
PDGM terutama dianjurkan pada:
Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insulin
Penyandang DM dengan terapi insulin berikut
-
47
48
49
Perlu pemeriksaan profil lipid pada saat diagnosis diabetes ditegakkan. Pada pasien
dewasa pemeriksaan profil lipid sedikitnya dilakukan setahun sekali dan bila dianggap perlu
dapat dilakukan lebih sering. Sedangkan pada pasien
yang pemeriksaan profil lipid menunjukkan hasil yang baik (LDL<100mg/dL; HDL>50
mg/dL (laki-laki >40 mg/dL, wanita >50 mg/dL); trigliserid <150 mg/dL), pemeriksaan profil
lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali.
Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes adalah
peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL, sedangkan kadar
kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat.
Perubahan perilaku yang tertuju pada pengurangan asupan kolesterol dan penggunaan
lemak jenuh serta peningkatan aktivitas fisik terbukti dapat memperbaiki profil lemak dalam
darah
Dipertimbangkan untuk memberikan terapi farmakologis sedini mungkin bagi penyandang
diabetes yang disertai dislipidemia
Target terapi:
Pada penyandang DM, target utamanya adalah penurunan LDL
Pada penyandang diabetes tanpa disertai penyakit kardiovaskular: LDL <100 mg/dL (2,6
mmol/L)
Pasien dengan usia >40 tahun, dianjurkan diberi terapi statin untuk menurunkan LDL
sebesar 30-40% dari kadar awal
Pasien dengan usia <40 tahun dengan risiko penyakit kardiovaskular yang gagal dengan
perubahan gaya hidup, dapat diberikan terapi farmakologis.
Pada penyandang DM dengan penyakit Acute Coronary Syndrome (ACS) atau telah
diketahui penyakit pembuluh darah lainnya atau mempunyai banyak faktor risiko maka LDL
<70 mg/dL (1,8 mmol/L)
Semua pasien diberikan terapi statin untuk menurunkan LDL sebesar 30-40%.
Trigliserida < 150 mg/dL (1,7 mmol/L)
HDL > 40 mg/dL (1,15 mmol/L) untuk pria dan >50 mg/dL untuk wanita
Setelah target LDL terpenuhi, jika trigliserida 150 mg/dL(1,7 mmol/L) atau HDL 40
mg/dL (1,15 mmol/L) dapat diberikan niasin atau fibrat
Apabila trigliserida 400 mg/dL (4,51 mmol/L) perlu segera diturunkan dengan terapi
farmakologis untuk mencegah timbulnya pankreatitis.
50
Terapi kombinasi statin dengan obat pengendali lemak yang lain mungkin diperlukan
untuk mencapai target terapi, dengan memperhatikan peningkatan risiko timbulnya efek
samping.
Niasin merupakan salah satu obat alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan
HDL, namun pada dosis besar dapat meningkatkan kadar glukosa darah
Pada wanita hamil penggunaan statin merupakan kontra indikasi
B. Hipertensi pada Diabetes
Indikasi pengobatan : Bila TD sistolik >130 mmHg dan/atau TD diastolik >80 mmHg.
Sasaran (target penurunan) tekanan darah:
-
Pengelolaan:
Non-farmakologis:
Modifikasi gaya hidup antara lain: menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik,
menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi garam
Farmakologis:
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat antihipertensi (OAH):
Pengaruh OAH terhadap profil lipid Pengaruh OAH terhadap metabolism glukosa
Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin
Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung
Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan:
-
Penghambat ACE
Antagonis kalsium
Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau tekanan diastolik
antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan gaya hidup sampai 3 bulan. Bila gagal
mencapai target dapat ditambahkan terapi farmakologis
Pasien dengan tekanan darah sistolik >140 mmHg atau tekanan diastolik >90 mmHg,
dapat diberikan terapi farmakologis secara langsung
Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan monoterapi.
51
Catatan:
- Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB =angiotensin II receptor blocker)
dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki mikroalbuminuria.
- Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.
- Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk toleransi glukosa.
- Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.
- Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis secara
bertahap.
- Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.
52
53
Ada penyandang diabetes, otitis eksterna maligna sering kali tidak terdeteksi sebagai
penyebab infeksi.
F. Diabetes dengan Nefropati Diabetik
Sekitar 20-40% penyandang diabetes akan mengalami nefropatidiabetik
Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 30-299 mg/24 jam (albuminuria mikro)
merupakan tanda dini nefropati diabetik
Pasien yang disertai dengan albuminuria mikro dan berubah menjadi albuminuria makro
( >300 mg/24 jam), pada akhirnya sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir.
Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin > 30 mg dalam
urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6 bulan, tanpa penyebab
albuminuria lainnya
Penapisan pada DM tipe 2 pada saat awal diagnosis
Jika mikroalbuminaria negatif, dilakukan evaluasi ulang setiap tahun.
Metode Pemeriksaan
Rasio albumin/kreatinin dengan urin sewaktu
Kadar albumin dalam urin 24 jam
Micral test untuk mikroalbuminuria
Dipstik/reagen tablet untuk makroalbuminuria
Urin dalam waktu tertentu (4 jam atau urin semalam)
Penatalaksanaan
Kendalikan glukosa darah
Kendalikan tekanan darah
Diet protein 0,8 gram/kgBB per hari. Jika terjadi penurunan fungsi ginjal yang bertambah
berat, diet protein diberikan 0,6 0,8 gram/kg BB per hari.
Terapi dengan obat penyekat reseptor angiotensin II, penghambat ACE, atau kombinasi
keduanya
Jika terdapat kontraindikasi terhadap penyekat ACE atau reseptor angiotensin, dapat
diberikan antagonis kalsium non dihidropiridin.
Apabila serum kreatinin >2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut dilibatkan
Idealnya bila klirens kreatinin <15 mL/menit sudah merupakan indikasi terapi pengganti
(dialisis, transplantasi).
G. Diabetes dengan Disfungsi Ereksi (DE)
54
Prevalensi DE pada penyandang diabetes tipe 2 lebih dari 10 tahun cukup tinggi dan
merupakan akibat adanya neuropati autonom, angiopati dan problem psikis.
DE sering menjadi sumber kecemasan penyandang diabetes, tetapi jarang disampaikan
kepada dokter oleh karena itu perlu ditanyakan pada saat konsultasi.
Pengelolaan DE pada diabetes dapat mengacu pada Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi
(Materi Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, IDI, 1999). DE dapat didiagnosis dengan
menggunakan instrumen sederhana yaitu kuesioner IIEF5 (International Index of Erectile
Function 5).
Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol glukosa darah senormal mungkin
dan memperbaiki faktor risiko DE lain seperti dislipidemia, merokok, obesitas dan hipertensi.
Perlu diidentifikasi berbagai obat yang dikonsumsi pasien yang berpengaruh mterhadap
timbulnya atau memberatnya DE.
Pengobatan lini pertama ialah terapi psikoseksual dan obat oral antara lain sildenafil dan
vardenafil.
H. Diabetes dengan Kehamilan/Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes melitus gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat (TGT,
GDPT, DM) yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang
berlangsung.
Penilaian adanya risiko DMG perlu dilakukan sejak kunjungan pertama untuk
pemeriksaan kehamilannya
Faktor risiko DMG antara lain: obesitas, adanya riwayat pernah mengalami DMG,
glukosuria, adanya riwayat keluarga dengan diabetes, abortus berulang, adanya riwayat
melahirkan bayi dengan cacat bawaan atau melahirkan bayi dengan berat>4000 gram, dan
adanya riwayat preeklamsia. Pada pasien dengan risiko DMG yang jelas perlu segera
dilakukan pemeriksaan glukosa darah. Bila didapat hasil glukosa darah sewaktu 200 mg/dL
atau glukosa darah puasa 126
mg/dL yang sesuai dengan batas diagnosis untuk diabetes, maka perlu dilakukan pemeriksaan
pada waktu yang lain untuk konfirmasi. Pasien hamil dengan TGT dan GDPT dikelola
sebagai DMG.
Diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan TTGO dilakukan dengan memberikan beban 75
gram glukosa setelah berpuasa 814 jam. Kemudian dilakukan pemeriksaan glukosa darah
puasa, 1 jam dan 2 jam setelah beban.
DMG ditegakkan apabila ditemukan hasil pemeriksaan glukosa darah puasa 95 mg/dL, 1
jam setelah beban <180 mg/dL dan 2 jam setelah beban 155 mg/dL. Apabila hanya
55
56
57
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah
habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau
lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan
OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna
pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan
pengawasan yang lebih lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebardebar, banyak keringat,
gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi pasien dengan
kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman
yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20
gram melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah
pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran.
Penyulit menahun:
1. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala.
Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
58
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya
retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati
Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko
terjadinya nefropati
3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa
sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk
mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan
monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan
menurunkan risiko amputasi.
Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau
gabapentin.
Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi
perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit ini
seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.
4.1.11 Prognosis
DM tipe 1 merupakan penyakit kronik yang memerlukan pengobatan seumur hidup.
DM tipe 1 tidak bisa disembuhkan tetapi kualitas hidup penderita dapat dipertahankan
seoptimal mungkin dengan mengusahakan kontrol metabolic yang baik. Kontrol metabolik
yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam batas normal atau
mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan hipoglikemia.
Sekitar 60 % pasien DM Tipe 1 yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti
orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan kemungkinan
untuk meninggal lebih cepat. Anak dengan DM tipe-1 cepat sekali menjurus ke-dalam
ketoasidosis diabetik yang disertai atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila
59
tidak diterapi dengan baik. Oleh karena itu, pada dugaan DM tipe-1, penderita harus segera
dirawat inap.
Prognosis ditentukan oleh regulasi DM dan adanya komplikasi. Regulasi teratur dan
baik akan memberikan prognosis baik.
4.2
Anoreksia
Dispepsia
4.3.1 Definisi
Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan keluhan atau
kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa
panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari
berbagai macam penyakit.
Definisi dispepsia menurut kriteria Rome III adalah salah satu atau lebih
gejala
dibawah ini :
60
4.3.2. Epidemiologi
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek
praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada
praktek spesialis merupakan kasus dispepsia.Di Amerika, prevalensi dispepsia sekitar 25%,
tidak
termasuk
pasien
dengan
keluhan
refluks.
Insiden
pastinya
tidaklah
61
Beberapa obat dapat juga menyebabkan keluhan dyspepsia. Pada umumnya adalah
OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang dapat merusak mukosa sehingga
menyebabkan gastritis. Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dyspepsia:
Acarbose
Aspirin, Obat anti inflamasi non steroid
Colchicine
Digitalis
Estrogen
Gemfibrozil
Glukokortikoid
Preparat besi
Levodopa
Narkotik
Niasin
Nitrat
Orlistat
Potassium klorida
62
Quinidine
Sildenafil
Teofilin
4.3.5 Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena
bermacam- macam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan mekanismenya dapat
terjadi sendiri atau kombinasinya. Pembagian dispepsia berdasarkan gejalanya, seperti
tercantum diatas, adalah untuk panduan manajemen awal terutama untuk dispepsia
yang tidak terinvestigasi.
Patofisiologinya yang dapat dibahas disini adalah :
1. Sekresi asam lambung dan keasaman duodenum
Hanya sedikit pasien dispepsia fungsional yang mempunyai hipersekresi asam
lambung dari ringan sampai sedang. Beberapa pasien menunjukkan gangguan
bersihan asam dari duodenum dan meningkatnya sensitivitas terhadap asam. Pasien
yang lain menunjukkan buruknya relaksasi fundus terhadap makanan. Tetapi
paparan asam yang banyak di duodenum tidak langsung berhubungan dengan gejala
pada pasien dengan dispepsia fungsional.
2. Infeksi Helicobacter pylori
Prevalensi dan tingkat keparahan gejala dispepsia serta hubungannya dengan
patofisiologi gastrik mungkin diperankan oleh H pylori. Walaupun penelitian
epidemiologis menyimpulkan bahwa belum ada alasan yang meyakinkan terdapat
hubungan antara infeksi H pylori dan dispepsia fungsional. Tidak seperti pada ulkus
peptikum, dimana H pylori merupakan penyebab utamanya.
3. Perlambatan pengosongan lambung
25-40% pasien dispepsia fungsional mempunyai perlambatan waktu pengosongan
lambung yang signifikan. Walaupun beberapa penelitian kecil gagal untuk
63
ditemukan sebanyak 40% pada pasien fungsional dispepsia yang akan menjadi
transfer prematur makanan menuju lambung distal.Gangguan dari akomodasi dan
maldistribusi tersebut berkorelasi dengan cepat kenyang dan penurunan berat badan.
5. Gangguan fase kontraktilitas saluran cerna
Gangguan fase kontraksi lambung proksimal terjadi setelah makan dan dirasakan
oleh pasien sebagai dispepsia fungsional. Hubungannya memang belum jelas tetapi
mungkin berkontribusi terhadap gejala pada sekelompok kecil pasien.
6. Hipersensitivitas lambung
Hiperalgesia terhadap distensi lambung berkorelasi dengan nyeri abdomen post
prandial,
bersendawa
dan
penurunan
berat
badan.
Walaupun
disfungsi
level neurologis yang terlibat dalam hipersensitivitas lambung masih belum jelas.
7. Disritmia mioelektrikal dan dismotilitas antroduodenal
Penelitian tentang manometrik menunjukkan bahwa hipomotilitas antrum terdapat
pada sebagian besar pasien dispepsia fungsional tetapi hubungannya tidak terlalu
kuat dengan gejala spesifiknya. Aktivitas abnormal dari mioelektrikal lambung
sangat umum ditemukan pada pasien tersebut, meskipun berkorelasi dengan
perlambatan pengosongan lambung tetapi tidak berkorelasi dengan gejala
dispepsianya.
8. Intoleransi lipid intra duodenal
64
pada umumnya
yang
akan
memodulasi
fungsi
akomodasi,
sekresi,
motilitas
dan imunologis.
10. Faktor psikososial
a. Korelasi dengan stress
b. Korelasi dengan hidup
c. Korelasi dengan kelainan psikiatri dan tipe kepribadian
d. Korelasi dengan kebiasaan mencari pertolongan kesehatan
11. Dispepsia fungsional pasca infeksi
Hampir 25% pasien dispepsia fungsional melaporkan gejala akut yang mengikuti infeksi
gastrointestinal.
4.3.6. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan
radiologis dan endoskopi. Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar pola dispepsia yang
dikenal yaitu :
65
Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual, kembung
dan anoreksia)
yang dapat ditatalaksana dengan baik tanpa pengobatan sehingga diagnosis secara klinis
agak terbatas kecuali bila ada alarm sign. Bila ada salah satu atau lebih pada tabel
tersebut ada pada pasien, sebaiknya dilakukan pemeriksaan endoskopi. Gambaran alarm
sign untuk dispepsia :
Utara. Ulkus duodenum yang kronik biasanya disebabkan oleh kuman Helicobacter pylori
(hampir 90% pasien terinfeksi) dan ulkus gaster kronik juga umumnya disebabkan kuman
yang sama (hampir 70% kasus) atau penggunaan OAINS, termasuk juga aspirin
dosis rendah.
Dispepsia fungsional didefinisikan dengan adanya riwayat dispepsia paling
tidak
66
minimal 3 bulan dan tidak ada bukti kerusakan struktrural secara nyata yang
dapat menjelaskan gejalanya. Kategori diagnostik ini mencakup hampir 60% pasien
dispepsia.
4.3.7. Tatalaksana
Manajemen optimal dispepsia terutama pasien baru dengan dispepsia yang belum
terinvestigasi serta tidak ada gambaran alarm, didominasi oleh pengobatan H pylori secara
empiris dengan antibakteri.Pada pengobatan tingkat pertama, terapi antisekretori secara
empiris juga masih popular.Manajemen dispepsia tanpa gambaran alarm meliputi :
1. Supresi asam secara empiris
2. Pemeriksaan H pylori non invasif dengan urea breath test, serologi,
pemeriksaan antigen feses dan pemeriksaan endoskopi untuk kasus yang positif
3. Pemeriksaan H pylori non invasif dan eradikasi bila positif
4. Terapi eradikasi empiris H pylori tanpa pemeriksaan
5. Endoskopi dini
Pada dispepsia dengan gambaran alarm, diperlukan manajemen awal dengan
pemeriksaan endoskopi. Manajemen selanjutnya tergantung dari hasil endoskopi tersebut.
Pada dispepsia fungsional, manajemennya hampir sama dengan dispepsia tanpa
gambaran alarm, antara lain dengan penekan asam secara empiris, prokinetik, eradikasi
H. pylori dan terapi psikologis.
67
endoskopi
mempunyai
beberapa
keuntungan.
Diantaranya
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah M, Gunawan J. 2012. Dispepsia. CDK-197/ vol. 39 no. 9, th
American Diabetes Association. Supplement 1. American Diabetes Association: Clinical
Practice Recommendations 2006.
Askandar, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam hal 129-136. Surabaya: SMF IPD FK
UNAIR-RSD dr. Soetomo.
Djojodiningrat D. Dispepsia fungsional. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.
354-6.
Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe2 di Indonesia, PERKENI
2006.
Maryani, Sri Sutadi. 2003. Sirosis Hepatitis Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Sumatera Utara. [serial online] 18 April 2010. Available from :
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani5.pdf.
Rani A, Simadibrata M dkk.2011. Buku Ajar Gastroenterologi 131-141. Jakarta: Interna
Publishing
Silbernagl S, Lang F. 2007. Teks dan atlas berwarna patofisiologi 26-27. Jakarta. EGC
Sugondo S, Soewondo P, Subekti I. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai
Penerbit FKUI 2005