Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang berarti jiwa yang retak (skizos artinya retak dan freenas
artinya jiwa). Jiwa manusia terdiri dari 3 unsur yaitu perasaan, kemauan dan perilaku. Skizofrenia adalah
sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi,
menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan perilaku dengan sikap yang
dapat diterima secara sosial.
Pedoman dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III menjelaskan bahwa skizofrenia adalah suatu sindrom
dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan
sosial budaya. Pada umumnya skizofrenia ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih
(clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walapun kemunduran kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian.
Menurut Departeman Kesehatan Indonesia, skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikologi dengan
gangguan dasar pada kepribadian dan distorsi khas proses pikir yang ditandai dengan proses pikir penderita yang
lepas dari realita sehingga terjadi perubahan kepribadian seseorang yang reversibel dan menuju kehancuran serta
tidak berguna sama sekali.

II. EPIDEMIOLOGI
Tujuh puluh lima persen penderita skizofrenia berusia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang
berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor, namun bisa terlihat disegala usia. Risiko penyakitnya
sama pada wanita dan pria, tetapi pria cenderung memiliki awitan yang lebih awal dibandingkan wanita, dan
penyakitnya sering lebih berat pada pria. Penderita skizofrenia banyak ditemukan dikalangan golongan ekonomi
rendah, sehingga hal ini diperkirakan merupakan faktor predisposisi penyebab timbulnya skizofrenia. Kondisi
penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap
penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama
tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat.
III. ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi skizofrenia masih belum jelas dan masih dalam penelitian para ahli. Kemungkinan
besar skizofrenia adalah suatu gangguan yang heterogen. Yang menonjol pada gangguan skizofrenia adalah
adanya stressor psikososial yang mendahuluinya. Seseorang yang mempunyai kepekaan spesifik bila mendapat
tekanan tertentu dari lingkungan akan timbul gejala skizofrenia.
Etiologi skizofrenia diuraikan menjadi dua kelompok teori, yaitu :
1. Teori Somatogenetik
a. Faktor Genetik
b. Biochemistry (ketidakseimbangan kimiawi otak)

Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang
disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu dengan
yang lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamin
yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap
dopamin. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin, dan norepinephrine tampaknya juga turut
berperan. Teori Jalur Dopamin yang berpengaruh dalam Skizofrenia :
a) Mesokortikal Dopamin Pathways :
Hipoaktivitas di daerah ini menyebabkan gejala negatif dan gangguan kognitif.
Gejala negatif dan kognitif disebabkan terjadi penurunan dopamin di jalur mesokortikal terutama pada
daerah dorsolateral prefrontal korteks.
Penurunan dopamin di mesokortikal dopamine pathway dapat terjadi secara primer maupun sekunder.
Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang berlebihan pada jalur ini atau melalui blokade
antipsikotik terhadap reseptor D2.
Peningkatan dopamin pada mesokortikal dopamine pathway dapat memperbaiki gejala negatif atau
mungkin juga gejala kognitif. Keadaan ini akan menjadi suatu dilema karena peningkatan dopamin di jalur
mesolimbik akan meningkatkan gejala positif, sementara penurunan dopamin di jalur mesokortikal akan
meningkatkan gejala negatif dan kognitif.
Hal tersebut dapat diatasi dengan pemberian obat antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua) pada
penderita skizofrenia. Antipsikotik jalur kedua menyebabkan dopamin di jalur mesolimbik menurun tetapi
dopamin yang berada di jalur mesokorteks meningkat.
b) Mesolimbik Dopamin Pathways :
Hiperaktivitas di daerah ini menyebabkan gejala positif dari skizofrenia.

Jalur ini berperan penting pada emosional, perilaku khususnya halusinasi pendengaran, waham dan
gangguan pikiran. Psikostimulan seperti amfetamin dan kokain dapat menyebabkan peningkatan dari
dopamin melalui pelepasan dopamin pada jalur ini sehingga hal ini menyebabkan terjadinya gejala positif
dan menimbulkan psikosis paranoid jika pemberian zat ini dilakukan secara berulang.
Antipsikotik bekerja melalui blokade reseptor dopamin khususnya reseptor D2 sehingga gejala positif
dapat menurun atau menghilang.
Hipotesis hiperaktif mesolimbik dopamine pathways menyebabkan gejala positif psikotik meningkat.
Keadaan ini dapat merupakan bagian dari skizofrenia, atau psikosis yang disebabkan oleh zat, mania,
depresi atau demensia.
Hiperaktivitas mesolimbik dopamin pathways mempunyai peranan dalam gejala agresivitas dan hostilitas
pada penderita skizofrenia terutama bila terjadi penyimpangan kontrol serotonergik dari dopamin.
Mesolimbik dopamin pathways selain dapat menyebabkan gejala positif, juga mempunyai peranan dalam
pleasure, reward dan reinforcing behavior. Pada kasus penyalahgunaan zat dapat menimbulkan
ketergantungan karena terjadi aksi di jalur ini.
Jalur Dopamin yang dipengaruhi Neuroleptik :
Nigrostriatal Dopamin Pathways :
Jalur yang bertanggungjawab dalam gerakan motorik. Diblokir oleh neuroleptik, menyebabkan efek
samping ekstrapiramidal.

Penurunan dopamin pada nigrostriatal dopamine pathways dapat menyebabkan gangguan pergerakan
seperti yang ditemukan pada penyakit Parkinson, yaitu rigiditas, akinesia, atau bradikinesia (pergerakan
berkurang atau pergerakan melambat) dan tremor.
Penurunan dopamin di daerah basal ganglia dapat menyebabkan akatisia (a tipe of restlessness) dan
distonia (twisting movement/pergerakan kaku) khususnya pada bagian wajah dan leher.
Gangguan pergerakan dapat juga diakibat oleh blokade reseptor D2 oleh obat yang bekerja pada reseptor
tersebut, seperti halnya pada obat-obat antipsikotik generasi pertama contohnya haloperidol.
c. Neuroanatomy (kelainan struktuk otak)
Berbagai teknik imaging, seperti Magnetik Resonance Imaging (MRI) telah membantu para ilmuan untuk
menemukan abnormalitas struktur spesifik pada otak penderita skizofrenia. Misalnya, penderita skizofrenia
yang kronis cenderung memiliki ventrikel otak yang lebih besar.
IV. PEDOMAN DIAGNOSTIK
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ketiga (PPDGJ III) membagi gejala
skizofrenia dalam kelompok-kelompok penting, dan yang sering terdapat secara bersama-sama untuk diagnosis.
Kelompok gejala tersebut, antara lain :
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala
itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a. thought echo, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan
isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau

thought insertion or withdrawal, yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion)
atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
thought broadcasting, yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
b. delusion of control, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
delusion of influence, yaitu waham tentang dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar;
atau
delusion of passivity, yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap seuatu kekuatan
dari luar;
(tentang dirinya, yaitu secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan,
atau penginderaan khusus);
delusional perception, yaitu pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi
dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
c. Halusinasi auditorik :
Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku penderita, atau
Mendiskusikan perihal penderita di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang
mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas
manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia
lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang
maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide

berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu
atau berbulan-bulan terus-menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi
atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang
menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika;
i. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak
berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
j. Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa
aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
SUBTIPE SKIZOFRENIA :
Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revised (DSM-IV-TR) membagi
skizofrenia atas subtipe secara klinik, berdasarkan kumpulan gejala yang paling menonjol.
1. Tipe katatonik : yang menonjol gejala katatonik.

2. Tipe disorganized : adanya kekacauan dalam bicara dan perilaku, dan afek yang tidak sesuai atau
datar.
3. Tipe paranoid : gejala yang menonjol merupakan adanya preokupasi dengan waham atau halusinasi
yang sering.
4. Tipe tak terinci (undifferentiated) : adanya gambarangejala fase aktif, tetapi tidak sesuai dengan
kriteria untuk skizofrenia katatonik, disorganized, atau paranoid. Atau semua kriteria untuk skizofrenia
katatonik, disorganized,dan paranoid terpenuhi.
5. Tipe residual : merupakan kelanjutan dari skizofrenia, akan tetapi gejala fase aktif tidak lagi dijumpai.
V. PENANGANAN SKIZOFRENIA
A. PSIKOFARMAKOLOGI
1. Obat Antipsikosis
Penanganan penderita gangguan jiwa adalah dengan memberikan terapi obat-obatan yang akan ditujukan
pada gangguan fungsi neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan. Terapi obat diberikan
dalam jangka waktu relatif lama, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Skizofrenia adalah suatu gangguan
yang berlangsung lama dan fase psikotiknya memiliki fase akut, fase stabilisasii dan fase stabil.
Penanggulangan memakai antipsikotik diindikasikan terhadap semua fase tersebut.

Antipsikotik dibedakan atas :


a. Antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama), contohnya Chlorpromazine, Flupenthixol, Fluphenazine,
Haloperidol, Trifluoperazine dan Zuclopenthixol
b. Antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua), contohnya Amisulpride, Aripiprazole, Clozapine, Olanzapine,
Paliperidone, Quetiapine, Risperidone dan Ziprasidone
Pemakaian antipsikotik dalam menanggulangi skizofrenia telah mengalami pergeseran. Bila mulanya
menggunakan antipsikotik tipikal, kini pilihan beralih ke antipsikotik atipikal, yang dinyatakan lebih superior dalam
menanggulangi gejala negatif dan kemunduran kognitif.
Terdapat perbedaan efek samping yang nyata antara antipsikotik atipikal dan antipsikotik tipikal. Penanggulangan
memakai antipsikotik diusahakan sesegera mungkin, bila memungkinkan secara klinik, karena eksaserbasi psikotik
akut melibatkan distres emosional, perilaku individu membahayakan diri sendiri, orang lain, dan merusak sekitar.
Penderita terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kondisi fisik dan pemeriksaan laboratorium, sebelum
memperoleh antipsikotik.
Penanggulangan Skizofrenia Berdasarkan Fase :
a. Fase Akut
Lama

: 4-8 minggu

Gejala psikotik akut : halusinasi, waham, pembicaraan, dan perilaku yang kacau.
Target penanggulangan

mengurangi gejala psikotik dan melindungi individu dari perilaku psikotik

yang berbahaya.
b. Fase Stabilisasi
Lama

: 2-6 bulan

Gejala

: mulai berkurang, akan tetapi individu masih vulnerabel untuk mendapat serangan

ulang, bila dosis dikurangi atau adanya stressor psikososial, serta memperhatikan adanya perbaikan dari
fungsi-fungsi individu.
Target penanggulangan

mengurangi gejala yang masih ada dan merencanakan pengobatan

jangka panjang.
c. Fase Stabil
Lama

: tidak terbatas

Gejala

: gejala positif sudah minimal atau tidak dijumpai lagi, dan gejala negatif masih

dominan.

Target penanggulangan

mencegah muncul kembali psikosis, mengurangi gejala negatif dan

memfasilitasi individu untuk rehabilitasi sosial.


2.

Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi elektroshock. Dimasa lalu ECT digunakan
diberbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia. Sebelum prosedur ECT yang
lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan penderita. Penderita
seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran
sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Penderita diberi
obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke
otak melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran
ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang
bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot tubuh dan
kemungkinan luka. Empat sampai enam kali pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu
2 minggu. Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan schizophrenia, namun lebih efektif
untuk penyembuhan penderita depresi tertentu.

B. PSIKOTERAPI
Terapi kejiwaan harus diberikan apabila penderita telah diberikan terapi psikofarmaka dan telah mencapai
tahapan dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikoterapi
ini bermacam-macam bentuknya, antara lain :

Psikoterapi Suportif, dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak
merasa putus asa.
Psikoterapi Re-eduktif, dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang guna memperbaiki kesalahan
pendidikan di waktu lalu.
Psikoterapi Rekonstruktif, dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah mengalami
keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula sebelum sakit.
Psikologi Kognitif, dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat)
rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika.
Psikoterapi Perilaku, dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu menjadi perilaku
yang mampu menyesuaikan diri.
Psikoterapi Keluarga, dimaksudkan untuk memulihkan penderita dan keluarganya.
Psikososial, dimaksudkan agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dan mampu
merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban keluarga.
Psikoreligius, berupa kegiatan ritual keagamaan seperti berdoa, mamanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan, kajian kitab suci.

Rehabilitasi, penting dilakukan sebagi persiapan penempatan kembali ke keluarga dan masyarakat. Program ini
biasanya dilakukan di lembaga rehabilitasi misalnya di suatu rumah sakit jiwa. Dalam program rehabilitasi
dilakukan berbagai kegiatan antara lain; dengan terapi kelompok yang bertujuan membebaskan penderita dari
stress dan dapat membantu agar dapat mengerti jelas sebab dari kesukaran dan membantu terbentuknya
mekanisme pembelaan yang lebih baik dan dapat diterima oleh keluarga dan masyarakat, menjalankan ibadah
keagamaan bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik berupa olahraga, keterampilan, berbagai macam kursus,
bercocok tanam, serta rekreasi. Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6 bulan. Secara
berkala dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali yaitu evaluasi sebelum penderita mengikuti program rehabilitasi
dan evaluasi pada saat penderita akan dikembalikan ke keluarga dan ke masyarakat. Selain itu peran keluarga juga
penting, keluarga adalah orang-orang yang sangat dekat dengan penderita dan dianggap paling banyak tahu
kondisi penderita serta dianggap paling banyak memberi pengaruh pada penderita. Sehingga keluarga sangat
penting artinya dalam perawatan dan penyembuhan penderita.

Anda mungkin juga menyukai