Anda di halaman 1dari 53

Referat

EVALUASI MANAJEMEN PROGRAM P2TB DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS 9 NOVEMBER BANJARMASIN

Oleh
Lingga Suryakusumah

NIM.I1A005018

Pembimbing
dr. Hj. Zaenab

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM
BANJARBARU
Maret, 2012

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
DAFTAR TABEL...................................................................................................vi
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................1
A.
B.
C.
D.

Latar Belakang..............................................................................................1
Rumusan masalah.........................................................................................5
Tujuan Penelitian..........................................................................................5
Manfaat Penelitian........................................................................................5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................6


A. Penyakit Tuberkulosis..................................................................................6
B.Penularan ......................................................................................................6
C.Penemuan dan Gejala Klinis Pasien TB.......................................................9
D.Diagnosis TB Paru........................................................................................11
E. Pengobatan ...................................................................................................13
F. Pedoman kerja Puskesmas dalam P2TB paru ..............................................20
G.Pemantauan dan Evaluasi program P2TB ....................................................21
BAB III. METODE PENELITIAN........................................................................24
A.
B.
C.
D.
E.
F.

Rancangan Penelitian....................................................................................24
Subjek Penelitian .........................................................................................24
Instrumen Penelitian ....................................................................................24
Definisi Operasional ....................................................................................24
Teknik Pengumpulan Data............................................................................25
Tempat dan Waktu Penelitian........................................................................26

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................27


A. Data Kondisi Puskesmas..............................................................................27
B. Sumber Dana................................................................................................29
C. Manajemen Penemuan Penderita TB...........................................................29
D. Sistem Rujukan Laboratorium TB...............................................................30
E. Pengobatan Penderita TB dan Pengawasan.................................................34
F. Distribusi Logistik Obat dan Non Obat.......................................................36
G. Pencatatan dan Pelaporan............................................................................37
BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN............................................50
A.KESIMPULAN.............................................................................................50
ii

B. SARAN........................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru................................12
Gambar4.1. Jejaaring Laboratorium TB.................................................................31

iii

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Regimen Terapi OAT.............................................................................14
Tabel 22. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis....................................................16
Tabel 2.3. Efek Samping Berat OAT dan Penatalaksanaannya...............................17

iv

Tabel 4.1 Sarana Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan di Wilayah Kerja Puskesmas 9
November Tahun 2011...........................................................................27
Tabel 4.2. Tenaga Kesehatan Pelaksana Program P2TB di Puskesmas 9 November
Tahun 2011.............................................................................................28
Tabel 4.3. Tenaga Kesehatan di Puskesmas 9 November Tahun 2011...................28
Tabel 2.3. Efek Samping Berat OAT dan Penatalaksanaannya...............................17

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pada
tahun 1993 WHO mencanangkan kedaruratan global karena pada sebagian besar

negara di dunia penyakit TB tidak terkendali. Hal ini disebabkan banyaknya


penderita yang tidak berhasil disembuhkan terutama penderita menular (BTA positif).
Penanggulangan TB paru secara nasional sudah dimulai sejak tahun 1969, namun
fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat Indonesia, antara lain karena Indonesia merupakan negara dengan pasien
TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB
di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Pada Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit
TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia; dan nomor satu dari
golongan penyakit infeksi. 1,2,3
Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian
akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB
di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita
akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. 4
Program pemberantasan dan penanggulangan masalah Tuberkulosis telah
dilakukan, pemerintah telah berupaya keras memenuhi sarana dan prasarana seperti
sarana diagnosa, sarana pengobatan, dan sarana pengawasan serta pengendalian
pengobatan. Sejak tahun 1994 Indonesia mulai melaksanakan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment, shortcourse) melalui pola operasional baru, dengan
membentuk kelompok puskesmas pelaksana (KPP) dan puskesmas pelaksana
mandiri (PPM) meskipun demikian penderita TB tetap meningkat dan cakupan
pengobatan masih rendah. 5

vi

Memngingat bahaya dari meluasnya infeksi penyakit TB dimasyarakat


tersebut,, maka diperlukan upaya pemantauan dan evaluasi agar pelaksanaan
program pemberantasan dan penanggulangan Tuberkulosis Nasional dapat tercapai
secara maksimal. Evaluasi tersebut dapat dilakukan di puskesmas sebagai tempat
pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu
fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantauan
dilaksanakan secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila
ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat
dilakukan tindakan perbaikan segera. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana
tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Hasil evaluasi sangat
berguna untuk kepentingan perencanaan program.

Dalam tulisan ini akan

dilakukan evaluasi manajemen program P2TB di Puskesmas 9 November


Banjarmasin. 2

B. Rumusan Masalah
Dilandasi latar belakang di atas, timbul suatu permasalahan, yaitu sejauh
mana keberhasilan manajemen program P2TB di Puskesmas 9 November
Banjarmasin dalam melaksanakan upaya pemberantasan penyakit TB?
C. Tujuan Penelitian

vii

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil pelaksanaan
program

P2TB

dan

permasalahan

yang

ditemukan

dalam

pelaksanaan

penanggulangan dan pemberantasan TB di wilayah kerja Puskesmas 9 November


Banjarmasin.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai dasar pemikiran dalam usaha tindak lanjut penanggulangan kasus TBC
di masyarakat, khususnya di wilayah kerja Puskesmas 9 November Banjarmasin.
2. Sebagai media komunikasi dan dokumentasi dari peneliti untuk
menginformasikan telaahnya pada pihak-pihak yang memerlukan
3. Sebagai sumber kepustakaan dan informasi bagi penelitian-penelitian
selanjutnya.

viii

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya 2. Patogenesis tuberkulosis paru ada 2, yaitu
tuberkulosis primer dan tuberkulosis post primer. Pada tuberkulosis primer,
penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara. Bila partikel infeksius ini terisap oleh orang
sehat, ia akan menempel pada jalan napas atau paru-paru. Bila kuman menetap di
jaringan paru, ia bertumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag.
Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru akan membentuk sarang tuberkulosis
pneumonia kecil dan disebut afek primer. Dari afek primer akan timbul peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran
kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer + limfangitis lokal
+ limfadenitis regional disebut kompleks primer. Kuman yang dorman pada
tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen
menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post-primer). 6
B. Penularan
Sumber penularan adalah penderita dengan TB BTA positif, yang dapat
menularkan TB kepada orang disekelilingnya, terutama kontak erat. Pada waktu
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

ix

nuclei (percikan dahak). Sekali batuk dapat dikeluarkan 3000 droplet. Umumnya
penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang
lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam
dalam keadaan yang gelap dan lembab. 2,7
Penularan umumnya terjadi dalam ruangan dengan ventilasi kurang. Orang
dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Setelah
itu kuman TB dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem
peredaran darah dan sistem limfe. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan
hasil

pemeriksaan

dahak,

makin

menular

pasien

tersebut.

Faktor

yang

memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan


dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Karena proses terjadinya infeksi
oleh kuman TB biasanya secara inhalasi, maka TB paru merupakan manifestasi klinis
yang paling sering dibandingkan organ lainnya. 2,7
Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap tahunnya
ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi
penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti
10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di
Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi
tuberkulin negatif menjadi positif. 2

Adapun resiko menjadi sakit TB hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan
menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk ratarata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit
TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh
yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV
merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis,
maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan
meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. 2
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman diwilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi
yang baik, pengobatan yang teratur dan pengawasan minum obat ketat berhasil
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas di Amerika selama 1950 1960. 6,8

C. Penemuan dan Gejala Klinis Pasien TB


Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah
pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan
pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian

xi

akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan


pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Strategi penemuan
pasien TB yang diberlakukan DEPKES RI dilakukan secara pasif dengan promosi
aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,
untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang
datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka
(suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung. 2

Pemeriksaan Dahak Mikroskopis


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) 2:

xii

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama


kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya
untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang
digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila
dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi 2:
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

Pemeriksaan Tes Resistensi


Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu
melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar
internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh
laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut
memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam
pengobatan MDR dapat di cegah. 2

xiii

D. Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. 2
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak
selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur
diagnostik untuk suspek TB paru. 2

xiv

Gambar 2.1. Alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru 2


Diagnosis TB ekstra paru.
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar
limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus)
pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan
xv

sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat
(presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis
tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat
diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan
lain-lain 2
E. Pengobatan
Dalam kegiatan pokok Program Pemberantasan TB Paru dikenal 2
komponen, yaitu komponen diagnosis dan komponen pengobatan. Pada komponen
diagnosis meliputi deteksi penderita di poliklinik dan penegakkan diagnosis secara
laboratorium, sedangkan komponen pengobatan meliputi pengobatan yang cukup dan
tepat serta pengawasan menelan obat setiap hari terutama pada fase awal. 9
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Paduan obat anti tuberkulosis yang dipakai program
sesuai dengan rekomendasi WHO berupa OAT jangka pendek yang terdiri dari 4
kategori. Setiap kategori terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase awal/intensif dan
fase lanjutan/intermiten. Adapun perincian OAT program adalah sebagai berikut 2,9
Tabel 2.1 Regimen Terapi OAT 2,4,9,10,11
No. Kategori
OAT
1.
I
2HRZE/4H3R3

2.

II

3.

III

2HRZES/HRZE/
5H3R3E3
2HRZ/4H3R3

Keterangan
- Penderita baru BTA (+)
- Penderita baru BTA (-)/Ro (+) yang
sakit berat
- Pendeerita ekstra paru berat
- Kambuh (relaps) BTA (+)
- Gagal (failure) BTA (+)
- Penderita baru BTA (-)/Ro (+)
- Penderita ekstra paru ringan
xvi

4.

IV

5.

Sisipan

- H seumur hidup
- Obat yang masih
sensitif + Quinolon
HRZE

- Penderita dengan TB kronis


- Penderita dengan MDR - TB
- Bila penderita oleh K I dan K II pada
akhir fase awal/intensif masih BTA (+)

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan
OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)
lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien
menelan obat agar dicapai kesembuhan dan mencegah resistensi serta mencegah drop
out/lalai, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 2
Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan panduan OAT
13,14

Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3

Dosis Kategori 1

BB
Penderita
(Kg)

TAHAP INTENSIF
SELAMA 2 BULAN
TIAP HARI
TABLET 4 FDC
R150+H75+Z400+E275

TAHAP LANJUTAN
SELAMA 4 BULAN
TIAP HARI
3 X SEMINGGU
TABLET 2 FDC
TABLET 2 FDC
R150+H75
R150+H150

xvii

30 -37

2 tablet

2 tablet

2 tablet

38 -54

3 tablet

3 tablet

3 tablet

55 -70

4 tablet

4 tablet

4 tablet

>71

5 tablet

5 tablet

5 tablet

Dosis Kategori 2 ( 2HRZES/HRZE/5H3R3E3)


TAHAP INTENSIF
SELAMA 3 BULAN

BERAT
BADAN

30 -37
38 -54
55 -70
>71

TIAP HARI
2 BULAN

TIAP HARI
1 BULAN

2 tab 4 FDC
+ 2 ml Strepto

2 Tab 4 FDC

3 tab 4 FDC
+ 3 ml Strepto

3 Tab 4 FDC

4 tab 4 FDC
+ 4 ml Strepto

4 Tab 4 FDC

5 tab 4 FDC
+ 5 ml Strepto

5 Tab 4 FDC

TAHAP LANJUTAN 3
X SEMINGGU
SELAMA 5 BULAN

2 Tab 4 FDC
+ 2 Tab Etambutol
3 Tab 4 FDC
+ 3 Tab Etambutol
4 Tab 4 FDC
+ 4 Tab Etambutol
5 Tab 4 FDC
+ 5 Tab Etambutol

Tabel 2.2 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis 10,12


Nama Obat
1. Isoniazid (INH)
2. Rifampisin
3. Etambutol
4. Pirazinamid
5. Streptomisin

Efek Samping
Neuritis perifer, ikterus, hipersensitivitas, mulut kering,
nyeri epigastrik, tinitus, retensio urine dan
methemoglobinemia
Ikterus, flu-like syndrome, syndrome Redman, nyeri
epigastrik, reaksi hipersensitivitas, dan supremi imunitas
Neuritis optik, gout, artralgia, anoreksia, mual muntah,
disuria, malaise dan demam
Gangguan hati, gout, artralgia, anoreksia, mual muntah,
disuria, malaise dan demam
Hipersensitivitas, vertigo, tuli, gangguan fungsi ginjal

xviii

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan. Pemantauan efek samping obat dapat dilakukan dengan cara :

Menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping


Menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil
OAT.

Efek samping OAT dapat dibedakan menjadi efek samping berat dan efek samping
ringan.

Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius.
Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus

segera dirujuk ke UPK spesialistik.


Efek samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak
enak. Gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obatan
simptomatik atau obat sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk
beberapa waktu selama pengobatan. Dalam hal ini pengobatan OAT dapat
diteruskan.

Tabel 2.3 Efek Samping Berat OAT dan Penatalaksanaannya 2

xix

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan


dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk

xx

memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau
kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu
dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif.
Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak
tersebut dinyatakan positif. 2
Penilaian hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan kepada:
sembuh, pengobatan lengkap, gagal, defaulted (lalai berobat), meninggal, dan pindah
(transfer out). 2

Sembuh : Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan


pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu
pemeriksaan follow-up sebelumnya

Pengobatan Lengkap : Adalah pasien yang telah menyelesaikan


pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau
gagal.

Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

Default (Putus berobat) : Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan


berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

Meninggal : Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena


sebab apapun.

Pindah: Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03


yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

xxi

Pengelolaan Logistik
Pengelolaan logistik Penanggulangan Tuberkulosis merupakan serangkaian
kegiatan

yang

meliputi

perencanaan

kebutuhan,

pengadaan,

penyimpanan,

pendistribusian, monitoring dan evaluasi. 2


1). Jenis logistik program nasional penanggulangan tuberkulosis
Logistik penanggulangan tuberkulosis terdiri dari 2 bagian besar yaitu
logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan logistik lainnya. UPK dalam hal ini
puskesmas menghitung kebutuhan tahunan, triwulan dan bulanan sebagai dasar
permintaan ke Kabupaten/Kota. 2
a. Logistik OAT 2.
Program menyediakan paket OAT dewasa dan anak, untuk paket OAT dewasa
terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) / Fixed Dose Combination
(FDC) terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2 dan sisipan yang dikemas dalam
blister, dan tiap blister berisi 28 tablet.
OAT dalam bentuk Kombipak terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2, dan sisipan,
yang dikemas dalam blister untuk satu dosis, kombipak ini disediakan khusus untuk
pengatasi efek samping KDT.
b. Logistik non OAT 2
Alat Laboratorium terdiri dari: Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan, rak
pewarna dan pengering, lampu spiritus, ose, botol plastik bercorong pipet, kertas
pembersih lensa mikroskop, kertas saring, dan lain lain.

xxii

Bahan diagnostik terdiri dari: Reagensia Ziehl Neelsen, eter alkohol, minyak
imersi, lysol, tuberkulin PPD RT 23 dan lain lain.
Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan serta
bahan KIE.
2). Pengelolaan obat anti tuberkulosis
a. Perencanaan Kebutuhan Obat
Rencana kebutuhan Obat Anti Tuberkulosis dilaksanakan dengan pendekatan
perencanaan dari bawah (bottom up planning). Perencanaan kebutuhan OAT
dilakukan terpadu dengan perencanaan obat program lainnya yang berpedoman pada
2

Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya,


Perkiraan jumlah penemuan pasien yang direncanakan,
Buffer-stock (tiap kategori OAT),
Sisa stock OAT yang ada,
Perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk mengetahui estimasi
kebutuhan dalam kurun waktu perencanaan)
F. Pedoman kerja Puskesmas dalam P2TB paru 4
a. Penatalaksanaan P2TBC
1. Penemuan penderita.
2. Pengobatan
b. Peningkatan sumber daya manusia
Pelatihan tenaga yang terkait dengan program P2TBC

xxiii

c. Monitoring dan evaluasi


1. Supervisi
2. Pertemuan monitoring :
Evaluasi pengobatan melalui evaluasi klinik dan bakteriologik
d.

Promosi
Advokasi, kemitraan dan penyuluhan.

G. Pemantauan dan Evaluasi Program P2TB


Keberhasilan pelaksanaan program pemantauan dilaksanakan secara berkala
dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam
pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan
perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih lama,
biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana
tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur
keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk
kepentingan perencanaan program. 2
Masing-masing tingkat pelaksana program (UPK, Kabupaten/Kota, Propinsi,
dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya
masing-masing. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input),
proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah
laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun
dengan masyarakat sasaran. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan

xxiv

suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan
benar. 2
Dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, salah satu
komponen penting dari survailans yaitu pencatatan dan pelaporan dengan maksud
mendapatkan

data

untuk

diolah,

dianalisis,

diinterpretasi,

disajikan

dan

disebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data yang dikumpulkan pada kegiatan


survailans harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga memudahkan
dalam pengolahan dan analisis. Data program Tuberkulosis dapat diperoleh dari
pencatatan di semua unit pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan satu sistem
yang baku. Formulir-formulir yang dipergunakan dalam pencatatan TB di Unit
Pelayanan Kesehatan/UPK (Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter
praktek swasta dll) dalam melaksanakan pencatatan antara lain 2 :
Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06).
Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).
Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
Kartu identitas pasien TB (TB.02).
Register TB UPK (TB.03 UPK)
Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).
Register Laboratorium TB (TB.04).
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan
beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu:

xxv

Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) dan
Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR). 2
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator
Nasional tersebut di atas, yaitu 2 :
Angka Penjaringan Suspek
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
Angka Notifikasi Kasus (CNR)
Angka Konversi
Angka Kesembuhan
Angka Kesalahan Laboratorium
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur
kemajuan (marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat
tertentu seperti: sahih (valid), sensitif dan Spesifik (sensitive and specific), dapat
dipercaya (realiable), dapat diukur (measureable), dapat dicapai (achievable)
Analisa dapat dilakukan dengan membandingkan data antara satu dengan
yang lain untuk melihat besarnya perbedaan, dan melihat kecenderungan (trend) dari
waktu ke waktu.

xxvi

BAB III
METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan metode deskriptif verifikatif.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian pada penelitian ini adalah para nara sumber yaitu pada
pemegang jabatan struktural dan para koordinator kegiatan yang bertanggung jawab
di puskesmas 9 November Banjarmasin yang masih aktif bekerja pada tanggal
Januari-Desember 2009.
Objek penelitian pada penelitian kali ini adalah catatan dan laporan tahunan
tentang rencana dan pelaksanaan kegiatan di Puskesmas 9 November Banjarmasin
tahun 2009.
Instrumen Penelitian
Bahan penelitian ini adalah

wawancara yang berisi sejumlah pertanyaan

kepada petugas secara langsung.

Definisi Operasional
a)

Definisi operasional yang ada dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Manajemen

xxvii

Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan


pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber dayasumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b)
Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota
yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah
kerja.
c)

Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis adalah penyakit radang paru dan ekstra paru yang menular dan

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis


Teknik Pengumpulan Data
a)

Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah :


Studi dokumen
Data primer didapatkan dari dokumen / laporan rencana kegiatan dan

pelaksanaan kegiatan-kegiatan tahun 2009


b)
Teknik wawancara
Data sekunder diambil dengan melakukan wawancara terhadap narasumber
secara langsung. Peneliti memberikan pertanyaan kepada narasumber berdasarkan
keterangan yang diberikan oleh narasumber.
Tempat dan Waktu Penelitian
a)
b)

Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Puskesmas 9 November Banjarmasin.
Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan mulai tanggal 17 Mei - 5 Juni 2010.

xxviii

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer yaitu
wawancara dengan Kepala Sub bagian P2M Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin,
Kepala puskesmas, kepala program P2TB, dokter puskesmas 9 November, dan
penanggung jawab laboratorium. Data sekunder berupa laporan tahunan dan laporan
bulan Puskesmas 9 Novmber tahun 2011. Data tersebut sebagai berikut :
A. Data Kondisi Puskesmas

1. Sarana Kesehatan
Tabel 4.1 Sarana Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan di Wilayah Kerja Puskesmas 9
November Tahun 2011
NO.
1.
2.
3.
4.

SARANA KESEHATAN
Puskesmas Induk
Puskesmas Pembantu
Puskesmas Keliling
Posyandu

JUMLAH
1
1
1
18

(Sumber data : Laporan Tahunan Kelurahan Pemurus Luar dan Sungai Lulut Tahun 2008)

Tabel 4.2 Sarana/peralatan penunjang program P2TB yang ada di Puskesmas 9


November (inventaris)

xxix

No
Nama alat dan Reagen
1. Mikroskop
2. Pipet tetes
3. Minyak emersi
4. Lidi
5. Object glass
6. Rak Pewarnaan
7. Lampu Spiritus
8. Botol semprot
9. Pot sputum
10. Zeil Nielsen
2. Tenaga Kesehatan

Jumlah
3 buah
4 buah
100 ml
500 batang
2 kotak (200)
1 buah
1 buah
1 buah
500 buah
2 kotak

Kondisi
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik

Tabel 4.3. Tenaga kesehatan pelaksana program P2TB di Puskesmas


November Tahun 2011
No.

Jenis Kualifikasi

Jabatan

Pendidikan

Ketua

D3

1.

Perawat

Dokter Umum

Anggota

Dokter Umum

Petugas Analis

Anggota

D3

Tabel 4.4. Tenaga kesehatan di Puskesmas 9 November Tahun 2011


No.

Jenis Kualifikasi

Jumlah

Pendidikan

Penempatan

(orang)
1.

Dokter Umum

Dokter Umum

2.

Perawat

D3

3.

Pelaksana farmasi

SMF

4.

Petugas Sanitasi

D3

5.

Petugas Gizi

D3 Gizi

Program Gizi

6.

Petugas Analis

D3

Laboratorium

xxx

Pelayanan
B. Pelayanan Umum &
Anak
Apotek
Pemegang Program
Kesehatan Lingkungan

7.

Administrasi

S1, D3, SMA

Tata Usaha, verifikator


keuangan

8.

Pekarya
kesehatan

SMA

9.

Bidan

D3

KIA-KB

10.

Perawat Gigi

BP

BP Gigi

11.

Dokter Gigi

12.

Nutritionis

TU, perawat, gizi,


kesling, KIA, loket,
cleaning service

Wilayah kerja puskesmas juga telah dibantu dengan sejumlah kader kesehatan
dari masyarakat yang siap membantu dan mendukung program kerja P2TB
puskesmas dalam rangka untuk menyehatkan masyarakat.
B. Sumber Dana
Dana yang diterima Puskesmas berasal dari berbagai sumber sesuai dengan
program dan kegiatan yang dilaksanakan Puskesmas. Berikut perincian dana yang
diperoleh Puskesmas untuk program P2TB Paru :
A. Sumber dari Global Fund (WHO) yang digunakan untuk menunjang program.
B. Uang operasional dari APBD berupa PMT bagi petugas medis dan paramedis.
C.

Manajemen Penemuan Penderita TB


Penemuan pasien TB di Puskesmas 9 November sesuai dengan stategi yang

dicanangkan oleh DEPKES RI yaitu dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,
untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.

xxxi

Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka


penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan
kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara
aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan
cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan
Passive Promotive Case Finding.
Pada tahun 2009 dilakukan 2 kali penyuluhan mengenai gejala penyakit dan
pengobatan TB kepada kader kesehatan dengan harapan para kader ini dapat cepat
mendeteksi pasien yang menunjukkan gejala TB. Di Wilayah Kerja Puskesmas 9
November ada 6 orang kader TB , 3 orang berada di Kelurahan Sungai Lulut dan 3
orang berada di Kelurahan Pemurus Luar. Namun berdasarkan data yang ada,
penyuluhan tersebut masih kurang efektif dan tidak berjalan dengan baik, sehingga
realisasi kinerja kader di lapangan masih kurang maksimal.
Berdasarkan teori bahwa setiap satu penderita TB dapat menularkan rata-rata
8 hingga 10 orang disekitarnya. Jadi, jika ditemukan satu orang penderita TB,
semestinya para anggota keluarga yang serumah harus diperiksa sputum untuk
deteksi. Akan tetapi, petugas puskesmas masih kurang aktif melaksanakan program
untuk menjaring orang-orang yang memiliki riwayat kontak dengan penderita TB
BTA + ini. Penderita TB BTA + yang datang berobat ke Puskesmas tidak diberikan
informasi yang cukup mengenai penyakit yang dideritanya sehingga penderita tidak
menyadari bahwa dirinya memiliki resiko yang tinggi untuk menularkan penyakitnya
kepada anggota keluarganya. Semestinya dengan pengetahuan yang cukup, penderita

xxxii

TB BTA + sadar untuk membawa anggota keluarganya memeriksa sputum ke


puskesmas dengan atau tanpa gejala klinis.
Dari hasil wawancara dengan petugas P2TB di Puskesmas 9 November,
didapatkan informasi bahwa sebelumnya pernah ada program penemuan penderita
aktif dari rumah ke rumah khususnya pada rumah yang memiliki anggota keluarga
penderita TB. Namun program tersebut tidak lagi dilaksanakan lagi oleh petugas
puskesmas dalam program penemuan penderita TB.

Hal ini diharapkan dapat

dilakukan evaluasi agar program tersebut kembali dilaksanakan dalam rangka


meningkatkan angka penemuan pasien TB dan angka penjaringan suspek TB di
Puskesmas 9 November.
Sistem rujukan laboratorium TB
Puskesmas 9 November merupakan puskesmas satelit (PS) dengan Puskesmas
Rujukan Mikroskopis) (PRM) adalah Puskesmas Sungai Bilu. Fungsi PS adalah
melakukan pengambilan dahak, pembuatan sediaan dahak sampai fiksasi sediaan
dahak untuk pemeriksaan TB. Kemudian sediaan dikirim ke PRM yaitu Puskesmas
Sungai Bilu untuk dilakukan pembacaan hasil. Setiap 3 bulan sekali, hasil
LABORATORIUM TB

pemeriksaan TB di cross check di Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin.


LABORATORIUM RUJUKAN TB

: Pembinaan dan pengawasan mutu

LABORATORIUM RUJUKAN TB
: Mekanisme Rujukan
REGIONAL

LABORATORIUM RUJUKAN TB
PROVINSI
LABORATORIUM RUJUKAN
CROSSCHECK
(Intermediate TB Laboratory)

PUSAT MIKROSKOPIS TB
PRM, PPM
Rumahxxxiii
Sakit
Laboratorium Swasta
PUSAT FIKSASI SEDIAAN TB
(Puskesmas Satelit (PS)

Gambar 4.1. Jejaring Laboratorium TB

Laboratorium Mikroskopis TB UPK


1) Puskesmas Satelit (PS) dan UPK setara PS
a) Fungsi
Melakukan pengambilan dahak, pembuatan sediaan dahak sampai fiksasi
sediaan dahak untuk pemeriksaan TB.
b) Peran
Memastikan semua tersangka pasien dan pasien TB dalam pengobatan
diperiksa dahaknya sampai mendapatkan hasil pembacaan.
c) Tugas
Mengambil dahak tersangka pasien TB, membuat sediaan dan fiksasi sediaan
dahak pasien untuk keperluan diagnosis, dan untuk keperluan follow up pemeriksaan
dahak dan merujuknya ke PRM.
d) Tanggung jawab
Memastikan semua kegiatan laboratorium TB berjalan sesuai prosedur tetap,
termasuk mutu kegiatan dan kelangsungan sarana yang diperlukan.

xxxiv

2) Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM)/ Puskesmas Pelaksana Mandiri


(PPM) dan UPK setara PRM/PPM
a) Fungsi
Laboratorium rujukan dan atau pelaksana pemeriksaan mikroskopis dahak
untuk tuberkulosis.
b) Peran
Memastikan semua tersangka pasien dan pasien TB dalam pengobatan
diperiksa dahaknya sampai diperoleh hasil.
c) Tugas
PPM: Mengambil dahak tersangka pasien TB untuk keperluan diagnosis dan follow
up, sampai diperoleh hasil.
PRM : Menerima rujukan pemeriksaan sediaan dahak dari PS. Mengambil dahak
tersangka pasien TB yang berasal dari PRM setempat untuk keperluan diagnosis dan
follow up, sampai diperoleh hasil.
d) Tanggung jawab
Memastikan semua kegiatan laboratorium TB berjalan sesuai prosedur tetap,
termasuk mutu kegiatan dan kelangsungan sarana yang diperlukan.
Sampai saat ini, Puskesmas 9 November masih menjadi Puskesmas Satelit
(PS), belum menjadi Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM). Puskesmas yang ditunjuk
menjadi PRM adalah Puskesmas Sungai Bilu, karena :
1. Mikroskop yang digunakan untuk pemeriksaan sputum adalah mikroskop standar
2. Tenaga analis laboratorium kesehatan yang terlatih
3. Kunjungan suspek TB berkisar antara 3-4 orang perhari.

xxxv

Puskesmas 9 November walaupun telah memiliki, peralatan yang memadai


dan sumber daya manusia yang kompeten, namun belum bisa menjadi PPM karena
cakupan suspek penderita rendah, dan belum memenuhi target yang diharapkan
(210 / 100.000 penduduk). Oleh karena itu diperlukan peningkatan usaha pencarian
suspek penderita agar puskesmas 9 November dapat meningkatkan fungsinya dari
puskesmas 9 November (PS) menjadi Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM).
D.

Pengobatan penderita TB dan pengawasan


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya


resistensi kuman terhadap OAT. Prinsip-prinsip pengobatan TB yaitu OAT harus
diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi).

Pemakaian

OAT-Kombinasi

Dosis

Tetap

(OAT-KDT)

lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap,


yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Di samping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
3. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Di wilayah Kerja Puskesmas 9 November tahun 2009 ditemukan 5 kasus TB
dengan 3 kasus baru dan 2 kasus kambuh. 3 kasus baru yang ditemukan diberikan
pengobatan FDC/KDT katagori I sedangkan pada 2 kasus kambuh diberikan
pengobatan FDC/KDT katagori II.

xxxvi

Selama tahun 2009 tidak ada laporan mengenai munculnya efek samping
pengobatan TB yang berat.
Pengawasan Minum Obat
Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang pengwas minum
obat (PMO). Tugasnya adalah mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat
teratur, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan
Kesehatan.
Di wilayah kerja Puskesmas 9 November, PMO berasal dari keluarga pasien.
Setiap satu pasien biasanya mempunyai satu orang keluarga yang mengawasi pasien
dalam meminum obat dan periksa dahak ulang pada waktu yang ditetapkan. Petugas
kesehatan memberikan motivasi pada pasien dan keluarga yang bertugas mengawasi
pasien agar berobat secara teratur.
Selain diawasi oleh keluarga, pasien juga diawasi oleh petugas kesehatan
puskesmas yang bertempat tinggal dekat dengan penderita. Satu orang petugas
kesehatan dapat mengawasi lebih dari satu orang penderita di dekat tempat
tinggalnya serta terus memberikan motivasi pada pasien dan keluarganya. 2 dari 5
pasien bertempat tinggal di komplek Dharma Praja dan diawasi oleh satu petugas
kesehatan Puskesmas yang bertempat tinggal di komplek Dharma Praja. 2 pasien lagi
bertempat tinggal di Jl.Pramuka dan masing-masing diawasi oleh 2 orang petugas
kesehatan Puskesmas yang bertempat tinggal di Jl.Pramuka. sedangkan satu pasien

xxxvii

lagi bertempat tinggal di Sungai Lulut dan diawasi oleh satu orang petugas yang
bertempat tinggal di daerah Sungai Lulut.
E.

Distribusi logistik obat dan non obat


Pengelolaan logistik Penanggulangan Tuberkulosis merupakan serangkaian

kegiatan

yang

meliputi

perencanaan

kebutuhan,

pengadaan,

penyimpanan,

pendistribusian, monitoring dan evaluasi. Logistik penanggulangan tuberkulosis


terdiri dari 2 bagian besar yaitu logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan logistik
lainnya.
Logistik OAT terdiri atas Kombipak dan FDC/KDT (Fixed Drug
Combination/Kombinasi Dosis Tetap). Di Puskesmas 9 November sekarang
menggunakan pengobatan FDC/KDT untuk pengobatan TB.
Logistik non OAT terdiri atas:
1. Alat Laboratorium yaitu 3 buah mikroskop cahaya, wadah sputum, slide dan
objek glass
2. Bahan diagnostik yaitu bahan untuk fiksasi dan pewarnaan preparat.
3. Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan
pelaporan serta bahan KIE.
Bahan logistik OAT dan non OAT didapatkan dari Dinas Kesehatan Kota
Banjarmasin. Jumlah permintaan disesuaikan dengan jumlah penemuan pasien tahun
sebelumnya dan perkiraan jumlah penemuan pasien tahun berikutnya dan sisa stok
sebelumnya.
F.
Pencatatan dan Pelaporan
Tabel 4.5 Chek List Formulir yang Dibutuhkan dalam Pencatatan dan Pelaporan
Program P2TB
No
1

Jenis Formulir
Daftar tersangka pasien (suspek) yg

xxxviii

Realisasi di

Keterangan

Puskesmas
ada

diperiksa dahak SPS (TB.06)


Formulir permohonan laboratorium TB

ada

3
4
5
6

untuk pemeriksaan dahak (TB.05)


Kartu pengobatan pasien TB (TB.01)
Kartu identitas pasien TB (TB.02)
Register TB UPK (TB.03 UPK)
Formulir rujukan/pindah pasien

ada
ada
ada
ada

(TB.09)
Formulir hasil akhir pengobatan dari

ada

pasien TB pindahan (TB.10)


Register laboratorium TB (TB.04)

Tidak ada

Ada di PRM
Sungai Bilu

Cara Menghitung dan Analisa Indikator


a. Angka Penjaringan Suspek
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya di antara 100.000 penduduk
pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui
upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan
kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan). Jumlah suspek yang
diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TB06) UPK yang tidak
mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter
praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung.

26

x 100.000 = 130 orang suspek per 100.000 penduduk

19.991

xxxix

Jadi, angka penjaringan suspek TB di Puskesmas 9 November pada tahun


2011 adalah 130 orang per 100.000 penduduk. Angka ini masih lebih rendah
dibandingkan hasil survey prevalensi di Indonesia tahun 2004 yang menyebutkan
angka prevalensi TB BTA positif di wilayah Indonesia timur adalah sebanyak 210
orang per 100.000 penduduk, dengan kata lain di Puskesmas 9 November angka
penjaringan suspek hanya dapat dicapai 61,9% atau kurang dari 70% dari target.
Akan tetapi angka ini sudah lebih baik daripada angka prevalensi TB BTA positif
secara Nasional yaitu sebanyak 110 per 100.000 penduduk. 2
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan
TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan
menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan
TB. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan
tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. 2
Rendahnya angka penjaringan suspek TB di Puskesmas 9 November
mungkin berkaitan dengan kurangnya kesadaran masyarakat yang memiliki gejala
TB untuk memeriksakan diri ke puskesmas, tanpa menutup kemungkinan kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB juga masih berperan. Dan yang
sayangnya, petugas Puskesmas 9 November tidak menjalankan program penemuan
secara aktif dari rumah ke rumah, karena dianggap tidak cost efektif, lagipula tidak
ada dana dari pemerintah yang dialokasikan untuk program ini. Pemeriksaan dahak

xl

terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga
anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama harus dilakukan akan tetapi
hal ini masih belum dilakukan oleh petugas Puskesmas pada tahun 2009 di wilayah
kerja Puskesmas 9 November. Hal, ini harus dilakukan evaluasi agar kegiatan ini
dapat terlaksana di wilayah kerja Puskesmas 9 November.
b. Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek
Adalah presentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh
suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses
penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.

100% = 19,23%

Angka ini idealnya adalah sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil (< 5
%) kemungkinan disebabkan penjaringan suspek terlalu longgar, banyak orang yang
tidak memenuhi kriteria suspek, atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium
(negatif palsu). Namun bila angka ini terlalu besar (> 15 %) seperti yang ditemukan
di Puskesmas 9 November, kemungkinan disebabkan penjaringan terlalu ketat atau
ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). 2
Untuk kemungkinan adanya hasil pemeriksaan laboratorium positif palsu
telah disingkirkan berdasarka hasil evaluasi terhadap proses pemeriksaan
laboratorium baik di Puskesmas 9 November maupun di PRM Sungai Bilu.
xli

c. Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB Paru


Tercatat/diobati
Adalah presentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua
pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan
pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien.Tuberkulosis paru yang
diobati.

Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih
rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk
menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif). Di Puskesmas 9 November,
jumlah penderita TB BTA positif jauh lebih rendah daripada jumlah semua pasien TB
(semua tipe), sehingga menghasilkan angka presentase yang rendah 38,46%. Hal ini
bisa disebabkan oleh beberapa kemungkinan, di antaranya karena mutu diagnosis
laboratorium yang rendah atau karena adanya overdiagnosis. Untuk mutu diagnosis
laboratorium, menurut pengamatan penulis, baik di laboratorium Puskesmas 9
November maupun di laboratorium PRM, pelaksanaan pemeriksaan sputum BTA
sudah memenuhi standar. SDM yang dimiliki adalah analis terlatih dengan ditunjang
peralatan laboratorium yang sesuai standar nasional.

xlii

Adapun kemungkinan overdiagnosis bisa terjadi karena pasien diterapi TB


hanya dengan berdasarkan pemeriksaan penunjang, seperti foto thoraks, meskipun
sputum BTA-nya negatif. Padahal tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya
berdasarkan pemeriksaan foto thoraks saja. Foto thoraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
d. Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB
Adalah presentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB
tercatat.

Keterangan: tidak ada pasien TB anak yang tercatat di wilayah kerja Puskesmas 9
November Banjarmasin pada tahun 2009
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan
dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu
besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.
e. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
Adalah presentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati
dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah
tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA
positif pada wilayah tersebut.

xliii

X 100% = 11,9%
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan
perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah
penduduk. Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis
Nasional minimal 70%.
Angka CDR di wilayah kerja Puskesmas 9 November tidak mencapai target
minimal 70% an hanya mencapai 11,9%. Hal ini mungkin karena penemuan kasus
hanya bersifat pasif dengan promosi aktif. Pasif di sini yaitu pasien yang diperiksa
hanya pasien yang datang ke Puskesmas, bukan dengan cara penemuan aktif dari
rumah ke rumah, karena cara ini dianggap tidak cost effective. Diduga promosi aktif
mengenai TB yang dilakukan kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Dari hasil wawancara dengan petugas P2TB di Puskesmas 9 November,
didapatkan informasi bahwa sebelumnya pernah ada program penemuan penderita
aktif dari rumah ke rumah khususnya pada rumah yang memiliki anggota keluarga
penderita TB. Berdasarkan teori bahwa setiap satu penderita TB dapat menularkan
rata-rata 8 hingga 10 orang disekitarnya, deteksi dini pada anak-anak juga didasarkan
hanya bila didapatkan riwayat kontak dengan penderita TB. Jadi, jika ditemukan
satu orang penderita TB, semestinya para anggota keluarga yang serumah harus
diperiksa sputum untuk deteksi.

xliv

Program tersebut sejak tiga tahun yang lalu sudah tidak lagi dilaksanakan
oleh petugas P2TB Puskesmas 9 November Banjarmasin terlaksana di Puskesmas 9
November, Mengingat akan pentingnya program ini maka, maka hal tersebut mesti
dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja dan program puskesmas 9
November agar dapat kembali menjalankan program tersebut dalam rangka
penemuan kasus dan penanggulangan TB di wilayah kerja Puskesmas 9 November
f. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah penderita yang dan tercatat dalam
TB.07 diantara 100.000 penduduk disuatu wilayah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari
tahun ke tahun di wilayah tersebut.
Keterangan: tidak ada buku register TB.07 di wilayah kerja Puskesmas 9 November
Banjarmasin
Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat
atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.
g. Angka Konversi (Conversion Rate)
Angka konversi adalah presentase pasien baru TB paru BTA positif yang
mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan
intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan
untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan
benar. Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB paru BTA positif :

xlv

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan
cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 3-6
bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan
dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi
dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari laporan TB.11. Angka
minimal yang harus dicapai adalah 80%.
h. Angka Kesembuhan (Cure Rate)
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan presentase pasien baru
TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien
baru TB paru BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung juga untuk
pasien BTA positif pengobatan ulang dengan tujuan:
Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat terjadi di
komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat.
Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris
kedua (second-line drugs).
Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang
terjadi pada pasien dengan HIV.

xlvi

=
Jadi hanya 2 orang saja yang selesai pengobatan dan dinyatakan sembuh,
yang hanya bisa diperiksa hanya 2 orang saja karena yang 3 orang pengobatannya
belum selesai. Disimpulkan tahun 2009 angka kesembuhan berarti 100%.
Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan
cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 9 12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah
selesai pengobatan.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan
digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan. Walaupun angka kesembuhan telah
mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa
pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, default, dan pindah.
Di wilayah kerja Puskesmas 9 November pada tahun 2009 didapatkan angka
kesembuhan pasien TB sebesar 100%, atau 2 dari 2 pasien. Hal ini disebabkan
karena 3 pasien lainnya pengobatannya belum selesai hingga akhir tahun 2009, jadi
belum bisa dinyatakan sembuh atau tidak.
Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi
kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan karena
ketidak-efektifan dari pengendalian Tuberkulosis.

xlvii

Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas penanggulangan TB


akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa
tahun Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari
4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar
dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
i. Angka Keberhasilan Pengobatan
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan presentase pasien baru
TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun
pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Dengan
demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka
pengobatan lengkap. Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan
pengobatan kategori 1.

2/5 x 100% = 40%


Angka keberhasilan pengobatan ini masih rendah karena 3 orang penderita
masih dalam masa pengobatan.
j. Angka Kesalahan Laboratorium (Error Rate)
Pada saat ini Penanggulangan TB sedang dalam uji coba untuk penerapan uji
silang pemeriksaan dahak (cross check) dengan metode Lot Sampling Quality
Assessment (LQAS) di beberapa propinsi. Untuk masa yang akan datang akan
diterapkan metode LQAS di seluruh UPK.

xlviii

Metode LQAS
Perhitungan angka kesalahan laboratorium metode ini digunakan oleh propinsipropinsi uji coba

Selain kesalahan besar dan kesalahan kecil, kesalahan juga dapat berupa tidak
memadainya kualitas sediaan, yaitu : terlalu tebal atau tipisnya sediaan, pewarnaan,
ukuran, kerataan, kebersihan dan kualitas spesimen. Mengingat sistem penilaian
yang berlaku sekarang berbeda dengan yang terbaru, petugas pemeriksa slide harus
mengikuti cara pembacaan dan pelaporan sesuai buku Panduan bagi petugas
laboratorium mikroskopis TB Interpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan hasil
uji silang dinyatakan terdapat kesalahan bila :

1. Terdapat PPT atau NPT


2. Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding
periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua UPK di
kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi beberapa kali dalam jumlah
yang signifikan.
xlix

3. Bila terdapat 3 NPR


Penampilan setiap laboratorium harus terus dimonitor sampai diketemukan penyebab
kesalahan. Setiap UPK agar dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren
hasil interpretasi setiap triwulan.
Metode 100 % BTA Positif & 10 % BTA Negatif
Sebagian besar propinsi masih menerapkan metode uji silang perhitungan
sebagai berikut :
Error Rate
Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan laboratorium yang
menyatakan presentase kesalahan pembacaan slide/ sediaan yang dilakukan oleh
laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji silang (cross check) oleh BLK atau
laboratorium rujukan lain. Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide
secara mikroskopis langsung laboratorium pemeriksa pertama.

Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransi maksimal
5%. Apabila error rate 5 % dan positif palsu serta negatif palsu keduanya 5%
berarti mutu pemeriksaan baik. Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide
yang di uji silang (cross check) relatif sedikit. Pada dasarnya error rate dihitung pada
masing-masing laboratorium pemeriksa, di tingkat kabupaten/ kota. Kabupaten / kota
harus menganalisa berapa persen laboratorium pemeriksa yang ada diwilayahnya
melaksanakan

cross

check,

disamping

menganalisa

error

rate

per

PRM/PPM/RS/BP4, supaya dapat mengetahui kualitas pemeriksaan slide dahak


secara mikroskopis langsung.
Di Puskesmas 9 November, error rate tidak dihitung karena Puskesmas 9
November merupakan puskesmas satelit yang merujuk pemeriksaan laboratorium ke
PRM (Puskesmas Rujukan Mikroskopis).
Standar pemeriksaan laboratorium yang dipakai di PRM (PKM Sungai Bilu)
untuk reagen dan slide sama dengan pemeriksaan laboratoruim di PKM 9 November,
hanya saja yang membedakan mikroskop yang dipakai di PRM adalah mikroskop
untuk standar pemeriksaan TB (merk Olympus ).
PRM Sungai Bilu merupakan PKM rujukan karena pasiennya yang banyak
dan Error rate ( angka kesalahan baca) di PRM adalah 0% untuk tahun 2009.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil evaluasi manajemen P2TB di Puskesmas 9 November
tahun 2009 dapat disimpulkan bahwa:
1. Angka penjaringan suspek di Puskesmas 9 November pada tahun 2009 hanya
mencapai 61,9% dari target 210 orang per 100.000 penduduk.
2. Proporsi pasien TB BTA positif diantara suspek di Puskesmas 9 November
adalah sebesar 19,23 %.

li

3. Angka konversi dan angka kesembuhan tahun 2009 masing-masing sebesar


100%.
4. Angka kesalahan laboratorium (error rate) pada tahun 2009 dinilai dengan uji
silang pemeriksaan dahak (cross check) dengan metode Lot Sampling Quality
Assessment (LQAS) mendapatkan hasil 0 %.
B. Saran
Penemuan dan penjaringan tersangka TB harus ditingkatkan di antaranya
dengan cara meningkatkan motivasi petugas. Selain itu Puskesmas 9 November
disarankan untuk menaikkan status laboratoriumnya dari PS menjadi PPM.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Chin, James. Tuberkulosis Dalam: Manual Pemberantasan Penyakit


Menular. ed. 17. Editor Penterjemah: I Nyoman Kandun. American Public
Health Association. 2000.

2.

Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi II.


Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2008.

3.

Makmur, Suwandi. DOTS (Direct Observed Treatment Shortcourse) Sebuah


Strategi Pemberantasan Tuberkulosis. Dalam: Tuberkulosis Tinjauan
Multidisiplin. Edisi I. Editor: Isa M, Soefyani A, Juwono O dan Budiarti L.Y.
Pusat Studi Tuberkulosis FK Unlam. Banjarmasin, 2001

lii

4.

Depkes RI. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan


Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan
Penanggulangannya. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1997

5.

Wayan, I. Promosi Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan dan


Kesejahteraan Sosial RI. Jakarta. 2000.

6.

Daniel T.M. Tuberkulosis. Dalam : Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit


Dalam. Volume 2. Jakarta: EGC . 1999

7.

Depkes RI. Komite Nasional Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru di


Indonesia. Prosedur Tetap Penanggulangan TB Paru Nasional Secara Terpadu.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006

8.

Starke J.R. Tuberkulosis. Dalam : Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Volume 2.


Jakarta: EGC . 2000

9.

Maher D, Raviglione MC. Tuberculosis A WHO Perspective. In


tuberculosis & Nontuberculosis Mycobacterial Infections Fifth Edition.
McGraw-Hill Companies, New York 2006, P. 133-146

10.

Depkes RI. Proyek Kesehatan Keluarga dan Gizi. ARRIME Pedoman


Manajemen Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2002.

11.

Bahar, A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Soeparman dan Sarwono, W, editor.


Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1999

12.

Mansjoer, A . Editor. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I. Jakarta:


FKUI

13.

Zulkifli, Amin. Tuberkulosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: 2006.

14.

Amin, Muhammad. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University


Press. 1990

liii

Anda mungkin juga menyukai