Anda di halaman 1dari 41

1.

Penyakit Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskuler dinyatakan sebagai penyebab kematian utama
dengan kontribusi sebesar 19,8% dari total kematian pada tahun 1993 dan
meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998. WHO memperkirakan 17,5 juta
populasi meninggal akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2005, dimana
angka tersebut mewakili 30 % dari seluruh kematian. Dari jumlah kematian
tersebut, 7,6 juta kematian disebabkan penyakit jantung koroner dan 5,7 juta
kematian disebabkan kanker. sekitar 80 % dari kematian tersebut terjadi pada
negara negara berpendapatan rendah dan menengah. jika trend tersebut
berlanjut, maka di tahun 2015 diperkirakan sekitar 20 juta orang akan
meninggal akibat penyakit kardiovaskular (khususnya Penyakit Jantung
Koroner dan stroke).
Salah satu tipe penyakit kardiovaskuler yang paling sering terjadi
masyarakat adalah penyakit jantung iskemik. Penyakit ini terjadi ketika dinding
bagian dalam arteri tertimbun plaque sehingga menyebabkan pembuluh darah
semakin sempit dan aliran darah yang kaya akan oksigen terhambat sehingga
supply oksigen ke otot jantung juga menurun.Pada kondisi tertentu ketika
bekuan darah menghambat aliran darah menuju otot jantung secara total
menyebabkan terjadinya: Unstable angina, Non-ST segment elevation
myocardial Infarction (NSTEMI), ST segment elevation myocardial lnfarction
(STEMI).
Sindrom Koroner Akut
Sindrom Koroner Akut terdiri atas 3 kondisi, yaitu Unstable Angina
Pectoris (UAP), Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), dan ST
Elevation Myocardial Infarction (STEMI). Fokus pembahasan ini adalah
penanganan awal pasien STEMI dengan terapi reperfusi. Perfusi miokard
terhenti akibat oklusi koroner yang mendadak. Terapi reperfusi adalah upaya
mengembalikan perfusi miokard menjadi normal kembali. Reperfusi yang
dilakukan adalah dengan menghilangkan trombus. Menghancurkan trombus
dapat dilakukan dengan menggunakan obat, Metode menghancurkan trombus

dengan obat dikenal sebagai terapi Fibrinolitik. Mengeluarkan trombus


dilakukan dengan menggunakan alat atau tindakan. Metode mengeluarkan
trombus dengan alat atau tindakan dikenal dengan istilah Primary PCI
(Percutaneous Coronary Intervention).
Yang dimaksud ke dalam angina tak stabil, yaitu: 1. pasien dengan
angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup berat dan
frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari, 2. pasien dengan angina yang
makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul
lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin
ringan, dan 3. pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya
ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan
keadaan klinik.
Beratnya angina

Kelas I: Angina yang berat untuk pertama kali atau makin bertambah
beratnya nyeri dada.

Kelas II: Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan,
tapi tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.

Kelas III: Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara
akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.

Keadaan klinis

Kelas A: angina tidak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain
atau febris.

Kelas B: angina tidak stabil primer, tak ada faktor extra cardiac.

Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.

Intensitas pengobatan

Tak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan minimal.

Timbul keluhan, walaupun telah mendapat terapi yang standar.

Masih timbul serangan angina, walaupun telah diberikan pengobatan yang


maksimum, dengan beta-bloker, nitrat, dan antagonis kalsium.

Menurut pedoman American Collage of Cardiology (ACC) dan


America Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa
elevasi segmen ST (NSTEMI= non ST elevation myocardial infarction) ialah
apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan
kerusakan miokardium sehingga beratnya petanda kerusakan miokardium
dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan
iskemia sednagkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan
ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen
ST atau elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negative. Karena
kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka

pada tahap awal

serangan, angina tak stabil sering kali tida bisa dibedakan dengan NSTEMI
Patogenesis
Iskemia myocardial adalah nekrosis miokard yang terjadi akibat
gangguan darah arteri koroner yang bermakna sebagai akibat oklusi arteri
koronaria karena trombus atau spasme hebat yang berlangsung lama.
Iskemia myocardial sering teradi akibat adanya plak aterosklerosis,
yang akan menurunkan suplai darah pada otot jantung. Aterosklerosis
merupakan penyakit arteri yang berkembang secara perlahan, dengan
penebalan intima terjadi akibat penumpukan fibrosa yang secara bertahap akan
menyempitkan lumen, dan secara bertahap menjadi tempat perdarahan dan
pembentukan thrombus.
Lapisan lemak merupakan tanda awal aterosklerosis yang tampak.
Lapisan ini merupakan akumulasi sel besar yang mengandung lemak di
subendotel (sel busa), selanjutnya terbentuk plak fibrosa atau aterom, yang
merupakan penyebab manifestasi klinis aterosklerosis. Plak ini terdiri dari
akumulasi monosit, makrofag, sel busa, limfosit T, jaringan ikat, debris
jaringan, dan Kristal kolesterol. Lokasi plak yang paling sering adalah di aorta
abdominalis, arteri koronaria, arteri poplitea, dan arteriosus sirkulus serebri.

Gambar ini dikutip dari Kumar, Abbas, Fausto. Pathologic Basis Of Disease.
Seven edition. Philadelphia. Elseviers Saunders.
Ruptur Plak Aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angiina pectoris
tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh
koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga
dari pembuluh yang mengalami rupture sebelumnya mempunyai penyempitan 50
% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai
penyempitan kurang drai 70%. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yangn
mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cup) plak
yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya
infiltrasi sel makrofag. Biasanya rupture terjadi pada tepi plak yang berdekatan
dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang
keretakan timbul pada dinding yang paling lemah karena adanya enzim protease
yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak
(fibrous cap).

Terjadinya rupture menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet dan


menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh
draah 100% akan terjadi infark dengan ST elevasi sedangkan bila thrombus tidak
menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjaidi
angina tak stabil.
Agregasi platelet dan pembentukan thrombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya thrombosis setelah plak terganggu
disebabkan karena interkasi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag,
dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan
thrombus yang kaya akan trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam
cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi factor jaringan dalam
plak tak stabil.
Setelah berhubungan dengan darah, factor jaringan berintreraksi dengan
factor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan
pembentukan thrombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet
dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas,
vasokonstriksi dan pembentukan thrombus. Factor sistemik dan inflamasi ikut
dalam berperan dalam terjadinya homeostase dan koagulasi dan berperan dalam
memulai thrombosis yang intermiten pada angina tak stabil.
Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan tonus pembuluh darah dan
menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pad angina Printzmetal
juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada
plak yang tak stabil, dna mempunyai peran dalam pembentukan thrombus.

Erosi pada Plak tanpa Ruptur


Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
proliperasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel;
adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat
menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.

( Gambar dikutip dari Antman, et al )

Potongan longitudinal arteri menggambarkan timeline proses aterogenesis


dari arteri normal (1), (2) lesi inisiasi dan akumulasi lipid ekstraseluler dalam
intima, (3) evolusi stadium fibrofatty, (4) lesi progresi dengan ekspresi
prokoagulan dan lemahnya fibrous cup. Sindrom koroner akut berkembang jika
plak vulnerable atau plak resiko tinggi mengalami distrupsi pada fibrous cap. (5)
distrupsi plak adalah rangsangan terhadap thrombogenesis. Resorpsi trombus
dlanjutkan dengan akumulasi kolagen dan pertumbuhan sel otot polos. (6)
Selanjutnya distrupsi plak vulnerable atau plak risiko tinggi mengakibatkan pasien
mengalami nyeri iskemia akibat penurunan aliran arteri koroner epikardial yang
terlibat. Reduksi aliran dapat menyebabkan oklusi trombus total atau oklusi
trombus subtotal. Pasien dengna nyeri iskemia dapat berupa elevasi ST atau tanpa
elevasi segmen ST pada EKG. Pasien dengan elevasi ST sebagian besar
berkembang menjadi infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil berkembang
menjadi infark miokard gelombang nonQ. Pasien tanpa elevasi segmen ST dapat
mengalami angina pektoris tidak stabil atau infark miokard akut tanpa elevasi ST.
sebagian besar pasien dengan NSTEMI berkembang menjadi infark miokard non
Q, dan sebagian kecil menjadi infark miokard gelombang Q.

2. Kateterisasi Jantung
Kateterisasi jantung sebagai alat diagnostik merupakan standar baku yang
dipertimbangkan dalam pemeriksaan anatomi dan fisiologi jantung dan pembuluh
darah yang berhubungan dengan jantung tersebut. Padda tahun 1929, Forssmann
mendemonstrasikan kemungkinan dilakukannya kateterisasi pada manusia ketika
dia melewatkan kateter urologis dari vena pada tangannya ke atrium kanannya dan
mendokumentasikan posisi kateter dalam jantung mengguanakan x-ray. Pada
tahun 1940, Cournand dan Richards mengaplikasikan teknik ini pada pasien
dengan penyakit kardiovaskular untuk mengevaluasi fungsi jantungnya. Pada
tahun 1958, Sones secara tak sengaja melakukan angiografi coroner selektif untuk
yang pertama kalinya ketika kateter di ventrikel kiri terselip melewati katup aorta,
terkait di arteri koroner kanan, dan injeksi bertenaga dari contras 40 mL menuruni
pembuluh darah. Hasil angiografi menyajikan detail anatomi arteri secara bagus,
dan pasien tidak mengalami efek samping. Sones kemudian mengembangkan
kateter koroner selektif, yang kemudian dimodifikasi lebih lanjut oleh Judkins,
yang mengembangkan kateter sehingga memungkinkan dilakukannya angiografi
arteri koroner untuk mendapatkan kegunaan secara luas sebagai alat diagnostik.
Indikasi Kateterisasi Jantung
Sebagaimana

prosedur-prosedur

yang

lain,

keputusan

untuk

merekomendasikan kateterisasi jantung itu didasarkan pada risk/benefit ratio.


Secara umum, kateterisasi jantung direkomendasikan baik itu pada kepentingan
klinis untuk menetapkan adanya atau beratnya lesi pada jantung yang tidak dapat
di evaluasi secara adekuat dengan menggunakan teknik noninvasive. Pengukuran
tekanan intrakardiak dan arteriografi koroner merupakan prosedur yang dapat
dilakukan dengan keakuratan reproducible terbaik menggunakan kateterisasi
invasif.
Kateterisasi

jantung

dan angiografi

koroner

diindikasikan

untuk

mengevaluasi luas dan beratnya penyakit jantung pada pasien yang simptomatik
dan untuk menjelaskan bahwa pembedahan atau intervensi yang didasarkan pada
kateter itu terjamin. Kateterisasi juga digunakan untuk meniadakan penyakit berat

pada pasien yang simptomatik dengan temuan yang samar-samar pada uji
noninvasive dan pada pasien dengan sindrom nyeri dada yang tidak diketahui
sebabnya secara pasti untuk menegakkan diagnosis pasti yang penting untuk
penatalaksanaan. Kateterisasi jantung bukan merupakan anjuran utama untuk
bedah jantung pada beberapa pasien muda yang memiliki penyakit jantung
kongenital atau penyakit katup jantung yang sudah dapat dipastikan pada
gambaran noninvasif dan pada yang tidak bergejala atau tidak memiliki faktor
risiko penyakit jantung koroner.
Beberapa indikasi keteterisasi jantung antara lain:
1. Penyakit arteri koroner
a) Asimptomatik atau simptomatik
Berisiko tingga untuk outcome yang buruk pada hasil

pemeriksaan noninvasif
Kematian jantung tiba-tiba
Didukung (> 30 detik)

monomorfik
Tidak didukung (< 30 detik) ventrikular takikardi tipe

ventrikular

takikardi

tipe

polimorfik
b) Simptomatik
Anginga dalam pengobatan dengan Canadian Cardiology

Society class III atau IV


Unstable angina risiko tinggi atau sedang
Sindrom nyeri dada dengan penyebab yang tidak jelas dan

penemuan hasil yang samar pada pemeriksaan noninvasif


2. Infark miokard akut
Reperfusi dengan percutaneous coronary intervention primer
Iskemia persisten atau berulang
Edem pulmoner yang berat
Syok kardiogenik atau hemodinamik yang tidak stabil
Komplikasi mekanik regurgitasi mitral, defek septum ventrikel
3. Penyakit katup jantung
Diduga adanya penyakit katup pada pasien yang simptomatik
sesak, angina, gagal jantung, sinkop
Endokarditif infektif dengan embolisasi koroner
Pasien asimptomatik dengan regurgitasi aorta dan pembesaran
jantung atau penurunan fraksi ejeksi

Pembedahan katup pada pasien dewasa dengan faktor risiko


penyakit arteri koroner
4. Gagal jantung kongestif
Onset baru dengan angina atau diduga tidak terdiagnosis penyakit arteri
koroner
5. Penyakit jantung kongenital
Sebelum di lakukan koreksi pembedahan, ketika gejala atau uji
noninvasif menunjukkan penyakit koroner.
Curiga adanya anomali koroner konganital
Bentuk penyakit jantung kongenital berhunbungan dengan anomali
koroner
6. Penyakit perikard
Pasien simptomatik dengan diduga tamponade jantung atau perikarditis
konstriktif
7. Transplantasi jantung
Evaluasi sebelum dan sesudah pembedahan
8. Kondisi lain
Kardiomiopati hipertrofik dengan angina
Penyakit aorta ketika pengetahuan keterlibatan arteri koroner
penting untuk penatalaksanaan.
Tidak ada kontaindikasi absolut ketika prosedur dilakukan dengan
antisipasi intervensi yang life-saving. Beberapa kontraindikasi relatif terhadap
kateterisasi jantung antara lain:

Perdarahan gastrointestinal akut


Hipokalemia berat
Intoksikasi digitalis yang tak terkoreksi
Antikoagulan dengan INR > 1.8 atau koagulopati berat
Riwayat reaksi anafilaksis terhadap media kontras
Stroke akut
Gagal ginjal akut atau penyakit ginjal kronik berat yang tidak

tergantung dialisis
Demam yang tidak dapat diterangkan sebabnya atau infeksi aktif yang

tidak terobati
Anemia berat
Pasien yang tidak kooperatif

Teknik

10

Sebelum sampai di laboratorium kateterisasi, pasien seharusnya dijelaskan


menegnai prosedur secara lengkap termasuk risiko dan keuntungan. Evaluasi
sebelum kateterisasi antara lain anamnesis, pemeriksaan fisik dan EKG,
pemeriksaan laboratorium rutin seperti pemeriksaan darah lengkap, elektrolit
serum, konsentrasi kreatinin dan glukosa, PT (Prothrombin time) dengan INR
(international normalize ratio) dan PTT (partial prothombine time) pada pasien
yang mendapatkan heparin.
Pasien harus puasa terlebih dahulu paling tidak 6 jam, dan seharusnya
dilakukan pemasangan IV line. Biasanya diberikan obat penenang secara oral atau
intravena (misalnya benzodiazepine). Pulse oximetry harus digunakan untuk
memonitor status respirasi. Pemberian antikoagulan oral harus dihentikan dan
INR harus kurang dari 1.8 untuk mencegaj peningkatan risiko perdarahan. Aspirin
atau antiplatelet oral lain dilanjutkan sebelum prosedur. Pasien diabetes,
pemberian metformin harus dihentikan pada hari dimana prosedur akan dilakukan
dan metformin tidak diberikan sampai fungsi ginjal stabil kulang lebih 48 jam
setelah prosedur. Semua pasien harus dihinrasi sebelum dan sesudah prosedur.
Kateter yang digunakan untuk kateterisasi jantung tersedia dalam
berbagai macam bentuk, ukuran dan konfigurasi. Panjang kateter umumnya antara
50 125 cm, dimana 100 cm merupakan panjang kateter yang umumnya
digunakan untuk kateterisasi jantung kiri pada orang dewasa yang menggunakan
pendekanan arteri femoralis.
Diameter terluar dari kateter ditetapkan dengan menggunakan French
units, dimana 1 french unit (F) sama dengan 0.33 mm. Diameter sebelah dalam
kateter lebih kecil daripada diameter sebelah dalam karena ketebalan material dari
kateter tersebut. Kawat yang digunakan selama prosedur kateterisasi harus cukup
kecil untuk dapat masuk melalui diameter sebelah dalam baik itu dari Introducer
needle maupun kateter itu sendiri.

11

Kawat yang digunakan dideskripsikan dengan panjangnya pada


centimeter, diameter padd inchi dan bentuk ujungnya. Kawat yang sering
digunankan umumnya adalah 150 cm, 0.035 inchi dan J-tip wire. Selubung
introduser ditetapkan dengan jumlah French dari kateter terbesar yang secara
bebar leawat melalui diameter sebelah dalam dari selubung dibandingkan
diameter terluarnya. Oleh karena itu, sebuah selubung introducer 7F dapat
menerima kateter 7F (7F = 2.31 mm) tetapi memiliki diameter sisi luar lebih dari
2.31 mm.
a. Kateterisasi Jantung Kanan

12

Kateterisasi jantung kanan menyediakan pengukuran dan analisis


atrium kanan, ventrikel kanan (RV), arteri pulmoner, dan tekanan biji kapiler
pulmoner, menentukan cardiac output, dan penyaringan intracardiac shunts.
Penyaringan sampel darah untuk oksimeter harus diperoleh dari vena cava
superior (SVC) dan arteri pulmoner pada semua pasien. Kateterisasi jantung
kanan dilakukan melalui vena cava inferior (IVC) ataupun SVC secara
antegrade. Tempat masuk secara perkutan dicapai melalui vena femoralis,
vena jugularis, vena subclavia, atau vena antecubiti.
Ballon flotation catheters merupakan penggunakan termudah dan yang

paling sering digunakan. Terdapat dua metode untuk memajukan Ballon


flotation catheters. Yang paling sering, kateter dapat di majukan secara
langsung melalui atrium kanan dan melewati katup trikuspid. Sekali kateter
berada pada ventrikel kanan, kateter kemudian diputar searah jarum jam
menuju titik yang lebih tinggi dan secara langsung masuk ke dalam saluran
aliran keluar ventrikel kanan. Sekali kateter berada pada saluran aliran keluar,
ujung balon harus dibiarkan mengapung kedalam arteri pulmoner dan posisi

13

yang terjepit. Jika dibutuhkan, inspirasi yang dalam atau batuk dapat
menfasilitasi manuver ini dan membantu dalam melewati katup pulmonal.
Ketika lubang terujung kateter yang tidak mempunyai ujung ballon
digunakan, teknik kanulassi arteri pulmoner berbeda secara nyata. Kateter
harus diarahkan ke bawah melewati katup trikuspid dan kemudia ke atas ke
dalam saluran keluar ventrikel kanan.

b. K ateterisasi ventrikel kiri dan arteriografi koroner


Setelah dilakukan anestesi lokal dengan 1 % lidocaine, jalur masuk
perkutan dari arteri femoralis didapatkan dengan menusuk pembuluh dari 1
3 cm (atau 1 atau 2 jari) dibawah ligamentum inguinalis. Ligamentum
inguinalis dapat teraba sejalan dari SIAS (spina iliaca anterior superior)
sampai ke ramus superior pubis. Ligamen ini (bukan lipatan inguinal),
digunakan sebagai landmark.

14

Insisi kulit secara melintang dibuat diatas arteri femoralis dengan


menggunakan skalpel. Dengan teknik Seldinger yang dimodifikasi, sebuah
thin-walled needle 18-gauge di insersikan pada sudut 30 45 derajat kedalam
arteri

femoralis,

dan

sebuah

kawat

J-tipe

berlapis

teflon

(polytetrafluoroethylene) masuk melalui jarum ke dalam arteri.

15

16

Stelah diperoleh akses arterial, selubung yang ukuranya hampir sama


sperti kateter koroner biasanya dimasukkan ke dalam arteri femoralis. Pemberian
heparin untuk kateterisasi jantung masih belum ditetapkan. Pada pasien yang
memperoleh heparin sebelum dilakukannya kateterisasi, hasil pemeriksaan
clotting time harus sudah ditetapkan sebelum dilakukan tindakan.
LV systolic dan end-diastolic pressure dapat ditetapkan dengan
memasukkan kateter kedalam ventrikel kiri. Pada memeriksa stenosis katup aorta,
LV dan tekanan aorta atau tekanan fateri femoralis, harus direkam secara
stimultan dengan 2 transduser. Kateter aorta harus diletakkan tetidaknya kedalam
aorta abdominal daripada ke dalam arteri femoralis. Pada kecurigaan mitral
stenosis, LV dan tekanan atrium kiri harus ditetapkan secara stimultan dengan 2
transduser.
Left ventriculography dilakukan pada right anterior oblique 30 derajat dan
left anterior oblique 45-50 derajat. Injeksi bertenaga medium kontras 30-40 mL
17

diamsukkan ke dalam ventrikel pada 12-15 mL/detik digunakan untuk menilai


fungsi ventrikel kiri dan beratnya regurgitasi mitral.
Setelah prosedur selesai dilakukan, kateter dilepaskan dan tekanan yang
kuat diaplikasikan pada area femoral selama 10 menit dengan tangan. Pasien
harus dijelaskan untuk tirah baring selama beberapa hari dengan kaki lurus untuk
mencegah pembentukan hematoma. Dengan kateter 4F-6F, tirah baring selama 2
jam biasanya cukup, sedangkan penggunaan kateter yang lebih dari 6F biasanya
membutuhkan waktu setidaknya 3-4 jam.

c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
c.
Angiografi Koroner

18

Angiografi koroner selektif hampir selalu dilakukan selama kateterisasi


jantung dan digunakan untuk menggambarkan anatomi koroner. Kateter koroner
bentuk khusus digunakan untuk ostium koroner kanan dan kiri. Injeksi agen
kontras radiopak membentuk luminogram koroner yang terekam pada gambaran
radiografi. Karena arteri koroner merupakan objek 3 dimensi yang bergerak
dengan

siklus

menggunakan

jantiung, angiogram pembuluh darah


beberapa

proyeksi

ortogonal

yang

dilakukan

dengan

berbeda

untuk

memvisualisasikan pembuluh darah dengan baik tanpa overlap atau terlihat


pemendekan.
Anatomi koroner normal sangat bervariasi diantara masing-masing
individu, akan tetapi secara umum terdapat 2 ostium koroner dan 3 pembuluh
darah koroner yang utama, yaitu arteri koronaria sinistra desending anterior (left
anterior descending/LAD),arteri koronaria sinistra sirkumflek (left circumflex),
dan arteri koronaria dextra, dimana LAD dan left circumflex merupakan
percabangan dari left main coronary artery.

19

Angiografi koroner memvisualisasikan stenosis arteri koroner sebagai


penyempitan lumen pada cine angiogram. Derajat penyempitan menunjuk pada
persentase stenosis dan ditetapkan secara visual dengan membandingkan segmen
penyakit yang terberat dengan proksimal atau distal dari segmen yang normal,
stenosis > 50% secara signifikan dipertimbangkan. Adanya jembatan
miokardial, yang umunya terlibat dengan LAD bisa salah sangka dengan stenosis
yang signifikan.

20

Kuncu untuk membedakan jembatan mikardial dari stenosis adalah


bagian stenosis dari pembuluh darah kembali menjadi normalselama diastol.
Kalsifikasi koroner juga dapat terlihat selama angiografi pada injeksi agen
kontras. Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow grade, merupakan
pengukuran durasi relatif dari waktu yang diambil untuk kontras pada opasitas
arteri koroner secara penuh, bisa memberikan petunjuk tambahan pada tingkatan
beratnya lesi, dan adanya TIMI grade 1 atau 2 memberi kesan adanya stenosis
arteri koroner yang signofikan.

21

3. Myocardial Blush Grade pada PCI


Myocardial blush grade ( MBG ) digunakan sebagai penanda yang
berguna untuk reperfusi mikrovaskuler yang dapat mempengaruhi hipertrofi
ventrikel kiri. MBG juga digunakan sebagai parameter angiografi untuk
menggambarkan efektivitas reperfusi miokard. Myocardial Blush pertama kali
didefinisikan oleh Arnoud van't Hof et al. Myocardial blush grade dapat menilai
mikrovaskuler coroner dan perfusi miokard pada pasien yang menjalani
angiografi koroner dan angioplasty.

22

Untuk memvalidasi parameter ini yaitu

dengan membandingkan

myocardial blush grade dengan 12-lead EKG , ukuran enzim infark , fungsi
ventrikel kiri , dan hasil klinis pasien setelah angioplasty koroner primer dan
menilai apakah parameter baru ini dapat memberikan nilai prognosis sementara
dibandingkan dengan TIMI flow grade.
TIMI flow dan myocardial blush grade yang dinilai pada angiogram
dilakukan setelah angioplasti coroner primer. Penilaian dilakukan pada cinefilm
25 frame yang dibuat di Philips digital coronary imaging catheterization
laboratory. Pada setiap pasien akan dipilih proyeksi terbaik pada daerah miokard
yang berhubungan dengan infark arteri coroner, sebaiknya superpositioning of
noninfarcted myocardium.
Proyeksi lateral kiri digunakan pada 49%, proyeksi anterior obliq kanan di
23 % , baik anterior obliq kiri dan anterior obliq kanan di 23 % , dan kranial pada
5 % . Angiographic berjalan harus cukup lama untuk memungkinkan beberapa
pengisian sistem koroner vena , dan aliran balik agen kontras ke dalam aorta
( Hexabrix , 5-15 mL ) harus ada untuk memastikan kontras memadai untuk
pengisian arteri koroner epicardial.
Semua angiogram dilakukan dengan kateter 7F atau 8F dalam mode
standar setelah diberikan 400 mg nitrogliserin IC segera setelah primer prosedur
angioplasty, dan prosedur yang memungkinkan analisis kuantitatif arteri koroner.
Nilai myocardial blush didefinisikan sebagai berikut:

0 : tidak ada myocardial blush atau kontras densitas miokard,


1 : nyocardial blush minimal atau kepadatan kontras,
2 : myocardial blush moderat atau kepadatan kontras tetapi kurang
dari yang diperoleh selama angiografi arteri koroner-non infarct

terkait kontralateral atau ipsilateral,


3: myocardial blush normal atau kepadatan kontras sebanding
dengan yang diperoleh selama angiografi kontralateral atau arteri
koroner-non infarct ipsilateral.

Ketika myocardial blush ini bertahan terjadi kebocoran media kontras ke


dalam ruang ekstravaskuler dan dinilai 0.
23

Elektrokardiografi
EKG dilakukan segera setelah dilakukan angiopalsti coroner primer.
Jumlah peningkatan segmen ST diukur 20 ms setelah akhir QRS kompleks dalam
lead I, aVL, dan V1-V6 untuk anterior dan lead II, III, aVF, V5 dan V6 untuk
infark miokard inferolateral. Pada EKG kedua diklasifikasikan sehubungan
dengan ST segmen yaitu :

1 : sudah di normalisasi, yang didefinisikan sebagai tidak ada sisa ST-

segmen elevasi,
2 : perbaikan, didefinisikan sebagai sisa ST-segmen elevasi <70% dari

dengan pada EKG pertama


3 : tidak berubah, didefinisikan sebagai sisa ST-segmen elevasi > 70% dari
yang di EKG pertama.
Remodeling ventrikel kiri merupakan awal terjadinya gagal jantung dan

mempunyai prognosis buruk setelah terjadi STEMI. Manfaat PCI primer pada
pasien STEMI dianggap berasal dari restorasi trombolisis awal pada infark
miokard grade 3 yang mengalir pada arteri terkena infark menghasilkan
pembatasan ukuran infark dan menurunnya mortalitas dibandingkan dengan
pengobatan trombolitik. Namun, dilaporkan prevalensi pasien dengan hipertrofi
ventrikel kiri cukup tinggi bahkan pada pasien STEMI yang telah dilakukan PCI
primer.
Infark dapat menyebabkan reperfusi terbatas pada jaringan karena cedera
pada mikrovaskular dan onstruksi oleh eritrosit, neutrophil, dan lainnya yang
dikenal dengan no-reflow phenomenon. Beberapa teknik dapat digunakan untuk
menilai reperfusi di jaringan, seperti myocardial contrast echocardiography,
skintigrafi, positron emission tomography, dan pencitraan resonansi magnetik.
Namun, teknik ini selama fase akut STEMI sulit digunakan dan memakan waktu .
Sebaliknya, angiographic myocardial blush garde , berdasarkan kepadatan
pewarna kontras dan washout dalam infark miokardium, adalah alat sederhana
yang berkorelasi secara signifikan dengan jaringan dengan perfusi lama setelah
rekanalisasi dari arteri terkena infark. Keberhasilan PCI primer pada pasien

24

dengan STEMI anterior, analisis myocardial blush dapat digunakan untuk


memperediksi remodeling dari ventrikel kiri.
Myocardial Blush Grade pada pasien unstable angina pectoris ditemukan
korelasi yang terbalik dengan peningkatan troponin T dan I pasca procedural,
peningkatan blush grade dikaitkan dengan peningkatan troponin.
Prediksi mortalitas MBG setelah angioplasti primer untuk elevasi ST
segmen infark miokard akut, secara independen dari variable lain, semakin tinggi
MBG , semakin rendah ukuran infark dan fraksi ejeksi ventrikel kiri lebih baik.
Nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri berdasarakan myocardial blush grade, yaitu :

Nilai myocardial blush 3 memiliki nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri 50

%
Nilai myocardial blush 2 memiliki nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri 46

%
Nilai myocardial blush 1 memiliki nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri 39
%

Setelah dilakukan tindak lanjut dari 1,9 1,7 tahun, nilai fraksi ejeksi
ventrikel kiri berdasarakan myocardial blush grade berubah, yaitu:

Nilai myocardial blush 3 memiliki nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri 3 %


Nilai myocardial blush 2 memiliki nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri 6 %
Nilai myocardial blush 1 memiliki nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri 23
%

Selain itu , mereka mengidentifikasi kelompok besar ( 67 % ) dari pasien


yang telah TIMI 3 flow dan MBG 0 atau 1 yang terkait dengan resolusi ST segmen yang rendah dan area yang lebih luas infark . Selain itu , kejadian hasil
yang merugikan adalah 30 % dengan MBG 0-1 dan 11 % dengan TIMI flow 0-2 .
Temuan ini menyiratkan bahwa MBG mencerminkan integritas mikrosirkulasi dan
perfusi jaringan yang lebih baik daripada TIMI flow. Temuan serupa dilaporkan
dalam penelitian lain dari angioplasti primer untuk akut STEMI.
Nilai prediktif dari MBG pada pasien dengan infark miokard akut dan
tanda-tanda gagal jantung kongestif menjalani intervensi koroner perkutan baru25

baru ini diselidiki. Killip class linear terkait dengan MBG rate ,keberhasilan
angiografik ,dan angka kematian dalam 1 tahun. MBG 0-1 adalah prediktor
independen kematian 1 tahun pada pasien dengan kelas Killip meningkat ( > 1 )
pada presentasi . MBG juga merupakan prediktor (independen TIMI) baik di
rumah sakit dan kematian jangka panjang pada pasien dengan AMI mengaku
dengan syok kardiogenik yang menjalani angioplasti primer.
Menariknya, ditemukan bahwa MBG setelah AMI ditingkatkan 40 % dari
pasien selama 30 hari pertama. Seperti perbaikan berkorelasi dengan fraksi ejeksi
lebih baik dan ukuran infark yang lebih kecil, dan mungkin mencerminkan distal
lisis trombus microvasculature, penyerapan edema seluler, dan perbaikan dalam
fungsi endotel dan nada arteriol.
Resolusi MBG dan ST-segmen selama AMI
Resolusi ST terintegrasi adalah penanda reperfusi yang dikenal selama MI,
dan dianggap lebih kuat daripada TIMI dalam memprediksi hasil dari angioplasti
primer. Sementara resolusi ST berhubungan dengan perfusi miokard dan integritas
membran sel (yang mempengaruhi elektrokardiografi), MBG mencerminkan
perfusi miokard dan mikrovaskuler patensi. Selain itu, MBG didasarkan pada
gambar diambil pada satu waktu (segera setelah PCI), sementara resolusi ST
menggabungkan perubahan dinamis dan berkembang setelah reperfusi. Hal ini
menjelaskan mengapa dalam beberapa studi dua parameter berkorelasi dengan
baik sementara di lain tidak terdapat korelasi. Bahkan, Haager at al. menemukan
bahwa menggabungkan resolusi ST meningkatkan kekuatan MBG dalam
memprediksi mortalitas.
MBG dan terapi adjuvant untuk embolisasi distal selama PCI
Pada pasien yang menjalani PCI, embolisasi distal berkorelasi dengan
ukuran infark, fraksi ejeksi, resolusi ST dan mortalitas jangka panjang.
Mengidentifikasi

pasien

dengan

MBG

yang

buruk

harus

dilakukan

memungkinkan kesempatan untuk pemberian terapi adjuvant untuk meningkatkan


perfusi mikrovaskuler dan hasil klinis.

26

Terapi farmakologis
Nilai nitroprusside dibandingkan dengan nitrogliserin pada 45 pasien
dengan fenomena no-reflow dengan menilai MBG; perbaikan dicapai dalam
48,8% dari pasien yang diobati dengan nitroprusside dibandingkan 28,8% dari
mereka yang diobati dengan nitrogliserin (P = 0,008), dengan kecenderungan
peningkatan TIMI 3 flow (93,33% vs 84.44%, P = 0,221). MBG juga digunakan
untuk menilai manfaat inhibitor IIb-IIIa. Dalam studi CADILLAC, abciximab
tidak memiliki manfaat tambahan pada MBG. Dalam studi ON-TIME, tirofiban
pra-prosedural meningkatkan TIMI dan MBG dibandingkan dengan tirofiban awal
tetapi tidak meningkatkan hasil pasca PCI. Namun demikian, pra-PCI MBG 2-3
adalah prediktor relatif kuat pasca-PCI hasil angiografi.
Modalitas Mekanis
MBG telah digunakan di banyak percobaan memeriksa perangkat
perlindungan bagi arteri koroner asli. Dalam sebagian besar penelitian ini MBG
digunakan sebagai indikator langsung menyelamatkan miokardium, tanpa jangka
panjang tindak lanjut. Dalam uji coba X-TRACT perangkat perlindungan
digunakan selama prosedur elektif dari graft vena saphena sakit atau thrombotic
arteri koroner asli. MBG 0-1 ditemukan menjadi prediktor prognostik penting
komplikasi selama 6 bulan bahkan di antara pasien yang mencapai TIMI 3 flow
epicardial setelah angioplasti. Insiden kematian gabungan atau MI selama 6 bulan
masa tindak lanjut adalah 42,5% pada pasien dengan MBG 0-1 dan 17,3% pada
mereka dengan MBG 3 (P <0,05). Pada pasien dengan TIMI 3, kejadian kematian
gabungan atau MI adalah 28,3% untuk MBG 0-1 dan 16,6% untuk MBG 3 (P
<0,05)
Keterbatasan dan perspektif
Masalah teknis yang melekat dalam mengukur myocardial bush harus
diperhatikan. Cara untuk mengukur myocardial blush adalah dengan melihat
wilayah arteri koroner. Pandangan ini meliputi massa miokard tiga-dimensi besar
diringkas menjadi tampilan dua dimensi. Myocardial blush berkurang hanya
bagian dari otot ini biasanya diabaikan. Seperti disebutkan, operator harus

27

menunggu fase vena muncul untuk penilaian MBG yang sesuai. Bagian dari
perbedaan antara nilai klinis metode dan kelangkaan penggunaannya mungkin
karena tambahan (meskipun singkat) waktu yang diperlukan untuk melihat fase
vena, serta rendahnya kesadaran nilai MBG.
Ada juga kebutuhan untuk mengembangkan metode untuk kuantifikasi
otomatis myocardial blush, metode pengukuran otomatis blush di daerah miokard
yang besar, dan mengukur MBG dalam bingkai yang berurutan untuk
mendapatkan kurva distribusi dan clearance di sumbu waktu.
TIMI flow dan MBG dinilai secara visual pada angiografi dan dibuat
segera setelah angiolplasti coroner primer yang dilakukan oleh ahli jantung.
Semua data dimasukkan secara prospektif ke dalam database. Dalam penilaian
MBG tidak ada teknik digital yang dilakukan. Untuk memungkinkan blush
grading, kerja angiografi harus memadai. Untuk memastikannya, kerja angiografi
cuckup lama untuk melihat fase vena pada bagian kontras. Angiorafi ini bekerja
dibuat dalam pandangan identic sesuai dengan arteri yang terkena infark sehingga
menjamin penilaian dalam kondisi yang sama. Ketika arteri koroner kiri terkena
infark, maka angiogram akhir dibuat dalam tampilan lateral kiri . Ketika arteri
koroner kanan yang terkena, maka angiogram akhir dibuat dalam tampilan miring
kanan.

28

Menggunakan MBG,

mampu mendeteksi sekelompok pasien dengan

reperfusi miokard yang berkurang meskipun aliran di epicardial arteri koroner


infark normal.
Pasien dengan MBG 0 atau 1 memiliki mortalitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien dengan MBG 2 atau 3. Kejadian kematian, infark
miokard berulang, atau revaskularisasi adalah lebih tinggi pada kelompok dengan
MBG 0 atau 1 (33% berbanding 21%). Para pasien dengan MBG 0 atau 1 tidak
hanya memiliki tinggi kematian tetapi juga memiliki ukuran infark yang lebih
besar. Ukuran infark adalah diukur dengan rilis enzim kumulatif selama 48 jam
dan fraksi ejeksi residual. Kedua 2 pengukuran mengungkapkan ukuran infark
yang lebih besar pada pasien dengan MBG 0 atau 1.

29

Pasien MBG 0 atau 1 kekurangan reperfusi miokard pada jaringan ,


sehingga mengakibatkan rilis enzim lebih selama 48 jam dan fraksi ejeksi
ventrikel kiri sisa lebih rendah. Sebagai contoh, pasien dengan MBG 0 atau 1
secara signifikan lebih tua, lebih sering memiliki infark miokard anterior, dan
lebih sering memiliki diabetes dibandingkan dengan pasien dengan MBG 2 atau 3.
Merokok telah dikaitkan dengan pembentukan trombus yang lebih luas.
Oleh karena itu, kelompok dengan MBG 0 atau 1 ( atau reperfusi miokard buruk )
terdiri dari persentase yang lebih tinggi pada perokok. Namun, ada kelompok
pasien perokok lebih sedikit dengan MBG 0 atau 1. Hal ini mungkin berhubungan
dengan smokers paradox. Pasien dengan MBG 0 atau 1 membenarkan usia yang
mungkin lebih penting dalam miokard reperfusi. Fenomena no reflow, salah satu
faktor yang terlibat dalam reperfusi miokard yang buruk, terkait dengan waktu
iskemik yang lebih lama, tetapi pada suatu tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam waktu iskemik berarti antara pasien dengan MBG 0 atau 1 dibandingkan
dengan pasien dengan MBG 2 atau 3.

PCI sebagai tindakan reperfusi Miokard

30

Primary

Percutaneous

Coronary

Intervention

(PCI)

merupakan

pembukaan efektif pada arteri yang infark pada pasien dengan STEMI. Meskipun
embolisasi dari debris atherithrombotic menyebabkan obstruksi mikrovaskular
dan

menggangu

reperfusi

miokardium.

PCI

(Percutaneous

Coronary

Intervention), atau yang dikenal juga dengan coronary angioplasty, merupakan


prosedur terapi untuk membuka penyempitan (stenotic) pembuluh darah arteri
jantung pada kasus penyakit jantung koroner yang disebabkan oleh terjadinya
penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah. Akibat dari penumpukan
kolesterol ini, aliran darah menjadi tidak lancar dan fungsi jantung menjadi
terganggu sehingga berpotensi menyebabkan serangan jantung. PCI dilakukan
dengan memasukkan catheter yang telah dilengkapi dengan balloon khusus dan
stent yang akan diarahkan ke titik terjadinya penyumbatan di dalam pembuluh
darah arteri untuk membuka penyumbatan tersebut dan mengembalikan aliran
pembuluh darah arteri ke jantung. Tindakan PCI ini biasanya dilakukan oleh
interventional cardiologist. Dengan dilakukannya primary PCI, gejala dari
penyakit jantung koroner, seperti nyeri dada (angina), sesak nafas (dyspnea), dan
Congestive Heart Failure dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan.
Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab kematian
terbesar di Indonesia. Serangan jantung (myocardial infarction) dengan STsegment elevation merupakan manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner ini.
Kebanyakan pasien meninggal karena keterlambatan penanganan dan tindakan
terhadap serangan ini. Kecepatan waktu penanganan sangat berpengaruh dalam
menurunkan tingkat kematian pada pasien akibat serangan jantung ini.
Banyak sumber menyebutkan bahwa penanganan dengan fibrinolytic
therapy merupakan cara tercepat untuk menghentikan serangan jantung pada
pasien sebelum dilakukan tindakan lebih lanjut. Akan tetapi, publikasi terbaru
menyebutkan bahwa tindakan Primary PCI atau Primary Percutaneous Coronary
Intervention yang dilakukan dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, mulai dari
saat pasien mengalami serangan jantung sampai dilakukan tindakan adalah
penanganan terbaik bagi pasien yang mengalami serangan jantung dengan STsegment elevation. Bahkan idealnya tindakan door to balloon atau tindakan mulai

31

dari pasien masuk pintu UGD sampai dilakukan pemasangan balloon adalah 90
menit atau kurang. Hasil studi GUSTO II menyebutkan bahwa resiko kematian
dan serangan jantung berulang pada pasien yang mendapatkan fibrinolytic therapy
adalah 13.7%, sedangkan pada pasien yang mendapat tindakan primary PCI
adalah 9.6%. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa Primary PCI dapat
menurunkan resiko kematian dan serangan jantung berulang.
Istilah

ballon

Angiosplasty

yang

umumnya

digunakan

untuk

mendeskripsikan PCI merupakan metode pemompaan balloon di dalam pembuluh


darah arteri untuk menghancurkan plak kolesterol pada dinding pembuluh darah
dan atau dapat juga disertai dengan tindakan lain yaitu pemasangan stent sesuai
dengan indikasi sumbatan yang didapatkan.
Dibandingkan dengan metode konservatif yaitu dengan fibrinolytic
therapy (thrombolytic therapy), primary PCI lebih efektif dalam penanganan
myocardial infarction dengan ST-segment elevation. Fibrinolytic therapy memiliki
beberapa keterbatasan, yaitu pertama, beberapa pasien myocardial infarction
memiliki kontraindikasi dengan fibrinolisis. Kedua, adakalanya thrombolysis
tidak muncul pada pasien yang diberi terapi ini, dan ketiga adalah kemungkinan
munculnya serangan jantung kembali walaupun setelah melakukan terapi ini.
Keterbatasan-keterbatasan ini dapat diminimalisasi dengan primary PCI.
Berdasarkan hasil Cadillac trials, diketahui bahwa sebanyak 40.8% pasien dengan
fibrinolytic therapy memiliki resiko mengalami restenosis, sedangkan dengan
tindakan primary PCI resikonya turun menjadi 22.2%.

32

Tindakan angioplasty juga bukan tanpa resiko. Pasien umumnya dalam


keadaan sadar saat tindakan dilakukan dan rasa tidak nyaman pada dada mungkin
dirasakan selama tindakan berlangsung.
Pendarahan pada titik insersi umum terjadi dan kadang juga timbul memar
atau hematoma. Reaksi alergi terhadap contrast dye yang dipakai juga mungkin
terjadi. Tetapi, yang patut diwaspadai adalah resiko komplikasi serius yang
mungkin terjadi seperti stroke, ventricular fibrillation (VF) atau ventricular
tachycardia (VT), serangan jantung, dan aortic dissection.

33

Terapi Fibrinolitik dan Primary PCI


Primary PCI merupakan terapi reperfusi terpilih untuk pasien serangan
jantung, dengan rekomendasi kelas I dan level of evidence A baik AHA maupun
ESC (Eropa). Primary PCI lebih superior dibandingkan terapi fibrinolitik. Pada 3
jam pertama sejak onset serangan jantung, kedua modalitas terapi menunjukkan
hasil yang tidak berbeda bermakna dalam hal efektivitas, tetapi angka stroke
hemoragik lebih tinggi pada fibrinolitik. Tetapi setelah lebih dari 3 jam onset,
keunggulan primary PCI lebih nyata dibandingkan fibrinolitik.
Aliran TIMI 3 tercapai hanya pada sekitar 50-60% pasien pada terapi
fibrinolitik. Sementara dengan primary PCI tercapai sekitar 93-96% pasien.
Keunggulan primary PCI lebih nyata lagi pada pasien serangan jantung yang
disertai syok kardiogenik. Sebuah meta-analisis yang membandingkan studi-studi
primary PCI versus fibrinolitik menyimpulkan bahwa dalam evaluasi 6 minggu
paska serangan jantung, tindakan primary PCI menurunkan angka kematian 34%
dibanding fibrinolitik. Dalam 1 tahun primary PCI menurunkan angka kematian
24% dan angka serangan jantung ulang 51% dibanding terapi fibrinolitik.
Sebagai

penyakit

penyebab

kematian

tertinggi

serangan

jantung

harus diperangi. Dan, tidak cukup hanya spesialis jantung yang bertugas
memeranginya. Harus dibangun suatu jejaring untuk memerangi penyakit
mematikan ini. Tenaga medis yang kontak pertama kali dengan pasien (FMS
First Medical Contact) harus mampu untuk memberikan terapi reperfusi.

34

American Heart Association mengatur terapi reperfusi sebagai berikut:

Bila pasien serangan jantung ditangani di rumah sakit yang tidak bisa
melakukan primary PCI, dan waktu yang diperlukan untuk membawa
pasien ke rumah sakit yang memiliki sarana PCI tidak dapat dicapai dalam
waktu 120 menit, maka tenaga medis di rumah sakit tersebut harus
memberikan terapi fibrinolitik.

Bila pasien serangan jantung ditangani di rumah sakit yang tidak bisa
melakukan primary PCI, dan waktu yang diperlukan untuk membawa
pasien ke rumah sakit yang memiliki sarana PCI dapat dicapai dalam
waktu 120 menit, maka pasien segera ditransfer ke rumah sakit tersebut
untuk dilakukan primary PCI

Bila pasien serangan jantung ditangani di rumah sakit dengan sarana PCI,
terapi reperfusi terpilih adalah primary PCI.
PCI adalah prosedur intervensi koroner berbasis kateter via arteri radialis

atau femoralis. Disebut primary PCI artinya tindakan PCI dilakukan secara
langsung tanpa didahului modalitas reperfusi yang lain.

Door to device

time adalah 90 menit. Artinya, dalam 90 menit sejak pasien diterima di IGD,
oklusi koroner harus sudah terbuka dengan tindakan ini. Tindakan dilakukan
dengan memasukkan kateter sampai ke pangkal arteri koroner. Kemudian
dilakukan angiografi untuk melihat kondisi arteri koroner. Setelah nampakculprit
vessel, yaitu lesi yang menyebabkan serangan jantung, dilakukan aspirasi
trombus. Bila setelah diaspirasi masih nampak lesi stenosis yang bermakna,
dilanjutkan dengan pemasangan stent. Tindakan dianggap berhasil bila aliran
koroner kembali menjadi TIMI 3 (TIMI 3 artinya aliran koroner normal, yang
nampak dari kecepatan kontras mengisi arteri koroner sampai ke distal).

35

Grade

Flow

Thormbolysis

in

Myocardial

Infarction

(TIMI)

Myocard

Contras

diklasifikasikan sebagai berikut:


1

: tidak ada aliran antegrad

: aliran antegrade minimal

: antgrade mengalir ke distal

Myocardial blush on Grade pada PCI


Myocardial

blush

on

Grade

(MBG)

dan

Echocardiography (MCE) adalah indeks perfusi miokard pada pasien dengan STelevasi infark miokard akut (STEMI). Hal ini bertujuan untuk membandingkan
MBG dengan MCE di segmen arteri infarct terkait untuk menilai ukuran infark
pada pasien dengan STEMI yang diobati dengan primery Percutan Coronary
Intevention (PCI).
Patensi arteri koroner epikard dan aliran trombolisis dalam infark miokard
atau Thrombolysis in Myocard Infark (TIMI) tidak dapat digunakan sebagai
penanda reliabel pada perfusi jaringan miokard setelah terapi reperfusi. Meskipun
patensi koroner normal, perfusi jaringan dapat terganggu atau absent. Myocardial
blush on grade (MBG) telah divalidasi dengan baik sebagai teknik angiografi
untuk menilai perfusi miokard pada pasien dengan ST-elevasi infark miokard akut
(STEMI). Hal ini sangat terkait dengan prognosis pada pasien yang menjalani PCI
untuk STEMI.
MBG dan MCE adalah indikator yang baik untuk mengetahui ukuran infark pada
pasien STEMI diobati dengan PCI. Namun, tanda tersebut tidak saling terkait,
mungkin karena perubahan waktu yang berhubungan dengan perfusi miokard.
Menggabungkan dua tanda tersebut dapat menghasilkan prediksi yang lebih
akurat dari kerusakan
MBG ditentukan oleh kontras dalam proyeksi angiografi yang mengisolasi
wilayah miokard distal dari arteri infarct terkait.
MBG pada Myocardial Infarction diklasifikasikan sebagai sebagai berikut:

36

: Tidak ada blush pada miokard

: blush pada miokard minimal

: blush pada miokard moderat

: blush semua dibandingkan dengan MBG daerah miokard dari


arteries.7 noninfarct terkait

Gambaran PCI dengan MGB 0-1 (kiri), dan 2-3 (kanan)

37

Myocardial Blush on Grade (MGB) dan Grade Flow Thrombolysis


angiografik pada Myocardial Infarction (TIMI) setelah PCI
Infark miokard yang dapat menyebabkan nekrosis miosit (sel otot jantung)
dan mikrovaskuler dapat terjadi tergantung durasi oklusi koroner. Tujuan utama
dari Percutant Coronary Intervensi (PCI) pada ST-elevasi infark miokard (STEMI)
adalah agar restorasi darah epicardial dapat mengalir untuk memberikan perfusi
ke bagian infark miokardium. Tingkat pemulihan aliran darah epicardial setelah
PCI dapat dinilai oleh tingkat aliran Thrombolysis angiografik pada Myocardial
Infarction (TIMI). Grade flow TIMI berhubungan dengan outcome klinis. Dalam
90% dari pasien dengan STEMI, dapat pulih aliran darah epicardialnya, disebut
sebagai aliran TIMI grade 3, yang dicapai setelah PCI.
Beberapa penelitian telah memaparkan bahwa Myocardial Blush on Grade
(MBG) setelah PCI pada pasien ST-elevasi infark miokard (STEMI) memiliki
nilai prognostik untuk hasil klinis jangka panjang. Namun tidak ada penelitian
yang menentukan penggunaan klinis dari MBG dalam praktek klinis rutin.
Flow Diagram Inclusion (AHA journal, 2010)

Diagram 1.1 Studi pada pasien dengan STEMI, ketika nilai aliran TIMI dan MBG
selama PCI.

38

Penilaian MBG dan TIMI pada PCI dengan pemberian trombolitik


Stent koroner dan agen farmakologis termasuk ajuvan inhibitor reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dan thienopyridines telah terbukti meningkatkan efektivitas
PCI. Namun bahan atherothrombotik dari lesi koroner selama PCI dapat
mengakibatkan embolisasi distal yang mengarah yang sering disebut sebagai
"fenomena no- reflow, fenomena ini ditandai dengan aliran yang tidak memadai
di tingkat jaringan jantung meskipun pembuluh koroner paten, sering
didefinisikan sebagai Thrombolysis in Myocardial Infark ( TIMI ) dan Myocardial
Bulsh on Grade (MBG ). Tidak ada reflow telah dikaitkan dengan infark yang
lebih besar, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri yang signifikan, dan peningkatan
risiko major adverse cardiovascular event ( MACE ) atau kematian . Tergantung
pada definisi klinis yang tepat digunaka, kejadian tidak adanya reflow ini telah
ditemukan berkisar 12-39 persen pasien yang menjalani PCI.

DAFTAR PUSTAKA

39

1. Myocardial Blush Grade: An Interventional Method for


Assessing

Myocardial

Perfusion.

http://www.ima.org.il/FilesUpload/IMAJ/0/44/22037.pdf.
Diunduh tanggal 12 januari 2014.
2. Angiographic Assessment of Reperfusion
Myocardial

Infarction

by

Myocardial

in

Blush

Acute
Grade.

http://circ.ahajournals.org/content/107/16/2115.full.pdf
3. Impact of myocardial Blush on left ventricular remodeling
after

First

successfully

anterior
with

myocardial
Primary

infarction

coronary

treated

intervention

http://www.ima.org.il/FilesUpload/IMAJ/0/39/19767.pdf
4. ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation
Myocardial Infarction: Circulation. 2013;127:529-555.
6. S. Rasoul, J-H.E. Dambrink, A. Breeman, A. Elvan, and A.W.J.
van t Hof. The relation between myocardial blush grade
and myocardial contrast echocardiography: which one is a
better predictor of myocardial damage?. 2013. Neth. Heart
J. 2010 January; 18(1): 2530.
7. Marthe A. Kampinga, MD, et al. Is the Myocardial Blush
Grade

Scored

by

the

Operator

During

Primary

Percutaneous Coronary Intervention of Prognostic Value in


Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction in Routine
Clinical Practice?. AHA Journal, 2010. 216-225.
8. Stroupe KT, Morrison DA, Hlatky MA, Barnett PG, Cao L,
Lyttle C, Hynes DM, Henderson WG (September 2006).
"Cost-effectiveness of coronary artery bypass grafts versus
percutaneous coronary intervention for revascularization of
high-risk patients". AHA Journl 2012. Circulation 114 (12):
12511257

40

9. Gibson

CM,

Schomig

A.

Coronary

and

myocardial

angiography: angiographic assessment of both epicardial


and myocardial perfusion. Circulation. 2004; 109: 30963105.
10.

Charles J.D., & Robert O.B. Cardiac Catheterization.

In: John F. Kennedy. Editor. Braunwalds Heart Disease: A


Textbook of Cardiovascular Medicine. 9th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2012. p. 383-404
11.
David P.F., & Jane A.L.

Diagnostic

Cardiac

Catheterization and Coronary Angiography: Introduction.


In: Faucis, et al. Editor. Harrisons: Principles of Internal
Medicine. 8th ed.USA: McGraw-Hill; 2012.

41

Anda mungkin juga menyukai