Anda di halaman 1dari 13

PRESENTASI KASUS

LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA

Di Susun untuk Memenuhi Tugas


Stase Keperawatan Gawat Darurat

DI SUSUN OLEH :
RUSDIDA TIGONO
J230.145.106

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMMADIYAH SURAKARTA
2014

LAPORAN PENDAHULUAN
CIDERA KEPALA
A. KONSEP DASAR MEDIS
1. PENGERTIAN
Cidera kepala adalah trauma pada otak yang disebabkan adanya kekuatan
fisik dari luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran. Akibatnya
dapat menyebabkan gangguan kognitif, gangguan tingkah laku, atau fungsi
emosional. Gangguan ini dapat bersifat sementara atau permanen, menimbulkan
kecacatan baik partial atau total dan juga gangguan psikososial (Oman, 2008).
Cidera kepala adalah suatu keadaan traumatik yang mengenai otak dan
menyebabkan perubahan-perubahan fisik, intelektual, emosional, social, dan
vokasional (Satyanegara, 2010).
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Morton, 2012).
2. ETIOLOGI
Menurut Morton (2012), penyebab cedera kepala meliputi :
a. Cidera setempat (benda tajam)
Misalnya : pisau, peluru atau berasal dari serpihan atau pecahan dari fraktur
tengkorak. Trauma benda tajam yang masuk kedalam tubuh merupakan trauma
yang dapat menyebabkan cidera setempat atau kerusakan terjadi terbatas
dimana benda tersebut merobek otak.
b. Cidera Difus (cidera tumpul)
Misalnya : terkena pukulan atau benturan. Trauma oleh benda tumpul dapat
menyebabkan/menimbulkan kerusakan menyeluruh (difuse) karena kekuatan
benturan. Terjadi penyerapan kekuatan oleh lapisan pelindung seperti : rambut,
kulit, kepala, tengkorak. Pada trauma berat sisa energi diteruskan keotak dan
menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang perjalanan pada jaringan
otak sehingga dipandang lebih berat. Berat ringannya masalah yg timbul akibat
trauma bergantung pd beberapa factor yaitu :
1) Lokasi benturan.
2) Adanya penyerta seperti : fraktur, hemoragik.
3) Kekuatan benturan.
4) Efek dari akselerasi (benda bergerak membentur kepala diam) dan
deselerasi (kepala bergerak membentur benda yang diam).
5) Ada tidaknya rotasi saat benturan.
Dapat pula dibagi menjadi :

1) Trauma primer : Terjadi karena benturan langsung ataupun tak langsung


(akselerasi/deselerasi otak).
2) Trauma otak sekunder : Merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson)
yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi
sistemik.
3. KLASIFIKASI
Klasifikasi cedera kepala menurut Nurarif (2013), antara lain :
a. Cidera kepala ringan
Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran < 30 menit tapi ada
yang menyebut < 2 jam, tidak ada penyerta seperti fraktur tengkorak, kontusio
atau hematoma. Frekuensi 55%.
b. Cidera kepala sedang
Jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit- 24 jam
ada juga yang menyebut antara 2-5 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak,
disorentasi ringan (bingung). Frekuensinya 24%.
c. Cidera kepala berat
Jika GCS 3-8, hilang kesadaran > 24 jam, juga meliputi kontusio cerebral,
laserasi, atau hematoma intrakranial. Frekuensi 21%.
4. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Muttaqin (2008), manifestasi klinis yang biasa timbul pada kasus cedera
kepala di antaranya :
a. Hilangnya kesadaran.
b. Perdarahan dibelakang membrane timpani.
c. Ekimosis pada periorbital.
d. Mual dan muntah.
e. Pusing kepala.
f. Terdapat hematom.
g. Bila fraktur mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorhea) bila fraktur tulang temporal.
Perdarahan yang sering ditemukan, antara lain :
a. Epidural hematom (EDH) : Terdapat pengumpulan darah diantara tulang
tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang
arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak
dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam
beberapa jam sampai 1 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus
temporalis dan parietalis. Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri
kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan
cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.

b. Subdural hematoma (SDH) : Terkumpulnya darah antara duramater dan


jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam 2 hari atau 2
minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda
dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat,
kejang dan edema pupil.
c. Perdarahan intraserebral : Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya
pembuluh darah arteri, kapiler, vena. Tanda dan gejala : nyeri kepala,
penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi
pupil, perubahan tanda-tanda vital.
d. Perdarahan subarachnoid : Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat
robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera
kepala yang hebat. Tanda dan gejala : nyeri kepala, penurunan kesadaran,
hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

5. PATOFISIOLOGI
Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema,
dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera
kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu
proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan
memberi dampak cedera jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat
cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan serebral menimbulkan hematoma, misalnya pada epidural
hematoma yaitu berkumpulnya antara periosteum tengkorak dengan durameter,
subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter

dengan sub arakhnoid dan intra serebral hematom adalah berkumpulnya darah di
dalam jaringan serebral. Kematian pada cedera kepala disebabkan karena hipotensi
karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi
jaringan serebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007).

6. PATHWAY
Cedera Kepala

TIK - oedem
- hematom
Respon biologi

Hypoxemia
Kelainan metabolisme

Cidera otak primer

Cidera otak sekunder

Kontusio
Laserasi

Kerusakan Sel otak

Gangguan autoregulasi

rangsangan simpatis

Stress

Aliran darah ke otak

tahanan vaskuler

katekolamin

Sistemik & TD

sekresi asam lambung

O2 ggan metabolisme

tek. Pemb.darah

Mual, muntah

Pulmonal
Asam laktat

Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang

tek. Hidrostatik

Dari Kebutuhan Tubuh


Oedem otak

kebocoran cairan kapiler

Resiko Ketidakefektifan

Oedema paru

Cardiac output

Perfusi Jaringan Otak


Difusi O2 terhambat
Nyeri Akut

Hipoksemia, hiperkapnea

Ketidakefektifan Pola Nafas

Gangguan perfusi jaringan


Kelemahan Umum

Intoleransi aktivitas

(Price & Wilson, 2006)


7. KOMPLIKASI
Komplikasi dan akibat cedera kepala menurut Ginsberg (2007), yaitu :
a. Gejala sisa cedera kepala berat
Bahkan setelah cedera kepala berat kebanyakan pasien dapat kembali mandiri.
Akan tetapi, beberapa pasien dapat mengalami ketidakmampuan baik secara
fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf kranial) dan mental (gangguan kognitif,
perubahan kepribadian).
b. Kebocoran cairan serebrospinal
Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan antara rongga
subaraknoid dan telinga tengah sinus paranasal akibat fraktur basis hanya kecil
dan tertutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin
mengalami meningitis dikemudian hari.
c. Epilepsi pascatrauma
Terutama terjadi pada pasien yng mengalami kejang awal (dalam minggu
pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari 24 jam),
fraktur depresi kranium, atau hematoma intracranial.
d. Sindrom pascakonkusi
Nyeri kepala, vertigo, depresi dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan
setelah cidera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestibular.
e. Hematoma subdural kronik

Komplikasi lanjut cedera kepala ini (dapat terjadi pada cedera kepala ringan).
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada pasien cedera kepala menurut Dewanto (2009), yaitu:
a. Pemeriksaan laboratorium :
1) Hb : Sebagai salah satu pertanda adanya perdarahan yang berat.
2) Leukosit : Merupakan salah satu indicator berat ringannya cidera kepala
yang terjadi.
3) Golongan darah : Untuk persiapan bila diperlukan transfusi darah pada
kasus perdarahan yang berat.
4) GDS : Digunakan untuk memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemia,
maupun hiperglikemia. Hipoglikemia dapat menyebabkan kesadaran
menurun, sedangkan hiperglikemia reaktif merupakan salah satu resiko
kematian.
5) AGD : PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah akan memberikan
prognosis yang kurang baik, oleh karenanya perlu dikontrol agar PO2>90
mmHg, SAO2 > 95% dan PCO2 30-35 mmHg.
6) Pemeriksaan elektrolit : Mengetahui apakah ada dalam keadaan normal
atau tidak. Adanya gangguan elektrolit menyebabkan gangguan penurunan
kesadaran.
b. Pemeriksaan diagnostic
1) CT- Scan (dengan tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan
perubahan jaringan otak.
2) Cerebral Angiography
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
3) MRI
4) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5) X Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur garis
( perdarahan / edema ), fragmen tulang.
6) Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
a. Pengkajian Primer
1) Airway
a) Bagaimana kepatenan jalan nafas.
b) Apakah ada sumbatan atau penumpukan sekret.
c) Bagaimana bunyi nafasnya, apakah ada nafas tambahan.
2) Breathing
a) Bagaimana pola nafasnya, frekuensinya, kedalaman dan iramanya.
b) Apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan.
c) Apakah ada bunyi nafas tambahan.
3) Circulation
a) Bagaimana dengan nadi perifer dan nadi karotis kualitas (isi dan
tegangan).
b) Bagaimana capillary refillnya, apakah ada akral dingin, sianosis, atau
oliguria.
c) Apakah ada penurunan kesadaran.
d) Bagaimana tanda-tanda vitalnya.
4) Disability
a) Status mental.
b) Tingkat kesadaran GCS.
5) Exposure
Keadaan kulit seperti turgor/ kelainan kulit
b. Pengkajian sekunder
AMPLE
1) Alergi : apakah ada riwayat alergi obat atau makanan.
2) Medikasi : riwayat pengobatan sebelumnya.
3) Pastillnes : riwayat penyakit sebelumnya.
4) Last meal : makanan terakhir yang dimakan/ program diit sebelumnya.
5) Environment : lingkungan tempat tinggal klien.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
ruangan untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat pernapasan otak).
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrient.
e. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
ruangan untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral.
Definisi : Beresiko mengalami penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat
mengganggu kesehatana.
NOC :
1) Circulation status.
2) Tissue Prefusion : cerebral.
Kriteria Hasil :
1) Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial (tidak lebih dari 15
mmHg).
2) Tekanan darah dalam batas normal.
Intervensi/NIC :
1) Kaji status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
(seperti GCS).
2) Ukur tanda-tanda vital.
3) Berikan posisi yang nyaman (kepala/leher pada posisi tengah atau posisi
sejajar, hindari pemakaian bantal besar pada kepala).
4) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
5) Berikan obat-obatan sesuai indikasi.

b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler


(cedera pada pusat pernapasan otak).

Definisi : Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi.


NOC :
1) Respiratory status : Ventilation.
2) Respiratory status : Airway patency.
3) Vital sign status.
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan kepatenan jalan nafas.
2) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi/NIC :
1) Kaji frekuensi irama dan kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan
pernafasan.
2) Catat kopetensi reflek gigi/menelan dan kemampuan klien untuk melindungi
nafas.
3) Ukur vital sign.
4) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
5) Anjurkan klien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika klien sadar.
6) Kolaborasi dalam pemberian oksigen.
7) Kolaborasi dalam pemeriksaan gas darah.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
Definisi : Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial.
NOC :
1) Pain level.
2) Pain control.
3) Comfort level.
Kriteria Hasil :
1) Mampu mengontrol nyeri.
2) Nyeri berkurang.
3) Mampu mengenali nyeri.
4) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
5) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
Intervensi/NIC :
1) Kaji nyeri secara komprehensif (PQRST).
2) Ukur vital sign.
3) Berikan posisi yang nyaman.
4) Ajarkan teknik non farmakologi (relaksasi/nafas dalam).
5) Kolaborasi dalam pemberian analgetik.

10

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrient.
Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
NOC :
1) Nutritional status :
2) Nutritional status : Food and fluid intake.
3) Nutritional status : Nutrient intake.
Kriteria Hasil :
1) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
2) Adanya peningkatan nafsu makan.
Intervensi/NIC :
1) Kaji nafsu makan klien.
2) Kaji mual dan muntah.
3) Anjurkan klien untuk makan sedikit tapi sering.
4) Anjurkan klien untuk makan makanan dalam keadaan hangat.
5) Jelaskan kepada klien dan keluarga tentang kebutuhan nutrisi.
6) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan klien.
e. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Definisi : Ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melnjutkan atau
menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin
dilakukan.
NOC :
1) Energy conservation.
2) Activity tolerance.
3) Self care.
Kriteria Hasil :
1) Berpartisifasi dalam aktifitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah,
nadi dan RR.
2) Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri.
3) Tanda-tanda vital dalam rentang normal.
4) Level kelemahan.
5) Sirkulasi status baik.
6) Status respirasi : pertukaran gas dan ventilasi adekuat.
Intervensi/NIC :
1) Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan.
2) Bantu klien untuk memilih posisi nyaman untuk istirahat atau tidur.
3) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.
4) Dorong klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan.
5) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai
indikasi.

11

DAFTAR PUSTAKA
Dewanto, George et.al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit
Saraf. Jakarta :EGC.
Ginsberg, L. 2007. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan; alih bahasa Indah
Retno; editor amalia safitri dan Rina Astikawati. Jakarta : Erlangga.
Morton. 2012. Keperawatan Kritis Volume 1 Edisi 8. Jakarta : EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Nurarif, Huda Amin. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan
Profesional. Yogyakarta : Media Action Publishing.
Oman, Kathlen et.al. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi; alih bahasa,
Andry Hartono; editor edisi bahasa indonesia, Nur Meity Sulistya Ayu. Jakarta :
EGC.
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6
Volume 1. Jakarta : EGC.
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Tangerang : Gramedia Pustaka
Utama.
Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
CV.Sagung Seto.

12

Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA,


Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

13

Anda mungkin juga menyukai