Anda di halaman 1dari 22

Laporan Resmi Praktikum Ekotoksikologi

TAHAPAN UJI EKOTOKSISITAS LARUTAN


SIPERMETRIN PADA IKAN NILA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktikum Ekotoksikologi

Disusun oleh :
Biologi Swadana 2011

PRODI BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013

A. LATAR BELAKANG
Sipermertin merupakan insektisida golongan organoklorin yang
digunakan untuk mengendalikan hama pada kapas dan sayuran. Sama halnya
dengan insektisida golongan organoklorin dan organofosfat, tidak dipungkiri
bahwa senyawa ini juga memiliki dampak negatif bagi makluk hidup dan
lingkungan jika penggunaannya tidak bijaksana. Sipermetrin sangat bersifat
toksik bagi ikan dan makhluk invertebratara yang hidup di air. Senyawa ini
juga berbahaya bagi manusia karena merupakan racun yang menyerang sistem
saraf, menekan sistem kekebalan tubuh dan menghambat pembentukan
antibodi terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikroba.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara menentukan ambang atas dan ambang bawah dalam
melakukan uji pendahuluan toksisitas larutan sipermetrin terhadap ikan
nila?
2. Bagaimana cara melakukan uji sesungguhnya (uji definitif) toksisitas
larutan sipermetrin terhadap ikan nila?
3. Berapakah konsentrasi yang dapat digunakan sebagai dasar uji kadar aman?
4. Berapakah konsentrasi yang digunakan dalam dasar penentuan tingkat
toksisitas racun larutan sipermetrin pada ikan nila?
C. TUJUAN
1. Mengetahui cara untuk menentukan ambang atas dan ambang bawah dalam
melakukan uji pendahuluan toksisitas larutan sipermetrin terhadap ikan
nila.

2. Mengetahui cara melakukan uji sesungguhnya toksisitas larutan sipermetrin


terhadap ikan nila.
3. Mengetahui berapa konsentrasi yang dapat digunakan sebagai dasar uji
kadar aman.
4. Mengetahui berapa konsentrasi yang digunakan dalam dasar penentuan
tingkat toksisitas racun larutan sipermetrin pada ikan nila.
BAB 2
DASAR TEORI
A. Toksikologi
a. Pengertian Toksikologi
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan
kimia (Casarett and Doulls, 1995). Selain itu toksikologi juga mempelajari
jejas/kerusakan/ cedera pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang
diakibatkan oleh suatu materi substansi/energi, mempelajari racun, tidak
saja efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme
dan mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme. Banyak
sekali peran toksikologi dalam kehidupan sehari-hari tetapi bila dikaitkan
dengan

lingkungan

dikenal

istilah

toksikologi

lingkungan

dan

ekotoksikologi.
Dua kata toksikologi lingkungan dengan ekotoksikologi yang hampir
sama maknanya ini sering sekali menjadi perdebatan. Toksikologi
lingkungan adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik yang
dihasilkan dari suatu kegiatan dan menimbulkan pencemaran lingkungan
(Cassaret, 2000) dan Ekotoksikologi adalah ilmu yang mempelajari racun
kimia dan fisik pada mahluk hidup, khususnya populasi dan komunitas
termasuk ekosistem, termasuk jalan masuknya agen dan interaksi dengan
lingkungan (Butler, 1978). Dengan demikian ekotoksikologi merupakan
bagian dari toksikologi lingkungan. Kebutuhan akan toksikologi lingkungan
meningkat ditinjau dari:
1) Proses Modernisasi yang akan menaikan konsumsi sehingga produksi
juga harus meningkat, dengan demikian industrialisasi dan penggunaan

energi akan meningkat yang tentunya akan meningkatkan resiko


toksikologis.
2) Proses industrialisasi akan memanfaatkan bahan baku kimia, fisika,
biologi yang akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair, dan
padat yang meningkat. Buangan ini tentunya akan menimbulkan
perubahan kualitas lingkungan yang mengakibatkan resiko pencemaran,
sehingga resiko toksikologi juga akan meningkat.
Tujuan Toksikologi Lingkungan adalah:
1) Mencari substansi yang aman, yang berarti dapat mempelajari
mekanisme racun terhadap organisme.
2) Mencegah terjadinya efek yang tidak dikehendaki terhadap organisme
dan lingkungan yang berarti harus dapat mengidentifikasi secara
kuantitatif racun yang ada di dalam organisme, udara, air. tanah.
3) Membuat kriteria dasar untuk standarisasi
4) Dapat memperbaiki cara pengobatan keracunan/ membuat antidotum
Bila zat toksik ini masuk ke dalam tubuh, dan menimbulkan efek,
maka hal ini yang dikatakan sebagai keracunan atau dengan kata lain adalah
keadaan tidak normal akibat efek racun karena kecelakaan, bunuh diri,
tindak kriminal, jabatan. Efek keracunan yang terjadi dapat bersifat akut,
sub-akut, khronis, delayed. Hal ini ditentukan oleh waktu, lokasi organ
(lokal/sistemik). Kemampuan racun untuk menimbulkan kerusakan apabila
masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ yang rentan disebut toksisitas.
Toksisitas dapat ditentukan dari beberapa faktor yaitu :
1) Spesies (jenis mahluk hidup: hewan, manusia, tumbuhan)
2) Portal of entry, cara masuknya zat racun tersebut: kulit, pernafasan dan
mulut
3) Bentuk/ sifat kimia fisik dll
Di dalam lingkungan dikenal zat xenobiotik yaitu zat yang asing bagi
tubuh, dapat diperoleh dari luar tubuh (eksogen) maupun dari dalam tubuh
(endogen). Xenobiotik yang dari luar tubuh dapat dihasilkan dari suatu
kegiatan atau aktivitas manusia dan masuk ke dalam lingkungan. Bila

organisme terpajan oleh zat xenobiotik maka zat ini akan masuk ke dalam
organisme dan dapat menimbulkan efek biologis.
Zat toksik atau racun dapat diklasifikasikan atas dasar: sumber, jenis,
wujud, sifat kimia/ fisik, terbentuk dan efek kesehatan.
1) Sumber
a) Alamiah
b) Buatan
c) Domestic, industrial, komersial
2) Jenis
3) Wujud: padat, gas, cair.
4) Sifat kimia/fisik: korosif, radioaktif, evaporative, explosive, reaktif
5) Terbentuknya: primer, sekunder, tersier.
6) Efek bagi kesehatan:
a) Fibrosis : Pertumbuhan jaringan ikat dalam jumlah yang berlebihan
(silikosis,cobaltosis, baritosis, asbestosis, bagasosis dll)
b) Granuloma : Benjolan akibat proses peradangan menahun (berilicosis)
c) Demam : Meningkatnya temperatur tubuh (Mn,Zn,Sn, As, Cd)
d) Asphyxia : keadaan dimana darah & jaringan keurangan O2
e) Alergi : Reaksi berlebih terhadap materi tertentu (debu organik &
anorganik)
f) Kanker : Pertumbuhan sel yang tidak terkendali ( benzidin& garamgaram, Cr)
g) Mutasi : Perubahan susunan & jumlah gen (radioaktif)
h) Teratogen: Cacat (redioaktif, helium)

i) Sistemik : Racun yang menyerang hambpir ke seluruh organ tubuh


(Pb,Hg,Cd,F,Va,Ti,Tel)
j) Ekonomik : racun yang dibuat dan diperlukan untuk pembangunan
(pestisida,

insektisida)

b. Analisis/ Uji Toksisitas


Dalam Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 pasal 6 disebutkan
bahwa limbah B-3 dapat diidentifikasi menurut sumber atau uji karakterisasi
atau uji toksisitas. Uji toksisitas adalah untuk menentukan sifat akut atau
khronik limbah. Pada dasarnya pengujian toksisitas bertujuan untuk menilai
efek racun terhadap organisme, menganalisis secara obyektif resiko yang
dihadapi akibat adanya racun di lingkungan.
Toksisitas akut terjadi pada dosis tinggi, waktu pemaparan pendek
dengan efek parah dan mendadak, dimana organ absorpsi dan eksresi yang
terkena. Sedangkan toksisitas khronis terjadi pada dosis tidak tinggi
pemaparan menahun, gejala tidak mendadak atau gradual, intensitas efek
dapat parah/ tidak. Jenis uji yang digunakan tergantung pada penggunaan
zat kimia dan manusia yang terpapar. Ada beberapa tingkatan dalam uji
toksisitas.
1) Tingkat 1 Uji pemaparan akut :
a) Menggambar

kurva

dosis

dan

respon

untuk

kematian

dan

kemungkinan cacat tubuh


b) Uji iritasi mata dan kulit
c) Membuat saringan pertama untuk mutagenik aktivitas
2) Tingkat 2. Uji pemaparan sub khronis
a) Menggambar kurva dosis dan respon (pajanan 90 hari) dalam 2
spesies, sebaiknya uji

ini menggunakan rute pajanan pada manusia

b) Uji toksisitas pda organ, catat kematian, penurunan berat badan,


hematologi, dan kimia

klinis, membuat sayatan dari jaringan secara

mikroskopis.
c) Menyiapkan saringan kedua untuk aktifitas mutagenik
d) Uji reproduktif dan cacat lahir (teratologi)
e) Uji pharmakokinetik dari hewan uji : absorbsi, distribusi, metabolisme
dan eliminasi dari

zat dalam tubuh

f) Melakukan uji perilaku


g) Uji sinergisme, potensiasi, dan antagonisme
3) Tingkat 3 Uji pajanan khronis
a) Melakukan uji mutagenicity pada hewan mamalia
b) Melakukan uji karsinogenisisi pada hewan pengerat
c) Menguji farmakokinetik pada manusia
d) Melakukan uji coba klinis pada manusia
e) Bandingkan dengan data epidemiologi dari pajanan akut dan kronis

Uji toksisitas dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.


1) Uji Toksisitas Kuantitatif
Uji toksisitas kuantitatif misalnya dilihat dari segi organ yang
terkena racun, misalnya hati, ginjal, sistem saraf dll. Uji toksisitas
kuantitatif dapat juga dilihat dari gejala yang timbul mekanisme racun

terhadap organ mulai pada tingkat selluler, ke tingkat jaringan, dan


sampai pada tingkat organ, serta menimbulkan gejala gejala fibrosis,
granuloma, karsinogenik, teratogenik dll. Dan banyak lagi zat kimia
dalam betuk logam dan non logam yang juga dapat menyebabkan efek
seperti disebut di atas.
2) Uji/Analisis Toksisitas Kuantitatif
Uji toksisitas secara kuantitatif dapat ditinjau dari lamanya waktu,
yang dapat diklasifikasikan menjadi toksisitas akut, sub-akut, khronis.
Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multipel
dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu
singkat, biasanya reversibel. Toksisitas khronis sifatnya permanen, lama,
konstan,

kontinu,

irreversibel

Uji toksisitas atas dasar dosis dan waktu berarti spesifik toksisitas akut/
khronis.
Dosis adalah jumlah racun yang masuk ke dalam tubuh, besar,
kecilnya menentukan efek. Sedangkan efek dosis ini merupakan fungsi
dari usia, jenis kelamin, berat badan, portal of entry, frekuensi, interval
waktu, kecepatan eksresi, kombinasi dengan zat lain. Terdapat beberapa
istilah mengenai dosis yaitu yang umum digunakan adalah Lethal Dosis
(LD) : yaitu dosis yang mematikan X % hewan uji dengan satuan
berat/berat badan. Dikenal LD10, LD50, LD100, Min LD dan Dosis
Therapheutik yaitu dosis yang tepat untuk pengobatan. atau dapat juga
dilihat dari konsentrasi LC10, LC5O, LC100. Di dalam PP 18 tahun 1999
dikatakan bahwa limbah yang termasuk limbah B3 adalah limbah lain
yang apabila diuji dengan metoda toksikologi memiliki LD50 di bawah
nilai ambang batas yang telah ditetapkan yaitu 15 g/kg berat badan.
Sedangkan dalam PP No 85 tahun 1999 dikatakan bahwa bila nilai LD50
secara oral lebih besar dari 50 mg/kg berat badan, maka terhadap limbah
yang mengandung salah satu zat pencemar pada lampiran III PP tersebut

harus

dilakukan

evaluasi

sifat

khronis,

yaitu

mutagenisitas,

karsinogenisitas, teratogenisitas.
Uji toksisitas biasanya dilakukan dengan menggunakan hewan uji
seperti mencit, tikus, kelinci, monyet, anjing dan lain-lain. Pemilihan
hewan uji tergantung pada jenis toksikannya dan ketersediaan dana.
Setelah diperoleh hasil uji toksisitas, untuk dapat diketahui efeknya
terhadap manusia, maka perlu dilakukan extrapolasi.

c. Analisis Efek Bahaya dalam Ekotoksikologi


Di dalam ekotoksikologi komponen yang penting adalah integrasi
antara laboratorium dengan peneltian lapangan (Kenndall and Akerman,
1992). Pendekatan eksperimental digunakan dalam analisis bahan berbahaya
yang berpotensi menimbulkan efek dapat dikembangkan pada beberapa
tingkat yang berbeda kompleksitasnya, tergantung pada target dari studi
suatu organisasi misalnya satu spesies, populasi, komuniats atau ekosistem.
Hal ini tergantung pada tipenya seperti panjang dan pendeknya waktu
kematian, khronis atau respon pada sub-khronis, kerusakan reproduktif.
Sehingga

diperlukan

kesepakatan

diantara

kenyataan

ekologi

dan

kesederhanaan dalam prosedur serta interpretasi hasil.


d. Jenis-Jenis Uji Ekotoksikologi
Dalam uji ekotoksikologi terdapat lima jenis uji yang ditentukan
berkaintan dengan keperluan yang berbeda. Biasanya digunakan pada ikan
(Alabaster and Lioyd, 1982), tetapi hal ini akan lebih mudah diterapkan
pada tipe organisme , air dan terestrial. Kelima jenis uji tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Skrining toksisitas dari zat kimia, secara teoritis, semua bahan kimia
dapat ditemukan di dalam lingkungan akuatik sebagai hasil dari
pembuangan, atau sebagai tempat akhir yang berasal dari air, tanah dan

udara. Jenis uji ini juga digunakan untuk menentukan kemampuan


toksisitas dari suatu kelompok zat kimia atau produk yang mungkin
ditemukan selama perjalanan masuk ke sungai atau danau, sehingga
penggunaan bahan berbahaya daoat du unvestigasi. Uji ini sudah menjadi
standar.
2) Pemantauan toksisitas dari sumber limbah atau tempat pembuangan
akhir, umumnya standar kualitas untuk efluen/ keluaran dipecahkan
dengan analisis kimia. Walaupun kandungan efluen tercampur dan
kompleks, yang sangat berbahaya bagi perikanan dan sukar untuk
dianalisis, uji toksisitas pada ikan digunakan untuk mengestimasi risiko
dan uji sederhana digunakan untuk pemantauan dari efluen. Uji ini
disebut sebagai uji pemantauan efluen dan dinyatakan dalam penampilan
yang sama untuk badan air penerima.
3) Pemantauan toksisitas untuk pengajuan peraturan, standar kualitas untuk
efluen yang diuraikan di atas perlu dilegalkan, penetapan batas, membuat
prosedur standar adalah penting untuk menetapkan bukti pada bagian
hukum. Dengan membandingkan dengan standar toksisitas ikan.
4) Analisis sensitivitas dari lingkungan alamiah, telah diterangkan di atas
bahwa sungai dapat terkontaminasi oleh berbagai sumber yang membawa
bahaya bagi pengguna air di bagian hilir.
5) Uji kriteria kualitas air, banyak sekali pencemaran lingkungan yang
terjadi pada lingkungan air sebagai tempat akhir pembuangan baik
industri maupun rumah tangga.Beberapa zat kimi akab berada dalam
ekosistem dalam waktu yang cukup lama, mungkin juga permanen,
sehingga perlu dilakukan analisis bahaya, formulasi kriteria kualitas air
dan standar kualitas air.
B. Ikan Nila
Ikan nila berasal dari sungai Nil di Uganda yang telah
berimigrasi ke selatan melewati danau Raft dan Tanganyika
(Tanbiyaskur, 2011). Budidaya ikan nila dapat ditelusuri ke

Mesir kuno seperti yang digambarkan pada relief dari sebuah


makam Mesir sejak lebih dari 3000 tahun yang lalu, hal ini
ditunjukkan dengan adanya kolam hias. Distribusi jenis ikan ini
sudah lama meningkat terutama ikan mujair yang terjadi pada
tahun 1940-1950 sedangkan distribusi ikan nila terjadi selama
tahun 1960-1980. Ikan nila dari Jepang diperkenalkan ke
Thailand pada tahun 1965, kemudian dari Thailand dikirim ke
Filipina. Ikan nila dari Pantai Gading diperkenalkan ke Brazil
pada tahun 1971, lalu dari Brazil dikirim ke Amerika Serikat
pada tahun 1974. Pada tahun 1978, ikan nila diperkenalkan di
Cina, yang sekarang memimpin dunia dalam produksi ikan nila
yang secara konsisten memproduksi lebih dari setengah
produksi global dari tahun 1992-2003 (FAO, 2003).
Ikan nila diperkenalkan pertama sekali di Indonesia pada
tahun 1969 dari Taiwan (Tanbiyaskur, 2011), akan tetapi
budidaya secara intensif dilakukan mulai pada tahun 1980-an
(Rochdianto, 2009), lalu disebar ke seluruh tanah air oleh Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT). Budidaya
ikan nila dapat dilakukan pada kolam, danau, sungai yang
berada di desa atau luar kota yang airnya bersih. Hal ini dapat
dilakukan karena pada dasarnya ikan ini memiliki kisaran
toleransi yang luas terhadap lingkungan. Jenis nila yang masuk
ke Indonesia pertama kali adalah jenis Oreochromis niloticus
dan nila jenis Mozambigue yang lebih dikenaldengan nama
mujair (Pandre, 2010).
Menurut Saanin
niloticus) mempunyai
Filum
:
Subfilum :
Kelas
:
Subkelas :
Ordo
:
Subordo :

(1984),

ikan

nila

klasifikasi sebagai berikut:


Chordata
Vertebrata
Osteichtyes
Acanthopterygii
Percomorphi
Percoidea

(Oreochromis

Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus
Ikan nila memiliki ciri morfologis yaitu berjari-jari keras,
sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk
meruncing. Selain itu, tanda lainnya yang dapat dilihat dari
ikan

nila

adalah

warna

tubuhnya

hitam

dan

agak

keputihan. Bagian tutup insang berwarna putih, sedangkan


pada nila lokal putih agak kehitaman bahkan kuning. Sisik
ikan

nila

Sepertiga

berukuran
sisik

besar,

belakang

kasar

menutupi

dan
sisi

tersusun rapi.
bagian

depan.

Tubuhnya memiliki garis linea lateralis yang terputus antara


bagian atas dan bawahnya. Linea lateralis bagian atas
memanjang mulai dari tutup insang hingga belakang sirip
punggung sampai pangkal sirip ekor. Ukuran kepala relatif
kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta mempunyai
mata yang besar (Kottelat et al. 1993).
Ikan nila merupakan spesies ikan tropis yang lebih suka
hidup di air dangkal (Trewavas, 1983). Secara morfologi ikan
nila memiliki bentuk tubuh pipih, sisik besar dan kasar, kepala
relatif kecil, garis linea lateralis terputus dan terbagi dua, yaitu
bagian atas dan bawah memiliki lima buah sirip. Toleransi ikan
ini terhadap perbedaan lingkungan sangat tinggi, dapat hidup
pada salinitas 0-29 permil, pada suhu14 0-380 C,dan pH 5-11,
merupakan omnivora yang sangat menyenangi pakan alami
berupa

rotifera,

Daphnia

sp.,

benthos,

perifiton

dan

fitoplankton, disamping itu, bisa juga diberi pakan seperti


pellet, dan dedak. Ikan ini dapat melakukan pemijahan
sepanjang tahun dan mulai memijah pada umur 6-8 bulan.
Seekor induk betina ukuran200-400 gram dapat menghasilkan
larva 500-1000 ekor (Rochdianto, 2009).

C. Sipermetrin
Sipermertin merupakan insektisida golongan organoklorin yang
digunakan untuk mengendalikan hama pada kapas dan sayuran. Penggunaan
sipermetrin sangat popular karena efektifitas dan harganya yang murah. Sama
halnya dengan insektisida golongan organoklorin dan organofosfat, tidak
dipungkiri bahwa senyawa ini juga memiliki dampak negatif bagi makluk
hidup dan lingkungan jika penggunaannya tidak bijaksana. Sipermetrin sangat
bersifat toksik bagi ikan dan makhluk invertebratara yang hidup di air.
Senyawa ini juga berbahaya bagi manusia karena merupakan racun yang
menyerang sistem saraf, menekan sistem kekebalan tubuh dan menghambat
pembentukan antibodi terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikroba.

BAB II
METODE PENELITIAN
A. VARIABEL PENELITIAN
Variabel control

: Jenis ikan

Variabel bebas

: Dosis sipermetrin

Variabel tergayut

: Mortalitas ikan nila

B. INSTRUMEN PENELITIAN
Alat:
Bak air 20 L (15 buah)
Gelas ukur 5 ml (1 buah)
Gelas beaker 100 ml (1 buah)
Gelas beaker 1 L (5 buah)
Pipet tetes (3 buah)
Bahan:
Larutan sipermetrin
Air
C. CARA KERJA
1. Uji Pendahuluan
a. Menyiapkan alat dan bahan, berupa gelas beker, gelas ukur, bak mandi,
ikan,air atau aquadest dan larutan sipermetrin.
b. Membuat larutan stok, dengan konsentrasi 1 %, kombinasinya 990 ml
aquadest ditambahkan 10 ml sipermetrin, kemudian melakukan
pengenceran berseri hingga pengenceran 10-5 (5 kali pengenceran). Setiap

pengenceran diambil 1 ml dari pengenceran sebelumnya kemudian


dimasukkan kedalam 100 ml air.
c. Mengisi bak dengan 10L air, bak yang digunakan sebanyak 15 buah
dimana setiap pengenceran masing-masing 3 kali pengulangan atau 3
bak.
d. Menyiapkan ikan nila sebanyak 150 ekor, dimana setiap bak berisi 10
ekor ikan nila.
e. Memasukkan 10 ml larutan sipermetrin yang telah diencerkan kedalam
masing-masing bak, dengan mengurangi 10ml air yang dibak terlebih
dahulu.
f. Kemudian memasukkan ikan nila nya dan diamati pengaruhnya.
2. Uji Lanjut/ Uji Definitif
a. Menyiapkan alat dan bahan berupa gelas beker, gelas ukur, bak mandi,
ikan, air atau aquadest dan larutan sipermetrin.
b. Membuat larutan stok dengan konsentrasi 1%, kombinasinya 99 ml air
dan 1 ml sipermetrin, kemudian melakukan pengenceran berseri dari
campuran pertama hingga pengenceran 10-2 (2 kali pengenceran). setiap
pengenceran diambil 1 ml dari pengenceran sebelumnya kemudian
dimasukkan kedalam 100 ml air.
c. Selanjutnya menyiapkan 10.000 ml air. 10.000 ml air ini dikurangi 100
ml, kemudian dimasukkan kedalamnya 100 ml larutan sipermetrin dari
pengenceran 10-2 sehingga menjadi larutan 10.000 ml konsentrasi 10 -4.
Larutan ini nanti akan menjadi larutan stok yang akan digunakan.
d. Mengisi bak mandi dengan 10.000ml air, bak yang digunakan sebanyak
15 buah.
e. Menyiapkan ikan nila sebanyak 150 ekor, dimana setiap bak berisi 10
ekor ikan nila.
f. Memasukkan larutan stok sipermetrin ke dalam bak dengan aturan
sebagai berikut:
o 3 ulangan untuk 150 ml
o 3 ulangan untuk 250 ml

o 3 ulangan untuk 390 ml


o 3 ulangan untuk 630 ml
o 3 ulangan untuk 890 ml
g. Memasukkan ikan ke dalam masing-masing bak dam mengamati
mortalitas ikan setiap 24 jam selama 96 jam.

3. Uji Dasar Kadar Aman


Menganalisis hasil pada uji lanjutan dengan analisis SPSS
menggunakan teknik analisis Probit.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL UJI PENDAHULUAN
Konsentrasi
10-1

Ulangan ke2

-2

10

10

10

10

Ikan semua mati


Ikan semua mati
Ikan semua mati

08.29

08.30

Ikan semua mati


Ikan semua mati
Ikan mati 3 ; hidup 7

08.37

3
1
2

Ikan semua mati


Ikan semua mati
Ikan semua mati

3
1
2

-5

08.28

3
1
2

-4

Keterangan
Ikan semua mati

3
1
2

-3

Waktu memasukkan

Ikan mati 6 : hidup 4


Hidup semuanya
Ikan mati 2 ; hidup 9

08.38

Hidup semuanya
Hidup semuanya

B. PEMBAHASAN
Pada praktikum ekotoksikologi mengenai Tahapan Uji Ekotoksisitas
Larutan Sipermetrin Pada Ikan Nila yang bertujuan untuk mengetahui cara
melakukan uji pendahuluan toksisitas larutan sipermetrin terhadap ikan nila,
Mengetahui cara untuk melakukan uji sesungguhnya (uji definitif) toksisitas
larutan sipermetrin terhadap ikan nila, mengetahui berapa konsentrasi yang

dapat digunakan sebagai dasar uji kadar aman, dan mengetahui berapa
konsentrasi yang digunakan dalam dasar penentuan tingkat toksisitas racun
(skala Loomis) larutan sipermetrin pada ikan nila. Alat dan bahan yang
digunakan pada praktikum ini adalah, gelas ukur 5 ml, pipet tetes, gelas beaker
100 ml dan 1000 ml, 15 bak 20 L, larutan sipermetrin, dan air.
Untuk melakukan uji toksisitas ada beberapa tahapan uji yang harus
dilakukan yaitu, uji pendahuluan, uji sesungguhnya (uji definitif), uji kadar
aman (uji kronis), dan uji bioakumulasi (BCF= Bio Consentration Faktor).
Sedangkan untuk praktikum uji tahapan toksisitas ini praktikan hanya
melakukan dua uji yaitu uji pendahuluan selama 24 jam dan uji definitif
selama 96 jam untuk mengetahui dasar konsentrasi uji kadar aman dan dasar
penentuan tingkat toksisitas racun.
Uji pertama yang dilakukan adalah uji pendahuluan pertama melakukan
pengenceran larutan sipermetrin siapkan air pada gelas beker 1000 ml = 1 liter
dikurangi 10 ml dan masukkan larutan sipermetrin 10 ml lakukan pengenceran
sebanyak lima kali pengenceran dengan konsentasi 10 -1, 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5
(larutan stok), yang kemudian pada setiap pengenceran diambil

untuk

dimasukkan kedalam setiap bak dengan lima kali pengenceran setiap


pengenceran dilakukan tiga kali pengulangan, jumlah ikan pada setiap bak
adalah 10 ekor. Perlakuan dilakukan selama 48 jam dan diamati setiap 24 jam
sekali.
Dari data hasil pengamatan uji pendahuluan dapat diketahui sebagai
berikut: untuk masing-masing perlakuan mulai diamati pada konsentasi 10 -1
jam 08.28, 10-2 jam 08.29, 10-3 jam 08.30, 10-4 jam 08.37, dan 10-5 jam 08.38.
Setelah 24 jam didapati ikan pada bak dengan konsentrasi 10-1, 10-2, 10-3 mati
semua, sedangkan pada konsentrasi 10-4 ulangan 1 ikan yang mati 6, ulangan 2
mati 7, dan ulangan 3 mati 3. Dan pada konsentrasi 10 -5 ulangan 1 ikan yang
mati 6 ulangan 2 mati 3, dan ulangan 3 mati 1.
Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui ambang atas (AA) dan
ambang bawah (AB) serta untuk menentukan kisaran konsentrasi perlakuan.
Diketahui konsentrasi terendah di mana ikan mati semuanya pada pengenceran

10-3 sehingga ambang atasnya (AA) adalah larutan dengan pengenceran 10 -3


dan konsentrasi larutan yang menunjukkan hasil ikan nila masih hidup semua
pada pengenceran 10-5 sehingga ambang bawahnya (AB) adalah larutan dengan
pengenceran 10-5.
Uji selanjutnya adalah uji definitif, untuk menentukan konsentrasi larutan
uji pada uji definitif dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
log

N
a
=k (log )
n
n

keterangan:
N = konsentrasi AA
N = konsentrasi AB
k = variasi konsentrasi
a = konsentrasi terendah pada saat melakukan perlakuan
atau untuk lebih mudahnya menggunakan skala Doudoroff. Pada uji definitif
ini skala Doudoroff dibulatkan tanpa koma, sehingga menjadi 15, 25, 39, 63,
dan 89 untuk pengenceran 10-5. Dikarenakan larutan stok sipermetrin yang
digunakan adalah pengenceran 10-4 sehingga volume perlakuan dari skala
Doudoroff dikalikan 10 menjadi 150, 250, 390, 630, dan 890. Sehingga
didapatkan taraf perlakuan 150 x 10-4, 250 x 10-4, 390 x 10-4, 630 x 10-4, dan
890 x 10-4 dengan pengulangan masing-masing perlakuan tiga kali.
Setelah didapatkan taraf perlakuan untuk uji definitif, dilakukan
penerapan perlakuan tersebut pada ikan nila, uji definitif ini dilakukan selama
96 jam dengan pengamatan mortalitas ikan nila setiap 24 jam sekali. Dari data
mortalitas pada uji definitif digunakan untuk dasar uji kadar aman
menggunakan analisis Probit menggunakan program aplikasi SPSS. Hasil
pengamatan selama 96 jam dan analisis Probitnya adalah sebagai berikut.
Tabel Mortalitas Hasil Uji Definitif
Konsentras
i
150

Ket
Mati
Hidu

17-Okt
1
2
3
10 10 10

18-Okt
1
2
3
1
10 10
9

19-Okt
1
2
3
1
2
9
10
8

20-Okt
1
2
3
1
2
9
10
8

p
9,4175
Mati
Hidu
p

250

10

9,4175
Mati
Hidu
p

390

10

9,6675
Mati
Hidu
p

630

10

8,835
Mati
Hidu
p

890
9,165

10

10
-

10
10
-

10

10

10
10
-

10

10

10
9,33
-

10

10
10

10

9,67
1

9
9,67
-

10

10

10
10
1

10

9
9,67
1

10

9
9,33

10

9
2

8
9,33
-

10

10

10
9,67
2

10

8
8,33
1

10

9
9

10

9
3
7
8,67
1

9
9
2

8
7,67
2

8
8,33

Tabel Analisis Data Probit


Kadar
0,0150
0,0250
0,0390
0,0630
0,0890

Log-Kadar
-1,8200
-1,6000
-1,4000
-1,2000
1,0500

Viabilitas
9,4175
9,4175
9,6675
8,8350
9,1650

Total
10,000
10,000
10,000
10,000
10,000

Lc0,5 = 2,089
Kadar sesungguhnya invers log 2,089 = 122,740
Interpretasi data dari analisis tersebut adalah bahwa
pada uji ini taraf perlakuan pada uji definitif menggunakan
skala Doudoroff yang diberikan pada ikan nila masih masuk
dalam batas aman karena bioindikator (ikan nila) tetap
survive. Angka pada taraf perlakuan ini juga dapat dijadikan
dasar penentuan tingkat toksisitas racun larutan sipermetrin terhadap ikan
nila.

BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Menggunakan uji pendahuluan toksisitas larutan sipermetrin
dengan mengamati angka mortalitas ikan nila dalam perlakuan
didapatkan nilai ambang atasnya pada pengenceran 10 -3 dan
ambang

bawah pada

pengenceran 10 -5. Berdasarkan

nilai

ambang atas dan ambang bawah ini didapatkan taraf perlakuan


pada uji definitif menggunakan skala Doudoroff yakni 150 x 10-4,
250 x 10-4, 390 x 10-4, 630 x 10-4, dan 890 x 10-4. Mortalitas ikan dalam uji
definitif digunakan sebagai dasar penentuan tingkat toksisitas racun larutan
sipermetrin terhadap ikan nila.

DAFTAR PUSTAKA
Muregesan A.G, T. Jeyasanthi dan S. Maheswari, Isolationand
Characterization of Cypermethrin Utilizing Bacteria from
Brinjal Cultivated Soil, J. Microbiologi Research, pp. 4(1), 010013, (2010)
Tyler, C., 2000, Environmental Toxicology and Chemistry, pp. 19,
801-809
Bradbury, S. P. and Coats, J. R, 1989, Toxicokinetics and
Toxicodynamics of Pyrethroid Insecticides in Fish, J. Environ
Toxicol Chem, pp. 8:373380

Anda mungkin juga menyukai