Anda di halaman 1dari 6

BUAH SIMALAKAMA KENAIKAN BBM DAN KONDISI EKONOMI RAKYAT

OLEH:..
PENDAHULUAN
Mohon maaf kepada rakyat Indonesia, (harga) BBM akan naik, kata Jero Wacik di sela
menghadiri pengarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Raker 2012
Kementerian Luar Negeri.
Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) pada bulan
April ini menyebabkan adanya pro dan kontra di masyarakat. Salah satu alasan pemerintah yang
diungkapkan adalah naiknya harga minyak dunia sehingga subsidi BBM membebani anggaran
APBN pemerintah. Kenaikan BBM adalah salah satu solusi yang akan dilaksanakan dan tentu
saja membebani banyak masyarakat.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki berbagai sumber daya alam dan sumber
daya manusia Indonesia juga cukup besar baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Dibandingkan Negara lainnya potensi pasar Indonesia cukup besar sebut saja negara tetangga
seperti Singapura, Malaysia mereka sudah semakin maju. Bahkan Negara seperti Belanda, Swiss,
Jepang mereka Negara yang tidak memiliki sumber daya alam yang besar tetapi kemajuannya
luar biasa.
Mengapa Indonesia yang begitu banyak sumber daya alam dan manusianya belum
mampu seperti mereka?
ISI
Kenaikan BBM
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang peranan sangat vital
dalam semua aktifitas ekonomi. Dampak langsung perubahan harga minyak ini adalah
perubahan-perubahan biaya operasional yang mengakibatkan tingkat keuntungan kegiatan
investasi langsung terkoreksi. Secara sederhana tujuan investasi adalah untuk maksimisasi
kemakmuran melalui maksimisasi keuntungan, dan investor selalu berusaha mananamkan dana
pada investasi portofolio yang efisien dan relatif aman.
Kenaikan harga BBM bukan saja memperbesar beban masyarakat kecil pada umumnya
tetapi juga bagi dunia usaha pada khususnya. Hal ini dikarenakan terjadi kenaikan pada pos-pos
biaya produksi sehingga meningkatkan biaya secara keseluruhan dan mengakibatkan kenaikan
harga pokok produksi yang akhirnya akan menaikkan harga jual produk. Multiple efek dari
kenaikan BBM ini antara lain meningkatkan biaya overhead pabrik karena naiknya biaya bahan
baku, ongkos angkut ditambah pula tuntutan dari karyawan untuk menaikkan upah yang pada

akhirnya keuntungan perusahaan menjadi semakin kecil. Di lain pihak dengan kenaikan harga
Bahan Bakar Minyak tersebut akan memperberat beban hidup masyarakat yang pada akhirnya
akan menurunkan daya beli masyarakat secara keseluruhan. Turunnya daya beli masyarakat
mengakibatkan tidak terserapnya semua hasil produksi banyak perusahaan sehingga secara
keseluruhan akan menurunkan penjualan yang pada akhirnya juga akan menurunkan laba
perusahaan.
Kenaikan BBM Menyebabkan Inflasi
Kekhawatiran banyak kalangan atas dampak kenaikan harga bahan bakar minyak yang
sangat drastis menjadi kenyataan. Angka laju inflasi yang diumumkan dua hari sebelum Idul Fitri
betul-betul di luar dugaan hampir semua pemerhati ekonomi dan bahkan kalangan pemerintah
sendiri.
Sedikit flshback kebelakang dengan mengacu pada inflasi kumulatif Januari-September
2005 sebesar 9,1 persen, inflasi bulan Oktober sebesar 8,7 persen tentu saja tergolong luar biasa
sehingga membuat inflasi kumulatif Januari-Oktober menjadi 15,6 persen. Inflasi Oktober
berdasarkan perhitungan "tahun ke tahun" (year on year) lebih tinggi lagi, yakni 17,9 persen.
Berdasarkan angka-angka itu, laju inflasi tahun 2005 diperkirakan berkisar 16-18 persen atau
titik tengahnya adalah 17 persen.
Di awal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), seorang menteri ekonomi
menegaskan bisa menahan laju inflasi tahun 2005 di sekitar 10 persen. Lalu beberapa hari
kemudian dikoreksi menjadi kira-kira 12 persen, selanjutnya kembali dikoreksi menjadi 14
persen. Kali ini dan untuk ke sekian kalinya pemerintah salah langkah. Hitung-hitungan
pemerintah jelas keliru dan menyederhanakan masalah.
Memang disadari bahwa besarnya disparitas harga BBM di dalam dan luar negeri
menimbulkan banyak masalah. Namun, sangat tidak realistis untuk menyelesaikan semua
masalah itu sekaligus dengan hanya menggunakan satu jurus pamungkas, yakni kenaikan harga
BBM sebesar 114 persen berdasarkan rata-rata tertimbang.
Padahal, kaidah Tinbergen (Tinbergen's rule) mengatakan bahwa satu instrumen
kebijakan hanya bisa secara efektif menyelesaikan satu masalah saja. Memang pemerintah
menggulirkan beberapa obat penawar rasa sakit dalam bentuk paket insentif bagi dunia usaha
yang meliputi paket fiskal, reformasi di bidang tata niaga dan transportasi, serta kebijakan di
bidang perberasan.
Pemerintah juga mengucurkan dana bantuan langsung tunai (BLT) bagi setiap keluarga
miskin sebesar Rp 100.000 per bulan yang dibayarkan di muka sekaligus untuk tiga bulan.
Dengan BLT ini bahkan pemerintah sangat yakin bisa menekan jumlah orang miskinsungguh
suatu perhitungan yang teramat matematikstatik yang seolah-olah menempatkan 220 juta
penduduk Indonesia bagaikan mesin tanpa jiwa dan emosi di dalam laboratorium yang terisolasi.

Dengan mempertimbangkan bahwa paket insentif dan BLT sangat terbatas cakupannya
dan mengingat pula belum semua terwujud, serta masalah-masalah baru yang muncul sehingga
diragukan efektivitasnya, maka tohokan kenaikan harga BBM berpotensi menambah dan
memperpanjang penderitaan rakyat. Tanda-tanda ke arah sana sudah semakin nyata.
Berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga BBM pada 1
Oktober lalu berdampak seketika terhadap peningkatan pengangguran terbuka sebanyak 426.000
pekerja. Jajaran penganggur ini niscaya akan terus bertambah panjang dalam setahun ke depan
karena gelombang PHK akan terus berlanjut setelah Lebaran dan Tahun Baru nanti.
Tak seperti krisis tahun 1998 yang membuat banyak perusahaan besarterutama yang
banyak berutang dalam mata uang asing, memiliki kandungan impor yang besar, dan berorientasi
pada pasar dalam negeriterempas, sementara usaha kecil dan menengah (UKM) dan atau
sektor informal justru mampu bertahan, dampak kenaikan harga BBM kali ini lebih berat
dirasakan oleh UKM dan bersifat seketika. Padahal, UKM inilah yang menjadi penyerap tenaga
kerja terbesar.
Usaha berskala menengah-besar diperkirakan mulai mengalami tekanan serius pada tahap
selanjutnya. Salah satu penyebab utamanya ialah kenaikan tajam suku bunga pinjaman. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari keniscayaan Bank Indonesia untuk terus-menerus meredam
instabilitas makro-ekonomi. Pada hari yang bersamaan dengan pengumuman angka inflasi oleh
BPS, Bank Indonesia menaikkan BI Rate sebesar 125 basis poin menjadi 12,25 persen. Inilah
kenaikan BI Rate tertinggi sejak diperkenalkan untuk pertama kalinya pada 5 Juli tahun ini.
Karena negeri kita tergolong sebagai small open-economy yang menerapkan rezim devisa
bebas, sehingga membawa konsekuensi untuk menjaga interest rate differential dengan luar
negeri, maka hampir bisa dipastikan bahwa Bank Indonesia akan terus menaikkan BI Rate.
Jika ekspektasi masyarakat terhadap inflasi "manteng" pada angka 17 persen, maka suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor satu bulan hingga Desember akan bergerak cepat
ke tingkat 15 persen. Jika pada angka ini posisi rupiah terus mengalami tekanan "berat", maka
boleh jadi suku bunga SBI akan terus dinaikkan. Berdasarkan pengalaman dua tahun terakhir
saja, serta dengan mengambil selisih rata-rata suku bunga SBI bertenor satu bulan dan angka
inflasi yang amat konservatif sebesar 1-1,5 persen, maka suku bunga SBI berpotensi terus naik
mendekati 20 persen.
Menghadapi tekanan yang bertubi-tubi, termasuk kenaikan suku bunga pinjaman,
membuat dunia usaha kian kalang kabut.
Kenaikan suku bunga bisa diredam asalkan pergerakan nilai tukar rupiah agak dibiarkan
fleksibel. Karena, kiranya amat sulit mencapai target suku bunga rendah dan rupiah kuat
bersamaan. Pilihan pahit ini harus dipilih mau yang paling sedikit biayanya bagi perekonomian
atau yang mana.

Bagaimana jika kurs yang dibiarkan mengambang akan mengarah pada destabilizing
speculation? Pilihan ekstrem kalau memang suku bunga tinggi lebih memukul perekonomian
ialah mem-peg nilai rupiah. Sekalipun opsi ini sangat ditentang oleh penganut aliran ekonomi
mainstream, tak ada salahnya untuk mulai menghitung-hitung untung-rugi dan prakondisi yang
harus terpenuhi. Paling tidak pemberlakuannya bersifat darurat dan sangat sementara.
Tantangan jangka pendek ini harus dihadapi dengan sangat hati-hati. Segala tindakan
pemerintah harus betul-betul terukur. Kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal. Secara teknis,
kenaikan harga BBM tak mungkin lagi dikoreksi karena dampak terhadap kenaikan harga-harga
boleh dikatakan sudah terjadi penuh.
Akibat kenaikan harga BBM yang tak kepalang, pekerjaan rumah pemerintah bukannya
berkurang, malahan bertambah banyak dan lebih pelik serta lebih berisiko. Investor asing dan
lembaga-lembaga internasional memuji langkah berani pemerintah. Para kreditor mengamini
karena terang saja mereka merasa lebih nyaman jika APBN lebih banyak dialokasikan untuk
pembayaran bunga dan cicilan utang. Jadi, apa bedanya antara memberi subsidi kepada rakyat
dan membayar suku bunga lebih tinggi kepada kreditor asing?
Kita berharap pemerintah lebih peka pada derita rakyatnya sendiri. Kepentingan nasional
harus di atas segala-galanya. Kita harus berdaulat secara politik dan ekonomi. Keadilan harus
jadi acuannya. Banyak pilihan kebijakan yang masih tersedia untuk mewujudkannya asalkan kita
mau mengubah pola pikir kita yang selama ini terlalu dibelenggu oleh setting perekonomian
negara maju yang kelembagaannya sudah sedemikian sangat lengkap, dan tidak korup.
Dampak Kenaikan BBM Pada Masyarakat Kecil
Walaupun dampak kenaikan harga BBM tersebut sulit dihitung dalam gerakan kenaikan
inflasi, tetapi dapat dirasakan dampak psikologisnya yang relatif kuat. Dampak ini dapat
menimbulkan suatu ekspektasi inflasi dari masyarakat yang dapat mempengaruhi kenaikan harga
berbagai jenis barang/jasa. Ekspektasi inflasi ini muncul karena pelaku pasar terutama pedagang
eceran ikut terpengaruh dengan kenaikan harga BBM dengan cara menaikkan harga barangbarang dagangannya. Dan biasanya kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat
terjadi ketika isu kenaikan harga BBM mulai terdengar.
Perilaku kenaikan harga barang-barang kebutuhan masyarakat setelah terjadi kenaikan
harga beberapa jenis BBM seperti premium (bensin pompa), solar, dan minyak tanah dari waktu
ke waktu relatif sama. Misalnya, dengan naiknya premium sebagai bahan bakar transportasi akan
menyebabkan naiknya tarif angkutan. Dengan kenaikan tarif angkutan tersebut maka akan
mendorong kenaikan harga barang-barang yang banyak menggunakan jasa transportasi tersebut
dalam distribusi barangnya ke pasar. Demikian pula dengan harga solar yang mengalami
kenaikan juga akan menyebabkan kenaikan harga barang/jasa yang dalam proses produksinya
menggunakan solar sebagai sumber energinya.

Begitu seterusnya, efek menjalar (contagion effect) kenaikan harga BBM terus
mendongkrak biaya produksi dan operasional seluruh jenis barang yang menggunakan BBM
sebagai salah satu input produksinya yang pada akhirnya beban produksi tersebut dialihkan ke
harga produk yang dihasilkannya. Kenaikan harga beberapa jenis BBM ini akan menyebabkan
kenaikan harga di berbagai level harga, seperti harga barang di tingkat produsen,
distributor/pedagang besar sampai pada akhirnya di tingkat pedagang eceran. Gerakan kenaikan
harga dari satu level harga ke level harga berikutnya dalam suatu saluran perdagangan
(distribution channel) adakalanya memerlukan waktu (time lag). Tetapi, yang jelas muara dari
akibat kenaikan harga BBM ini adalah konsumen akhir yang notabene adalah berasal dari
kebanyakan masyarakat ekonomi lemah yang membutuhkan barang-barang kebutuhan pokok
sehari-hari dengan membeli barang-barang kebutuhannya sebagian besar dari pedagang eceran.
Dan biasanya kenaikan harga di tingkat eceran (retail price) ini lebih besar dibandingkan dengan
kenaikan harga di tingkat harga produsen (producer price) maupun di tingkat pedagang besar
(wholesale price).
Sebagai contoh, kenaikan harga beberapa jenis BBM bulan Mei 1998, terulang kembali
di bulan Juni 2001 dengan beberapa skenario kenaikan harga beberapa jenis BBM (premium,
solar, minyak tanah). Menurut salah satu sumber di Badan Pusat Statistik, untuk jenis barang
BBM yang harganya ditentukan pemerintah, hampir 50 persen dari pengaruh kenaikan BBM
sudah dihitung dalam penghitungan inflasi pada bulan Juni 2001. Misalnya bensin naik dari Rp
1.150/liter menjadi Rp 1.450/liter. Karena kenaikan BBM terjadi di bulan Juni, nilai yang
digunakan dalam penghitungan inflasi bulan Juni adalah ((1150 + 1450)/2) = 1300 sehingga
perubahan yang digunakan adalah perubahan dari harga Rp 1.150/liter menjadi Rp 1.300/liter
atau naik 13,04 persen. Sementara untuk bulan Juli 2001, perubahan harga yang dihitung adalah
dari harga bensin Rp 1.300/liter menjadi Rp 1.450/ liter atau naik 11,54 persen. Perlakuan ini
juga berlaku untuk jenis barang BBM lainnya.
Dengan demikian, pada bulan Juli 2001, sumbangan inflasi dari BBM (bensin, solar, dan
minyak tanah) akan mencapai 0,28 persen. Ditambah lagi sumbangan inflasi pelumas/oli yang
apabila naik 15 persen akan memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,05 persen. Sumbangan
inflasi dari BBM akan bertambah besar jika komponen BBM lainnya yang tidak ditetapkan
pemerintah bergerak sesuai selera pasar. Tekanan inflasi akan semakin besar apabila pemerintah
menaikkan tarif dasar listrik rata-rata.
Dampak ini hanya sebagian kecil saja yang terjangkau dari pandangan kita. Justru
dampak tak langsung yang merupakan hasil multiplier effect dapat menyeret tingkat inflasi lebih
tinggi lagi.
Biaya Keterlambatan
Kenaikan harga BBM tidak hanya akan menghemat anggaran dan devisa juga akan mengurangi
konsumsi BBM. Banyak studi yang menyatakan bahwa kenaikan harga BBM 1% akan

menurunkan konsumsi BBM lebih dari 1% atau bersifat elastis. Kenaikan harga BBM juga akan
memberi insentif bagi pengembangan bahan bakar gas. Konsumen akan mencari alternatif bahan
bakar yang lebih murah, aman dan ramah lingkungan, tidak perlu diatur dan dibatasi.
Pengembangan BBG sejak lima tahun yang lalu tidak mengalami kemajuan berarti,
karena pemerintah memberikan subsidi premium secara berlebihan dan harga BBG nonsubsidi
tidak bisa bersaing. Jadi, dari sisi mikro, kenaikan BBM juga positif memberikan kesempatan
pengembagan alternatif bagi BBG.
Dari sisi makro, dengan mempelajari pengalaman tahun 2005 dan 2008 maka yang paling
penting adalah adanya kepastian kenaikan harga BBM segera. Setiap keterlambatan keputusan
harga BBM akan menimbulkan beban anggaran dan devisa yang berlebihan, sehingga merugikan
kondisi makro. Di sinilah pemerintah harus arif dan berwawasan luas untuk melihat
permasalahannya. Kalau jernih melihatnya dan terencana dengan baik, maka masalah politik dan
sosial akan dapat ditanggulangi.
PENUTUP
Sinyal kegamangan masyarakat tentang kenaikan harga BBM ini memang patut ditakar
dengan tepat. Sebab, salah satu nilai perbandingan, bahwa penanganan penerapan kebijakan
selalu saja tidak semulus seperti yang direncanakan. Contohnya saja, program pengalihat dari
minyak tanah ke gas, hingga kini masalah sosialisasi , dampak sampingan teror tabung gas
dan infrastruktur pendukung menjadi PR yang belum terselesaikan.
Belum lagi, muculnya isu maraknya premanisme di kota-kota besar di negeri ini.
Beberapa pakar mengatakan bahwa, salah satu penyebab maraknya premanisme karena beban
ekonomi di masyarakat. Hanya dengan modal nekat dan nyali mereka menjadi kekuatan yang
menakut di masyarakat.
Beberapa fakta di lapangan saat ini, agaknya memberikan indikasi bahwa kondisi
ekonomi masyarakat, terutama rakyat kecil belum siap untuk menerima dampak turunan dari
kenaikan harga BBM.
Meski begitu, rakyat kecil pun tidak akan mampu menolak karena berbeda persepsi
tentang kondisi. Bagi masyarakat kecil bagaimana mereka menyelamatkan hidup keluarganya,
dan bagi pemerintah bagaimana menyelamatkan ekonomi bangsa ini.
Lalu apa langkah ke depan? Ketika pemerintah siap. Haus siap menjalankan program
kenaikan harga BBM dan siap pula dengan program antisipasi dampaknya. Bagi masyarakat?
Dukung program pemerintah dan tidak mengambil keutungan sesaat di balik kebijakan itu,
terutama masyarakat yang memiliki hubungan linier dengan kebijakan tersebut. Semoga.***

Anda mungkin juga menyukai