Anda di halaman 1dari 8

1

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di
daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air
yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah.
Beberapa hal yang memepercepat terjadinya penyebaran demam tifoid di
Negara sedang berkembang adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber
air minum dan standar hygiene industri pengolahan makanan yang masih
rendah. Menurut Pang, selain karena meningkatnya urbanisasi, demam tifoid
masih terus menjadi masalah karena beberapa faktor lain yaitu penyediaan air
bersih yang tidak memadai, adanya strain yang resisten terhadap antibiotik,
masalah pada identifikasi dan penatalaksanaan karier, keterlambatan
membuat diagnosis yang pasti, patogenesis dan faktor virulensi yang belum
dimengerti sepenuhnya serta belum tersedianya vaksin yang efektif, aman dan
murah (Rohman, dkk, 2004).
Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid sudah jarang terjadi di
negara-negara industri, namun tetap menjadi masalah kesehatan yang serius
di sebagian wilayah dunia. Kejadian demam tifoid di dunia sekitar 21,6 juta
kasus dan terbanyak di Asia, Afrika dan Amerika Latin dengan angka
kematian sebesar 200.000. Setiap tahunnya, 7 juta kasus terjadi di Asia
Tenggara, dengan angka kematian 600.000 orang. Hingga saat ini penyakit
demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di negara-negara tropis
termasuk Indonesia dengan angka kejadian sekitar 760 sampai 810 kasus
pertahun dan angka kematian 3,1 sampai 10,4% (WHO, 2004).

Butler (2006) melakukan penelitian di Bangladesh pada 552 anak yang


menderita demam tifoid dengan biakan empedu positif, leukopenia <4000
sel/mL didapatkan pada 11% penderita umur 1-5 tahun, 9% penderita umur 610 tahun, dan 13% penderita umur 11-17 tahun (Rohman, dkk, 2004).
Di Indonesia demam thypoid merupakan penyakit endemis yang dapat
dijumpai sepanjang tahun dengan fluktuasi sesuai musim. Berdasarkan hasil
data dari beberapa pihak rumah sakit menunjukkan bahwa setiap tahun
penderita thypoid di daerah perkotaan di Indonesia mencapai angka 700 800
kasus per 100.000 penduduk (Soewando, 2005).
Angka kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2%
dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4% per 10.000
penduduk. Prevalensi demam tifoid di Indonesia berdasarkan data Riskades
(2007) adalah 1,60% (Riskades, 2007).
Diperkirakan prevalensi thypoid adalah 1652 per 100.000 penduduk
dengan penderita terbanyak usia 3-50 tahun. Untuk tahun 2004 terjadi KLB
379 orang dan meninggal 3 orang. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan
jumlah kasus menjadi 64.107 kasus.
Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis DepKes RI, pada tahun
2008, demam thypoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak
pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116
dengan proporsi 3,15% urutan pertama ditempati oleh diare dengan jumlah
kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD
dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01% (DepKes RI, 2009)
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella thyposa yang dapat bertahan
hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinisasi
dan pasteurisasi pada suhu 63oC. Organisme ini juga mampu bertahan di
sampah mentah selama satu minggu dan dapat merubah warna atau

bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami


Salmonella thyposa, melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan
seorang penderita demam tifoid atau karier kronis. Transmisi kuman terutama
dengan cara menelan makanan atau air yang tercemar tinja manusia.
Epidemik demam tifoid yang berasal dari sumber air yang tercemar
merupakan masalah yang utama. Transmisi secara kongenital dapat terjadi
secara transplantasi dari seorang ibu yang mengalami bakterimia kepada bayi
dalam kandungan atau tertular pada saat dilahirkan oleh seorang ibu yang
merupakan karier tifoid dengan rute fekal oral. Seseorang yang telah
terinfeksi

Salmonella

thyposa

dapat

menjadi

karier

kronis

dan

mengekskresikan mikroorganisme selama beberapa tahun (Rohman, dkk,


2005).
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia. Jumlah leukosit
normal

bisa

menurun

atau

meningkat,

kadang-kadang

didapatkan

trombositopenia dan pada hitung jenis didapatkan aneosinofilia dan


limfositosis relatif. Demam tifoid dan paratifoid endemik di Indonesia.
Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadik,
terpencar-pencar di suatu daerah dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada
orang-orang serumah. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang
tahun dan insidens tertinggi pada daerah endemik terjadi pada anak-anak.
Terdapat dua sumber penularan S. Thypi, yaitu pasien dengan demam tifoid
dan yang lebih sering, karier. Di daerah endemik, transmisi terjadi melalui air
yang tercemar S. Thypi, sedangkan makanan yang tercemar oleh karier
merupakan sumber penularan tersering di daerah nonendemik (Mansjoer, dkk,
2011).

Infeksi didapat dengan cara menelan makanan atau minuman yang


terkontaminasi dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang
terkontaminasi tinja, urine, sekret saluran nafas, atau dengan pus penderita
yang terinfeksi. Pada fase awal demam tifoid biasa ditemukan adanya gejala
saluran nafas atas. Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk ke dalam
peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. Pada tahap awal ini
penderita juga sering mengeluh nyeri telan yang disebabkan karena
kekeringan mukosa mulut. Lidah tampak kotor tertutup selaput berwarna
putih sampai kecoklatan yang merupakan sisa makanan, sel epitel mati dan
bakteri, kadang-kadang tepi lidah tampak hiperemis dan tremor. Bila terjadi
infeksi dari nasofaring melalui saluran tuba eustchi ke telinga dan hal ini
dapat terjadi otitis media (Rohim, dkk, 2004).
Di lambung organisme menemui asam dengan pH rendah dimana kuman
dimusnahkan. Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan faktor
pelindung terhadap terjadinya infeksi. Setelah melalui barrier asam lambung,
mikroorganisme sampai di usus halus dan menemui dua mekanisme
pertahanan tubuh yaitu motilitas dan flora normal usus. Penurunan motilitas
usus karena faktor obat-obatan luar atau faktor anatomis meningkatkan
derajat beratnya penyakit dan timbulnya komplikasi, serta memperpanjang
keadaan karier konvalesen. Flora normal usus berada di lapisan mukur atau
menempel pada epitel saluran cerna dan akan berkompetisi untuk
mendapatkan

kebutuhan

metabolik

untuk

keperluan

pertumbuhan,

memproduksi asam amino rantai pendek sehingga menurunkan suasana asam


serta memproduksi zat antibakteria seperti colicin (Rohim, dkk, 2004).

Pasien tifoid umumnya menderita gangguan kesadaran dari apatik sampai


sopor-koma, delirium (yang berat) di samping anoreksia dan demam lama.
Keadaan ini menyebabkan kurangnya masukan nutrisi/cairan sehingga
kebutuhan nutrisi yang penting untuk masa penyembuhan berkurang pula,
dan memudahkan timbulnya komplikasi. Pasien tifoid juga menderita demam
lama sehingga muncul masalah keperawatan gangguan suhu tubuh. Gangguan
rasa aman dan nyaman pasien tifoid sama dengan pasien lain, yaitu karena
penyakitnya serta keharusan beristirahat di tempat tidur jika ia sudah dalam
penyembuhan (Ngastiyah, 2005).
Pasien tifoid harus dirawat di kamar isolasi yang dilengkapi dengan
peralatan untuk merawat pasien yang menderita penyakit menular, seperti
desinfektan untuk mencuci tangan, merendam pakaian kotor dan pot/urinal
bekas pakaian pasien yang merawat atau sedang menolong pasien agar
memakai celemek. Masalah pasien tifoid yang perlu diperhatikan adalah
kebutuhan nutrisi atau cairan dan elektrolit, gangguan suhu tubuh, gangguan
rasa aman dan nyaman, risiko terjadi komplikasi, kurang pengetahuan orang
tua mengenai penyakit (Ngastiyah, 2005).
Untuk penatalaksanaan penderita dan program kesehatan masyarakat,
diagnosa klinis perlu ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan tambahan ini dapat dilakukan dengan dan tanpa biakan kuman.
Biakan kuman dapat dilakukan dari darah, sumsum tulang, cairan duodenum,
tinja, urine, atau bercak Rose memerlukan waktu paling sedikit 18 jam hingga
4 hari (Rohim, dkk, 2004).
Pasien tifoid perlu istirahat mutlak selama demam, kemudian diteruskan 2
minggu lagi setelah suhu turun menjadi normal. Setelah 1 minggu suhu
normal, 3 hari kemudian pasien dilatih duduk, jika tidak timbul demam lagi

boleh duduk di tepi tempat tidur sambil kakinya digoyang-goyangkan. Pada


akhir minggu kedua, jika tidak timbul demam lagi boleh belajar jalan mulai
mengelilingi tempat tidur. Selama istirahat pengawasan tanda vital mutlak
dilakukan 3 kali sehari. Jika terdapat suhu tinggi melebihi suhu biasanya,
ukur suhu ekstra dan catat pada pencatatan perawatan. Berikan kompres
dingin intensif kemudian kontrol lagi 1 jam kemudian (Ngastiyah, 2005).
Dari kesimpulan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut
tentangAsuhan Keperawatan pada Anak dengan Demam Tifoid di Ruang
Bougenville RSUD dr. Haryoto Lumajang Tahun 2015.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pelaksanaan asuhan keperawatan pada An. S dengan Demam
Thypoid di Ruang Bougenville RSD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2015?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi asuhan keperawatan pada An. S dengan Demam Thypoid
di Ruang Bougenville RSD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2015
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 melakukan pengkajian pada An. S dengan Demam Thypoid di Ruang Bougenville
RSD Dr. Haryoto Lumajang tahun 2015
1.3.2.2 Merumuskan diagnosa pada An. S dengan Demam Thypoid di Ruang Bougenville
RSD Dr. Haryoto Lumajang tahun 2015.
1.3.2.3 Menyusun intervensi pada An. S dengan Demam Thypoid di Ruang Bougenville
RSD Dr. Haryoto Lumajang tahun 2015.
1.3.2.4 Mengimplementasikan rencana pada An. S dengan Demam Thypoid di Ruang
Bougenville RSD Dr. Haryoto Lumajang tahun 2015
1.3.2.5 Mengidentifikasi evaluasi pada An. S dengan Demam Thypoid di Ruang
Bougenville RSD Dr. Haryoto Lumajang tahun 2015.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dan wawasan


tambahan bagi peneliti mengenai ilmu kesehatan anak, khususnya mengenai
pelaksanaan asuhan keperawatan pada anak dengan Demam Thypoid.

1.4.2

Bagi Industri Terkait (RSD Dr. Haryoto Lumajang)


Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi atau sumber

informasi mengenai pelaksanaan asuhan keperawatan pada anak dengan Demam


Thypoid.
1.4.3 Bagi Industri (Akademi Keperawatan Lumajang)
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi atau
masukan mengenai ilmu kesehatan anak tentang pelaksanaan asuhan keperawatan
pada anak dengan Demam Thypoid.
1.4.4 Bagi Responden Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pengetahuan
dalam memberikan penyuluhan kepada pasien atau masyarakat mengenai
pelaksanaan asuhan keperawatan pada anak dengan Demam Thypoid.
1.4.5 Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi hasil studi kasus
yang dilakukan oleh peneliti tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada anak
dengan Demam Thypoid.
1.4.6 Bagi Peneliti Lebih Lanjut
Penelitian ini diharapkan dapat dijasikan sebagai data dasar dalam
mengembangkan penelitian selanjutnya tentang pelaksanaan asuhan keperawatan
pada anak dengan Demam Thypoid.
1.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menggunakan metode diskriptif
dengan jenis rancangan studi kasus yaitu mendeskripsikan rancangan penelitian
yang mencakup pengkajian satu unit penelitian secara intensif (satu klien)
(Nursalam, 2013). Untuk mendapat gambaran secara jelas dan terperinci

mengenai perawatan terhadap klien dengan Demam Thypoid pada saat ini
berdasarkan

fakta

yang

ada,

sedangkan

mengumpulkan

data,

penulis

menggunakan teknik:
1.5.1 Wawancara
Metode ini merupakan metode pengumpulan data dengan cara mewawancarai
langsung responden yang diteliti, metode ini memberikan hasil secara langsung
dengan tujuan ingin mengetahui hal-hal dari responden secara mendalam
(Hidayat, 2007).
1.5.2 Observasi
Metode ini merupakan cara pengumpulan data dengan mengadakan
pengamatan secara langsung kepada responden penelitian untuk mencari
perubahan atau hal- hal yang akan diteliti (Hidayat, 2007).
1.5.3 Dokumentasi
Metodeinimerupakanmetodepengumpulan data dengancaramengambil data
yang berasaldaridokumenasli (Hidayat, 2007).

Anda mungkin juga menyukai