Anda di halaman 1dari 9

Croup

(Laringotrakeobronkitis Akut)
Sindrom croup, adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak,
batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres
pernapasan. Penyakit ini sering terjadi pada anak. Croup berasal dari
bahasa Anglo-Saxon yang berarti tangisan keras. Penyakit ini pertama
kali dikenal pada tahun 1928.1
Istilah lain untuk croup ini adalah laringtis akut yang menunjukkan lokasi
inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika
sampai ke bronkus digunakan istilah laringotrakeobronkitis. 1
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus
yang menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan
obstruksi saluran respiratori. Obstruksi yang terjadi dapat bersifat ringan
hingga berat. 1
Sifat penyakit ini adalah self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung
menjadi berat bahkan fatal. Sebelum kortikosteroid digunakan secara
luas, 30% kasus croup harus dirawat di RS dan 1,7% memerlukan
intubasi endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid telah digunakan
secara luas, kasus croup yang memerlukan perawatan di RS menurun
drasatis, dan intubasi endotrakea jarang dilakukan. 1
Definisi
Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit
heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus.
Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara
serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas. 1
Secara umum croup dikelompokkan dalam 2 kelompok yaitu : 1
1. Viral Croup : ditandai oleh gejala prodormal infeksi respirotari; gejala
obstruksi saluran respiratori berlangsung selama 3-5 hari. Beberapa
penulis menyebutkan kelompok ini Laringotrakeobronkitis.
2. Spasmodic croup : spasmodic cough, terdapat faktor atopik, tanpa
gejala prodromal; anak dapat tiba-tiba mengalami gejala obstruksi
saluran respiratori, biasanya pada waktu malam menjelang tidur;
serangan terjadi sebentar, kemudian normal kembali.

Berdasarkan derajat kegawatan, croup di bagi menjadi empat kategori. 1


1. Ringan; ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang
kadang-kadang muncul, stridor yang tidak terdengar ketika pasien
beristirahat tidak beraktivitas, dan retraksi ringan dinding dada.
2. Sedang; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
stridor yang mudah didengar ketika pasien beristirahat/ tidak
beraktivitas, retraksi dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tidak ada
gawat napas (respiratory distress).
3. Berat; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
stridor inspirasi yang terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan
kadang-kadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding
dada, dan gawat napas.
4. Gagal napas mengancam; batuk kadang-kadang tidak jelas,
terdengar stridor (kadang-kadang sangat jelas ketika pasien
beristirahat), gangguan kesadaran, dan letargi.
Epidemiologi
Sindrom croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan 6 tahun,
dengan puncaknya pada usia 1 2 tahun. Akan tetapi, croup dapat juga
terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun. 1
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim
dingin dan musim gugur, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang
tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan infeksi
respiratori yang berkunjung ke dokter. 1
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan
dengan pematangan struktur anatomi saluran respiratori-atas. Hampir
15% pasien sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit
yang sama. 1
Etiologi
Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah
Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2,3, dan 4, virus
Influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Syncytial Virus (rsv), dan virus
campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma
pneumonia. 1

Patogenesis
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada
lariongtrakeitis, laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeo bronkop
neumonia dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epithelium trakea dan
laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada dinding
trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area
subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi
serak (parau). Aliran udara yang melewati saluran respiratori-atas
mengalami tribulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi
dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen
yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami
hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas
atau bahkan henti napas. 1
Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit
Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu
tinggi selama 12-72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan.
Kondisi ini akan berkembang menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau
dan kasar. Gejala sistematik yang menyertai seperti demam, malaise. Bila
keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stridor inspiratorik yang berat,
retraksi, dan anak tampak gelisah, dan akan bertambah berat pada malam
hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya
perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak akan sering
menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau
digendong. Perbandingan antara viral croup (laryngotracheobronchitis)
dan spasmodic croup (spasmodic cough) dapat dilihat pada table berikut
Karakteristik
Usia
Gejala prodromal
Stridor
Batuk
Demam
Lama sakit
Riwayat keluarga
Predisposisi asma

Viral Croup
6 bulan 6 tahun
Ada
Ada
Sepanjang waktu
Ada (tinggi)
2 7 hari
Tidak ada
Tidak ada

Spasmodic Croup
6 bulan 6 tahun
Tidak jelas
Ada
Terutama malam hari
Bisa ada, tidak tinggi
2 4 jam
Ada
Ada

Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul, pada
pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan
faring, dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien
bervariasi sesuai dengan derajat stres pernapasan yang di derita. 1

Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu


diperlukan. Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut,
gawat napas/ respiratory, distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan
tersebut sangat diperlukan. 1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis
tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya
dengan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisis. 1
Bila ditemukan peningkatan leukosit > 20.000/mm 3 yang didominasi oleh
PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis. 1
Pemeriksaan Radiologis dan CT-Scan
Pada pemeriksaan radiologis leher posisi postero-anterior ditemukan
gambaran tanda menara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan
adanya penyempitan saluran nafas subglotis. Gambaran radiologis seperti
ini hanya dijumpai pada 50% kasus. 2
Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai
diagnosis bandignnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah)
saluran napas atas dapat dijumpai sebagai berikut : 1
1. Pada trakeitis bacterial, tampak gambaran membran trakea yang
compang-camping.
2. Pada eppiglotitis, tampak gambaran epiglottis yang menebal.
3. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang
menonjol.
Pemeriksaan CT-Scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab
obstruksi pada pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti
adanya stridor sejak usia di bawah enam bulan atau stridor pada saat
aktivitas. Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran
radiologis dicurigai adanya massa. 1
Tatalaksana
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan
napas. Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat di RS, melainkan
cukup dirawat di rumah. Pasien dirawat di RS bila dijumpai salah satu dari
gejala-gejala berikut : anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor
progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirakat, terdapat gejala
gawat napas, hipoksemia, gelisah, stanosis, gangguan kesadaran,
demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada respons terhadap terapi.

Alur diagnose dan terapi Croup adalah sebagai berikut 1


CROUP
Diagnosis banding
Aspirasi benda asing
Abnormalitas congenital
Epiglotitis

Obstruksi jalan napas yang


mengancam nyawa
Sianosis
Penurunan kesadaran

Tidak

O2 100% dengan sungkup muka DAN Nebulisasi adrenalin (5ml) 1 :


1000
Intubasi anak sesegera mungkin (oleh seorang yang berpengalaman)
Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak

YA

Croup derajat ringan


Batuk menggonggong
Tanpa retraksi dada
Tanpa sianosis

Edukasi orang tua


Pertimbangkan
kortikosteroid
dosis
tunggal (oral)
Periksa
kemampuan
orang
tua
dan
kemampuan
dalam
menyediakan transport

Croup derajat sedang


Stridor saat istirahat
Terdapat retraksi dinding dada
minimal
Mampu berinteraksi

Kortikosteroid
Deksametason 0,15-0,30 mg/kg
ATAU Prednison 1-2 mg/kg (oral)
ATAU nebulisai
Budesonide
2
mg
jika
kortikosteroid
oral
tidak
berpengaruh

DIPULANGKAN

Membalik
Dipulangkan bila tidak ada stridor
saat istirahat
Edukasi orang tua pasien
Rawat/observasi di JGD
Ulangi pemberian kortikosteeroid
oral /12 jam
Edukasi ortu
pasien
Terapi
Inhalasi
Sediakan penjelasan tertulis untuk
dokter umum yang akan follow up

OBSERVASI > 4 JAM

Perbaikan

Sebagian

Croup derajat berat


Stridor menetap saat istirahat
Tracheal tug dan retraksi dinding dada
terlihat jelas
Apatis dan gelisah
Pulsus paradoksus

Minimal handling
02 4l/mnt DAN nebulisasi
adrenalin DAN Kortikosteroid
sistemik (dosis sama dengan
croup derajat sedang)
Intubasi
RAWAT RS

Tidak membalik
Evaluasi ulang
Rawat
Hubungi konsulen
Evaluasi diagnosis

Nebulisasi adrenalin (dosis sama)


DAN kortikosteroid sistemik (dosis
sama)
Persiapkan
pelayanan
untuk
tindakan darurat
Pertimbangkan intubasi

Sejak abad ke-19, terapi uap telah digunakan untuk mengatasi obstruksi
jalan napas pada sindrom croup. Pemakaian uap dingin lebih baik
daripada uap panas, karena kulit akan melepuh akibat papapran uap
panas. Uap dingin akan melembabkan saluran respiratori, meringankan
inflamasi, mengencerkan lendir pada saluran respiratori, sekaligus
memberikan efek yang nyaman dan menenangkan bagi anak. 1
Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada sindrom
croup, kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap dapat pula
memperberat keadaan pada anak dengan bronkospasme yang disertai
dengan mengi, seperti laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Saat ini
beberapa pusat kesehatan tidak merekomendasikan penggunaan terapi
uap. 1
Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin tersaturasi (cold
water fog), tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannya
untuk mengobati croup menguntungkan. Gina dkk. Melakukan penelitian
RCT dengan memberikan terapi oksigen lembab (humidified oxygen) pada
pasien croup derajat sedang di UGD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan perbaikan klinis antara kelompok yang diberi terapi
oksigen lembab dan yang tidak diberikan. 1
Epinefrin
Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi
kadang-kadang membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah
digunakan untuk mengatasi sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan
pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak
diperlukan. 1
Nebulisasi epinefrin sebaliknya juga diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang berat yang disertai dengan stridor saat istirahat
dan membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor
yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin. 1
Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vaskular epitel
bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan
meningkatkan laju udara pernapasan. Pada penelitian dengan metode
double blind, efek terapi nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30
menit dan bertahan selama dua jam. 1
1. Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan 1 epinefrin);
dengan dosis 0,5 ml larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah
dilarutkan dalam 3 ml salin normal. Larutan tersebut diberikan melalui
nebulizer selama 20 menit.

2. L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer.


Efek terapi terjadi dalam dua jam.
Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar
dan mempunyai sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan
hipertensi. Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien
dengan takikardi dan kelainan jantung seperti tetralogi Fallot. 1
Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme
anti radang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien
laringotrakeitis ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau
parenteral dibandingkan dengan placebo. 1
Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/
intramuscular sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6 24 jam.
Efek klinis akan tampak 2-3 jam setelah pengobatan. Tidak ada penelitian
yang menyokong keuntungan penambahan dosis. 1
Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut :
Mengurangi rata-rata tindakan intubasi
Mengurangi rata-rata lama rawat inap
Menurunkan hati perawatan dan derajat penyakit. 1
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolon
dengan dosis 1-2 mg/kgBB (E4). Berdasarkan dua penelitian metaanalisis (24 RCT) tentang pemakaian kortikosteroid sistemik, dengan
pemberian kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24 jam,
disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik. 1
Budesonid
Nebulisasi budesonid dipakai sejak tahun 1990. Tingkat efektifitasnya
adalah E2 bila dibandingkan dengan placebo. Larutan 2-4 mg budesonid
(2 ml) diberikan melalui nebulizer dan dapat diulang pada 12 dan 48 jam
pertama. Efek terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam 30 menit,s
edangkan kortikosteroid sistemik terjadi dalam satu jam 1.
Pemberian terapi ini mungkin akan lebih bermanfaat pada pasien dengan
gejala muntah dan gawat napas (respiratory distress) yang hebat.
Budesonid dan epinefrin dapat digunakan secara bersamaan. Sebagian
besar kasus pemakaian budesonid tidak lebih baik daripada
deksametason oral. 1

Kortikosteroid tidak diberikan pada anak dengan varisela dan TB (kecuali


pada anak yang sedang mendapat OAT). Pemakaian kortikosteroid dalam
jangka waktu lama (1 mg/kgBB/hari selama delapan hari) dapat
meningkatkan infeksi Candida albicans. 1
Intubasi endotrakeal
Intubasi endoktrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat,
yang tidak responsif terhadap terapi lain. Intubasi endotrakeal merupakan
terapi alnternatif selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan
napas. Indikasi melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya
hiperkarbia dan ancaman gagal napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan
bila terdapat peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas,
peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding dada, sianosis, letargi, atau
penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk jangka waktu
yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi. 1
Kombinasi Oksigen-Helium
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa sentra
untuk mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta
mempunyai densitas dan viskositas yang rendah. Hal ini sangat
membantu mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan meningkatkan
aliran gas dan mengurangi kerja otot-otot respiratori. Bila helium
dikombinasikan dengan oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat.
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup berat akan
merasa nyaman dan kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan
intubasi. Efek klinis pemberian kombinasi oksigen-helium hampir sama
dengan pemberian nebulisasi epinefrin. 1
Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali
pasien dengan laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang
disertai infeksi bakteri. Pasien diebriakn terapi empiris sambil menunggu
hasil kultur. Terapi awal dapat menggunakan sefalosporin generasi ke-2
atau ke-3. Pemberian sedative dan dekongestan oral tidak dianjurkan
pada pasien sindrom croup. 1
Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media,
dehidrasi, dcan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien

memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat


terjadi pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat. 1
Prognosis
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang baik. 1

Daftar Pustaka
1. Kiagus Yangtjik dan Dwi Wastono Dadiyanto. Buku ajar Respirologi
Anak Edisi Pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010
2. M. William Schwartz. Pedoman Klinis PEDIATRI, 2005
3. Behrman Kliegman Arvin. Nelson ilmu kesehatan anak Edisi XV Vol
II, 2000

Anda mungkin juga menyukai