Oleh:
Gigih Sanjaya Putra
22020114210033
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberculosis Paru atau sering disebut dengan TB Paru merupakan
masalah kesehatan global yang mendapat perhatian khusus saat ini. Angka
kejadian TB Paru adalah 9 juta kasus per tahun di seluruh dunia dan kasus
kematian mencapai 2 juta jiwa. Menurut data WHO tahun 2011, jumlah kasus
TB terbanyak adalah region Asia Tenggara yaitu 35%, sedangkan Indonesia
menempati urutan ke-5 negara dengan jumlah kasus TB Paru tertinggi (0,350,52 juta per tahun) (PDPI,2011).
Perhatian khusus pada penyakit TB paru juga terdapat di Indonesia.
Menurut data Depkes RI (2013), pada tahun 2013 ditemukan jumlah kasus baru
tuberkulosis positif (BTA+) sebanyak 196.310 kasus, atau 81,0 per 100.000
penduduk. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan
jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari jumlah
seluruh kasus baru di Indonesia (Depkes RI, 2013).
Tingginya angka kejadian TB Paru di Indonesia telah ditanggulangi
dengan upaya pencegahan maupun pengobatan. Meskipun capaian target
keberhasilan pengobatan dan kesembuhan TB Paru tahun 2008-2013 telah
tercapai yaitu 85%, masih terdapat penderita yang mengalami kekambuhan
maupun drug resisten akibat putus obat (Depkes RI, 2013). Pengobatan yang
teratur pada pasien TB paru dapat menyembuhkan secara total. Jika pasien
menghentikan pengobatan, bakteri TB Paru akan berkembang biak kembali dan
meningkatkan angka morbiditas dan motralitas akibat TB Paru.
Pasien dengan TB paru positif akan mengalami tanda-tanda gangguan
respirasi dan sistemik seperti demam, batuk berdahak, batuk berdarah,
penurunan berat badan yang signifikan, sesak nafas, dan kelahan. Gejala
tersebut juga dapat disebabkan oleh komplikasi akibat infeksi tuberkulosis yang
C. Manfaat
1. Bagi Puskesmas Srondol
Menjadi salah satu bahan
masukan
dalam
menyusun
rencana
tentang
konsep
dasar
hingga
BAB II
TINJAUAN TEORI
Penularan Langsung
Penularan Tidak
Langsung
Adekuat
Bakteri nonaktif
Tidak muncul
Manifestasi klinis
Proses
peradangan,
suhu tubuh
meningkat
Hiperter
mi
Bakteri aktif
beberapa tahun
kemudian
Reaksi infeksi/inflamasi,
Tidak
Adekuat
Kecemasan
Pola
polanafas
nafastidak
tidak
pemenuhan
Kurangnya informasi
efektif
kebutuhan nutrisi
Gangguan
kurang dari
kebutuhan
Gangguan
pemenuhan ADL
Gambar 2.1 Pathway TB Paru
Gangguan
pemenuhan
istirahat dan tidur
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Studi kasus dan persoalan yang diteliti
Populasi penderita TBC di wilayah kerja Puskesmas Srondol sampai tanggal
24 Juni 2015 ditemukan sebanyak 19 orang. Namun, karena keterbatasan
waktu, maka sampel yang digunakan sebanyak 2 orang dengan kriteria klien
yang mengalami TBC dan dalam masa pengobatan. Metode pendekatan yang
dilakukan berupa wawancara dan observasi. Studi ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada
pasien dengan TBC.
B. Data responden
1. Responden I
Responden adalah Tn. S berusia 62 tahun, mantan perokok sejak 1 tahun
yang lalu, klien merokok sejak SMP sampai dengan 1 tahun yang lalu
sejak menderita TBC. Klien terkena TBC sejak tahun 2014, awalnya batuk
terus-menerus selama 1 bulan lebih, kemudian diperiksakan ke Puskesmas
Srondol dan dilakukan cek dahak, namun hasil BTA menunjukkan
negative. Maka, klien diberikan terapi obat batuk biasa. Namun, batuk
tidak juga reda, akhirnya klien periksa lagi ke Puskesmas dan dilakukan
pemeriksaan dahak dan hasil menunjukkan BTA positif. Kemudian, klien
dirujuk ke rumah sakit Paru Kota Semarang. Disana, klien hanya dirawat
jalan dan diberikan terapi, namun klien lupa nama terapinya serta
dilakukan foto rontgen pada tanggal 25/2/2014 didapatkan gambaran TB
Paru aktif. Setelah itu, klien hanya menjalani berobat jalan saja.
Pada bulan April 2015, klien merasakan sesak nafas, kemudian klien
berobat ke RSUP Dr. Kariadi, disana klien selama 14 hari di ruang Isolasi.
Kemudian, dilakukan foto rontgen pada tanggal 30/4/2015 didapatkan
gambaran TB Paru disertai kavitas dan infiltrat. Setelah dirawat, klien
dianjurkan kontrol di Puskesmas Srondol dengan mengkonsumsi obat
R/H/Z/E/S.
Selama kontrol, klien masih mendapatkan injeksi streptomycin setiap
harinya selama 60 kali dan baru menjalani sebanyak 50 kali. Saat kontrol,
klien selalu diantar oleh menantunya. Namun, jika di rumah jarang ada
yang mengingatkan untuk minum obat dan terkadang saat ingin kontrol
pagi, tidak ada yang mengantar karena menantunya sedang bekerja,
sehingga terkadang Tn. S merasa jengkel sesaat.
2. Responden II
Responden merupakan Tn.S dengan pendidikan Sarjana dan seorang
pensiunan Bank yang berumur 79 tahun. Responden merupakan pasien
yang kambuh kembali setelah beberapa tahun. Awal terkena TBC pada
saat berumur 36 tahun dan sudah sembuh sejak lama, namun tidak pernah
kontrol dan klien juga merupakan perokok aktif sejak SMP. Klien kembali
kambuh sejak 1 tahun yang lalu dan sekarang sedang menjalani
pengobatan di Puskesmas Srondol dengan terapi R/H/Z/E. Saat kontrol ke
puskesmas, klien selalu ditemani oleh istri karena anak-anak berada di
Jakarta dan Salatiga, sehingga di rumah hanya tinggal berdua oleh sang