Jejak adalah sebuah gerak bolak-balik menuju masa lalu dan masa depan. Orang mencari jejak,
karena ingin mengetahui peristiwa masa lalu. Akan tetapi, orang juga mengikuti jejak untuk
meramalkan masa depan. Jejak selalu mengarahkan matanya ke arah multiplisitas waktu. Jejak
selalu bersifat multidimensi.
Jejak adalah sebuah argumen, sebuah narasi, sebuah bahasa, sebuah cerita, sebuah teks. Jejak
dibaca, dianalisis, dikaji, ditranslasi, ditafsirkan. Jejak dilindungi karena ia mengandung
pengetahuan dan informasi. Jejak dianalisis secara ilmiah, karena ia dianggap sebuah jalan menuju
kebenaran (truth). Jejak adalah juru bicara kebenaran.
Akan tetapi, tak semua jejak menggiring pada factum, realitas, kebenaran. Jejak malah sering
meninggalkan enigma, teka-teki, ketakpastian, kekaburan, kabut, kegelapan. Jejak ada, tetapi
kebenarannya disembunyikan. Tanda ada, tetapi maknanya dipalsukan. Bekas ada, tetapi realitasnya
dikaburkan. Yang kita temukan adalah serangkaian jejak tanpa makna, tanda tanpa kebenaran,
bekas tanpa tindakan.
Jacques Derrida, di dalam Positions (1987), mengatakan bahwa jejak tak pernah menuju pada
sebuah kebenaran akhir. Jejak hanya menunjuk pada jejak lainjejak dari jejakbukan pada
kebenaran. Jejak bukan latar, fondasi atau asal usul. Jejak adalah proses pergerakan tanpa akhir.
Jejak mengarahkan pada jejak lain, tanda menggiring kita pada tanda lain, bekas membawa pada
bekas lain ad infinitum.
Dengan mudik, jejak-jejak dapat ditapaki kembali, menemukan perihal-perihal usang agar dapat
menjadi pelajaran, meramu segala hal yang telah ditinggalkan waktu sebagai sesuatu yang
bermanfaat untuk perbaikan di masa depan. Demikian pula jejak-jejak setiap orang selama di proyek
Senoro sudah tercatat oleh waktu, tidak ada kemungkinan untuk mengulangi waktunya.
Setiap orang perduli terhadap jejak yang ditinggalkan untuk berbagai kepentingan, sebagaimana
jejak itu sendiri yang tidak mungkin bersifat tunggal. Sebab jejak hadir bersama waktu, jejak memiliki
sifat multisipitas, selalu memilik percabangan di sana-sini, dan percabangannya selalu memiliki
cabang-cabang lainnya yang bercabang banyak. Jejak selalu melibatkan jejak lainnya untuk saling
menguatkan dan mengaburkan. Jejak kita bertautan dengan jejak-jejak lain, pun demikian jejak-jejak
lain memiliki keterikatan dengan banyak jejak liannya; others-otherness.
Akan tetapi, ada jejak yang terlepas, melepaskan diri atau sengaja dilepaskan dari tindakan.
Tindakan tak lagi meninggalkan jejak. Jejak dihapus setelah tindakan. Jejak mengingkari pemiliknya.
Melalui jejak palsu, sejarah dipalsukan, kebenaran disembunyikan, pikiran dikaburkan. Jejak
mengarahkan pada kegelapan.
Jean Baudrillard, di dalam The Perfect Crime (1996), melukiskan tindakan yang tanpa jejak. Ada
tindakan, tak ada jejak. Ada peristiwa, tak ada tanda. Ada kejadian, tak ada bekas. Ada kejahatan, tak
ada korban, tak ada motif, tak ada bukti. Tindakan terputus dari jejak, tanda dan bekas. Jejak
bersembunyi di balik tindakan, tanda melebur ke dalam realitas, bekas mencair ke dalam peristiwa.
Pada bagian ini, saya teringat obrolan dengan Pak Yasraf Amir Piliang saat menulis jurnal Post
Realitas; Mesin-mesin Simulasi, dengan bersemangat beliau menegaskan bahwa jejak kini
digunakan untuk memalsukan kebenaran. Menurutnya, inilah jejak artifisial, jejak palsu, jejak
buatan. Jejak yang diproduksi oleh mesin-mesin simulasi yang bekerja melalui serangkaian rapatrapat, pengambilan keputusan organisasi, intervensi, manipulasi dokumentasi, otoritasi dan atau
bersamaan dengan delegasi, klaim representasi, opini, pernyataan di media massa, sempurnalah
sudah terbentuk simulakra jejak (simulacra of trace). Inilah jejak yang berpretensi seakan-akan ia
refleksi realitas, padahal pemalsuan realitas. Jejak kini bukan lagi bukti tindakan, tetapi bukti tak
adanya tindakan; Pseudo Reality.
Dalam Oxford Advanced Learners, istilah simulasi (simulation) diartikan sebagai (1) sebuah situasi
yang didalamnya kondisi tertentu diciptakan secara artifisial (lewat komputer) dalam rangka
mendapatkan pengalaman tentang sesuatu yang ada di dalam realitas dan (2) tindakan berpretensi
seakan-akan sesuatu itu nyata, padahal tidak.
Lebih radikal lagi, sesuatu dikatakan simulasi, selama ia berlawanan dengan representasi, begitu
Baudrillard dalam Simulations, Semiotext[e] (1983) menegaskan. Bila representasi masing
menggantungkan diri pada sesuatu diluar dirinya sebagai rujukan atau referensinya; simulasi,
sebaliknya, tidak merujuk pada sesuatu diluar dirinya, malahan ia menjadikan dirinya sendiri sebagai
referensi. Simulasi merupakan kondisi dimana fakta dan citra sangat sempurna bersatu.
Ketika jejak diputus dari realitas, ketika jejak menjadi simulakra jejak, ketika tindakan menjadi
simulakra tindakan, kebenaran ikut melebur menjadi simulakra kebenaran (simulacra of truth).
Kita lalu dibawa pada contradictio in terminis: sebuah pernyataan yang di titik akhir menyanggah
dirinya sendiri. Sebuah kebenaran yang palsu, sebuah kepalsuan yang benar, sebuah kebenaran yang
tak-benar, sebuah kepalsuan yang asli, sebuah keaslian yang palsusebuah nihilisme.
Tak ada lagi yang tersisa dalam kehidupan, bila tak ada lagi jejak sejati, realitas sejati dan
kebenaran sejati (genuine truth). Hidup yang dikepung kepalsuan akan menjadi bagian dari
kepalsuan itu. Kehidupan telah kehilangan segala sifat kesejatian, ketika menciptakan jejak,
tindakan, dan kebenaran palsu menjadi hobi, kebiasaan, obrolan warung kopi di ruang rapat, pengisi
waktu senggang, trend setiap orang. Kepalsuan tanpa beban, manipulasi tanpa rasa bersalah,
kebohongan tanpa rasa malu.
Jejak orang-orang proyek Senoro yang akan menunjukan masa depan masing-masing orang, akan
sebenarnya menjadi cerita lama, atau bahkan sebaliknya, menjadi cerita baru untuk mengakui atau
sebaliknya mengingkari jejak-jejak yang ditinggalkannya. Pulang mudik orang-orang proyek Senoro
tidak sebenarnya meninggalkan dan memutuskan jejak dari realitas, beberapa orang mungkin saja
kembali, beberapa lagi menyimpannya dalam kenangan, entah sebagai kebenaran, entah sebagai
kepalsuan.
Pulang mudik orang-orang proyek Senoro, sesungguhnya tidak benar-benar pulang, kemungkinan
kembali selalu ada, selama jejak mengikatnya dalam satuan waktu. Tidak ada seorangpun yang dapat
hidup tanpa terikat waktu. Sisa waktu bersama dengan jejak yang ditinggalkan akan membawa
orang-orang proyek Senoro kembali mudik ke site, tidak perlu Iedul Fitri untuk menandainya,
humoris mungkin akhirnya, atau tragis mungkin ujungnya. Dramatis adanya.
20 Ramadhan 1436
Baudrillard, Jean. Simulations, Semiotext(e). New York, 1983.
Baudrillard, Jean. In the Shadow of Silent Majorities, Semiotext(e). New York, 1983.
Baudrillard, Jean. Seduction, St Martins Press, 1990.
Campbell, Elaine. The future(s) of risk: Barthes and Baudrillard go to Hollywood.
http://cmc.sagepub.com/content/6/1/7. Downloaded from cmc.sagepub.com at
CALIFORNIA DIGITAL LIBRARY on July 20, 2010
Eco, Umberto. Travel in Hyperreality. Picador, Londor. 1986.
F. Schumacher. Small Is Beautiful: A Study of Economics As If People Mattered. Blond & Briggs. 1973.
Jacques Derrida. Writing and Difference. London and New York. 1978.
Jacques Derrida. Positions. University of Chicago Press. 1981
Milan Kundera. The Book of Laughter and Forgetting . The New Yorker. 1980.
Piliang, Yasraf Amir. Posrealitas; Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Jalasutra, 2004.
Piliang, Yasraf Amir. Dunia yang dilipat. Tamasya melampaui batas-batas kebudayaan. Jalasutra, 1998.
Piliang, Yasraf Amir. Transpolitika. Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Jalasutra, 2005.
Piere Bourdieu. Social Space and Symbolic Power. Jurnal. 2005.
Sheila Jasanoff. The States of Knowledge; The co-productions of Science and Social Order. Routledge; London
and New York. 2004.